Anda di halaman 1dari 7

INSEKTISIDA DAN KERACUNAN INSEKTISIDA

Definisi

Insektisida merupakan salah satu kelompok terbesar dari pestisida yang biasa
digunakan sebagai racun serangga yang banyak dipakai dalam pertanian, perkebunan
dan dalam rumah tangga. Penggunaan insektisida yang tidak tepat dapat memberikan
efek samping keracunan.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan setiap tahun terdapat sekitar
25 juta kasus keracunan insektisida atau sekitar 68.493 kasus setiap hari. Peristiwa
terbaru di Indonesia yaitu kematian yang menimpa 9 warga di Desa Kanirogo pada
bulan Juli 2017 yang diakibatkan oleh keracunan insektisida.
Insektisida dapat digolongkan menjadi insektisida golongan hidrokarbon
terkhlorinasi dan golongan inhibitor kolinestrase yang terbagi menjadi organofosfat
dan karbamat. Insektisida golongan organofosfat dan karbamat paling banyak
digunakan petani dalam membasmi serangga. Insektisida golongan ini dapat dimonitor
dengan mengukur kadar kolinesterase darah. Departemen kesehatan menggunakan
kadar kolinesterase dalam darah untuk memonitor keracunan insektisida pada petani.
Hasil monitoring Departemen Kesehatan terhadap keracunan insektisida pada petani
didapatkan 61,82% petani mempunyai aktivitas kolinesterase normal, 1,3% keracunan
berat, 9,98% keracunan sedang, dan 26,8% keracunana ringan.

INSEKTISIDA GOLONGAN HIDROKARBON TERKHLORINASI

Hidrokarbon terkhlorinasi adalah zat kimia sintetik yang stabil beberapa minggu
sampai beberapa bulan setelah penggunaannya. Umumnya larut dalam lemak tetapi
tidak dalam air. Termasuk golongan ini adalah DDT, Aldrin, Dieldrin, Endrin,
Chlordane, Lindane, Methoxyclor, Toxaphane dan BHC (Benzene hexa chloride) yang
hampir sama dengan DDT.
Farmakokinetik

DDT ( dikloro difenil trikloro etana=klorofenotan) lambat diabsorbsi melalui saluran


cerna. Insektisida dalam bentuk bubuk tidak diabsorbsi melalui kulit, tetapi bila
dilarutkan dalam bentuk solven organik mungkin dapat diabsorbsi melalui kulit.
Absorbsi dapat pula melalui pernafasan bila seseorang terpapar aerosol. Setelah
absorsi, DDT dalam jumlah besar ditimbun dalam lemak. DDT mengalami degradasi
dengan lambat enjadi DDA ( Asam dikloro difenil asetat) dan mungkin pula produk
degradasi lain. Setelah pemberian, DDT sedikit sekali atau tidak ada DDT dalam
bentuk tidak berubah dijumpai dalam urin. Tetapi eksresi klorin organik melalui
saluran kemih meningkat dan mencapai puncaknya dalam 24 jam, kemudian perlahan-
lahan turun sampai 10 hari. Sebagian besar klorin ini terdapat dalam bentuk DDA.
Hanya 20% dari DDT yang ditelan dijumpai sebai DDA di urin.

Farmakodinamik

DDT merupakan stimulator SSP yang kuat dengan efek eksitasi langsung pada neuron,
yang mengakibatkan kejang-kejang dengan mekanisme yang belum jelas. Derajat
kejang sebanding dengan kadar DDT dalam otak. Kejang bersifat epileptiform dengan
interval kejang yang semakin lama semakin meningkat. DDT juga mengakibatkan
sensitivitas miokardium meningkat. Kematian terjadi akibat depresi pernafasan atau
akibat fibrilasi ventrikel.

Takaran toksik DDT pada manusia adalah 1 gram dan takaran fatalnya 30 gram.
Takaran fatal pada binatang untuk Aldin 2-5 gram, Dieldrin 2-5 gram, Endrin
10mg/Kg, Chlordane 6 gram, Lindane 15-30 gram, Methoxychlor 350-500 gram,
Toxaphene 2-7 gram.

Tanda dan Gejala Keracunan

Manifestasi utama keracunan adalah muntah-muntah , tremor, dan kejang-kejang.


Gejala pada keracunan ringan adalah merasa lelah, berat dan sakit pada tungkai, sakit
kepala, parestesia pada lidah, bibir dan muka, gelisah. Gejala pada keracunan berat
adalah pusing , gangguan keseimbangan, bingung, rasa tebal pada jari-jari, tremor,
mual, muntah, fasikulasi, midriasis, kejang tonik dan klonik, kemudian koma.

Pemeriksaan Kedokteran Forensik

Diagnosis keracunan ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya kontak dengan


insektisida, misalnya bekerja sebagai penyemprot hama, adanya gejalakeran=cunan
dan pemeriksaan laboratorium terhadap darah dan urin.

Pada keracunan kronik , dilakukan biopsi lemak tubuh yang diambil pada perut setinggi
garis pinggang minimal 50 gram dan dimasukkan ke dalam botol bermulut lebar
dengan penutup dari gelas dan ditimbang dengan ketelitian sapai 0,1 mg. Pada keadaan
normal, insektisida golongan ini dalam lemak tubuh terdapat kurang dari 15 ppm.

INSEKTISIDA GOLONGAN INHIBITOR KOLINESTERASE

Insektisida yang termasuk dalam golongan ini terbagi dalam gologan fosfat organik
dan karbamat. Keduanha mempunyai cara kerja yang sama, yaitu dengan mengikat
enzim asetilkolinesterase.

Farmakokinetik

Inhibitor kolinesterase diabsorbsi secara cepat dan efektif melalui oral, inhalasi,
mukosa dan kulit. Setelah diabsorbsi sebagian besar diekskresikan dalam urin, hampir
seluruhnya dalam bentuk metabolit. Metabolit dan senyawa aslinya di dalam darah dan
jaringan tubuh terikat pada protein. Enzim-enzim hidrolitik dan oksidatif terlibat dalam
metabolisme senyawa organofosfat. Selang waktu antara absorbsi dengan ekskresi
bervariasi.

Farmakodinamik

Setelah masuk dalam tubuh akan mengikat enzim asetilkolinesterase (ACHe), sehingga
AchE menjadi inaktif dan terjadi akumulasi asetilkolin. Asetilkolin bekerja spada
ganglion simpatik dan parasimpatik, reseptor parasimpatik, nu=euro-muscular
junction, neurotransmitter sel-sel saraf dan medula kelenjar suprarenal. Keadaai=n ini
akan menimbulakn efek yang luas.

Potensiasi aktivitas parasimpatik postganglionik, mengakibatkan kontraksi pupil,


stimulasi otot saluran cerna, stimulasi saliva dan kelenjar keringat, kontraksi otot
bronkial, kontraksi kandung kemih, nodus sinus jantung dan nodus atriventrikular
dihambat. Depolarisasi yang menetap pada otot-otot rangka, sehingga mu;a-mula
terjadi fasikulasi yang disusul dengan blok neurotransmitter dan paralisis.

Mula-mula stimulasi disusul dengan depresi pada sel SSP sehingga menghambat pusat
pernapasan dan pusat kejang. Stimulasi dan blok yang bervariasi pada ganglion,
sehingga tekanan darah dapat naik atau turun serta dilatasi atau miosis pupil. Kematian
biasanya disebabkan kegagalan pusat pernapasan dn blok jantung.

Takaran fatal untuk golongan organofosfat , malathion 1-5 gram, Parathion 10 mg/Kg
BB, Systox 100 mg, dan Tetraetilpirofosfat 0,4 mg/Kg BB. Takaran fatal untuk
golongan karbamat, Adicarb 0,9-1 mg/Kg BB dan Propoxur 95 mg/KgBB.

Tanda dan Gejala Keracunan

Manifestasi utama keracunan adalah gangguan penglihhatan, sukar bernafas dan


hiperaktif gastrointestinal. Pada keracunan akut gejala-gejala timbul dalam 30-60
menit dan mencapai puncaknya 2-8 jam. Pada keracunan ringan tampak anreksia, sakit
kepala, pusing, lemah, gelisah, tremor lidah dan kelopa mata, miosis dan penglihatan
kabur.

Gejala keracunan sedang adalah mual, salivasi, lakrimasi, kejang perut, muntah,
banyak berkeringat, nadi lambat dan fasikulasi otot-otot. Gejala keracunan berat adalah
diare, pupil pinpoint dan tidak bereksi, perafasan sukar, edema paru, sianosis, kendali
sfingter hilang, kejang, koma dn blok jantung.
Gejala keracunan kronik organofofat timbul akibat penghambatan kolinesterase dan
akan menetap selama 2-6 minggu, menyerupai keracunan akut yang ringan. Tetpi bila
terpapar lagi dalam jjumlah kecil dapat timbul gejala yang berat. Untuk golongan
karbamat, ikatan dengan AchE bersifat sementara da akan terlepas kembali dalam
beberapa jam, sehingga tidak akan timbul keracunan kronik.

Pemeriksaan Kedokteran Forensik

Keracunan insektisida golongan ini dapat diduga bila:

Gejala-gejala cepat timbul, bila gejala baru timbul lebih dari 6 jam, pasti bukan
keracunan insektisida golongan ini. Gejala-gejala bersifat progresif, makin lama makin
hebat. Gejala-gejala tidak dapat dimasukkan kedalam suatu sindroma penyakit apapun,
dapat menyerupai penyakit gastroenteritis, ensefalitis, pnemoni dan lain-lain,
pengbatan biasa tidak menolong.

Dari hasil anamnesis didapatkan adanya riwayat kontak denan insektisida golongan ini.
Diagnosis keracunan ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala keracunan dyang
kompleks dan pemeriksaan laboratorium (TLC, spektrofotometri dan kromatografi
gas).

Pada korban yang meninggal tidak ditemukan tanda-tanda khas. Pada keracunan akut
hanya didapatkan tanda-tanda asfiksia, edema paru dan perbendungan organ-orgn
tubuh, mungkin tercium bau zat pelarut misalnya bau minyak tanah.

Minyak tanah sendiri dapat menimbulkan keracunan berupa depresi SSP dan bila
teraspirasi dapat menimbulkan pnemonitis. Pada percobaan binatang dengan keracunan
kronik dapat ditemukan nekrosis sentral dan degenerasi bengkak keruh pada hati,
vakuolisasi, griolisis, dan retikulasi basofilik yang jelas pada otak dan medula spinalis,
perlemakan pada miokardium, degenerasi sel tubuli ginjal.
Laboratorium

Untuk pemeriksaan toksikologik perlu diambil darah, jaringan hati, limpa, paru-paru
dan lemak badan. Penentuan kadar AchE dalam darah dan plasma dapat dilakukan
dengan caratintometer (Edson) dan cara paper-strip (Acholest)

Cara Edson: berdasarkan perubahan pH darah

Ambil darah korban dan tambahkan indikator brom-timol-biru, diamkan beberapa saat
maka akan terjadi perubahan warna. Bandingkan warna yang timbul dengan warna
standar pada comparator disc (cakrm pembanding), maka dapat ditentukan kadar AchE
dalam darah.

% Aktifitas AChE Darah Interpretasi

75%-100% dari normal Tidak ada keracunan

50%-75% dari normal Keracunan ringan

25%-50% dari normal Keracunan

0%-25% dari normal Keracunan berat

Cara Acholest:

Ambil serum darah korban dan teteskan pada kertas Acholest bersamaan engan kontrol
serum darah normal. Pada kertas Acholest sudah terdapat Ach dan indikator. Waktu
perubahan warna pada kertas tersebut dicatat. Perubahan warna harus sama dengan
perubahan warna pembanding (serum normal) yaitu warna kuning telur.

Interpretasi:

Kurang dari 18 menit, tidak ada keracunan. 20-30 menit, keracunan ringan , 35-150
menit , keracunan berat.
Pemeriksaan toksikologik dapat dilakukan dengan cara :

Kristalografi:

Bahan yang dicurigai berupa sisa makanan/minuman, muntahan, isi lambung


dimasukkan kedalam gelas beker, dipanaskan dalam pemanas air sampai kering,
kemudian dilarutkan dalam aceton dan disaring dengan kertas saring. Filtrat yang
didapat, diteteskan dalam gelas arloji dan dipanaskan sampai kering, kemudian dilihat
di bawah mikroskop. Bila terbentuk kristal-kristal seperti sapu, ini adalah golongan
hidrokarbon terklorinasi.

Kromatografi lapisan tiis (TLC):

Kaca berukuran 20cm x 20cm, dilapisi dengan absorbat gel silikat atu dengan
alumunium oksida, lalu dipanaskan dalam oven 110 derajat selsius selama 1 jam. Filtrat
yang akan diperiksa (hasil ekstraksi dari darah atau jaringan korban) diteteskan dengan
mikropipet pada kaca disertai dengan tetesan lain yang telah dketahui golongan dan
jenis serta konsentrasinya sebagai pebanding. Ujung kaca TLC dicelupkan ke dalam
pelarut, biasanya n-Hexan. Celupan tidak boleh mengenai tetesan tersebut diatas.
Dengan daya kapilaritas maka pelarut akan ditarik ke atas sambil melarutkan filtrat-
filtrat tadi. Setelah itu kaca TLC dikeringkan lalu semprot dengan reagensia paladium
klorida 0,5% dalam HCl pekat, kemudian dengan difenilalamin 0,5% dalam alkohol.

Hasilnya: warna hitam (gelap) berarti golongan hidrokarbon terklorinasi. Warna hijau
dengan dasar dadu berarti golongan organofosfat.

Untuk menentukan jenis dalam golongannya dapat dilakukan dengan menentukan Rf


masing-masing bercak. Angka yang didapat dicocokkan dengan standar, maka jenisnya
dapat ditentukan. Dengan membandingkan besar bercak dan intensitas warnanya
dengan pembanding, dapat diketahui konsentrasinya secara semikuantitatif.

Pemeriksaan dapat pula dilaukan dengn cara Spektrofotometri atau kromatografi gas.

Anda mungkin juga menyukai