Anda di halaman 1dari 32

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU BEDAH

PERIODE 01 Agustus 2016 08 Oktober 2016

RS PENDIDIKAN : RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


BUDHI ASIH

REFERAT

TRAUMA KAPITIS

Penulis :
Intan Wulandari S.Ked
030.12.127

Pembimbing :
Dr. Ibnu Benhadi, Sp.BS

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
LEMBAR PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Intan Wulandari

NIM : 030.12.127

Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti


Periode Kepaniteraan : 1 Agustus 8 Oktober 2016

Judul Refrat : Trauma kapitis

Pembimbing : dr. Ibnu Benhadi,Sp.BS

Jakarta, 16 September 2016

dr. Ibnu Benhadi,Sp.BS


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat rahmat-
Nya saya dapat menyelesaikan dan mempresentasikan laporan kasus dengan judul:
Benign Prostate Hyperplasia
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi sebagian tugas dan sebagai syarat
mengikuti ujian akhir Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah RSUD Budhi Asih,
Jakarta. Dalam kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan dan penyelesaian laporan kasus ini,
terutama kepada:

1. dr. Ibnu,Sp.BS, selaku pembimbing dalam refrat ini.


2. Dokter dan staf SMF Ilmu Bedah RSUD Budhi Asih.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah RSUD Budhi Asih yang telah
memberikan dukungan moril maupun materil.
Saya menyadari dalam penyelesaian laporan kasus ini masih banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran guna penyempurnaan laporan
kasus ini sangat saya harapkan.
Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
terutama dalam bidang ilmu bedah urologi.

Jakarta, 16 September 2016

Intan Wulandari
BAB I
PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan
gangguan fisik dan mental yang kompleks. Cedera kepala adalah salah satu penyebab
kematian utama dikalangan usia produkif anatara usia 15-44 tahun. Pria lebih banyak
daripada wanita dengan penyebab utama adalah jatuh atau kecelakaan lalu lintas
dengan kendaraan bermotor. Kasus-kasus trauma yang berakhir dengan kematian,
cedera kepala menjadi penyebab kematian pada lebih dari 70% kasus. Demikian pula
keadaan cacat menetap setelah trauma sebagian besar disebabkan oleh kerusakan
saraf pusat. Pada kasus-kasus cedera kepala yang datang ke rumah sakit sebagian
berlanjut menjadi perdarahan. World Health Organization (WHO) memperkirakan
bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab penyakit dan
trauma ketiga terbanyak di dunia.
Indonesia adalah Negara berkembang yang masih memiliki angka kejadian
kecelakaan yang tinggi. Data kecelakaan lalu lintas yang diperoleh dari profil
Kesehatan Indonesia tahun 2011 secara nasional berjumlah 104.824 kejadiaan dengan
jumlah kematian mencapai 29.952 orang, 67.098 orang mengalami luka berat dan
89.856 luka ringan.
Trauma kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari lapisan kulit,
kepala atau lapisan yang paling luar, tualng tengkorak, duramater, vascular otak,
sampai jaringan otakya sendiri, baik berupa luka yang tertutup maupun trauma yang
menembus kulit hingga tengkoraknya. Trauma kepala mengakibatkan kelainan
struktural atau fisiologis pada fungsi otak oleh faktor eksternal yang diindikasikan
sebagai onset baru atau perburukan dari satu atau lebih gejala klinis berikut
kehilangan kesadaran, kehilangan memori tepat setelah terjadinya trauma. Komplikasi
yang sering terjadi pada pasien cedera kepala adalah perdarahan di otak, penurunan
kesadaran, peribahan perilaku yang tidak begitu terlihat, dan desifit kognitif yang
dapat terjadi dan tetap ada.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Menurut Brain Injury Association of America, trauma kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik. Sedangkan menurut Brunner dan Suddart cedera pada kepala adalah
trauma pada kulit kepala, tengkorak kepala dan otak. Trauma kepala dapat
menyebabkan suatu kondisi yang bervariasi dari ringan sampai koma serta kematian.

2.2 EPIDEMIOLOGI
Cedera kepala traumatik banyak terjadi pada usia dewasa 15-19 tahun, anak-
anak usia 0-4 tahun dan usia 65 tahun atau lebih. Pria lebih banyak dibandingkan
wanita dengan penyebab utama adalah jatuh atau kecelakaan lalu lintas dengan
kendaraan bermotor. Data kecelakaan lalu lintas yang diperoleh dari profil Kesehatan
Indonesia tahun 2011 secara nasional berjumlah 104.824 kejadiaan dengan jumlah
kematian mencapai 29.952 orang, 67.098 orang mengalami luka berat dan 89.856
luka ringan. Cedera kepala traumatik yang didapat karena kecelakaan lalu lintas
paling sering terjadi pada laki-laki muda yang biasanya terkait dengan
penyalahgunaan alkohol. Meskipun pada kecelakaan lau lintas, hanya sekitar 25%
yang mengalami cedera kepala, tetap penyebab serius utama cedera kepala adalah
kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala traumatik merupakan salah satu faktor kematian
lebih dari 50.000 orang di Amerika dan lebih dari 280.000 orang yang mengalami
cedera kepala traumatik dirawat di rumah sakit serta 2.2 juta orang dengan cedera
kepala traumatik di Amerika masuk ke dalam departemen gawat darurat.
2.3 ANATOMI TERKAIT

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin aau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika,
loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium. Tulang
tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya
diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi otot otel otot temporalis. Basis
cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak
akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa
yaitu: fossa anterior tempat lobus frontalis, fossa media tempat temporal dan fossa
posteror ruang bagi bawah batang otak dan serebelum.
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu:
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan
ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari cranium. Karena tidak
melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruangan potensial
(ruang subdural) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah taua
disebut bridging veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan
sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
cranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan
laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling
sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fossa
temporalis.
2. Selaput Arachnoid
Selaput arachnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus panadang. Selaput
arachnoid terletak antara pia meter sebelah dalam dan duramater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatiun subarachnoid yang terisi oleh liquor
serebrospinalis. Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrana vascular yang dengan erat membungkus otak, mepiluti gyrus dan masuk ke
dalam sulci yang paling dalam. Membrane ini membungkus saraf otak dan menyatu
dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk ke dalam substansi otak juga diliputi
oleh pia mater.
Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medulla oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motoric dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori
tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Meensefalon
dan pons bagian atas berisi system aktivasi reticular yang berfungsi dalam kesadaran
dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardioresporatorik.
Serebelum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.
Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateran melalui
foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV.
CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arachnoid yang
terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menymbat
granulasio arachnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan tekanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa
volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.

2.4 Etiologi trauma kapitis


Trauma kapitis dapat terjdi akibat kecelakaan lalu lintas, baik pada pejalan
kaki maupun pengendara motor atau mobil. Selain itu, truam kapitis dapat pula terjadi
akibatu terjatuh, perkelahian,, dan lain-lain.

2.5 Mekanisme Cedera Kepala


Ditinjau tipe beban mekanik yang menimpa kepala, secara garis besar
mekanisme trauma kepala dapat dikelompokkan dalam dua tipe yaitu beban statik
(static loading) dan beban dinamik (dynamic loading). Beban dinamik terdiri dari
beban benturan (impact loading) dan beban guncangan (impulsive loading).
Beban benturan terjadi akibat kontak, dapat mengakibatkan 3 hal, yaitu
kerusakan pada tulang tengkorak (skull bending), perdarahan intracranial, dan
gelombang energy benturan. Sedangkan beban guncangan (impulsive loading) terjadi
akibat gaya inersia (inertial forces) pada gerakan translasi, rotasi dan angulasi.
a) Beban static (static loading)
Beban static timbul perlahan-lahan yang dalam hal ini tenaga tekanan
mengenai kepala secara bertahap. Walaupun sebenarnya mekanisme ini tidak lazim,
namun hal ini terjadi ketika terdapat tekanan lambat mengenai kepala yang sedang
diam (statis) yang berlangsung dalam periode waktu yang lebih dari 200 mili detik.
Bila kekuatan tenaga terebut cukup besar dapat mengakibatkan terjadinya keretakan
tulang (egg-shell fracture), fraktur multiple atau kominutif dari tengkorak atau dasar
tulang tengkorak.
b) Beban dinamik (dynamic loading)
Mekanisme trauma kepala yang lebih umum terjadi adalah akibat beban
dinamik, di mana peridtiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih singkat (kurang
dari 200 mili detik). Beban dinamik ini dibagi menjadi dua jenis yaitu beban benturan
(impact loading) dan beban guncangan (impulsive loading).
Beban benturan (impact loading) merupakan jenis beban dinamik yang lebih
sering terjadi pada umumnya merupakan kombinasi kekutan kontak (contact forces)
dan kekuatan lanjut akibat gaya inersia (inertial forces).
Contact forcs. Benturan kontak langsung pada cranium dapat mengakibatkan
distorsi local dan distribusi gelombang tekanan dari permukaan cranium dampai ke
bagian otak yang lebih dalam (SCALP-kranium-selaput otak-parenkim). Biasanya
cedera benturan melibatkan energy bentur berkekuatan tinggi dalam durasi yang
sangat singkat (<50 mili detik). Objek-objek yang lebih besar dari 5 cm2 akan
mengakibatkan deformitas local tengkorak yang cenderung melekuk ke dalam tepat
pada daerah benturan. Bila derajat deformitas local tersebut melebihi toleransi
tengkorak, akan terjadi fraktur. Penetrasi, perforasi atau fraktur depresi lokal
kebanyakan disebabkan oleh objek-objek dengan permukaan yang luasnya kurang
dari 5 cm2.
Beban guncangan (impulsive loading) terjadi bila kepala mengalami
kombinasi antara percepatan-perlambatan (aselerasi-deselerasi) secara mendadak,
kepala yang diam secara tiba-tiba digerakkan secara mendadak atau sebaliknya bila
kepala yang sedang bergerak tiba-tiba dihentikkan tanpa mengalami suatu benturan.
Inertial forces. Gaya inersia adalah bentuk resistensi yang terjadi pada suatu
objek ketika terdapat perubahan gerakan. Otak berhenti sejenak ketika terjadi
benturan mendadak kemudian akan bergerak ketika tengkorak sudah berhenti bergera
(cedera aselerasi-deselerasi).
Bagian dalam basis kranii memiliki banyak penonjolan, terutama pada fossa
kranii anterior, media, dan ala minor tulang spenoid. Oleh karena itu, otak dapat
mengalami cedera pada titik yang tidak sesuai dengan tempat benturan (kontusio
kotra-coup). Lokasi kontusia kontra-coup yang paling sering adalah polus frontal,
polus temporal, dan pars orbitalis lobus frontal, permukaan inferior dan lateral lobus
temporal, serta korteks serebri di sekitar sulkus lateralis.
Selain itu, kontusio ini juga disebabkan oleh adanya perubahan tekanan pada
parenkim otak, terutama bagian polus pada saat terjadi gerakan tiba-tiba. Tekanan
negative terjadi pada saat awal gerakan, ketika otak masih tertinggal di sisi yang
berlawanan dari benturan, kemudian tekanan menjadi positif saat otak yang masih
bergerak membentur rongga kranial yang sudah berhenti bergerak. Ketika terjadi
peregangan otak dan shockwave akibat tekanan melebihi batas tolerasni parenkim dan
pembuluh darah otak, kontusio kontra-coup, kontusi intermediate-kup (kontusi yang
timbul di daerah otak non konveksitas), perdarahan intraserebral traumatika, dan
cedera aksonal difus akibat trauma dapat terjadi.
Pergerakan otak yang mendadak juga mengakibatkan relative bergeser
terhadap tulang tengkorak dan duramater, sehingga terjadi cedera pada permukaanya,
terutama pada vena-vna jembatan (bridging veins). Mekanisme ini merupakan salah
satu penyabab terjadinya hematom subdural.

2.5 KLASIFIKASI CEDERA KEPALA


Klasifikasi cedera kepala berdasarkan patologi yang dibagi dalam:
1. Komosio serebri
2. Kontusio serebri
3. Laserasi
Klasifikasi berdasarkan lesi bisa fokal atau difus, kerusakan aksonal ataupun
hematoma. Letak hematoma bisa ekstradural atau dikenal juga dengan hematoma
epidural (EDH), bisa juga hematoma subdural (SDH), hematoma intraserebral (ich),
ataupun perdarahan subarachnoid (SAH). Klasifikasi yang sering dipergunakan di
klinik berdasarkan derajat kesadaran Skala Koma Glasglow.

Kategori SKG Gambran klinik Scanning Otak


CK Ringan 13-15 Pingsan <10 menit, defisit Normal
neurologik (-)
CK Sedang 9-12 Pingsan >10 menit s/d <6 jam, Abnormal
defiit neurologik (+)
CK Berat 3-8 Pingsan >6 jam, defisit neurologik Abnormal
2.5.1 Cedera Kepala
1.Komosio serebri
Komosio serebri atau gegar otak,adalah suatu bentuk dari cedera kepala ringan
yang ditandai dengan atau tanpa penurunan kesadaran yang singkat, muntah-muntah,
perubahan status mental. Komosio serebri merupakan akibat salah satu dari kedua
mekanisme dasar yaitu kontak bentur atau guncangan lanjut. Cidera kontak
bentur terjadi bila kepala membentur atau menabrak suatu objek atau sebaliknya,
sedangkan cidera guncangan lanjut sering kali dikenal sebagai cidera akselerasi,
merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang disebabkan oleh
pukulan maupun benturan benda keras lainnya.
Gejala yang dapat menandai adanya komosio serebri yaitu penurunan
kesadaran yang cepat dari detik-menit, kehilangan memori untuk beberapa menit,
confusion, sakit kepala dan nausea/muntah. Meskipun tidak semua gejala dapat timbul
secara bersamaan. Pada komosio serebri dapat menimbulkan komplikasi yang timbul
dalam hitungan jam sampai hari seperti perdarahan otak yang dapat mengancam
nyawa dan harus segera ditangan. Hal ini ditandai dengan kesadaran menurun yang
terjadi lebih dari 15 menit, pasien sulit diajak berkomunikasi, terlihat sangat
kebingungan, terdapat lucid intervals, nausea dan muntah yang persisten, ukuran
pupil yang berbeda dan kejang-kejang.
Pada komusio serebri biasanya tidak dtemukan kerusakan pada jaringan otak
atau ditemukan kerusakan yang minimal pada jaringan otak. Perlu dilakukan
pemeriksaan CT scan atau MRI pada jaringan otak apabila ditemukan tanda-tanda
kerusakan otak yang serius melalui pemeriksaan fisik dan pasien perlu dirawat untuk
dilakukan observasi lebih lanjut.
11 Kontusio Serebri
Kontusio otak adalah suatu cidera otak berat, dimana pada kontusio terjadi
kerusakan jaringan otak tidak seperti komosio yang tidak terdapat/terdapat minimal
lesi pada jaringan otak. Seperti pada memar umunya, kontusio serebri berhubungan
dengan multiple hemorrhagic , bocornya pembuluh darah kecil ke jaringan otak.
Kontusio terjadi 20-30% pada trauma kepala berat. Pada kontusio serebri, akan selalu
terjadi penurunan kesadaran selama paling cepat lima belas menit dan penurunan
kesadaran lebih dalam daripada komosio serebri.
Akibat dari pukulan yang kuat atau guncangan yang kuat dapat menyebabkan
memar pada jaringan otak dan otak tertekan oleh darah dan cairan.
Dalam hal ini otak mengalami kerusakan yang luas dan kompleks. Selama
pembengkakan pada otak terjadi dapat menimbulkan bahaya pada pasien,
penatalaksanaan pada kontusio serebri ditujukan untuk mencegah pembengkakan
otak.
Cedera otak yang parah disertai dengan penurunan kesadaran sampai koma
yang dapat terjadi dalam hitungan hari bahkan sampai tahun. Hal ini berhubungan
dengan seberapa luas terjadinya kerusakan pada jaringan otak.
Hal yang paling sering terjadi pada seseorang yang mengalami trauma cedera
kepala adalah ketika sebuah impact atau guncangan yang membuat kepala berhenti
secara mendadak dan menyebabkan otak menghantam tulang tengkorak. Hal ini
disebut coup contrecoup atau yang dikenal juga sebagai cedera akselerasi deselerasi.
Pada cedera kepala ini, otak bergerak bolak balik didalam tulang tengkorak yang
menyebabkan kerusakan pada bagian otak yang menghantam tulang tengkorak.
Cedera Coup contrcoup dapat menyebabkan kerusakan fokal atau kerusakan
diffuse pada otak. Perlu diingat bahwa pada coup countercoup dapat terjadi tanpa
benturan langsung pada kepala dikarenakan pada coup countercoup terjadi pergerakan
yang hebat pada otak di dalam tulang tengkorak yang menyebabkan kerusakan. Lesi
yang terbentuk dibawah dari dampak langsung disebut sebagai lesi 'coup', pada area
di seberang dari dampak, apabila tidak terdapat gaya kompresi bisa tidak didapatkan
lesi. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (solid) dan otak (semi solid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebihi cepat dari muatan intra kranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat berlawanan dari benturan (countercoup).

3. Laserasi serebri
Suatu kerusakan karena robeknya atau terputusnya kontuinitas jaringan otak
secara tidak teratur. Keadaan ini sering disebabkan oleh trauma mekanik yang
mengakibatkan perdarahan dan kematian jaringan otak. Keadaan ini sangat
berbahaya, terutama bila mengenai bagian otak yang menjadi pusat-puat pengatur
tubuh yang vital.
4. Lesi Diffuse
Diffuse axonal injury (DAI) adalah keadaan dimana serabut saraf subkortikal
(serabut proyeksi, asosiasi, dan komisural) mengalami krusakan akibat gaya aselerasi-
deselerasi. Cedera aksonal difus dibagi menjadi 3 berdasarkan beratnya kerusakan
yang timbul, yaitu:
Grade 1. Kerusakan akson pada substansia alba dapat dilihat secara
mikroskopik tanpa adanya lesi fokal.
Grade 2. Keruksakan akson disertai fokus perdarahan pada korpus kalosum.
Grade 3. Kerusakan akson difus disertai pedarahan korpus kalosum dan
batang otak.
Cedera akson difus merusak interkoneksi antara korteks serebri dan formation
retikularis sehingga erring menyebabkan gangguan kesadaran penderita.
Cedera aksonal difus dibagi 4 berdasarkan gambaran CT Scan nya, yaitu
Kategori Lesi intrakranial Sisterna Midline Shift
Tipe 1 (-) Terbuka (-)
Tipe 2 tidak ada lesi hiper atau Terbuka <5 mm
hipoodens >25 ml
Tipe 3 tidak ada lesi hiper atau Terkompresi/hilang <5 mm
hipoodens >25 ml
Tipe 4 tidak ada lesi hiper atau Terkompresi/hilang >5..
hipoodens >25 ml

5. Epidural Hemorrhage
Epidural Hemorrhage (EDH) adalah salah satu bentuk cedera kepala. EDH
biasanya terjadi karena robeknya arteri meningea media (paling sering), sinus
duramatis dan arteri atau vena diploica sehingga menyebabkan perdarahan di ruangan
antara duramater dengan tulang tengkorak. EDH terjadi pada 2,7 hingga 4% kasus
dari seluruh kasus cedera kepala dan sering terjadi pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan. Gejala klasik EDH berupa penurunan kesadaran singkat yang
diikuti dengan periode sadar kembalu (lucid interval) yang dapat berlangsung
beberapa jam sebelum fungsi otak memburuk, bahkan menyebabkan koma. Gejala
lain termasuk nyeri kepala, muntah dan kejang. Jika ini tidak ditatalaksana dengan
cepat dan baik, EDH dapat menyebabkan herniasi transtentotial progresif dengan
tanda klinis ekstensor posturing atau tidak adanya respon, dilatasi pupil, pupil tidak
simetris, perburukan neurologik progresif (penurunan GCS lebih dari 2 dari GCS
sebelumnya paa pasien dengan permulaan <9) dan kematian.
Etiologi, gejala klinis, pemeriksaan penunjang dan indikasi operasi pada
hematoma epidural.
Etiologi Gejala klinis Pemeriksaan Indikasi operasi
Penunjang
Rupturnya Lucid CT Scan : -Volume >30 mm
1. A. meningea intervals, hiperndens tanpamempertimbangkan
media (85%) penurunan bikonveks GCS
kesadaran Homogen, -Midline shift >0,5 cm
2. Vena Defisit neurologis berbatas tegas, -Defisit neurologis, pupil
meningea media hemiparese menyatu dengan anisokor pada sisi yang
3. Sinus dural kontralateral, tabula interna, sesuai dengan hematoma
dilatasi pupil tidak terutama bila GCS <9
ipsilateral menyebrang
4. Vena Nyeri kepala, sutura (kecuali
diploeica mual, muntah. ada fraktur
diastasis)
Tidak
menyebrang falks
dan tentorium

6. Subdural Hemorrhage
Subdural hemoragi adalah perdarahan yang terjadi diantara dua lapisan otak
yaitu durameter dan lapisan arachnoid. Perdarahan ini terjadi diluar jaringan otak dan
didalam tulang tengkorak. Meski begitu, akibat dari darah yang terkumpul, dapat
menyebabkan peningkatan intra kanial meningkat. Peningkatan intrakarnial ini akan
menyebabkan gejala. Gejala yang ditimbulkan bervariasi dari seberapa tinggi tekanan
intrakarnial yang disebabkan oleh kumpulan darah. Pada subdural hemoragi tidak
hanya terjadi pada pasien yang mengalami cedera kepala berat tetapi juga pada pasien
geriatric dan pasien yang mengkonsumsi obat-obatan antikoagulan. SDH terdapat tiga
fase waktu yaitu akut, subaku, dan kronik. Apabila SDH terjadi kurang dari 72 jam
dan terlihat hiperdens pada CT scan disebut SDH akut. Disebut fase subakut apabaila
terjadi dalam waktu 21 hari setelah fase akut dan disebut fase kronik bila SDH terjadi
dalam waktu lebih dari 21 hari setelah cedera dan terlihat hipodense pada CT scan.
SDH akut biasanya hubungan dengan cedera kepala yang luas dan berat dan
merupakan tipe SDH yang paling sering terjadi. Kronik subdural hematoma terjadi
pada pasien berumur lanjur yang mengalami trauma kepala yang tidak signifikan dan
merupakan penyebab tersering dementia yang dapat diobati. Pada 25% pasien baru
timbul gejala dalam 1-4 minggu dan 25% lainnya gejala timbul pada minggu ke 5
sampai 3 bulan setelah cedera kepala.
Etiologi Gejala klinis Pemeriksaan Indikasi operasi
penunjang
1. robeknya Penurunan CT Scan: bulan -Tebal >1 cm atau
bridging veins kesadaran sabit (kesentrik) midline shift >0.5 cm
(pembuluh darah Defisit neurologis Akut (1-3 hari) tanpa
superfisial Nyeri kepala, hiperdens mempertimbangkan
2. laserasi mual, muntah, Subakut: (4-21 GCS
parenkim otak kejang hari) isodens -Tebal <1 cm dan
Kronis >21 MLS<0,5 CM
hari) : hipodens dengan
Menyelimuti penurunan
permukaan otak gcs >2 poin
Dapat menyebrang dan/atau
sutura pupil
anisokor atau
dilatasi pupil
atau
TIK >20 mmHg

7. Intraserebral Hemorrhage
Perdarahan intraserebral (PIS) merupakan salah satu dari sebagian besar
penyakit serebrovaskular yang mematikan dengan rata-rata mortalitas 30 hari sekitar
35-42% dan meninggalkan outcome klinis yang jelek. Perdarahan intraserebral terjadi
dua kali lebih sering dibandingkan perdarahan subarachnoid. Faktor resiko terjadinya
perdarahan intraserebral antara lain tekanan darah arteri yang meningkat, gula darah
yang tinggi, penggunaan antikoagulan, gangguan darah, peminum berat, kelainan
vascular seperti aneurisma dan arteriovenous malformation (AVM).
8. Subarachnoid Hemorrhage
Subarachnoid Hemorrhage (SAH) adalah sebuah kegawatdaruratan yang
ditandai dengan ekstravasasi darah ke dalam ruang subarachnoid. Penyebab dari SAH
adalah rupturnya anurisma intrakarnial dan non-aneurysmal bleeding. Rupturnya
anurisma merupakan kasus terbanyak penyebab SAH sekitar 80% dan mempunyai
angka kematian yang tinggi. Nonaneurysmal bleeding hemorrhage, yang termasuk
trauma terjadi sekitar 20% pada kasus SAH.
2.7 Patofisiologi cedera kepala
Proses terjadinya trauma kapitis sampai menimbulkan tanda dan gejala tidak
luput dari keadaan fungsional otak serta tengkorak yang normal. Tengkorak dianggap
sebagai suatu kotak tertutup dengan tekanan yang bersifat tetap didalamnya. Tekanan
intrakranial yang merupakan total dari tekanan volume jaringan otak, volume cairan
serebrospinal (LCS) dan volume darah intrakranial pada waktu-waktu tertentu dapat
mengalami lonjakan akibat peningkatan salah satu volume diatas. Pada trauma
kapitis, peningkatan tekanan intrakranial terjadi dalam milidetik, sehingga pada
trauma kapitis dapat terjadi tekanan positif dan negatif setempat. Tekanan positif
menyebabkan kompresi terhadap jaringan otak, sedangkan tekanan negatif dapat
menyedot udara dari darah atau cairan serebrospinal sehingga terjadi gelembung-
gelembung udara yang mengakibatkan timbulnya kavitasi pada jaringan otak.
Selain dari pengaruh tekanan, gerakan cepat yang terjadi secara mendadak
(akselerasi) serta penghentian gerakan secara mendadak (deselerasi) turut terjadi pada
trauma kapitis dengan kepala terbanting. Saat akselerasi, terjadi gerakan tengkorak ke
arah dampak dan terjadi penggerseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah
dampak primer. Lesi yang terbentuk dibawah dari dampak langsung disebut sebagai
lesi 'coup', pada area di seberang dari dampak, apabila tidak terdapat gaya kompresi
bisa tidak didapatkan lesi. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (solid) dan otak
(semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebihi cepat dari muatan intra
kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan
dalam tengkorak pada tempat berlawanan dari benturan (countercoup).
Mekanisme utama dalam trauma kapitis diklasifikasikan sebagai berikut :
Kerusakan otak fokal akibat cedera yang bersifat kontak menghasilkan
keadaan seperti kontusio serebri, laserasi, dan hemoragik intrakranial, atau
Kerusakan otak difus akibat cedera yang bersifat akselerasi maupun
deselerasi yang menghasilkan keadaan seperti cedera aksonal difus
ataupun oedem serebri.
Hasil akhir dari trauma kapitis ditentukan oleh 2 tipe cedera, yaitu : cedera primer
(primary injury/ primary damage/ mechanical damage) yang merupakan kelainan
bersifat heterogen dengan berbagai bentuk presentasi klinis. Satu-satunya faktor yang
sama pada seluruh cedera primer ini ialah cedera yang timbul merupakan hasil dari
faktor eksternal akibat pajanan langsung, akselerasi maupun deselerasi cepat, ataupun
penetrasi benda-benda tertentu (pistol). Contoh makroskopik kerusakan primer seperti
: fraktur cranii, kontusio fokal, shearing axonal diffuse dan hematoma. Cedera
sekunder (secondary injury/ secondary damage/ delayed non-mechanical damage)
merupakan representatif proses patologis yang berjalan dan berkembang terus dalam
waktu jam sampai hari yang dimulai pada saat kejadian. Pada level makroskopis
manifestasi cedera sekunder ini termasuk edema, iskemia, nekrosis, peningkatan
tekanan intrakranial, serta perfusi serebral yang inadekuat. Sedangkan pada level
selular, gagalnya pembentukan energi muncul dalam hubungannya dengan
serangkaian kaskade cedera sekunder, seperti peningkatan kadar Ca2+ intraaselular,
pengeluaran asam amino eksitatori, produksi radikal bebas dan pemecahan dari
sitoskeleton selular serta disfungsi membran vaskular yang dapat mencetuskan
kematian sel.
Berikut merupakan respon fisiologis makroskopis yang terjadi setelah cedera
kepala, antara lain : edema otak, gangguan tekanan intrakranial dan aliran darah
cerebrovaskular (cerebrovascular blood flow = CBF) serta tekanan perfusi serebral
(cerebral perfusion pressure = CPP). Selain respon secara makroskopis, terdapat
respon pada level Edema otak.
Edema otak seringkali digambarkan bersifat vasogenik maupun sitotoksik.
Edema vasogenik terjadi akibat gangguan blood brain barrier. Blood brain barrier
diatur oleh celah sempit (junction) diantara sel endotel yang melapisi pembuluh darah
otak. Rusaknya sel-sel ini mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan dan protein
ke dalam ruang interstisial (ekstravaskular) di parenkim otak. Rusaknya sel endotel
dapat terjadi baik secara primer akibat dari cedera langsung ataupun mengikuti proses
perdarahan, maupun sekunder yang berasal dari produksi radikal bebas, sitokin
ataupun yang lainnya. Sementara edema sitotoksik atau edema selular adalah edema
yang terjadi pada sel itu sendiri (neuron, astrosit, dan mikroglia). Edema sitotoksik
merupakan hasil dari kegagalan homeostasis ion selular dan permeabilitas akibat
penurunan energi. Rentang waktu timbulnya edema otak bervariasi, dengan rata-rata
24-48 jam setelah trauma. Dikatakan bahwa edema vasogenik muncul lebih awal
dibandingkan dari edema sitotoksik. Edema otak merupakan penanda penting untuk
cedera kepala dan juga sebagi penyebab secondary injury. Peningkatan tekanan
intrakranial sebagai hasil dari edema menyebabkan pelepasan LCS secara pasif
menuju kanalis spinalis.
Tekanan intrakranial dan aliran darah serebrovaskular (CBF)Tekanan intrakranial
normal pada dewasa normalnya <15 mmHg. Peningkatan tekanan intrakranial yang
terus berkelanjutan sampai >20 mmHg akan ditoleransi minimal pada cedera kepala.
Selain itu, peningkatan tekanan intrakranial yang berkepanjangan dapat menyebabkan
iskemia serebral karena perfusi yang terhambat. Iskemi serebral merupakan hasil dari
perfusi serebral yang inadekuat. Derajat perfusi serebral yang ideal pada otak dengan
cedera belum diketahui. Pada otak normal, aliran darah serebral di regulasi oleh
mekanisme miogenik, humoral dan neural untuk menjaga aliran konstan meskipun
terdapat perubahan tekanan arterial sistemik dan tekanan intrakranial.
Tekanan perfusi serebral
Terkanan perfusi serebral merupakan hal terpenting yang harus dijaga tetap
adekuat pada pasien dengan trauma kapitis. Tekanan perfusi serebral (cerebral
perfusion pressure - CPP) adalah perbedaan antara mean arterial pressure (MAP)
dengan tekanan intrakranial (CPP = MAP - ICP). Konsep autoregulasi menjaga
perfusi otak pada tekanan minimal 50 mmHg sampai 140 mmHg. Perfusi <50 mmHg,
arteriol serebri akan dilatasi maksimal dan perfusi tidak dapat mencukupi kebutuhan
metabolik otak. Apabila keadaan ini menetap terus, maka iskemi serebri akan timbul.
Sebaliknya, pada cedera kepala, kemampuan otak untuk menkompensasi kondisi
iskemik akan menurun. Dengan tekanan perfusi >140 mmHg, arteriol serebri akan
konstriksi maksimal dan aliran darah akan meningkat secara pasif seiring dengan
peningkatan tekanan. Pada pasien dengan trauma kapitis berat, dibutuhkan CPP antara
6 mmHg - 70 mmHg untuk menjaga autoregulasi aliran darah serebral dan mencegah
komplikasi iskemik.

Asam amino eksitatori


Pengeluaran asam amino eksitatori menjadi kejadiaan pertama dalam rangkaian
kaskade cedera sekunder. Setelah cedera kepala terjadi, terjadi rangsangan
pengeluaran asam amino berasal dari sel-sel yang cedera/rusak. Asam amino
eksitatori utama yang dikeluarkan adalah glutamate. Glutamate bekerja secara
postinaptik pada 2 subtipe reseptor. Kompleks reseptor NMDA (N-methyl-D-
aspartate) merupakan suatu kanal ion yang dilalui ion Ca2 dan Na+. Saat teraktivasi
oleh gutamat, reseptor NMDA lebih permeable sehingga ion-ion Ca2 dapat masuk ke
dalam sel. Influx Ca2 dalam jumlah besar ke dalam neuron, menstimulasi calcium
dependent enzymes untuk mengaktivasi protease, kinase, fosfolipase dan nitric oxyde
synthase. Apabila tidak diperhatikan, proses ini akan berlangsung terus sampai terjadi
kematian sel akibat pemecahan sitoskeleton, formasi radikal bebas, perubahan
ekspresi gen serta sintesis protein sampai terjadi disfungsi membran. Blokade reseptor
NMDA dapat meningkatkan angka survival neuron pada penelitian in vitro dan di
hewan dengan kelainan neuronal. Namun efek blokade NMDA ini tidak menunjukkan
hasil yang signifikan pada manusia.
Radikal bebas
Pembentukan radikal bebas merupakan bagian penting dalam mekanisme cedera
sekunder. Radikal bebas yang paling sering diteliti adalah superoksida (O2-), hidrogen
peroksida (H2O2), hidroksil (OH), dan nitrit oksida (NO). Radikal bebas merupakan
atom atau molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan pada orbit paling luar
yang menyebabkan mereka sangat reaktif. Radikal bebas ini dapat merusak sel
endotel sampai melukai parenkim otak. Hasil daripada ini ialah, gangguan blood brain
barrier yang memiliki sebagian peran terhadap oedem baik vasogenik maupun
sitotoksik.

2.8 Pemeriksaan klinis cedera kepala


Pemeriksaan klinis tetap merupakan hal yang paling komperhensif dalam
evaluasi diagnosis penderita-penderita cedera kepala, dimana dengan pemeriksaan-
pemeriksaan serial yang cepat dan tepat, dan noninvasive diharapkan dapat
menunjukkan progesivitas atau kemunduran dari proses penyakit atau gangguan
tersebut. Sehubungan dengan tingginya insidensi kelainan/cedera sistemik
penyerta(lebih dari 50%) pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka di dalam
evaluasi klinis perlu diperhatikan hal hal sebagai berikut:
Cedera daerah kepala ekstra ranial: laserasi, perdarahan, otorre, rinorre,
Racoons eyes (ekhimosis periorbital), atau Battles sign (ekhimosis
retroaurikuler).
Cedera daerah spinal. Trauma kepala dan spinal khususnya daerah servikal
data terjadi secara bersamaan dan cedera kombinasi ini harus selalu dipikirkan
(walaupun jarang, 2-5%), pada semua penderita cedera kepala harus
diasumsikan disertai cedera servikal sampai terbukti baik secara klinis atau
radiologis bahwa tidak ada cedera servikal.
Cedera daerah thoraks: fraktur iga, pneumotoraks, hematotoraks, tamponade
jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena jugularis dan hipotensi),
aspirasi atau ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome).
Cedera daerah abdomen: khususnya laserasi hepar, limpa atau ginjal. Adanya
perdarahan biasanya ditandai dengan gejala-gejala akut dari abdomen yang
tegang dan distensif. Di amping itu, sering kali gejala ini belum menunjukkan
manifestasi pada saat dini atau tidak begitu jelas pada penderita yang koma.
Cedera daerah pelvis: cedera pada penderita nonkomatous. Biasanya,
klinisnya tidak begitu jelas dan memerulukan konfirmasi radiologis. Cedera
pelvis ini sering kali berkaitan dengan kejadian kehilangan darah yang okult.
Cedera ekstremitas yang dapat melibatkan jaringan tulang atau jaringan lunak
(otot, saraf, pembuluh darah). Terapi definitive dari cedera-cedera yang
melibatkan ekstremitas kebanyakan dapat ditunda sampai setlah masalah-
masalah yang mengancam jiwa dapat diatasi.
Permeriksaan pada penderita cedera kepala yang masih memiliki kesadaran
yang bagus meliputi pemeriksaan neuroogis yang lengkap, sedangkan pada penderita
yang kesadarnnya menurun pemeriksaan yang diutamakan adalah yang dapat
memberikan pedoman baik penanganan di unit gawat darurat, yaitu:
1. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran dinilai dengan skala Glasglow (GCS/Glasglow Coma Scale). Skala
ini merupakan gradasi sederhana dari arousal dan kapasitas fungsional korteks
serebral berdasarkan respon verbal, motoric dan mata penderita. Sedangkan
fungsional batang otak (komponen kesadaran lainnya) dinilai dari respon pupil serta
gerakan bola mata.
Glasglow Coma Scale.

2. Kekutan fungsi motoric.


Fufngsi motoric biasanya hanya merupakan pelengkap saja mengingat kadang sulit
mendapat penilaian akurat dari penderita-penderita dengan kesadaran yang menurun.
Masing-masing ekstremitas digradasi kekuatannya dengan skala sebagai berikut:
5 : normal
4 : menurun tapi masih mampu melawan tahanan penderita
3 : mampu melawan gravitasi
2 : mampu menggeser ekstremitas
1 : mampu bergerak tapi tidak mampu menggeser
0 : tidak ada gerakan sama sekali

3. Ukuran pupil, mmbandingkan antara kanan dan kiri, dan responnya terhadap
cahaya. Penilaian ukuran pupil dan responnya terhadap rangsangan cahaya adalah
pemeriksaan awal terpenting dalam menangani cedera kepala. Dalam hal ini adanya
kompresi maupun distorsi saraf okulomotorius sewaktu kejadian herniasi tentorial-
unkal akan menggangu fungsi akson parasimpatis yang mengahantarkan sinyal eferen
untuk kontraksi pupil. Miosis pupil bilateral didapatkan pada fase dini herniasi sefalik
sentral akibat kedua jaras simpatis pupilomotor yag berasal dari hipotalamus
terganggu sehingga tonus parasimpatisnya menjadi lebih dominan dan menimbulkan
kontraksi pupil. Selanjutnya proses herniasi ini akan menampilkan dilatasi pupil dan
paalisa repon cahaya. Hippus adaah suatu fenomena (yang masih belum jelas) yang
terdiri dari dilatasi dan konstriksi pupil spontan pada pasien-pasien dengan pola
respirasi Cheyne stokes, dimana hal ini cenderung menandakan integrasi fungsional
jaras simpatis-parasimpatis pupil (bukan merupakan indicator gangguan fungsi).
Disrupsi lengkung aferen reflex cahaya pupil dideteksi dengan test penyinaran indirek
(reflex cahaya indirek) untuk mmeriksan N. optikus. Dilatasi pupil paradoksal (defek
aferen pupil) dikenal dengan istilah pupil Marcus-Gunn. Pupil yang kecil bilateral
dapat tampak pada penderita yang menggunakan obat-obat tertentu seperti opium,
morfin, dan sebagaiannya.

4. Gerakan bola mata (refleksokulosefalik dan vestibuler)


Gerakan bola mata merupakan indeks penting untuk penilaian aktivitas fungsional
batang otak (formasio retikularis). Penderita yang sadar penuh (alert) dan mempunyai
gerakan bola mata yang baik menandakan bahwa system motoric okuler di batang
otaknya intak. Pada keadaan kesadaran yang menurun, gerakan bola mata volunteer
menghilang, sehingga untuk menilai gerakannya ditentukan dari reflex okulosefalik
dan okulovestibular.

Pemeriksaan Diagnostic Penunjang


Foto polos tengkorak (Skull X-ray)
Mengingat bahwa hanya sedikit informasi yang didapat dari pemeriksaan ini yang
dapat mengubah alternative pengobatan yang diberikan pada penderita cedera kepala,
maka pemeriksaan ini sudah mulai ditinggalkan dan digantikan dengan pemeriksaan
penunjang yang lebih canggih seperti CT-Scan atau MRI. Informasi yang bisa kita
dapatkan dari hasil pemeriksaan ini adalah:
Fraktur tulang kepala, diharapkan dapat diperoleh informasi tentang lokasi
dan tipe fraktur, baik bentuk linier, stelata atau depresi.
Adanya benda asing
Pneumocephalus (udara yang masuk ke rongga tengkorak)
Brain shift, kalau kebetulan ada kasifikasi kelenjar pineal

Angiografi serebral
Meskipun merupakan prosedur yang invasiv, pemeriksaan ini cenderung lebih
bermanfaat untuk memperkirakan diagnosis adanya suatu hematom/perdarahan
intracranial beserta penanganannya, khususnya dimana masih belum tersedianya
sarana scan computer topografi otak. Pada persinsipnya ditujukan untuk menunjukkan
adanya pergeseran pembuluh-pembuluh darah serebral besar dan lokasi zona
(avascular) suatu hematom.

Pemeriksaan Computer Topography Scanning Otak (CT-Scan)


Pemeriksaan ini merupakan metode diagnostic standar terpilih (gold standard)
untuk kasus cedera kepala mengingat selain prosedur ini tidak invasif, juga memiliki
kehandalan yang tinggi. Dalam hal ini dapat diperoleh informasi yang lebih jelas
tentang lokasi dan adanya perdarahan intracranial, edema, kontusi, udara, benda asing
intracranial, serta pergeseran struktur didalam rongga tengkorak. Pada trauma kapitis
akut lebih baik dilakukan CT Scan dengan gambaran yang lebih tajam untuk
menunjukkan perdarahan. Suatu penelitian prospektif terhadap gambaran sken
computer topografi otak dari 207 penderita cedera kepala berat menjumpai hasil yang
normal pada 30% kasus, sedangkan sisanya menunjukkan abnormalitassebagai
berikut: 10% ada lesi hipodens (edema/infark), 19% hiperdens yang non bedah
(kontusio/hematom dengan pergeseran garis tengah <5mm) dan 41% adalah lesi
hiperdens yang memerlukan tindakan operasi (hematom epidural, subdural, atau
intraserebral).
Hematom epidural yang kadang sulit dibedakan dari subdural, mempunyai ciri
gambaran yang khas berupa bentuk bikonveks, atau lentikuler (ada perlekatan yang
erat antara dura dengan tubula interna tulang sehingga hematom ini menjadi terbatas).
Hematom subdural enderung lebih difus dibandingkan dengan hematom epidural
diatas dan mempunyai tampilan batas dalam yang konkav ssuai dengan permukaan
otak. Perbedaan gambaran CT Scan antara lesi akut, subakut dan kronis agak sulit.
Hematom intraserebral traumatika biasanya berlokasi di bagian frontal dan lobus
temporal anterior (walapun dapat juga terjadi di lokasi lainnya). Kebanyakan
hematom berkembang segera setelah cedera, tetapi ada juga yang baru timbul
kemudian (sampai 1 minggu). Tampilannya berupa lesi hiperdens dengan nilai
atenuasi antara 70-90 HU, dan dikelilingi oleh zona yang hipodens (edema).
Perdarahan intraventrikular sering kali dikaitkan dengan perdarahan parenkhimal.
Perdarahan ini relative epat menjadi isodens dan kemudian menghilang dalam satu
minggu.
Edema serbagai suatu zone yang hipodens dengan nilai atenuasi antara 16-24
HU (dibandingkan dengan massa putih otak 22-36 HU). Kadang dijumpai adanya
efek massa terhadap ventrikel. Eema ini data berupa edema fokal, multifocal, atau
difus. Kontusi serebri tampak sebagai area yang hiperdens dan mempunyai nilai
atenuasi antara 50-60 HU.batasnya biasanya tidak tegas dan bila ada efek massa
biasanya minimal.

Epidural hematom pada CT Scan.

Subdural hematom pada CT Scan.


Intracerebral Hematoma pada CT Scan.

Pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging)


MRI memiliki keunggulan untuk melihat perdarahan kronis maupun
kerusakan otak yang kronis. Dalam hal ini MRI T2 mampu menunjukkan gambaran
yang lebih jelas terutama untuk memberi identifikasi yang lebih jelas lesi hipodens
pada CT Scan atau lesi yang sulit dibedakan densitasnya dengan korteks.

2.9 Penanganan Cedera Kepala

Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurta didasarkan atas


patokan pemantauan dan penanganan terhadap penderita secara umum yaitu perhatian
urutan prioritas terhadap 6B yakni:
Breathing (Jalan Napas dan Peranapasan)
Perlu diperhatikan adanya obstruksi jalan napas, perlu segera dibebaskan
dengan tindakan-tindakan: suction, intubasi, trakeostomi. Oksigenisasi yang cukup
atau hiperventilasi bila perlu merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan
dengan edema serebri yang terjadi. Sangat penting diperhatikan mengenai frekuensi
dan jenis pernapasan penderita.
Blood (Sirkulasi darah)
Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah.
Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan adanya suatu
peningkatan tekanan intracranial sebaliknya tekanan darah yang menurun dan makin
cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok hipovolemik akibat perdarahan dan
memerlukan tindakan transfuse.
Brain (Otak)
Langkah awal penilaian keadaan otaj ditekankan terhadap respon-respon mata,
fungsi motoric dan fungsi verbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan implikasi
adanya perbaikan/perburukan cedera kepalanya, dan bila pada pemantauan
menunjukkan adanya perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebih mendalam
mengenai keadaan pupil (ukuran, bentuk dan reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-
gerakan bola mata (reflex okulosefalik, okulovestibuler, deviasi konjugat, nistagmus).
Bladder (Kandung kemih)
Kandng kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter) mengingat
bahwa kandung kemih yang penuh akan dapat menyebabkan penderita mengejan
sehingga tekanan intracranial cenderung lebih meningkat.
Bowel (Sistem Pencernaan)
Seperti halnya diatas, bahwa usus yang penuh juga cenderung untuk
meninggikan tekanan intracranial.
Bone (Tulang)
Adanya fraktur mengakibatkan nyeri yang juga pada gilirannya akan
mengakibatkan kenaikan intracranial. Sehingga penanganan kelainan tulang sehubung
dengan trauma yang dialami penderita juga harus dilakukan secara adekuat.
Pada prakteknya dengan memperhatikan hal-hal diatas cedera kepala ditangani
sesuai dengan tingkat-tingkat gradasi klasifikasi klinisnya.

Penanganan Berdasarkan Klasifikasi Derajat Cedera Kepala


Pembagian derajat cedera kepala dibedakan sebagai berikut, ditentukan
berdasarkan tingkat kesadaran (GCS) terbaik 6 jam pertama pasca trauma:
CKR : GCS 14-15
CKS : GCS 9-13
CKB : GCS <9

Cedera kepala ringan


Penanganannya mencakup anamnesa yang berkaitan dengan jenis dan waktu
kecelaaan, riwayat penurunan kesadaran atau pingsan, riwayat adanya amnesia
(retrograde atau antegrade) serta keluhan-keluhan lain yang berkaitan dengan
peninggian tekanan intracranial seperti: nyeri kepala, pusing, dan muntah. Amnesia
retrograde cenderung merupakan petanda ada-tidaknya trauma pada kepala,
sedangkan amnesia antegrade (pasca trauma) lebih berkonotasi akan berat-ringannya
konkusi cedera kepala ayng terjadi. Pemeriksaan fisik disini ditekankan untuk
menyingkirkan adanya gangguan sistemik lainnya, serta mendeteksi defisit neurologis
yang mungkin ada.

Cedera kepala sedang


Penanganan pertama selain mencakup anamnesis (seperti diatas) dan pemeriksaan
fisik serta foto polos tengkorak, juga mencakup pemeriksaan CT Scan. Pada tingkat
ini semua kasus mempunyai indikasi untuk dirawat. Selama hari pertama perawatan
diumah sakit perlu dilakukan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam sekali,
sedangkan follow up CT Scan otak pada hari ke-3 atau bila ada perburukan
neurologis.

Cedera Kepala berat


Penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan pada penderita dalam kelompok
ini karena sedikit keterlambatan akan mempunyai resiko terbesar berkaitan dengan
morbiditas dan mortalitas, di mana tindakan menunggu (wait and see) disini dapat
berakibat sangat fatal. Penanganan kasus-kasus yang termasuk kelompok ini
mencakup tujuh tahap yaitu:
Stabilitas kardiopulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC. Keadaan-keadaan
hipoksemia, hipotensi, dan anemia akan cenderung memperhebat peninggian
tekanan intracranial dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk. Semua
penderita cedera kepala berat memerlukan tindakan intubasi apda kesempatan
pertama.
Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau ganguan-
gangguan di bagian tubuh lainnya.
Pemeriksaan neurologis mencakup respon mata, motoric, verbal, pemeriksaan
pupil. Penilaian neurologsi kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita
masih rendah (syok).
Penanganan cedera-cedera dibagian lainnya.
Pemberian pengoban seperti: antiedema serebri, antikejang, dan natrium
bikarbonat.
Tindakan pemeriksaan diagnostic seperti: CT Scan, angiografi serebral, dan
lainnya.

Terapi operasi/pembedahan pada Cedera Kepala


Kriteria paling sederhana yang dipakai sebagai indikasi tindakan operatif adalah
adanya lesi massa intracranial dengan pergeseran garis tengah >5 m (kecuali penderita
sudah mati otak). Prinsip pertimbangan pemilihan obat anestesi didasari oleh
pemakaian obat yang tidak meningkatkan tekanan intracranial. Semua obat anestesi
inhalasi volatile seperti halotan, enflurane dan isoflurane dapat meingkatkan aliran
darah serebral, sehingga umumnya dipergunakan dalam kadar yang rendah.
Kasus-kasus dengan lesi massa intracranial yang mempunyai indikasi operasi,
berkaitan dengan predileksi lokasi khususnya di lobus frontal bagian inferior dan
lobus temporal, biasaya insisi kulit yang kerap dilakukan dalam tindakan kraniotomi
adalah berbentuk tanda Tanya mulai dari depan telinga (tragus) pada arcus
zygomaticus, melengkung ke posterior di atas telinga menuju ke garis tengah dan
berakhir di anterior di belakang garis batas rambut. Bila ada penurunan
kesadaran/perburukan klinis yang progresif, perlu segera dilakukan operasi
dekompresi berupa kraniektomi untuk mngurangi tekanan batang otak dan prevensi
terjadinya herniasi tentorial.
Tindakan operasi pada cedera kepala terbuka agak berbeda dengan cedera
kepala yang tertutup. Pada cedera kepala yang terbuka yang menjadi tujuan adalah
debridement jaringan otak yang nektrotik, megangkat fragmen tulang atau kopus
alinenum, menghentikan perdarahan, evakuasi hematom dan penutupan duramater
serta kulit yang kedap air. Pembukaan kranial di sini cederung terbatas: berupa insisi
linier, huruf S atau flap bentuk U dan dilanjutkan dengan kraniektomi atau
kraniotomi kecil.

Terapi medikamentosa pada Cedera kepala


Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah obat-obatan
golongan deksametason (dengan dosis awal 10 mg dan kemudian dilanjutkan 4 mg
setiap 6 jam), manitol 20% (dosis 1-3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi
edema serebri yang terjadi akan tetapi memang hal ini masih banyak kontroversi
pendapat dalam memlih mana yang terbaik. Demikian pula pemberian rutin obat-obat
anti kejang seperti golongan fenitoin hingga kini masih kontroversi sehubungan
dengan variasi insidens epilepsy pascatrauma. Namun, berdasarkan data statistic
beberapa penelitian menunjukkan nilai insidensi epilepsy sebesar 15% dari kasus
cedera kepala berat.
Akhir-akhir ini ada beberapa obat yang penggunaannya mulai popular seperti
THAM dan barbiturate. THAM (Tris-hidroksi-metil-aminometana) merupakan suatu
buffer yang dapat masuk ke dalam susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih
superior daripada natrium bikarbonat dan dalam hal ini diharapkan dapat mengurangi
tekanan intracranial. Selain itu, bikarbonat mempunyai efek protektif terhadap otak
untuk proteksi terhadap anoksi dan iskemik. Dosis barbiturate yang biasa diterapkan
adalah: diawali dengan 10 mg/kg BB dalam tiga puluh menit dan kemudian
dilanjutkan dengan bolus 5 mg/kg BB setiap tiga jam serta drip 1 mg/kg BB/jam
untuk mencapai kadar serum 3-4 mg%.

3.0 Komplikasi dan penyerta lain pada cedera kepala

Higroma subdural merupakan pengumpulan cairan likuor yang terbungkus


oleh kapsul dibawah duramater. Biasanya disebabkan oleh pecahnya
arachnoid sehingga likuor mengalir dan berkumpul membentuk kolam.
Terapinya mirip dengan penanganan hematom subdural (kronis).
Pneumatokel Traumatika berdasarkan lokasinya dibedakan atas
pneumatokel ekstrakranial dan pneumatokel intracranial. Penuematokel
ektrakranial adalah pengumpulam udara di bawah periosteum akibat adanya
fraktur tulang tengkorak. Jaringan sekitarnya kadang membentuk granulasi.
Biasanya pneumatokel ini akan teresorpsi secara spontan. Udara pada
pneumatokel intracranial berada di rongga subdural atau subarackhnoid.
Meningokel Traumatika Spuriosa istilah yang lebih tepat tampaknya adalah
higroma epikranial. Keadaan ini ditimbulkan oleh fraktur tengkorak dan
robekna duramater sehingga likuor bebas mengalir ke luar serta berkumpul di
jaringan lemak ekstrakranial. Pada palpasi akan teraba fluktuasi, di samping
itu juga bila ada peninggian tekanan intracranial, benjolan ini akan membesar
serta sebalikanya bila ditekan akan mengecil kembali. Umumnya kasus-kasus
ini akan sembuh spontan sewaktu fraktur dan robekan dura tertutup kembali.
Prolaps serebri terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak yang terbuka
sehinggga korteks serebri keluar dari tengkorak. Adanya tekanan intracranial
yang meninggi akan mendorong jaringan otak lebih ke luar. Tindakan
penanganannya ditujukan untuk prevensi terhadap infeksi dengan terapi
debridement serta obat-obat yang menurunkan tekanna intrkranial.
Daftar pustaka

1. Clarinta U, Iyos RN. Cedera kepala berat dengan perdarahan subarachnoid.


Jurna Medula Unila. 2016;4(4): 188-93
2. Basuki WS, Suryono B, Saleh SC. Penatalaksanaan cedera kepala traumatik
berat dengan tanda cushing. JNI. 2015;4(1): 34-42
3. Lonto AKU, Loho E, Mamesa YPM, Timban JFJ. Gambaran CT Scan pada
penderita perdarahan subdural di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
periode januari 2011-oktober 2014. Jurnal e-Clinic. 2015;3(1): 317-20
4. http://www.biausa.org/Default.aspx?PageID=6783185&A=SearchResult&Sea
rchID=9855510&ObjectID=6783185&ObjectType=1 . Accessed on
September 3 2016.
5. Lindsay KW, Bone I, Fuller G. Neurology and Neurosurgery Illustrated. Ed 5.
Utrecht: Elsevier. Hlm 218-20.
6. Soertidewi L. Penatalaksanaan kedaruratan cedera kranioserebral. IDI. 2012;
39(5). 327-31.
7. Greenwood R. Head injury for neurologists. J Neuro Neurosurgery Psychiatry.
2002;73(1).
8. www.brainandnerves.com. Accessed on September 3 2016.
9. www.braininjury-explanation.com. Accessed on September 3 2016
10. Adriman S, Rahardjo S, Saleh SC. Penatalaksanaan Perioperatif pada epidural
hemorrhage dengan herniasi serebral. JNI. 2015;4(3): 187-92
11. http://www.webmd.com/brain/subdural-hematoma-symptoms-causes-
treatments#1. Accessed on September 09 2016.
12. Satyanegara. Ilmu bedah saraf. Ed 4. PT. Gramedia pustaka utama: Jakarta.
Hlm. 208-43
13. Mardjono M. Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. 15th ed. Jakarta : Dian
Rakyat; 2012.

Anda mungkin juga menyukai