Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRAKTIKUM

SATUAN OPERASI INDUSTRI

GULA SEMUT

Oleh:
Mey Putri Purwanti
NIM A1H013031

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2015
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam potensial salah satunya

berupa hasil pertanian yang melimpah. Usaha pengembangan perekonomian

sektor pertanian menjadi dasar untuk menopang sektor perekonomian lain.

Pengembangan sektor pertanian pada subsektor berkelanjutan seperti agroindustri

akan meningkatkan nilai tambah, meningkatkan pendapatan petani, memperluas

lapangan kerja serta meningkatkan pembangunan perdesaan pada umumnya.

Dengan demikian, pengembangan pertanian berkelanjutan seperti agroindustri

merupakan salah satu upaya untuk pemberdayaan ekonomi rakyat di Indonesia

(Sumodiningrat, 2001).

Agroindustri lokal di perdesaan merupakan kegiatan yang memberdayakan

sumberdaya lokal (indigenous resources) dengan memaksimalkan seluruh potensi

lokal di perdesaan. Seluruh potensi lokal dipedesaan diramu dan dimanfaatkan

sehingga mampu menguatkan agroindustri lokal yang mana pengembangan

agroindustri lokal diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan lapangan kerja

sehingga mampu menumbuhkan perekonomian daerah.

Dalam pengembangan agroindustri perdesaan, tiap daerah hendaknya

mempunyai prioritas disesuaikan dengan sumberdaya alam dan komoditas

unggulan setempat (lokal). Selanjutnya Setyono et al. (1998) dalam Endar TS

(2002) mengatakan pengembangan agroindustri di pedesaan terutama ditujukan

untuk meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian, memperluas lapangan

kerja, meningkatkan volume ekspor dan mendorong pertumbuhan ekonomi

pedesaan. Salah satu tanaman yang perlu mendapat perhatian dalam kegiatan
pengembangan agroindustri pedesaan ini berupa tanaman kelapa. Agroindustri

tanaman kelapa di Indonesia telah mencapai pasaran nasional maupun

internasional terutama yang menghasilkan minyak kelapa, selain itu masih

terdapatnya model industri yang cenderung bersifat sederhana yaitu pengolahan

gula kelapa.

Kabupaten Banyumas merupakan salah satu daerah penghasil gula kelapa

(gula jawa) yang sangat potensial di Jawa Tengah bahkan di Indonesia, selain

Kabupaten Purbalingga dan Banjarnegara. Menurut data dari Dinas Perindustrian

dan Perdagangan Kabupaten Banyumas (2009), pada tahun 2008 terdapat kurang

lebih 28.300 unit usaha gula kelapa dengan volume produksi mencapai 23.772 ton

per tahun yang tersebar dalam 14 kecamatan. Dari 14 kecamatan tersebut, ada 4

kecamatan yang perkembangan usaha home industri gula kelapanya sangat

produktif yaitu Ajibarang, Somagede, Cilongok dan Wangon, seperti seperti

terlihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Jumlah unit usaha gula kelapa di beberapa kecamatan di Kabupaten


Banyumas
No Kecamatan Jumlah Unit Usaha Jumlah Produksi (kg/hari)
1 Cilongok 8.560 29.960
2 Ajibarang 2.104 7.364
3 Wangon 4.130 14.455
4 Somagede 1.488 5.208
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Banyumas (2009).

Wilayah eks. Karesidenan Banyumas, khususnya Kabupaten Banyumas dan

Purbalingga merupakan centra penghasil gula kelapa yang sangat potensial di

Indonesia. Di Kabupaten Purbalingga, terdapat kurang lebih 16.197 unit usaha

gula kelapa yang tersebar dalam 19 kecamatan dan menyerap sekitar 36.484
tenaga kerja dengan volume produksi mencapai 24.296 ton per tahun dengan nilai

investasi sekitar Rp.1.286.369.000,- per tahun dan omset sekitar Rp.

48.591.000.000,- per tahun. Demikian pula dengan Kabupaten Banyumas,

diperkirakan terdapat lebih 28.000 unit usaha gula kelapa yang tersebar di sentra-

sentra gula kelapa seperti Cilongok, Wangon, Somagede dan Ajibarang dengan

voleme produksi mencapai 23.772 ton per tahun.

B. Tujuan

1. Praktikan dapat mengetahui proses pembuatan gula semut

2. Praktikan dapat mengetahui alat-alat apa saja yang digunakan dalam

pembuatan gula semut

3. Praktikan dapat mengetahui prinsip-prinsip teknik pengolahan pangan dalam

proses pembuatan gula semut

4. Praktikan dapat mengetahui kesetimbangan massa yang terjadi pada proses

gula semut
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Gula Kelapa Cetak dan Gula Kelapa Kristal

Gula kelapa atau biasa dikenal dengan gula jawa atau gula merah

merupakan gula yang dihasilkan dari pengolahan nira kelapa yang dicetak. Gula

kelapa masih banyak digunakan khususnya masyarakat jawa sebagai bumbu

masak karena memiliki aroma dan rasa yang khas karamel palma. Gula kelapa

memiliki warna, aroma, dan rasa yang khas sehingga jika beberapa produk

makanan tertentu menggunakan gula lainnya maka karakteristik produk tersebut

akan hilang (Santoso, 1993).

Gula semut merupakan hasil olahan nira tanaman familia palmae yang

berbentuk serbuk. Perbedaan antara gula semut dengan gula merah yaitu dalam

pembuatan gula semut tidak dilakukan pencetakan melainkan digesek sehingga

akan berbentuk serbuk atau kristal (LIPI dalam Kusumo, 2005).

Disamping itu, gula kelapa juga digunakan untuk pemanis minuman, bahan

pembuat kecap, bahan pembuat dodol, dan pembuat kue serta bahan penambah cita rasa

pada makanan. Selain gula kelapa dalam setengah tempurung kelapa dan bulat silindris,

adapula dalam bentuk gula semut. Gula semut dibuat dari gula kelapa yang dipadukan

dengan empon-empon seperti kencur, jahe, maupun temu lawak. Gula semut tersebut

memiliki berbagai manfaat kesehatan antara lain mencegah perut kembung, masuk angin,

flu, batuk, maupun sebagai penghangat badan. Oleh karena gula semut saat ini banyak

dicari orang, bahkan sudah ada pengusaha yang mengeksport sampai Australia maupun

Eropa (www.food-info.net).

B. Proses Pengolahan Gula Kelapa


1. Proses pembuatan gula kelapa cetak

Pada dasarnya tahapan pembuatan gula kelapa cetak dengan gula

kelapa kristal atau gula semut memiliki banyak persamaan antara kedua

prosesnya. Hanya saja pada proses pembuatan gula kelapa memakan

waktu yang lebih lama dan tidak dilakukan proses pencetakan melainkan

diganti dengan proses pengayakan. Tahapan pembuatan gula kelapa

meliputi persiapan penderesan, penderesan/penyadapan, penyaringan nira,

pemasakan nira, pemadatan, pencetakan, pendinginan, dan pengemasan,

serta penyimpanan dan distribusi. Pada pembuatan gula kristal, proses

pencetakan diganti dengan proses pengayakan atau proses kristalisasi.

Gambar 1. Skema Pembuatan Gula Kelapa


a. Persiapan penderesan

Persiapan penderesan meliputi pencucian pongkor atau tempat

penampung nira dan sabit, serta penambahan bahan pengawet (laru)

pada pongkor. Pongkor yang akan digunakan hanya dikonclang atau


dibilas dengan nira panas, umumnya perajin mencuci bersih pongkor

setiap 5 hari sekali dengan cara pongkor digosok sampai bersih.

Penambahan laru merupakan bagian terpenting dalam persiapan

penderesan, karena laru berfungsi menghambat kerusakan nira yang

disebabkan oleh aktivitas mikroba (enzim invertase) terhadap

kandungan sukrosa (Sardjono et al., 1985). Laru yang juga sering

digunakan adalah berupa campuran potongan kulit manggis kering

dan air kapur. Banyaknya laru yang ditambahkan adalah sesuai

dengan perkiraan perajin.

b. Penderesan atau penyadapan

Penderesan atau penyadapan adalah mengambil nira dari tangkai

mayang pohon kelapa. Menurut Suwardjono (2001), aliran nira yang

keluar sangat dipengaruhi oleh musim, waktu penyadapan dan bagian

yang disadap. Aliran nira sangat kecil pada musim hujan dan musim

berikutnya aliran nira bertambah besar, tetapi pada musim kering yang

terus-menerus, aliran nira akan menurun. Nira akan mengalir lebih

cepat pada malam hari dibandingkan pada siang hari. Penyadapan

yang dilakukan pada ujung tongkol bunga kelapa, menghasilkan aliran

nira yang kecil kemudian bertambah dan mencapai maksimum pada

bagian tunas bunga betina. Penyadapan biasanya dilakukan satu kali

sehari atau dua kali sehari, yaitu pada pagi hari saja atau pada pagi dan

sore hari.

c. Penyaringan
Umumnya setelah pongkor diturunkan dari pohon, nira langsung

disaring menggunakan saringan plastik di atas wajan sebelum

dilakukan pemasakan. Salah satu syarat untuk menghasilkan gula

kelapa dengan kualitas yang baik adalah nira yang bersih dan bening

yang didapat dari penyaringan dan pemurnian nira dari kotoran.

Kotoran-kotoran yang terkandung didalam nira baik yang tidak larut

seperti semut, kotoran lebah, serangga, manggar kering, dan

sebagainya maupun yang larut seperti protein, koloid, dan mineral

akan mempengaruhi tekstur gula merah (Santoso, 1993). Sebaiknya

penyaringan menggunakan kain saring agar semua kotoran tersaring

dengan baik.

d. Pemasakan

Nira yang diperoleh pagi hari langsung diolah menjadi gula

kelapa, sedangkan nira yang diperoleh pada sore hari hanya

dipanaskan untuk kemudian diolah bersama dengan nira pagi hari. Hal

ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Naufalin (2012), bahwa nira

yang tidak langsung diolah menjadi gula kelapa sebaiknya dipanaskan

selama 10-30 menit untuk mencegah kerusakan kimiawi dan

mikrobiologi pada nira.

Pemasakan dilakukan diatas tungku ataupun pawon dengan

bahan bakar berupa serbuk kayu ataupun kayu bakar. Nira yang

dipanaskan terus menerus akan menghasilkan buih. Buih yang

berlebihan akan menyebabkan nira sedikit tumpah, sehingga untuk


mengatasi hal tersebut, perajin memasang jubung pada wajan dan

menambahkan sedikit minyak sayur/minyak kelapa sekitar 2-3 sendok

makan (30-45 ml) ke dalam 60 liter nira untuk menghilangkan buih

(defoaming) sambil diaduk. Menurut Rumokoi (1994), pemasakan

bertujuan untuk menguapkan air yang terkandung dalam nira. Kotoran

akan terkumpul dan terapung bersama buih ketika nira mendidih Buih

tersebut dapat dikurangi dengan cara menambahkan minyak kelapa.

Penambahan minyak kelapa oleh perajin masih terlalu banyak, karena

menurut Muchtadi et al. (2010), minyak kelapa yang ditambahkan

hanya 5 ml dalam 25 liter nira atau 12 ml dalam 60 liter nira.

End point terjadi ketika nira sudah mengental dan ditandai

dengan gelembung udara pada nira yang dipanaskan terlihat lebih

besar setelah defoaming serta nira kental terasa berat ketika diaduk.

Nira kental yang dipanaskan diaduk agar tidak gosong. Pemasakan

nira sampai end point biasanya memakan waktu 5-6 jam untuk 60 liter

nira. Nira yang sudah matang diturunkan dari tungku/pawon untuk

dilakukan proses selanjutnya. Suhu akhir pemasakan nira (suhu end

point) menurut Muchtadi et al. (2010) sebaiknya berkisar 110C. Suhu

tersebut dapat menurunkan kadar air gula sampai 10% dan diharapkan

dapat membunuh bakteri patogen.

e. Pemadatan

Pemadatan (solidifikasi) dilakukan setelah wajan diturunkan dari

tungku dan diletakkan diatas ban bekas atau kotak kayu. Nira kental
diaduk terus menerus sampai menjadi lebih padat dan mulai dingin.

Pemadatan biasanya dilakukan selama 30 menit, tergantung

banyaknya nira untuk dijadikan gula yang siap dicetak. Menurut

Purnomo (1997), pengadukan harus dilakukan terus menerus selama

pemekatan/pemadatan nira hingga suhu mencapai sekitar 50-60C.

f. Pencetakan (pada gula cetak)

Cetakan gula terbuat dari bambu. Cetakan gula sebelumnya

sudah dipersiapkan terlebih dahulu, yaitu direndam dalam air dan

ditata rapi diatas meja yang biasanya dialas plastik atau kandi (karung

plastik beras). Satu persatu cetakan diisi dengan nira kental dan

didiamkan sesaat sampai bisa dilepas. Tujuan cetakan direndam dalam

air adalah untuk mempermudah pelepasan gula dari cetakan. Proses

ini sesuai yang disampaikan oleh Rumokoi (1994), bahwa pencetakan

gula dilakukan setelah nira kental agak dingin dan dituangkan ke

cetakan yang dibasahi untuk memudahkan pelepasan gula kelapa.

g. Pendinginan

Gula kelapa yang sudah dicetak tidak langsung dikemas

melainkan, didinginkan terlebih dahulu. Pendinginan dimaksudkan

untuk mengeraskan gula kelapa yang bertekstur lunak dan masih

hangat sebelum dikemas dengan plastik. Gula yang sudah dilepas dari

cetakan ditata di meja dan dibiarkan sampai dingin kemudian

dikemas. Pendinginan juga berfungsi untuk menghilangkan uap air,

karena jika gula kelapa dikemas dalam kondisi hangat maka akan
timbul uap air pada permukaan kemasan yang menyebabkan gula

cepat lembek ketika disimpan. Menurut Warisno (2003), pendinginan

dilakukan kurang lebih 2 jam agar gula menjadi keras.

h. Pengemasan

Bahan pengemas yang dipakai biasanya adalah plastik

transparan ukuran 10 kg dan diikat dengan menggunakan tali plastik.

Menurut Purwanisiwi (2003), jenis kemasan yang biasa digunakan

untuk mengemas gula kelapa adalah plastik jenis polipropilen,

polietilen, dan polivinil klorida, selain itu terdapat bahan kemasan

tradisional seperti daun pisang kering dan daun kelapa kering.

2. Proses Pembuatan Gula kelapa Kristal

Proses pembuatan gula kelapa kristal dapat dilakukan dua cara yaitu

gula kelapa kristal yang dibuat dari nira kelapa dan yang dibuat dari gula

kelapa cetak yang sudah jadi. Pembuatan gula kelapa kristal yang dibuat

dari gula kelapa cetak dikarenakan banyaknya permintaan dari konsumen,

sehingga produsen menarik atau bahkan membeli gula kelapa cetak yang

ada dipasaran untuk diolah menjadi gula kelapa kristal karena keuntungan

yang nantinya didapat lebih tinggi, disamping itu juga untuk

memanfaatkan (rekondisi) produk gula kelapa cetak. Pada prinsipnya

proses produksi gula kelapa kristal meliputi : proses pengaturan pH dan

penyaringan nira atau pemilihan gula cetak, pemanasan/pemasakan nira

atau larutan gula, proses solidifikasi, proses granulasi/kristalisasi,


pengayakan, pengeringan dan pengemasan (Mustaufik dan Haryanti,

2006).

a. Proses pembuatan gula kelapa kristal dari nira kelapa

Metode ini dimulai dari tahap penyaringan nira. Kebersihan dan

kesegaran nira harus benar-benar diperhatikan. Sebelum penyadapan,

bumbung dicuci dengan air dingin kemudian dibilas dengan air panas

lalu dikeringkan atau diasapi. Ada baiknya ke dalam bumbung

dimasukkan pula sedikit kapur sirih agar nira tidak asam atau tidak

mudah rusak. Nira dari penyadapan diukur pHnya dan bila

keasamaannya tinggi harus dinetralkan dengan menambahkan kapur

sampai pH mencapai angka 6,0-7,0. Sesudah pH nira yang diinginkan

tercapai, lalu disaring dengan kain saring untuk menghindari

pengendapan kapur atau kotoran di dalam nira.

Nira yang sudah bersih selanjutnya dipanaskan hingga mendidih

dengan suhu antara 110-120oC sambil diaduk. Pada saat nira

mendidih, nira berbuih dan tampak bercampur dengan kotoran halus

dan harus dihilangkan dengan diserok. Untuk menjaga agar buih

didalam wajan tidak meluap maka ditambahkan 1 sendok makan

minyak kelapa atau santan untuk setiap 25 liter nira. Pada saat ini

harus dihindari terjadinya pemasakan yang melewati titik end point

yakni berkisar 110 oC.

End point merupakan suhu akhir pemasakan, dimana nira sudah

mulai kental dan meletup-letup. Akhir pemasakan juga dapat


diketahui secara visual, yaitu nira yang dipanaskan akan menggumpal

(memadat dan mengeras) dan tidak bercampur dengan air jika dituang

kedalam air dingin. Penentuan end point dapat dilakukan dengan cara

memasukkan beberapa tetes masakan ke dalam gelas yang berisi air.

End point sudah tercapai apabila masakan tidak larut dalam air

(mengendap). Selanjutnya nira kental dalam wajan segera diangkat

dan didinginkan untuk proses solidifikasi (pemadatan). Langkah

selanjutnya adalah granulasi atau kristalisasi, setelah itu dilakukan

pengayakan untuk mendapatkan butiran-butiran gula yang ukurannya

homogen, baru kemudian dilakukan pengemasan.

b. Proses pembuatan gula kelapa kristal dari gula kelapa cetak

Gula kelapa yang akan dibuat menjadi gula kelapa kristal harus

bermutu baik. Gula kelapa tersebut dipotong-potong kecil, kemudian

dilarutkan kedalam air dengan perbandingan 2 : 1 (misalnya 2 kg gula

dicampur dengan 1 L air). Larutan gula kelapa yang diperoleh disaring

dengan kain saring sehingga dihasilkan larutan gula yang bersih.

Larutan gula bersih ditambah dengan gula pasir sebanyak 5-15%,

kemudian dipanaskan pada suhu 110 oC sambil diaduk-aduk agar

merata dan sampai pekat. Untuk mendapatkan rasa tertentu dapat

ditambahkan bumbu sesuai yang diinginkan, misalkan ditambah

ekstrak jahe atau kencur dan santan. Pemberian bumbu dilakukan

dengan cara dimasukkan kedalam larutan gula pada saat rebusan

larutan gula tersebut mengeluarkan buih. Pemanasan ditingkatkan


hingga mencapai end point. Selanjutnya dilanjutkan dengan

solidifikasi dan granulasi.

1. Granulasi atau kristalisai

Kristalisasi atau pembentukan kristal dilakukan dengan

pengadukan memutar menggunakan mesin/alat atau juga bisa

menggunakan pengaduk kayu berbentuk garpu atau jangkar.

Pengadukan dimulai dari bagian pinggir ke bagian tengah wajan.

Setelah adonan berbentuk kristal maka pengadukan dipercepat

Apabila semuanya telah mengkristal secara homogen biarkan dulu

selama beberapa menit supaya agak dingin. Kristal yang terbentuk

kemudian disaring menggunakan ayakan dari stainles steel ukuran

sekitar 60-80 mesh (Mustaufik dan Haryanti, 2006)

2. Pemberian bahan tambahan

Pemberian rasa dan aroma dilakukan dengan menambahkan

bahan tambahan, antara lain ekstrak jahe, ekstrak daun pandan,

ekstrak kayu manis, cengkeh dan rempah-rempah lainnya. Secara

tradisional ekstrak jahe diperoleh dari hasil perasan jahe yang

diparut serta disaring dan diendapkan zat patinya. Untuk setiap 6

liter nira diperlukan 400 gram jahe segar. Pemberian bahan

tambahan pada akhir pemasakan agar bahan-bahan tambahan

tersebut dapat menyatu dengan gula kelapa kristal dan tidak

hilang dengan pemanasan yang terlalu lama. Disamping bahan


penambah cita rasa, dapat pula ditambahkan Iodium atau Vitamin

(Mustaufik dan Haryanti, 2006).


III. METODOLOGI

A. Alat dan Bahan

1. Alat tulis

2. Kamera

3. Penggaris

4. kalkulator

B. Prosedur Kerja

1. Alat dan bahan yang digunakan disiapkan

2. Diamati tahapan dan prinsip pengolahan pangan dalam pembuatan gula semut

3. Diamati bagian-bagian alat yang akan digunakan dalam pembuatan gula

semut

4. Digambar bagian-bagian dan fungsi perangkat alat yang digunakan dalam

pembuatan gula semut

5. Dicatat cara kerja dari alat yang digunakan dalam pembuatan gula semut

6. Diagram kesetimbangan massa yang terjadi dalam proses pembuatan gula

semut dari nira hingga bahan jadi serta perhitungan kesetimbangannya dibuat.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Diagram alir

2. Peralatan

a. Pengayakan atau mesh, digunakan sebagai alat pemisah bahan yang

dibutuhkan dengan kotoran

b. Kompor digunakan pemanas

c. Wajan digunakan wadah untuk memasak gula

d. Penggilasan digunakan untuk menghancurkan dan penghalusan


e. Cabinet dryer pengering berdesain rak

f. Nampah sebagai tempat penampungan gulasemut untuk dihaluskan

g. Pengaduk untuk mengaduk gula yang sedang dilelehkan

h. Meja Repro tempat untuk menghaluskan gula yang telah dilelehkan

i. Centong untuk menghaluskan gula yang telah dilelehkan

j. Semawar untuk tungku pada saat pelelehan gula balok

3. Kesetimbangan massa
100kg Nira kelapa 10% air dan kotoran + 90% gula kelapa
Gula balok Dimasak Disaring Proses
Air Uap Gula Kotoran karamelisasi

Proses Merepro gula Proses Gula semut 8,7 kg


pendinginan pengeringan

B. Pembahasan

Gula semut merupakan hasil olahan nira tanaman familia palmae yang

berbentuk serbuk. Perbedaan antara gula semut dengan gula merah yaitu dalam

pembuatan gula semut tidak dilakukan pencetakan melainkan digesek sehingga

akan berbentuk serbuk atau kristal (LIPI dalam Kusumo, 2005).

Disamping itu, gula kelapa juga digunakan untuk pemanis minuman, bahan

pembuat kecap, bahan pembuat dodol, dan pembuat kue serta bahan penambah

cita rasa pada makanan. Selain gula kelapa dalam setengah tempurung kelapa dan

bulat silindris, adapula dalam bentuk gula semut. Gula semut dibuat dari gula
kelapa yang dipadukan dengan empon-empon seperti kencur, jahe, maupun temu

lawak. Gula semut tersebut memiliki berbagai manfaat kesehatan antara lain

mencegah perut kembung, masuk angin, flu, batuk, maupun sebagai penghangat

badan. Oleh karena gula semut saat ini banyak dicari orang, bahkan sudah ada

pengusaha yang mengeksport sampai Australia maupun Eropa (www.food-

info.net).

Proses pembuatan gula kelapa kristal dapat dilakukan dua cara yaitu gula

kelapa kristal yang dibuat dari nira kelapa dan yang dibuat dari gula kelapa cetak

yang sudah jadi. Pembuatan gula kelapa kristal yang dibuat dari gula kelapa cetak

dikarenakan banyaknya permintaan dari konsumen, sehingga produsen menarik

atau bahkan membeli gula kelapa cetak yang ada dipasaran untuk diolah menjadi

gula kelapa kristal karena keuntungan yang nantinya didapat lebih tinggi,

disamping itu juga untuk memanfaatkan (rekondisi) produk gula kelapa cetak.

Pada prinsipnya proses produksi gula kelapa kristal meliputi : proses pengaturan

pH dan penyaringan nira atau pemilihan gula cetak, pemanasan/pemasakan nira

atau larutan gula, proses solidifikasi, proses granulasi/kristalisasi, pengayakan,

pengeringan dan pengemasan (Mustaufik dan Haryanti, 2006).


a. Proses pembuatan gula kelapa kristal dari nira kelapa

Metode ini dimulai dari tahap penyaringan nira. Kebersihan dan

kesegaran nira harus benar-benar diperhatikan. Sebelum penyadapan, bumbung

dicuci dengan air dingin kemudian dibilas dengan air panas lalu dikeringkan

atau diasapi. Ada baiknya ke dalam bumbung dimasukkan pula sedikit kapur

sirih agar nira tidak asam atau tidak mudah rusak. Nira dari penyadapan diukur

pHnya dan bila keasamaannya tinggi harus dinetralkan dengan menambahkan

kapur sampai pH mencapai angka 6,0-7,0. Sesudah pH nira yang diinginkan

tercapai, lalu disaring dengan kain saring untuk menghindari pengendapan

kapur atau kotoran di dalam nira.

Nira yang sudah bersih selanjutnya dipanaskan hingga mendidih dengan

suhu antara 110-120oC sambil diaduk. Pada saat nira mendidih, nira berbuih

dan tampak bercampur dengan kotoran halus dan harus dihilangkan dengan

diserok. Untuk menjaga agar buih didalam wajan tidak meluap maka
ditambahkan 1 sendok makan minyak kelapa atau santan untuk setiap 25 liter

nira. Pada saat ini harus dihindari terjadinya pemasakan yang melewati titik

end point yakni berkisar 110oC.

End point merupakan suhu akhir pemasakan, dimana nira sudah mulai

kental dan meletup-letup. Akhir pemasakan juga dapat diketahui secara visual,

yaitu nira yang dipanaskan akan menggumpal (memadat dan mengeras) dan

tidak bercampur dengan air jika dituang kedalam air dingin. Penentuan end

point dapat dilakukan dengan cara memasukkan beberapa tetes masakan ke

dalam gelas yang berisi air. End point sudah tercapai apabila masakan tidak

larut dalam air (mengendap). Selanjutnya nira kental dalam wajan segera

diangkat dan didinginkan untuk proses solidifikasi (pemadatan). Langkah

selanjutnya adalah granulasi/kristalisasi, setelah itu dilakukan pengayakan

untuk mendapatkan butiran-butiran gula yang ukurannya homogen, baru

kemudian dilakukan pengemasan.

b. Proses pembuatan gula kelapa kristal dari gula kelapa cetak

Gula kelapa yang akan dibuat menjadi gula kelapa kristal harus bermutu

baik. Gula kelapa tersebut dipotong-potong kecil, kemudian dilarutkan

kedalam air dengan perbandingan 2 : 1 (misalnya 2 kg gula dicampur dengan 1

L air). Larutan gula kelapa yang diperoleh disaring dengan kain saring

sehingga dihasilkan larutan gula yang bersih. Larutan gula bersih ditambah

dengan gula pasir sebanyak 5-15%, kemudian dipanaskan pada suhu 110oC

sambil diaduk-aduk agar merata dan sampai pekat. Untuk mendapatkan rasa

tertentu dapat ditambahkan bumbu sesuai yang diinginkan, misalkan ditambah


ekstrak jahe atau kencur dan santan. Pemberian bumbu dilakukan dengan cara

dimasukkan kedalam larutan gula pada saat rebusan larutan gula tersebut

mengeluarkan buih. Pemanasan ditingkatkan hingga mencapai end point.

Selanjutnya dilanjutkan dengan solidifikasi dan granulasi.

c. Granulasi atau kristalisai

Kristalisasi atau pembentukan kristal dilakukan dengan pengadukan

memutar menggunakan mesin/alat atau juga bisa menggunakan pengaduk kayu

berbentuk garpu atau jangkar. Pengadukan dimulai dari bagian pinggir ke

bagian tengah wajan. Setelah adonan berbentuk kristal maka pengadukan

dipercepat Apabila semuanya telah mengkristal secara homogen biarkan dulu

selama beberapa menit supaya agak dingin. Kristal yang terbentuk kemudian

disaring menggunakan ayakan dari stainles steel ukuran sekitar 60-80 mesh

(Mustaufik dan Haryanti, 2006).

d. Pemberian bahan tambahan

Pemberian rasa dan aroma dilakukan dengan menambahkan bahan

tambahan, antara lain ekstrak jahe, ekstrak daun pandan, ekstrak kayu manis,

cengkeh dan rempah-rempah lainnya. Secara tradisional ekstrak jahe diperoleh

dari hasil perasan jahe yang diparut serta disaring dan diendapkan zat patinya.

Untuk setiap 6 liter nira diperlukan 400 gram jahe segar. Pemberian bahan

tambahan pada akhir pemasakan agar bahan-bahan tambahan tersebut dapat

menyatu dengan gula kelapa kristal dan tidak hilang dengan pemanasan yang

terlalu lama. Disamping bahan penambah cita rasa, dapat pula ditambahkan

Iodium atau Vitamin (Mustaufik dan Haryanti, 2006).


Dalam pengembangan agroindustri pedesaan, tiap daerah hendaknya

mempunyai prioritas disesuaikan dengan sumberdaya alam dan komoditas

unggulan setempat (lokal). Selanjutnya Setyono et al. (1998) dalam Endar TS

(2002) mengatakan pengembangan agroindustri di pedesaan terutama ditujukan

untuk meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian, memperluas lapangan

kerja, meningkatkan volume ekspor dan mendorong pertumbuhan ekonomi

pedesaan. Salah satu tanaman yang perlu mendapat perhatian dalam kegiatan

pengembangan agroindustri pedesaan ini berupa tanaman kelapa. Agroindustri

tanaman kelapa di Indonesia telah mencapai pasaran nasional maupun

internasional terutama yang menghasilkan minyak kelapa, selain itu masih

terdapatnya model industri yang cenderung bersifat sederhana yaitu pengolahan

gula kelapa.

Kabupaten Banyumas merupakan salah satu daerah penghasil gula kelapa

(gula jawa) yang sangat potensial di Jawa Tengah bahkan di Indonesia, selain

Kabupaten Purbalingga dan Banjarnegara. Menurut data dari Dinas Perindustrian

dan Perdagangan Kabupaten Banyumas (2009), pada tahun 2008 terdapat kurang

lebih 28.300 unit usaha gula kelapa dengan volume produksi mencapai 23.772 ton

per tahun yang tersebar dalam 14 kecamatan. Dari 14 kecamatan tersebut, ada 4

kecamatan yang perkembangan usaha home industri gula kelapanya sangat

produktif yaitu Ajibarang, Somagede, Cilongok dan Wangon, seperti seperti

terlihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Jumlah unit usaha gula kelapa di beberapa kecamatan di Kabupaten


Banyumas
No Kecamatan Jumlah Unit Usaha Jumlah Produksi (kg/hari)
1 Cilongok 8.560 29.960

2 Ajibarang 2.104 7.364

3 Wangon 4.130 14.455

4 Somagede 1.488 5.208

Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Banyumas (2009).

Wilayah Banyumas, khususnya Kabupaten Banyumas dan Purbalingga

merupakan centra penghasil gula kelapa yang sangat potensial di Indonesia. Di

Kabupaten Purbalingga, terdapat kurang lebih 16.197 unit usaha gula kelapa yang

tersebar dalam 19 kecamatan dan menyerap sekitar 36.484 tenaga kerja dengan

volume produksi mencapai 24.296 ton per tahun dengan nilai investasi sekitar

Rp.1.286.369.000,- pertahun dan omset sekitar Rp. 48.591.000.000,- per tahun.

Demikian pula dengan Kabupaten Banyumas, diperkirakan terdapat lebih 28.000

unit usaha gula kelapa yang tersebar di sentra-sentra gula kelapa seperti Cilongok,

Wangon, Somagede dan Ajibarang dengan voleme produksi mencapai 23.772 ton

per tahun.

Massa yang masuk ke dalam suatu sistem harus keluar meninggalkan sistem

tersebut atau terakumulasi di dalam sistem. Konsekuensi logis hukum kekekalan

massa ini memberikan persamaan dasar neraca massa :

[massa masuk] = [massa keluar] + [akumulasi massa]

Dengan [massa masuk] merupakan massa yang masuk ke dalam sistem,

[massa keluar] merupakan massa yang keluar dari sistem, dan [akumulasi massa]

merupakan akumulasi massa dalam sistem. Akumulasi massa dapat bernilai

negatif atau positif. Pada umumnya, neraca massa dibangun dengan


memperhitungkan total massa yang melalui suatu sistem. Pada perhitungan teknik

kimia, neraca massa juga dibangun dengan memperhitungkan total massa

komponen - komponen senyawa kimia yang melalui sistem (contoh: air) atau total

massa suatu elemen (contoh: gula). Bila dalam sistem yang dilalui terjadi reaksi

kimia dan fisika, maka ke dalam persamaan neraca massa ditambahkan variabel

[produksi] sehingga persamaan neraca massa menjadi:

[massa masuk] + [produksi] = [massa keluar] + [akumulasi massa]

Variabel [produksi] pada persamaan neraca massa termodifikasi merupakan

laju reaksi kimia. Laju reaksi kimia dapat berupa laju reaksi pembentukan ataupun

laju reaksi pengurangan. Oleh karena itu, variabel [produksi] dapat bernilai positif

atau negatif.

100kg Nira kelapa 10% air dan kotoran + 90% gula kelapa
Gula balok Dimasak Disaring Proses
Air Uap Gula Kotoran karamelisasi

Proses Merepro gula Proses Gula semut 8,7 kg


pendinginan pengeringan

Peralatan yang digunakan dalam pembuatan gula semut sebagai brikut:

a. Pengayakan atau mesh, digunakan sebagai alat pemisah bahan yang

dibutuhkan dengan kotoran


b. Kompor digunakan pemanas

c. Wajan digunakan wadah untuk memasak gula

d. Penggilasan digunakan untuk menghancurkan dan penghalusan

e. Cabinet dryer pengering berdesain rak

f. Nampah sebagai tempat penampungan gulasemut untuk dihaluskan

g. Pengaduk untuk mengaduk gula yang sedang dilelehkan

h. Meja Repro tempat untuk menghaluskan gula yang telah dilelehkan

i. Centong untuk menghaluskan gula yang telah dilelehkan

j. Semawar untuk tungku pada saat pelelehan gula balok

Kendala yang terjadi saat praktikum adalah tempat yang kurang luas

sehingga banyak praktikan yang berada di luar serta saat praktikum praktikan

tidak melihat secara langsung bagaimana proses pembuatan gula semut.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Gula kelapa yang akan dibuat menjadi gula kelapa kristal harus bermutu

baik. Gula kelapa tersebut dipotong-potong kecil, kemudian dilarutkan kedalam

air dengan perbandingan 2 : 1 (misalnya 2 kg gula dicampur dengan 1 L air).

Larutan gula kelapa yang diperoleh disaring dengan kain saring sehingga

dihasilkan larutan gula yang bersih. Larutan gula bersih ditambah dengan gula

pasir sebanyak 5-15%, kemudian dipanaskan pada suhu 110oC sambil diaduk-
aduk agar merata dan sampai pekat. Untuk mendapatkan rasa tertentu dapat

ditambahkan bumbu sesuai yang diinginkan, misalkan ditambah ekstrak jahe atau

kencur dan santan. Pemberian bumbu dilakukan dengan cara dimasukkan kedalam

larutan gula pada saat rebusan larutan gula tersebut mengeluarkan buih.

Pemanasan ditingkatkan hingga mencapai end point. Selanjutnya dilanjutkan

dengan solidifikasi dan granulasi.

Gula kelapa yang akan dibuat menjadi gula kelapa kristal harus bermutu

baik. Gula kelapa tersebut dipotong-potong kecil, kemudian dilarutkan kedalam

air dengan perbandingan 2 : 1 (misalnya 2 kg gula dicampur dengan 1 L air).

Larutan gula kelapa yang diperoleh disaring dengan kain saring sehingga

dihasilkan larutan gula yang bersih. Larutan gula bersih ditambah dengan gula

pasir sebanyak 5-15%, kemudian dipanaskan pada suhu 110oC sambil diaduk-

aduk agar merata dan sampai pekat. Untuk mendapatkan rasa tertentu dapat

ditambahkan bumbu sesuai yang diinginkan, misalkan ditambah ekstrak jahe atau

kencur dan santan. Pemberian bumbu dilakukan dengan cara dimasukkan kedalam

larutan gula pada saat rebusan larutan gula tersebut mengeluarkan buih.

Pemanasan ditingkatkan hingga mencapai end point. Selanjutnya dilanjutkan

dengan solidifikasi dan granulasi.

Massa yang masuk ke dalam suatu sistem harus keluar meninggalkan sistem

tersebut atau terakumulasi di dalam sistem. Konsekuensi logis hukum kekekalan

massa ini memberikan persamaan dasar neraca massa :

[massa masuk] = [massa keluar] + [akumulasi massa]


B. Saran

Diharapkan praktikan dapat melihat secara langsung proses pembuatan gula


semut.
DAFTAR PUSTAKA

Adams, M. R. dan M. O. Moss. 1995. Food Microbiology, Cambridge

Afrianto, E. 2008. Pengawasan Mutu Bahan Produk Pangan Jilid 1. Direktorat


Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Jakarta

Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2009. BPOM Nomor HK.00.06.1.52.4011.


Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.

_____. 1998. SNI 01-4852-1998. Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik
Kritis (HACCP) serta Pedoman Penerapannya. Badan Standardisasi
Nasional, Jakarta.

_____. 1992b. SNI 01-2897-1992. Cara Uji Cemaran Mikroba. Badan


Standardisasi Nasional, Jakarta.

_____. 2009. SNI 7388:2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam


Pangan. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta

Bryan, F. L. 1995. Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis. Terjemahan


oleh Ditjen PPM dan PLP. Depkes RI, Jakarta.

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banyumas tahun. 2003. Data Lahan
Kelapa Kabupaten Banyumas

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Banyumas. 2008. Data Industri


Gula Kelapa Kabupaten Banyumas

Dinas Perindustrian Kabupaten Banyumas. 2007. Data Produk Gula Kelapa


Tahun. Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten
Banyumas, Banyumas.

Fardiaz, S. 1996. Prinsip HACCP dalam Industri Pangan. Teknologi Pangan dan
Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

FDA. 1995. Sanitation, sanitary regulation and voluntary programs. In: G. Mariot,
and Norman (Editors). Principles of Food Sanitation, Hal 7. Third Edition.
Chapman and Hall, New York

Kadarisman, D. 2006. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan. Institut Pertanian


Bogor Press, Bogor.Kompas, 2007).
Kusumo, A. 2005. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adopsi Inovasi
Pembuatan Gula Semut Di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas.
Skripsi.Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman.

Mustaufik dan H. Dwiyanti. 2007. Rekayasa Pembuatan Gula Kelapa Kristal


yang Diperkaya dengan Vitamin A dan Uji Preferensinya kepada
Konsumen. Laporan Penelitian. Peneliti Muda Dikti Jakarta. Jurusan
Teknologi Pertanian Unsoed, Purwokerto.(tidak dipublikasikan)

Mustaufik dan P. Haryanti. 2006. Evaluasi Mutu Gula Kelapa Kristal yang Dibuat
dari Bahan Baku Nira dan Gula Kelapa Cetak. Laporan Penelitian. Peneliti
Muda Dikti Jakarta. Jurusan Teknologi Pertanian Unsoed. Purwokerto.
(tidak dipublikasikan

Mustaufik dan Karseno 2004. Penerapan dan Pengembangan Teknologi Produksi


Gula kelapa kristal Berstandar Mutu SNI untuk Meningkatkan Pendapatan
Perajin Gula Kelapa di Kabupaten Banyumas. Laporan Pengabdian
Masyarakat, Program Pengembangan Teknologi Tepat Guna. Jurusan
Teknologi Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Naufalin, R. 2012. Penerapan Teknologi Pengolahan Nira Kelapa untuk


Menghasilkan Gula Kelapa sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI).
Makalah disampaikan dalam Seminar Sosialisasi Hasil Penelitian
Penerapan GAP pada Kelapa Sadap dan GMP pada Gula Kelapa
Kerjasama Unsoed-Heinz ABC Jakarta, LPPM Unsoed, Purwokerto, 6
Desember 2012Prasojo (2005) dalam Ramadhani (2006)

Purnomo, E. 1997. Upaya Peningkatan Daya Saing Gula Merah Rakyat dari
Pengolahan Hasil Tanaman Pemanis Alami. Prosiding Seminar Teknologi
Hasil Pertanian, Bogor.

Purwanisiwi, D.A. 2003. Pengaruh Sumber Iodium dan Umur Simpan terhadap
Sifat Kimia dan Sensorik Gula Kelapa Cetak Beryodium. Skripsi. Fakultas
Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Santoso, H. B. 1993. Teknologi Tepat Guna Pembuatan Gula Kelapa.


Kanisius, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai