Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PEMBAHASAN

II.1. Sekilas Tentang John Dewey


John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika Serikat, yang termasuk
aliran Pragmatisme. Selain sebagai filsuf, Dewey juga dikenal sebagai
kritikus sosial dan pemikir dalam bidang pendidikan. Dewey dilahirkan di
Burlington pada tahun 1859. Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore, ia
menjadi guru besar dalam bidang filsafat dan kemudian dalam bidang
pendidikan pada beberapa universitas. Dewey meninggal dunia pada tahun
1952.
Dari tahun 1884 sampai 1888, Dewey mengajar pada Universitas
Michigan dalam bidang filsafat. Tahun 1889 ia pindah ke Universitas
Minnesota. Akan tetapi pada akhir tahun yang sama, ia pindah ke Universitas
Michigan dan menjadi kepala bidang filsafat. Tugas ini dijalankan sampai
tahun 1894, ketika ia pindah ke Universitas Chicago yang membawa banyak
pengaruh pada pandangan-pandangannya tentang pendidikan sekolah di
kemudian hari. Ia menjabat sebagai pemimpin departemen filsafat dari tahun
1894-1904 di universitas ini. Ia kemudian mendirikan Laboratory School
yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School. Di pusat penelitian ini
ia pun memulai penelitiannya mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan
mencoba menerapkan teori pendidikannya. Hasilnya, ia meninggalkan pola
dan proses pendidikan tradisional yang mengandalkan kemampuan
mendengar dan menghafal. Sebagai ganti, ia menekankan pentingnya
kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan pemecahan masalah.
Selama periode ini pula ia perlahan-lahan meninggalkan gaya pemikiran
idealisme yang telah mempengaruhinya. Jadi selain menekuni pendidikan, ia
juga menukuni bidang logika, psikologi dan etika.

II.2. Pandangan Filosofis John Dewey


Pandangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang
situasi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial,
sehingga segala perbuatannya, entah baik atau buruk akan diberi penilaian
oleh masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, manusia menurutnya adalah yang
menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Masyarakat di sekitar
manusia dengan segala lembaganya, harus diorganisir dan dibentuk
sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan semaksimal
mungkin. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain
berkembang atas kemungkinan alamiahnya, perkembangan juga turut
didukung oleh masyarakat yang ada disekitarnya.
Dewey juga berpandangan bahwa setiap pribadi manusia memiliki
struktur-struktur kodrati tertentu. Misalnya insting dasar yang dibawa oleh
setiap manusia. Insting-insting dasar itu tidak bersifat statis atau sudah

1
memiliki bentuk baku, melainkan sebagai fleksibel. Fleksibelitasnya tampak
ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran. Pokok pandangan Dewey di sini
sebenarnya ialah bahwa secara kodrati struktur psikologi manusia atau kodrat
manusia mengandung kemampuan-kemampuan tertentu.
Kemampuan-kemampuan itu diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial
kesekitaran manusia. Bila seseorang berlaku yang sama terhadap kondisi
kesekitaran, itu disebabkan karena kebiasaan, cara orang bersikap terhadap
stimulus-stimulus tertentu. Kebiasaan ini dapat berubah sesuai dengan
tuntutan kesekitarannya.

II.3 Pandangan John Dewey Tentang Pendidikan


Menurut Dewey, perubahan yang terjadi dalam masyarakat pasti ada dan
tak terhindarkan. Pandangan ini sebenarnya tidak terlepas dari pemikiran
filsafatnya mengenai realitas yang dipandangnya selalu mengalir. Tidak
mengherankan jika Dewey berkata bahwa pendidikan lantas menjadi sebuah
proses pembaharuan terus-menerus demi kelangsungan masyarakat dan
anggota-anggotanya melalui keterampilan, tehnik, kreativitas, dan
sebagainya. Sebuah pembelajaran yang terus disampaikan, dikomunikasikan
seturut dengan keadaan yang dihadapi. Inilah yang membuat dia dikatakan
sebagai seorang pemikir progresivisme.
Beberapa karyanya mengenai pendidikan antara lain, My Pedagogic
Creed (1897), The School and Society (1900), Child and Curriculum (1902),
Democracy and Education (1916) dan Experience and Education (1938).
Keempat karya terakhir tampaknya merupakan uraian Dewey sendiri atas apa
yang diyakininya dalam My Pedagogic Creed. Dan perlu diingat bahwa
Dewey memikirkan pendidikan (baik formal maupun informal) selalu berada
dalam kerangka kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
Dalam banyak tulisannya, Dewey sering memberikan kritik terhadap
sistem sekolah tradisional, yang dapat dijelaskan di sini bahwa dalam sekolah
tradisional, pusat perhatian berada diluar anak, apakah itu guru, buku, teks
dan sebagainya. Kondisi ini merupakan kegagalan untuk melihat anak
sebagai makhluk hidup yang tumbuh dalam pengalaman dan di mana dalam
kapasitasnya untuk mengontrol pengalaman dalam transaksinya dengan
lingkungan. Hasilnya pokok-persoalan terisolasi dari anak dan hubungan
menjadi formal, simbolik, statis, mati; sekolah menjadi tempat untuk
mendengarkan, untuk instruksi massal, dan selanjutnya terpisah dari hidup.
Bagi Dewey, kehidupan masyarakat yang berdemokratis adalah dapat
terwujud bila dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih menjadi suatu
kebiasaan yang baik. Ia mengatakan bahwa ide pokok demokratis adalah
pandangan hidup yang dicerminkan dengan perluanya pastisipasi dari setiap
warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur hidup
bersama. Ia menekankan bahwa demokrasi merupakan suatu keyakinan,
suatu prinsip utama yang harus dijabarkan dan dilaksanakan secara sistematis
dalam bentuk aturan sosial politik. Sehubungan dengan hal tersebut maka
Dewey menekankan pentingnya kebebasan akademik dalam lingkungan
pendidikan. Sekolah demokratis harus mendorong dan memberikan

2
kesempatan kepada semua siswa untuk aktif berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan, merancang kegiatan dan melaksanakan rencana
tersebut.
Pendidikan sangat penting dalam rangka mengubah dan membaharui
suatu masyarakat. Dewey menganggap pendidikan dapat berfungsi sebagai
sarana untuk peningkatan keberanian dan pembentukan kemampuan
inteligensi. Dengan itu, dapat pula diusahakan kesadaran akan pentingnya
penghormatan pada hak dan kewajiban yang paling fundamental dari setiap
orang. Baginya ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Maksud
dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup yang
demokratis dan untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan kekuatan
yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang lama dan
membangun kembali yang baru.Pendidikan harus pula mengenal hubungan
yang erat antara tindakan dan pemikiran, antara eksperimen dan refleksi.
Pendidikan yang merupakan kontiunitas dari refleksi atas pengalaman juga
akan mengembangkan moralitas dari anak-anak didik.
Belajar dalam arti mencari pengetahuan, merupakan suatu proses yang
berkesinambungan. Dalam proses ini, ada perjuangan yang terus menerus
untuk membentuk teori dalam konteks eksperimen dan pemikiran. Ia juga
mengkritik sistem kurikulum yang hanya ditentukan dari atas tanpa
memperhatikan masukan-masukan dari bawah.Dunia pendidikan itu sendiri
memiliki titik kelemahan. Dewey secara realistis mengkritik praktek
pendidikan yang hanya menekankan pentingnya peranan guru dan
mengesampingkan peranan para siswa dalam sistem pendidikan. Penyiksaan
fisik dan indoktrinasi dalam bentuk penerapan doktrin-doktrin
menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pendidikan. Dewey
mengadakan penelitiannya mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan
mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praktek di sekolah-sekolah.
Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan tradisional yang
mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai gantinya, ia
menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan siswa dalam diskusi dan
pemecahan masalah.

II.3.1. Pengalaman dan Pendidikan Anak


Bagi Dewey, anak sesungguhnya adalah salah satu pihak yang
rentan terhadap penindasan. Bentuk penindasan ini tampak dalam
pendidikan. Karena itu, Dewey berupaya agar pendidikan
sungguh-sungguh memberi perhatian yang lebih besar kepada anak
terutama dalam proses realisasi diri si anak. Dalam proses pendidikan,
Dewey melihat anak sebagai mahkluk yang belum dewasa, belum
berkembang. Di pihak lain, makna, nilai dan tujuan yang dihayati
masyarakat berinkarnasi dalam diri orang dewasa. Karena itu, letak
proses pendidikan berada dalam interaksi dua pihak ini. Dewey
menyatakan hal ini berdasar pada penelitiannya atas pendidikan anak
sebelum dan adanya proses industri dalam masyarakat.
Penelitian Dewey mengenai pendidikan terhadap anak sebelum
terjadinya industrialisasi di kota-kota besar memperlihatkan bahwa

3
pendidikan ini berlangsung di tengah keluarga. Menurut Dewey,
keseharian anak dalam keluarga sesungguhnya mengatakan dunia yang
mereka hayati dan hidupi. Jadi, waktu itu belum ada keterpisahan
kebutuhan dalam situasi keluarga dan masyarakat. Di dalam keluarga,
anak-anak belajar apa yang dibutuhkan masyarakat. Dan masyarakat
secara tidak langsung mengajarkannya melalui orang tua. Memang
pengalaman si anak tidak langsung dari sendirinya menjelaskan apa yang
dibutuhkan masyarakat. Tapi, pengalaman mereka menandakan apa yang
terjadi dan menjadi kecenderungan yang berkembang dalam masyarakat.
Setelah terjadinya industrialisasi, para orang tua harus bekerja.
Implikasinya, pendidikan anak diserahkan kepada mereka yang bertugas
mengajari. Pada tahap ini mulai terjadi apa yang disebut pendidikan
formal, adanya sekolah, sebuah lingkungan khusus. Tujuan adanya
sekolah adalah agar pengalaman keseharian yang diperoleh anak dapat
membuat mereka mampu tumbuh dan berkembang dalam situasi
masyarakat di mana mereka hidup. Namun, dengan semakin
kompleksnya perkembangan masyarakat, tujuan ini semakin
menyimpang. Penyimpangan yang dapat dirasakan secara langsung
adalah anak bukan lagi menjadi pusat dan tujuan dari pendidikan. Anak
digantikan oleh pelajaran-pelajaran yang diberikan. Menurut Dewey, hal
ini sangat berbahaya. Mengapa? Karena pelajaran-pelajaran yang
diberikan didasarkan pada satu prinsip pengetahuan yang dirumuskan
dan diinterpretasikan lepas dari pengalaman anak.
Pendekatannya kepada pendidikan seperti ini harus dilihat dari
gagasan filsafat instrumentalisnya. Dewey berpandangan bahwa realitas
ini tidak pernah tetap, selalu mengalir. Akal budi manusialah yang dapat
menangkap perubahan ini. Akal budi ini sekaligus menjadi instrumen
untuk mencapai keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Dalam
pendidikan, kasus utamanya adalah anak. Apa yang dimengeri anak
adalah apa yang dijalani dalam keseharian hidupnya. Ia belajar dan
berkomunikasi dari apa yang menjadi pengalamannya. Ia berkembang
dari apa yang ia pelajari itu. Karena itu, mengajari sesuatu yang tidak
pernah mencakup pengalamannya akan menjadi bahaya dan kesulitan
untuk hidup dengan lebih baik dalam masyarakat.
Pemahaman Dewey di atas membuat kita melihat bahwa Dewey
lebih menekankan psikologi anak dalam pendidikan. Hal ini tidak
berlebihan jika menyimak apa yang dikatakan Dewey sendiri yakni
bahwa dunia anak pada dasarnya utuh, tidak terbagi, integral, dalam
dunianya mereka tidak terlalu memperhatikan fakta dan hukum-hukum
kausalitas, bukan kebenaran kepada fakta-fakta eksternal melainkan
simpati dan afeksi yang menjadi kunci pemahaman di sini. Dari
pengertian ini, maka pendidikan anak tidak dapat dipisah-pisahkan.
Pendidikan karena itu adalah proses yang bertujuan baik bagi anak dan
sekaligus pula bagi kehidupan sosial.
Lantas bagaimana dengan pendidikan di sekolah? Apa yang
seharusnya diajarkan? Pada poin inilah kita akan masuk ke dalam
kurikulum dari pendidikan formal.

4
1. Kurikulum dan Pendidikan Anak
Dewey meyakini bahwa pusat dari kurikulum seharusnya
mencakup pengalaman anak. Kurikulum bukanlah tujuan dalam
dirinya sendiri. Jika kurikulum menjadi tujuan pendidikan, itu
berarti anak berhenti berpikir, berhenti merenungkan
pengalamannya, dan pada akhirnya kematian masyarakat itu
sendiri. Pendidikan harus membawa konsep mengenai
perubahan dan perkembangan masyarakat. Menurut Dewey,
sekolah dan kurikulumnya harus mengajarkan hal-hal yang
berguna bagi anak dalam kehidupan sehari-hari serta akhirnya
mampu menciptakan masyarakat yang lebih baik. Kurikulum
harus mengabdi kepada anak sehingga dengan bantuan
kurikulum anak dapat merealisasikan dirinya, mewujudkan
bakat-bakat, nilai, sikap untuk hidup dalam masyarakat. Dengan
kata lain, apa yang tersaji dalam kurikulum adalah interaksi
antar anak didik serta interaksi guru dan murid. Bukan relasi
menguasai atau pun relasi subjek-objek di mana anak adalah
pihak yang harus menerima tanpa bertanya. Interaksi ini bukan
hanya persoalan interaksi fisik, tapi juga bersifat sosiologis.
Artinya, nilai, tujuan, sikap, makna telah termasuk di dalamnya.
Seringkali, hal-hal demikian disebut sebagai kurikulum
tersembunyi.
Melalui penelitiannya terhadap pendidikan pada masyarakat
industri, Dewey melihat sekolah dan kurikulumnya memisahkan
aspek-aspek pengalaman anak menjadi apa yang disebutnya
spesialisasi. Bagi Dewey, dengan pemisahan demikian anak
seolah-olah dapat menjawabi seluruh permasalahan. Dewey
justru berpandangan sebaliknya. Pemisahan ini akan membawa
masalah serius di tataran praktis. Pengalaman si anak (brute
experience) dikoyakkan dan diatur menurut sebuah prinsip
tertentu. Anak tercerabut dari dunianya. Dewey menyebutkan 3
akibat dari hal ini. Pertama, dunia pribadi anak berhadapan
dengan dunia impersonal yang sempit namun karena ditata
berdasarkan prinsip tertentu, anak seolah berhadapan dengan
semua persoalannya. Kedua, keterpisahan integralitas hidup
anak dan adanya spesialisasi dan pembagian dalam kurikulum.
Ketiga, prinsip klasifikasi yang logis berhadapan dengan ikatan
yang utuh dari hidup anak. Ketiga hal ini mau mengatakan
bahwa anak dan kurikulum seperti dua aspek yang sangat
berbeda.
Sampai di sini kita telah melihat kritik Dewey atas
kurikulum yang demikian. Tapi, pertanyaan yang muncul
selanjutnya adalah mengapa kurikulum tetap diperlukan dalam
pendidikan formal? Kurikulum tetap diperlukan lantaran
kurikulum adalah mediasi dalam pendidikan formal. Kurikulum
bukanlah pengganti pengalaman anak. Kurikulum adalah sebuah
peta yang mengarahkan anak mencari jati dirinya. Nilai dan
makna kurikulum hanya terletak dalam metodenya dan

5
wawasan yang diberikannya. Karena itu, anak dan kurikulum
sesungguhnya menggambarkan dua sisi mata uang dari proses
yang sama. Apa yang dimaksud proses di sini. Dewey
menggambarkannya dengan baik, Fakta dan kebenaran yang
dihidupi dalam pengalaman keseharian anak, dan fakta dan
kebenaran yang termuat dalam mata pelajaran pada dasarnya
adalah sebuah interaksi awal dan akhir dari satu realitas.
Dengan kata lain, dalam pandangan Dewey, pendidikan
terhadap anak dan kurikulum sesungguhnya tidaklah berbeda.
Dalam kurikulum tercakuplah pengalaman anak di mana
pengalaman mengartikulasikan keberlangsungan dan interaksi.
Di satu sisi, keberlangsungan memaksudkan relasi dengan dunia
di sekitar mereka dan di sisi lain interaksi memaksudkan relasi
pengaruh situasional pribadi atas pengalamannya sendiri
terhadap orang lain sampai baik pengalamannya sendiri maupun
orang lain menjadi milik bersama. Akhirnya, semuanya
mengarah kepada realisasi diri yang berguna baik bagi hidup
personal maupun kehidupan masyarakat. Jadi, sebagaimana
dalam agama, demikian juga dalam pendidikan: Mendapatkan
seluruh pengetahuan tapi kehilangan jati dirinya adalah sesuatu
yang memalukan.
2. Beberapa Catatan Kritis
John Dewey pada dasarnya adalah seorang filosof yang
berpandangan bahwa realitas ini dibangun melalui tindakan akal
budi berdasarkan ingatan kita akan pengalaman masa lalu. Akal
budi menggunakan ingatan ini sebagai cara atau alat untuk
menciptakan sesuatu yang lebih baik lagi. Nilai sesuatu yang
baru itu bisa ditemukan melalui sebuah tindakan eksperimental
atas apa yang kita lakukan dan perbuat. Akal budi yang dilihat
sebagai cara atau alat inilah yang menjadikan Dewey sebagai
seorang filsuf intrumentalis. Melalui cara berpikir yang
demikian, Dewey berusaha mengaplikasikannya dalam bidang
pendidikan. Sumbangan Dewey pada pendidikan terkenal
dengan nama pendidikan yang berpusat kepada anak. Meskipun
demikian, pemikiran Dewey dalam pendidikan ternyata
memiliki beberapa kekurangan.
Pertama, penekanan Dewey terhadap akal budi sebagai alat
dan sarana untuk mencapai kehidupan personal dan masyarakat
yang lebih baik didasarkan pada pengalaman sebagai
pengetahuan masa lalu. Ini mengakibatkan makna dan tujuan
hidup seseorang bahkan masyarakat kehilangan pendasarannya.
Mengapa? Karena usaha menentukan tujuan yang tertata dengan
baik kehilangan dasar rasional. Pemahaman ini menghantar
pada kekurangan kedua, yakni bagaimana peran pendidik
dipikirkan di sini sebagai orang dewasa di mana nilai, tujuan,
makna berinkarnasi di dalam mereka. Kesulitan ini terjadi
karena masyarakat terus berevolusi (progresif) ke arah bentuk

6
yang lebih baik. Bentuk itu disebut Dewey sebagai masyarakat
demokratis. Cuma dasar bagi masyarakat ini ternyata kabur jika
mengandalkan pada pengalaman semata. Ketiga, ketika Dewey
menggambarkan masyarakat industri di Amerika melumpuhkan
fungsi intelek dalam sekolah, ia melupakan fakta bahwa sekolah
juga melumpuhkan fungsi intelek dengan membiarkan
pembelajaran menjadi tanggung jawab si anak.

II.4. Pendapat Penulis Terhadap Pandangan John Dewey


Kami sebagai orang yang telah lama menjalankan proses pendidikan
formal sepakat sangat sependapat dengan pandangan atau pemikiran John
Dewey khususnya dalam hal pendidikan. Salah satu pandangannya adalah
pendidikan partisipatif yang juga mencakup gagasannya tentang learning by
doing (belajar dengan berbuat) cara yang dianggap lebih efektif. Dapat
dikatakan bahwa dalam mempelajari sesuatu itu tidak hanya mendengar dan
membaca, melainkan harus aktif membuat ringkasan, gambar maupun
membuat adegan dengan benda-benda konkrit atau sambil berpraktek.
Belajar bukan hanya aktifitas mendengar dan melihat tetapi juga aktifitas
berbuat. Dengan berbuat maka akan lebih sempurna dalam menguasai apa
yang dipelajari. Misalkan saja seorang yang ingin menguasai tentang mesin
mobil tidak hanya mendengar cerita tentang kerja mesin tersebut. Melainkan
dia harus mampu mengetahui bagian-bagian mesin, membongkar mesin dan
memasangnya kembali, bahkan bila mampu dia mampu menyempurnakan
mesin tersebut. Penulis sangat sependapat dengan hal itu karena pendidikan
partisipatif yang juga didalamnya terkandung makna learning by doing tidak
akan membuat peserta didik menjadi pasif. Dalam hal ini seorang pendidik
akan lebih berperan sebagai tenaga fasilitator, sedangkan keaktivan lebih
diberikan kepada peserta didik. Sehingga dari hal ini peserta didik nantinya
dapat secara menadiri mencari problem solving dari masalah yang sedang
dihadapi.

7
BAB III
PENUTUP

III.1. Kesimpulan
John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika Serikat, yang termasuk
aliran Pragmatisme. Selain sebagai filsuf, Dewey juga dikenal sebagai
kritikus sosial dan pemikir dalam bidang pendidikan.
Pandangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang
situasi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial,
sehingga segala perbuatannya, entah baik atau buruk akan diberi penilaian
oleh masyarakat. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain
berkembang atas kemungkinan alamiahnya, perkembangan juga turut
didukung oleh masyarakat yang ada disekitarnya. Dewey juga berpandangan
bahwa setiap pribadi manusia memiliki struktur-struktur kodrati tertentu.
Bagi Dewey, kehidupan masyarakat yang berdemokratis adalah dapat
terwujud bila dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih menjadi suatu
kebiasaan yang baik. Ia mengatakan bahwa ide pokok demokratis adalah
pandangan hidup yang dicerminkan dengan perluanya pastisipasi dari setiap
warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur hidup
bersama.
Kami sebagai orang yang telah lama menjalankan proses pendidikan
formal sepakat sangat sependapat dengan pandangan atau pemikiran John
Dewey khususnya dalam hal pendidikan. Dapat dikatakan bahwa dalam
mempelajari sesuatu itu tidak hanya mendengar dan membaca, melainkan
harus aktif membuat ringkasan, gambar maupun membuat adegan dengan
benda-benda konkrit atau sambil berpraktek.

III.2. Saran
Dari apa yang dibahas di atas, kita tahu bahwa gagasan pendidikan John
Dewey sebenarnya menekankan pendidikan yang berbasis pada pengalaman
(experiential education) di mana anak mempertanyakan segala sesuatu yang
dialaminya, memikirkannya dan mencari solusi untuk masalah yang dihadapi.
Dalam konteks Indonesia, penerapan gagasan ini dapat dilakukan dengan
memanfaatkan monumen atau candi yang ada untuk pelajaran sejarah.
Kunjungan ke kebun binatang atau cagar alam untuk memahami alam
lingkungan ini beserta isinya. Pembelajaran kinestetik, penggunaan
laboratorium, dan sebagainya.
Sejauh ini pendidikan kita memang masih menggunakan Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Sebagai pendidikan yang berbasis kompetensi, itu
berarti skill, kemahiran, kebiasaan diharapkan dapat dihasilkan dari
pendidikan itu. Harapan ini memang berdasar pada kebutuhan masyarakat

8
kita sendiri. Tapi, proses yang berlangsung seringkali dilumpuhkan oleh
sistem pendidikan yang mekanis. Nilai dan ijazah menjadi dua hal penting
dibandingkan dengan skill, bakat, minat dan keterampilan. Harus diakui
masyarakat kita memang sedang menuju masyarakat industri walaupun
sebagian besar masih berkarakter agrikultural dan malahan sangat
multikultural. Inilah tantangan kita bersama dalam menetapkan arah
pendidikan yang sesuai dengan masyarakat kita.

9
DAFTAR PUSTAKA

-Harun Hadiwijono. 2004 Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta:


Kanisius.

diakses dari : http://mimbardemokrasi.blogspot.com/2008/02/dewe.html

diakses dari :
http://www.biografitokohdunia.com/2011/03/john-dewey-20-oktober-185
9-1-juni-1952.html

diakses dari :
http://sriwotospd.blogspot.com/2012/02/filsafat-pendidikan-menurut-john
-locke.html

diakses dari :
http://www.masbow.com/2009/07/belajar-dengan-berbuat-learning-by.ht
ml

- Dewey, John. Democracy and Education. Diakses dari


http://www.gutenberg.org.

- Schools and Society. Diakses dari


http://www.brocku.ca/MeadProject/Dewey/Dewey_1907.html.

- The Child and The Curriculum. Diakses dari http://www.gutenberg.org.

10

Anda mungkin juga menyukai