Anda di halaman 1dari 38

PERKERASAN PADA RUNWAY

BAB II

STUDI PUSTAKA

2.1 Pendahuluan

Perkerasan adalah struktur yang terdiri dari beberapa lapisan dengan kekerasan
dan daya dukung yang berlainan. Perkerasan yang dibuat dari campuran aspal
dengan agregat, digelar di atas suatu permukaan material granular mutu tinggi
disebut perkerasan lentur, sedangkan perkerasan yang dibuat dari slab-slab beton (
Portland Cement Concrete ) disebut perkerasan Rigid ( FAA, 2009 ).

Pada struktur perkerasan bekerja muatan roda pesawat terjadi sampai beberapa
juta kali selama periode rencana. Setiap kali muatan ini lewat, terjadi defleksi
lapisan permukaan dan lapisan dibawahnya. Pengulangan beban (repetisi)
menyebabkan terjadinya retakan yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan
/kegagalan total. Perkerasan dibuat dengan tujuan untuk memberikan permukaan
yang halus dan aman pada segala kondisi cuaca, serta ketebalan dari setiap lapisan
harus cukup aman untuk menjamin bahwa beban pesawat yang bekerja tidak
merusak perkerasan lapisan di bawahnya ( Basuki, 1986 ).

Perkerasan lentur terdiri dari satu lapisan bahan atau lebih yang digolongkan
sebagai lapisan permukaan, lapisan pondasi, dan lapisan pondasi bawah yang
terletak di atas lapisan tanah dasar yang telah dipersiapkan. Lapisan tanah dasar
dapat berupa galian atau timbunan. Lapisan permukaan terdiri dari bahan
berbitumen yang berfungsi untuk memberikan permukaan yang halus yang dapat
memikul beban-beban yang bekerja dan berpengaruh pada lingkungan untuk
jangka waktu operasional tertentu untuk menyebarkan beban yang bekerja
kelapisan dibawahnya. Lapisan pondasi atas adalah bahan yang terdiri dari
material berbutir dengan bahan

pengikat atau tanpa pengikat yang berfungsi memikul beban yang bekerja dan
menyebarkan ke lapisan-lapisan dibawahnya ( Yoder dan Witczak, 1975 ).

Fungsi perkerasan adalah untuk menyebarkan beban ke tanah dasar dan semakin
besar kemampuan tanah dasar untuk memikul beban, maka tebal lapisan
perkerasan yang dibutuhkan semakin kecil. Karena keseluruhan struktur
perkerasan didukung sepenuhnya oleh tanah dasar, maka identifikasi dan evaluasi
terhadap struktur tanah dasar adalah sangat penting bagi perencanaan tebal
perkerasan.
Pada perencanaan perkerasan pada runway, memiliki konsep dasar yang sama
dengan perencanaan perkerasan pada jalan raya, dimana perencanaan berdasarkan
beban yang bekerja dan kekuatan bahan yang digunakan untuk mendukung beban
yang bekerja. Namun, pada aplikasi sesungguhnya, tentu terdapat perbedaan pada
perencanaan perkerasan runway dan jalan raya, yaitu :

1. Jalan raya dirancang untuk kendaraan yang berbobot sekitar 9000 lbs,
sedangkan runway dirancang untuk memikul beban pesawat yang rata-rata
berbobot jauh lebih besar yaitu sekitar 100.000 lbs.

2. Jalan raya direncanakan mampu melayani perulangan beban (repetisi) 1000-


2000 truk per harinya. Sedangkan ruway direncanakan untuk melayani repetisi
beban 20.000 sampai 40.000 kali selama umur rencana.

3. Tekanan ban pada kendaran yang bekerja kira-kira 80-90 psi. Sedangkan pada
runway tekanan ban yang bekerja diatasnya adalah mencapai 400 psi.

4. Perkerasan jalan raya mengalami distress yang lebih besar karena beban bekerja
lebih dekat ke tepi lapisan, berbeda pada runway dimana beban bekerja pada
bagian tengah perkerasan.

Ada beberapa metode perencanaan perkerasan bandar udara walaupun tidak


terdapat satu metode yang banyak digunakan dan diterima oleh banyak pihak,
namun terdapat beberapa metode yang dapat diajukan. Metode-metode tersebut
adalah : Metode ICAO ( LCN ), metode FAA dan metode CBR.

2.2 Fasilitas Pendukung Bandar Udara

Sebuah bandar udara adalah suatu komponen yang saling berkaitan antara satu
komponen dengan yang lainnya, sehingga analisa dari satu kegiatan tanpa
memperhatikan pengaruhnya terhadap kegiatan yang lain bukan merupakan
pemecahan yang memuaskan.

Sebuah bandar udara melingkupi kegiatan yang sangat luas, yang mempunyai
kebutuhan yang berbeda-beda, bahkan kadang berlawanan, seperi misalnya
kegiatan keamanan yang membatasi sedikit mungkin hubungan antara land side
dan air side, sedangkan kegiatan pelayanan memerlukan sebanyak mungkin pintu
terbuka dari land side ke air side agar pelayanan berjalan lancar.

Sistem bandar udara dibagi dua, yaitu :

1. Sisi darat ( land side )

2. Sisi udara ( air side )


Sistem bandar udara dari sisi darat terdiri dari sistem jalan penghubung (jalan
masuk bandara), lapangan parkir, dan bangunan terminal. Sedangkan sistem
bandar udara dari sisi udara terdiri dari taxiway, holding pad, exit taxiway,
runway, terminal angkasa, dan jalur penerbangan di angkasa ( Horonjeff dan
McKelvey, 1993 ).

Dalam sistem lapangan terbang, sifat-sifat kendaraan darat dan kendaraan udara
mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perencanaan bandar udara. Penumpang
dan pengiriman barang berkepentingan terhadap waktu yang dijalani Universitas
Sumatera Utara

mulai dari keluar rumah sampai ke tempat tujuan, tetapi tidak berpengaruh
terhadap lama waktu perjalanan darat ataupun udara. Dengan alasan lain, jalan
masuk menuju lapangan terbang perlu mendapatkan perhatian dalam pembuatan
rancangan bandar udara. Berikut adalah gambar fasilitas pendukung sistem
penerbangan pada bandar udara :

Gambar 2.1 Diagram sistem penerbangan

Sumber : Sandhyavitri dan Taufik, ( 2005 ).

Beberapa istilah kebandar-udaraan yang perlu diketahui adalah sebagai berikut (


Basuki, 1986; Sandhyavitri dan Taufik, 2005 ) :

Airport, yaitu area daratan atau air yang secara regular dipergunakan untuk
kegiatan take-off and landing pesawat udara. Diperlengkapi dengan fasilitas untuk
pendaratan, parkir pesawat, perbaikan pesawat, bongkar muat penumpang dan
barang, dilengkapi dengan fasiltas keamanan dan terminal Universitas Sumatera
Utara

building untuk mengakomodasi keperluan penumpang dan barang dan sebagai


tempat perpindahan antar moda transportasi.

Airfield, yaitu area daratan atau air yang dapat dipergunakan untuk kegiatan
take-off and landing pesawat udara, fasilitas untuk pendaratan, parkir pesawat,
perbaikan pesawat dan terminal building untuk mengakomodasi keperluan
penumpang pesawat.

Aerodrom, yaitu area tertentu baik di darat maupun di air (meliputi bangunan
sarana dan prasarana, instalasi infrastruktur, dan peralatan penunjang) yang
dipergunakan baik sebagian maupun keseluruhannya untuk kedatangan,
keberangkatan penumpang dan barang, pergerakan pesawat terbang. Namun
aerodrom belum tentu dipergunakan untuk penerbangan yang terjadwal.

Aerodrom reference point, yaitu letak geografi suatu aerodrom.


Landing area, yaitu bagian dari lapangan terbang yang dipergunakan untuk take
off dan landing, tidak termasuk terminal area.

Landing strip, yaitu bagian yang berbentuk panjang dengan lebar tertentu yang
terdiri atas shoulders dan runway untuk tempat tinggal landas dan mendarat
pesawat terbang.

Runway (r/w), yaitu bagian memanjang dari sisi darat bandara yang disiapkan
untuk lepas landas dan tempat mendarat pesawat terbang.

Taxiway (t/w), yaitu bagian sisi darat dari bandara yang dipergunakan pesawat
untuk berpindah (taxi) dari runway ke apron atau sebaliknya. Universitas
Sumatera Utara

Apron, yaitu bagian bandara yang dipergunakan oleh pesawat terbang untuk
parkir, menunggu, mengisi bahan bakar, mengangkut dan membongkar muat
barang dan penumpang. Perkerasannya dibangun berdampingan dengan terminal
building.

Holding apron, yaitu bagian dari bandara yang berada didekat ujung landasan
yang dipergunakan oleh pilot untuk pengecekan terakhir dari semua instrumen
dan mesin pesawat sebelum take off. Dipergunakan juga untuk tempat menunggu
sebelum take off.

Holding bay, yaitu area diperuntukkan bagi pesawat untuk melewati pesawat
lainnya atau berhenti.

Terminal Building, yaitu bagian dari bandara yang difungsikan untuk memenuhi
berbagai keperluan penumpang dan barang, mulai dari tempat pelaporan tiket,
imigrasi, penjualan ticket, ruang tunggu, cafetaria, penjualan souvenir, informasi,
komunikasi, dan sebagainya.

Turning area, yaitu bagian dari area di ujung landasan pacu yang dipergunakan
oleh pesawat untuk berputar sebelum lepas landas.

Over run (o/r), yaitu bagian dari ujung landasan yang dipergunakan untuk
mengakomodasi keperluan pesawat gagal lepas landas. Over run biasanya terbagi
2 (dua) : (i) Stop way : bagian over run yang lebarnya sama dengan runway
dengan diberi perkerasan tertentu, dan (ii) Clear way: bagian over run yang
diperlebar dari stop way, dan biasanya ditanami rumput.

Fillet, yaitu bagian tambahan dari perkerasan yang disediakan pada


persimpangan runmway atau taxiway untuk menfasilitasi beloknya pesawat
terbang agar tidak tergelincir keluar jalur perkerasan yang ada.
Shoulders, yaitu bagian tepi perkerasan baik sisi kiri kanan maupun muka dan
belakang runway, taxiway dan apron.

2.3 Konfigurasi Bandar Udara

Konfigurasi bandar udara adalah jumlah dan arah orientasi dari landasan serta
penempatan bangunan terminal termasuk lapangan parkirnya yang relatif terhadap
landasan pacu.

Jumlah landasan bergantung pada volume lalu-lintas dan orientasi landasan,


tergantung pada arah angin dominan yang bertiup, tetapi kadang juga bergantung
pada luas tanah yang tersedia bagi pengembangan. Karena orientasi utama dalam
bandar udara adalah landasan pacu (runway), maka penempatan landasan hubung
(Taxiway) pun harus benar-benar tepat sehingga lokasinya memberi kemudahan
dalam melayani penupang. Orientasi yang paling penting dalam perencanaan
bandar udara adalah: Landasan pacu (Runway, landasan hubung (Taxiway) dan
tempat parkir ( Apron ).

2.3.1 Landasan Pacu ( Runway )

Runway adalah jalur perkerasan yang dipergunakan oleh pesawat terbang untuk
mendarat (landing) dan melakukan lepas landas (take off). Menurut Horonjeff
(1994), sistem runway terdiri dari terdiri dari perkerasan struktur, bahu landasan
(shoulder), bantal hembusan (blast pad), dan daerah aman runway (runway end
safety area). Pada dasarnya landasan pacu diatur sedemikian rupa untuk :
Universitas Sumatera Utara

a) Memenuhi persyaratan pemisahan lalu lintas udara.

b) Meminimalisasi gangguan akibat operasional suatu pesawat dengan pesawat


lainnya, serta akibat penundaan pendaratan.

c) Memberikan jarak landas hubung yang sependek mungkin dari daerah terminal
menuju landasan pacu.

d) Memberikan jumlah landasan hubung yang cukup sehingga pesawat yang


mendarat dapat meninggalkan landasan pacu yang secepat mungkin dan
mengikuti rute yang paling pendek ke daerah terminal.

Konfigurasi runway ada bermacam-macam, dan konfigurasi itu biasanya


merupakan kombinasi dari beberapa macam konfigurasi dasar (basic
configuration). Konfigurasi dasar itu adalah :

a) Landasan Pacu Tunggal

b) Landasan Pacu Paralel


c) Landasan Pacu Dua Jalur

d) Landasan Pacu yang Berpotongan

e) Landasan Pacu V-terbuka

Gambar 2.2 Sistem Runway

Sumber : Sandhyavitri dan Taufik, ( 2005 )

2.3.1.1 Landasan Pacu Tunggal

Konfigurasi ini merupakan konfigurasi yang paling sederhana. Kapasitas runway


jenis ini dalam kondisi VFR berkisar diantara 50 sampai 100 operasi per jam,
sedangkan dalam kondisi IFR kapasitasnya berkurang menjadi 50 sampai 70
operasi, tergantung pada komposisi campuran pesawat terbang dan alat-alat bantu
navigasi yang tersedia.

2.3.1.2 Landasan Pacu Paralel

Kapasitas sistem ini sangat tergantung pada jumlah runway dan jarak diantaranya.
Untuk runway sejajar berjarak rapat, menengah dan renggang kapasitasnya per
jam dapat bervariasi di antara 100 sampai 200 operasi dalam kondisi-kondisi
VFR, tergantung pada komposisi campuran pesawat terbang. Sedangkan dalam
kondisi IFR kapasitas per jam untuk yang berjarak rapat berkisar di antara 50
sampai 60 operasi, tergantung pada komposisi campuran pesawat terbang. Untuk
runway sejajar yang berjarak menengah kapasitas per jam berkisar antara 60
sampai 75 operasi dan untuk yang berjarak renggang antara 100 sampai 125
operasi per jam.

2.3.1.3 Landasan Pacu Dua Jalur

Runway dua jalur dapat menampung lalu lintas paling sedikit 70 persen lebih
banyak dari runway tunggal dalam kondisi VFR dan kira-kira 60 persen lebih
banyak dari runway tunggal dalam kondisi IFR.

2.3.1.4 Landasan Pacu yang Berpotongan

Kapasitas runway yang bersilangan sangat tergantung pada letak persilangannya


dan pada cara pengoperasian runway yang disebut strategi (lepas landas atau
mendarat). Makin jauh letak titik silang dari ujung lepas landas runway

dan ambang (threshold) pendaratan, kapasitasnya makin rendah. Kapasitas


tertinggi dicapai apabila titik silang terletak dekat dengan ujung lepas landas dan
ambang pendaratan.
2.3.1.5 Landasan Pacu V-terbuka

Runway V terbuka merupakan runway yang arahnya memencar (divergen) tetapi


tidak berpotongan. Strategi yang menghasilkan kapasitas tertinggi adalah apabila
operasi penerbangan dilakukan menjauhi V.

2.3.2 Landasan Hubung

Fungsi utama dari landasan hubung (taxiway) adalah untuk memberikan jalan
masuk dari landasan pacu ke daerah terminal dan hanggar pemeliharaan atau
sebaliknya.

Landasan hubung diatur sedemikian rupa sehingga pesawat yang baru mendarat
tidak mengganggu gerakan pesawat yang sedang bergerak perlahan untuk lepas
landas. Pada bandar udara yang sibuk dimana pesawat yang akan menuju landasan
pacu diduga akan bergerak serentak dalam dua arah, harus disediakan landasan
hubung yang sejajar satu sama lain. Pada bandar udara yang sibuk, landasan
hubung harus terletak di berbagai tempat di sepanjang landasan pacu, sehingga
pesawat yang baru mendarat dapat meninggalkan landasan pacu secepat mungkin
sehingga landasan pacu dapat digunakan oleh pesawat yang lain.

2.3.3 Apron Tunggu (Holding Apron)

Apron tunggu yaitu bagian dari bandar udara yang berada didekat ujung landasan
yang dipergunakan oleh pilot untuk pengecekan terakhir dari semua instrumen
dan mesin pesawat sebelum take off. Dipergunakan juga untuk tempat menunggu
sebelum take off.

Apron tunggu harus dibuat ditempat yang sangat dekat dengan ujung landasan
pacu agar dapat mengadakan pemeriksaan akhir sebelum pesawat lepas-landas.
Apron harus cukup luas, diperhitungkan agar mampu dipakai untuk 2 pesawat
terbang yang bisa saling bersimpangan, sehingga apabila pesawat tidak dapat
lepas landas karena adanya kerusakan mesin, maka pesawat lainnya yang siap
lepas landas dapat mendahuluinya. Juga dimungkinkan untuk melakukan
perbaikan-perbaikan kecil pada pesawat yang akan lepas landas. Apron tunggu
harus dirancang untuk dapat menampung dua atau bahkan empat pesawat
sekaligus dan menyediakan tempat yang cukup sehingga pesawat dapat saling
mendahului.

2.4 Karakteristik Pesawat Terbang

Sebelum kita merancang sebuah bandar udara lengkap dengan fasilitasnya,


dibutuhkan pengetahuan tentang spesisikasi pesawat terbang secara umum untuk
merencanakan prasarananya.
Pesawat yang digunakan untuk operasional penerbangan mempunyai kapasitas
bervariasi mulai dari 10 hingga 1000 penumpang. Pesawat terbang General
Aviation dikategorikan sebagai pesawat-pesawat terbang berukuran kecil jika
memiliki daya angkut berkisar 50 orang.

Beberapa karakteristik dari penerbangan umum tipikal maupun pesawat terbang


komuter (commuter) jarak pendek, termasuk yang digunakan pada kepentingan
perusahaan. Untuk menyadari bahwa karakter-karakter tersebut, seperti berat
kosong, kapasitas penumpang, dan panjang landasan pacu tidak dapat dibuat
secara tepat dalam pembuatan tabel tersebut karena terdapat banyak faktor yang
dapat mengubah nilai-nilai didalamnya. Ukuran roda pendaratan utama dan
tekanan udara pada ban tipikal untuk beberapa pesawat terbang juga harus
diperhitungkan guna perencanaan lanjut. Karakter yang dijelaskan di atas adalah
perlu untuk perencanaan bandar udara. Berat pesawat terbang memiliki peran
penting untuk menentukan tebal perkerasan landasan pacu, landas hubung,
taxiway, dan perkerasan appron. Bentangan sayap dan dan panjang badan pesawat
mempengaruhi ukuran appron, yang akan mempengaruhi susunan gedung-gedung
terminal. Ukuran pesawat juga menentukan lebar landasan pacu, landas hubung
dan jarak antar keduanya, serta mempengaruhi jari-jari putar yang dibutuhkan saat
pesawat akan parkir. Kapasitas penumpang mempunyai pengaruh penting dalam
menentukan pengadaan fasilitas-fasilitas yang ada di dalam terminal. Panjang
landasan pacu mempengaruhi sebagian besar daerah yang dibutuhkan suatu
bandar udara.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan geometrik lapangan


terbang adalah :

a) Karakteristik dan ukuran pesawat yang direncanakan akan beroperasi di bandar


udara

b) Perkiraan volume penumpang

c) Kondisi meteorologi (rata-rata temperatur udara maksimum dan rata-rata


kecepatan angin)

d) Elevasi permukaan bandar udara

e) Kondisi lingkungan setempat, misalnya ketinggian gedung-gedung eksisting


yang ada disekitar bandar udara. Universitas Sumatera Utara

Dilihat dari faktor-faktor diatas, maka faktor tersebut hampir sama dengan
parameter dalam menentukan suatu panjang landasan pacu (runway), karena itu
setiap bandar udara harus memiliki data-data tersebut diatas.
Seperti halnya dalam karakteristik kemampuan pesawat yang berpengaruh
langsung terhadap penentuan panjang landasan pesawat dan temperatur yang juga
mempengaruhi panjang landasan, bila suatu temperatut tinggi, maka diperlukan
landasan yang lebih panjang.

Kondisi lingkungan lapangan terbang yang berpengaruh terhadap panjang


landasan pacu (runway) adalah temperatur, angin permukaan, kemiringan
landasan pacu, ketinggian lapangan terbang dari permukaan laut dan kondisi
permukaan landasan. Seberapa jauh hal-hal diatas mempengaruhi panjang
landasan pacu, hanya merupakan pendekatan, namun demikian analisa terhadap
hal-hal diatas akan menguntungkan terhadap perhitungan landasan pacu.

Selanjutnya untuk semua perhitungan panjang landasan pacu dipakai standar yang
disebut ARFL (Aeroplane Reference Field Length), yaitu landasan pacu minimum
yang dibutuhkan untuk lepas landas, pada kondisi berat landas maksimum
(maximum take off weight), elevasi muka laut, kondisi atmosfer normal, keadaan
tanpa ada angin yang bertiup landasan pacu tanpa kemiringan ( kemiringan = 0 ).

Perbedaan dalam menentukan kebutuhan panjang landasan pacu (runway),


disebabkan oleh faktor-faktor lokal, yang mempengaruhi kemampuan pesawat.
Panjang landasan pacu yang dibutuhkan oleh pesawat sesuai dengan
kemampuannya menurut perhitungan pabrik yang disebutkan ARFL. Maka bila
ada suatu landasan yang dipertanyakan terhadap kemampuan pesawat yang akan
mendarat di landasan itu, maka harus dikonfirmasikan kepada ARFL.

2.5 Geometrik Landasan Pacu

International Civil Aviation Organization (ICAO), dan Federal Aviation


Administration (FAA) telah memberikan ketentuan dan kriteria-kriteria dalam
membuat perancangan bandar udara yang meliputi fasilitas-fasilitas yang tersedia,
lebar, kemiringan (gradien), jarak pisah landasan pacu, landsan hubung, dan hal-
hal lainnya yang berhubungan dengan daerah pendaratan yang dipengaruhi oleh
variasi prestasi pesawat, cara penerbang, dan kondisi cuaca. Ketentuan yang
diberikan oleh FAA hampir sama dengan ketentuan yang diberikan oleh ICAO,
yang memberikan keseragaman fasilitas-fasilitas bandar udara yang ada di
Amerika Serikat, dan memberikan pedoman bagi para perencana bandar udara dan
operator pesawat terbang mengenai fasilitas-fasilitas yang harus disediakan pada
masa yag akan datang. Klasifikasi pelabuhan udara oleh ICAO untuk mengadakan
penyeragaman itu ditunjukkan dengan kode A, B, C, D, dan E. Dasar dari
pembagian kelas-kelas ini adalah didasarkan pada pengelompokan panjang
runway (landasan pacu) bandara tersebut saja, tidak berdasarkan pada fungsi dari
bandara tersebut.

Tabel 2.1 Klasifikasi Bandar Udara oleh ICAO


Tanda Kode

Panjang Runway (ft)

Panjang Runway (m)

>7.000

>2.133

5.000-7.000

1.524-2.133

3.000-5.000

914-1.524

2.500-3.000

762-914

2.000-2.500

610-762

Sumber : Basuki, ( 1986 ).

Dimensi pesawat adalah dasar utama dalam perencanaan geometrik bandar udara.
Untuk dimensi yang berhubungan dengan perencanaan runway, pesawat
dikelompokkan berdasarkan dimensinya masing-masing menjadi 4 kelas. Kelas-
kelas ini berdasarkan pada dimensi wings-pan ( lebar sayap), under carriage width
(lebar bagian bawah), wheel-treat atau wheel-base (jarak antara kepala dengan
roda dan roda dengan badan). Masing-masing kelas itu dapat dilihat pada tabel 2.2
berikut :

Tabel 2.2 Tabel kelas pesawat yang berhubungan dengan perencanaan geometrik
Group

Jenis-Jenis Pesawat

B 727-100, B 737-100, B 737-200, DC 9.30, DC. 9-40

II

BAC 111 (kebanyakan pesawat-pesawat bermesin 2dan 3)

III

DC 8S, B 707, B 720, B 727-200, DC 10, L 10H

IV

Jenis pesawat yang lebih besar dari group III

Sumber : Basuki, ( 1986 ).

Elemen-elemen landasan pacu meliputi :

Perkerasan struktur (structural pavement), berfungsi untuk mendukung beban


yang bekerja pada runway yaitu beban pesawat sehingga mampu melayani lalu-
lintas pesawat.

Bahu landasan (shoulder), yang terletak berdekatan dengan tepi perkerasan yang
berfungsi untuk menahan erosi akibat hembusan mesin jet dan menampung
peralatan untuk pemeliharaan saat kondisi darurat.

Bantalan hembusan (blast pad), adalah suatu area yang dirancang khusus untuk
mencegah erosi permukaan pada ujung-ujung landasan pacu akibat hembusan
mesin jet yang terus-menerus atau berulang-ulang. Biasanya area ini ditanami
dengan rumput. ICAO menetapkan panjang bantal hembusan 100 kaki, sedangkan
FAA menetapkan panjang bantal hembusan harus 100 kaki untuk penggunaan
pesawat kelas I, 150 kaki untuk penggunaan pesawat kelas II, 200 kaki untuk
penggunaan pesawat kelas III dan IV dan , dan 400 kaki untuk kelompok
rancangan V dan VI.

Daerah aman untuk landasan pacu (runway safety area) adalah daerah yang
bersih tanpa benda-benda yang mengganggu, dimana terdapat saluran drainase,
memiliki permukaan yang rata, dan mencakup bagian perkerasan, bahu landasan,
bantalan hembusan, dan daerah perhentian, apabila diperlukan. Daerah ini selain
harus mampu untuk mendukung peralatan pemeliharaan saat keadaan darurat juga
harus mampu menjadi tempat aman bagi pesawat seandainya pesawat keluar dari
jalur landasan pacu. ICAO menetapkan bahwa daerah aman landsan pacu harus
lurus sepanjang 275 kaki dari setiap ujung landasan pacu untuk runway yang
menggunakan pesawat rencana kelas III dan IV, dan untuk seluruh landsan pacu
dengan operasi0operasi instrumentasi. FAA menetapkan bahwa daerah aman
landsan pacu harus memiliki panjang 240 kaki dari ujung landasan pacu untuk
pesawat kecil dan 1000 kaki untuk seluruh rancangan kelas pesawat rencana.

Perluasan area aman (safety area extended), dibuat apabila dianggap perlu, yang
bertujuan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya kecelakaan
yang disebabkan karena pesawat mengalami undershoot ataupun overuns. Panjang
area ini normalnya adalah 800 kaki, tetapi itu bukan suatu ukuran baku karena
bergantung pada kebutuhan lokal dan luas area yang tersedia.

Menurut ICAO, ada 5 faktor koreksi yang mempengaruhi perencanaan panjang


runway, yaitu :

1. Faktor koreksi ketinggian dari muka air laut ( Altitude of the Airport), kalau
letak pelabuhan udara semakin tinggi dari muka air laut, maka udara semakin
tipis, temperatur semakin kecil, sehingga panjang landasan pacu harus semakin
panjang.

2. Faktor koreksi temperatur, keadaan temperatur di bandar udara pada tiap tempat
tidaklah sama. Makin tinggi temperatur di suatu bandar udara, maka semakin
panjang landasan pacu yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi
temperatur udara maka semakin kecil density nya, yang mengakibatkan daya
desak pesawat berkurang. Sehingga dituntut panjang runway yang lebih panjang.

3. Faktor koreksi gradient (kemiringan memanjang), dimana tanjakan pada


landasan akan menyebabkan kebutuhan akan landasan pacu yang lebih panjang
dan pada landasam pacu yang datar. Begitu juga sebaliknya, apabila landasan
menurun maka panjang landasan pacu dapat lebih pendek. Sebagai standardisasi
untuk runway, tiap 1% kenaikan gradien landasan akan membutuhkan
penambahan panjang landasan pacu sebanyak 7% sampai dengan 10%.

4. Faktor koreksi angin (Surface wind), dimana apabila kondisi arah angin sejajar
dengan arah gerak pesawat maka kebutuhan akan panjang landasan akan semakin
besar, sebaliknya apabila arah angin berlawanan dengan arah gerak pesawat maka
kebutuhan akan panjang landasan pacu akan semakin kecil

5. Faktor koreksi kondisi permukaan landasan, dimana apabila pada permukaan


landasan pacu terdapat genangan air, maka pada saat pesawat akan mengudara
akan mengalami hambatan kecepatan, sehingga dibutuhkan landasan pacu yang
lebih panjang.
2.6 Struktur Perkerasan Landasan Pacu

Perkerasan didefenisikan sebagai struktur yang terdiri dari satu atau lebih lapisan
perkerasan yang dibuat dari bahan terpilih. Perkerasan dapat berupa aggregat
bermutu tinggi yang diikat dengan aspal yang disebut perkerasan lentur, atau
dapat juga plat beton yang disebut perkerasan kaku.

Perkerasan dimaksudkan untuk memberikan permukaan yang halus dan aman


pada segala kondisi cuaca, serta tebal dari setap lapisan harus cukup aman untuk
menjamin bahwa beban pesawat yang bekerja tidak merusak lapisan dibawahnya.

Perkerasan lentur dapat terdiri dari satu lapisan atau lebih yang digolongkan
sebagai permukaan (surface course), lapisan pondasi atas (base course), dan
lapisan pondasi bawah (subbase course) yang terletak di antara pondasi atas dan
lapisan tanah dasar (subgrade) yang telah dipersiapkan.

Lapisan permukaan terdiri dari campuran bahan berbitumen (biasanya aspal) dan
agregat, yang tebalnya bervariasi tergantung dari kebutuhan. Fungsi utamanya
adalah untuk memberikan permukaan yang rata agar lalu-lintas menjadi aman dan
nyaman dan juga untuk memikul beban yang bekerja diatasnya dan
meneruskannya kelapisan yang ada dibawahnya. Lapisan pondasi atas dapat
terdiri dari material berbutir kasar dengan bahan pengikat (misalnya dengan aspal
atau semen) atau tanpa bahan pengikat tetapi menggunakan bahan penguat
(misalnya kapur). Lapisan pondasi harus dapat memikul beban-beban yang
bekerja dan meneruskan daN menyebarkannya ke lapisan yang ada dibawahnya.
Lapisan pondasi bawah dapat terdiri dari batu alam yang dipecahkan terlebih
dahulu atau yang alami. Seringkali digunakan bahan sirtu (batu-pasir) yang
diproses terlebih dahulu atau bahan yang dipilih dari hasil galian di tempat
pekerjaan. Tetapi perlu diketahui bahwa tidak setiap perkerasan lentur
memerlukan lapisan pondasi bawah. Sebaliknya perkerasan yang tebal dapat
terdiri dari beberapa lapisan pondasi bawah.

2.6.1 Stuktur Perkerasan Lentur ( Flexible Pavement )

Menurut Basuki, ( 1986 ) dalam buku Merancang Merencanakan Lapangan


Terbang, perkerasan flexible adalah suatu perkerasan yang mempunyai sifat
elastis, maksudnya adalah perkerasan akan melendut saat diberi pembebanan.
Adapun struktur lapisan perkerasan lentur sebagai berikut :

1. Tanah dasar (Sub Grade)

Tanah dasar (sub grade) pada perencanaan tebal perkerasan akan menentukan
kualitas konstruksi perkerasan sehingga sifatsifat tanah dasar menentukan
kekuatan dan keawetan konstruksi landasan pacu.
Banyak metode yang dipergunakan untuk menentukan daya dukung tanah dasar,
dari cara yang sederhana sampai kepada cara yang rumit seperti CBR (California
Bearing Ratio), MR (Resilient Modulus), dan K (Modulus Reaksi Tanah Dasar).
Di Indonesia daya dukung tanah dasar untuk kebutuhan perencanaaan tebal
lapisan perkerasan ditentukan dengan menggunakan pemeriksaan CBR.

Penentuan daya dukung tanah dasar berdasarkan evaluasi hasil pemeriksaan


laboratorium tidak dapat mencakup secara detail (tempat demi tempat), sifat
sifat daya dukung tanah dasar sepanjang suatu bagian jalan. Koreksikoreksi perlu
dilakukan baik dalam tahap perencanaan detail maupun tahap pelaksanaan,
disesuaikan dengan kondisi tempat. Koreksikoreksi semacam ini akan di berikan
pada gambar rencana atau dalam spesifikasi pelaksanaan.

Umumnya persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut :

a. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari macam tanah tertentu akibat
beban lalu lintas.

b. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar air.

c. Daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada
daerah dengan macam tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau
akibat pelaksanaan.

d. Lendutan dan lendutan selama dan sesudah pembebanan lalu lintas dari macam
tanah tertentu.

e. Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu lintas dan penurunan yang


diakibatkanya, yaitu pada tanah berbutir kasar ( Granular Soil ) yang tidak
dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan.

2. Lapisan Pondasi Bawah (Sub Base Course)

Lapisan pondasi bawah (Sub Base Course) adalah bagian dari konstruksi
perkerasan landasan pacu yang terletak di antara tanah dasar ( Sub Grade ) dan
lapisan pondasi atas ( Base Course ).

Menurut Horonjeff dan McKelvey, ( 1993 ) fungsi lapisan pondasi bawah adalah
sebagai berikut :

a. Bagian dari konstruksi perkerasan yang telah mendukung dan menyebarkan


beban roda ke tanah dasar.

b. Mencapai efisiensi penggunaan material yang murah agar lapisan lapisan


selebihnya dapat dikurangi tebalnya (penghematan biaya konstruksi).

c. Untuk mencegah tanah dasar masuk kedalam lapisan pondasi atas.


3. Lapisan Pondasi Atas ( Base Coarse )

Lapisan pondasi atas ( Base Coarse ) adalah bagian dari perkerasan landasan pacu
yang terletak diantara lapisan pondasi bawah dan lapisan permukaan.

Fungsi lapisan pondasi atas adalah sebagai berikut :

a. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan
menyebarkan beban lapisan dibawahnya.

b. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.

c. Bantalan terhadap lapisan pondasi bawah.

4. Lapisan Permukaan ( Surface Course )

Lapisan permukaan (Surface Course) adalah lapisan yang terletak paling atas.
Lapisan ini berfungsi sebagai berikut :

a. Lapisan perkerasan penahan beban roda, lapisan yang mempunyai stabilitas


yang tinggi untuk menahan beban roda selama masa pelayanan.

b. Lapisan kedap air, sehingga air hujan yang jatuh diatasnya tidak meresap ke
lapisan dibawahnya.

Universitas Sumatera Utara

c. Lapisan aus ( wearing Course ), lapisan yang langsung menderita gesekan


akibat rem kendaraan sehingga mudah nenjadi aus.

d. Lapisan yang menyebarkan beban kelapisan bawah, sehingga lapisan bawah


yang memikul daya dukung lebih kecil akan menerima beban yang kecil juga.

Penggunaan lapisan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, di
samping itu bahan aspal sendiri memberikan tegangan tarik, yang berarti
mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban roda lalu lintas. Pemilihan
bahan untuk lapisan permukaan perlu dipertimbangkan kegunaanya, umur rencana
serta pentahapan konstruksi agar tercapai manfaat yang sebesar besarnya dari
biaya yang dikeluarkan.

2.6.2 Stuktur Perkerasan Kaku ( Rigid Pavement )

Perkerasan kaku adalah suatu perkerasan yang mempunyai sifat dimana saat
pembebanan berlangsung perkerasan tidak mengalami perubahan bentuk, artinya
perkerasan tetap seperti kondisi semula sebelum pembebanan berlangsung.
Sehingga dengan sifat ini, maka dapat dilihat apakah lapisan permukaan yang
terdiri dari plat beton tersebut akan pecah atau patah. Perkerasan kaku ini biasanya
terdiri dua lapisan yaitu :
a. Lapisan permukaan (surface course) yang dibuat dari plat beton

b. Lapisan pondasi (base course)

Pada perkerasan kaku biasanya dipilih untuk : Ujung landasan, pertemuan antara
landasan pacu dan taxiway, apron dan daerah-daerah lain yang dipakai untuk
parkir pesawat atau daerah-daerah yang mendapat pengaruh panas blast jet dan
limpahan minyak ( Basuki, 1986 ). Universitas Sumatera Utara

2.7 Sistem Drainase Bandar Udara

Sistem drainase adalah aspek yang sangat penting dalam perencanaan bandar
udara. Drainase yang baik akan menjamin dan menjaga umur perkerasan.
Drainase yang kurang baik akan menimbulkan genangan air pada permukaan yang
dapat membahayakan pesawat yang akan melakukan pendaratan dan lepas
landas.Fungsi dari sistem drainase bandar udara adalah sebagai berikut :

a. Mengalirkan dan membuang air permukaan dan bawah tanah yang berasal dari
tanah di sekitar bandar udara.

b. Membuang air permukaan yang berasal dari permukaan bandar udara.

2.8 Metode-Metode Perencanaan Perkerasan

Dalam merencanakan perkerasan suatu landasan pacu, terdapat berbagai metode-


metode yang digunakan untuk mendesain perkerasannya. Pola penyelesaiannya
pun berbeda-beda pula, namun semuanya sama-sama bertujuan untuk
menghasilkan desain perkerasan yang aman dan terjamin.

Beberapa pertimbangan dalam desain perkerasan landasan pacu meliputi :

a. Prosedur pengujian bahan untuk subgrade dan komponen-komponen lainnya


harus akurat dan teliti.

b. Metode yang dipakai harus sudah dapat diterima umum dan sudah terbukti telah
menghasilkan desain perkerasan yang memuaskan.

c. Dapat dipakai untuk mengatasi persoalan-persoalan perkerasan landasan pacu


dalam waktu yang relatif singkat.

Adapun beberapa metode yang digunakan untuk merencanakan suatu perkerasan


landasan pacu terurai di bawah ini.

2.8.1 Metode California Division of Highway (CBR )

Pada sejarah singkatnya, metode CBR pertama kali digunakan oleh California
Division of Highway yaitu badan pengembangan jalan milik pemerintah negara
bagian California di Amerika serikat. Metode ini adalah berdasarkan atas
investigasi kekuatan daya dukung tanah dasar. Investigasi ini meliputi 3 jenis
utama kegagalan yang terjadi pada perkerasan, yaitu : (1) pergeseran lateral
material pada lapisan pondasi akibat adanya penyerapan air oleh lapisan
perkerasan, (2) penurunan yang terjadi pada lapisan di bawah perkerasan, dan (3)
lendutan yang berlebihan pada perkerasan akibat adanya beban yang berkerja.

Metode ini bertujuan untuk mendesain suatu perkerasan yang kokoh yang dibuat
dari bahan bahan material yang dipersiapkan. Sehingga untuk memprediksi
karakter atau sifat material yang akan digunakan untuk perkerasan maka pada
tahun 1929 diperkenalkan suatu test uji bahan yang disebut test uji CBR
(California Bearing Ratio). Uji CBR dilakukan pada banyak jenis material yang
dianggap representatif terhadap material yang akan digunakan untuk bahan
pondasi.

CBR adalah persentase perbandingan antara kuat penetrasi suatu material uji
terhadap kuat penetrasi bahan standar berupa batu pecah yang memiliki CBR 100
persen. Kemudian karena metode ini memiliki prosedur yang sederhana, korps
insinyur dari Angkatan Darat Amerika Serikat mengadopsi metode ini untuk
mendesain perkerasan lapangan udara dan jalan raya untuk kebutuhan yang
mendadak pada saat Perang Dunia II.

Penggunaan metode ini memungkinkan perencanaan untuk menentukan ketebalan


lapisan sub base, base, dan surface yang diperlukan untuk memakai kurva-kurva
desain, dengan prosedur pengujian test terhadap tanah yang sederhana.

2.8.1.1 Tanah Dasar

Sampel tanah dasar untuk pengujian CBR diuji dalam laboratorium untuk
menentukan nilai CBR. Pengujian dilakukan dengan melakukan pemadatan
dengan kadar air tertentu. Dalam penentuan nilai CBR, apabila pada tiap area
yang dari sampel tanah didapat nilai CBR yang berbeda, maka perencanaan tebal
perkerasan ditentukan berbeda-beda sesuai dengan nilai CBR dari tanah pada area
tersebut.

2.8.1.2 Menentukan Equivalent Single Wheel Load ( ESWL )

ESWL adalah nilai yang menunjukkan beban roda tunggal yang akan
menghasilkan respon dari struktur perkerasan pada satu titik tertentu di dalam
struktur perkerasan,dimana besarnya sama dengan beban yang dipikul pada titik
roda pendaratan. Dalam penentuan nilai ESWL biasanya prosedur perhitungannya
berdasarkan tegangan vertikal, lendutan dan regangan.

2.8.1.3 Menentukan Pesawat Rencana


Pesawat rencana dapat ditentukan dengan melihat jenis pesawat yang beroperasi
dan besar MSTOW (Maksimum Structural Take Off Weight) dan data jumlah
keberangkatan tiap jenis pesawat yang berangkat tersebut. Lalu dipilih jenis
pesawat yang menghasilkan tebal perkerasan yang paling besar. Pemilihan
pesawat rencana ini pada dasarnya bukanlah berasumsi harus berbobot paling
besar, tetapi jumlah keberangkatan yang paling banyak melalui landasan pacu
yang direncanakan.

Pesawat rencana kemudian ditetapkan sebagai pesawat yang membutuhkan tebal


perkerasan yang paling besar dan tidak perlu pesawat yang paling besar yang
beroperasi di dalam bandara.

2.8.1.4 Menentukan Lalu-Lintas Pesawat

Pada metode CBR, jumlah total repetisi beban pesawat rencana yang telah
dihitung dalam bentuk ESWL selama umur rencana digunakan untuk menghitung
tebal perkerasan total. Total repetisi pesawat rencana tersebut mencakup data
keberangkatan dan kedatangan pesawat rencana. Dari data yang diperoleh maka
dapat ditentukan jumlah lintasan pesawat tahunan yang direncanakan dengan cara
mengalikan jumlah penerbangan setiap minggunya dalam satu tahun.

2.8.1.5 Menentukan Tebal Perkerasan

Metode ini dikembangkan berdasarkan teori yang telah diteliti dan pendekatan
empiris. Untuk mendapatkan tebal perkerasan total, metode ini memberikan
persamaan sebagai berikut :

t=

pCBRP11.81 (2.1)

dimana : t = Tebal perkerasan yang dibutuhkan (inci)

P = Beban pesawat yang dipikul roda ( pound)

p = Tekanan udara pada roda (psi) Universitas Sumatera Utara

Penelaahan yang baru dilakukan baru-baru ini terhadap perkerasan yang


menerima beban mewakili beban poros roda pendaratan utama pesawat berat
dengan susunan banyak roda menunjukkan bahwa tebal perkerasan yang terdapat
pada pengulangan-pengulangan beban yang lebih besar adalah kurang memadai.
Oleh karenanya persamaan di atas diperbaharui lagi menjadi :

t = () +pCBRPogC11.811004.14311.2 (2.2)
dimana : t = Ketebalan perkerasan yang dibutuhkan (inci)

P = Beban yang dipikul oleh roda setelah dihitung ESWL.

C = Faktor repetisi beban

P = Tekanan Udara pada Roda ( psi )

2.8.1.6 Syarat Tebal Minimum Untuk Lapisan Pondasi dan Permukaan

Pembebanan Berat

Tabel 2.3 Syarat Tebal Minimum Lapisan Pondasi dan Permukaan

Traffic Area

Tebal Minimum (in)

Base ( CBR 100)

Base (CBR 80)

Permukaan

Base

Total

Permukaan

Base

Total

10
9

15

13

13

15

13

13

Sumber : Basuki, ( 1986 ).

Pembebanan Medium

Tabel 2.4 Syarat Tebal Minimum Lapisan Pondasi dan Permukaan

Traffic Area

Tebal Minimum (in)

Base ( CBR 100)


Base (CBR 80)

Permukaan

Base

Total

Permukaan

Base

Total

10

11
10

10

Sumber : Basuki, ( 1986 ).

Pembebanan Ringan

Tabel 2.5 Syarat tebal Minimum Lapisan Pondasi dan Permukaan

Traffic Area

Tebal Minimum (in)

Base ( CBR 100)

Base (CBR 80)

Permukaan

Base

Total

Permukaan

Base

Total

6
6

10

Sumber : Basuki, ( 1986 ).

2.8.2 Metode Federal Aviation Administration (FAA, 2009)

Metode perencanaan FAA yang dibahas pada bab ini adalah metode perencanaan
yang mengacu pada standar perencanaan perkerasan FAA Advisory Circular (AC)
150/5320-6E (FAA, 2009). Metode ini adalah pengembangan perencanaan
perkerasan berdasarkan metode CBR.

2.8.2.1 Klasifikasi Tanah

Metode yang dikembangkan oleh Federal Aviation Administration (FAA) ini pada
dasarnya menggunakan statistik perbandingan kondisi lokal dari tanah, sistem
drainase dan cara pembebanan untuk berbagai tingkah laku beban. Klasifikasi
tanah didasarkan atas hal-hal berikut ini :

Universitas Sumatera Utara

a) Butiran yang tertahan pada saringan no. 10.

b) Butiran yang lewat saringan no. 10 tetapi ditahan no. 40.

c) Butiran yang lewat saringan no. 40 tetapi tertahan saringan no. 200.

d) Butiran yang lewat saringan no. 200.

e) Liquid Limit.

f) Plasticity Index.

Klasifikasi tanah diatas hanya membutuhkan analisa mekanis (analisa saringan)


serta penentuan liquid limit dan plasticity index. Namun untuk menentukan baik
buruknya jenis tanah kita tidak hanya mendasarkan kepada analisa laboratorium,
tetapi memerlukan penelitian di lapangan terutama yang berhubungan dengan
drainase, kemampuan melewatkan air permukaan.

Drainase yang jelek akan menghasilkan subgrade yang tidak stabil, dengan sistem
drainase yang baik, maka akan menghindarkan subgrade dari genangan air,
topografi, jenis tanah, dan muka air tanah akan berpengaruh pada sistem drainase
di lapangan. Drainase yang jelek akan menghasilkan subgrade yang labil, dengan
sistem drainase yang baik maka menghindarkan subgrade dari genangan air dan
akan menjaga kestabilan subgrade.
FAA telah membuat klasifikasi tanah, untuk perencanaan perkerasan yang dibagi
dalam 13 kelas dari E1 sampai E13. Klasifikasi ini diambil dari Airport Paving
FAA, Advisory Circular, adalah sebagai berikut :

Group E1

Adalah jenis tanah yang mempunyai gradasi tanah yang baik, kasar, butiran-
butiran tanahnya tetap stabil walaupun sistem drainasenya tidak baik. Di
Universitas Sumatera Utara

negara-negara beriklim dingin tanah grup E1 tidak terpengaruh oleh salju yang
merugikan, biasanya terdiri dari pasir bergradasi baik, kerikil tanpa butiran-
butiran halus.

Group E2

Jenis tanah mirip dengan grup E1, tetapi kandungan pasirnya lebih sedikit, dan
mungkin mengandung presentase lumpur dan tanah liat yang lebih banyak. Tanah
dalam kelas ini bisa menjadi tidak stabil apabila sistem drainasenya tidak baik.

Group E3 dan E4

Terdiri dari tanah yang berbutir halus, tanah berpasir dengan gradasi lebih jelek
dibanding dengan grup E1 dan E2. Grup ini terdiri dari pasir berbutir halus tanpa
daya kohesi, atau tanah liat berpasir dengan kualitas pengikatan mulai dari cukup
sampai baik.

Tabel 2.6 Klafifikasi Tanah Dasar untuk Perencanaan Perkerasan oleh FAA

Group tanah

Analisa saringan

Liquid Limit

Plasticity Index

Sudgrade Class

% bahan tersisa saringan no. 10

% Bahan lebih kecil dari saringan no. 10

Drainase baik

Drainase jelek
Pasir kasar lolos saringan no. 10 tapi ditahan saringan no.40

Pasir halus lewat saringan no. 40 ditahan no.200

Campuran lumpur dan tanah liat lolos no. 200

Kerikil

E1

E2

E3

E4

Butiran halus

E5

E6

E7

E8

E9

E10

E11

E12

0-45

0-45

0-45

0-45

0-55

0-55

0-55

0-55

0-55
0-55

0-55

0-55

40

15

60

85

15

25

25

35

45

45

45

45

45

45

45

45

25

25

25

35

40

40

50
60

40

70

80

80

10

15

10

10-30

15-40

30

20-50

30

Fa atau Fa

Fa atau Ra

F1 atau Fa

F1 atau Ra

Fa atau Ra

F1 atau Ra

F2 atau Rb

F3 atau Rb

F3 atau Rb

F4 atau Rc
F5 atau Rc

F6 atau Rc

F7 atau Rd

F8 atau Rd

F9 atau Re

F10 atau Fa

E13

TANAH GAMBUT, TIDAK BISA DIGUNAKAN

Sumber : Basuki, ( 1986 ).

Group E5

Terdiri dari tanah yang bergradasi yang jelek, dengan kandungan lumpur dan
tanah liat campuran lebih dari 35% tetapi kurang dari 45%, dengan plastisitas
index antara 10-15.

Group E6

Terdiri dari lumpur yang berpasir dengan index plastisitas yang sangat rendah.
Jenis ini relatif stabil bila kering atau pada moisture content rendah. Stabilitasnya
akan kurang bahkan hilang dan menjadi sangat lembek dalam keadaan basah,
maka sangat sukar dipadatkan kecuali jika moiture content nya betul-betul
dikontrol dengan sangat teliti sesuai kebutuhan.

Group E7

Termasuk didalamnya tanah liat berlumpur, tanah liat berpasir, pasir berlempung
dan lumpur berlempung, mempunyai rentang konsitensi kaku sampai lunak ketika
kering dan plastis ketika basah.

Group E8

Mirip dengan E7, tetapi pada liquid limit yang lebih tinggi akan menghasilkan
derajat pemampatan yang lebih besar, pengembangan pengerutan dan stabilitas
yang lebih rendah dibawah kondisi kelembaban yang kurang menguntungkan.

Group E9
Terdiri dari campuran lumpur dan tanah liat sangat elastis dan sangat sulit
dipadatkan. Stabilitasnya rendah, baik keadaan basah dan kering.

Group E10

Adalah tanah liat yang berlumpur dan tanah liat yang membentuk gumpalan keras
dalam keadaan kering, serta sangat plastis bila basah. Pada pemadatan perubahan
volumenya sangat besar, mempunyai kemampuan mengembang menyusut dan
sangat elastis.

Group E11

Mirip dengan tanah grup E10, tetapi mempunyai liquid limit yang lebih tinggi,
termasuk didalamnya tanah dengan liquid limit antara 70-80 dengan index
plastisitas diatas 30.

Group E12

Jenis tanah yang mempunyai liquid limit di atas 80, tidak diukur berapapun index
plastisitasnya.

Group E13

Meliputi semua jenis tanah rawa organik, seperti gambut, mudah dikenal di
lapangan. Dalam keadaan asli, sangat rendah stabilitasnya, sangat rendah
densitynya dan sangat tinggi kelembabannya.

Karena perencanaan perkerasan merupakan suatu masalah rekayasa yang


kompleks sehingga perencanaan ini melibatkan banyak pertimbangan dari banyak
variabel. Parameter-parameter yang dibutuhkan untuk merencanakan perkerasan
meliputi berat kotor lepas landas pesawat (MSTOW), konfigurasi dan ukuran roda
pendaratan utama dan volume lalu-lintas. Kurva-kurva perencanaan terpisah
disajikan untuk roda pendaratan tunggal, roda tandem, roda tandem ganda, dan
pesawat berbadan lebar.

Universitas Sumatera Utara

Langkah pertama prosedur adalah menentukan ramalan keberangkatan pesawat


tahunan dari setiap type pesawat dan mengelompokkannya ke dalam pesawat
menurut konfigurasi roda pendaratan. Berat landas maksimum dari setiap pesawat
digunakan dan 95% dari berat pasawat ini dipikul oleh roda pendaratan utama.

Tabel 2.7 Faktor konversi keberangkatan tahunan pesawat menjadi keberangkatan


tahunan ekivalen pesawat rencana
Sumber : Basuki, ( 1986 ).

Poros roda pendaratan pesawat sebenarnya

Poros roda pendaratan pesawat rencana

Faktor Pengali untuk keberangkatan ekivalen

Roda tunggal

Roda ganda

Tandem ganda

Double tandem ganda

Roda tunggal

Tandem ganda

Double tandem ganda

Roda tunggal

Roda ganda

Roda ganda

Tandem Ganda

0.8

0.5

0.51

1.3

0.6

0.64

2.0

1.7

1.7

1.0

Roda ganda
Tandem ganda

Double tandem ganda Universitas Sumatera Utara

2.8.2.2 Menentukan Tipe Roda Pendaratan Utama

a. Sumbu Tunggal Roda Tunggal ( Single )

Gambar 2.3 Konfigurasi roda pendaratan untuk pesawat roda tunggal

Sumber : Yang, ( 1984 ).

b. Sumbu Tunggal Roda Ganda ( Dual wheel )

Gambar 2.4 Konfigurasi roda pendaratan untuk pesawat roda ganda

Sumber : Yang, ( 1984 ).

c. Sumbu Tandem Roda Ganda ( Dual Tandem )

Gambar 2.5 Konfigurasi roda pendaratan untuk pesawat roda tandem ganda

Sumber : Yang, ( 1984 ).

d. Sumbu Tandem Roda Ganda Dobel ( DDT )

Gambar 2.6 Konfigurasi roda pendaratan untuk pesawat roda ganda dobel

Sumber : Yang, ( 1984 ).

2.8.2.3 Menentukan Pesawat Rencana

Pesawat rencana dapat ditentukan dengan melihat jenis pesawat yang beroperasi
dan besar MSTOW (Maksimum Structural Take Off Weight) dan data jumlah
keberangkatan tiap jenis pesawat yang berangkat tersebut. Lalu dipilih jenis
pesawat yang menghasilkan tebal perkerasan yang paling besar. Pemilihan
pesawat rencana ini pada dasarnya bukanlah berasumsi harus berbobot paling
besar, tetapi jumlah keberangkatan yang paling banyak melalui landasan pacu
yang direncanakan.

Pesawat rencana kemudian ditetapkan sebagai pesawat yang membutuhkan tebal


perkerasan yang paling besar dan tidak perlu pesawat yang paling besar yang
beroperasi di dalam bandara. Karena pesawat yang beroperasi di bandara memiliki
angka keberangkatan tahunan yang berbeda-beda, maka harus ditentukan
keberangkatan tahunan ekivalen dari setiap pesawat dengan konfigurasi roda
pendaratan dari pesawat rencana.

2.8.2.4 Menentukan Beban Roda Pendaratan Utama Pesawat ( W2 )


Untuk pesawat yang berbadan lebar yang dianggap mempunyai MTOW cukup
tinggi dengan roda pendaratan utama tunggal dalam perhitungan Equivalent
Annual Departure ( R1 ) ditentukan beban roda tiap pesawat, 95% berat total dari
pesawat ditopang oleh roda pendaratan utama, dalam perhitungannya dengan
menggunakan rumus :

W2 = P x MSTOW x BA1x 1 (2.3)

Dimana :

W2 = Beban roda pendaratan dari masing-masing jenis pesawat

MSTOW = Berat kotor pesawat saat lepas landas

Universitas Sumatera Utara

A = Jumlah konfigurasi roda

B = Jumlah roda per satu konfigurasi

P = Persentase beban yang diterima roda pendaratan utama

Tipe roda pendaratan utama sangatlah menentukan dalam perhitungan tebal


perkerasan. Hal ini dikarenakan penyaluran beban pesawat melalui roda-roda ke
perkerasan.

2.8.2.5 Menentukan Nilai Ekivalen Keberangkatan Tahunan Pesawat Rencana

Pada lalu-lintas pesawat, struktur perkerasan harus mampu melayani berbagai


macam jenis pesawat, yang mempunyai type roda pendaratan yang berbeda-beda
dan bervariasi beratnya. Pengaruh dari beban yang diakibatkan oleh semua jenis
model lalu-lintas itu harus dikonversikan ke dalam pesawat rencana dengan
equivalent annual departure dari pesawat-pesawat campuran tadi, sehingga dapat
disimpulkan bahwa perhitungan ini berguna untuk mengetahui total
keberangkatan keseluruhan dari bermacam pesawat yang telah dikonversikan ke
dalam pesawat rencana. Untuk menentukan R1 dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan :

Log R1 = Log R2 2/112

WW (2.4)

Dimana :
R1 = Keberangkatan tahunan ekivalen oleh pesawat rencana ( pound )

R2 = Jumlah keberangkatan tahunan oleh pesawat berkenaan dengan konfigurasi


roda pendaratan rencana

W1 = Beban roda pesawat rencana ( pound ) Universitas Sumatera Utara

W2 = Beban roda pesawat yang harus diubah

Karena pesawat berbadan lebar mempunyai konfigurasi roda pendaratan utama


yang berbeda dengan pesawat lainnya, maka pengaruhnya terhadap perkerasan
diperhitungkan dengan menggunakan berat lepas landas kotor dengan susunan
roda pendaratan utama adalah roda tunggal yang dikonversikan dengan nilai yang
ada, Dengan anggapan demikian maka dapat dihitung keberangkatan tahunan
ekivalen (Equivalent Annual Departure, R1).

2.8.2.6 Menentukan Tebal Perkerasan Total

Perencanaan perkerasan yang dikembangkan oleh FAA ini adalah perencanaan


untuk masa umur rencana, dimana selama masa layan tersebut harus tetap
dilakukan pemeliharaan secara berkala.

Grafik-grafik pada perencanaan perkerasan FAA menunjukkan ketebalan


perkerasan total yang dibutuhkan (tebal pondasi bawah + tebal pondasi atas +
tebal lapisan permukaan). Nilai CBR tanah dasar digunakan bersama-sama
dengan berat lepas landas kotor dan keberangkatan tahunan ekivalen dari pesawat
rencana.

Grafik-grafik perencanaan digunakan dengan memulai menarik garis lurus dari


sumbu CBR, ditentukan secara vertikal ke kurva berat lepas landas kotor
(MSTOW), kemudian diteruskan kearah horizontal ke kurva keberangkatan
tahunan ekivalen dan akhirnya diteruskan vertikal ke sumbu tebal perkerasan dan
tebal total perkerasan didapat.

Beban lalu-lintas pesawat pada umumnya akan disebarkan pada daerah lateral dari
permukaan perkerasan selama operasional. Demikian juga, pada sebagian
Universitas Sumatera Utara

landasan pacu, pesawat akan meneruskan beban ke perkerasan. Oleh karena itu,
FAA memperbolehkan perubahan tebal perkerasan pada pemukaan yang berbeda-
beda :

Tebal penuh T pada seluruh daerah kritis, yang digunakan untuk tempat pesawat
yang akan berangkat, seperti apron daerah tunggu ( Holding Apron), bagian
tengah landasan hubung dan landasan pacu (Runway).
Tebal perkerasan 0.9 T diperlukan untuk jalur pesawat yang akan datang, seperti
belokan landasan pacu berkecepatan tinggi.

Tebal perkerasan 0.7 T diperlukan untuk tempat yang jarang dilalui pesawat,
seperti tepi luar landasan hubung dan tepi luar landasan pacu.

2.8.2.7 Kurva-kurva Perencanaan Tebal Perkerasan

a. Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total Untuk Pesawat Rencana Beroda


Tunggal

Grafik 2.1 Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Untuk Pesawat Roda Tunggal

Sumber : Basuki, ( 1986 ).

b. Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total Untuk Pesawat Rencana Beroda


Ganda

Grafik 2.2 Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Untuk Pesawat Roda Ganda

Sumber : Basuki, ( 1986 ).

c. Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total Untuk Pesawat Rencana Beroda


Dual Tandem

Universitas Sumatera Utara

Grafik 2.3 Kurva Perencanaa Tebal Perkerasan Untuk Pesawat Roda tandem
ganda

Sumber : Basuki, ( 1986 ).

d. Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total Untuk Pesawat Rencana Beroda


Dual Tandem

Grafik 2.4 Kurva Perencanaa Tebal Perkerasan Untuk Pesawat Dual Tandem

Sumber : Basuki, ( 1986 ).

Grafik perencanaan yang tersedia diatas adalah grafik perencanaan untuk tingkat
keberangkatan tahunan maksimum 25.000 keberangkatan. Untuk kebarangkatan
tahunan diatas 25.000, grafik tersebut juga dapat digunakan dengan

mengalikan hasil akhir tebal total perkerasan yang didapat dengan mengggunakan
grafik keberangkatan tahunan 25.000 dengan angka persentase yang diberikan
pada tabel 2.8 dibawah ini :

Tabel 2.8 Persentase pengali untuk mendapatkan tebal total perkerasan dengan
tingkat keberangkatan tahunan diatas 25.000
Tingkat keberangkatan tahunan

% tebal total keberangkatan tahunan 25.000

50.000

100.000

150.000

200.000

104

108

110

112

Sumber : Basuki, ( 1986 ).

2.8.2.8 Material yang Digunakan untuk Perkerasan

Lapisan permukaan

Untuk lapisan permukaan digunakan aspal beton ( asphaltic concrete sebagai item
P-401)

Lapisan pondasi

Untuk lapisan pondasi, digunakan beberapa item yaitu :

Item P-208 (Aggregate Base Course)

Item P-209 (Crushed Agregate Base Course)

Item P-211 (Lime Rock Base Course)

Item P-304 (Cement Treated Base Course)

Item P-306 (Econocrete Subbase Course) Universitas Sumatera Utara

Lapisan pondasi bawah

Untuk lapisan pondasi bawah, digunakan beberapa item, yaitu:

Item P-154 (Subbase Course)

Item P-210 (Caliche Base Course)


Item P-212 (Shell Base Course)

Item P-213 (Sand Clay Base Course)

Item P-301 (soil Cement Base Course)

Untuk semua item material perkerasan diatas berdasarkan FAA, (2009).

Tabel 2.9 Faktor Equivalent untuk Bahan yang Digunakan

Bahan

Faktor Equivalent

P-401, ( Asphalt Concrete)

1,7 2,3

P-201, (Bituminous Base Course)

1,7 2,3

P-215, (Cold Laid Bituminous Base Course)

1,5 1,7

P-216, (Mixed In-Place Base Course )

1,5 1,7

P-304, (Cement Treated Base Course)

1,6 2,3

P-301, (Soil Cement Base Course)

1,5 2,0

P-209, (Crushed agregate Base Course)

1,4 2,0

P-154, (Subbase Course)

1,0

Sumber : Basuki, ( 1986 ).

2.8.3 Metode Perencanaan Perkerasan ICAO ( LCN )


Metode Load Classification Number (LCN) adalah metode perencanaan
perkerasan dan evaluasi, merupakan formulasi dari Air Ministry Directorat
General Universitas Sumatera Utara

of Work, Inggris dan dewasa ini telah diakui oleh ICAO. Dalam prosedurnya
kapasitas daya dukung perkerasan dinyatakan dalam angka LCN.

Seperti halnya ESWL, setiap pesawat dapat dinyatakan dalam LCN, dimana
angka-angka LCN tergantung kepada geometri roda pendaratan, tekanan roda
pesawat dan komposisi dari tebal perkerasan (Basuki, 1986).

ICAO ( International Civil Aviation Organization) menggunakan sistem


penggolongan perkerasan untuk menentukan kekuatan perkerasan suatu bandar
udara berguna untuk menentukan kelayakan suatu perkerasan melayani pesawat
dengan type tertentu sesuai dengan daya dukung perkerasan tersebut.

LCN (Load Classification Number ) adalah nilai yang menunjukkan beban


tertentu dari pesawat yang harus dipikul suatu sistem perkerasan bandara. LCN
adalah angka yang menunjukkan kekuatan dukung tanah dasar bandar udara
terhadap pesawat yang boleh beroperasi di bandara tersebut. Maka bila angka
LCN perkerasan lapangan terbang lebih besar daripada LCN pesawat, maka dapat
disimpulkan pesawat dapat mendarat di lapangan terbang tersebut dengan selamat.

Bermacam-macam tipe perkerasan rigid dan flexible telah diuji memakai test
bearing plate dengan rentang kontak area dari 200-700 in2 yang mewakili
pesawat-pesawat yang beroperasi di dunia saat ini. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pada rentang kontak area itu, perkerasan rigid dan flexible mempunyai
karakteristik beban vs penurunan yang mirip.

2.8.3.1 Equivalent Single Wheel Load ( ESWL )

ESWL adalah nilai yang menunjukkan beban roda tunggal yang akan
menghasilkan respon dari struktur perkerasan pada satu titik tertentu di dalam
struktur perkerasan,dimana besarnya sama dengan beban yang dipikul pada titik
roda

pendaratan. Dalam penentuan nilai ESWL biasanya prosedur perhitungannya


berdasarkan tegangan vertikal, lendutan dan regangan.

2.8.3.2 Pesawat Rencana

Pesawat rencana dapat ditentukan dengan melihat jenis pesawat yang beroperasi
dan besar MSTOW ( Maksimum Structural Take Off Weight ) , data jumlah
keberangkatan tiap jenis pesawat yang berangkat tersebut. Lalu dipilih jenis
pesawat yang menghasilkan tebal perkerasan yang paling besar.
Pemilihan pesawat rencana ini pada dasarnya bukanlah berasumsi harus berbobot
paling besar, tetapi jumlah keberangkatan yang paling banyak melalui landasan
pacu yang direncanakan.

2.8.3.3 Garis Kontak Area Pesawat

Beban runtuh pada perkerasan flexible diartikan sebagai beban yang


menyebabkan perkerasan turun secara progresif tanpa penambahan beban.

2.8.3.4 Menentukan Tebal Perkerasan

Perencanaan perkerasan yang dikembangkan oleh LCN ini adalah perencanaan


untuk masa umur rencana, dimana selama masa layan tersebut harus tetap
dilakukan pemeliharaan secara berkala.

Beban lalu-lintas pesawat pada umumnya akan disebarkan pada daerah lateral dari
permukaan perkerasan selama operasional. Oleh karena itu LCN juga
memperbolehkan perubahan tebal perkerasan pada pemukaan yang berbeda-beda.

Anda mungkin juga menyukai