Anda di halaman 1dari 21

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini memaparkan tinjauan tentang literasi sains dan teknologi (STL),

pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi (STL), penilaian literasi sains

dan teknologi (STL), keterampilan proses sains (KPS), dan materi pembelajaran

topik laju reaksi dengan sub pokok materi faktor-faktor yang mempengaruhi laju

reaksi.

A. Literasi Sains dan Teknologi (STL)

Literasi sains dan teknologi diartikan sebagai pengembangan kemampuan

dalam menggunakan pengetahuan sains (termasuk kerja ilmiah), dalam kehidupan

sehari-hari untuk menyelesaikan masalah dan membuat keputusan dalam

meningkatkan kualitas hidup (Holbrook dan Rannikmae, 1997) dalam (Holbrook,

1998).

Filosofi literasi sains dan teknologi menurut Holbrook (1998) adalah

meningkatkan kemajuan terhadap kurangnya popularitas sains di sekolah dan

untuk lebih menyiapkan siswa dalam kehidupan sosialnya. Dalam pengerjaannya

Literasi sains dan teknologi mencoba meningkatkan kesadaran siswa terhadap

hubungan sains dan teknologi dengan sosial.

Literasi sains dan teknologi memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Literasi sains dan teknologi lebih dari sekedar pengetahuan dan sarana
pengetahuan
2. Literasi sains dan teknologi lebih dari sekedar aplikasi sains dan teknologi atau
pengembangan sikap positif terhadap sains dan teknologi
10

3. Pada dasarnya literasi sains dan teknologi tidak hanya berbicara mengenai
sains dan teknologi.
4. Pembelajaran literasi sains dan teknologi merujuk kepada pembelajaran yang
menyenangkan, mendapatkan penghargaan sains dan kesadarannya.
(Holbrook, 1998)

Grber (2002) mengemukakan bahwa literasi sains merupakan

kompetensi hidup sebagai tujuan pendidikan di sekolah. Literasi sains

merupakan jawaban tentang untuk apa kita belajar sains, yaitu dalam rangka

mengatasi dunia yang kompleks dimana beberapa kompetensi yang spesifik dapat

diperoleh dalam domain sains. Literasi sains merupakan kompetensi yang terkait

dengan aspek pengetahuan, keterampilan, dan nilai serta sikap terhadap sains.

Keterangan lebih jelas dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

Pengetahuan Nilai dan Sikap


Kompetensi
Kompetensi
Mata Pelajaran
Etika
Kompetensi
Epistemologi

KompetensiBelajar
Kompetensi Komunikasi
Kompetensi Sosial
Kompetensi Prosedural

Keterampilan

Gambar 2.1 Model Bagan Pembagian Kompetensi dalam Literasi Sains

Kompetensi mata pelajaran meliputi pengetahuan yang bersifat konseptual

dan pengungkapan, meliputi rangkaian pengetahuan sains dan pemahaman

menyeluruh dari berbagai ranah sains. Kompetensi epistemologi meliputi

pengertian mendalam tentang pendekatan sains yang sistematis sebagai satu cara
11

untuk melihat dunia, dibandingkan dengan teknologi, seni rupa, agama, dan lain

lain.

Kompetensi belajar meliputi kemampuan untuk menggunakan strategi

belajar yang berbeda dan cara mengkonstruksi pengetahuan sains. Kompetensi

sosial meliputi kemampuan untuk bekerjasama dalam tim untuk mengumpulkan,

menghasilkan, memproses atau menginterpretasikan secara ringkas, untuk

menggunakan informasi ilmiah. Kompetensi berkomunikasi meliputi kemampuan

dalam menggunakan dan memahami bahasa ilmiah, pelaporan, membaca dan

berargumen akan informasi ilmiah.

Kompetensi sikap/ etika meliputi pengetahuan norma-norma, pemahaman

tentang relatifitas norma-norma pada waktu dan lokasinya, dan kemampuan untuk

mencerminkan norma-norma dan mengembangkan nilai hirarki.

PISA-OECD (Rustaman et. al., 2003) mengidentifikasi tiga dimensi besar

literasi sains, yakni proses sains, konten sains dan konteks aplikasi sains.

1. Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu
pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan
menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. Termasuk di dalamnya
mengenal jenis pertanyaan yang dapat dan tidak dapat dijawab oleh sains, serta
mengenal kesimpulan yang sesuai dengan bukti yang ada.
2. Konten sains merujuk pada konsep-konsep kunci yang diperlukan untuk
memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam
melalui aktivitas manusia.
3. Konteks aplikasi sains merujuk pada situasi dalam kehidupan sehari-hari yang
menjadi lahan bagi aplikasi proses dan pemahaman konsep sains.

B. Pembelajaran Berbasis Literasi sains dan Teknologi (STL)

Suparno (2001) mendefinisikan belajar sebagai suatu aktivitas yang

menimbulkan perubahan yang relatif permanen sebagai akibat dari upaya-upaya


12

yang dilakukan. Belajar melibatkan proses mengorganisasikan pengalaman-

pengalaman ke dalam pola-pola yang sistematis dan bermakna. Hal ini dikuatkan

oleh Dahar yang menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses dimana

seseorang bertingkah laku aktif dalam menanggapi rangsangan ilmu yang baru,

sehingga memperoleh pengalaman baru. Dalam belajar, seseorang dituntut untuk

menanggapi rangsangan ilmu sehingga menimbulkan sesuatu pengertian baru dari

apa yang didapatkannya juga menjadikan seseorang mengalaminya secara nyata.

Oleh karena itu, keberhasilan dalam proses belajar mengajar adalah perubahan

tingkah laku yang bersangkutan ke arah yang lebih baik.

Pembelajaran merupakan kegiatan belajar mengajar ditinjau dari sudut

kegiatan siswa berupa pengalaman belajar siswa yaitu kegiatan siswa yang

direncanakan guru untuk dialami siswa selama kegiatan belajar mengajar

(Arifin, et al., 2000).

Tujuan pembelajaran pada dasarnya merupakan pemahaman terhadap

konsep atau pencapaian konsep, sehingga langkah pertama yang dilakukan adalah

menentukan konsep-konsep yang akan diajarkan, selanjutnya menganalisis dan

kemudian menentukan strategi pembelajaran yang akan digunakan (Dahar, 1989).

Umumnya, kurikulum kimia cenderung menempatkan materi subyek dulu,

baru kemudian ditunjukkan dengan sedikit aplikasinya. Oleh karena itu, perlu

adanya pembelajaran berdasarkan isu-isu sosial, kemudian mengembangkan

konseptual yang membuat siswa dapat mengapresiasikan sains secara relevan

(Holbrook, 2005).
13

Pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi melibatkan proses

penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan sosial ilmiah. Adapun tujuan

pengembangan pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi adalah untuk

mengembangkan kemampuan kreatif menggunakan pengetahuan (dan cara kerja)

di dalam kehidupan sehari-hari, untuk memecahkan masalah, membuat keputusan

untuk dapat meningkatkan mutu kehidupan (Holbrook dan Rannikmae, 1997)

dalam Holbrook (1998).

Pengambilan keputusan sosiosaintifik menjadi sangat penting dalam

pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi. Siswa menggunakan konsep

kimia yang telah dipelajari untuk sampai kepada pembuatan keputusan

sosiosaintifik. Pengambilan keputusan sosiosaintifik diikuti perubahan dari belajar

konsep dalam konteks materi menjadi belajar konsep dalam suatu konteks sosial

yang memprakarsai dalam pembuatan keputusan sosiosaintifik (Holbrook, 2005).

Menurut Holbrook (1998), pembelajaran berbasis literasi sains dan

teknologi mengikuti beberapa kriteria berikut:

1. Pembelajaran harus mencakup semua tujuan pendidikan


2. Pengilustrasian strategi mengajar dapat dibuat dalam bentuk peta konsekuensi
3. Pengajaran dengan memajukan konsep sains
4. Pembelajaran dimulai dari perspektif sosial yang relevan dengan siswa
5. Pembelajaran menggunakan prinsip konstruktivisme
6. Para siswa dilibatkan secara aktif selama pembelajaran yang berkaitan dengan
hasil yang diharapkan (pemecahan maslah dan pengambilan keputusan
sosiosaintifik)
7. Pendekatan pengajaran yang menggabungkan beberapa pendekatan lain yang
mana siswa dapat berpartisipasi di dalamnya
8. Penilaian dilakukan selama dan setelah pembelajaran agar mendapat hasil
pengukuran yang relevan.

Pembelajaran kimia yang dikembangkan dalam pembelajaran berbasis

literasi sains dan teknologi adalah dengan mengadopsi dari proyek Chemie im
14

context atau ChiK (Nentwig et al., 2002) yaitu sebuah kerja sama proyek

pengkajian dan pengembangan pendidikan sains dari universitas-universitas di

Jerman. Maka landasan teoritis dalam pembelajaran berbasis literasi sains dan

teknologi adalah literasi sains dan teknologi (STL), teori motivasi dan teori

konstruktivisme. Model pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi

dikembangkan berdasarkan tiga prinsip, yaitu berikut:

a. Berorientasi pada konteks dan menanamkan proses belajar pada masalah yang

autentik (sebenarnya). Situasi belajar harus diperhitungkan dan dikaitkan dengan

lingkungan nyata yang benar-benar dirasakan oleh siswa sebagai pembelajar,

sehingga pengetahuan, kompetensi serta isu penting yang diberikan kepada siswa

benar-benar relevan dengan lingkungan nyata (Vanderbilt, 1997 dalam Nentwig et

al., 2002).

b. Menggunakan metodologi pengajaran yang mengembangkan pembelajaran

mandiri maupun cooperative learning. Rancangan lingkungan belajar yang

merangsang/mendorong aktivitas siswa dan menyediakan sumber belajar yang

penting, seperti kumpulan materi, persiapan eksperimen dan mengakses media

baru disusun sedemikian rupa. Besar kemungkinan, aktivitas belajar seperti ini

dapat dijalankan oleh siswa secara mandiri, sedangkan dukungan dan bimbingan

guru ada jika diperlukan saja. Bermula dari situasi yang nyata, aktivitas siswa

dirangsang pada tujuan perluasan pengetahuan dan kompetensi, sehingga masalah

yang diajukan dapat diselesaikan secara lebih efisien dan siswa merasa puas.

Aktivitas seperti ini banyak disajikan dalam bentuk diskusi kelompok kecil.

Percakapan sosial akan membantu untuk mengembangkan konsep umum dan


15

untuk mengecek pemahaman dari teman sebaya. Sebagai akibatnya, peran guru

berubah dari penghubung pengetahuan menjadi salah satu penyedia sumber

pengetahuan dan penentu langkah-langkah proses pembelajaran (Dubs, 1999

dalam Nentwig et al., 2002).

c. Bertujuan pada pengembangan yang sistematis dari konsep dasar kimia. Agar

pengetahuan yang diperoleh lebih aplikatif dan bermakna di luar konteks

pembelajaran, maka diperlukan dekontekstualisasi (Greeno et al., 1993 dalam

Nentwig et al., 2002). Perluasan konsep harus diambil dari intisari pengetahuan.

Hal ini dapat dicapai dengan penggunaan konteks yang beragam, yaitu masalah

yang sama diberikan dalam konteks yang berbeda dimana memerlukan konsep

pengetahuan yang sama untuk pemecahannya (Vanderbilt, 1997 dalam Nentwig et

al., 2002). Kemungkinan lain untuk mendapatkan intisari pengetahuan adalah

dengan menggunakan perspektif/pandangan yang beragam, yaitu masalah yang

sama diberikan dari sudut pandang mata pelajaran sekolah yang berbeda

(Spiro, 1989 dalam Nentwig et al., 2002). Proses pengambilan intisari ini

biasanya tidak dapat dicapai sendiri oleh siswa, sehingga harus dimulai dan

dibimbing oleh guru supaya tercapai keseimbangan antara posisi belajar dan

penguasaan pemahaman konsep pembelajaran yang sistematis.

Model atau rancangan pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi

yang dikembangkan didasarkan pada bagan berikut:


16

KONSEP DASAR : Pendalaman Pemahaman

BAHAN PELAJARAN : Pengetahuan kimia pada tingkat sekolah

KONTEKS : Tema 1 Tema 2 Tema 3 ...

Gambar 2.2 Bagan Rancangan Model Pembelajaran

Tema 1. menyangkut pertanyaan, dimana jawabannya membutuhkan

pengetahuan kimia. Pengetahuan ini diperluas dengan berbagai cara sampai

pertanyaan tersebut dapat terjawab. Perluasan tema 2 akan menggunakan

beberapa pengetahuan ini dan beberapa pengetahuan lain. Tema 3 yang digali

akan membangun pengetahuan yang lebih luas, dan jika suatu saat unsur

pengetahuan dari konsep dasar muncul, maka pengetahuan tersebut direfleksikan

dan digunakan untuk menyusun pengetahuan yang diperoleh secara sistematis

(Nentwig et al., 2002).

Tahapan-tahapan pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi yang

dikembangkan secara berturut-turut ialah tahapan kontak (contact phase), tahap

kuriositi (curiosity phase), tahap elaborasi (elaboration phase), tahap

pengambilan keputusan sosiosaintifik (sosiosaintific decision making phase),

tahap nexus (nexus phase), dan tahap penilaian (assesment phase). Uraian

mengenai tahapan-tahapan pembelajarannya adalah sebagai berikut:


17

a. Tahap Kontak (Contact Phase)

Pada tahap ini dikemukakan isu-isu, masalah yang ada di masyarakat atau

menggali berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar siswa dan mengaitkannya

dengan materi yang akan dipelajari sehingga siswa menyadari pentingnya

memahami materi tersebut. Topik yang dibahas dapat bersumber dari berita,

artikel atau pengalaman siswa sendiri.

b. Tahap Kuriositi (Curiosity Phase)

Pada tahap ini dikemukakan pertanyaan-pertanyaan, dimana jawabannya

membutuhkan pengetahuan kimia yang dapat mengundang rasa penasaran dan

keingintahuan siswa.

c. Tahap Elaborasi (Elaboration Phase)

Pada tahap ini dilakukan eksplorasi, pembentukan dan pemantapan konsep

sampai pertanyaan pada tahap kuriositi dapat terjawab. Eksplorasi, pembentukan

dan pemantapan konsep tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode,

misalnya ceramah bermakna, diskusi dan kegiatan praktikum, atau gabungan dari

ketiganya. Melalui kegiatan inilah berbagai kemampuan siswa akan tergali lebih

dalam, baik aspek pengetahuan, keterampilan proses maupun sikap dan nilai.

d. Tahap Pengambilan Keputusan Sosiosaintifik (Sosiosaintific Decision Making

Phase)

Pada tahap ini siswa mengambil intisari (konsep dasar) dari materi yang

dipelajari kemudian menggunakan konsep tersebut yang telah dipelajari untuk

membuat keputusan sosiosaintifik. Siswa mengambil keputusan sosiosaintifik dari

kuriositi dalam konteks sosial yang dikemukakan (Holbrook, 2005).


18

e. Tahap Nexus (Nexus Phase)

Pada tahap ini siswa mengaplikasikannya pada konteks yang lain

(dekontekstualisasi), artinya masalah yang sama diberikan dalam konteks yang

berbeda dimana memerlukan konsep pengetahuan yang sama untuk

pemecahannya (Vanderbilt, 1997 dalam Nentwig et al., 2002). Tahap ini

dilakukan agar pengetahuan yang diperoleh lebih aplikatif dan bermakna di luar

konteks pembelajaran.

f. Tahap Evaluasi (Evaluation Phase)

Pada tahap ini dilakukan evaluasi pembelajaran secara keseluruhan yang

berguna untuk menilai keberhasilan belajar siswa. Evaluasi dilakukan bukan

hanya untuk menilai aspek konten sains saja, tetapi juga aspek keterampilan

proses sains dan konteks aplikasi sains.

Gambaran mengenai proses pengambilan keputusan sosiosaintifik dalam

pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi dapat diilustrasikan dengan

membuat suatu peta konsekuensi, dimana suatu peta konsep diubah ke dalam

suatu bentuk yang lebih dekat dan fokus dihubungkan dengan pembelajaran

kemudian diubah menjadi suatu bentuk yang menghimpun pembuatan keputusan

sosiosaintifik (Holbrook, 2005).

Pada intinya, pendekatan pembelajaran STL adalah dengan menggunakan

peta konsekuensi. Dengan langkah-langkah pembuatan peta konsekuensi adalah

sebagai berikut:

1. Membuat suatu peta konsep materi yang mungkin,


2. Mengubah peta konsep materi menjadi suatu bentuk yang dekat dan fokus
terhadap pembelajaran,
19

3. Menambahkan komponen-komponen pemecahan masalah (problem solving)


pada peta konsep materi, tetapi masih dalam fokus kemampuan intelektual
siswa.
4. Memperkenalkan suatu relevan concern dan menambahkan komunikasi yang
kreatif pada peta konsep materi,
5. Menambahkan pengambilan keputusan sosiosaintifik untuk mengubah peta
konsep materi menjadi peta konsekuensi.
(Holbrook, 2005)

Pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi sangat berhubungan erat

dengan teori motivasi dan kontruktivisme. Salah satu hal yang sangat berpengaruh

terhadap prestasi belajar siswa di sekolah adalah motivasi belajar. Motivasi belajar

yang tinggi berkorelasi dengan hasil belajar yang baik, sehingga berbagai upaya

dilakukan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa di sekolah. Jika motivasi

belajar siswa dapat ditingkatkan, maka dapat diharapkan bahwa prestasi belajar

siswa juga akan meningkat.

Motivasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa yang

memberikan energi bagi seseorang dan apa yang memberikan arah bagi

aktivitasnya. Energi dan arah inilah yang menjadi inti dari konsep motivasi.

Motivasi merupakan sebuah konsep yang luas (diffuse), dan seringkali dikaitkan

dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi energi dan arah aktivitas manusia,

misalnya minat (interest), kebutuhan (need), nilai (value), sikap (attitude),

aspirasi, dan insentif (Gage & Berliner, 1984).

Dengan pengertian istilah motivasi seperti tersebut di atas, kita dapat

mendefinisikan motivasi belajar siswa sebagai suatu yang memberikan energi

untuk belajar bagi siswa dan apa yang memberikan arah bagi aktivitas belajar

siswa. Strategi meningkatkan motivasi belajar siswa sering menjadi masalah


20

tersendiri bagi para guru karena terdapat banyak faktor - baik internal maupun

eksternal - yang mempengaruhi motivasi belajar siswa (Sutrisno, 2007).

Yamin (2004 dalam Fitriyanti, 2007) membedakan motivasi menjadi dua

jenis, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ektrinsik. Motivasi intrinsik adalah

dorongan untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dilalui dengan satu-satunya

jalan adalah belajar, dorongan belajar itu tumbuh dari dalam subyek belajar.

Sedangkan motivasi ekstrinsik merupakan kegiatan belajar yang tumbuh dari

dorongan dan kebutuhan seseorang tidak secara mutlak berhubungan dengan

kegiatan belajarnya sendiri.

Guru menerapkan prinsip-prinsip motivasi belajar siswa dalam desain

pembelajaran, yaitu ketika memilih strategi dan metode pembelajaran. Pemilihan

strategi dan metode tertentu ini akan berpengaruh pada motivasi belajar siswa.

Siswa akan termotivasi belajar apabila topik yang dipelajarinya menarik dan

berguna bagi dirinya (Holbrook, 2005). Metode praktikum dalam pembelajaran

berbasis literasi sains dan teknologi menurut Dahar (1985 dalam Yusuf, 2008)

merupakan salah satu metode pembelajaran yang dapat meningkatkan KPS siswa.

Karena dalam praktikum, siswa melakukan percobaan tentang suatu hal,

mengamati prosesnya serta menuliskan hasil percobaannnya, kemudian

pengamatannya disampaikan di kelas dan dievaluasi oleh guru Rosstiyah (2001).

Keterampilan proses sains siswa meningkat karena siswa terlibat langsung dalam

proses pembelajaran (Rustaman, et al., 2005 dalam Juhaeti, 2008).

Pengertian belajar menurut konstruktivisme adalah perubahan proses

mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman nyata yang dialami siswa


21

sebagai hasil interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Pengetahuan yang mereka

peroleh sebagai hasil interpretasi pengalaman yang disusun dalam pikirannya.

(Samsudin, 2008)

Sementara konstruktivisme menekankan perkembangan konsep dan

pengertian yang mendalam, pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dibuat

siswa. Para ahli konstruktivis menyatakan bahwa belajar melibatkan konstruksi

pengetahuan saat pengalaman baru diberi makna oleh pengetahuan terdahulu.

Menurut Ibrahim, et al (dalam Samsudin, 2008). Ada tiga asumsi yang

menggambarkan konstruktivisme dalam belajar:

1) seseorang akan belajar paling baik jika secara pribadi terlibat dalam
pengalaman belajar itu,
2) bahwa pengetahuan harus ditemukan oleh tiap-tiap individu apabila
pengetahuan itu hendak dijadikan pengetahuan yang bermakna,
3) bahwa komitmen terhadap belajar paling tinggi apabila tiap-tiap individu bebas
menetapkan tujuan pembelajaran dan secara aktif mempelajari untuk
mencapai tujuan itu dalam suatu kerangka tertentu.

Dalam mengonstruksi pengetahuannya sendiri dan memberi makna

melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memunculkan ide-ide

baru, memecahkan masalah, dan menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya.

Dalam ide-ide konstruktif, biarkan siswa mengonstruksi sendiri pengetahuannya.

Hal ini sejalan dengan esensi konstruktivisme bahwa siswa harus menemukan dan

mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain. Apabila

dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri (Samsudin, 2008).


22

C. Penilaian Literasi Sains dan Teknologi (STL)

Penilaian yang mengukur capaian STL siswa di tiap tahap pembelajaran

dilakukan untuk mengetahui hasil atau kemajuan siswa. Penilaian dibutuhkan

untuk menghubungkan dengan tujuan pembelajaran, juga dapat digunakan sebagai

pedoman dalam menetapkan keterampilan siswa dalam bermacam-macam domain

STL. Penilaian formatif dilakukan di semua bagian dalam pengembangan materi

pembelajaran dan digunakan untuk menentukan penguasaan STL siswa secara

objektif sebagai hasil pengetahuan. Hasil ini berlaku pula untuk keterampilan

proses sains, skor di tiap tahap pembelajaran secara objektif dapat disusun untuk

menentukan gambaran peningkatan penguasaan STL siswa di tiap area

keterampilan proses sains. Pengukuran penilaian dilakukan tidak hanya seperti

mencatat aktivitas siswa. Oleh karena itu, pencatatan dilakukan terhadap siswa

ketika mengambil peran dalam diskusi, yaitu ketika siswa membuat keputusan

rasional yang menunjukkan penguasaan belajar siswa sebagai hasil pembelajaran.

Di samping penilaian formatif, tes sumatif dapat pula digunakan untuk

mengukur peningkatan penguasaan STL siswa.

Penilaian terhadap siswa dilakukan sebelum dan sesudah pembelajaran.

Penilaian sebelum proses pembelajaran dapat digunakan dalam bentuk yang

bermacam-macam yang lebih relevan dari mengukur keterampilan.

Maka, observasi oleh guru menjadi alat penilaian penting disamping penilaian

interaktif secara lisan dan catatan tertulis siswa (Holbrook, 1998).


23

D. Keterampilan Proses Sains (KPS)

Keterampilan proses merupakan keseluruhan keterampilan ilmiah yang

terararah (baik kognitif maupun psikomotor) yang dapat digunakan untuk

menemukan suatu konsep, prinsip, atau teori untuk mengembangkan konsep yang

telah ada sebelumnya ataupun untuk melakukan penyangkalan terhadap suatu

penemuan (Indrawati dalam Shahrial, 2007).

Keterampilan proses diperoleh dari latihan-latihan mental, fisik dan sosial

yang mendasar sebagai penggerak kemampuan-kemampuan yang lebih tinggi.

Kemampuan-kemampuan mendasar yang telah dikembangkan dan telah terlatih

lama-kelamaan akan menjadi suatu keterampilan, sedangkan pendekatan

keterampilan proses adalah cara memandang anak didik sebagai manusia

seutuhnya. Cara memandang ini dijabarkan dalam kegiatan belajar mengajar

dengan memperhatikan pengembangan pengetahuan, sikap, nilai serta

keterampilan. Ketiga unsur itu menyatu dalam satu individu dan terampil dalam

bentuk kreatifitas.

Dalam pembelajaran IPA, keterampilan-keterampilan proses sains adalah

keterampilan-keterampilan yang dipelajari siswa saat mereka melakukan inkuiri

ilmiah, mereka menggunakan berbagai macam keterampilan proses, bukan hanya

satu metode ilmiah tunggal (Nur:2002a,1 dalam Holil, 2008).

Dalam menerapkan keterampilan proses dasar sains dalam kegiatan belajar

mengajar, ada dua alasan yang melandasinya yaitu:

a. Bahwa dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka laju


pertumbuhan produk-produk ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi pesat
pula, sehingga tidak mungkin lagi guru mengajarkan semua fakta dan konsep
kepada siswa. Jika guru tetap mengajarkan semua fakta dan konsep dari
24

berbagai cabang ilmu, maka sudah jelas target itu tidak akan tercapai. Untuk itu
siswa perlu dibekali dengan keterampilan untuk mencari dan mengolah
informasi dari berbagai sumber dan tidak semata-mata dari guru.
b. Bahwa sains itu dipandang dari dua dimensi, yaitu dimensi produk dan
dimensi proses. Dengan melihat alasan ini betapa pentingnya keterampilan
proses bagi siswa untuk mendapatkan ilmu yang akan berguna bagi siswa di
masa yang akan datang (Holil, 2008).

Sains sebagai produk yaitu pemberian pengetahuan ilmiah yang dianggap

penting untuk diketahui siswa. Sedangkan sains sebagai proses berkonsentrasi

pada sains sebagai metoda pemecahan masalah untuk mengembangkan keahlian

siswa dalam memecahkan masalah (Sumintono, 2008).

Dalam penelitian ini, keterampilan proses yang digunakan mengacu

kepada jenis keterampilan proses yang dikemukakan oleh Dahar (1986) yang

meliputi aspek mengamati, menafsirkan, meramalkan, menerapkan konsep,

merencanakan penelitian, mengkomunikasikan, dan mengajukan pertanyaan.

Berikut ini adalah penjelasan aspek keterampilan proses tersebut yaitu:

1. Mengamati

Mengamati ialah melakukan pengumpulan data tentang fenomena atau

peristiwa dengan mengunakan indranya. Mengamati merupakan dasar bagi

semua keterampilan proses lainnya (Firman, 1989). Dengan kata lain, melalui

observasi kita mengumpulkan data tentang tanggapan-tanggapan kita

(Funk, 1985; Gage dan Berliner, 1984 dalam Dimyati dan Mudjiono).

2. Menafsirkan

Menafsirkan hasil pengamatan ialah menarik kesimpulan tentatif dari data

yang dicatatnya. Keterampilan ini mencakup: dari seperangkat data yang

dikumpulkan, menemukan pola hubungan, membedakan pernyataan yang


25

menunjukkan kesimpulan dari pernyataan yang menggambarkan hasil

pengamatan, menarik kesimpulan untuk menerangkan seperangkat data hasil

pengamatan, memilih data yang menunjang suatu kesimpulan (Firman, 1989).

3. Meramalkan

Ramalan dalam IPA ialah prakiraan yang didasarkan pada hasil

pengamatan yang reliabel. Ramalan berarti pula mengemukakan apa yang

mungkin terjadi pada keadaan yang belum diamati berdasarkan penggunaan

pola yang ditemukan sebagai hasil pengamatan (Firman, 1989).

5. Menerapkan Konsep

Menerapkan konsep ialah menggunakan generalisasi yang telah

dipelajarinya pada situasi baru, atau untuk menerangkan apa yang diamatinya

(Firman, 1991). Apabila seorang siswa mampu menjelaskan peristiwa baru

dengan menggunakan konsep yang telah dimiliki, berarti ia telah menerapkan

prinsip yang telah dipelajarinya (Rustaman., et al., 2003).

5. Merencanakan Penelitian

Merencanakan penelitian ialah merancang kegiatan yang dilakukan untuk

menguji hipotesis, memeriksa kebenaran atau memperlihatkan prinsip-prinsip

atau fakta-fakta yang telah diketahuinya (Firman, 1989).

6. Mengkomunikasikan

Keterampilan menyampaikan gagasan atau hasil penemuannya kepada

orang lain. Keterampilan mengkomunikasikan mencakup kemampuan

membuat grafik, diagram, bagan, tabel, karangan, laporan, serta menyampaikan

gagasan secara lisan (Firman, 1989).


26

7. Mengajukan pertanyaan

Keterampilan proses mengajukan pertanyaan dapat diperoleh siswa dengan

mengajukan pertanyaan apa, bagaimana atau mengapa, pertanyaan untuk

meminta penjelasan atau pertanyaan yang berlatar belakang hipotesis

Dalam uraian di atas, Dahar (1986) menyusun kegiatan-kegiatan yang

harus dilakukan siswa untuk dapat memiliki keterampilan proses sains dalam

suatu tabel seperti berikut:

Tabel 2.1 Aspek-Aspek Keterampilan Proses IPA

No Keterampilan Proses Sub Keterampilan Proses IPA


IPA
1 Mengamati Mengamati dengan Indera
Mengumpulkan fakta-fakta yang
relevan
Mencari kesamaan dan perbedan
2 Menafsirkan Mencatat setiap pengamatan secara
terpisah
Menghubungkan hasil-hasil
pengamatan
Menarik kesimpulan
3 Meramalkan Berdasarkan hasil pengamtan dapat
mengungkapkan apa yang terjadi
4 Menerapkan Konsep Menerapkan konsep dalam situasi baru
Menggunakan konsep pada
pengalaman baru untuk menjelaskan
apa yang sedang terjadi
Menyusun hipotesis
5 Merencanakan Penelitian Menentukan alat, bahan dan sumber
yang akan digunakan dalam penelitian
Menentukan variabel-variabel
Menentukan variabel mana yang harus
dibuat tetap, dan mana yang berubah.
Menentukan apa yang akan diamati,
diukur dan ditulis.
Menentukan cara dan langkah kerja.
Menentukan bagaimana mengolah hasil
pengamatan untuk mengambil
kesimpulan
27

6 mengkomunikasikan Menyusun dan menyampaikan laporan


secara sistematis dan jelas.
Menjelaskan hasil percobaan atau
pengamatan.
Mendiskusikan hasil percobaan.
Menggambar data dengan grafik, dan
lain-lain.
7 Mengajukan Pertanyaan Bertanya apa, bagaimana dan mengapa.
Bertanya untuk meminta penjelasan
Mengajukan pertanyaan yang berlatar
belakang hipotesis.
(Yusuf, 2007)

E. Tinjauan Materi Pokok Laju Reaksi

Salah satu materi pokok dalam mata pelajaran kimia adalah laju reaksi.

Sedangkan kompetensi dasarnya adalah mendeskripsikan pengertian laju reaksi

dengan melakukan percobaan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi laju

reaksi (Depdiknas, 2006).

Sub materi pokok faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi disajikan

dalam uraian materi berikut:

Faktor-Faktor yang Dapat Mempengaruhi Laju Reaksi dan Hubungannya

dengan Teori Tumbukan

Laju reaksi adalah jumlah produk reaksi yang dihasilkan atau jumlah
pereaksi yang dikonsumsi persatuan waktu (Sunarya, 2000). Reaksi-reaksi kimia
berlangsung dengan laju yang berbeda-beda. Ada reaksi yang cepat, misalnya
perkaratan kertas. Ada pula reaksi yang lambat, misalnya perkaratan logam.
(Anshory, 2000). Dari pengalaman sehari-hari, dapat diketahui bahwa laju reaksi
dipengaruhi oleh beberapa faktor (Purba, 2006), diantaranya adalah:
1. Konsentrasi
Perbandingan jumlah zat terlarut terhadap jumlah larutan disebut
konsentrasi (kepekatan). Semakin banyak pereaksi (zat terlarut), maka akan
28

semakin besar pula konsentrasi larutan. Suatu larutan dengan konsentrasi tinggi
(pekat) mengandung partikel yang lebih rapat, jika dibandingkan dengan larutan
konsentrasi rendah (encer). Hal ini mengakibatkan mudah dan lebih seringnya
terjadi tumbukan antar partikel. Akibatnya akan lebih banyak terbentuk zat hasil
reaksi atau laju reaksi semakin besar (Anshory, 2000).
Konsentrasi berhubungan dengan frekuensi tumbukan. Semakin besar
konsentrasi, semakin besar pula kemungkinan partikel saling bertumbukan,
sehingga reaksi bertambah cepat. Jadi, laju reaksi semakin besar (Purba, 2006).
2. Suhu
Laju reaksi dapat pula dipercepat atau diperlambat dengan mengubah
suhunya. Umumnya, reaksi dapat berlangsung lebih cepat pada suhu yang lebih
tinggi (Purba, 2006). Dengan naiknya suhu, semakin banyak partikel yang
memiliki energi kinetik di atas harga energi pengaktifan (Ea) (Anshory, 2000).
Energi minimum yang diperlukan untuk menghasilkan tumbukan efektif disebut
energi pengaktifan/energi aktivasi (Ea)
Semua reaksi, eksoterm atau endoterm memerlukan energi pengaktifan.
Reaksi yang dapat berlangsung pada suhu rendah berarti memiliki energi
pengaktifan yang rendah, sebaliknya reaksi yang memiliki energi pengaktifan
besar hanya dapat berlangsung pada suhu tinggi (Purba, 2006).

Gambar 2.3 Grafik energi aktivasi pada reaksi endoterm dan


reaksi eksoterm
(Purba, 2006)
29

3. Luas Permukaan Zat


Zat padat yang berbentuk serbuk memiliki permukaan yang lebih luas
dibandingkan dengan zat padat yang berupa kepingan sehingga bidang sentuhnya
lebih banyak untuk bertumbukan dengan zat lain. Akibatnya, reaksi zat berbentuk
serbuk lebih cepat daripada zat berbentuk kepingan (Anshory, 2000).
Luas permukaan berhubungan dengan frekuensi tumbukan. Semakin luas
permukaan, maka semakin banyak tumbukan, reaksi semakin cepat atau laju
reaksi besar (Purba, 2006).
4. Katalis
Katalis adalah suatu zat yang mempercepat reaksi tanpa dikonsumsi.
Katalis bukan pereaksi, tetapi dalam pelaksanaannya turut andil dalam salah satu
tahap mekanisme reaksi. Katalis memasuki satu tahap dan keluar pada tahap
berikutnya. Katalis menyediakan jalan baru untuk terjadinya reaksi, yaitu suatu
jalan reaksi dengan energi aktivasi rendah.
Penambahan katalis adalah membuat jalan baru bagi reaksi dengan energi
aktivasi rendah, sebab dengan katalis memungkinkan reaksi terjadi dengan energi
aktivasi rendah, sehingga lebih banyak fraksi molekul yang bertumbukan secara
efektif pada suhu normal, dan laju reaksi makin cepat. Walaupun katalis
menurunkan energi aktivasi reaksi, tetapi tidak mempengaruhi perbedaan energi
antara produk dan pereaksi, dengan kata lain, tidak mengubah entalpi pereaksi
(Sunarya, 2000).

Anda mungkin juga menyukai