Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN DAN HASIL PERTANIAN

PENEPUNGAN TALAS

Disusun oleh:
Andry Setiya P. (151710101005)
Zela Octaviana (151710101032)
Herinda Putri S. (151710101059)
Baruna Eka Putra (151710101095)
Rhama Darmawan (151710101113)

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Talas (Xanthosoma sagittifolium) merupakan salah satu umbi-umbian yang
banyak ditanam di Indonesia. Talas banyak dibudidayakan di Indonesia karena
talas dapat tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan tidak terlalu memerlukan
pengairan. Tanaman ini juga dapat tumbuh sepanjang tahun di daerah dataran
rendah sampai dataran tinggi. Talas berbentuk silinder atau lonjong sampai agak
bulat.
Talas mempunyai peluang yang besar untuk dikembangkan karena berbagai
manfaat. Tanaman talas merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang memiliki
peranan cukup strategis sebagai sumber bahan pangan. Menurut Onwueme
(1994), talas mengandung karbohidrat berkisar antara 1329 % dengan komponen
utama adalah pati yang mencapai 77,9%. Karena kandungan patinya yang cukup
tinggi, talas memiliki potensi untuk dapat digunakan sebagai bahan baku tepung-
tepungan.
Pembuatan tepung atau bubuk bertujuan untuk mencegah timbulnya
kerusakan bahan yang bersifat fisik maupun kualitatif (mutu). Berkurangnya
kualitas merupakan bentuk kerusakan yang harus dihindari, namun dalam
kenyataannya dua bentuk kerusakan ini saling berkait dan sering mempengaruhi
sehingga akan membentuk kerusakan tepung yang lebih serius. Seperti umbi
umbian, tepung dan bubuk berada dalam keadaan telah kering sempurna, sesudah
digiling dengan mesin penepungan (milling). Tanda bentuk bahan telah kering
yaitu antara butir tepung atau bubuk halus satu dengan yang lainnya tidak saling
lengkap (menempel), tetapi saling lepas. Tepung yang masih basah biasanya
butiran halusnya saling berlekatan sehingga membentuk agregat (gumpalan) yang
lebih besar dan mengelompok (Purwanto, 1995). Oleh karena itu praktikum ini
perlu dilakukan untuk mengetahui sifat fisik tepung talas yang dihasilkan dari
proses penepungan.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum yang telah dilakukan yaitu:
1. Untuk mengetahui pengaruh lama perendaman natrium metabisulfit terhadap
warna dan rendemen tepung talas.
2. Untuk mengetahui pengaruh lama blansing terhadap warna dan rendemen
tepung talas.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Talas
Talas kimpul (Xanthosoma sagittifolium) merupakan salah satu umbi-
umbian yang banyak mengandung karbohidrat, vitamin C, thiamin, riboflavin, zat
besi, fosfor, zinc, niacin, potassium, tembaga, mangan dan serat yang sangat
bermanfaat bagi kesehatan. Kandungan karbohidrat yang tinggi (34,2 g/100 g)
sangat memungkinkan talas kimpul dimanfaatkan sebagai bahan baku membuat
tepung. Talas memiliki berbagai nama umum di seluruh dunia, yaitu Taro, Old
cocoyam, Abalong, Taioba, Arvi, Keladi, Satoimo, Tayoba, dan Yu-tao. Tanaman
ini diklasifikasikan sebagai tumbuhan berbiji (Spermatophyta) dengan biji tertutup
(Angiospermae) dan berkeping satu (Monocotyledonae). Taksonomi tumbuhan
talas secara lengkap adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Arales
Famili : Araceae
Genus : Xanthosoma
Species : Xanthosoma sagittifolium (Koswara, 2014).
Talas berasal dari daerah sekitar India dan Indonesia, yang kemudian
menyebar hingga ke China, Jepang, dan beberapa pulau di Samudra Pasifik.
Pertumbuhan paling baik dari tanaman ini dapat dicapai dengan menanamnya di
daerah yang memiliki ketinggian 0 m hingga 2740 m di atas permukaan laut, suhu
antara 21 270 C, dan curah hujan sebesar 1750 mm per tahun. Bagian yang dapat
dipanen dari talas adalah umbinya, dengan umur panen berkisar antara 6 - 18
bulan dan ditandai dengan daun yang tampak mulai menguning atau mengering.
Talas umumnya tumbuh subur di daerah negara- negara tropis. Bahan
pangan ini memiliki kontribusi dalam menjaga ketahanan pangan di dalam negeri
dan juga berpotensi sebagai barang ekspor yang dapat menghasilkan keuntungan.
Pemasarannya selain dapat dilakukan dalam bentuk segar, juga dapat dilakukan
dalam bentuk umbi beku ataupun umbi kaleng yang memenuhi syarat ukuran
tertentu.
Umbi talas memiliki berbagai macam bentuk yang sangat tergantung dengan
lingkungan tempat tumbuhnya serta varietasnya. Minantyorini dan Hanarida
(2002) melakukan identifikasi dan melakukan klasifikasi terhadap plasma nutfah
berbagai jenis talas.

Gambar 1. Macam-macam jenis Talas


Hasilnya dapat dilihat pada Gambar yang menunjukkan berbagai macam
bantuk dari umbi talas, mulai dari yang kerucut (1), membulat (2), silindris (3),
elips (4), halter (5), memanjang (6), datar dan bermuka banyak (7), dan tandan
(8). Umumnya talas yang tersebar di Indonesia memiliki bentuk kerucut, silindri,
atau elips, dengan sebagian kecil daerah memproduksi talas dengan bentuk umbi
membulat, halter, memanjang, dan tandan. Untuk bentuk umbi datar dan bermuka
banyak, hingga kini belum ada ditemui di Indonesia.
Indonesia sebagai salah satu negara penghasil talas memiliki dua sentra
penanaman talas, yaitu di kota Bogor dan Malang. Jenis talas yang biasa
dibudidayakan di Bogor adalah talas sutera, talas bentul, talas lampung, talas
pandan, talas padang, dan talas ketan. Namun, yang umum ditanam adalah talas
bentul karena memiliki produktivitas yang tinggi serta memiliki rasa umbi yang
enak dan pulen.
2.2 Sifat Fisik dan Kimia Talas
Tanaman talas banyak mengandung asam perusai (asam biru atau HCN).
Sistem perakaran serabut, liar dan pendek. Umbi dapat mencapai 4 kg atau lebih,
berbentuk silinder atau bulat, berukuran 30 cm x 15 cm, berwarna coklat.
Daunnya berbentuk perisai atau hati, lembaran daunnya 20-50 cm panjangnya,
dengan tangkai mencapai 1 meter panjangnya, warna pelepah bermacam-macam.
Perbungaannya terdiri atas tongkol, seludang dan tangkai (Anonim a, 2010).
Talas mengandung banyak senyawa kimia yang dihasilkan dari metabolisme
sekunder seperti alkaloid, glikosida, saponin, minyak essensial, resin, gula dan
asam-asam organik. Umbi talas mengandung pati yang mudah dicerna kira-kira
sebanyak 18,2 %, sukrosa serta gula preduksinya 1,42 % dan karbohidrat sebesar
23,7 %. Sebelum mengolah talas menjadi beragam kudapan (olahan lain) dan jika
salah mengolah talas bukan makanan yang dihasilkan bertambah enak tapi
penderitaan yang bisa dipetik. Yang pertama diperhatikan mengurangi kadar
kalsium oksalat pada talas. Kalium oksalat dari persenyawaan garam antara ion
kalsium dan ion oksalat. Ion ini sangat bermanfaat untuk proses metabolisme dan
untuk pertahanan internal bagian talas. Namun untuk manusia senyawa ion bisa
menimbulkan gatal-gatal dan iritasi pada kulit. Untuk memperoleh kadar kalsium
oksalat yang rendah pada talas dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Talas dicuci sampai bersih selama 5 menit menggunakan perbandingan talas
dan air 1 : 4
2. Talas direndam selama 20 menit menggunakan NaCl berkadar 1%
3. Talas dicuci kembali seperti point 1
Tanaman talas merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang memiliki
peranan cukup strategis tidak hanya sebagai sumber bahan pangan, dan bahan
baku industri tetapi juga untuk pakan ternak. Tanaman talas memiliki nilai
ekonomi yang tinggi karena hampir sebagian besar bagian tanaman dapat
dimanfaatkan untuk dikomsumsi manusia. Tanaman talas yang merupakan
penghasil karbohidrat berpotensi sebagai substitusi beras.
2.3 Blanching
Blanching merupakan suatu proses yang dilakukan pada bahan pangan
sebelum dilakukan pengeringan pengalengan atau pembekuan. Blanching
merupakan suatu proses pemanasan pada bahan pangan dengan menggunakan
0
suhu dibawah 100 C. Blanching dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
pemanasan secara langsung dengan air panas (Hot Water Blancing) atau dengan
menggunakan uap (Steam Blanching). Kedua proses tersebut mempunyai
keuntungan dan kerugian tersendiri tergantung dari bahan yang akan
dibalnching.blanching bertujuan untuk menginaktifkan enzim yang
memungkinkan perubahan warna, tekstur, citta rasa bahan pangan. Namun tujuan
blanching juga bermacam-macam tergantung dari bahan yang akan digunakan
serta tujuan proses selanjutnya (Muchtadi, Tien R. 1997).
Untuk mendapatkan hasil yang optimal, blanching sebaiknya dilakukan
pada suhu dan waktu yang terkontrol, pendinginan dengan segera tanpa menunda
prosesisng. Perlakuan blanching yang tepat dapat mendatangkan banyak manfaat
antara lain dapat menghindari perubahan yang tidak diinginkan, mengurangi
kandungan mikroba, dapat mempertahankan warna, memperlunak jaringan,
membantu pengeluaran gas-gas selulerpada jaringan sehingga mencegah
terjadinya korosidan memperbaiki tekstur pada bahan pangan yang dikeringkan
(Winarno, F.G. 2002).
Lama blaching biasanya ditentukan oleh ukuran dan bentuk bahan, tekstur
dan sifat konduktivitas oleh bahan. Jika ukuran bahan kecil maka waktu blanching
akan lebih singkat dibanding bahan yang berukuran lebih besar, sebab bahan yang
ukuranya lebih kecil panas yang terserap lebih banyak. Waktu blanching juga
lebih singkat untuk bahan yang mudah lunak karena lebih mudah dan cepat
menghantarkan panas.
Blanching dapat menyebabkan beberapa kerugian diantaranya, dapat
menghilangkan beberapa komponen zat gizi yang mudah terlarut dalam air panas
dan uap panas menyebabkan kerusakan tekstur jika waktu blanching terlalu lama
dan lain-lain. Untuk mengurangi kerugian akibat blanching diperlukan
keseragaman perlakuan panas dan penekanan terhadap kemungkinan hilangnya
komponen-komponen pada bahan.

2.4 Natrium Metabisulfit


Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na atau K-sulfit, bisulfit dan
metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang tak
terdisosiasi dan terutama terbentuk pada pH di bawah 3. Selain sebagai pengawet,
sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil. Hasil reaksi itu akan mengikat
melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna coklat. Sulfur dioksida juga
dapat berfungsi sebagai antioksidan (Syarief dan Irawati, 1998)

Molekul sulfit lebih mudah menembus dinding sel mikroba bereaksi dengan
asetaldehid membentuk senyawa yang tidak dapat difermentasi oleh enzim
mikroba, mereduksi ikatan disulfide enzim dan bereaksi dengan keton membentuk
hidrosi sulfonat yang dapat menghambat mekanisme pernapasan (Cahyadi, 2006).

Natrium bisulfit berbentuk serbuk, berwarna putih, larut dalam air, sedikit
larut dalam alkohol, dan berbau khas seperti gas sulfur dioksida, mempunyai rasa
asam dan asin. Pada konsentrasi 200 ppm bahan pengawet ini dapat menghambat
pertumbuhan bakteri, kapang dan khamir (Chichester dan Tanner, 1975)

2.5 Tepung Talas


Tepung adalah bentuk hasil pengolahan bahan dengan cara pengilingan atau
penepungan. Tepung memiliki kadar air yang rendah, hal tersebut berpengaruh
terhadap keawetan tepung. Jumlah air yang terkandung dalam tepung dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain sifat dan jenis atau asal bahan baku pembuatan
tepung, perlakuan yang telah dialami oleh tepung, kelembaban udara, tempat
penyimpanan dan jenis pengemasan. Cara yang paling umum dilakukan untuk
menurunkan kadar air adalah dengan pengeringan, baik dengan penjemuran atau
dengan alat pengering biasa. Proses pembuatan tepung umbi-umbian sendiri dapat
dilakukan dengan berbagai cara tergantung dari jenis umbi-umbian itu sendiri
(Lingga, 1986).
Salah satu produk talas yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
industri pangan adalah tepung talas. Tepung talas adalah tepung yang dibuat dari
umbi talas kering yang digiling atau ditumbuk dan disaring dengan ayakan tepung
(Ridal, 2003).
Proses pembuatan tepung talas diawali dengan pencucian dan pengupasan
umbi segar, yang kemudian diiris. Pengirisan dimaksudkan untuk mempercepat
proses pengeringan. Setelah itu dilakukan perendaman dengan air, perendaman
juga merupakan proses pencucian karena secara tidak langsung mempunyai efek
membersihkan. Kemudian dilakukan proses pengeringan pada suhu sekitar 50-

600C yaitu, pada saat kadar air mencapai 12%. Pengeringan dilakukan selama 6

jam dan biasanya umbi yang dikeringkan tersebut dibolak-balik agar kering
secara merata. Hasil dari pengeringan adalah berupa keripik talas yang kemudian
digiling untuk menghasilkan tepung talas yang seragam dilakukan proses
pengayakan (Novita, 2010)

2.6 Sifat Kimia, Fisik dan Fungsional Tepung


2.6.1 Sifat kimia
Sifat kimia pada bahan pangan menunjukkan perubahan komposisi
kimia yang terkandung setelah mengalami proses pengolahan maupun
penyimpanan. Komposisi kimia jagung sangat bervariasi tergantung dari varietas,
cara menanam, iklim dan tingkat kematangan (Jugenheimer,1976).
Sifat kimia tepung meliputi kadar air, abu, protein total, lemak, pati, dan
amilosa. Pengujian karakteristik kimia juga bertujuan untuk memperoleh tepung
sesuai standar mutu yang teregulasi.

2.6.2 Sifat fisik


Sifat fisik merupakan atribut fisik yang tampak dan dapat diukur dari bahan
pangan. Sifat fisik tepung meliputi rendemen, starch damage, densitas kamba,
derajat putih, dan nilai pH.
a. Rendemen
Rendemen merupakan perbandingan berat produk yang diperoleh terhadap
berat bahan baku yang digunakan. Perhitungan rendemen dilakukan berdasarkan
berat kering bahan. Rendemen tepung menyatakan nilai efisiensi dari proses
pengolahan sehingga dapat diketahui jumlah tepung yang dihasilkan dari bahan
dasar awalnya.
b. Starch Damage
Starch damage terjadi terutama diakibatkan oleh gaya mekanis
yang diperoleh dalam proses penepungan. Selama proses penepungan, 5-12 %
pati mengalami kerusakan. Granula pati yang lebih besar biasanya
mengalami kerusakan yang lebih besar. Terdapat dua jenis starch damage, yakni
cracks dan breaks (Dubat, 2004). Kedua tipe jenis starch damage dapat dilihat
sebagai berikut.
Starch damage dapat berpengaruh positif maupun negatif. Adanya starch
damage menyebabkan daya serap air menjadi lebih tinggi menjadi 2-4 kali berat
semula. Pati dikatakan 100% mengalami kerusakan bila menyerap air sebanyak
jumlah pati pada suhu 30C. Sedangkan pati alami (nativestarch) hanya mampu
menyerap 0,4 kali berat mula-mula. Hal ini penting secara ekonomi, karena air
merupakan salah satu ingridien yang murah untuk meningkatkan rendemen pada
produk seperti roti dan mi basah (Dubat, 2004). Selain itu starch damage dapat
meningkatkan mobilitas adonan (lembut dan fleksibel) dan kohesivitas serta
meningkatkan kapasitas menahan gas pada pembuatan roti. Disisi lain, daya serap
yang terlalu tinggi dapat menyebabkan adonan menjadi lengket sehingga sulit
untuk dicetak. Selain itu, starch damage juga memungkinkan beberapa enzim
spesifik (salah satunya adalah -amilase) lebih leluasa bekerja dan meningkatkan
nilai ketercernaan pati. Starch damage menunjukkan beberapa sifat fisik yang
mirip dengan pati pregelatinisasi.
c. Densitas kamba
Densitas kamba menunjukkan perbandingan antara berat suatu
bahan terhadap volumenya. Densitas kamba merupakan sifat fisik bahan
pangan khusus biji-bijian atau tepung-tepungan yang penting terutama
dalam pengemasan dan penyimpanan. Bahan dengan densitas kamba yang kecil
akan membutuhkan tempat yang lebih luas dibandingkan dengan bahan dengan
densitas kamba yang besar untuk berat yang sama sehingga tidak efisien dari segi
tempat penyimpanan dan kemasan (Ade et al., 2009).
d. Derajat putih (L)
Pengukuran warna secara objektif penting dilakukan karena pada produk
pangan warna merupakan daya tarik utama sebelum konsumen mengenal dan
menyukai sifat-sifat lainnya. Warna tepung dapat diamati secara kuantitatif
dengan metode Hunter menghasilkan tiga nilai pengukuranyaitu L, a dan b. Nilai
L menunjukkan tingkat kecerahan sampel. Semakin cerah sampel yang diukur
maka nilai L mendekati 100. Sebaliknya semakin kusam (gelap), maka nilai L
mendekati 0. Nilai a merupakan pengukuran warna kromatik campuran merah-
hijau. Nilai b merupakan pengukuran warna kromatik campuran kuning-biru
(Hutching, 1999). Warna tepung yang diperdagangkan bervariasi mulai dari putih
sampai putih keabu-abuan atau agak coklat dan kuning. Menurut syarat mutu SNI
tidak ada kriteria derajat putih yang yang diharuskan, warna sesuai bahan baku
jagung (putih, kuning) dan secara umum sesuai spesifikasi bahan aslinya.
Umumnya konsumen lebih menyukai tepung dengan derajat putih (L) yang tinggi.
e. Nilai pH
Nilai pH berpengaruh terhadap pembentukan gel yang
optimum. Pembentukan gel pati yang optimum terjadi pada pH 4-7 (Winarno,
2008). Faktor utama pembentukan gel adalah gelatinisasi patibukan dari
pembentukan gluten seperti yang terdapat dalam tepung terigu.
f. SEM (Scanning Electron Microscope).
Bentuk ganula pati merupakan ciri khas masing-masing pati. Pati jagung
mempunyai ukuran yang cukup besar dan tidak homogen yaitu untuk viskositas
yang cenderung tinggi dan tetap dipertahankan atau meningkat selama pemanasan
(Tam et al., 2004).

2.6.3 Sifat fungsional


Sifat fungsional merupakan sifat fisikokimia yang mempengaruhi
perilaku komponen tersebut dalam makanan selama persiapan, pengolahan,
penyimpanan, dan konsumsi (Metirukmi, 1992). Sifat ini meliputi :
a. Kapasitas penyerapan air (KPA)
Kapasitas penyerapan air digunakan untuk mengukur besarnya kemampuan
tepung untuk menyerap air dan ditentukan dengan cara sentrifugasi. Kapasitas
penyerapan air berkaitan dengan komposisi granula dan sifat fisik pati setelah
ditambahkan dengan sejumlah air. Kapasitas penyerapan air menentukan jumlah
air yang tersedia untuk proses gelatinisasi pati selama pemasakan. Bila jumlah air
kurang maka pembentukan gel tidak dapat mencapai kondisi optimum. Dengan
demikian kemampuan hidrasi yang rendah kurang cocok untuk produk olahan
yang membutuhkan tingkat gelatinisasi yang tinggi. Kapasitas penyerapan air juga
mempengaruhi kemudahan dalam menghomogenkan adonan tepung
ketika dicampurkan dengan air. Tingkat homogenitas adonan akan berpengaruh
terhadap kualitas hasil pengukusan. Adonan yang homogen, setelah dikukus akan
mengalami gelatinisasi yang merata yang ditandai tidak terdapatnya spot-spot
putih atau kuning pucat pada adonan tepung yang telah dikukus.(Tam et al.,
2004).
b. Swelling volume dan kelarutan
Kelarutan merupakan berat tepung terlarut dan dapat diukur dengan cara
mengeringkan dan menimbang sejumlah supernatan. Swelling volume merupakan
kenaikan volume dan berat maksimum pati selama mengalami pengembangan di
dalam air (Balagopalan et al., 1988).
c. Kapasitas emulsi
Kapasitas emulsi merupakan kemampuan larutan atau suspensi
untuk mengemulsikan lemak. Adanya emulsifier yang terkandung pada tepung
dapat berpengaruh pada tektur produk yang dihasilkan. Emulsifier berfungsi
mengontrol kohesivitas, kelengketan dan kekentalan tepung.
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
1. Pisau
2. Baskom
3. Loyang
4. Neraca
5. Gelas ukur
6. Beaker Glass
7. Spatula

3.1.2 Bahan
1. Talas
2. Natrium Bisulfit
3. Aquades
3.2 Skema Kerja
Talas

Pengupasan dan
Pencucian

Pemotongan

Penimbangan @
150gr

Blansing selama
5; 10; dan 15 Perendaman Natrium
Bisulfit 150 ppm
selama 5; 10; 15

Penjemuran
hingga kering

Penggilingan

Pengayakan 80
mesh

Pengamatan
parameter
BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN

4.1 Hasil Pengamatan


4.1.1 Berat Tepung
Sampel Sebelum Setelah Setelah Pengayakan
Pengeringan Pengeringan 80 Mesh (gr)
(gr) (gr)
B5 150 31,75 7,37
B 10 150 26,78 11,8
B 15 150 32,19 7,92
P5 150 27,95 15,08
P 10 150 27,77 13,91
P 15 150 26,16 11,77

4.1.2 Warna
Sample dL da db
B5 1 -6,0 2,2 2,6
2 -6,3 3,3 2,6
3 -6,0 2,6 2,8
B 10 1 -3,9 1,9 3,1
2 -4,2 1,8 3,1
3 -4,0 1,8 2,9
B 15 1 -6,8 1,9 2,6
2 -6,8 2,0 2,5
3 -7,8 2,2 3,0
P5 1 -7,7 2,4 3,8
2 -6,8 1,7 4,0
3 -7,7 2,3 3,6
P 10 1 -8,4 2,4 3,6
2 -8,4 2,4 3,5
3 -8,1 2,3 3,6
P 15 1 -7,7 2,9 3,8
2 -7,9 2,2 3,7
3 -7,8 2,3 3,7
Standar : L = 63,9 a = 3,9 b = 20,4

4.2 Hasil Perhitungan


4.2.1 Perhitungan Rendemen
Sample Rendemen
B5
B 10
B 15
P5
P 10
P15
4.2.2 Perhitungan Warna
Sample Rata - rata dL Rata rata da Rata rata db Nilai W
B5 -6,1 2,7 2,67 65,32
B 10 -4,03 1,83 3,03 63,21
B 15 -7,13 2,03 2,7 66
P5 -7,4 2,13 3,8 66,8
P 10 -8,3 2,37 3,57
P 15 -7,8 2,47 3,73
BAB 5. PEMBAHASAN

Anda mungkin juga menyukai