Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman mikobakterium


tuberkulosa. Hasil ini ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882.

Penyakit tuberkulosis sudah ada dan dikenal sejak zaman dahulu, manusia sudah
berabad-abad hidup bersama dengan kuman tuberkulosis. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya lesi tuberkulosis pada penggalian tulang-tulang kerangka di Mesir. Demikian
juga di Indonesia, yang dapat kita saksikan dalam ukiran-ukiran pada dinding candi
Borobudur.1

Diseluruh dunia tahun 1990 WHO melaporkan terdapat 3,8 juta kasus baru TB dengan
49% kasus terjadi di Asia Tenggara. Dalam periode 1984 1991 tercatat peningkatan jumlah
kasus TB diseluruh dunia, kecuali Amerika dan Eropa. Di tahun 1990 diperkirakan 7,5 juta
kasus TB dan 2,5 juta kematian akibat TB diseluruh dunia.2

Annual Risk Infection ditahun 1980 1985 dinegara-negara Asia Tenggara


diperkirakan sekitar 2% yang berarti terdapat insidensi 100 kasus BTA (+) per 100.000
penduduk.3 Tahun 1987 di Singapura terdapat 62 kasus per 100.000 penduduk, dengan rata-
rata penurunan tahunan 5,7% sejak tahun 1959. Brunei Darussalam dengan angka kematian
8,5 kasus per 100.000 penduduk dengan insiden BTA (+) 84 kasus per 226.000 penduduk.
Sedangkan Filipina ditahun 1981 1983 memperkirakan prevalensi BTA (+), 0,95%. 4
Berdasarkan data dari SEAMIC Health Statistic tahun 1990, penyakit tuberkulosis penyebab
kematian no. 10 di Thailand tahun 1989 dan menduduki urutan ke 4 di Filipina pada tahun
1987.5 Menurut Global TB WHO, 1998 saat ini pusat dari epidemi TB berada di Asia
dengan terdapat 4,5 juta dari 8 juta kasus yang diperkirakan terdapat di dunia atau 50%
kasusnya di 6 negara yaitu India, Cina, Bangladesh, Pakistan, Indonesia dan Filipina.
Indonesia menempati urutan ke-3 sebagai penyumbang kasus terbesar di dunia setelah India
dan Cina.6

Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan


RI, tahun 1972 TB menempati urutan ke 3 penyebab kematian menurut SKRT tahun 1980 TB
menempati urutan ke 4, dan menurut SKRT tahun 1992, TB menempati urutan nomor 2
sesudah penyakit sistem sirkulasi.
1
Hasil SKRT tahun 1995 TB merupakan penyebab kematian nomor 3 dari seluruh
kelompok usia dan nomor 1 antara penyakit infeksi yang merupakan masalah kesehatan
masyarakat Indonesia.4
Pembuatan diagnosis tuberkulosis paru kadang-kadang sulit, sebab penyakit
tuberkulosis paru yang sudah berat dan progresif, sering tidak menimbulkan gejala yang dapat
dilihat/dikenal; antara gejala dengan luasnya penyakit maupun lamanya sakit, sering tidak
mempunyai korelasi yang baik. Hal ini disebabkan oleh karena penyakit tuberkulosis paru
merupakan penyakit paru yang besar (great imitator), yang mempunyai diagnosis banding
hampir pada semua penyakit dada dan banyak penyakit lain yang mempunyai gejala umum
berupa kelelahan dan panas.7

Walaupun penyakit ini telah lama dikenal, obat-obat untuk menyembuhkannya belum
lama ditemukan, dan pengobatan tuberkulosis paru saat ini lebih dikenal dengan sistem
pengobatan jangka pendek dalam waktu 69 bulan. Prinsip pengobatan jangka pendek adalah
membunuh dan mensterilkan kuman yang berada di dalam tubuh manusia. Obat yang sering
digunakan dalam pengobatan jangka pendek saat ini adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid,
streptomisin dan etambutol.8

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia


ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis
sebagai Global Emergency . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8
juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan
Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut
regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh
kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000
penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000
pendduduk.9

Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap
tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB
terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per
100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000
penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus
TB yang muncul.9

Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India
dan China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat
TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan
merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan
akut pada seluruh kalangan usia.9

Berikut ini adalah gambaran penyebaran penyakit Tuberkulosis di seluruh dunia


3
Gambar 1. Penyebaran Penyakit Tuberkulosis di Seluruh Dunia10

DEFINISI

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium


tuberculosis.10

MIKROBIOLOGI

Morfologi dan Struktur Bakteri

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak


berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4 mm.
Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).
Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-
waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang
berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60
C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan
peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri

4
tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel
yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut
dengan larutan asamalkohol.

Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan
menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat
molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitifitas dan
spesifisitas yang berfariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen
M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik).
Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a,
protein MTP 40 dan lain lain.9

PATOGENESIS

Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat
mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis
non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer
GOHN.

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus
primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer
merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks


primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian
5
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8
minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman
tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang
respons imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik


kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin,
mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi
TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas
terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama
masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas
seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun
yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.
Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler
telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang
mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan
dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada
bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut
sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.

6
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju
adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru
sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan
bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya.

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umumnya tidak
langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus
potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya
tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit
TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata


akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB
masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB
diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit
bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu
(host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread


dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan
mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi
diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi

7
anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan
granuloma.

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic


spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar ke saluran
vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah.
Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute
generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya
sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu
penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3%
penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya
terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang
timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9
bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi
primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak
mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada
remaja dan dewasa muda.

Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB
tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1
tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah
infeksi primer.12

Gambar 3. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan Perjalanan


Penyembuhannya9

8
Gambar 4. Patogenesis Tuberkulosis11

KLASIFIKASI

Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura.
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)

TB paru dibagi atas:

a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:


Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. Hasil
pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak
menunjukkan BTA positif dan biakan positif.

b. Tuberkulosis paru BTA (-)


1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan
kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif.

9
2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis
positif.

2. Berdasarkan tipe pasien


Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa
tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif /
perburukan dan terdapat gejalaklinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik
selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
2) Infeksi jamur
3) TB paru kambuh
Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
1) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).
2) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA
positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan
ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

Catatan:
a. Kasus pindahan (transfer in):

10
Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian
pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus membawa surat rujukan /
pindah.
b. Kasus Bekas TB:
1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologik
paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran
yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.
2) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat pengobatan
OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologic.9

Tuberkulosis Ekstra Paru


Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi. Untuk kasus-
kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang
kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.

DIAGNOSIS

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan


fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Gejala klinik

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik
(gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratorik
a. batuk-batuk lebih dari 2 minggu
b. batuk darah
c. sesak napas
d. nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up.
Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala
11
batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan
untuk membuang dahak ke luar.

2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.

3. Gejala tuberkulosis ekstra paru


Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar
getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada
pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga
pleuranya terdapat cairan.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.
Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior
(S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya


cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di


daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak.
Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess

12
Gambar 5. Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior

Pemeriksaan Bakteriologik

1. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini
dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)

2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan


Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b. Pagi ( keesokan harinya )
c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam
pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah
pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada
gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau
untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum
dikirim ke laboratorium.

3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.

13
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces
dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto toraks,
kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
o bila 3 kali negatif : BTA negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi


WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan.
2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral,
top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif


1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura

14
Luluh paru (destroyed Lung ) :
1. Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya
secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis,
ektasis/ multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau
penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit.

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb
(terutama pada kasus BTA negatif) :
1. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari
iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5), serta tidak dijumpai kavitas
2. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

Pemeriksaan Khusus

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan
kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis
secara lebih cepat.

1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M
tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan
dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif
pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan
uji kepekaan.

2. Polymerase chain reaction (PCR)


Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk
DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah
kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati
masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.
15
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang
pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar internasional.
Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang
kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis TB.

Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat
berasal dari paru maupun ekstra paru sesuai dengan organ yang terlibat.

3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda :


a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral
berupa proses antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain
adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.

b. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik
untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji
diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran
sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut
diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2
antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan
diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan
berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibody IgG terhadap
M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna
merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan
minimal satu dari empat garis antigen pada membran.

c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang
berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan
bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang
memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir
dan dapat dideteksi dengan mudah.

d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)

16
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi
dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati
hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi.

e. Uji serologi yang baru / IgG TB


Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis.

Pemeriksaan Lain

1. Analisis Cairan Pleura


Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada
pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang
mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta
pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.

2. Pemeriksaan histopatologi jaringan


Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.
Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh
melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman)
c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans
thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).
d. Otopsi

Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke


dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan
yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.

3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai
indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap
darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia
dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik
penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan
17
konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan
infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.

Gambar 6. Alur Diagnosis TB Paru


PENATALAKSANAAN

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan.

Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


1. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan
dan sangat dianjurkan.

18
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT =
Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)


a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan

2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :
1) 2 RHZE / 4 RH atau
2) 2 RHZE / 4R3H3 atau
3) 2 RHZE/ 6HE.
Paduan ini dianjurkan untuk
1) TB paru BTA (+), kasus baru
2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)
Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk memperpanjang
fase lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari waktu yang ditentukan. (Bila perlu dapat
dirujuk ke ahli paru). Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan
dengan hasil uji resistensi

b. TB paru kasus kambuh


Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase intensif selama 3
bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama
pengobatan fase lanjutan 5 bulan atau lebih, sehingga paduan obat yang diberikan : 2

19
RHZES / 1 RHZE / 5 RHE. Bila diperlukan pengobatan dapat diberikan lebih lama
tergantung dari perkembangan penyakit. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi,
maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (P2 TB).

c. TB Paru kasus gagal pengobatan


Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 5
OAT (minimal 3 OAT yang masih sensitif), seandainya H resisten tetap diberikan. Lama
pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji resistensi dapat
diberikan obat 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi
1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2
RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)
2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru
d. TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan
kriteria sebagai berikut :
1) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT dilanjutkan
sesuai jadwal.
2) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:
o Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif / perbaikan,
pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif, lakukan analisis lebih
lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga
kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari
awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih
lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari
awal.
o Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika
telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
o Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan radiologik
positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama
Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi) terhadap OAT.

e. TB Paru kasus kronik


1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES.
Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal

20
terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun
resisten) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid.
2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.
4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus

Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama
WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO
menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam
pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap
berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3.

Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:


1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan
yang tidak disengaja.
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar.
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan
monoterapi.

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT


Dosis (mg) / BB (kg)
Obat Dosis
Dosis Dosis yang dianjurkan
Maksimum
(mg/kgBB/Hari)
Harian Intermitten
(mg/kgBB/Hari) (mg/kgBB/Hari) < 40 40-60 > 60
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000

21
Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1
Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1


Dosis per hari / kali Jumlah
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru

Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2


Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Tiap hari 3 kali seminggu
Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tablet Etambutol
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tablet Etambutol
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tablet Etambutol
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 5 tablet Etambutol

Tabel 5. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2


Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Streptomisin Jumlah/
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Tablet Tablet Injeksi kali menelan
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg @ 400 mg obat
Tahap
Intenif 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
22
harian
Tahap
Lanjutan 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3x
seminggu)

Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah
500mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak
3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

Tabel 6. Dosis KDT untuk Sisipan


Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel 7. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan


Tahap Lamanya Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol hari/kali
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg menelan obat
Tahap
Intensif 1 bulan 1 1 3 3 28
(dosis
harian)

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang
telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas
dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut,

23
bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru /
fasiliti yang mampu menanganinya.

Tatalaksana TB Anak

Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis
maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan
dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan
menggunakan sistem skor .

Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman Nasional


Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan
terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan
oleh program nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB anak. Lihat tabel 8.
tentang sistem pembobotan (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang.

Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,


maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau
sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti
tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka
perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung,
patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi,
funduskopi, CT-Scan, dan lain lainnya.

Tabel 8. Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan


penunjang TB
Parameter 0 1 2 3 Jumlah
Kontak TB Tidak Laporan BTA (+)
jelas keluarga, BTA
(-) atau tidak
tahu, BTA tidak
jelas
Uji Tuberkulin Negatif Positif ( 10
mm, atau 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan/ Bawah garis merah Klinis gizi buruk
keadaan gizi (KMS) atau BB/U (BB/U < 60%)
< 80 %

24
Demam tanpa 2 minggu
sebab
Batuk 3 minggu
Pembesaran 1 cm, jumlah > 1,
kelenjar linfe tidak nyeri
koli, aksila,
inguinal
Pembengkakan Ada pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut,
falang
Foto toraks Normal/ Kesan TB
tidak jelas
Jumlah

Catatan :
a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
b. Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti
Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
c. Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung
didiagnosis tuberkulosis.
d. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel badan badan.
e. Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
f. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah penyuntikan)
harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
g. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
h. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.

Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
1. Tanda bahaya:
a. kejang, kaku kuduk
b. penurunan kesadaran
c. kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
3. Gibbus, koksitis

25
Gambar 8. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak Pada Unit Pelayanan
Kesehatan Dasar

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat. Setelah
pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang.
Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan
pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak
menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.
Kategori Anak (2RHZ/ 4RH)
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam
waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap
lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.

Tabel 9. Dosis OAT Kombipak pada anak


Jenis Obat BB < 10 kg BB 10 - 19 kg BB 2 - 32 kg
Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Tabel 10. Dosis OAT KDT pada anak


Berat badan (kg) 2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari
RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
26
10-19 2 tablet 2 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Keterangan:
a. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
b. Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
c. Anak dengan BB 33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
d. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
e. OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat sebelum
diminum.

Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) untuk Anak


Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan
penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan sistem skoring.
Bila hasil evaluasi dengan skoring system didapat skor < 5, kepada anak tersebut diberikan
Isoniazid (INH) dengan dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum
pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan
selesai.

Efek Samping OAT

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.


Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat
dilanjutkan.

1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan,
rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin
dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut
pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin
(syndrom pellagra).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang
lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan
pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus

27
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simtomatik ialah :
a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare
c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
d. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
e. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
f. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini
terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya
telah menghilang
g. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur.
Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini
harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.

3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB
pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat
menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi
dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan
reaksi kulit yang lain.

4. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman,


buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut
tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB
perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan
kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak
diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi

5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan
peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada
pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang
28
terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini
dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan
diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli).

Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai
sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang
terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera
setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin
dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab
dapat merusak syaraf pendengaran janin.

Tabel 11. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Minor OAT diteruskan
Tidak nafsumakan, mual, Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur
sakit perut
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/allopurinol
Kesemutan sampai dengan INH Beri vitamin B6 1x100 mg/hari
rasa terbakar di kaki
Warna kemerahan pada air Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi
seni apa-apa

Pengobatan Suportif / Simptomatik

Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis
baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu
pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala/keluhan.

1. Pasien rawat jalan


a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan
(pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk
penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain.

2. Pasien rawat inap

29
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
a. Batuk darah (profus)
b. Keadaan umum buruk
c. Pneumotoraks
d. Empiema
e. Efusi pleura masif / bilateral
f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
a. TB paru milier
b. Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi
rawat

Kriteria Sembuh
1. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah
mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping
obat, serta evaluasi keteraturan berobat.

Evaluasi klinik
1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1
bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.

Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)


1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
a. Sebelum pengobatan dimulai
b. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
c. Pada akhir pengobatan
3. Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensiEvaluasi
radiologik (0 - 2 6/9 bulan pengobatan)

30
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
1. Sebelum pengobatan
2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan
keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
3. Pada akhir pengob

Evaluasi efek samping secara klinik


1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap
2. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , serta
asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan
3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)
5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila
ada keluhan)
6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang
paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada
evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman

Evalusi keteraturan berobat


1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya
obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai
penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada
pasien, keluarga dan lingkungannya.
2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

Evaluasi pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun
pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang
dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.
Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah
dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.

31
KOMPLIKASI

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan
atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang
mungikin timbul adalah :
1. Batuk darah
2. Pneumotoraks
3. Luluh paru
4. Gagal napas
5. Gagal jantung
6. Efusi pleura

DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program


penanggulangan tuberculosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah
dianut oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang
sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.
DOTS mengandung lima komponen, yaitu :
1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT
(Directly Observed Therapy)
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar) baik Istilah DOT diartikan
sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari oleh Pengawas
Menelan Obat (PMO)

Tujuan
1. Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
2. Mencegah putus berobat
3. Mengatasi efek samping obat jika timbul
4. Mencegah resistensi

Pengawasan

32
Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh :
1. Pasien berobat jalan
Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau petugas sosial
dapat berfungsi sebagai PMO. Bila pasien diperkirakan tidak mampu datang secara teratur,
sebaiknya dilakukan koordinasi dengan puskesmas setempat. Rumah PMO harus dekat
dengan rumah pasien TB untuk pelaksanaan DOT ini.
Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO
a. Petugas kesehatan
b. Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
c. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah

2. Pasien dirawat
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas RS, selesai
perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.

BAB III
KESIMPULAN

33
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis. WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis
pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Laporan
WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia
tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk.
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak
berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4 mm.
Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).
Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-
waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang
berperan dalam virulensi.
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat
mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis
non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer
GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus
primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer
merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).

Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah menurunkan angka kematian dan


kesakitan serta mencegah penularan dengan cara menyembuhkan pasien. Penatalaksanaan
penyakit TB merupakan bagian dari surveilans penyakit; tidak sekedar memastikan pasien
menelan obat sampai dinyatakan sembuh, tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan sarana
34
bantu yang dibutuhkan, petugas yang terkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan dan
rencana tindak lanjutnya.
Penatalaksanaan TB dimulai dari penemuan pasien TB yang terdiri dari penjaringan
suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Setelah pasien masuk dalam
klasifikasi yang telah ditentukan, barulah pengobatan yang tepat dapat dilaksanakan.
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip OAT harus diberikan dalam
bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan
kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin
kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed
Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB diberikan dalam 2
tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di
Indonesia:
1. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
2. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
3. Kategori Anak: 2HRZ/4HR

Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam
bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam
satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu
paket untuk satu pasien.

DAFTAR PUSTAKA

35
1. Eddy, PS. Sejarah dan Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis. Simposium Tuberkulosis.
Surabaya, Des. 1982 : 11-20.
2. Raviglione MC, Snider DE, Kochi Arata, Global Epidemiology of Tuberculosis JAMA
1995 ; 273 : 220-26.
3. WHO.TB A Clinical manual for South East Asia. Geneva, 1997; 19-23.
4. Aditama T.Y. Tuberculosis Situation in Indonesia, Singapore, Brunei Darussalam and
in Philippines, Cermin Dunia Kedokteran 1993 ; 63 : 3 7.
5. Hudoyo, A. Penerapan Strategi DOTS bagi Penderita TB, Dalam Simposium dan
Semiloka TB Terintegrasi. RSUP Persahabatan, Jakarta, 1999.
6. Broekmans, JF. Success is possible it best has to be fought for, World Health Forum
An International Journal of Health Development. WHO, Geneva, 1997 ; 18 : 243 47.
7. Bing, K. Diagnostik dan klasifikasi tuberkulosis paru. RTD Diagnosis dan Pengobatan
Mutakhir Tuberkulosis Pam Semarang, Mei 1989 1-6.
8. Suryatenggara, W. Peranan pyrazinamide dalam pengobatan tuberkulosis Yogyakarta
1984 : 43-55. paru jangka pendek. Simposium Pengobatan Mutakhir Tuberkulosis
Paru Bandung, 57-63.
9. PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta.
2002.
10. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta, 2007; 3-4.
11. Widodo, Eddy. Upaya Peningkatan Peran Masyarakat Dan Tenaga Kesehatan Dalam
Pemberantasan Tuberkulosis. IPB, Bogor. 2004.
12. Werdhani, Retno Asti. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis.
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, Dan Keluarga FKUI. 2002.

36

Anda mungkin juga menyukai