Anda di halaman 1dari 8

Peran IMF di Indonesia dimulai ketika presiden

Soekarno memainkan peran non blok ditengah


pertarungan kuasa antara Amerika dan Soviet
yang semakin meningkat, peran tersebut dapat
dimainkan dengan cantik oleh Soekarno
dengan dukungan dari negara-negara dunia
ketiga, namun kedua blok yang bertarung
kuasa tersebut mendesak Soekarno untuk
memilih satu diantara dua. Amerika
menggunakan IMF sebagai alatnya, pada
tahun 1962 delegasi IMF mengadakan
kunjungan ke Indonesia untuk menawarkan
proposal bantuan finansial dan kerjasama,
setahun kemudian tepatnya pada bulan maret
1963 Amerika Serikat menyediakan utang
sebesar US$ 17 juta dan dalam dua bulan
kemudian pemerintah Indonesia
mengumumkan rangkaian kebijakan ekonomi
baru (devaluasi rupiah, anggaran negara yang
ketat dan pemotongan subsidi) yang selaras
dengan resep kebijakan IMF.

Namun keadaan berubah 180 derajat pada


bulan September 1963, ketika pemerintah
Inggris menyatakan Malaysia sebagai bagian
federasi Inggris tanpa konsultasi terlebih
dahulu. Soekarno melihat pernyataan tersebut
adalah upaya untuk menggangu stabiltas
kawasan Asia Tenggara terutama karena
Malaysia secara geografis sangat dekat
dengan Indonesia, selain itu Soekarno juga
melihat hal ini dipicu karena Indonesia
menasionalisasi perusahaan-perusahaan
Inggris . Insiden ini berimbas terhadap
hubungan Indonesia dengan IMF, sesepakatan
sebelumnya dengan IMF dibatalkan oleh
Soekarno. Kekalahan Indonesia
memperjuangkan permasalahan ini di tingkat
internasional karena PBB mengakui eksistensi
negara Malaysia menyebabkan Soekarno
memutuskan untuk keluar dari kenggotaan
PBB. Kondisi perekonomian Indonesia setelah
itu berada dalam kondisi yang memprihatinkan,
utang yang diterima dari Soviet dan negara
barat digunakan untuk untuk kebutuhan
konsumtif , pembangunan proyek mercusuar
dan membeli senjata. Dalam hal ini meskipun
Soekarno berhasil mempertahankan harga diri
bangsanya namun ia gagal untuk
menyelamatkan kondisi ekonomi Indonesia
yang semakin terpuruk, ekonomi Indonesia
yang tergantung pada pihak luar, mengalami
pukulan keras ketika harga bahan baku di
tingkat internasional menurun drastis (harga
karet turun drastis), sementara pengeluaran
untuk kebutuhan publik yang luar biasa besar
mendorong inflasi mencapai 600%. Ketika
perang dingin mencapai titik klimaksnya,
Soekarno memancing kemarahan Washington
dengan menasionalisasi semua perusahaan
asing (kecuali perusahaan minyak). Kemudian
Sukarno mengumandangkan go to hell with
your aid sebagai kata talak untuk perceraian
dengan IMF serta Bank Dunia pada Agustus
1965 dan memutuskan membangun Indonesia
secara mandiri. Tak lama kemudian terjadi
kudeta berdarah yang menandakan dimulainya
rezim orde baru dibawah kepemimpinan
Soeharto. Kebijakan-kebijakan rezim orde baru
memang dekat dengan kepentingan Amerika,
namun meskipun demikian pemerintah Amerika
tidak ingin memberikan utang secara langsung
lewat mekanisme bilateral, mereka
menitipkan kepentingan ekonomi politik
mereka lewat IMF, dengan kucuran dana
bantuan sebagai bargaining terhadap
kepentingan tersebut. Pada akhir tahun 1966,
IMF membuat studi tentang program stabilitas
ekonomi, dan pemerintah orde baru dengan
cepat melaksanakan kebijakan seperti yang
diusulkan IMF dan Indonesia secara resmi
kembali menjadi anggota IMF. Kembalinya
Indonesia menjadi anggota IMF dan Bank
Dunia, menimbulkan reaksi negara-negara
barat. Mereka segera memberikan hibah
sebesar US$174 million dengan tujuan untuk
mengangkat Indonesia dari keterpurukan
ekonomi, disusul dengan restrukturisasi utang
karena US$ 534 juta harus dikeluarkan untuk
membayar cicilan pokok dan bunga utang.
Tanpa rescheduling utang ini maka tidak
dimungkinkan negara-negara barat memberi
utang utang baru, sehingga dapat dikatakan
bahwa upaya rescheduling merupakan cara
agar negara-negara barat bisa mengucurkan
utang baru ke Indonesia. Pada Desember
1966, di ikuti dengan pertemuan Paris Club
yang menyepakati moratorium utang sampai
tahun 1971untuk pembayaran cicilan pokok
utang jangka panjang yang disepakati sebelum
tahun 1966. tanpa dukungan IMF dan Amerika
inisiatif moratorium ini tidak akan terjadi.
Namun imbas dari moratorium yang disepakati
dalam paris club hanya bersifat sementara
karena setelah tahun 1976 pembayaran utang
berlanjut kembali. Mulai saat itu para kreditor
diuntungkan oleh kesepakatan yang tidak
pernah terjadi sebelumnya, Semua Utang yang
ditandatangani sebelum tahun 1966 (pada
pemerintahan Sukarno) harus dibayar dalam
30 kali cicilan dalam kurun waktu antara tahun
1970 sampai 1999. Tanggungan pembayaran
ini diikuti dengan devaluasi dan perubahan nilai
tukar, yang menjadikan Indonesia sebagai
negara dengan nilai tukar mengambang paling
bebas di dunia. Krisis ekonomi yang melanda
Asia tenggara pada tahun 1997 menyebabkan
pemerintah mengundang IMF untuk
menyelamatkan perekonomian nasional yang
sedang dalam krisis. Kesepakatan antara IMF
dan pemerintah Indonesia terjadi pada tanggal
31 Oktober 2007 dengan ditandatanganinya
Letter of Intent (LOI) pertama yang berisikan
perjanjian 3 tahun dan kucuran utang sebesar
US$ 7,3 milyar. Namun kehadiran IMF justru
mengakibatkan bertambah parahnya ekonomi
Indonesia, tidak lebih dari satu tahun terjadi
pelarian modal (capital flight) keluar negeri
besar-besaran yang menyebabkan
pengangguran, diperparah lagi dengan
penurunan nilai tukar rupiah secara drastis.
Pada akhir tahun 1998 lebih dari 50%
penduduk Indonesia hidup dibawah garis
kemiskinan. Salah satu resep kebijakan IMF
untuk menutup 16 bank membuat masyarakat
panik dan menarik uangnya di bank-bank
nasional dan sebagian di bank asing, untuk
mengatasi goncangan ini IMF kembali
membuat rekomendasi kebijakan yang
mengharuskan pemerintah mengucurkan dana
trilyunan rupiah untuk memperbaiki kecukupan
modal pada bank-bank yang bermasalah
tersebut melalui obligasi rekap. Dalam
perjanjiam IMF dengan pemerintah
menyatakan bahwa setelah pemerintah
menyalurkan obligasi rekap kepada bank-bank
yang kolaps, maka bank tersebut harus segera
dijual kepada pihak swasta. Dengan demikian
pemerintah juga terbebani kewajiban untuk
membayar bunga dari obligasi tersebut.
Sedangkan IMF memberi batasan waktu
penjualan bank-bank tersebut yang
mengakibatkan murahnya harga bank-bank
tersebut, dan para pembeli domestik maupun
asing masih menikmati bunga dari obligasi
rekap yang lebih besar jumlahnya dari pada
harga bank itu sendiri. Obligasi pemerintah
yang melekat pada bank-bank bermasalah
seluruhnya sebesar Rp. 430 trilyun dengan
kewajiban membayar bunga Rp. 600 trilyun
yang dibebankan kepada pemerintah. Ada
resep generik yang diberikan IMF pada semua
pasiennya yaitu program penyesuaian
struktural atau Structural Ajusment Program
(SAP) dan kebijakan deregulasi. Kebijakan
penyesuaian struktural mengharuskan negara
untuk meliberalisasi impor dan pelaksanaan
aliran sumber-sumber keuangan secara bebas,
devaluasi, pelaksanaan kebijakan moneter dan
fiskal di dalam negeri yang terdiri dari
pembatasan kredit, pengenaan tingkat bunga
yang relatif tinggi, penghapusan subsidi,
peningkatan tarif pajak, peningkatan barang
pokok masyarakat dan menekan tuntutan
kenaikan upah buruh sedangkan yang terakhir
pemasukan investasi asing yang lebih lancar.
Sedangkan kebijakan deregulasi mencakup
empat komponen, pertama intervensi
pemerintah harus dihilangkan atau
diminimalisir untuk menghindari distorsi pasar.
Kedua privatisasi seluas-luasnya dalam bidang
ekonomi hingga mencakup bidang-bidang yang
selama ini dikuasai oleh negara. Ketiga
liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi dan
semua proteksi harus dihilangkan sedangkan
yang terakhir memperbesar dan melancarkan
arus masuk investasi asing dengan fasilitas-
fasilitas yang lebih luas dan lebih longgar atau
dengan kata lain penguasaan asing terhadap
terhdap unit ekonomi baik swasta maupun
negara harus diperkenankan. Pada mei 1998,
karena kesepakatan antara IMF dan Soeharto,
pemerintah mencabut subsidi bahan pokok,
dan menaikkan harga minyak dan listrik.
Kebijakan ini menyulut penolakan keras dari
rakyat dan tak lama kemudian, suharto jatuh.
Hubungan mesra IMF dan Indonesia terus
berjalan dengan ditandai kesepakatan LOI -I
sampai dengan IV sejak tahun 1997 sampai
tahun 2003, pada masa Megawati berkuasa,
tepatnya pada agustus 2003 pemerintah
akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan
program bantuan IMF dan memilih untuk
masuk dalam Post Program Monitoring (PPM).
Pilihan Pemerintah ini menimbulkan
konsekwensi yang tidak jauh beda dengan
pada saat melainkan program kerjasama.
Karena IMF masih dapat terus mendikte
kebijakan ekonomi Indonesia Karena
pemerintah masih harus mengkonsultasikan
setiap kebijakan ekonomi yang akan diambil.
Masa pemandoran IMF ini menghasilkan
Inpres No. 5 tahun 2003 yang sering disebut
inpres white paper .Inpres tersebut adalah
produk kebijakan negara yang dilahirkan dari
intervensi IMF, maka tidak heran jika arah
kebijakan ekonomi yang tertuang dalam inpres
tersebut persis dengan kebijakan IMF
meskipun dibuat oleh pemerintah Indonesia.
Kebijakan ekonomi dalam inpres tersebut
terbagi dalam tiga bagian : pertama, stabilitas
makro ekonomi, Restrukturisasi dan reformasi
sektor keuangan dan yang terakhir
peningkatan Investasi.inpres tersebut tetap
berlaku meskipun telah terjadi pergantian
pemerintahan pada tahun 2004, perpres
tersebut merupakan alat legitmasi secara
hukum untuk melakukan liberalisasi ekonomi
pasca hubungan dengan IMF. Pemerintah
Indonesia mengumumkan akan membayar
utang pada IMF yang masih tersisa, senilai
total US$ 7,8 billion, dalam waktu 2 tahun.
Jumlah tersebut adalah sisa dari utang
Indonesia pada IMF sebesar US$ 25 Million
saat krisis, secara politik keputusan tersebut
tepat, sebagai langkah untuk melepaskan diri
dari pemandoran dan intervensi kebijakan
ekonomi yang terus berlangsung sejak krisis
1997. pembayaran utang tersebut dilakukan
dua tahap, pada bulan juni 2006 sebesar US$
3,75 miliar dan sisanya sebesar US$ 3,2 miliar
dilunasi pada bulan Oktober. Namun pelunasan
utang pemerintah ke IMF hanya mengurangi
sedikit sekali total beban utang luar negeri
pemerintah karena selain IMF pemerintah juga
mendapat utang multilateral lain Bank Dunia
dan Bank Pembangunan Asia disamping itu
pemerintah juga mendapat utang yang sifatnya
bilateral dari negara-negara kreditor utama
Indonesia antara lain Amerika, Jepang, kanada
dan Jerman. Posisi utang luar negeri
pemerintah sampai dengan akhir September
2006 mencapai US$ 77,347 Juta, jumlah ini
belum ditambah dengan utang swasta yang
mencapai US$51,022 Juta sehingga total utang
Indonesia pada triwulan ketiga 2006 sebesar
US$128,369 Juta. Jumlah ini relatif berkurang
jika dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya, pada tahun 2005 saja total utang
Indonesia sebesar US$ 130,652 Juta. Negara
kreditor dan lembaga internasional yang
memberikan utang pada pemerintah Indonesia
tergabung dalam Consultative Groups on
Indonesia (CGI) yang dalam sidang CGI tahun
2006 menyepakati jumlah utang yang
disanggupi (pledge) sebesar US$2,920 Juta
untuk Utang Billateral dan US$2,202 Juta
Utang Multilateral. Dari jumlah utang tersebut
meskipun telah dikurangi utang pemerintah
pada IMF, dalam APBN-P 2006 cicilan pokok
dan bunga utang luar negeri yang harus
dibayar pemerintah mencapai US$ 2,510 M
atau 30% dari total pengeluaran pemerintah.
Maka yang harus dilakukan pemerintah setelah
membayar lunas utang IMF adalah dengan
membatalkan seluruh peraturan perundangan
termasuk inpres white paper yang muncul
karena tekanan IMF, dan melakukan keputusan
progresif untuk melakukan penghapusan utang
demi kesejahteraan rakyat.

Anda mungkin juga menyukai