Anda di halaman 1dari 5

DIFTERIA

A. Pengertian
Difteri ialah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebachterium
Diphtheriae, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang membentuk membran pada tempat
infeksi, dan diikuti oleh gejala umum karena eksotoksin yang diproduksi basil ini.
(Sjaifoellah, Noer, 1999)
B. Etiologi
Corynebachterium diphtheriae termasuk kuman batang gram positif tersusun
berpasangan, tidak bergerak, tidak membentuk spora, aerobik dan dapat memproduksi
eksotoksin. Bentuknya seperti palu, diameter 0.1-1 mm dan panjangnya beberapa mm.
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti medium Loeffler, medium
Tellurite, dan medium Ferment glucose. Pada medium Loeffler, basil ini tumbuh dengan
cepat membentuk koloni-koloni kecil, granular dan berwarna abu-abu. Pada medium
tellurite, basil ini bertumbuh lambat, membentuk koloni-koloni berwarna abu-abu
kehitaman. Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3
jenis basil ini, yaitu:
a. Gravis : koloninya besar, kasar, iregular, berwarna abu-abu dan tidak
menimbulkan hemolisis eritrosit.
b. Mitis : koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks dan dapat
menimbulkan hemolisis eritrosit
c. Intermediate : koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan
dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
C. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala difteri tergantung pada:
1. Lokasi infeksi
2. Imunitas penderitanya
3. Ada atau tidaknya toksin difteri yang beredar dalam sirkulasi darah

Masa inkubasi adalah 1-10 hari (tersering 2-4 hari). Gejala klinis dapat dibagi atas
gejala umum, gejala lokal dan gejala-gejala yang terjadi sebagai akibat eksotoksin
merusak jaringan lain yang terkena. Gejala-gejala umum yang timbul adalah demam
yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia, sehingga pasien tampak
sangat lemah. Gejala umum ini biasanya disertai gejala lokal setiap bagian yang terkena
seperti pilek, nyeri waktu menelan, sesak napas, suara serak dan stridor. Gejala-gejala
akibat eksotoksin tergantung kepada jaringan yang terkena seperti miokarditis, paralisis
jaringan saraf dan nefritis. Menurut lokasi infeksi pertama terjadi, tanda dan gejala difteri
sebagai berikut:

1. Difteri nasal anterior


Timbulnya keluhan dan gejala terjadi secara perlahan-lahan dan terselubung,
dimulai dengan serangan seperti common cold (demam, lesu, rinorea) diikuti oleh
nasal discharge yang pada permulaan bersifat serosanguineus, kemudian menjadi
purulen disertai krusta. Keadaan ini menimbulkan ekskoriasi pada lubang hidung
dan
bibir atas. Membran bisa terbentuk pada salah satu atau kedua rongga hidung.
Absorbsi toksin ke dalam sirkulasi darah terjadi secara perlahan-lahan dan dalam
jumlah yang kecil, sehingga keadaan miokarditis dan paralisis jarang terjadi.
Tipe difteri ini sangat berbahaya bagi masyarakat karena sangat infektif,
sedangkan gejala-gejalanya ringan, sehingga kadang-kadang tidak terdiagnosis.
2. Difteri nasal posterior
Membran terbentuk pada daerah nasofarink (di belakang palatum) sukar
terlihat dari luar, sehingga sering luput dari pemeriksaan. Jenis ini lebih berat dari
pada difteri nasal anterior. Kadang-kadang menimbulkan keadaan yang serius seperti
pada difteri fausial.
3. Difteri fausial
Serangan penyakit terjadi secara terselubung, pada fase permulaan timbul
demam yang tidak tinggi (<380 C), sakit kepala, lesu, dan sore throat. Harus diingat
bahwa sore throat bukanlah merupakan gejala utama, karena pada beberapa kasus
gejala ini tidak ditemukan. Membran tebentuk dalam waktu 1-2 hari., tergantung
pada imunitas pasiennya. Pada keadaan imunitas yang tinggi membran bisa tidak
terbentuk sama sekali. Pada permulaan akan terbentuk membran yang tipis berwarna
abu-abu, mengenai salah satu atau kedau tonsil, kemudia menebal dan bisa meluas
sampai ke pilar, uvula, palatum mole, palatum durum, laring, dan trakea. Warnanya
berubah menjadi abu-abu kehitaman, sukar dilepaskan dari dasarnya, apabila
terkelupas akan menimbulkan perdarahan. Pada pemeriksaan terlihat daerah
hiperemis yang dikelilingi oleh membran dengan bau yang karakteristik. Ditemukan
juga pembesaran kelenjar getah bening leher yang besarnya bervariasi. Pada keadaan
berat terlihat anak irretable, pucat, mulut terbuka, tidak mau minum atau makan,
pembesaran kelenjar getah bening leher, periadenitis, pembengkakan soft tissue
daerah leher menyerupai leher sapi jantan (bullneck), nadi cepat, tekanan darah
menurun, refleks tendon melemah,, paralisis palatum, napas cepat dan dangkal,
sianosis, dan berakhir dengan kematian karena terjadi kegagalan jantung.
4. Difteri laring
Umumnya merupakan penyebaran dari difteri fausial, akan tetapi pada
keadaan yang tidak begitu sering bisa ditemukan hanya difteri laring saja. Membran
bisa menyebar ke bawah mengenai bronkus. Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh
toksin tidak menonjol. Pada permulaan timbul batuk-batuk kering, suara parau, dan
stridor inspirasi. Pada keadaan lebih lanjut, bisa terjadi obstruksi saluran napas,
akanterlihat retraksi suprasternal dan supraklavikular, asifiksia dan sianosis.
5. Difteri kulit
Merupakan keadaan yang sangat jarang terjadi, biasanya kelainan berbentuk
ulkus yang mempunyai tepi berbataas tegas dengan dasar membranous.

Difteri pada tempat-tempat lain seperti pada konjungtiva, vulva vagina dan telinga,
jarang ditemukan dan tanda gejala biasanya ringan.

D. Patofisiologi dan Pathway


Penyakit difteri timbul dimulai dengan masuknya basil Corynebachterium
diphtheriae ke dalam hidung atau mulut, dan bertumbuh atau berkembang pada mukosa
saluran napas bagian atas terutama daerah tonsil, kadang-kadang di daerah kulit,
konjungtiva, atau genital. Basil kemudia akan memproduksi eksotoksin.
Toksin yang terbentuk akan diabsorbsi melewati membran sel mukosa,
menimbulkan peradangan dan destruksi epitel diikuti oleh nekrosis. Pada daerah nekrosis
ini terbentuk fibrin, kemudian diinfiltrasi oleh sel darah putih. Keadaan ini
mengakibatkan terbentuknya patchy exudate yang pada permulaan masih bisa terkelupas.
Pada keadaan lebih lanjut, toksin yang diproduksi basil ini semakin meningkat,
menyebabkan daerah nekrosis bertambah luas dan bertambah dalam, sehingga
menimbulkan terbentuknya fibrous exsudate (membran palsu) yang terdiri dari jaringan
nekrotik, fibrin, sel epitel, sel leukosit dan eritrosit, berwarna abu-abu sampai hitam.
Membran ini sukar terkelupas, kalau dipaksa lepas akan menimbulkan perdarahan.
Membran palsu ini terbentuk pada tonsil, faring, laring, dan pada keadaan berat bahkan
bisa meluas sampai ke trakea dan kadang-kadang ke bronkus, diikuti edema soft tissue di
bawah mukosanya. Keadaan ini dapat menimbulkan obstruksi saluran napas sehingga
memerlukan tindakan segera.
Toksin yang terbentuk selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah menyebar
keseluruh tubuh menimbulkan kerusakan jaringan di organ-organ tubuh berupa
degenerasi, fatty infiltration, dan nekrosis, terutama pada jantung, ginjal, hati, kelenjar
adrenal dan jaringan saraf. Apabila mengenai jantung menimbulkan paralisis, terutama
pada palatum mole, otot mata, dan ekstremitas. Kematian biasanya disebabkan oleh
kegagalan jantung atau asfiksia karena obstruksi saluran napas.
Beberapa jenis Corynebachterium yang hidup pada saluran napas atau konjungtiva
tidak menimbulkan penyakit, jenis ini disebut difteroid, misalnya Corynebachterium
pseudodiphthericum, C. Cerosis, C. Haemolyticum dan C. Ulcerans. Pemakaian obat-
obat imunosupresif dapat menyebabkan beberapa jenis kuman ini menjadi invasif dan
dapat menyebabkan kematian.

E. Penatalaksanaan
Perawatan umum:
1. Isolasi
2. Istirahat di tempat tidur, minimal 2-3 minggu
3. Makanan lunak atau cair, bergantung pada keadaan penderitanya.
4. Kebersihan jalan napas dan penghisapan lendir
5. Kontrol EKG secara serial 2-3 kali seminggu, selama 4-6 minggu untuk mendeteksi
miokarditis secara dini. Bila terjadi miokarditis harus istirahat total di tempat tidur
selama 1 minggu. Mobilitas secara gradual baru boleh dilakukan bila tanda-tanda
miokarditis secara klinis dan EKG menghilang.
6. Bila terjadi paralisis dilakukan fisioterapi pasif dan diikuti fisioterapi aktif bila
keadaan membaik. Paralisis palatum dan faring dapat menimbulkan aspirasi, maka
dianjurkan pemberian makanan cair melalui selang lambung.
7. Bila terjadi obstruksi laring, secepat mungkin dilakukan trakeostomi.
Pengobatan khusus:

a. Tujuan:
1. Menetralisasi toksin yang dihasilkan basil difteri
2. Membunuh basil difteri yang memproduksi toksin
a. Pemberian antitoksin:
Diberikan sedini mungkin begitu diagnosis ditegakkan, tidak perlu
menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis. Dosisi tergantung kepada jenis
difterinya, dan tidak dipengaruhi umur pasiennya. Pada difteri nasal atau
fausial yang ringan diberikan 40.000 unit secara intra muskular. Difteri
fausial sedang diberikan 80.000 unit intra vena dan pada difteri berat
(bullneck diphtheria) diberikan 120-200.000 unit secara intra vena.
Pemberian antitoksin harus didahului dengan uji sensitivitas, karena
antitoksin dibuat dari serum kuda. Apabila uji sensitivitas positif, maka
diberikan secara desensitisasi dengan interval 20 menit.
b. Pemberian antibiotik:
Diberikan penisilin prokain 600.000 unit/hari, selama 7 hari. Apabila alergi
terhadap penisilin, dapat diberikan eritomisin 40 mg/kg BB/hari, selama 7-10
hari. Preparat lain yang bisa diberikan adalah amoksisilin, rifampisin, dan
klindamisin.

F. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium : Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebakterium
difteri
b. Pemeriksaan darah : terdapat penurunan kadar hemoglobin dan
leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah
eritrosit, dan kadar albumin.
c. Pemeriksaan bakteriologis : mengambil bahan dari membrane atau bahnan di
bawah membrane.
d. Apabila pasien mengalami komplikasi kejantung (miokarditis), pada pemeriksaan
EKG hasilnya Low voltage. Kontrol EKG secara serial 2-3 kali seminggu, selama 4-6
minggu untuk mendeteksi miokarditis secara dini. Bila terjadi miokarditis harus
istirahat total di tempat tidur selama 1 minggu. Mobilitas secara gradual baru boleh
dilakukan bila tanda-tanda miokarditis secara klinis dan EKG menghilang.
e. Pemberian vaksinasi pada anak-anak untuk mengurangi terkena bakteri.

G. Komplikasi
Timbulnya komplikasi pada pasien dipengaruhi oleh keadaan-keadaan sebagai
berikut:
1. Virulensi basil difteri
2. Luasnya membran yang terbentuk
3. Jumlah toksin yang diproduksi oleh basil difteri
4. Waktu antara mulai timbulnya penyakit sampai pemberian antitoksin

Komplikasi-komplikasi adalah:

1. Kelainan kardiovaskular
Kelainan ini timbul terutama pada kasus-kasus dengan kelainan lokal yang ekstensif
dan pemberian antitoksin yang terlambat. Umumnya terjadi pada hari ke 3-21,
bergantung pada berat/ringannya penyakit. Tanda dan gejala berupa takikardi, suara
jantung lemah, irama derap presistolik, aritmia, dan gagal jantung. Pada
elektrokardiografi ditemukan tanda-tanda miokarditis berupa low foltage, depresi
segmen ST, gelombang T terbalik, dan tanda-tanda blok dimulai dari pemanjangan
interval PR sampai blok AV total. Penyembuhan miokarditis sampai sempurna
membutuhkan waktu tiga bulan.
2. Kelainan neurologis
Saat timbulnya komplikasi ini bervariasi tergantung pada jumlah toksin yang
diproduksi, dan cepat atau lambatnya pemberian antitoksin. Biasanya kelainan ini
terjadi bilateral, dan motorik lebih dominan dari sensorik, terutama yang terjadi
adalah paralisis. Daerah yang pertama kali terkena adalah palatum, umumnya terjadi
pada minggu ke 3-6. Ditandai dengan gejala-gejala suara hidung sengau, kesukaran
menelan, dan regutgitasi cairan ke rongga hidung sewaktu menelan. Pada
pemeriksaan ditemukan gerakan palatum berkurang. Paralisis otot-otot mata akan
menimbulkan penglihatan kembar, kesukaran akomodasi, strasbismus internal.
Paralisis frenikus akan menimbulkan paralisis diafragma. Selanjutnya bisa terjadi
paralisis ekstremitas disertai kehilangan refleks tendon dalam dan peningkatan kadar
protein cairan cerebrospinal, sehingga secara klinis sukar dibedakan dengan sindrom
Guillian Barre.
3. Infeksi sekunder
Bisa terjadi lokal pada tempat infeksi atau daerah lain.

H. Asuhan Keperawatan
Fausial, toksin masuk, neuropathy okulomotor dan paralisis silier,
Tersedak, cegukkan, kesulitan menelan, silia di tenggorokan tidak berfungsi.
Bakteri turun ke bronkus sampai ke alveoli.

Proses toksin, kelemahan otot tenggorokan, degenerasi selubung mielin, diawaili


dari nodus ranvi. Akson tanpa mielin(demielinasi) , akson mengeras, akson dari
sel schwann, impuls saraf tdk berjalan dengan baik, paralilsis di tenggorokkan.
Dll.

Dekat tengkorak, saraf2.

Anda mungkin juga menyukai