Anda di halaman 1dari 2

Kebijakan Ekonomi Obama

Sumber : Kompas, Kamis, 6 November 2008

Oleh A Prasetyantoko

Langkah Barack Hussein Obama tak terbendung. Kemenangannya dalam pemilihan umum AS
mengantarnya untuk menuju ke Gedung Putih sebagai presiden ke-44 Amerika Serikat.

Meski secara resmi baru mulai bekerja pada awal tahun 2009, dunia seperti tak sabar menunggu
arah kebijakan yang akan diterapkan Presiden Obama dan tim ekonominya. Memang, Obama
tidak akan menunggu sampai hari pelantikan untuk mulai membereskan masalah ekonomi.

Di belakang Obama, ada tiga tokoh kunci yang bertugas merancang kebijakan ekonomi, yaitu
Paul Volcker (mantan Ketua The Fed), Larry Summers, dan Robert Rubin (keduanya mantan
menteri keuangan). Mereka memiliki dua sisi yang amat dibutuhkan sebagai pengambil
kebijakan (birokrat), yaitu kecerdasan dan pengalaman. Mereka adalah mantan pejabat penting
AS yang dianggap sukses pada zamannya.

Apa pun alasannya, Obama mendapat warisan masalah pelik yang sedang diderita
perekonomian AS serta ancaman resesi global. Turbulensi pasar finansial, selain disebabkan
oleh muramnya proyeksi fundamental ekonomi, juga diperparah oleh kepanikan yang muncul
akibat hilangnya kepercayaan akan ketidakpastian masa depan ekonomi. Tugas berat pertama
yang harus diemban Obama adalah mengembalikan kepercayaan pelaku ekonomi itu.

Program New Deal baru

Kemenangan Presiden berkulit hitam pertama ini mengingatkan pada kemenangan Franklin D
Roosevelt yang menjadi presiden ke-32 tahun 1933. Saat itu AS juga sedang dilanda resesi
besar yang menyeruak tahun 1929. Roosevelt dipilih karena programnya yang populis dan
diyakini mampu menggerakkan sektor riil.

Dengan program New Deal, Presiden Roosevelt berupaya keras membangkitkan perekonomian
AS melalui proyek-proyek infrastruktur yang bersifat padat karya. Dia percaya musuh utama
perekonomian adalah pengangguran. Maka, seluruh kebijakan ekonomi diarahkan untuk
meningkatkan kesempatan kerja (full-employment). Dengan demikian, daya beli masyarakat
(demand side) akan meningkat dan perekonomian akan bekerja. Dalam buku teks ekonomi,
pola ini disebut kebijakan Keynesian.

Tampaknya, kebijakan serupa juga dibutuhkan AS sekarang ini, tentu dengan sejumlah
penyesuaian. Pascapecahnya gelembung sektor finansial yang ditandai dengan proses
penyusutan nilai aset (deleveraging) secara dramatis, perekonomian membutuhkan langkah
konkret untuk menggerakkan sektor riil.

Standard & Poors melaporkan, selama bulan Oktober telah terjadi penurunan kapitalisasi pasar
modal dari 52 bursa global sebesar empat triliun dollar AS. Jika dihitung selama 10 bulan
terakhir, penurunannya mencapai 16,22 triliun dollar AS. Mengapa koreksi terjadi begitu
dalam? Karena sebelumnya, peningkatan aset juga terjadi secara eksesif. Dalam perekonomian,
di mana sektor finansial terlalu besar, spekulasi bisa berakibat fatal. Ketika situasi normal dan
optimistis nilai aset akan menggelembung lewat aksi spekulasi (speculation-up), sebaliknya
ketika terjadi ancaman resesi spekulasi akan menggerus dalam nilai aset (speculation down).

Selama ini perekonomian AS terlalu didominasi para spekulan dan pelaku bermodal besar.
McKinsey and Company melaporkan, hingga tahun 2008 sebesar 46 persen pasar finansial AS
dikuasai para hedge funds, sementara 32 persen lainnya ditempati kelompok super kaya (high-
net worth individuals). Terkait fakta ini, Obama termasuk orang yang keras menentang usaha
penyelamatan pasar modal dengan stimulus besar-besaran.

Meski demikian, sejauh ini skema yang sudah disepakai telah tertuang dalam Emergency
Economic Stabilization Act, paket penyelamatan sebesar 700 miliar dollar AS melalui
Troubled Asset Recovery Program. Tampaknya, skema ini akan berlanjut dengan berprinsip
pada dua hal penting, menstabilkan pasar modal sebagai target jangka pendek serta
menggerakkan ekonom riil sebagai platform jangka panjang. Obama dituntut merancang
program New Deal bentuk baru.

Kebijakan ekonomi

Sebagaimana janji dalam kampanye, Obama akan mengarah pada paket stimulus yang
langsung mengerakkan perekonomian di sektor riil daripada menggarami laut dengan
menggelontorkan uang ke sektor finansial. Kongkretnya, rencana pemerintah baru ini adalah
menyediakan pemotongan pajak (tax cut) serta pemberian kredit pada pekerja dengan
penghasilan (household incomes) di bawah 200.000 dollar AS serta menaikkan pajak untuk
keluarga berpenghasilan lebih dari 250.000 dollar AS. Jika dirangkum, pola kebijakan Obama
akan mengarah pada pengembangan industri dalam rangka penambahan lapangan pekerjaan
baru.

Dunia pun menaruh harapan besar pada Obama untuk mengatasi krisis finansial global ini.
Banyak pihak mengharapkan Obama sudah terlibat pertemuan tingkat tinggi negara-negara G-
20, 15 November dalam Washington Summit. Bersama Nicolas Sarkozy dan Gordon Brown,
Obama diharapkan mampu menjadi simbol kembalinya sistem intervansi pasar pada ekonomi
dengan penguatan regulasi-regulasi, khususnya pada pasar finansial.

Bisa jadi, kemenangan Obama hanya soal momentum. Dia datang pada saat yang tepat di
tengah bergejolaknya pasar finansial serta kerinduan pada intervensi dan regulasi pemerintah.
Namun, momentum ini juga sebuah kesempatan untuk menata perekonomian global yang lebih
berorientasi pada ekonomi riil, bukan ekonomi finansial.

Akankah Obama mampu menjadi Roosevelt II untuk AS serta mampu merancang program
New Deal gaya baru? Itu semua masih buram, di tengah euforia kemenangannya.

Anda mungkin juga menyukai