REFERAT
TRAUMA KAPITIS
Penulis :
Intan Wulandari S.Ked
030.12.127
Pembimbing :
Dr. Ibnu Benhadi, Sp.BS
NIM : 030.12.127
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat rahmat-
Nya saya dapat menyelesaikan dan mempresentasikan laporan kasus dengan judul:
Benign Prostate Hyperplasia
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi sebagian tugas dan sebagai syarat
mengikuti ujian akhir Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah RSUD Budhi Asih,
Jakarta. Dalam kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan dan penyelesaian laporan kasus ini,
terutama kepada:
Intan Wulandari
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan
gangguan fisik dan mental yang kompleks. Cedera kepala adalah salah satu penyebab
kematian utama dikalangan usia produkif anatara usia 15-44 tahun. Pria lebih banyak
daripada wanita dengan penyebab utama adalah jatuh atau kecelakaan lalu lintas
dengan kendaraan bermotor. Kasus-kasus trauma yang berakhir dengan kematian,
cedera kepala menjadi penyebab kematian pada lebih dari 70% kasus. Demikian pula
keadaan cacat menetap setelah trauma sebagian besar disebabkan oleh kerusakan
saraf pusat. Pada kasus-kasus cedera kepala yang datang ke rumah sakit sebagian
berlanjut menjadi perdarahan. World Health Organization (WHO) memperkirakan
bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab penyakit dan
trauma ketiga terbanyak di dunia.
Indonesia adalah Negara berkembang yang masih memiliki angka kejadian
kecelakaan yang tinggi. Data kecelakaan lalu lintas yang diperoleh dari profil
Kesehatan Indonesia tahun 2011 secara nasional berjumlah 104.824 kejadiaan dengan
jumlah kematian mencapai 29.952 orang, 67.098 orang mengalami luka berat dan
89.856 luka ringan.
Trauma kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari lapisan kulit,
kepala atau lapisan yang paling luar, tualng tengkorak, duramater, vascular otak,
sampai jaringan otakya sendiri, baik berupa luka yang tertutup maupun trauma yang
menembus kulit hingga tengkoraknya. Trauma kepala mengakibatkan kelainan
struktural atau fisiologis pada fungsi otak oleh faktor eksternal yang diindikasikan
sebagai onset baru atau perburukan dari satu atau lebih gejala klinis berikut
kehilangan kesadaran, kehilangan memori tepat setelah terjadinya trauma. Komplikasi
yang sering terjadi pada pasien cedera kepala adalah perdarahan di otak, penurunan
kesadaran, peribahan perilaku yang tidak begitu terlihat, dan desifit kognitif yang
dapat terjadi dan tetap ada.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Menurut Brain Injury Association of America, trauma kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik. Sedangkan menurut Brunner dan Suddart cedera pada kepala adalah
trauma pada kulit kepala, tengkorak kepala dan otak. Trauma kepala dapat
menyebabkan suatu kondisi yang bervariasi dari ringan sampai koma serta kematian.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Cedera kepala traumatik banyak terjadi pada usia dewasa 15-19 tahun, anak-
anak usia 0-4 tahun dan usia 65 tahun atau lebih. Pria lebih banyak dibandingkan
wanita dengan penyebab utama adalah jatuh atau kecelakaan lalu lintas dengan
kendaraan bermotor. Data kecelakaan lalu lintas yang diperoleh dari profil Kesehatan
Indonesia tahun 2011 secara nasional berjumlah 104.824 kejadiaan dengan jumlah
kematian mencapai 29.952 orang, 67.098 orang mengalami luka berat dan 89.856
luka ringan. Cedera kepala traumatik yang didapat karena kecelakaan lalu lintas
paling sering terjadi pada laki-laki muda yang biasanya terkait dengan
penyalahgunaan alkohol. Meskipun pada kecelakaan lau lintas, hanya sekitar 25%
yang mengalami cedera kepala, tetap penyebab serius utama cedera kepala adalah
kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala traumatik merupakan salah satu faktor kematian
lebih dari 50.000 orang di Amerika dan lebih dari 280.000 orang yang mengalami
cedera kepala traumatik dirawat di rumah sakit serta 2.2 juta orang dengan cedera
kepala traumatik di Amerika masuk ke dalam departemen gawat darurat.
2.3 ANATOMI TERKAIT
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin aau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika,
loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium. Tulang
tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya
diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi otot otel otot temporalis. Basis
cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak
akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa
yaitu: fossa anterior tempat lobus frontalis, fossa media tempat temporal dan fossa
posteror ruang bagi bawah batang otak dan serebelum.
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu:
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan
ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari cranium. Karena tidak
melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruangan potensial
(ruang subdural) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah taua
disebut bridging veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan
sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
cranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan
laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling
sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fossa
temporalis.
2. Selaput Arachnoid
Selaput arachnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus panadang. Selaput
arachnoid terletak antara pia meter sebelah dalam dan duramater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatiun subarachnoid yang terisi oleh liquor
serebrospinalis. Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrana vascular yang dengan erat membungkus otak, mepiluti gyrus dan masuk ke
dalam sulci yang paling dalam. Membrane ini membungkus saraf otak dan menyatu
dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk ke dalam substansi otak juga diliputi
oleh pia mater.
Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medulla oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motoric dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori
tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Meensefalon
dan pons bagian atas berisi system aktivasi reticular yang berfungsi dalam kesadaran
dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardioresporatorik.
Serebelum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.
Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateran melalui
foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV.
CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arachnoid yang
terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menymbat
granulasio arachnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan tekanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa
volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
3. Laserasi serebri
Suatu kerusakan karena robeknya atau terputusnya kontuinitas jaringan otak
secara tidak teratur. Keadaan ini sering disebabkan oleh trauma mekanik yang
mengakibatkan perdarahan dan kematian jaringan otak. Keadaan ini sangat
berbahaya, terutama bila mengenai bagian otak yang menjadi pusat-puat pengatur
tubuh yang vital.
4. Lesi Diffuse
Diffuse axonal injury (DAI) adalah keadaan dimana serabut saraf subkortikal
(serabut proyeksi, asosiasi, dan komisural) mengalami krusakan akibat gaya aselerasi-
deselerasi. Cedera aksonal difus dibagi menjadi 3 berdasarkan beratnya kerusakan
yang timbul, yaitu:
Grade 1. Kerusakan akson pada substansia alba dapat dilihat secara
mikroskopik tanpa adanya lesi fokal.
Grade 2. Keruksakan akson disertai fokus perdarahan pada korpus kalosum.
Grade 3. Kerusakan akson difus disertai pedarahan korpus kalosum dan
batang otak.
Cedera akson difus merusak interkoneksi antara korteks serebri dan formation
retikularis sehingga erring menyebabkan gangguan kesadaran penderita.
Cedera aksonal difus dibagi 4 berdasarkan gambaran CT Scan nya, yaitu
Kategori Lesi intrakranial Sisterna Midline Shift
Tipe 1 (-) Terbuka (-)
Tipe 2 tidak ada lesi hiper atau Terbuka <5 mm
hipoodens >25 ml
Tipe 3 tidak ada lesi hiper atau Terkompresi/hilang <5 mm
hipoodens >25 ml
Tipe 4 tidak ada lesi hiper atau Terkompresi/hilang >5..
hipoodens >25 ml
5. Epidural Hemorrhage
Epidural Hemorrhage (EDH) adalah salah satu bentuk cedera kepala. EDH
biasanya terjadi karena robeknya arteri meningea media (paling sering), sinus
duramatis dan arteri atau vena diploica sehingga menyebabkan perdarahan di ruangan
antara duramater dengan tulang tengkorak. EDH terjadi pada 2,7 hingga 4% kasus
dari seluruh kasus cedera kepala dan sering terjadi pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan. Gejala klasik EDH berupa penurunan kesadaran singkat yang
diikuti dengan periode sadar kembalu (lucid interval) yang dapat berlangsung
beberapa jam sebelum fungsi otak memburuk, bahkan menyebabkan koma. Gejala
lain termasuk nyeri kepala, muntah dan kejang. Jika ini tidak ditatalaksana dengan
cepat dan baik, EDH dapat menyebabkan herniasi transtentotial progresif dengan
tanda klinis ekstensor posturing atau tidak adanya respon, dilatasi pupil, pupil tidak
simetris, perburukan neurologik progresif (penurunan GCS lebih dari 2 dari GCS
sebelumnya paa pasien dengan permulaan <9) dan kematian.
Etiologi, gejala klinis, pemeriksaan penunjang dan indikasi operasi pada
hematoma epidural.
Etiologi Gejala klinis Pemeriksaan Indikasi operasi
Penunjang
Rupturnya Lucid CT Scan : -Volume >30 mm
1. A. meningea intervals, hiperndens tanpamempertimbangkan
media (85%) penurunan bikonveks GCS
kesadaran Homogen, -Midline shift >0,5 cm
2. Vena Defisit neurologis berbatas tegas, -Defisit neurologis, pupil
meningea media hemiparese menyatu dengan anisokor pada sisi yang
3. Sinus dural kontralateral, tabula interna, sesuai dengan hematoma
dilatasi pupil tidak terutama bila GCS <9
ipsilateral menyebrang
4. Vena Nyeri kepala, sutura (kecuali
diploeica mual, muntah. ada fraktur
diastasis)
Tidak
menyebrang falks
dan tentorium
6. Subdural Hemorrhage
Subdural hemoragi adalah perdarahan yang terjadi diantara dua lapisan otak
yaitu durameter dan lapisan arachnoid. Perdarahan ini terjadi diluar jaringan otak dan
didalam tulang tengkorak. Meski begitu, akibat dari darah yang terkumpul, dapat
menyebabkan peningkatan intra kanial meningkat. Peningkatan intrakarnial ini akan
menyebabkan gejala. Gejala yang ditimbulkan bervariasi dari seberapa tinggi tekanan
intrakarnial yang disebabkan oleh kumpulan darah. Pada subdural hemoragi tidak
hanya terjadi pada pasien yang mengalami cedera kepala berat tetapi juga pada pasien
geriatric dan pasien yang mengkonsumsi obat-obatan antikoagulan. SDH terdapat tiga
fase waktu yaitu akut, subaku, dan kronik. Apabila SDH terjadi kurang dari 72 jam
dan terlihat hiperdens pada CT scan disebut SDH akut. Disebut fase subakut apabaila
terjadi dalam waktu 21 hari setelah fase akut dan disebut fase kronik bila SDH terjadi
dalam waktu lebih dari 21 hari setelah cedera dan terlihat hipodense pada CT scan.
SDH akut biasanya hubungan dengan cedera kepala yang luas dan berat dan
merupakan tipe SDH yang paling sering terjadi. Kronik subdural hematoma terjadi
pada pasien berumur lanjur yang mengalami trauma kepala yang tidak signifikan dan
merupakan penyebab tersering dementia yang dapat diobati. Pada 25% pasien baru
timbul gejala dalam 1-4 minggu dan 25% lainnya gejala timbul pada minggu ke 5
sampai 3 bulan setelah cedera kepala.
Etiologi Gejala klinis Pemeriksaan Indikasi operasi
penunjang
1. robeknya Penurunan CT Scan: bulan -Tebal >1 cm atau
bridging veins kesadaran sabit (kesentrik) midline shift >0.5 cm
(pembuluh darah Defisit neurologis Akut (1-3 hari) tanpa
superfisial Nyeri kepala, hiperdens mempertimbangkan
2. laserasi mual, muntah, Subakut: (4-21 GCS
parenkim otak kejang hari) isodens -Tebal <1 cm dan
Kronis >21 MLS<0,5 CM
hari) : hipodens dengan
Menyelimuti penurunan
permukaan otak gcs >2 poin
Dapat menyebrang dan/atau
sutura pupil
anisokor atau
dilatasi pupil
atau
TIK >20 mmHg
7. Intraserebral Hemorrhage
Perdarahan intraserebral (PIS) merupakan salah satu dari sebagian besar
penyakit serebrovaskular yang mematikan dengan rata-rata mortalitas 30 hari sekitar
35-42% dan meninggalkan outcome klinis yang jelek. Perdarahan intraserebral terjadi
dua kali lebih sering dibandingkan perdarahan subarachnoid. Faktor resiko terjadinya
perdarahan intraserebral antara lain tekanan darah arteri yang meningkat, gula darah
yang tinggi, penggunaan antikoagulan, gangguan darah, peminum berat, kelainan
vascular seperti aneurisma dan arteriovenous malformation (AVM).
8. Subarachnoid Hemorrhage
Subarachnoid Hemorrhage (SAH) adalah sebuah kegawatdaruratan yang
ditandai dengan ekstravasasi darah ke dalam ruang subarachnoid. Penyebab dari SAH
adalah rupturnya anurisma intrakarnial dan non-aneurysmal bleeding. Rupturnya
anurisma merupakan kasus terbanyak penyebab SAH sekitar 80% dan mempunyai
angka kematian yang tinggi. Nonaneurysmal bleeding hemorrhage, yang termasuk
trauma terjadi sekitar 20% pada kasus SAH.
2.7 Patofisiologi cedera kepala
Proses terjadinya trauma kapitis sampai menimbulkan tanda dan gejala tidak
luput dari keadaan fungsional otak serta tengkorak yang normal. Tengkorak dianggap
sebagai suatu kotak tertutup dengan tekanan yang bersifat tetap didalamnya. Tekanan
intrakranial yang merupakan total dari tekanan volume jaringan otak, volume cairan
serebrospinal (LCS) dan volume darah intrakranial pada waktu-waktu tertentu dapat
mengalami lonjakan akibat peningkatan salah satu volume diatas. Pada trauma
kapitis, peningkatan tekanan intrakranial terjadi dalam milidetik, sehingga pada
trauma kapitis dapat terjadi tekanan positif dan negatif setempat. Tekanan positif
menyebabkan kompresi terhadap jaringan otak, sedangkan tekanan negatif dapat
menyedot udara dari darah atau cairan serebrospinal sehingga terjadi gelembung-
gelembung udara yang mengakibatkan timbulnya kavitasi pada jaringan otak.
Selain dari pengaruh tekanan, gerakan cepat yang terjadi secara mendadak
(akselerasi) serta penghentian gerakan secara mendadak (deselerasi) turut terjadi pada
trauma kapitis dengan kepala terbanting. Saat akselerasi, terjadi gerakan tengkorak ke
arah dampak dan terjadi penggerseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah
dampak primer. Lesi yang terbentuk dibawah dari dampak langsung disebut sebagai
lesi 'coup', pada area di seberang dari dampak, apabila tidak terdapat gaya kompresi
bisa tidak didapatkan lesi. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (solid) dan otak
(semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebihi cepat dari muatan intra
kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan
dalam tengkorak pada tempat berlawanan dari benturan (countercoup).
Mekanisme utama dalam trauma kapitis diklasifikasikan sebagai berikut :
Kerusakan otak fokal akibat cedera yang bersifat kontak menghasilkan
keadaan seperti kontusio serebri, laserasi, dan hemoragik intrakranial, atau
Kerusakan otak difus akibat cedera yang bersifat akselerasi maupun
deselerasi yang menghasilkan keadaan seperti cedera aksonal difus
ataupun oedem serebri.
Hasil akhir dari trauma kapitis ditentukan oleh 2 tipe cedera, yaitu : cedera primer
(primary injury/ primary damage/ mechanical damage) yang merupakan kelainan
bersifat heterogen dengan berbagai bentuk presentasi klinis. Satu-satunya faktor yang
sama pada seluruh cedera primer ini ialah cedera yang timbul merupakan hasil dari
faktor eksternal akibat pajanan langsung, akselerasi maupun deselerasi cepat, ataupun
penetrasi benda-benda tertentu (pistol). Contoh makroskopik kerusakan primer seperti
: fraktur cranii, kontusio fokal, shearing axonal diffuse dan hematoma. Cedera
sekunder (secondary injury/ secondary damage/ delayed non-mechanical damage)
merupakan representatif proses patologis yang berjalan dan berkembang terus dalam
waktu jam sampai hari yang dimulai pada saat kejadian. Pada level makroskopis
manifestasi cedera sekunder ini termasuk edema, iskemia, nekrosis, peningkatan
tekanan intrakranial, serta perfusi serebral yang inadekuat. Sedangkan pada level
selular, gagalnya pembentukan energi muncul dalam hubungannya dengan
serangkaian kaskade cedera sekunder, seperti peningkatan kadar Ca2+ intraaselular,
pengeluaran asam amino eksitatori, produksi radikal bebas dan pemecahan dari
sitoskeleton selular serta disfungsi membran vaskular yang dapat mencetuskan
kematian sel.
Berikut merupakan respon fisiologis makroskopis yang terjadi setelah cedera
kepala, antara lain : edema otak, gangguan tekanan intrakranial dan aliran darah
cerebrovaskular (cerebrovascular blood flow = CBF) serta tekanan perfusi serebral
(cerebral perfusion pressure = CPP). Selain respon secara makroskopis, terdapat
respon pada level Edema otak.
Edema otak seringkali digambarkan bersifat vasogenik maupun sitotoksik.
Edema vasogenik terjadi akibat gangguan blood brain barrier. Blood brain barrier
diatur oleh celah sempit (junction) diantara sel endotel yang melapisi pembuluh darah
otak. Rusaknya sel-sel ini mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan dan protein
ke dalam ruang interstisial (ekstravaskular) di parenkim otak. Rusaknya sel endotel
dapat terjadi baik secara primer akibat dari cedera langsung ataupun mengikuti proses
perdarahan, maupun sekunder yang berasal dari produksi radikal bebas, sitokin
ataupun yang lainnya. Sementara edema sitotoksik atau edema selular adalah edema
yang terjadi pada sel itu sendiri (neuron, astrosit, dan mikroglia). Edema sitotoksik
merupakan hasil dari kegagalan homeostasis ion selular dan permeabilitas akibat
penurunan energi. Rentang waktu timbulnya edema otak bervariasi, dengan rata-rata
24-48 jam setelah trauma. Dikatakan bahwa edema vasogenik muncul lebih awal
dibandingkan dari edema sitotoksik. Edema otak merupakan penanda penting untuk
cedera kepala dan juga sebagi penyebab secondary injury. Peningkatan tekanan
intrakranial sebagai hasil dari edema menyebabkan pelepasan LCS secara pasif
menuju kanalis spinalis.
Tekanan intrakranial dan aliran darah serebrovaskular (CBF)Tekanan intrakranial
normal pada dewasa normalnya <15 mmHg. Peningkatan tekanan intrakranial yang
terus berkelanjutan sampai >20 mmHg akan ditoleransi minimal pada cedera kepala.
Selain itu, peningkatan tekanan intrakranial yang berkepanjangan dapat menyebabkan
iskemia serebral karena perfusi yang terhambat. Iskemi serebral merupakan hasil dari
perfusi serebral yang inadekuat. Derajat perfusi serebral yang ideal pada otak dengan
cedera belum diketahui. Pada otak normal, aliran darah serebral di regulasi oleh
mekanisme miogenik, humoral dan neural untuk menjaga aliran konstan meskipun
terdapat perubahan tekanan arterial sistemik dan tekanan intrakranial.
Tekanan perfusi serebral
Terkanan perfusi serebral merupakan hal terpenting yang harus dijaga tetap
adekuat pada pasien dengan trauma kapitis. Tekanan perfusi serebral (cerebral
perfusion pressure - CPP) adalah perbedaan antara mean arterial pressure (MAP)
dengan tekanan intrakranial (CPP = MAP - ICP). Konsep autoregulasi menjaga
perfusi otak pada tekanan minimal 50 mmHg sampai 140 mmHg. Perfusi <50 mmHg,
arteriol serebri akan dilatasi maksimal dan perfusi tidak dapat mencukupi kebutuhan
metabolik otak. Apabila keadaan ini menetap terus, maka iskemi serebri akan timbul.
Sebaliknya, pada cedera kepala, kemampuan otak untuk menkompensasi kondisi
iskemik akan menurun. Dengan tekanan perfusi >140 mmHg, arteriol serebri akan
konstriksi maksimal dan aliran darah akan meningkat secara pasif seiring dengan
peningkatan tekanan. Pada pasien dengan trauma kapitis berat, dibutuhkan CPP antara
6 mmHg - 70 mmHg untuk menjaga autoregulasi aliran darah serebral dan mencegah
komplikasi iskemik.
3. Ukuran pupil, mmbandingkan antara kanan dan kiri, dan responnya terhadap
cahaya. Penilaian ukuran pupil dan responnya terhadap rangsangan cahaya adalah
pemeriksaan awal terpenting dalam menangani cedera kepala. Dalam hal ini adanya
kompresi maupun distorsi saraf okulomotorius sewaktu kejadian herniasi tentorial-
unkal akan menggangu fungsi akson parasimpatis yang mengahantarkan sinyal eferen
untuk kontraksi pupil. Miosis pupil bilateral didapatkan pada fase dini herniasi sefalik
sentral akibat kedua jaras simpatis pupilomotor yag berasal dari hipotalamus
terganggu sehingga tonus parasimpatisnya menjadi lebih dominan dan menimbulkan
kontraksi pupil. Selanjutnya proses herniasi ini akan menampilkan dilatasi pupil dan
paalisa repon cahaya. Hippus adaah suatu fenomena (yang masih belum jelas) yang
terdiri dari dilatasi dan konstriksi pupil spontan pada pasien-pasien dengan pola
respirasi Cheyne stokes, dimana hal ini cenderung menandakan integrasi fungsional
jaras simpatis-parasimpatis pupil (bukan merupakan indicator gangguan fungsi).
Disrupsi lengkung aferen reflex cahaya pupil dideteksi dengan test penyinaran indirek
(reflex cahaya indirek) untuk mmeriksan N. optikus. Dilatasi pupil paradoksal (defek
aferen pupil) dikenal dengan istilah pupil Marcus-Gunn. Pupil yang kecil bilateral
dapat tampak pada penderita yang menggunakan obat-obat tertentu seperti opium,
morfin, dan sebagaiannya.
Angiografi serebral
Meskipun merupakan prosedur yang invasiv, pemeriksaan ini cenderung lebih
bermanfaat untuk memperkirakan diagnosis adanya suatu hematom/perdarahan
intracranial beserta penanganannya, khususnya dimana masih belum tersedianya
sarana scan computer topografi otak. Pada persinsipnya ditujukan untuk menunjukkan
adanya pergeseran pembuluh-pembuluh darah serebral besar dan lokasi zona
(avascular) suatu hematom.