Anda di halaman 1dari 11

Apalagi, musim hujan atau kemarau yang ekstrim (fenomena El Nino dan La Nina) bisa

menghancurkan panen bahan makanan, memicu terjadinya inflasi dan menyebabkan tekanan
finansial yang berat bagi kalangan kurang mampu di masyarakat Indonesia. Terakhir, bencana-
bencana alam akibat ulah manusia (seperti kebakaran hutan yang disebabkan karena kebudayaan
pembakaran ladang, biasanya di pulau Sumatra dan Kalimantan) bisa menyebabkan dampak-dampak
yang sangat besar bagi lingkungan hidup.

Salah satu catatan penting adalah kenyataan bahwa keadaan infrastruktur dan properti di Indonesia
terkenal lemah - akibat manajemen yang salah, kekurangan dana, kurangnya keahlian atau korupsi.
Keadaan ini memperparah dampak-dampak buruk yang terjadi setelah bencana alam. Sementara itu
di wilayah perkotaan, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Yogyakarta,
ada kepadatan penduduk yang sangat tinggi. Maka kombinasinya kurangnya
kualitas infrastruktur/properti dan padatnya penduduk di daerah perkotaan berarti sebuah bencana
alam bisa menewaskan lebih banyak korban dari yang seharusnya terjadi karena akan membutuhkan
tenaga yang lebih kecil untuk membuat bangunan runtuh di Indonesia.

Letusan Gunung Berapi di Indonesia

Indonesia adalah negara yang memiliki paling banyak gunung berapi aktif di seluruh dunia. Lempeng
Eurasia, Lempeng Pasifik beserta Lempeng Indo-Australia adalah tiga lempeng tektonik aktif yang
menyebabkan terjadinya zona-zona tumbukan yang kemudian membentuk gunung-gunung berapi ini.
Indonesia diperkirakan memiliki 129 gunung berapi, semuanya diawasi dengan hati-hati oleh Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Hal ini dilakukan karena sejumlah gunung berapi di
Indonesia terus menunjukkan aktivitas. Apalagi, diperkirakan lebih dari lima juta orang tinggal
(dan/atau kerja) di "zona bahaya" sebuah gunung berapi (yang harus segera dievakuasi kalau
gunungnya menunjukkan aktivitas yang naik secara signifikan).

Setidaknya ada satu letusan gunung berapi yang signifikan di Indonesia setiap tahun. Namun,
biasanya hal ini tidak menyebabkan kerusakan yang besar bagi lingkungan atau menewaskan korban
jiwa karena gunung-gunung berapi yang paling aktif terletaknya biasanya di tempat-tempat terpencil.

Beberapa peristiwa letusan gunung berapi yang berdampak berat dalam sejarah Indonesia disebutkan
di tabel di bawah. Daftar ini hanya mencakup letusan yang berskala besar dan menewaskan paling
sedikit 20 orang.

Gunung Api Lokasi Tanggal Letusan Korban Jiwa


Merapi Jawa Tengah 03 November 2010 138
Kelut Jawa Timur 10 Februari 1990 35
Galunggung Jawa Barat 05 April 1982 68
Merapi Jawa Tengah 06 Oktober 1972 29
Kelut Jawa Timur 26 April 1966 212
Agung Bali 17 Maret 1963 1,148
Merapi Jawa Tengah 25 November 1930 1,369
Kelut Jawa Timur 19 Mei 1919 5,110
Awu Sulawesi Utara 07 Juni 1892 1,532
Krakatau Selat Sunda 26 Augustus 1883 36,600
Galunggung Jawa Barat 08 Oktober 1822 4,011
Tambora Sumbawa 10 April 1815 71,000+

Tabel di atas menunjukkan bahwa Indonesia, rata-rata, diguncang oleh letusan gunung berapi besar
(yang mengakibatkan banyak korban jiwa) setiap 15-20 tahun sekali.

Selain mengakibatkan korban jiwa, letusan gunung berapi bisa menyebabkan kerusakan yang berarti
bagi ekonomi lokal dengan merugikan perusahaan-perusahaan kecil dan menengah yang terlibat di
industri pariwisata, kuliner, akomodasi komersil, pertanian, perkebunan, dan peternakan.

Lihat peta gunung berapi terbesar di Indonesia

Toh, terjadi perkembangan yang positif. Saat ini letusan gunung berapi memakan lebih sedikit
korban jiwa (dibandingkan dengan dulu) karena metode pengawasan gunung berapi yang lebih baik
dikombinasi dengan evakuasi darurat yang lebih terorganisir. Namun, mengingat Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi dengan hati-hati memonitor semua gunung berapi di Indonesia dan
langsung melapor kepada para otoritas dan penghuni lokal kalau sebuah gunung berapi menunjukkan
aktivitas yang membahayakan, seharusnya jumlah korban jiwa sangat sedikit karena penghuni lokal
punya cukup banyak waktu untuk meninggalkan zona bahaya (berbeda dengan gempa bumi, letusan
gunung berapi tidak menyerang secara tiba-tiba melainkan memberi cukup banyak tanda peringatan
sebelum menjadi bencana yang mengancam jiwa).

Masalahnya, banyak penduduk lokal menolak meninggalkan rumah mereka (yang berada di dalam
zona bahaya). Penolakan ini bisa berhubungan dengan penghidupan mereka (misalnya peternakan
atau kebun mereka - yaitu satu-satunya sumber pendapatan mereka - berada di dalam zona bahaya).
Tetapi penolakan itu juga bisa dijelaskan karena sistem kepercayaan animisme (tanda peringatan
gunung api - seperti abu dan guntur - dianggap tanda kemarahan nenek moyang mereka, dan dengan
berdoa kepada dewa-dewa setempat, masyarakat lokal percaya bahwa mereka akan dilindungi).

Gempa Bumi di Indonesia

Gempa bumi mungkin adalah ancaman bencana alam terbesar di Indonesia karena terjadi tiba-tiba
dan bisa menyerang wilayah padat penduduk, seperti kota-kota besar. Gempa bumi dengan kekuatan
sekitar 5 atau 6 skala Richter terjadi hampir setiap hari di Indonesia namun biasanya tidak
menyebabkan atau hanya sedikit menyebabkan kerugian. Kalau kekuatan gempa melewati 7 skala
Richter, sebuah gempa bisa menyebabkan banyak kerusakan. Rata-rata, setiap tahunnya terjadinya
satu gempa bumi dengan 7 skala Richter (atau lebih) di Indonesia dan menyebabkan jatuhnya korban
jiwa dan kerusakan infrastruktur maupun lingkungan hidup. Di bawah ini terdapat daftar gempa
bumi-gempa bumi yang terjadi dalam sejarah baru-baru ini dan menyebabkan kerusakan parah
beserta korban jiwa paling tidak 20 orang:

Pulau Tanggal Kekuatan Korban Jiwa


Sumatra 07 Desember 2016 6.5 104
Sumatra 02 Juli 2013 6.1 42
Sumatra 25 Oktober 2010 7.7 435
Sumatra 30 September 2009 7.6 1,117
Jawa 02 September 2009 7.0 81
Sumatra 12 September 2007 8.5 23
Sumatra 06 Maret 2007 6.4 68
Jawa 17 Juli 2006 7.7 668
Jawa 26 Mei 2006 6.4 5,780
Sumatra 28 Maret 2005 8.6 1,346
Sumatra 26 Desember 2004 9.2 283,106

Gempa bumi merupakan ancaman konstan di Indonesia karena pertemuan lempeng tektonik dan
aktivitas vulkanik di wilayah ini. Beberapa ilmuwan bumi saat ini sedang menunggu "gempa besar"
berikutnya di Indonesia karena adanya tekanan berat pada salah satu batas lempeng besar bumi di
sebelah barat Sumatra (yaitu "tabrakan" antara lempeng samudra India dan lempeng Asia), yang
mirip dengan gempa berskala 9,2 yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 dan menyebabkan
tsunami yang parah (lebih banyak informasi tentang tsunami ini disediakan di bawah). Namun,
ilmuwan tidak tahu kapan, atau di mana, gempa besar berikutnya akan terjadi.

Lihat peta Cincin Api Pasifik dan lempeng tektonik

Sebagian sebab dari banyaknya jumlah korban jiwa di Indonesia saat kena gempa bumi besar adalah
karena konstruksi yang buruk dari rumah-rumah dan infrastruktur. Itu sebabnya mengapa gempa
yang sedang bisa saja menyebabkan jatuhnya banyak korban, runtuhnya gedung-gedung, dan
hilangnya tempat tinggal bagi banyak orang. Sebuah publikasi dari Bank Dunia (dirilis pada Oktober
2010) mengekspresikan kekuatiran akan dampak yang mengerikan yang terjadi apabila sebuah
gempa dengan kekuatan 8,5 skala Richter terjadi di sebuah megapolitan seperti Jakarta.

Tsunami di Indonesia

Sebuah gempa bumi atau letusan gunung berapi dalam laut bisa menyebabkan gelombang tsunami
yang memiliki dampak mengerikan bagi manusia dan semua objek di dekat laut. Pada tahun 2004,
sejumlah negara di dunia diguncang oleh gempa bumi di Samudera Hindia dan tsunami yang
menyusul kemudian, menewaskan 167.000 orang di Indonesia (terutama Aceh) dan mengakibatkan
perpindahan lebih dari setengah juta orang karena ribuan rumah disingkirkan oleh air lautnya.
Meskipun sebuah tsunami yang sangat besar seperti yang terjadi pada akhir tahun 2004 sangat jarang,
wilayah Sumatra sering dikejutkan dengan gempa bumi di bawah laut yang berpotensi menyebabkan
tsunami.

Dengan peristiwa tsunami 2004 masih segar di dalam ingatan, tingkat kekuatiran masyarakat sangat
tinggi. Masyarakat Indonesia yang bertempat tinggal di desa-desa atau kota-kota dekat pantai sering
melarikan diri ke wilayah perbukitan (yang terletak lebih ke tengah daratan) setelah sebuah gempa
bumi terjadi karena mereka takut menjadi korban tsunami (walau biasanya alarm palsu karena tidak
terjadinya tsunami). Rata-rata, setiap lima tahun sekali sebuah tsunami besar terjadi di Indonesia,
biasanya di pulau Sumatra dan pulau Jawa. Pada umumnya, kerusakan pada infrastruktur melebihi
jumlah korban jiwa. Ada alat-alat sistem peringatan yang dipasang di banyak area pantai namun ada
laporan-laporan bahwa tidak semua peralatan itu berfungsi dengan baik.
Banjir di Indonesia

Musim hujan di Indonesia (yang terjadi dari Desember sampai Maret) biasanya menyebabkan curah
hujan yang tinggi. Dikombinasikan dengan pengundulan hutan dan saluran-saluran air yang
tersumbat oleh sampah, ini bisa menyebabkan sungai-sungai meluap dan terjadi banjir. Banjir dan
tanah longsor terjadi di banyak wilayah di Indonesia dan bisa menyebabkan jatuhnya ratusan korban,
hancurnya rumah-rumah dan infrastruktur lain, dan kerugian bagi bisnis-bisnis lokal. Bahkan di
megapolitan seperti Jakarta, banjir terjadi secara reguler (setiap tahun) karena lemahnya manajemen
air dikombinasikan dengan curah hujan yang tinggi. Misalnya pada Januari 2013, sebuah wilayah
yang sangat luas dari Jakarta terkena banjir. Hal ini membawa dampak pada lebih dari 100.000
rumah dan menyebabkan hilangnya nyawa lebih dari 20 orang. Juga pada bulan Februari 2017
Jakarta diganggu oleh banjir besar yang menyebabkan ribuan rumah dibanjiri air keruh warna
cokelat, kadang-kadang sedalam 1,5 meter.

Pada musim hujan banjir biasanya mengganggu saluran distribusi dan karena itu Indonesia
cenderung mengalami tekanan inflasi selama bulan Januari dan Februari ketika musim hujan
cenderung memuncak. Kondisi basah dapat diperburuk oleh fenomena cuaca La Nina. La Nina (pada
dasarnya lawannya El Nino), adalah fenomena yang rata-rata terjadi sekali setiap lima tahun,
membawa suhu laut lebih dingin dari rata-rata di daerah tropis Samudera Pasifik tengah dan timur.
Oleh karena itu menyebabkan cuaca yang lebih basah dari biasanya di Asia Tenggara, biasanya dari
bulan November sampai Februari.

Kebakaran Hutan Buatan Manusia di Indonesia

Secara umum, orang Indonesia memiliki kesadaran rendah akan praktik lingkungan yang
berkelanjutan. Hal ini tercermin dari penggunaan praktik tebang-dan-bakar oleh petani dan
perusahaan (sebuah strategi untuk membersihkan lahan demi perkembangan perkebunan, biasanya
untuk perluasan perkebunan kelapa sawit atau industri pulp dan kertas), terutama di pulau Sumatra
dan Kalimantan. Strategi tebang-dan-bakar adalah pilihan yang paling murah makanya sering
digunakan. Meski praktik ini sebenarnya tidak diijinkan oleh hukum Indonesia, penegakan hukum
yang lemah dan adanya korupsi memungkinkannya. Namun, praktik tersebut mengimplikasikan
risiko dan dampak besar untuk lingkungannya.
Misalnya, kebakaran hutan yang terjadi pada bulan Juni sampai dengan Oktober 2015 sangat di luar
kendali. Berdasarkan laporan Bank Dunia - yang dirilis pada bulan Desember 2015 - sekitar 100.000
titik api (kebakaran hutan) buatan manusia menghancurkan sekitar 2,6 juta hektar lahan antara bulan
Juni dan Oktober 2015 dan menyebabkan kabut beracun menyebar ke bagian lain Asia Tenggara,
sehingga menimbulkan ketegangan diplomatik. Bencana ini diperkirakan menelan biaya sebesar Rp
221 triliun (1,9 persen dari produk domestik bruto) dan mengeluarkan sekitar 11,3 juta ton karbon
setiap hari (angka yang melebihi 8,9 juta ton karbon emisi harian di Uni Eropa), sehingga menjadi
salah satu bencana alam terburuk dalam sejarah manusia.

Kebakaran hutan pada tahun 2015 menjadi sangat di luar kendali karena cuaca kering yang luar
biasa. Fenomena cuaca El Nino, yang terkuat sejak tahun 1997, membawa cuaca kering yang parah
ke Asia Tenggara dan oleh karena itu petugas pemadam kebakaran tidak bisa mengandalkan
dukungan dari hujan. El Nino, yang (rata-rata) datang sekali setiap lima tahun, menyebabkan
perubahan iklim di Samudera Pasifik kemudian menyebabkan kekeringan di Asia Tenggara dan
karena itu juga mempunyai dampak besar terhadap panen komoditas pertanian.

Update terakhir: 23 Juni 2017

10 Bencana Terbesar Sepanjang Sejarah Indonesia


Bencana dan Klasifikasinya
Bencana berarti suatu kejadian yang menimbulkan kerusakan, penderitaan, kerugian bahkan kematian
pada manusia ataupun lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas alam maupun manusia. Dari
penyebabnya, bencana dapat dibagi 2: bencana alam dan bencana manusia.
Dampak dari bencana sangat tergantung pada:
1. Sumber/jenis bencana : mulai dari banjir, gempa bumi hingga tumbukan meteor besar yang berpotensi
mengakhiri peradaban manusia.
2. Kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana: manajemen dan deteksi dini bencana seperti
pengungsian.
3. Tempat /lokasi : Aktivitas alam tidak akan menjadi bencana di daerah tidak berpenghuni, misalnya
gempa bumi di pulau tidak berpenduduk.
4. Daya tahan manusia dan lingkungan : seberapa kuat manusia dan lingkungan menghadapi bencana
(teori evolusi)
Setiap bencana baik alam maupun karena human error, meninggalkan duka, trauma, kesan, dan sejarah
yang tak terlupakan, baik oleh korban dan keluarganya maupun penduduk dunia. Untuk mengingat
kembali bencana-bencana terbesar yang terjadi di nusantara, baik alam maupun kecelakaan (dalam hal
kecelakaan transportasi udara, darat dan laut) yang terus dikenang oleh masyarakat sepanjang sejarah.
10 Bencana Alam Terbesar Sepanjang Sejarah di Nusantara
Berikut ini 10 bencana alam terbesar (korban meninggal lebih 100 orang) yakni :
1. Tsunami 26 Desember 2004 di Aceh, Nias, Asia Selatan, Asia Tenggara dan Afrika. Korban lebih 200.000
orang (150.000 orang di Aceh dan Nias). Ketinggian tsunami mencapai 35 meter karena gempa tektonik
8.5 SR di Samudera Hindia.
2. Gunung Tambora meletus, tahun 1815. Korban 92.000 orang.
3. Tsunami Gunung Krakatau meletus, 26 Agustus 1883. Korban 36.417 orang.
4. Gempa tektonik 6.2 SR di Yogyakarta, 27 Mei 2006. Korban 6.234 orang.
5. Gunung Kelud, meletus 19 Mei 1919. Korban 5.115 orang.
6. Tsunami Ende, Flores-NTT, 12 Disember 1992. Korban 2100 orang.
7. Gempa bumi 6,5 SR Sulawesi Tengah, 4 Mei 2000. Korban 386 orang.
8. Tsunami pantai selatan Jawa (Pangandaran) 17 Juli 2006. Korban lebih 341 orang.
9. Tsunami Banyuwangi-Jawa Timur pada 3 Juni 1994. Korban 208 orang.
10.Tsunami Sumba-NTT, 19 Agustus 1977. Korban 189 orang.
10 Bencana Transportasi Terbesar Sepanjang Sejarah di Nusantara
Berikut ini 10 bencana transportasi terbesar (korban meninggal lebih 100 orang) yakni :
1. Kapal Tamponas 2 : January 1981 terbakar dan tenggelam di Laut Jawa, 580 orang tewas.
2. Kapal Cahaya Bahari : 29 Juni 2000 tenggelam di Sulawesi, 550 orang tewas.
3. Kapal MV Senopati Nusantara : 29 Desember 2006 tenggelam dekat Pulau Mandalika, lebih 461 orang
tewas.
4. Kapal Bismas Raya 2 : Oktober 1999 tenggelam di Merauke-Papua, 361 orang tewas.
5. Kapal Gurita : January 1996 tenggelam di Sabang-Aceh, 338 orang tewas.
6. Pesawat Garuda Indonesia GA-152 : 26 September 1997 jatuh di Sibolangit-Medan, 222 orang dan 12
awak tewas. (Bencana pesawat terbang terburuk dalam sejarah Indonesia)
7. Kapal KMP Digul : 8 Juli 2005 tenggelam di Merauke-Papua, 200 orang tewas.
8. Pesawat Adam Air Flight 574 : 1 Januari 2007 jurusan Jakarta-Manado via Surabaya jatuh di Selat
Makassar di kedalaman 2.000 meter, 102 orang dan awak tewas terkubur di dasar laut bersama pesawat.
9. Kereta Api Bintaro Jaya : 31 Oktober 1987 bertabrakan di Jakarta, 102 orang tewas.
10.Pesawat Mandala Airlines RI-091 Boeing 737-200 : 5 September 2005 gagal take off dari Bandara
Polonia (Medan-Jakarta) dan menabrak perumahan penduduk di Medan, 100 orang dan awak tewas serta
41 penduduk tewas.
Bencana, Dampak dan Antisipasinya
Para peneliti bencana berpendapat bahwa semua faktor bencana berhubungan dengan tindakan manusia.
Sebuah bencana tidak akan menjadi bencana yang mematikan/merusakkan bila sebelum bencana
dilakukan tindakan-tindakan pencegahan atau antisipasi kemungkinan bencana. Mungkin sebagian orang
masih berpendapat bahwa bencana alam tidak dapat diprediksi, karena hanya Tuhan yang tahu kapan
suatu bencana alam akan terjadi.
Namun, para ahli dan mereka yang peduli dengan gejala alam tidak menyerah sampai di titik itu. Mereka
percaya bahwa sebelum bencana yang lebih besar akan terjadi, selalu diawali gejala atau tanda bencana
tersebut. Yang menjadi tantangan terbesar adalah bagaimana mendapatkan informasi atau gejala bencana
itu secepatnya mungkin, lalu diinformasikan ke masyarakat untuk melakukan evakuasi dan sebagainya.
Inilah terobosan terbesar manusia dari pelajaran dan pengalaman dari sebuah bencana. Telah banyak
kasus bencana alam seperti topan, efek tsunami, dan perubahan iklim ekstrim dapat diminimalisasi. Semua
tindakan pencegahan dan antisipasi bencana termasuk dalam manajemen bencana.
Dengan manajemen resiko, kita mengantisipasi berbagai kemungkinan terburuk dari bencana tersebut,
sehingga ada persiapan mereduksi akibat. Contoh, penggunaan helm ketika mengendarai motor, membuat
rumah yang resistan terhadap gempa (di Jepang), pengungsian terpadu ketika banjir, gempa maupun
tsunami. Di Indonesia, manajemen resiko terhadap bencana alam maupun oleh manusia masih cenderung
rendah. Pemerintah dan segenap elemen sudah semestinya mengadakan program edukasi terpadu bagi
masyarakat kita dalam mengantisipasi bencana manusia, terutama kecelakaan transportasi, serangan
penyakit, kerusuhan, maupun bencana alam seperti banjir, kekeringan dan gempa.
LIPUTAN 6

Berada pada zona ring of fire (cincin api), Indonesia menjadi kawasan yang rawan terhadap
bencana gempa. Namun begitu, tak kalah mengerikan ialah adanya ancaman gunung berapi yang
sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan warga. Hal ini mengingat Indonesia dikelilingi oleh
ratusan gunung berapi.

Sepanjang 2014, peristiwa gunung meletus merajai bencana alam terdahsyat di Indonesia. Mulai
Gunung Sinabung di Tanah Karo, Sumatera Utara, hingga Gunung Sangeang di Bima, Nusa
Tenggara Barat. Tak hanya menimbulkan kerugian materi, letusan gunung juga menelan korban
jiwa yang tak sedikit jumlahnya.

Memasuki awal tahun 2014, Indonesia sudah mulai 'disapa' dengan bencana dahsyat. Yaitu air bah
atau banjir bandang yang menerjang Manado, Sulawesi Utara. Sebanyak 19 orang tewas tersapu
air bah pada 15 Januari 2014 tersebut, dan rumah serta harta benda warga hilang terbawa arus
banjir bandang.

Jelang tutup tahun 2014, bencana dahsyat kembali menghentakkan rakyat Indonesia. Tanah
longsor yang menimbun Desa Jemblung, Karangkobar, Banjarnegara pada Jumat 12 Desember
2014 sore itu menyisakan pilu yang mendalam bagi para keluarga korban. Diperkirakan 108 orang
tertimbun material longsor. Dan 97 korban ditemukan tewas.

Selain kejadian tersebut, ada sejumlah bencana alam lainnya yang tak kalah dahsyat. Berikut 8
bencana tersebut yang dihimpun Liputan6.com, Jumat (26/12/2014):

Hingga hari ini, dampak kuat potensi El-Nino masih sangat terasa di sebagian besar wilayah
Indonesia. Pada dasarnya fenomena El-Nino memang tak bisa dihindari. Namun, Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) berujar bahwa dengan teknologi dan metodologi
yang lebih baik, Indonesia bisa mengantisipasi dan bersiap lebih dini dan matang dalam menyikapi
El Nino.
Saat memasuki gejala El Nino, aliran massa uap air dari Indonesia mengalir ke Samudera Pasifik,
akibatnya terjadi pengurangan pasokan uap air di wilayah Indonesia. Padahal pasokan uap air yang
melimpah di Indonesia adalah pemicu turunnya hujan deras. Jika uap air berkurang, cuaca di
Indonesia cenderung dingin dan kering. El Nino akan menyebabkan fenomena Kemarau
berkepanjangan tergantung seberapa besar intensitas El Nino tersebut.

BMKG memberikan prediksi, El Nino tahun ini akan berlangsung lebih kuat dibandingkan dengan
tahun 1997. Gejalanya sudah terlihat di depan mata, dampak kemarau dengan panas terik yang
menyengat dan hujan yang tak kunjung turun terus berlangsung merata di Indonesia selama
beberapa bulan terakhir.

Berdasarkan catatan sejarah kebencanaan Indonesia, fenomena El Nino paling parah terjadi pada
tahun 1997 silam, beberapa saat sebelum kejatuhan pondasi keuangan Indonesiaa, atau yang
sering dikenal sebagai krisis moneter. Pemicu terbesar yang melengserkan Bapak Presiden
Soaharto turun dari tahtanya yang sudah diduduki selama 32 tahun berkuasa.

Dalam catatan bencana di Indonesia sejak 1950-2015, El Nino yang terjadi tahun 1997-1998 lalu
sementara ini dapat dikatakan sebagai fenomena El Nino yang memiliki dampak paling kuat. Apa
pasalnya? Kala itu, El Nino merugikan Indonesia hingga ke titik paling jatuh. Dampak terburuk
dirasakan di sektor pertanian dan kehutanan. Saat itu kekeringan melanda 3,9 juta hektar lahan
pertanian dengan total kerugian 466 juta dollar AS. Sementara itu, kebakaran hutan dan lahan
terjadi pada 11,6 juta hektar dengan total kerugian 2,75 miliar dollar AS.

Dari luas total hutan yang terdampak ketika itu, terdapat 1,45 juta lahan gambut yang kaya karbon.
Ini mengakibatkan emisi karbon dioksida sebesar 2,5 gigaton atau setara 40 persen emisi global.
Angka emisi karbon yang menggila tersebut berdampak luar biasa hebat pada kebakaran hutan dan
seketika mencemarkan langit Indonesia dalam warna hitam pekat akibat kebakaran hutan. Kala itu,
lebih dari 20 juta penduduk Asia Tenggara terkena serangan pada kesehatan pernapasan.

Bahkan ketika itu banyak pakar ekonomi memprediksi bahwa gejala El Nino 1997 menjadi pemicu
paling masuk akal atas krisis moneter Indonesia yang paling parah sepanjang sejarah bangsa. Kala
itu, mata uang rupiah anjlok luar biasa jauh terhadap dollar. Diprediksi bahwa anjloknya rupiah
terhadap dollar akibat kegagalan Indonesia dalam melakukan ekspor barang hasil pertanian karena
besarnya kasus kegagalan panen pada tahun 1997. (CAL)

SUMBER : http://blog.act.id/dampak-el-nino-th-97-98-catatan-bencana-kekeringan-terparah-di-
indonesia

1. https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/risiko/bencana-alam/item243?
2. https://nusantaranews.wordpress.com/2008/11/29/bencana-terbesar-di-indonesia/
3. http://www.antaranews.com/berita/175485/151277-tewas-akibat-bencana-selama-1997-2009

1997 Tahun El Nino?

Oleh Dwi Susanto

MUNGKIN kata El Nino merupakan kata yang paling terkenal di kalangan para ahli
cuaca maupun kelautan. Hal ini karena dampaknya yang luas mempengaruhi sistim
cuaca dan sirkulasi laut di seluruh dunia. El Nino yang paling besar terjadi tahun
1982-1983 dan 1986-1987 di mana Indonesia, India, Australia, Afrika mengalami
kemarau panjang, sementara Amerika dan Eropa dilanda banjir besar.

Karena hal itu, maka untuk mengetahui lebih jelas penyebab kejadian ini, pemerintah
Amerika Serikat - bekerja sama dengan Perancis - telah melun-curkan
satelit Topex/Peseidon altimeter untuk mengukur perubahan ketinggian permukaan
laut. Satelit ini mulai beroperasi sejak bulan Oktober 1992 sampai sekarang, sehingga
bisa mencakup kejadian El Nino 1992-1993 untuk dianalisa pengaruhnya terhadap
perubahan ketinggian permukaan laut, terutama di lautan Pasifik.

Sedangkan untuk data angin diperoleh dari radar scatterometer (sederetan antena
untuk mengirim sinyal radar) yang dipasang di satelit milik Eropa (ERS-1 dan ERS-2).
Tahun lalu NASA (lembaga antariksa Amerika Serikat) memasang
radar scatterometer dengan akurasi yang lebih baik di satelit milik Jepang bernama
ADEOS (Advanced Earth Observing Satellite) untuk mengukur arah dan kecepatan
angin. Dari kedua satelit ini ditambahkan data dari pengukuran lapangan
melalui buoy yang dipasang di Lautan Pasifik dan model numerik gabungan atmosfir
dan laut, akhir bulan Mei lalu NOAA (lembaga kelautan Amerika Serikat) dan NASA,
mengumumkan bahwa tahun ini kemungkinan besar akan menjadi tahun El Nino.

Tanda-tandanya

Kata El Nino berasal dari bahasa Spanyol yang berarti anak laki-laki. Kata ini sudah
dikenal sejak satu abad yang lalu oleh para nelayan di Ekuador dan Peru, Amerika
selatan. Dalam kondisi cuaca normal, di pantai Peru terjadi upwelling (massa air laut
dari bawah naik kepermukaan laut) membawa air dingin yang kaya akan nutrisi ke
atas, sehingga daerah ini terkenal sebagai daerah penangkapan ikan terbesar di dunia.

Akan tetapi kadang-kadang sekitar bulan Desember yang biasanya banyak ikan justru
tidak ada ikan sama sekali. Hal ini terjadi karena arus panas dari ekuator
mempengaruhi sistim upwelling di daerah ini, air yang terbawa ke atas bukan air
dingin yang kaya nutrisi akan tetapi air hangat dengan kandungan nutrisi yang rendah.
Oleh karenanya ini merupakan musim paceklik bagi nelayan Peru dan Ekuador.

Pada tahun 1924 Sir Gilbert Walker berhipotesa bahwa El Nino ada hubungan
langsung dengan tekanan udara di wilayah Indonesia (bagian barat lautan Pasifik) dan
bagian timur lautan Pasifik, dengan memperkenalkan sistim indeks SOI (Southern
Oscillation Index). Indek bernilai positif jika perbedaan tekanan udara antara
Indonesia dan bagian timur lautan Pasifik lebih tinggi dari cuaca kondisi normal dan
sebaliknya.
Dalam cuaca kondisi normal perbedaan tekanan ini menyebabkan adanya angin timur
(easterly trade winds) sepanjang ekuator di Lautan Pasifik yang membawa massa air
panas ke barat menumpuk di sekitar Kepulauan Halmahera setinggi sekitar 40
centimeter. Hal ini menyebabkan pendalaman thermocline (kedalaman laut di mana
temperatur air laut 20 derajat celcius) di daerah ini menjadi sekitar 200 meter.
Sementara itu di bagian timur Lautan Pasifik (pantai barat Amerika Selatan)
kedalaman thermocline cukup dangkal sekitar 50-60 meter. Di daerah ini, angin timur
menyebabkan upwelling yang membawa air dingin kaya akan nutrisi kepermukaan
laut, sehingga pantai barat Amerika Serikat merupakan daerah kaya ikan. Sementara
itu di wilayah Indonesia, angin timur bertemu dengan angin barat (westerly winds)
yang menyebabkan udara naik ke atas dan banyak turun hujan. Biasanya kita
mengalami musim hujan. Se-baliknya di bagian tengah dan timur Lautan Pasifik
mengalami musim kemarau.

Pada waktu El Nino, perbedaan tekanan udara antara Indonesia dan bagian timur
Lautan Pasifik sangat rendah sehingga hampir tidak ada angin timur. Oleh karenanya
massa air panas yang tertumpuk di sekitar kepulauan Halmahera (bagian barat Lautan
Pasifik) yang biasa disebut Western Pacific Warm Pool mengalir kembali ke timur.
Bersamaan dengan itu gelombang panjang di sepanjang ekuator Lautan Pasifik yang
disebut Equatorial Kelvin waves bergerak ke timur membawa massa air panas ke
pantai barat Amerika Selatan yang mengakibatkan pendalaman thermocline di daerah
ini. Perpindahan massa air panas ini mengakibatkan pergeseran lokasi pembentukan
awan, sehingga mempengaruhi sistim cuaca di seluruh dunia.
Contohnya, upwelling yang terjadi di pantai Amerika Selatan bukannya membawa
massa air dingin dengan kandungan nutrisi yang besar ke atas, akan tetapi
mengangkat air hangat yang kandungan nutrisinya rendah. Hal ini berarti musim
paceklik bagi nelayan daerah tersebut.

Hasil analisa data perubahan ketinggian permukaan laut di Lautan Pacific dari
satelit Topex/Poseidon Altimeter menunjukkan bahwa gelombang panjang Equatorial
Kelvin waves mulai merambat ke timur sejak Maret 1997, sedangkan hasil analisa
data angin dari radar scatterometer satelit ADEOS menunjukkan bahwa angin timur
(easterly trade winds) mulai melemah, bahkan berbalik arah pada bulan Desember
1996 dan Pebruari 1997, dan konveksi yang biasanya terjadi di wilayah Indonesia
mulai bergeser ke arah timur.

Selain itu NOAA juga menggunakan model numerik gabungan antara atmosfir dan
laut untuk meramal kemungkinan akan terjadinya El Nino tahun ini. Tahun-tahun El
Nino yang selama ini dikenal adalah 1953, 1957-1958, 1965, 1972-1973, 1976-1977,
1982-1983, 1986-1987, 1992-1993. Kondisi kebalikan dari El Nino disebut La Nina.
Berarti kalau pada saat El Nino di suatu daerah terjadi kemarau panjang, maka
kebalikannya, di daerah itu akan terjadi banjir besar pada waktu La Nina.
Kemarau panjang

Biasanya pada bulan Oktober sampai dengan bulan April, kita mengalami musim
hujan. Akan tetapi kalau ramalan para ahli dari NOAA dan NASA benar bahwa tahun
ini adalah tahun El Nino, maka kita akan mengalami kemarau yang cukup panjang.
Hal ini tentu akan membawa dampak yang cukup besar buat kita, terutama para petani
yang bergantung pada curah hujan.

Karena El Nino juga mempengaruhi sistem cuaca dan sirkulasi air laut, maka
kemungkinan besar daerah-daerah upwelling yang biasanya kaya akan ikan akan
bergeser lokasinya. Oleh karena itu para nelayan juga akan terkena akibat kejadian ini.
Selain itu, dengan terjadinya kemarau panjang juga akan mengakibatkan riskannya
kejadian kebakaran hutan. Ada baiknya, kita semua memang mengantisipasi gejala
alam tersebut dengan melakukan persiapan dini.

(* Dwi Susanto, peneliti di PKA-BPPT Jakarta).

SUMBER : http://www.atmos.umd.edu/~dwi/papers/opini_tahu.htm

Anda mungkin juga menyukai