Gila, kuliah saja tidak becus. Sudah berapa kali kamu pindah kampus? Kamu bilang di Jember
kamu tak betah lalu di Malang ada apalagi? Masih juga tidak betah? Kamu mau kukirim ke
Pesantren?
Kamu ini bagaimana? Berapa juta lagi yang bakal kamu ambil dari tulangku?
Amarah ayahku tak bisa terkendali lagi. Hampir saja aku kena tempeleng ayahku, kalau ibu tidak
segera memelukku.
Buat apa kamu lindungi anak yang sudah mencoreng muka keluarga kita? bentak ayah ke ibu.
Istighfar Yah, ini adalah anak kita, amanah yang Allah berikan kepada kita. Jawab ibu sambil
terus merangkulku.
Ayah pun beranjak dan bilang, tidak, dia telah gagal menjadi anakku.
**
Bu, aku tak mau meneruskan kuliahku, aku jenuh, aku tak mau jadi guru. Kirimlah aku ke tempat
paman saja, siapa tahu aku dapat pekerjaan disana.
Kenapa kamu tak mau jadi guru. Kita adalah keturunan pendidik, itu takdir dari garis keturunan
kita Le. Kenapa juga kamu harus bekerja? Ayahmu masih sanggup menyekolahkanmu hingga S2.
Mulutku seperti terkunci, aku terdiam dan air mataku mulai menetes.
Le, menjadi guru itu adalah pekerjaan yang mulia. Yaa memang gajinya tak sebesar pengusaha
ataupun anggota dewan, juga tak segagah polisi, TNI ataupun ABRI. Namun, peran guru tidaklah bisa
dianggap remeh. Sebenarnya cita-citamu itu apa toh Le? Apa kamu mau masuk ke Pesantren saja,
seperti sedulur-sedulurmu?
Mboten bu, aku tak mau masuk pesantren. Buat apa masuk Pesantren kalau akhirnya nanti cuman
jadi Khotib di Masjid sebelah. Bu, aku mau jadi penulis, membuat puisi, novel atau buku kumpulan
cerpenku. Itu cita-citaku bu. Jawabku sambil sesegukan.
Aku berpikir menjadi penulis itu adalah sebuah pekerjaan yang mengasikkan. Menerbitkan sebuah
buku ataupun novel yang best-seller, terkenal dan duitnya juga tak sedikiti toh. Apalagi kalau tiap
minggu cerpenku bisa muncul dimajalah-majalah, dibayar pula. Bagiku itulah hobi yang bisa menjadi
sebuah pekerjaan.
Le, apa kamu tidak tahu bahwa penyair itu banyak dosanya? Mereka menuliskan sajak-sajak indah
untuk kekasihnya. Sedangkan kepada Allah, dia tak pernah memujiNya. Sedengkan penulis cerpen
ataupun novel itu tidaklah begitu jelas. Yaa kalau karyanya bisa laku, kalau tidak bagaimana? Mau
makan apa nanti?
Sudah sudah kamu mandi dulu sana, kamu baru sampai rumah juga kan?
Enggeh Bu. Jawabku yang langsung berdiri dan segera menuju kamar mandi.
**
Tarkhim dari Masjid sebelah sudah mulai terdengar. Selepas sholat isya tadi sampai sekarang aku
mengurung diri di kamar, aku masih bergulat dengan batinku. Aku harus bagaimana? Aku tak mau
masuk Pesantren, juga bakal sia-sia jika kuteruskan kuliah: aku bakal jadi guru dan aku tak mau itu.
Sebuah rencana tiba-tiba muncul, Bagaimana kalau aku pergi dari rumah. Mencari tempat yang
jauh yang begitu tenang untuk berpikir. Jogja! Ya, aku akan kesana. Bukankah beberapa penulis dan
penyair terkenal menjadikannya sebagai rumah kedua, sebut saja: Ws Rendra, Goenawan Mohamad,
Emha Ainun Najib. Umbu Landu Paranggi juga sempat menggelandang disana bukan?
**
Entah jam berapa aku tertidur, tapi sekarang sudah jam 9 pagi. Keadaan rumah begitu sepi. Ayah,
Ibu dan Kakakku tidak di rumah, maklumlah mereka adalah guru jadi sudah berangkat begitu pagi.
Sedangkan adikku pasti sudah berangkat ke Sekolah bersama Kakakku.
Aku kembali ingat tentang rencana shubuh tadi. Sepertinya ini saat yang tepat.
Aku akan mengirim pesan ke adikku, untuk menyampaikan maafku kepada ibu dan memohon
pamit. Lantas aku berangkat. Batinku sepertinya mulai berdamai.
Tanpa pikir panjang aku mulai mengemasi beberapa kaos dan celana kedalam ransel. Lalu bersiap
mandi.
Sekitar pukul sepuluh aku telah bersiap menuju stasiun kota. Dengan perasaan yang entah kenapa
bisa membuatku meneteskan air mata, aku berpamitan pada rumahku: tempat dimana aku lahir dan
tumbuh besar, tempat dimana aku merasakan sebuah kenyamanan ketika aku bertemu masalah di luar.
Dan pada halaman, aku kembali melihat bagaimana seorang Ayah yang terus memberi semangat dan
menyuruhku tak mudah menyerah ketika aku belajar naik sepeda, tempat dimana aku melihat Ayah
mengajariku bermain gasing, tempat dimana ibu yang tiap pagi menyapu.
Tidak! Aku harus melupakan itu sejenak. Aku harus mengejar impianku dan pulang tanpa harus
memberi kecewa lagi- untuk Ayah. Aku harus berangkat!
Akhirnya kakiku pun mulai melangkah meskipun harus dengan perasaan yang begitu berat.
Sambil jalan aku pun juga mencari seseorang yang dengan baik hati mau memberiku tumpangan
untuk ke Stasiun. Dengan menumpang dari beberapa orang akupun sampai di Stasiun. Disana aku
berpikir, naik bus atau kereta?. Aku bertanya ke petugas berapa harga tiket termurah untuk sampai
ke Jogja, maklumlah karena tabungan yang kumiliki tak begitu banyak jadi aku mencari tiket yang
paling murah. Dan yang paling murah ternyata seharga Rp 50.000, jika kubandingkan dengan harga
tiket bus, ini lebih murah. Dan aku memilih naik kereta.
Aku memesan satu tiket ke Jogja dan kereta berangkat pukul 1 siang. Sekarang masih setengah 12,
masih bisa cari bekal buat cemilan.
Tak seperti lirik lagu Iwan Fals, kali ini kereta tepat waktu. Pukul 13.00 WIB kereta telah bersiap
untuk berangkat.
Bismillah, kutinggalkan segala kenanganku disini, semoga berjalan dengan baik. Ayah, Ibu maaf
aku telah membuat kalian kecewa. Aku berjanji suatu saat aku pasti bisa membuat kalian bangga.
Keretapun berangkat.
Didalam kereta aku berdoa, Tuhan, jika apa yang kulakukan ini salah maka jangan pernah
membuatku pulang ke rumah begitu cepat. Namun, jika Engkau meridhoi apa yang kulakukan maka
berikan aku pelajaran yang begitu berharga. Aamiin.
Aku memilih tidur daripada harus berpikir bagaimana aku hidup di Jogja-entah berapa lama- hanya
dengan uang Rp 70.000.
**
JOGJA
Aku turun dari kereta dan segera mencari warung kopi sekalian numpang untuk mengisi batrei HP.
Setelah berjalan-jalan, akhirnya ketemu warung yang mau memberiku tempat charging.
Mas, Ibu nangis tadi waktu pesan e sampean tak bacakan ke ibu. Ibu pesen beberapa helai rambut
ibu yang dikasih ke sampean jangan sampai hilang, teruslah jujur dan yang terakhir ibu sudah ikhlas.
Aku membaca pesan itu dan tak sanggup lagi membendung tangisku. Jiwaku mulai goyah, disatu
sisi aku mau menyepi dahulu, mencari ketenengan dan juga menggapai impianku. Sedangkan disisi
lain, aku telah meninggalkan seseorang yang begitu menyayangiku, meninggalkan surgaku, entah
untuk berapa lama.
**
Baru satu malam saja di Jogja sudah membuatku bingung, mau tidur dimana aku? Uang juga sudah
berkurang buat ngopi dan makan tadi.
Jalan-jalan dulu lah, siapa tahu nanti ketemu orang baik dan bisa numpang tidur di tempatnya.
Pikirku.
Sampai pukul 01.00 aku belum bisa mencari tumpangan untuk tidur,
Bagaimana ini? Masa harus tidur depan ruko? Kalau ada satpol PP bagaimana?
ah tak apalah, toh sepertinya banyak gelandangan juga yang tidur depan ruko. Aku mulai
menenangkan diri.
Sambil berjalan kesana kemari, aku mencari ruko yang telah tutup yang terasnya bisa kupakai untuk
tidur.
Aku membaringkan tubuhku yang mulai kelelahan dan akhirnya pulas tidurku.
Mas mas wes shubuh, toko e arep e tak buka. (Mas mas sudah shubuh, tokonya mau saya buka)
Sambil membuka tokonya orang itu bilang, sampean ke Masjid Alun-Alun saja mas, disana
sampean bisa mandi, sholat dan istirahat.
Iya mas, terima kasih. Sahutku sambil berdiri dan mengemasi barang-barangku.
**
Sehari, dua hari, tiga hari hidup di Jogja seperti ternyata sulit. Uang juga kian berkurang, sedangkan
aku tak mendapati apa-apa.
Malam ini aku mau bincang-bincang sama penjual kopi asongan sajalah.
Di sekitar Monumen Perjuangan memang terdapat banyak pejual kopi keliling. Aku menghampiri
penjual yang kelihatan masih muda daripada yang lainnya.
Aku tersenyum.
Darimana mas?
Purworejo, tapi istri, anak sama ibuku tak boyong kesini mas.
Ya enggak sih. Tapi memang nggak bisa aja jauh dari mereka.
Kami ngobrol begitu asyik, sampai lupa waktu sudah begitu larut, sekarang sudah pukul 23.45 WIB.
Wah sudah malam, aku harus pulang mas. Oh ya namanya sampean siapa? Aku Slamet.
Sampean tidur mana? Kalau mau sih monggo ikut ke kontrakanku. Mas Slamet menawariku.
Ah ngrepotin mas. Aku ga enak sama keluarga sampean. Aku nyari teras ruko aja mas Aku
berlagak menolak tawarannya.
Akhirnya akupun ikut mas Slamet ke kontrakannya, ya meskipun dengan sedikit agak malu sih,
hehe.
Sesampainya di kontrakan, mas Slamet membuka pintu dan menyuruhku masuk. Tempatnya sih tak
begitu besar, tapi begitu tertata dengan rapi.
Tiba-tiba ada perempuan setengah tua keluar dari kamar depan sambil membenahi rambutnya yang
telah banyak beruban.
Enggeh buk, dia dari Jombang mau menginap disini. Kata mas Skamet.
Silahkan mas di makan, maaf cuma itu yang ada. Oh ya, tadi itu ibuku. Aku nggak tega ninggal ibu
sendirian di sana, jadi ya tak boyong sekalian kesini.
Emangnya di Purworejo nggak ada saudara atau siapa gitu? Ayahnya mas Slamet kemana?
tanyaku
Bapak meninggal waktu aku kelas 2 SMP dan mulai itu ibu yang jadi tulang punggung keluarga
kami
Mbakku ikut suaminya ke Jakarta. Aku anak terakhir Jawab mas Slamet sambil nguyah pisang
goreng.
Lanjutnya, bagaimana lagi? Hutang anak kepada orang tua kan nggak bakal bisa lunas. Bisanya ya
seperti ini, ketika ibu sudah mulai tua, akulah yang harus merawatnya, menjaganya. Bukankah ibu
merawat dan menjaga kita sambil berharap kebahagian kita, sedangkan kita menjaga dan merawat ibu
sambil menunggu kematiannya, iya kan?
Aku terdiam, seperti ada yang menusuk hatiku begitu dalam. Ada jeritan yang sepertinya ingin
keluar IBU, maafkan anakmu ini.
Kalau saya boleh bilang sih, kita terkadang terlalu sibuk mencari pahala kesana kemari, sedangkan
surga ditelapak kaki ibu saja kita abaikan. Lanjutnya
Aku pun mulai tak tahan. Aku berhenti menguyah makanan dan berkata,
Mas aku besok mau pulang ke Jombang. Nanti tolong antar ke terminal ya?
Owalah gampang mas. Sekarang sampean tidur aja dulu, sebentar saya ambilkan selimut.
**
Pulang.
Sekitar pukul 6 pagi aku terbangun dan aku kaget ketika ibunya mas Slamet sudah ada didepanku
sambil menuangkan kopi panas.
Loh baru bangun ya Le. Nyenyak banget sampean tidurnya. Oh ya tadi Slamet bilang minta maaf
nggak bisa nganter ke terminal. Tapi dia sudah nyuruh Seno, anaknya tetangga buat nganter. Kalau
sampean, sudah siap nanti Seno tak panggil e. Katanya
Enggeh, mboten nopo-nopo (iya bu, tidak apa-apa). Maaf merepotkan. Jawabku sambil
tersenyum.
Aku sudah berkemas dan bersiap untuk diantar ke terminal oleh Seno.
Lantas berpamitan,
Bu, saya pulang dulu. Saya rindu sama ibu saya di rumah. Saya pamit ya bu.
Iya, hati-hati Le. Ibu cuma mau pesen. Sekeras apapun seorang Ayah, dia tetaplah kaki yang
menguatkan kakimu dan ingat bahwa doa ibu adalah sebaik-baiknya doa.
Sesampainya di terminal aku menuju loket dan bertanya tiket ke Jombang harganya berapa,
Aku merogoh kantongku, uang yang tadi diberi oleh ibunya mas slamet aku hitung.
Alhamdulillah lebih.
Di dalam bus selama perjalanan, aku terus mengingat pesan ibunya mas Slamet dan terus
meyalahkan diriku sendiri.
Aku tertidur.
**
Kembali ke Jombang
Aku sampai di Jombang sekitar pukul 18.00 WIB. Turun di terminal Jombang, lantas mencari ojek
untuk pulang ke rumah.
Aku tak berani turun depan rumah langsung, abang ojek kusuruh menurnkan di depan rumah
tetangga.
Aku berjalan menuju pintu depan rumah. Tiba-tiba aku seperti melihat masa kecilku lagi. Ketika
maghrib, aku masih bermain di halaman depan Ibu menyuruhku untuk masuk. Aku juga seperti
melihat ketika Ayah mengajakku ke Masjid dan membenarkan songkokku yang miring.
Aku menangis. Aku berlari masuk rumah sambil mencari Ayah dan Ibu. Sepertinya suaraku
terdengar oleh mereka yang sedang berjamaah di mushola rumah. Mereka keluar, tangisku tak bisa
lagi ditahan. Aku berlari kearah mereka dan langsung bersujud dan menciumi kaki mereka berdua,
sambil memohon ampun.
Bu, Yah.. aku goblok, aku sudah mendurhakai kalian. Dosaku tak bisa diampuni.
Kakak dan adikku yang melihat juga turut menangis, aku bangkit dan merangkul mereka.
**
Sekarang aku sudah kembali kuliah, menjadi mahasiswa semester 7 di salah satu Perguruan Tinggi
yang ada di Jombang. Bukan hanya itu, sekarang aku adalah seorang pendidik MTs salah satu Pondok
terbesar di Jombang dan juga seorang pelatih di salah satu SMP swasta di Jombang.
Aku percaya bahwa seberapa kuat aku melawan, takdir tetaplah takdir. Ia akan datang tepat pada
waktunya dan bukan pada waktu yang kita inginkan. Dan aku juga percaya bahwa segala
keberuntungan yang aku dapati ini adalah bukti bahwa terkabulnya beberapa doa dari kedua orang
tuaku.