BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini memaparkan tinjauan tentang literasi sains dan teknologi (STL),
pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi (STL), penilaian literasi sains
dan teknologi (STL), keterampilan proses sains (KPS), dan materi pembelajaran
topik laju reaksi dengan sub pokok materi faktor-faktor yang mempengaruhi laju
reaksi.
1998).
1. Literasi sains dan teknologi lebih dari sekedar pengetahuan dan sarana
pengetahuan
2. Literasi sains dan teknologi lebih dari sekedar aplikasi sains dan teknologi atau
pengembangan sikap positif terhadap sains dan teknologi
10
3. Pada dasarnya literasi sains dan teknologi tidak hanya berbicara mengenai
sains dan teknologi.
4. Pembelajaran literasi sains dan teknologi merujuk kepada pembelajaran yang
menyenangkan, mendapatkan penghargaan sains dan kesadarannya.
(Holbrook, 1998)
merupakan jawaban tentang untuk apa kita belajar sains, yaitu dalam rangka
mengatasi dunia yang kompleks dimana beberapa kompetensi yang spesifik dapat
diperoleh dalam domain sains. Literasi sains merupakan kompetensi yang terkait
dengan aspek pengetahuan, keterampilan, dan nilai serta sikap terhadap sains.
KompetensiBelajar
Kompetensi Komunikasi
Kompetensi Sosial
Kompetensi Prosedural
Keterampilan
pengertian mendalam tentang pendekatan sains yang sistematis sebagai satu cara
11
untuk melihat dunia, dibandingkan dengan teknologi, seni rupa, agama, dan lain
lain.
tentang relatifitas norma-norma pada waktu dan lokasinya, dan kemampuan untuk
literasi sains, yakni proses sains, konten sains dan konteks aplikasi sains.
1. Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu
pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan
menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. Termasuk di dalamnya
mengenal jenis pertanyaan yang dapat dan tidak dapat dijawab oleh sains, serta
mengenal kesimpulan yang sesuai dengan bukti yang ada.
2. Konten sains merujuk pada konsep-konsep kunci yang diperlukan untuk
memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam
melalui aktivitas manusia.
3. Konteks aplikasi sains merujuk pada situasi dalam kehidupan sehari-hari yang
menjadi lahan bagi aplikasi proses dan pemahaman konsep sains.
pengalaman ke dalam pola-pola yang sistematis dan bermakna. Hal ini dikuatkan
oleh Dahar yang menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses dimana
seseorang bertingkah laku aktif dalam menanggapi rangsangan ilmu yang baru,
Oleh karena itu, keberhasilan dalam proses belajar mengajar adalah perubahan
kegiatan siswa berupa pengalaman belajar siswa yaitu kegiatan siswa yang
konsep atau pencapaian konsep, sehingga langkah pertama yang dilakukan adalah
baru kemudian ditunjukkan dengan sedikit aplikasinya. Oleh karena itu, perlu
(Holbrook, 2005).
13
konsep dalam konteks materi menjadi belajar konsep dalam suatu konteks sosial
literasi sains dan teknologi adalah dengan mengadopsi dari proyek Chemie im
14
context atau ChiK (Nentwig et al., 2002) yaitu sebuah kerja sama proyek
Jerman. Maka landasan teoritis dalam pembelajaran berbasis literasi sains dan
teknologi adalah literasi sains dan teknologi (STL), teori motivasi dan teori
a. Berorientasi pada konteks dan menanamkan proses belajar pada masalah yang
sehingga pengetahuan, kompetensi serta isu penting yang diberikan kepada siswa
al., 2002).
baru disusun sedemikian rupa. Besar kemungkinan, aktivitas belajar seperti ini
dapat dijalankan oleh siswa secara mandiri, sedangkan dukungan dan bimbingan
guru ada jika diperlukan saja. Bermula dari situasi yang nyata, aktivitas siswa
yang diajukan dapat diselesaikan secara lebih efisien dan siswa merasa puas.
Aktivitas seperti ini banyak disajikan dalam bentuk diskusi kelompok kecil.
untuk mengecek pemahaman dari teman sebaya. Sebagai akibatnya, peran guru
c. Bertujuan pada pengembangan yang sistematis dari konsep dasar kimia. Agar
Nentwig et al., 2002). Perluasan konsep harus diambil dari intisari pengetahuan.
Hal ini dapat dicapai dengan penggunaan konteks yang beragam, yaitu masalah
yang sama diberikan dalam konteks yang berbeda dimana memerlukan konsep
sama diberikan dari sudut pandang mata pelajaran sekolah yang berbeda
(Spiro, 1989 dalam Nentwig et al., 2002). Proses pengambilan intisari ini
biasanya tidak dapat dicapai sendiri oleh siswa, sehingga harus dimulai dan
dibimbing oleh guru supaya tercapai keseimbangan antara posisi belajar dan
beberapa pengetahuan ini dan beberapa pengetahuan lain. Tema 3 yang digali
akan membangun pengetahuan yang lebih luas, dan jika suatu saat unsur
tahap nexus (nexus phase), dan tahap penilaian (assesment phase). Uraian
Pada tahap ini dikemukakan isu-isu, masalah yang ada di masyarakat atau
memahami materi tersebut. Topik yang dibahas dapat bersumber dari berita,
keingintahuan siswa.
misalnya ceramah bermakna, diskusi dan kegiatan praktikum, atau gabungan dari
ketiganya. Melalui kegiatan inilah berbagai kemampuan siswa akan tergali lebih
dalam, baik aspek pengetahuan, keterampilan proses maupun sikap dan nilai.
Phase)
Pada tahap ini siswa mengambil intisari (konsep dasar) dari materi yang
dilakukan agar pengetahuan yang diperoleh lebih aplikatif dan bermakna di luar
konteks pembelajaran.
hanya untuk menilai aspek konten sains saja, tetapi juga aspek keterampilan
membuat suatu peta konsekuensi, dimana suatu peta konsep diubah ke dalam
suatu bentuk yang lebih dekat dan fokus dihubungkan dengan pembelajaran
sebagai berikut:
dengan teori motivasi dan kontruktivisme. Salah satu hal yang sangat berpengaruh
terhadap prestasi belajar siswa di sekolah adalah motivasi belajar. Motivasi belajar
yang tinggi berkorelasi dengan hasil belajar yang baik, sehingga berbagai upaya
belajar siswa dapat ditingkatkan, maka dapat diharapkan bahwa prestasi belajar
memberikan energi bagi seseorang dan apa yang memberikan arah bagi
aktivitasnya. Energi dan arah inilah yang menjadi inti dari konsep motivasi.
Motivasi merupakan sebuah konsep yang luas (diffuse), dan seringkali dikaitkan
dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi energi dan arah aktivitas manusia,
untuk belajar bagi siswa dan apa yang memberikan arah bagi aktivitas belajar
tersendiri bagi para guru karena terdapat banyak faktor - baik internal maupun
jenis, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ektrinsik. Motivasi intrinsik adalah
dorongan untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dilalui dengan satu-satunya
jalan adalah belajar, dorongan belajar itu tumbuh dari dalam subyek belajar.
strategi dan metode tertentu ini akan berpengaruh pada motivasi belajar siswa.
Siswa akan termotivasi belajar apabila topik yang dipelajarinya menarik dan
berbasis literasi sains dan teknologi menurut Dahar (1985 dalam Yusuf, 2008)
merupakan salah satu metode pembelajaran yang dapat meningkatkan KPS siswa.
Keterampilan proses sains siswa meningkat karena siswa terlibat langsung dalam
(Samsudin, 2008)
1) seseorang akan belajar paling baik jika secara pribadi terlibat dalam
pengalaman belajar itu,
2) bahwa pengetahuan harus ditemukan oleh tiap-tiap individu apabila
pengetahuan itu hendak dijadikan pengetahuan yang bermakna,
3) bahwa komitmen terhadap belajar paling tinggi apabila tiap-tiap individu bebas
menetapkan tujuan pembelajaran dan secara aktif mempelajari untuk
mencapai tujuan itu dalam suatu kerangka tertentu.
baru, memecahkan masalah, dan menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya.
Hal ini sejalan dengan esensi konstruktivisme bahwa siswa harus menemukan dan
objektif sebagai hasil pengetahuan. Hasil ini berlaku pula untuk keterampilan
proses sains, skor di tiap tahap pembelajaran secara objektif dapat disusun untuk
mencatat aktivitas siswa. Oleh karena itu, pencatatan dilakukan terhadap siswa
ketika mengambil peran dalam diskusi, yaitu ketika siswa membuat keputusan
Maka, observasi oleh guru menjadi alat penilaian penting disamping penilaian
menemukan suatu konsep, prinsip, atau teori untuk mengembangkan konsep yang
keterampilan. Ketiga unsur itu menyatu dalam satu individu dan terampil dalam
bentuk kreatifitas.
berbagai cabang ilmu, maka sudah jelas target itu tidak akan tercapai. Untuk itu
siswa perlu dibekali dengan keterampilan untuk mencari dan mengolah
informasi dari berbagai sumber dan tidak semata-mata dari guru.
b. Bahwa sains itu dipandang dari dua dimensi, yaitu dimensi produk dan
dimensi proses. Dengan melihat alasan ini betapa pentingnya keterampilan
proses bagi siswa untuk mendapatkan ilmu yang akan berguna bagi siswa di
masa yang akan datang (Holil, 2008).
kepada jenis keterampilan proses yang dikemukakan oleh Dahar (1986) yang
1. Mengamati
semua keterampilan proses lainnya (Firman, 1989). Dengan kata lain, melalui
(Funk, 1985; Gage dan Berliner, 1984 dalam Dimyati dan Mudjiono).
2. Menafsirkan
3. Meramalkan
5. Menerapkan Konsep
dipelajarinya pada situasi baru, atau untuk menerangkan apa yang diamatinya
5. Merencanakan Penelitian
6. Mengkomunikasikan
7. Mengajukan pertanyaan
harus dilakukan siswa untuk dapat memiliki keterampilan proses sains dalam
Salah satu materi pokok dalam mata pelajaran kimia adalah laju reaksi.
Laju reaksi adalah jumlah produk reaksi yang dihasilkan atau jumlah
pereaksi yang dikonsumsi persatuan waktu (Sunarya, 2000). Reaksi-reaksi kimia
berlangsung dengan laju yang berbeda-beda. Ada reaksi yang cepat, misalnya
perkaratan kertas. Ada pula reaksi yang lambat, misalnya perkaratan logam.
(Anshory, 2000). Dari pengalaman sehari-hari, dapat diketahui bahwa laju reaksi
dipengaruhi oleh beberapa faktor (Purba, 2006), diantaranya adalah:
1. Konsentrasi
Perbandingan jumlah zat terlarut terhadap jumlah larutan disebut
konsentrasi (kepekatan). Semakin banyak pereaksi (zat terlarut), maka akan
28
semakin besar pula konsentrasi larutan. Suatu larutan dengan konsentrasi tinggi
(pekat) mengandung partikel yang lebih rapat, jika dibandingkan dengan larutan
konsentrasi rendah (encer). Hal ini mengakibatkan mudah dan lebih seringnya
terjadi tumbukan antar partikel. Akibatnya akan lebih banyak terbentuk zat hasil
reaksi atau laju reaksi semakin besar (Anshory, 2000).
Konsentrasi berhubungan dengan frekuensi tumbukan. Semakin besar
konsentrasi, semakin besar pula kemungkinan partikel saling bertumbukan,
sehingga reaksi bertambah cepat. Jadi, laju reaksi semakin besar (Purba, 2006).
2. Suhu
Laju reaksi dapat pula dipercepat atau diperlambat dengan mengubah
suhunya. Umumnya, reaksi dapat berlangsung lebih cepat pada suhu yang lebih
tinggi (Purba, 2006). Dengan naiknya suhu, semakin banyak partikel yang
memiliki energi kinetik di atas harga energi pengaktifan (Ea) (Anshory, 2000).
Energi minimum yang diperlukan untuk menghasilkan tumbukan efektif disebut
energi pengaktifan/energi aktivasi (Ea)
Semua reaksi, eksoterm atau endoterm memerlukan energi pengaktifan.
Reaksi yang dapat berlangsung pada suhu rendah berarti memiliki energi
pengaktifan yang rendah, sebaliknya reaksi yang memiliki energi pengaktifan
besar hanya dapat berlangsung pada suhu tinggi (Purba, 2006).