Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kabupaten Karangasem


2.1.1 Letak dan Luas Wilayah
Kabupaten Karangasem terletak di ujung timur Pulau Bali yang memiliki
daerah pantai dan pegunungan dengan batas wilayah sebelah Utara berbatasan
dengan Laut Bali, sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia, sebelah
Barat berbatasan dengan Kabupaten Klungkung, Bangli dan Buleleng, dan sebelah
Timur berbatasan dengan Selat Lombok. Dilihat dari luas wilayah yang ada, sekitar
7.140 ha. (8,50%) merupakan lahan persawahan, sedangkan bukan lahan sawah
76.814 ha. (91,50%). Kondisi topografi Kabupaten Karangasem terbagi ke dalam
dua wilayah dengan karakteristik topografi yang berbeda. Bagian barat merupakan
daerah perbukitan/pegunungan dengan lereng yang curam, sedangkan pada bagian
utara, timur dan selatan merupakan daerah pantai yang relatif datar (Pemkab
Karangasem, 2016).
2.1.2 Wilayah Administratif
Secara administratif Kabupaten Karangasem terdiri dari delapan wilayah
kecamatan, yakni Kecamatan Kubu, Manggis, Rendang, Sidemen, Abang, Selat,
Bebandem, dan Karangasem. Sebanyak 78 desa/kelurahan di Kabupaten
Karangasem, terdiri dari 75 desa definitif dan 3 kelurahan, 532 banjar dinas/dusun
dan 52 lingkungan. Secara adat Kabupaten Karangasem terdiri dari 189 desa adat
dan 605 banjar adat (Pemkab Karangasem, 2016).

5
Gambar 2.1 Peta wilayah administrasi Kabupaten Karangasem

2.1.3 Penduduk
Berdasarkan hasil registrasi jumlah penduduk Kabupaten Karangasem pada
pertengahan tahun 2010 sebanyak 434.563 jiwa, terdiri dari 217.327 jiwa laki-laki
dan 217.209 jiwa perempuan. Dengan jumlah rumah tangga 114.919. Kecamatan
yang paling padat penduduknya adalah Kecamatan Sidemen yaitu sebesar 972 jiwa
per km2 dan kecamatan yang paling rendah kepadatannya adalah Kecamatan Kubu
yaitu sebesar 308 jiwa per km2. Kepadatan penduduk untuk Kabupaten Karangasem
adalah sebesar 518 jiwa per km2 (BPSKK, 2015). Hingga saat ini sektor pertanian

6
termasuk peternakan, masih menjadi sektor utama pendukung perekonomian
masyarakat (Kepeng et al., 2014)

2.1.4 Penyebaran Rabies


Provinsi Bali awalnya merupakan daerah bebas rabies. Hal ini tercantum
dalam Hondsdolhed Ordonantie (Staatblad 1926 No 451 yunto Stbl 1926 No 452).
Namun pada tahun 2008, Peraturan Kabupaten Badung No 53/ 2008; Peraturan
Gubernur Bali No 88/2008; Peraturan Menteri Pertanian N0 1637/2008 (1
Desember 2008); dan Office International of Epizootic (OIE) menyatakan bahwa
Provinsi Bali positif sebagai daerah tertular rabies (Batan et al., 2014). Diperkirakan
penyakit rabies masuk ke Semenanjung Bukit, Kabupaten Badung pada April 2008
(Supartika et al.,2009). Sejak saat itu penyakit rabies menyebar secara cepat di
berbagai daerah di Provinsi Bali, salah satunya adalah Kabupaten Karangasem
(Nugroho et al., 2013).
Kasus kejadian rabies di Kabupaten Karangasem dilaporkan pertama kali di
Desa Ban, Kecamatan Kubu, pada September 2009. Pada tahun 2010, penyebaran
rabies di Kabupaten Karangasem telah menyebar ke enam kecamatan, yakni
Kecamatan Abang, Karangasem, Bebandem, Manggis, Selat, dan Rendang. Pada
2011 kasus positif rabies juga ditemukan pada anjing di Desa Sibetan Bebandem
(Dharmawan et al., 2011). Berdasarkan data dari Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan Provinsi Bali, jumlah kasus rabies di Kabupaten Karangaem selama tahun
2014 sebanyak 26 kasus dan pada awal Januari sampai November 2015 mengalami
peningkatan yang signifikan hingga 123 kasus. Peningkatan kasus rabies juga
diikuti dengan peningkatan jumlah desa yang tertular rabies di Kabupaten
Karangasem, dari 78 desa yang ada di Kabupaten Karangasem, 74 desa diantaranya
telah dinyatakan pernah dilaporkan terjadi kasus rabies (Kesuma Nata, 2015; Raini,
2015).

7
Tabel 2.1 Perkembangan kasus dan jumlah desa tertular rabies di Kabupaten
Karangasem tahun 2008- 2015

Tahun Perkembangan kasus rabies Jumlah desa tertular rabies/


tahun

2008 - -
2009 11 7
2010 59 21
2011 2 2
2012 8 4
2013 7 5
2014 26 24
2015 123 57

2.2 Rabies
2.2.1 Etiologi
Rabies merupakan penyakit zoonotik yang bersifat akut yang disebabkan oleh
virus single-stranded RNA, yang disebabkan oleh golongan Monomegavirales,
Family Rhabdoviridae, genus Lyssavirus (Utami dan Sumiarto, 2010). Family
Rhabdoviridae yang memiliki bentuk menyerupai peluru. Virus rabies memiliki
panjang 180 nm dengan diameter 75 nm. Tersusun atas lima daerah penyandi
protein yaitu: gen Polymerase/Transkriptase (L), Glikoprotein (G), Matriks (M),
Non Struktural protein /Phosphorprotein(NS/P) dan Nukleoprotein (N). Protein L,
NS dan N berada di dalam nukleokapsid, sedangkan protein G dan M berada di
dalam amplop (Natik et al., 2013 ). Virus rabies dapat menginfeksi hewan berdarah
panas bahkan manusia dan dapat menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat.

8
Hewan berdarah panas yang dapat tertular dan menularkan rabies adalah anjing,
kucing, monyet, bahkan sapi (Lestyorini, 2012). Hewan pembawa rabies (HPR)
yang paling banyak menularkan rabies ke manusia dan hewan lainnya adalah anjing
(Menezes, 2008).
Virus rabies memiliki dua antigen utama yaitu : pada bagian dalam berupa
nucleoprotein spesifik dan bagian luar berupa glikoprotein yang berperan dalam
merangsang terjadi netralisasi antibodi (Acha dan Szyfres, 1987). Virus menjadi
tidak aktif bila terpapar sinar matahari, sinar ultraviolet, pemanasan satu jam selama
50 menit, pengeringan, dan sangat peka terhadap pelarut alkalis seperti sabun,
desinfektan, serta alkohol 70% (Jawetz et al., 2010).
Dikenal dua macam siklus rabies, yakni rabies di lingkungan pemukiman
penduduk (urban rabies) dan rabies di alam bebas (sylvatic rabies). Siklus urban
rabies umumnya terjadi pada anjing geladak yang dibiarkan bebas tanpa
pemeliharaan khusus. Manusia paling sering tertular rabies melalui gigitan anjing
yang terinfeksi, tetapi sangat jarang tertular dari kucing, kera atau hewan lain.
Sylvatic rabies bersiklus pada hewan liar, sesekali hewan pembawa sylvatic rabies
mendekati pemukiman, kemudian menggigit hewan piaraan dan terjadilah urban
rabies (Sopi, 2013).
2.2.2 Patogenesis
Sebagian besar penularan virus rabies terjadi melalui gigitan anjing yang telah
terinfeksi rabies. Virus masuk ke dalam tubuh melalui luka bekas gigitan hewan
terinfeksi rabies dan luka terbuka yang terpapar saliva dari hewan pembawa rabies
yang telah terinfeksi (Mattos dan Rupprecth, 2001). Setelah virus masuk ke dalam
tubuh kemudian bereplikasi di otot atau jaringan ikat penderita yang penyebarannya
melalui sistem saraf dan kelenjar air ludah selanjutnya masuk ke dalam sistem saraf
pusat otak (Childs dan Real, 2002). Di dalam sistem saraf pusat, virus rabies
kemudian menyebar dan memperbanyak diri dalam neuron. Virus yang masuk ke
dalam tubuh akan bereplikasi di neuromuscular junction dan kemudian menjalar
melalui lapisan lemak sistem saraf menuju sistem saraf pusat (Childs dan Real,

9
2002). Virus berpredileksi di sel-sel sistem limbik, hipotalamus, dan batang otak.
Setelah memperbanyak diri dalam neuron, virus kemudian bergerak ke arah perifer
dalam serabut saraf eferen maupun saraf otonom. Dengan demikian virus
menyerang hampir setiap organ tubuh penderita dan berkembang biak pada jaringan
seperti kelenjar ludah (Andriani, 2015).
Selain melalui gigitan, virus juga dapat menular melalui air liur yang terkena
kulit yang luka, melalui saluran pernafasan yang terluka dan terkena air liur yang
mengandung virus penyakit rabies, melalui saluran pencernaan yang terluka pada
saat memakan bahan makanan yang tercemar virus penyakit rabies. Virus rabies
juga dapat terbawa angin masuk ke dalam kornea mata (Dharmojono, 2001).
2.2.3 Masa Inkubasi
Virus bereplikasi di sel-sel otot myosit dan menyebar ke jaringan ikat
neuromuscular dan spindle neurotendineal pada masa inkubasi (Warrel dan Warrel,
2004). Massa inkubasi bervariasi yaitu berkisar antara dua minggu sampai dua
tahun, tetapi pada umumnya tiga sampai delapan minggu, tergantung dari
banyaknya virus, strain virus, jarak yang harus ditempuh oleh virus sebelum
mencapai Sistem Syaraf Pusat (SSP), dan status kekebalan host. Virus terus
bereplikasi menuju SSP dan sesampainya di SSP, virus akan menyebar ke seluruh
SSP, dan akhirnya ke motor perifer, sensori, dan neuron di seluruh tubuh
(Salbahaga, 2012).
Pada korban manusia di Bali, masa inkubasi yang diperlukan adalah antara
30-60 hari. Namun, masa inkubasi yang hanya lima atau enam hari juga ada, dan
hanya sekitar 1-3% kasus rabies pada manusia yang memperlihatkan masa inkubasi
di atas enam bulan (Faber et al., 2009). Lamanya masa inkubasi ini bergantung pada
beberapa faktor, yaitu dosis virus yang masuk ke dalam tubuh, jarak lokasi
masuknya virus dengan sistem saraf pusat, dan tingkat keparahan luka gigitan
hewan penginfeksi rabies (jumlah dan tingkat kedalaman luka) (Suardana dan
Soejoedono, 2005). Semakin dekat lokasi masuknya virus rabies dengan sistem
saraf pusat, maka semakin singkat juga masa inkubasinya. Begitu pula apabila

10
tingkat keparahan luka akibat gigitan hewan pembawa rabies yang telah terinfeksi
semakin tinggi.
2.2.4 Gejala Klinis
Pada Anjing
Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga stadium :
1. Fase prodormal
Fase prodormal merupakan fase awal dari terjadinya penyakit
rabies. Stadium ini berlangsung sekitar 1-3 hari. Pada fase ini, anjing
mulai menunjukkan perubahan perilaku dalam tingkat ringan. Anjing
menjadi pendiam, menghindar dari pemilik, dan tidak peduli terhadap
perintah tuannya. Anjing mencari tempat-tempat yang gelap dan sunyi
untuk bersembunyi. Apabila dikejutkan oleh sesuatu, anjing menjadi
mudah marah, memberontak bila ada provokasi, dan menggigit. Gejala
ini biasanya diikuti dengan tingginya suhu tubuh hewan. Pada anjing
yang dipelihara dengan dibebasliarkan, membuat anjing kurang
mendapat perhatian dari pemiliknya, fase ini biasanya tidak teramati.
Pada fase selanjutnya barulah penyakit teridentifikasi oleh pemilik
dengan perubahan perilaku pada anjing yang lebih mencolok (Akoso,
2007).
2. Fase eksitasi
Fase eksitasi merupakan stadium lanjutan dari fase prodormal
yang berlangsung selama 3-7 hari. Pada fase ini, gejala mulai terlihat
secara lebih jelas sehingga mudah dikenali oleh pemilik. Anjing
menjadi mudah merasa terganggu, emosional, dan cepat bereaksi
agresif jika merasa terganggu. Dalam keadaan tidak terprovokasi,
anjing cenderung terlihat murung, kelelahan, dan ketakutan. Apabila
melihat atau terkena cahaya, anjing bereaksi secara berlebihan dan
terlihat ketakutan serta menyalak, menggeram, melolong, bahkan

11
menyerang. Kondisi ini disebut juga dengan fotophobia. Selain itu,
anjing juga menunjukkan perilaku aneh dengan terlihat seperti
berhalusinasi menggapai dan mencaplok objek maya yang ada di
udara. Anjing juga mulai menggigit dan mengunyah benda-benda di
sekitarnya, seperti batu, kayu, dan benda asing lainnya. Keadaan ini
disebut dengan pika (Akoso, 2007). Pada anjing yang tidak
dikandangkan biasanya menunjukkan perilaku senang mengembara
dan berjalan tanpa tujuan. Bila rabies menyerang anjing peliharaan,
anjing tersebut biasanya tidak akan dapat lagi berjalan kembali ke
rumah tuannya karena ingatannya yang terganggu atau hilang ingatan.
Perubahan juga terjadi pada suara yang semakin parau akibat otot pita
suara melemah.
3. Fase paralisis
Fase paralisis merupakan fase terakhir dari penyakit rabies.
Stadium ini berlangsung secara singkat sehingga seringkali gejalanya
sulit dikenali dan biasanya langsung berujung pada kematian. Fase ini
ditandai dengan munculnya gejala kelumpuhan (paralisis) pada
beberapa bagian tubuh hewan. Kelumpuhan pada otot pengunyah
menyebabkan rahang anjing menggantung ke bawah dan anjing
menjadi sulit untuk menutup mulutnya. Akibatnya, anjing mengalami
kesulitan untuk makan dan minum. Kelumpuhan pada otot
tenggorokan menyebabkan air liur keluar secara tidak terkendali dan
keluar terus menerus. Apabila virus telah menyerang daerah kepala
dan leher, kelumpuhan akan berlanjut ke seluruh tubuh karena infeksi
susunan saraf pusat dan menyebabkan kematian (Akoso, 2007).
Lamanya setiap fase pada anjing yang terserang rabies tidaklah sama.
Pada anjing dengan fase eksitasi berlangsung lebih lama dan menonjol
disebut dengan furious rabies, sedangkan pada anjing yang mengalami
fase prodormal dan eksitasi dengan cepat hingga terkadang tidak

12
terlihat gejalanya atau langsung menunjukkan gejala pada fase
paralisis disebut dengan dumb rabies (Akoso, 2007).
Pada Manusia
Terdapat empat tahap gejala rabies pada manusia, yaitu tahap
prodromal, tahap sensoris, tahap eksitasi, dan tahap paralisis (Dharmawan,
2009). Masa inkubasi rabies pada manusia sangat bervariasi antara kurang
dari satu minggu sampai lebih dari satu tahun. Namun beberapa ahli juga
menyebutkan, bahwa masa inkubasi rabies juga dapat mencapai waktu sampai
lima tahun. Masa inkubasi ini dipengaruhi oleh kedalaman gigitan, jarak
gigitan dengan susunan saraf pusat, dan jumlah virus yang masuk kedalam
luka. Tahap tahap gejala klinis rabies pada manusia meliputi:
1. Tahap Prodromal
Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan
saraf pusat adalah perasaan gelisah dan demam. Secara umum pasien
yang mengalami tahap prodromal rabies diliputi perasaan tidak enak,
sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh
lemah, dan rasa sakit. Selain itu pasien juga akan merasa nafsu makan
menurun, mual atau muntah, atau rasa sakit perut.
2. Tahap Sensoris
Pada tahap sensoris, penderita merasa nyeri, rasa panas, dan
kesemutan di daerah yang pernah digigit oleh Hewan Penular Rabies
(HPR) disertai dengan kesemutan pada tempat bekas luka yang
kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan
terhadap rangsangan sensoris.
3. Tahap Eksitasi
Pada umumnya pasien yang telah mengalami tahap eksitasi
akan meninggal dunia dalam waktu satu minggu sejak awal stadium
prodromal. Pada tahap eksitasi pasien akan mengalami ketakutan yang

13
berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap rangsangan cahaya
(photofobia), takut terhadap tiupan angin (aerofobia), atau takut
terhadap suara keras. Selain itu pasien juga mengalami demam yang
tinggi. Pasien akan menjadi bingung, gelisah, rase tidak nyaman, dan
tidak beraturan. Kebingungan akan menjadi semakin hebat dan
berkembang menjadi agresif, halusinasi, ketakutan, tubuh gemetar atau
kaku kejang.
Selain gejala tersebut diatas, pasien yang mengalami tahap
eksitasi juga akan mengalami gejala stimulasi saraf otonom termasuk
peningkatan saliva, air liur berbuih, mengeluarkan banyak keringat,
lakrimasi, abnormalitas pupil dan piloreksi. Pada setiap penderita
enchepalitis rabies, pasien akan mengalami aerofobia (takut akan
tiupan angin) dan hidrofobia (takut air). Gejala ini dapat diidentifikasi
dengan mencoba menghembuskan nafas atau meniupkan angin di
wajah atau bagian dada, dan dicoba dibujuk untuk meneguk air, akan
terlihat reaksi menghindar dan menolak.
4. Tahap Paralisis
Biasanya pasien yang mengalami rabies akan meninggal pada
tahap eksitasi. Namun terkadang ditemukan pula kasus tanpa gejala
eksitasi, melainkan terjadi paresis otot otot yang bersifat progresif.
Hal ini dikarenakan terjadi gangguan sumsung tulang belakang yang
memperlihatkan gejala paresis yang dijumpai pada bagian terendah
dari medulla oblongata, dimana saraf tulang belakang berasal
(Soeharsono, 2002).

14
2.2.5 Tipe Rabies pada Hewan
Tipe tipe rabies pada hewan terbagi menjadi tiga tipe yaitu:
1. Bentuk Ganas (Agresif)
Bentuk rabies ganas merupakan bentuk yang paling berbahaya dan
tahap rangsangannya (stadium eksitasi) panjang. Pada rabies bentuk ganas
hewan akan mengeluarkan air liur dalam jumlah yang banyak dimana dalam
air liurnya tersebut telah mengandung virus rabies dalam konsentrasi yang
tinggi. Selain itu hewan juga tiba tiba berubah menjadi ganas, menyerang
apa saja yang bergerak, menggigit benda apa saja yang ditemui misalnya batu,
kayu, kawat. Ciri-ciri lain yang terlihat adalah hewan akan melengkungkan
ekornya ke bawah diantara kedua kaki belakang atau di bawah perut diantara
kedua paha dan akan mengalami kejang kejang kemudian lumpuh dan
biasanya akan mengalami kematian setelah empat sampai tujuh hari sejak
timbul gejala atau paling lama selama 14 hari setelah digigit.
2. Bentuk Jinak
Bentuk jinak disebut juga dengan dumb rabies. Bentuk ini agak sulit
dikenali, karena tidak memperlihatkan tandatanda keganasan. Kemudian
pada tahap lanjut baru diketahui bahwa ada kelumpuhan pada kedua kaki
belakang dan tahap lanjut baru diketahui bahwa ada kelumpuhan pada kedua
kaki belakang dan rahang bawah. Adanya perubahan perilaku dari yang
biasanya galak menjadi jinak dan hal ini sangat berbahaya. Selain itu hewan
akan mengalami kejang kejang dan akan berlangsung singkat sehingga tidak
terlihat. Kematian pada rabies bentuk jinak ini akan berlangsung singkat
karena sering tidak terlihat gejala awalnya.
3. Bentuk Atipik atau Tidak Berbentuk
Jenis rabies atipik ini biasanya tidak berbentuk, karena penderita sama
sekali tidak memperlihatkan tanda tanda rabies. Pada rabies bentuk atipik ini
hewan hanya akan diam saja atau bersembunyi di tempat-tempat yang gelap

15
atau terlindung dari cahaya, tetapi apabila didekati atau dipegang maka hewan
tersebut tiba-tiba akan menyerang dan menggigit (Dharmojono, 2001).
2.2.6 Diagnosa
Hewan yang terinfeksi rabies dapat didiagnosa berdasarkan gejala klinis
seperti observasi atas perubahan perilaku hewan dan berdasarkan pemeriksaan
observasi. Diagnosa laboratorium harus cepat dan akurat untuk mengevaluasi resiko
dari infeksi rabies pada orang yang telah tergigit. Cara yang paling mudah dan cepat
untuk mendiagnosa penyakit rabies adalah dengan menemukan adanya badan
inklusi pada sel otak atau yang dikenal dengan badan negri.
Pemeriksaan memerlukan preparat sentuh dari jaringan otak hewan yang telah
menggigit atau sudah menunjukkan gejala klinis rabies dengan pewarnaan Giemsa
atau pewarnaan Sellers. Metode ini cepat karena hanya memakan waktu 5-10 menit
dengan spesifikasi hampir 100%, hanya saja sensitivitasnya rendah yaitu kesalahan
yang dapat terjadi mencapai 30%. Hal ini berarti apabila negative badan negri pada
pewarnaan Seller, belum berarti negatif sehingga diperlukan metode yang lebih
sensitif seperti metode IFAT (Indirect Fluorescent Antibody Technique) atau
inokulasi hewan percobaan.
Uji ini cukup akurat karena memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi
mendekati 100%. Hanya saja memerlukan waktu yang lama yaitu sekitar dua jam
dan harus dilakukan di laboratorium dengan perlengkapan canggih karena akan
memerlukan mikroskop FAT. Selanjutnya, apabila dari dua metode di atas tidak
menemukan hasil maka akan dilakukan uji biologik. Uji ini memerlukan waktu
antara 4-21 hari.Saat ini, uji diagnosis rabies juga dapat dilakukan dengan antibodi
monoklonal (Astawa et al., 2010).
Selain menggunakan metode di atas, untuk memperoleh tingkat akurasi yang
tinggi maka dilakukan pula observasi di lapangan untuk mengawal kasus yang
diduga kuat rabies maka dilakukan hal-hal berikut yaitu:

16
Apabila terdapat hewan yang telah menggigit manusia, maka anjing
tersebut harus ditangkap dan diobservasi. Observasi dilakukan selama 10-
15 hari dilakukan pada anjing yang walaupun tampak sehat dan telah
menggigit orang, tidak diketahui identitasnya dalam artian anjing tak
berpemilik dapat langsung dieliminasi dan diperiksa otaknya. Riwayat
penggigitan ditelusuri dan dicermati ada tidaknya provokasi. Menurut
Mahardika et al. (2009) terdapat indikasi rabies di lapangan tanpa adanya
tindakan provokasi dapat ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila dalam satu hari ada seekor hewan (anjing) menggigit satu
orang tanpa provokasi, maka kemungkinan anjing tersebut positif
rabies 25%.
b. Apabila dalam satu hari ada seekor hewan (anjing) menggigit dua
orang tanpa provokasi, maka kemungkinan anjing tersebut positif
rabies 50%.
c. Apabila dalam satu hari ada seekor hewan (anjing) menggigit tiga
orang tanpa provokasi, maka kemungkinan anjing tersebut positif
rabies 75%.
d. Apabila dalam satu hari ada seekor hewan (anjing) menggigit empat
orang tanpa provokasi, maka kemungkinan anjing tersebut positif
rabies 100%.
Dilakukan penelusuran terhadap jumlah penderita gigitan oleh hewan
yang sama.

2.3 Budaya Pemeliharaan Anjing Masyarakat Bali


Masyarakat Bali pada umumnya sangat suka memelihara anjing dan tidak ada
lingkungan banjar di Bali yang tidak memiliki anjing. Anjing biasanya dipelihara
untuk menjaga rumah atau kebun, sebagai alat untuk berburu, hobi dan sarana
upacara. Disamping itu, kalangan masyarakat tertentu ada kepercayaan bahwa anjing

17
dapat sebagai pendekteksi hal gaib (Dharmawan, 2009) dan bagi masyarakat
pedesaan di Kabupaten Karangasem, anjing dimanfaatkan sebagai penanda
kedatangan orang asing atau tamu ke rumahnya (Kepeng et al., 2014). Masyarakat
Bali umumnya masih memelihara anjing dengan cara dilepas liarkan, pemilik anjing
hanya menyediakan makan secukupnya dan umumnya anjing mencari makan
tambahan di luar rumah. Sangat umum ditemukan anjing yang aktif mencari makan di
sekitar gundukan sampah, pasar, dan tempat-tempat umum lainnya (Putra, 2011).
Faktor- faktor risiko pendorong penyakit rabies di Bali meluas terletak pada
jumlah anjing yang dipelihara, kontak dengan anjing, status vaksinasi rabies,
pemeriksaan kesehatan anjing (Dibia et al., 2015). Sistem pemeliharaan yang baik
adalah dengan mengandangkan atau mengikat anjing yang dimiliki, merawat dan
menjaga kesehatannya, serta memberi pakan secara rutin (Mohan, 2015) .

2.4 Kerangka Konsep


Pada tahun 2008, Provinsi Bali positif sebagai daerah tertular rabies (Batan et
al,. 2014). Diperkirakan penyakit rabies masuk ke Semenanjung Bukit, Kabupaten
Badung pada bulan April 2008 (Supartika et al .,2009). Sejak saat itu penyakit rabies
di Bali menyebar secara cepat, salah satunya Kabupaten Karangasem (Nugroho et al.,
2013). Penyebaran penyakit rabies di Bali khususnya Kabupaten Karangasem
umumnya ditularkan melalui gigitan anjing. Anjing merupakan salah satu Hewan
Pembawa Rabies (HPR) yang paling banyak menularkan rabies ke manusia. Anjing
dalam kehidupan masyarakat Bali tidak dapat dipisahkan, selain itu masyarakat Bali
umumnya masih memelihara anjing dengan cara dilepasliarkan. Sehingga, kondisi
tersebut menunjukkan bahwa penyebaran rabies sangat luas dan siklus penularan
rabies terus terjadi.
Perilaku masyarakat pemelihara anjing merupakan salah satu faktor penting
dalam penanggulangan penyakit rabies di Kabupaten Karangasem. Perilaku yang
dimaksud adalah sistem pemeliharaan anjing dan pemahaman masyarakat terhadap
risiko rabies. Sistem pemeliharaan tersebut meliputi jumlah anjing yang dipelihara,

18
cara memelihara anjing, pemeriksaan kesehatan anjing, vaksinasi rabies, kondisi fisik,
pemberian pakan, dan cara memperoleh anjing. Sementara untuk pemahaman
terhadap risiko rabies meliputi pengetahuan bahaya dan ciri-ciri anjing rabies,
pengetahuan kejadian rabies di desa, dan keikutsertaan penyuluhan rabies. Hasil
penelitian ini nantinya didapatkan gambaran perilaku masyarakat pemelihara anjing
dalam mendukung upaya pengendalian dan penganggulangan rabies di Kabupaten
Karangasem.

19
Rabies

Badung (2008)

Karangasem (2009)

Anjing

Perilaku masyarakat pemelihara anjing

Sistem pemeliharaan : Pengetahuan rabies :


Jumlah anjing peliharaan Pengetahuan bahaya
Cara memelihara dan ciri-ciri anjing
(dilepas/diikat) rabies
Pemeriksaan kesehatan Kejadian rabies di desa
anjing
Vaksinasi rabies
Kondisi fisik anjing
Pemberian pakan
Cara memperoleh anjing

Gambaran perilaku pemelihara anjing


masyarakat desa Kabupaten
Karangasem

Upaya penanggulangan dan


pengendalian rabies

Gambar 2.2 Skema kerangka konsep penelitian

20
21

Anda mungkin juga menyukai