Bab Ii
Bab Ii
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Kepatuhan
1.1 Definisi
patuh yang berarti suka menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan
yang taat pada aturan, perintah yang telah ditetapkan, prosedur dan
1) Pengetahuan
hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
yakni :
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih
baik lagi.
b) Tingkat Pengetahuan
lain.
2) Sikap
a) Pengertian
Menurut Azwar (2009) sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi
respons. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari
tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka
(Notoatmodjo, 2003)
3) Kemampuan
4) Motivasi
a) Pengertian Motivasi
sendiri, tetapi saling kait mengait dengan faktor-faktor lain, hal-hal yang
Selain itu menurut Brunner & Suddarth (2002), ada beberapa faktor yang
dan pendidikan
akibat terapi
Faktor Ekstrinsik
1) Pengawasan
Perubahan perilaku individu pada tahap kepatuhan (compliance), mula-mula
individu melakukan sesuatu atas instruksi petugas tanpa kerelaan untuk
melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindarkan hukuman
atau sanksi jika dia tidak patuh, atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan
jika dia mematuhi aturan tersebut. Biasanya perubahan yang terjadi dalam tahapan
ini sifatnya sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada
petugas pengawas, sehingga tujuan dilakukan pengawasan adalah :
a) Pencapaian tujuan atau target kerja, jadi yang perlu dipantau adalah apakah
hasil kerja bawahan sesuai dengan yang telah ditentukan.
b) Untuk meningkatkan disiplin kerja pekerjanya
Pengawasan berfungsi untuk memastikan bahwa kegiatan yang dilakukan berjalan
sesuai rencana.
Proses pengawasan pada dasarnya dikarenakan oleh administrasi dan manajemen
dengan menggunakan 2 teknik :
a) Pengawasan langsung apabila pimpinan organisasi mengadakan sendiri
pengawasan terhadap kegiatan yaitu dengan melakukan observasi langsung.
2) Beban kerja
Beban kerja adalah tanggungan kewajiban yang harus dilaksanakan karena
pekerjaan tertentu dan juga sebagai tanggung jawab. Beban kerja berpengaruh
terhadap kinerja seseorang dalam melakukan pekerjaaannya. Pekerja yang
mempunyai beban kerja berlebih akan menurunkan kualitas hasil kerja dan
memungkinkan adanya inefisiensi waktu. Para manajer harus memperhatikan
tingkat optimal beban kerja karyawan. Beban kerja bukan hanya dipandang
sebagai beban kerja fisik tapi juga sebagai beban kerja mental.
2.2 Etiologi
Pengetahuan dan data tentang etiologi VAP termasuk profil
mikroorganisme serta pola sensitivitas dan resistensinya terhadap obat
antimikroba sangat diperlukan agar pemberian antibiotika dapat diberikan
secara tepat dan terarah. Hal itu sekaligus bertujuan menghindari
terjadinya resistensi mikroorganisme terhadap obat yangdiberikan.
Etiologi VAP meliputi spektrum mikroorganisme yang luas, dapat bersifat
polimikrobial tetapi jarang disebabkan oleh jamur atau virus pada pasien
imunokompeten. Mikroorganisme yang berperan dalam etiologi VAP
dapat berbeda antara satu tempat dengan yang lainnya. Hal itu dipengaruhi
oleh populasi pasien di ICU, lama perawatan di rumahsakit dan ICU,
metode diagnostik yang digunakan, pemberian antibiotika sebelumnya,
dan lain-lain (Kollef, 2005)
Beberapa kuman di duga sebagai penyebab VAP. Berdasarkan
hasil isolasi kuman pada pasien dengan diagnosis VAP, bakteri gram
negatif sangat sering ditemukan, namun hasil isolasi dengan bakteri gram
positif telah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir,
terutama pada neonatus (Afjeh, 2010)
Tabel 2. Etiologi VAP dengan teknik bronkoskopi pada 24 penelitian (total 2490
kuman patogen)
2.3 Epidemiologi
VAP merupakan infeksi nosokomial kedua tersering dan menempati
urutan pertama penyebab kematian akibat infeksi nosokomial pada
pasien di ICU. Penelitian terbesar di Amerika Serikat dengan data
lebih dari 9000 pasien menemukan bahwa VAP terjadi pada 9,3%
penderita yang menggunakan ventilasi mekanis lebih dari 24 jam.
Penelitian di Eropa menyimpulkan bahwa ventilasi mekanis dapat
meningkatkan risiko pneumonia 3 kali lipat dibandingkan penderita
tanpa ventilator, sedangkan di Amerika dilaporkan 24 kali lipat
(Wirasiti dkk, 2006)
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa angka kejadian VAP
dipengaruhi oleh usia, dengan 5 dari 1000 kasus dilaporkan pada
pasien dengan usia kurang dari 35 tahun dan 15 dari 1000 kasus di
temukan pada pasien dengan usia diatas 65 tahun. Penelitian terbaru
menyebutkan VAP meningkatkan lama rawat pasien hingga 7 sampai
9 hari per pasien, menyebabkan peningkatan jumlah pasien yang
terkena infeksi di ICU hingga 25% dan juga meningkatkan
penggunaan antibiotik hingga lebih dari 50% (Vincent dkk, 2011)
Angka mortalitas penderita VAP di beberapa institusi bervariasi
antara 24-76% sedangkan risiko kematian dapat mencapai 2 sampai
10 kali lipat dibandingkan penderita tanpa pneumonia.
Hasil penelitian Kollef dkk menyatakan bahwa penderita VAP
yang disebabkan oleh kuman Pseudomonas aeruginosa, Acetinobacter
spp dan Stenophomonas maltophilia meningkatkan angka mortalitas
secara bermakna (65%) dibandingkan penderita dengan onset lambat
akibat kuman lain (31%) maupun tanpa pneumonia onset lambat
(37%).
Klasifikasi
Menurut tores dkk dalam Wiryana, 2007, berdasarkan derajat penyakit,
faktor risiko dan onsetnya maka ada klasifikasi untuk mengetahui kuman
penyebab VAP, sebagai berikut :
a. Penderita dengan faktor risiko biasa, derajat ringan-sedang dan onset
kapan saja selama perawatan atau derajat berat dengan onset dini.
b. Penderita dengan faktor risiko spesifik dan derajat ringan-sedang yang
terjadi kapan saja selama perawatan
c. Penderita derajat berat dan onset dini dengan faktor risiko spesifik atau
onset lambat.
Patogenesis
VAP merupakan respon inflamasi dari penderita sebagai hasil
invasi mikroorganisme pada saluran pernafasan bagian bawah dan
parenkim paru. Perubahan kemampuan pertahanan tubuh pasien, paparan
antibiotik sebelumnya, dan keadaan kritis pasien akan memicu kolonisasi
bakteri-bakteri patogen yang potensial di orofaring. Kolonisasi bakteri
patogen ini dengan cepat menggantikan flora normal yang ada. Sinus dan
plak gigi juga berpotensi sebagai sumber infeksi lain. Bakteri dalam
droplet tersebut ikut berkolonisasi pada tabung endotrakheal atau tabung
trakheostomi dan masuk ke dalam paru. Di dalam saluran nafas bawah dan
di parenkim paru, kuman tersebut akan menghasilkan biofilm. Biofilm
tersebut memudahkan kuman untuk menginvasi perenkim paru lebih
lanjut, menimbulkan proliferasi dan reaksi peradangan di parenkim paru
sehingga terjadilah VAP (Torres, 2001)
Faktor Resiko
Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian VAP dapat dibagi
menjadi tiga kategori yaitu penjamu, peralatan yang digunakan dan faktor
petugas yang terlibat dalam perawatan pasien. Faktor penjamu disini
adalah kondisi pasien yang sudah ada sebelumnya seperti penyakit dasar
dari pasien, misalnya penurunan kekebalan, penyakit paru obstruktif
kronis dan sindrom gangguan pernapasan akut. Faktor penjamu lainnya
yang dapat mempengaruhi kejadian VAP adalah posisi tubuh pasien,
tingkat kesadaran, jumlah intubasi dan obat-obatan, termasuk agen obat
penenang dan antibiotik (Ernawati, 2006 ; Agustyne, 2007 ; Cindy, 2009).
Selain dari hal diatas, Ttietjen dalam bukunya juga mencantumkan faktor
usia dan status nutrisi sebagai faktor yang dapat berpengaruh terhadap
kejadian infeksi nosokomial. Pada keadaan malnutrisi sering dikaitkan
dengan penurunan imunitas sehingga menimbulkan risiko ketergantungan
terhadap ventilator, meningkatkan angka kejaddian infeksi dan
penyembuhan luka yang lama (Wiryana, 2007).
Adapun peralatan yang menjadi faktor risiko VAP adalah termasuk
selang endotrakeal, sirkuit ventilator dan adanya selang nasogastrik atau
orogastrik (Augustyne, 2007).
Sementara faktor risiko VAP yang termasuk kategori petugas yang terlibat
dalam perawatan pasien diantaranya kurangnya kepatuhan tenaga
kesehatan dalam melaksanakan prosedur cuci tangan sebelum dan sesudah
melakukan tindakan, prosedur pemasangan ventilator mekanik, prosedur
pemasangan pipa nasogastrik, perawatan mulut dan suction (Ernawati,
2006 ; Augustyne, 2007 ; Cindy, 2009).
Sinusitis
Penatalaksanaan
Kurang lebih 50% antibiotika yang diberikan di UPI adalah ditujukan untuk
infeksisaluran pernafasan. Luna dkk menyebutkan bahwa pemberian antibiotik
adekuat sejak awal,dapat meningkatkan angka ketahanan hidup,penderita VAP
pada saat data mikrobiologik belum tersedia (Torres, 2004). Penelitian di
Perancis, menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan rutin biakan kuantitatif melalui
aspirasi endotrakeal dapat mengidentifikasi pemberian antibiotikapada 95%
penderita VAP sambil menunggu hasilbiakan BAL. Penelitian lainnya oleh Fowler
dkk pada tahun 2003 memberikan hasil bahwa penderita yang mendapatkan
pengobatan penisilin antipseudomonas ditambah penghambat laktamase serta
aminoglikosida memiliki angka kematian lebih rendah. Piperasilin-tazobaktam
merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan (63%) diikuti golongan
fluorokuinolon (57%), vankomisin (47%), sefalosporin (28%) dan aminoglikosida
(25%).
Singh dkk (2000) menyatakan bahwa siprofloksasin sangat efektif pada sebagian
besar kuman Enterobacteriaceae, Haemophilus influenza dan Staphylococcus
aureus. Pemberian antibiotika dapat dihentikan setelah 3 hari pada penderita
dengan kecendrungan VAP rendah (CPIS < 6).
TABEL DI WIRYANA
Pencegahan
Dalam Wiryana, 2007, Meskipun VAP memiliki beberapa faktor risiko,
intervensi keperawatan banyak berperan dalam mencegah kejadian VAP. Ada dua
cara pencegahan, yaitu:
a. Tindakan pencegahan kolonisasi bakteri di orofaring dan saluran pencernaan.
Tindakan keperawatan yang perlu di lakukan antara lain:
1.) Mencuci tangan
Selalu mencuci tangan selama 10 detik harus dilakukan sebelum dan setelah
kontak dengan pasien. Selain itu, sarung tangan harus dipakai bila kontak dengan
atau endotracheal sekresi oral (Porzecanski, 2006).
2.) Suction
Suction endotracheal merupakan prsedur penting dan sering dilakukan untuk
pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis. Prosedur ini dilakukan untuk
mempertahankan patensi jalan napas, memudahkan penghilangan sekret jalan
napas, merangsang batuk dalam, dan mencegah terjadinya pneumonia (Smeltzer,
2002).
3.) Oral dekontaminasi atau perawatan mulut juga merupakan salah satu tindakan
mengurangi jumlah bakteri dalam rongga mulut pasien, yang dapat dilakukan
dengan intervensi mekanis dan farmakologis. Intervensi mekanik termasuk
menyikat gigi dan pembilasan dari rongga mulut untuk menghilangkan plak pada
gigi. Adapun intervensi farmakologis melibatkan penggunaan antimikroba (Luna,
2003). Penggunaan antibiotik profilaksis sistemik tidak menurunkan kejadianVAP
dan ketika agen-agen yang digunakan tidak tepay, dapat mengembangkan
resistensi antibiotik (Mandell,2007).
4.) Perubahan posisi tidur
Rutin mengubah posisi pasien minimal setiap 2 jam dapat meningkatkan drainase
paru dan menurunkan resiko VAP. Penggunaan tempat tidur mampu rotasi lateral
terus-menerus dapat menurunkan kejadian pneumoonia tetapi tidak menurunkan
angka kematian atau durasi ventilasi mekanis (Pineda dkk, 2006).
b. Tindakan pencegahan untuk mencegah aspirasi ke paru-paru. Selain strategi
untuk mencegah kolonisasi, strategi untuk mencegah aspirasi juga dapat
digunnakan untuk mengurangi risiko VAP.
Strategi tersebut meliputi :
1.) Menyapih dan ekstubasi dini : karena adanya suatu selang endotracheal
merupakan predisposisi pasien VAP, oleh karena itu pasien harus di observasi
setiap hari. Jika memungkinkan menyapih dan ekstubasi lebih dini dari ventilasi
mekanis lebih di anjurkan (Wiryana, 2007).
2.) Posisi Semifowler : memberikan posisi pasien dalam posisi semifowler dengan
kepala tempat tidur di tinggikan mencegah refluks dan aspirasi bakteri dar
lambung ke dalam saluran napas. Cukup mengangkay kepala tempat tidur dan
menurunkan VAP sebesar 34% (AACN, 2007).
B. Kerangka Konsep
Kepatuhan Perawat
Terhadap SOP pemasangan ventilator
C. Hipotesis
Tingginya angka kejadian VAP (Ventilator Associated Pneumonia) dikarenakan
adanya pengaruh kepatuhan perawat pada SPO pemasangan ventilator.