Anda di halaman 1dari 4

Kebanyakan penelitian melaporkan temuan adanya BTA kecil dari 20% pada pasien

dengan TBM. Meningkatkan pelatihan laboratorium dan infrastruktur, dan


meningkatkan akses pada teknologi dari WHO seperti GeneXpert, akan berpotensi
menurunkan keterlambatan ini namu tidak akan merubah fakta bahwa specimen klinis
dari anak bersifat terbatas baik dari segi volume ataupun sifat paucibasilernya. Volume
LCS yang adekuat berefek secara signifikan dalam meningkatkan kecenderungan
untuk mengonfirmasi diagnosis dan pengambilan sampel TB yang tepat pada lokasi
tubuh yang lain juga seharusnya dilakukan. Terlebih lagi, disaat uji diagnostic untuk
TB masih kurang sensitive, peningkatan kapasitas untuk mengidentifikasi dan
mengekslusikan pathogen dari system saraf pusat lain merupakan kunci untuk
memberikan para klinisi kepercayaan diri untuk memulai pengobatan secara tepat
waktu dan menurunkan peresepan yang tidak perlu dari regimen TB yang lama.
Sebagai catatan, pendekatan yang menjanjikan pada anak anak di Afrika Selatan
dengan TBM, yang memberikan hasil dengan sensitivitas dua kali lipat, adalah
penggunaan dari lebih dari satu uji amplifikasi asam nukleat dari LCS. Akan tetapi,
peneliti masih menganggap kombinasi dari pemeriksaan mikroskopik dan kultur masih
merupakan yang paling efektif. Kami menemukan pemeriksaan GeneXpert dan
pulasan LCS memiliki sensitivitas yang sama pada pasien dewasa; yang menjadi
tantangan di Vietnam ialah untuk mendapatkan jumlah LCS yang cukup dari bayi dan
menyeimbangkan risiko dari pemeriksaan dengan keuntungan dari diagnosis definitive
penyakitnya. Identifikasi lebih awal dari resistensi obat sepertinys menjadi faktor yang
berperan penting dalam meningkatkan hasil pengobatan. Penelitian dari Afrika Selatan
menemukan bahwa resitensi obat berhubungan dengan keterlambatan dalam memulai
pengobatan yang efektif, dan bahwa resitensi multi-obat berhubungan dengan hasil
pengobatan yang lebih buruk. Pada penelitian ini resistensi isoniazid saja tidak
berhubungan dengan jelas dengan hasil pengobatan yang buruk. Akan tetapi, hal ini
menyerupai pengalaman pada pasien dewasa penelitian kecil awalnya gagal
menunjukan efek yang berbahaya dari mono-resistensi dari isoniazid dalam hasil
pengobatan, namun pada tahap akhir dengan data yang lebih besar menunjukkan bahwa
adanya resistensi ini bersifat merugikan dalam fase pengobatan.
Ketiga, penngobatan TB sangatlah sulit, baik dari segi durasi ataupun efek
sampingnya, yang dapat menyebabkan keengganan untuk memulai pengobatan empiris
dimana risiko dan konsekuensi dari penyakit yang diterima ialah rendah. Akan tetapi,
Mtb telah dilaporkan menjadi penyebab meningitis yang lebih sering daripada
organisme piogenik di Afrika Selatan mengingat kematian terjadi 50% pada minggu
pertama pengobatan maka pada keadaan ini dapat diberikan terapi empiris TB. Hanya
sedikit data yang ada mengenai durasi yang optimal untuk TBM. Obat-obatan seperti
fluorokuinolon, yang memiliki tolerabilitas yang baik dan penetrasi kedalam LCS yang
hebat, berpotensi menawarkan regimen pengobatan yang lebih efektif dan lebih cocok,
akan tetapi secara relative masih belum teruji pada anak. Percobaan kontrol secara acak
pada anak dirancang secara khusus untuk meningkatkan pengobatan TB dengan cara
1) mengidentifikasi pengobatan yang lebih pendek namun sama efektifnya dan 2)
kombinasi pengobatan terbaru, mungkin apat mengatasi maslah ini, meskipun
penelitian terbaru pada pasien dewasa memberikan hasil yang beragam. Dosis
rifampisin yang efektif muncul sebagai kunci dalam usaha meningkatkan hasil
pengobatan. Regimen seperti ini akan memungkinkan pergerakan kearah pendekatan
terapi empiric seperti yang digunakan pada meningitis bacterial akut untuk dapat
diterapkan pada lingkungan dengan beban yang tinggi.

Terakhir, dapat diyakini bahwa kerusakan liver diinduksi obat yang memerlukan
interupsi pengobatan segera sangatlah jarang terjadi dan tidak berhubungan dengan
hasil pengobatan yang buruak pada penelitian ini, dimana hanya mengenai 2% pasien.
Penelitian kami hanyalah dalam skala kecil sehingga angka perkiraan kami mungkin
saja tidak pasti hasilnya. Akan tetapi, angka kejadiannya dapat diperkirakan kecil
angka 13% yang dinayatakan untuk DILI pada dewasa, sehingga mendukung konsep
bahwa dosis yang lebih tinggi dapat digunakan pada anak anak, sebahaimana yang
disarankan dalam guidelines terbaru dari WHO.

Penelitian kami memiliki beberapa kekurangan. Penelitian ini kurang karena


skalanya yang kecil, sehingga perkiraan tentang angka kematian dan sekuele lain
tidaklah tepat, meskipun temuan kami secara umum masih menyerupai temuan dari
peneliti lain. Kedua, kami menggunakan all-cause mortality. Akan tetapi, 50% dari
semua kematian terjadi dalam masa minggu pertama inisiasi pengobatan dan angka
komorbiditas (seperti HIV) rendah, yang artinya masuk akal jika dianggap semua
kematian yang terjadi merupakan akibat langsung dari TB atau merupakan hasil dari
sekuele TB itu sendiri. Ketiga, anak anak hanya di follow-up sampai akhir dari masa
penelitian, dan kami mungkin akan kehilangan data mengenai kematian setelahnya
ataupun kejadian relaps setelah pengobatan. Kekurangan yang paling utama ialah
rendahnya angka konfirmasi dari tuberculosis secara mikrobiologi. Hal ini konsisten
dengan penelitian lain pada anak dan memperlihatkan secara nyata kesulitan praktisnya
dalam menangani anak-anak ini. Mungkin saja beberapa dari kasus ini, khususnya
mereka yang masuk dalam kategori possible pada definisi kasus, memiliki gambaran
patologi yang lain. Akan tetapi, jika kasus dengan kategori possible ini diekslusikan ,
maka angka mortalitas dan morbiditas menjadi meningkat pesat sehingga mendasari
dibutuhkannya peningkatan dalam cara diagnostic dan tatalaksana dari penyakit yang
menyusahkan ini.

Penelitian kami dirancang dan diselesaikan sebelum publikasi dari definisi kasus
secara universal (universal case definition/ UCD) dari TBM duterbitkan dan karena itu
kamu menampilkan hasil penelitian kami sebagaimana awalnya, dengan analisis
sekunder menggunakan klasifikasi ini. UCD berdasarkan pada system skoring non-
linear yang diambil dari pendapat pada ahli, dan telah menunjukkan memberikan
misklasifikasi sebesar 14% dari kasus yang terbukti secara kultur dari kasus TBM pada
anak dalam penelitian di Afrika Selatan. Hal ini menekankan bahayanya menggunakan
tools dari penelitian ini sebagai pembantu dalam mendiagnosis TB, khususnya pada
daerah dengan fasilitas diagnostic mikrobiologi tidak berkembang baik. Terlebih lagi,
masih belum jelas bahwa UCD tersebut mencapai apa yang ditargetkannya untuk
tercapai seperti memungkinkan perbandingan secara cepat dari pasien antar
kelompok penelitian yang berbeda berdasarkan kecenderungan dari definisi yang
dibuat oleh UCD seperti kelompok definite, probable atau possible TBM. Sebagai
contoh, penelitian dari Afrika Selatan menemukn bahwa pasien dengan kategori
possible versus kelompok probable/definite TBM memiliki perbedaan yang
signifikan pada konsentrasi protein dalam LCS dan konsentrasi LCS/glukosa serum.
Perbedaan ini tidak muncul pada anak-anak yang kami teliti, sehingga malah
kemungkinan pasien kami yang dalam kategori possible lebih tepat menderita TB
daripada pasien possible dalam penelitian di Afrika Selatan tersebut. Diperlukan
system klasifikasi yang lebih cepat, dan melihat jumlah dari pasien yang telah
dilibatjkan dalam percobaan intervensi pada 15 tahun belakangan ini maka hal ini
harusnya sudah tersedia.

Kesimpulan

Meningitis tuberkulosa pada anak membawa morbiditas dan mortalitas yang signifikan
di Vietnam. Tantangan khususnya ialah dalam menurunkan waktu yang diperlukan
untuk mengakkan diagnosis, dan pemberian tatalaksana yang efektif. Akan tetapi,
meningkatkan hasil terapijuga memerlukan penemuan regimen pengobatan yang
disesuaikan dengan anak-anak. Melihat hasil yang mengecewakan dari penelitian baru-
baru ini dengan regimen yang ditingkatkan dengan fluorokuinolon pada dewasa dengan
TBM, maka percobaan kontrol acak dengan rifampisin yang ditingkatkan mungkin
merupakan sebuah strategi yang sangat penting untuk dikembangkan.

Anda mungkin juga menyukai