Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Kepatuhan

1.1 Definisi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepatuhan berasal dari kata

patuh yang berarti suka menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan

dan berdisiplin. Kepatuhan merupakan suatu bentuk perilaku manusia

yang taat pada aturan, perintah yang telah ditetapkan, prosedur dan

disiplin yang harus dijalankan. Green dan Kreuter (2000) mengatakan

kesehatan individu atau masyarakat dipengaruhi oleh faktor perilaku yang

merupakan hasil dari pada segala macam pengalaman maupun interaksi

manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk

pengetahuan, sikap dan tindakan.

1.2 Faktor-faktor Kepatuhan

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Faktor-faktor yang

mempengaruhi kepatuhan (Setiadi, 2007) yaitu:

1.2.1 Faktor Internal

1) Pengetahuan

Pengetahuan Menurut Wawan & Dewi (2010), pengetahuan merupakan

hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan

terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera


manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan

raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).

Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng, sebelum

orang mengadopsi perilaku baru tersebut terjadi proses yang berurutan

yakni :

(1) Awareness (kesadaran) : yakni orang tersebut menyadari dalam

arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.

(2) Interest : yakni orang mulai tertarik kepada stimulus.

(3) Evaluation : menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih

baik lagi.

(4) Trial : orang telah mulai mencoba perilaku baru.

(5) Adoption : subjek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus

b) Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan tercakup dalam domain

kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu :

(1) Tahu (know) :

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya. Kata kerja untuk mengukur bahwa

orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain

menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan


sebagainya. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat

pengetahuan yang paling rendah.

(2) Memahami (comprehension) :

Suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang

obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi

tersebut secara benar.

(3) Aplikasi (application) :

Sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

(4) Analisis (analysis) :

Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

subyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam

suatu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama

lain.

(5) Sintesis (synthetis) :

Sintesis yaitu menunjukkan pada suatu kemampuan untuk

meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam

suatu kemampuan untuk menyusun formula baru. Formulasi-

formulasi yang telah ada.

(6) Evaluasi (evaluation) :

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

penilaian terhadap suatu obyek atau materi. Penilian ini


dibutuhkan suatu kriteria yang ditentukan atau menggunakan

kriteria yang ada.

2) Sikap

a) Pengertian

Menurut Azwar (2009) sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi

perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan

mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung

atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Sikap merupakan

semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara

tertentu. Dapat dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan

kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila

individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya

respons. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari

seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata

menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus

tertentu yang dalam kehidupan seharihari merupakan reaksi yang bersifat

emosional terhadap stimulus sosial. Sikap itu masih merupakan reaksi

tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka

(Notoatmodjo, 2003)

3) Kemampuan

Kemampun adalah bakat seseorang untuk melakukan tugas fisik atau

mental. Kemampuan seseorang pada umumnya stabil. Kemampuan


merupakan faktor yang dapat membedakan karyawan yang berkinerja

tinggi dan yang berkinerja rendah. Kemampuan ndividu mempengaruhi

karateristik pekerjaan, perilaku, tanggung jawab, pendidikan dan memiliki

hubungan secara nyata terhadap kinerja pekerjaan (Ivancevich, 2007).

Manajer harus berusaha menyesuaikan kemampuan dan keterampilan

seseorang dengan kebutuhan pekerjaan. Proses penyesuaian ini penting

karena tidak ada kepemimpinan, motivasi, atau sumber daya organisasi

yang dapat mengatasi kekurangan kemampuan dan keterampilan

meskipun beberapa keterampilan dapat diperbaiki melalui latihan atau

pelatihan (Ivancevich, 2007).

4) Motivasi

a) Pengertian Motivasi

Motivasi mempunyai arti dorongan, berasal dari bahasa latin movere,

yang berarti mendorong atau menggerakkan. Motivasi inilah yang

mendorong seseorang untuk berperilaku, beraktifitas dalam pencapaian

tujuan. Karena itu motivasi diartikan sebagai kekuatan yang terdapat

dalam diri organisme yang mendorong untuk berbuat atau merupakan

driving force. Motif sebagai pendorong pada umumnya tidak berdiri

sendiri, tetapi saling kait mengait dengan faktor-faktor lain, hal-hal yang

dapat mempengaruhi motif disebut motivasi. Kalau orang ingin

mengetahui mengapa orang berbuat atau berperilaku ke arah sesuatu


seperti yang dikerjakan, maka orang tersebut akan terkait dengan motivasi

atau perilaku yang termotivasi (motivated behavior) (Sunaryo, 2004).

Menurut Walgito (2004), motivasi merupakan keadaan dalam diri

individu atau organisme yang mendorong perilaku ke arah tujuan. Dengan

demikian dapat dikemukakan bahwa motivasi mempunyai 3 aspek, yaitu :

(1) Keadaan terdorong dalam diri organisme (a driving state) : yaitu

kesiapan bergerak karena kebutuhan

(2) Perilaku yang timbul dan terarah karena keadaan ini

(3) Goal atau tujuan yang dituju oleh perilaku tersebut

Selain itu menurut Brunner & Suddarth (2002), ada beberapa faktor yang

memmpengaruhi tingkat kepatuhan, yaitu:

1. Variabel demografi, seperti usia, jenis kelamin, status sosio ekonomi

dan pendidikan

2. Variabel penyakit seperti keparahan penyait dan hilangnya gejala

akibat terapi

3. Variabel program teraupetik seperti kompleksitas program dan efek

samping yang tidak menyenangkan

4. Variabel psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga

kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit,

keyakinan agama atau budaya, dan biaya finansial.

Faktor Ekstrinsik

1) Pengawasan
Perubahan perilaku individu pada tahap kepatuhan (compliance), mula-mula
individu melakukan sesuatu atas instruksi petugas tanpa kerelaan untuk
melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindarkan hukuman
atau sanksi jika dia tidak patuh, atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan
jika dia mematuhi aturan tersebut. Biasanya perubahan yang terjadi dalam tahapan
ini sifatnya sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada
petugas pengawas, sehingga tujuan dilakukan pengawasan adalah :
a) Pencapaian tujuan atau target kerja, jadi yang perlu dipantau adalah apakah
hasil kerja bawahan sesuai dengan yang telah ditentukan.
b) Untuk meningkatkan disiplin kerja pekerjanya
Pengawasan berfungsi untuk memastikan bahwa kegiatan yang dilakukan berjalan
sesuai rencana.
Proses pengawasan pada dasarnya dikarenakan oleh administrasi dan manajemen
dengan menggunakan 2 teknik :
a) Pengawasan langsung apabila pimpinan organisasi mengadakan sendiri
pengawasan terhadap kegiatan yaitu dengan melakukan observasi langsung.

b) Pengawasan tidak langsung, pengawasan dari jarak jauh yang

dilakukan melalui laporan yang disampaikan oleh bawahan.

2) Beban kerja
Beban kerja adalah tanggungan kewajiban yang harus dilaksanakan karena
pekerjaan tertentu dan juga sebagai tanggung jawab. Beban kerja berpengaruh
terhadap kinerja seseorang dalam melakukan pekerjaaannya. Pekerja yang
mempunyai beban kerja berlebih akan menurunkan kualitas hasil kerja dan
memungkinkan adanya inefisiensi waktu. Para manajer harus memperhatikan
tingkat optimal beban kerja karyawan. Beban kerja bukan hanya dipandang
sebagai beban kerja fisik tapi juga sebagai beban kerja mental.

Menurut Kelman (1958), perubahan sikap dan perilaku individu dimulai


dengan tahap kepatuhan, identifikasi kemudian baru menjadi internalisasi. Mula-
mula individu mematuhi anjuran atau instruksi petugas tanpa kerelaan untuk
melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari
hukuman/sanksi jika tidak patuh atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan
jika mematuhi anjuran tersebut tahap ini disebut tahap kesediaan, biasanya
perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat sementara, artinya bahwa tindakan
itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas. Tetapi begitu pengawasan
itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan.Pengawasan itu tidak
perlu berupa kehadiran fisik petugas atau tokoh otoriter, melainkan cukup rasa
takut terhadap ancaman sanksi yang berlaku, jika individu tidak melakukan
tindakan tersebut. Dalam tahap ini pengaruh tekanan kelompok sangatlah besar,
individu terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku mayoritas kelompok
meskipun sebenarnya dia tidak menyetujuinya. Namun segera setelah dia keluar
dari kelompok tersebut, kemungkinan perilakunya akan berubah menjadi
perilakunya sendiri.

2. Ventilator Associated Pneumonia


2.1 Definisi
VAP didefinisikan sebagai pneumonia nosokomial yang terjadi setelah
48jam pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik baik itu melalui
pipa endotrakel maupun pipa trakeostomi. Sedangkan American College
of Chest Physician mendefinisikan VAP sebagai suatu keadaan dimana
terdapat gambaran infiltrat baru dan menetap pada foto toraks disertai
salah satu tanda yaitu, hasil biakan darah atau pleura sama dengan
mikroorganisme yang ditemukan di sputum maupun aspirasi trakea,
kavitasi pada foto torak, gejala pneumonia atau terdapat dua dari tiga
gejala berikut yaitu demam, leukositosis dan sekret purulen (Ibrahim dkk,
2000)

2.2 Etiologi
Pengetahuan dan data tentang etiologi VAP termasuk profil
mikroorganisme serta pola sensitivitas dan resistensinya terhadap obat
antimikroba sangat diperlukan agar pemberian antibiotika dapat diberikan
secara tepat dan terarah. Hal itu sekaligus bertujuan menghindari
terjadinya resistensi mikroorganisme terhadap obat yangdiberikan.
Etiologi VAP meliputi spektrum mikroorganisme yang luas, dapat bersifat
polimikrobial tetapi jarang disebabkan oleh jamur atau virus pada pasien
imunokompeten. Mikroorganisme yang berperan dalam etiologi VAP
dapat berbeda antara satu tempat dengan yang lainnya. Hal itu dipengaruhi
oleh populasi pasien di ICU, lama perawatan di rumahsakit dan ICU,
metode diagnostik yang digunakan, pemberian antibiotika sebelumnya,
dan lain-lain (Kollef, 2005)
Beberapa kuman di duga sebagai penyebab VAP. Berdasarkan
hasil isolasi kuman pada pasien dengan diagnosis VAP, bakteri gram
negatif sangat sering ditemukan, namun hasil isolasi dengan bakteri gram
positif telah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir,
terutama pada neonatus (Afjeh, 2010)

Wiryana (2007) membagi bakteri penyebab VAP dibagi menjadi beberapa


kelompok berdasarkan onset atau lamanya pola kuman.
1. Bakteri penyebab VAP pada kelompok I adalah kuman gram negatif
(Enterobacter spp, Escherichia coli, Klebsiella spp, Proteus spp,
Serratai marcescens), Haemophilus influenza, Streptococcus
pneumonia, dan Methicillin Sensitive Staphylococcus Aureus (MSSA).
2. Bakteri kelompok II adalah bakteri penyebab kelompok I ditambah
kuman anaerob, Legionella pneumophilia dan Methicillin Resistan
Staphylococcus Aureus (MRSA).
3. Bakteri penyebab kelompok III adalah Pseudomonas aeruginosa,
Acetinobacter spp, dan MRSA.

Tabel 2. Etiologi VAP dengan teknik bronkoskopi pada 24 penelitian (total 2490
kuman patogen)

Patogen Frekuensi (%)


Pseudomonas aeruginosa 24,4
Acinetobacter spp 7,9
Stenotrophomonas maltophilia 1,7
Enterobacteriaceae 14,1
Haemophilus spp 9,8
Staphylococcus aureus 20,4
Streptococcus spp 8,0
Streptococcus pneumonia 4,1
Coagulase-negatif staphylococci 1,4
Neisseria spp 2,6
Anaerob 0,9
Jamur 0,9
Lain-lain 3,8

2.3 Epidemiologi
VAP merupakan infeksi nosokomial kedua tersering dan menempati
urutan pertama penyebab kematian akibat infeksi nosokomial pada
pasien di ICU. Penelitian terbesar di Amerika Serikat dengan data
lebih dari 9000 pasien menemukan bahwa VAP terjadi pada 9,3%
penderita yang menggunakan ventilasi mekanis lebih dari 24 jam.
Penelitian di Eropa menyimpulkan bahwa ventilasi mekanis dapat
meningkatkan risiko pneumonia 3 kali lipat dibandingkan penderita
tanpa ventilator, sedangkan di Amerika dilaporkan 24 kali lipat
(Wirasiti dkk, 2006)
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa angka kejadian VAP
dipengaruhi oleh usia, dengan 5 dari 1000 kasus dilaporkan pada
pasien dengan usia kurang dari 35 tahun dan 15 dari 1000 kasus di
temukan pada pasien dengan usia diatas 65 tahun. Penelitian terbaru
menyebutkan VAP meningkatkan lama rawat pasien hingga 7 sampai
9 hari per pasien, menyebabkan peningkatan jumlah pasien yang
terkena infeksi di ICU hingga 25% dan juga meningkatkan
penggunaan antibiotik hingga lebih dari 50% (Vincent dkk, 2011)
Angka mortalitas penderita VAP di beberapa institusi bervariasi
antara 24-76% sedangkan risiko kematian dapat mencapai 2 sampai
10 kali lipat dibandingkan penderita tanpa pneumonia.
Hasil penelitian Kollef dkk menyatakan bahwa penderita VAP
yang disebabkan oleh kuman Pseudomonas aeruginosa, Acetinobacter
spp dan Stenophomonas maltophilia meningkatkan angka mortalitas
secara bermakna (65%) dibandingkan penderita dengan onset lambat
akibat kuman lain (31%) maupun tanpa pneumonia onset lambat
(37%).

Klasifikasi
Menurut tores dkk dalam Wiryana, 2007, berdasarkan derajat penyakit,
faktor risiko dan onsetnya maka ada klasifikasi untuk mengetahui kuman
penyebab VAP, sebagai berikut :
a. Penderita dengan faktor risiko biasa, derajat ringan-sedang dan onset
kapan saja selama perawatan atau derajat berat dengan onset dini.
b. Penderita dengan faktor risiko spesifik dan derajat ringan-sedang yang
terjadi kapan saja selama perawatan
c. Penderita derajat berat dan onset dini dengan faktor risiko spesifik atau
onset lambat.
Patogenesis
VAP merupakan respon inflamasi dari penderita sebagai hasil
invasi mikroorganisme pada saluran pernafasan bagian bawah dan
parenkim paru. Perubahan kemampuan pertahanan tubuh pasien, paparan
antibiotik sebelumnya, dan keadaan kritis pasien akan memicu kolonisasi
bakteri-bakteri patogen yang potensial di orofaring. Kolonisasi bakteri
patogen ini dengan cepat menggantikan flora normal yang ada. Sinus dan
plak gigi juga berpotensi sebagai sumber infeksi lain. Bakteri dalam
droplet tersebut ikut berkolonisasi pada tabung endotrakheal atau tabung
trakheostomi dan masuk ke dalam paru. Di dalam saluran nafas bawah dan
di parenkim paru, kuman tersebut akan menghasilkan biofilm. Biofilm
tersebut memudahkan kuman untuk menginvasi perenkim paru lebih
lanjut, menimbulkan proliferasi dan reaksi peradangan di parenkim paru
sehingga terjadilah VAP (Torres, 2001)

Menurut Marc J dkk (2004), mikroorganisme penyebab VAP dapat masuk


ke saluran nafas bagian bawah melalui :
1. Aspirasi, merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti
kasus neorologis dan usia lanjut.
2. Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu nafas yang
digunakan
pasien.
3. Hematogenik
4. Penyebaran langsung.

Cook dkk menunjukkan bahwa lambung adalah reservoir utama


pertumbuhan dan aspirasi mikroorganisme. Hal ini dapat dipengaruhi
beberapa faktor seperti pemakaian obat yang memicu pertumbuhan bakteri
(antibiotika dan pencegah stress ukcer), posisi penderita yang datar,
pemberian nutrisi enteral, dan derajat keparahan penyakit penderita.

Kuman gram negatif dan staphylococcus aureus merupakan koloni


yang sering ditemukan disaluran pernafasan atau saat perawatan lebih dari
5 hari. VAP dapat pula terjadi akibat makroaspirasi lambung. Pengisapan
lendir sampai trakea maupun ventilasi manual dapat menkontaminasi
kuman patogen kedalam saluran pernafasan bawah (Fowler, 2003)

Pada pernafasan normal terdapat variasi mekanisme pertahanan


tubuh yang akan melindungi paru-paru dari infeksi, antara lain zat-zat
antimkroba di airliur, mekanisme trakeobronkial, gerak mukosilier untuk
membersihkan secret, imunitas selular dan humoral serta sistem fagositik.
Pada pasien kritis terjadi gangguan sistem imun sehingga mekanisme
pertahanan tubuhnya terganggu dan tidak dapat berlangsung efektif.
Ketika bakteri patogen mencapai saluran nafas yang lebih distal, sistem
imunitas paru akan bereaksi untuk menginaktivasi makrofag alveolus,
neutrofil, dan elemen elemen penyusun system imun humoral untuk
membunuh organism pathogen yang ada. Saat system imun tubuh
memberikan reaksi yang berlebihan, terjadilah respon inflamasi di paru
dan terjadilah pneumonia (Chastre J, 2002)

Faktor Resiko
Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian VAP dapat dibagi
menjadi tiga kategori yaitu penjamu, peralatan yang digunakan dan faktor
petugas yang terlibat dalam perawatan pasien. Faktor penjamu disini
adalah kondisi pasien yang sudah ada sebelumnya seperti penyakit dasar
dari pasien, misalnya penurunan kekebalan, penyakit paru obstruktif
kronis dan sindrom gangguan pernapasan akut. Faktor penjamu lainnya
yang dapat mempengaruhi kejadian VAP adalah posisi tubuh pasien,
tingkat kesadaran, jumlah intubasi dan obat-obatan, termasuk agen obat
penenang dan antibiotik (Ernawati, 2006 ; Agustyne, 2007 ; Cindy, 2009).
Selain dari hal diatas, Ttietjen dalam bukunya juga mencantumkan faktor
usia dan status nutrisi sebagai faktor yang dapat berpengaruh terhadap
kejadian infeksi nosokomial. Pada keadaan malnutrisi sering dikaitkan
dengan penurunan imunitas sehingga menimbulkan risiko ketergantungan
terhadap ventilator, meningkatkan angka kejaddian infeksi dan
penyembuhan luka yang lama (Wiryana, 2007).
Adapun peralatan yang menjadi faktor risiko VAP adalah termasuk
selang endotrakeal, sirkuit ventilator dan adanya selang nasogastrik atau
orogastrik (Augustyne, 2007).
Sementara faktor risiko VAP yang termasuk kategori petugas yang terlibat
dalam perawatan pasien diantaranya kurangnya kepatuhan tenaga
kesehatan dalam melaksanakan prosedur cuci tangan sebelum dan sesudah
melakukan tindakan, prosedur pemasangan ventilator mekanik, prosedur
pemasangan pipa nasogastrik, perawatan mulut dan suction (Ernawati,
2006 ; Augustyne, 2007 ; Cindy, 2009).

Faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan VAP (Kollef, 2004)


Faktor pejamu Faktor intervensi Faktor lain
Albumin serum <2,2 g/dl Antagonis H2. Antacid Musim dingin

Usia 60 th Obat paralitik, sedasi


intravena
ARDS
Produksi > 4 unit darah
PPOK dan atau penyakit
paru Penilaian tekanan
intracranial
Koma atau penurunan
kesadaran Ventilasi mekanik > 2
hari
Luka bakar dan trauma
PEEP
Gagal organ
Reintubasi
Keparahan penyakit
Pipa nasogastrik
Aspirasi volume lambung
Posisi telentang
Kolonisasi lambung dan
pH Transport keluar dan UPI

Kolonisasi saluran nafas Antibiotik atau tanpa


atas antibiotik

Sinusitis

Penatalaksanaan
Kurang lebih 50% antibiotika yang diberikan di UPI adalah ditujukan untuk
infeksisaluran pernafasan. Luna dkk menyebutkan bahwa pemberian antibiotik
adekuat sejak awal,dapat meningkatkan angka ketahanan hidup,penderita VAP
pada saat data mikrobiologik belum tersedia (Torres, 2004). Penelitian di
Perancis, menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan rutin biakan kuantitatif melalui
aspirasi endotrakeal dapat mengidentifikasi pemberian antibiotikapada 95%
penderita VAP sambil menunggu hasilbiakan BAL. Penelitian lainnya oleh Fowler
dkk pada tahun 2003 memberikan hasil bahwa penderita yang mendapatkan
pengobatan penisilin antipseudomonas ditambah penghambat laktamase serta
aminoglikosida memiliki angka kematian lebih rendah. Piperasilin-tazobaktam
merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan (63%) diikuti golongan
fluorokuinolon (57%), vankomisin (47%), sefalosporin (28%) dan aminoglikosida
(25%).

Singh dkk (2000) menyatakan bahwa siprofloksasin sangat efektif pada sebagian
besar kuman Enterobacteriaceae, Haemophilus influenza dan Staphylococcus
aureus. Pemberian antibiotika dapat dihentikan setelah 3 hari pada penderita
dengan kecendrungan VAP rendah (CPIS < 6).
TABEL DI WIRYANA

Pencegahan
Dalam Wiryana, 2007, Meskipun VAP memiliki beberapa faktor risiko,
intervensi keperawatan banyak berperan dalam mencegah kejadian VAP. Ada dua
cara pencegahan, yaitu:
a. Tindakan pencegahan kolonisasi bakteri di orofaring dan saluran pencernaan.
Tindakan keperawatan yang perlu di lakukan antara lain:
1.) Mencuci tangan
Selalu mencuci tangan selama 10 detik harus dilakukan sebelum dan setelah
kontak dengan pasien. Selain itu, sarung tangan harus dipakai bila kontak dengan
atau endotracheal sekresi oral (Porzecanski, 2006).
2.) Suction
Suction endotracheal merupakan prsedur penting dan sering dilakukan untuk
pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis. Prosedur ini dilakukan untuk
mempertahankan patensi jalan napas, memudahkan penghilangan sekret jalan
napas, merangsang batuk dalam, dan mencegah terjadinya pneumonia (Smeltzer,
2002).
3.) Oral dekontaminasi atau perawatan mulut juga merupakan salah satu tindakan
mengurangi jumlah bakteri dalam rongga mulut pasien, yang dapat dilakukan
dengan intervensi mekanis dan farmakologis. Intervensi mekanik termasuk
menyikat gigi dan pembilasan dari rongga mulut untuk menghilangkan plak pada
gigi. Adapun intervensi farmakologis melibatkan penggunaan antimikroba (Luna,
2003). Penggunaan antibiotik profilaksis sistemik tidak menurunkan kejadianVAP
dan ketika agen-agen yang digunakan tidak tepay, dapat mengembangkan
resistensi antibiotik (Mandell,2007).
4.) Perubahan posisi tidur
Rutin mengubah posisi pasien minimal setiap 2 jam dapat meningkatkan drainase
paru dan menurunkan resiko VAP. Penggunaan tempat tidur mampu rotasi lateral
terus-menerus dapat menurunkan kejadian pneumoonia tetapi tidak menurunkan
angka kematian atau durasi ventilasi mekanis (Pineda dkk, 2006).
b. Tindakan pencegahan untuk mencegah aspirasi ke paru-paru. Selain strategi
untuk mencegah kolonisasi, strategi untuk mencegah aspirasi juga dapat
digunnakan untuk mengurangi risiko VAP.
Strategi tersebut meliputi :
1.) Menyapih dan ekstubasi dini : karena adanya suatu selang endotracheal
merupakan predisposisi pasien VAP, oleh karena itu pasien harus di observasi
setiap hari. Jika memungkinkan menyapih dan ekstubasi lebih dini dari ventilasi
mekanis lebih di anjurkan (Wiryana, 2007).
2.) Posisi Semifowler : memberikan posisi pasien dalam posisi semifowler dengan
kepala tempat tidur di tinggikan mencegah refluks dan aspirasi bakteri dar
lambung ke dalam saluran napas. Cukup mengangkay kepala tempat tidur dan
menurunkan VAP sebesar 34% (AACN, 2007).

Metode Penilaian Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS)


Kejadian VAP bisa dilihat dengan penilaian Clinical Pulmonary Infection
Score (CPIS). Penilaian CPIS awal dilakukan dalam 48 jam sejak pertama kali
pasien terintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik di ICU dan pemeriksaan
mikrobiologi dilakukan jika terdapat gejala klinis. Selanjutnya penilaian CPIS
dilakukan berkala. Biakan kuman diambil berdasarkan teknik protected specimen
brush, bronchoalveolar lavage ataupun blind suctioning sekret bronkial (Sirvent,
2003).
Diagnosis VAP ditegakkan setelah menyingkirkan adanya pneumonia
sebelumnya, terutama pneumonia komunitas (Community Acquired
Pneumonia).bila dari awal pasien masuk ICU sudah menunjukkan gejala klinis
dan biakan kuman didapatkan setelah 48 jam dengan ventilasi mekanik serta nilai
total CPIS > atau = 6, maka diagnosis VAP dapat dittegakkan, namun jika nilai
total CPIS < 6 maka diagnosis VAP disingkirkan. Penilaian CPIS meliputi
beberapa komponen yaitu suhu tubuh, leukosit, sekret trakea, fraksi oksigenasi,
pemeriksaan radiologi. Dalam penilaian CPIS klasik disertai pemeriksaan
mikrobioloogi, sedangkan penilaian CPIS modifikasi tanpa disertai pemeriksaan
kultur (Luna CM, 2003).
TABEL CPIS
Komponen Nilai Skor
o
Temperatur ( C) 36,5 dan 38,4 0
38,5 dan 38,9 1
39,0 dan 36,5 2
Leukosit per mm3 4000 dan 11000 0
< 4000 dan > 11000 1
Sekret Trakea Tidak ada atau sedikit 0
Ada, tidak purulent 1
Purulent 2
Oksigenasi PaO2 / FiO2 < 240, ARDS 0
240 dan tidak ada ARDS 2
Foto torak Tidak ada infiltrat 0
Infiltrat difus 1
Infiltrat terlokalisir 2

B. Kerangka Konsep
Kepatuhan Perawat
Terhadap SOP pemasangan ventilator

Faktor Internal Faktor Eksternal


Umur Lingkungan kerja
Jenis Kelamin Karakteristik kelompok
Lama Bekerja Beban kerja
Pengetahuan

Angka Kejadian VAP

C. Hipotesis
Tingginya angka kejadian VAP (Ventilator Associated Pneumonia) dikarenakan
adanya pengaruh kepatuhan perawat pada SPO pemasangan ventilator.

Anda mungkin juga menyukai