Anda di halaman 1dari 12

IMPACT: International Journal of Research in Applied,

Natural and Social Sciences (IMPACT: IJRANSS)


ISSN(E): 2321-8851 ISSN(P): 2347-4580
Vol. 2, Issue 5, May 2014, 299-308
Impact Journals

ABSES OTAK: PATOGENESIS, DIAGNOSIS DAN STRATEGI


PENATALAKSANAAN
MURTAZA MUSTAFA, M.IFTIKHAR, M.IKRAM LATIF, RAJESH K.MUNAIDY
Di Kutip Dari School of Medicine, University Malaysia Sabah, Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia
Cyberjaya Uiversity College of Medical Sciences, Kuala Lumpur, Malaysia

Abstrak
Abses otak merupakan penyakit berpotensi fatal, pada masa lampau hanya
bisa ditegakkan diagnosisnya dengan autopsi. Abses otak pada manusia jarang
ditemukan, patologi otak tertentu yang mendasarinya berperan sebagai nidus
(fokus infeksi) bagi terbentuknya abses. Klasifikasi abses otak berdasarkan
kemungkinan titik masuk infeksi. Pasien datang dengan: nyeri kepala (70%), mual
dan muntah (50%), kejang (25 35%), kekakuan otot dan papil edema (25)%),
defisit neurologis fokal (50%) dan demam (45% hingga 50%). Mortalitas berkisar
dari 8% hingga 25%, faktor-faktor diagnostik yang buruk mencakup adanya
penyakit yang mendasarinya. Kemajuan terbaru dalam diagnosis dan pengenalan
CT scan dan pemeriksaan MRI telah mengurangi mortaltias. Agen-agen etiologi
abses otak mencakup: Streptococcus, Bacteriodes, basil gram positif,
Pseudomonas spp, H.inzluenzae, S.pneumoniae, L.monocytogenes, jamur dan
protozoa. Diagnosis abses otak bersifat multidisiplin yang mencakup ahli
neuroradiologi, ahli bedah saraf, dan spesialis penyakit infeksi. Pemeriksaan CT
dan MRI, aspirasi stereotaktik, dan kraniotomi dibutuhkan pada sebagian besar
kasus. Terapi antimikroba empiris harus dimulai pada sebagian besar kasus. Terapi
antimikroba empiris yang harus mulai diberikan pada saat diagnosis telah
ditegakkan mencakup: vankomisin, sefalosporin generasi ketiga, klindamisin,
trimethoprim-sulfamethoxazole, meropenem, metronidazole, fluoroquinolone, dan
fluconazole.
Kata kunci: Abses otak, jamur, terapi dan penatalaksanaan antibiotika

Pendahuluan
Abses otak merupakan suatu infeksi fokal intraserebral yang dimulai
sebagai area serebritis lokal dan berkembang menjadi pengumpulan pus yang
dikisari dengan kapsul yang memiliki pembuluh darah yang baik [1]. Pada waktu
sebelumnya di akhir tahun 1800-an, abses otak hampir seluruhnya merupakan
suatu kondisi mematikan yang didiagnosis dengan autopsi saja. Penelitian yang
sangat berarti oleh William Macewan menimbulkan pemecahan dalam
penatalaksanaan kondisi ini [2]. Sebelum kedatangan infeksi virus
imunodefisiensi manusia (HIV), abses otak menyusun sekitar 1500 2500 kasus
yang diobati di Amerika Serikat Setiap tahunnya; insidensinya diperkirakan
sebesar 0.3 hingga 1.3 per 100.000 orang per tahun [3]. Pada sebagian besar
penelitian terhadap anak-anak dan orang dewasa, terdapat dominasi laki-laki
(rasio 2:1 hingga 3:1) dengan median usia 30 hingga 40 tahun, meskipun
distribusi usia beragam bergantung pada kondisi yang menjadi predisposisi yang
menyebabkan pembentukan abses otak [3]. Abses otak dikelompokkan
berdasarkan kemungkinan titik masuk infeksi. Sistem ini memungkinkan para
dokter untuk memprediksi flora mikro yang paling berkemungkinan pada abses
dan memilih terapi antimikroba yang optimal. Abses otak pada manusia cukup
jarang ditemukan. Pada model abses otak eksperimental: induksi abses biasanya
membutuhkan inokulasi organisme langsung kedalam otak hewan, karena abses
otak yang terjadi setelah bakteremia yang diinduksi secara percobaan jarang
ditemukan [4]. Meskipun beberapa patologi otak yang mendasari seperti stroke
sebelumnya, hematoma intraserebri, dan neoplasma yang mendasari dapat
berperan sebagai nidus pembentukan abses pada sebagian besar kasus, tidak
terlihat adanya keadaan yang jelas menjadi predisposisi lesi pada otak [5, 6, 7].
Tampilan klinis abses otak mencakup: nyeri kepala (70%), mual dan muntah
(50%), kejang (25 % - 35%), kaku kuduk dan papiledema (25%), defisit neurologi
fokal (50%) dan demam (45% hingga 50%). Sebagian besar pasien juga
mengalami perubahan status mentl [8]. Mortalitas telah berkisar dari 8% hingga
25%; faktor prognostik juga mencakup skala koma glasgow yang rendah dan
adanya penyakit yang mendasari. Pada sebuah penelitian yang lebih baru
mortalitas telah menurun dengan diagnosis dini dan pengenalan pemeriksaan
tomografi terkomputerisasi (CT) [9,10]. Patogen yang seringkali diisolasi dari
abses otak terdiri atas: Streptococcus (aerob, anaerob dan mikroaerofilik, S.
Milleri (S.intermedius), S.aureus, Bacteriodes, basil gram negatif enterik,
Pseudomonas spp, H.influenzae, S.pneumoniae, L.monocytogenes, jamur dan
protozoa [8]. Terapi antimikroba empiris harus dimulai bergantung pada
diagnosis, pemeriksaan radiologi atau diagnosis yang dipandu CT (Aspirasi) yang
mencakup sefalosporin generasi ketiga, klindamisin, trimethoprim-
sulfamethoxazole, aztreonam, metronidazole, fluorokuinolon, dan fluconazole
untuk jamur. Artikel ini meninjau temuan terbaru mengenai abses otak bakteri.

Etiologi Mikoba Abses Otak


Abses Otak Bakteri
Streptokokus merupakan bakteri yang paling sering dikultur (70%) dari
pasien dengan abses otak bakteri, dan ini seringkali diisolasi dari infeksi
campuran (30% hingga 60% kasus) [3]. Bakteri ini, terutama Streptococcus
anginosus (milleri) dan S.intermedius normalnya berada di rongga oral,
appendiks, dan saluran kelamin perempuan, dan bakteri ini memiliki
kecenderungan untuk pembentukan abses. Meskipun abses otak streptokokus
paling sering terlihat pada pasien-pasien dengan dengan infeksi orofaring atau
endokarditis infektif, mereka juga diisolasi setelah tindakan neurologis atau medis
lainnya [11].
Streptococcus Aureus menyusun 10% hingga 20% isolat. Biasanya pada
pasien-pasien dengan trauma kranial atau endokarditis infektif, dan seringkali
diisolasi pada kultur murni, kasus yang disebabkan oleh S.aureus resisten
metisilin terkait komunitas telah dilaporkan [12]. Perhatian untuk teknik kultur
yang tepat telah meningkatkan isolasi anaerob dari abses otak, dengan
Bacteriodes, dan Prevotella spp, yang diisolasi dari 20% hingga 40% pasien, yang
seringkali dari kultur campuran [3]. Basil gram negatif enterik (misalnya Proteus
spp, Escherichia coli, Klebsiella spp, dan Pseudomonas spp) diisolasi dari 23%
hingga 33% pasien, yang seringkali pada pasien dengan fokus infeksi di telinga
dengan septikemia, yang mengalami prosedur neurologis, atau yang mengalami
kelemahan sistem imunitas.
Pada satu tempat, Klebsiella merupakan patogen yang paling sering
ditemukan (biasanya berkaitan dengan penyebaran hematogen atau prosedur pasca
neurologi), yang diikuti dengan Proteus dan Enterobacter spp [13, 14]. Pada satu
tinjauan terhadap 41 pasien dengan abses otak autogenik, Proteus diisolasikan
pada 41% kasus [15]. Kultur multipel dikultur pada 14% hingga 28% kasus pada
pasien dengan hasil kultur yang positif [3]. Insidensi kultur yang negatif berkisar
dari 0% hingga 43% pada pasien tertentu [3].
Banyak ragam patogen bakteri dapat diisolasikan pada abses otak pada
pasien tertentu atau dari pasien-pasien yang mengalami kelemahan sistem imun.
Meskipun Haemophilus influenza, Streptococcus pneumoniae dan Listeria
monocytogenes merupakan agen etiologi meningitis bakterialis yang sering
ditemukan, agen ini jarang diisolasi dari pasien-pasien dengan abses bakteri
piogenik (< 1% kasus) [16]. Abses otak menyusun sebanyak sekitar 10% dari
infeksi sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh L.monocytogenes [17].
Pada sebuah tinjauan terhadap 39 kasus abses otak Listeria, 85% dari pasien
memiliki kondisi yang mendasari yang signifikan (termasuk leukemia, limfoma,
infeksi HIV, dan beragam kondisi yang membutuhkan kortikosteroid atau
imunosupresi lainnya), dan penyakit ini seringkali berkaitan dengan meningitis
(39% kasus) dan bakteremia yang ditemukan secara bersamaan (86% kasus).

Salmonella spp jarang dilaporkan menyebabkan abses otak, biasanya


setelah bakteremia dalam keadaan adanya beberapa gangguan pada sistem
retikuloendotel [19]. Abses otak juga dapat menjadi komplikasi dari infeksi
neurologis dengan Burkholderia pseudomallei [20]. Actinomikosis SSP dapat
bermanifestasi sebagai abses otak, yang biasanya disebabkan oleh penyebaran
hematogen dari infeksi primer paru, abdomen, atau pelvis, meskipun penyebaran
langsung dari fokus infeksi telinga, sinus paranasal, regio servikofasial dapat
terjadi [21].
Abses otak Nocardial yang disebabkan oleh Nocardia asteroid dapat
muncul sebagai suatu lesi SSP yang diisolasi atau sebagai infeksi yang menyebar
berkaitan dengan penyakit paru atau penyakit kulit [21]. Pada suatu rangkaian
penelitian terhadap resipien dengan abses otak Nocardia, penggunaan profilaksis
trimethoprim-sulfametoxazole untuk Pneumocystitic jirovecii (dulunya disebut
P.carinii) tidak terbukti merupakan suatu keadaan protektif terhadap infeksi
Nocardia [22].
Mycobacterium tuberculosis dan mikobakterium nontuberkulosis telah
semakin banyak teramati menyebabkan lesi SSP fokal, dengan beberapa kasus
yang dilaporkan pada pasien-pasien dengan infeksi HIV [3,23].

Abses otak Jamur


Insidensi abses otak jamur telah terus bertambah sebagai hasil pemberian
prevalen agen imunosupresif, terapi antimikroba spektrum luas dan kortikosteroid
[24].

Candida spp
Diagnosis abses otak jamur seringkali tidak terduga dan banyak kasus tidak
ditemukan hingga autopsi. Pada pemeriksaan autopsi, Candida spp telah muncul
sebagai agen etiologi yang paling sering ditemukan; lesi neuropatologis terdiri
atas mikroabses, granuloma nonkaseosa, dan nodul glia difus. Faktor risiko untuk
infeksi Candida invasif mencakup penggunaan kortikosteroid, terapi antimikroba
spektrum luas, dan hiperalimentasi.
Penyakit juga ditemukan pada bayi prematur; pada pasien dengan
keganasan, neutropenia, penyakit granuloma kronis, diabetes melitus, atau cedera
thermal, dan pada pasien-pasien yang dengan kateter menetap [25].

Aspergillus spp
Penyebaran intrakranial spesies Aspergillus terjadi selama penyebaran
organisme dari paru atau dari perluasan langsung dari tempat yang secara anatomi
berdekatan dengan otak [26]. Kasus-kasus infeksi intrakranial yang disebabkan
oleh Aspergillus spp telah dilaporkan di seluruh dunia, dengan sebagian besar
kasus terjadi pada orang dewasa. Aspergilosis serebri dilaporka pada 10% hingga
20% dari semua kasus aspergilosis invasif, dan jarang sekali otak merupakan satu-
satunya tempat infeksi [27].

Mucromikosis
Mucromikosis merupakan salah satu infeksi jamur yang paling bersifat
fulminan yang diketahui [26]. Banyak kondisi yang menjadi predisposisi
mucromikosis yang telah dijelaskan, yang mencakup diabetes melitus (70%
kasus) yang biasanya berkaitan dengan asidosis, asidemia dari penyakit sistemik
yang berat (misalnya, sepsis, dehidrasi berat, diare berat, gagal ginjal kronis [25].

Pseudallecheria boydii
Penyakit SSP mungkin terjadi baik pada host yang normal maupun host
yang mengalami kelemahan imun. Organisme ini seringkali semakin banyak
dirujuk sebagai Scedos poriumpiospermum, bentuk seksual dari P.boydii.
Organisme ini dapat memasuki SSP melalui trauma langsung, melalui penyebaran
hematogen dari tempat primer infeksi, melalui kateter intravena, atau perluasan
langsung dari sinus yang terinfeksi [26]. Banyak agen etiologi meningitis jamur
juga dapat menyebabkan abses otak, misalnya Cryptococcus neoformans,
Coccidoides spp, Histoplasma capsulatum, dan Blastmyces dermatitis [25].

Abses otak parasit


Beragam protozoa dan cacing telah dilaporkan menyebabkan abses otak,
yang mencakup Trypanosoma cruzi, Entamoeba histolytica, Schistosoma spp, dan
Paragonimus spp, Neurocysticcerosis, yang disebabkan oleh bentuk larva Taenia
solium, merupakan penyebab utama lesi otak di negara-negara berkembang [28,
29].
Patogenesis
Mikroorganisme dapat mencapai otak dengan beberapa mekanisme [3].
Mekanisme patogenik yang paling sering dalam pembentukan abses otak adalah
menyebar dari suatu fokus infeksi yang berada berdekatan dengan otak, yang
paling sering adalah telinga tengah, ruang mastoid, atau sinus paranasal. Abses
otak yang terjadi akibat otitis media biasanya terletak di lobus temporalis atau
cerebellum; pada satu tinjauan terhadap 41 kasus abses otak dari sumber yang
bersifat anoktogenik, 54% berada pada lobus temporalis, 44% berada pada
serebelum, dan 2% berada pada kedua lokasi ini [15]. Namun, jika terapi
antimikroba otitis media diabaikan, terdapat peningkatan risiko komplikasi
intrakranial [15]. Sinus paranasal terus menjadi kondisi yang penting yang
menjadi predisposisi untuk abses otak. Lobus frontalis merupakan tempat abses
yang paling sering ditemukan, meskipun ketika abses otak mempersulit sinusitis
sfenoidalis, lobus temporalis atau selaturcica biasanya terlibat. Infeksi gigi
merupakan penyebab abses otak yang jarang ditemukan; infeksi gigi molar
seringkali merupakan faktor pencetusnya. Lobus frontalis biasanya merupakan
tempat abses yang sering ditemukan setelah infeksi gigi, namun lobus temporalis
juga telah dilaporkan [30].
Mekanisme pembentukan abses otak lainnya adalah penyebaran hematogen
dari fokus infeksi yang jauh. Abses ini biasanya bersifat multipel multolokus, dan
mereka memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan abses yang
muncul akibat fokus infeksi merupakan penyebaran langsung [3]. Sumber
tersering infeksi awal pada orang dewasa adalah penyakit paru piogeni kronis,
terutama abses paru, bronkiektasis, empiema, dan fibrosis kistik. Abses otak juga
dapat terjadi secara hematogen dari infeksi kulit yang mengalami luka,
osteomielitis, infeksi pelvis, koleocysititis, dan infeksi intraabdomen lainnya.
Faktor lainnya yang merupakan predisposisi yang mengarahkan pada abses otak
yang didapat secara hematogen merupakan penyakit jantung kongenital sianotik,
yang menyusun sekitas 5% hingga 15% dari semua abses otak, dengan persentase
yang lebih tinggi pada beberapa penelitian pediatri [30].
Trauma merupakan suatu mekanisme patogenik terjadinya abses otak. Abses
otak terjadi akibat fraktur kranial terbka dengan peneborosan dura, atau sebagai
akibat dari bedah saraf atau trauma benda asing [31]. Insidensi pembentukan
abses otak setelah trauma kepala berkisar dari 3% hingga 17% pada populasi
militer, dimana keadaan ini disebabkan oleh tertahannya fragmen-fragmen tulang
atau kontaminasi tempat peluru yang steril sebelumnya dengan bakteri dari
kulit, pakaian, dan lingkungan [32]. Dalam sebuah penelitian terhadap 160 cedera
kranioserebral tembus peluru di Kroasia yang mana 21 cedera basis kranii diobati
secara pembedahan. Tiga kasus abses otak membutuhkan operasi ulangan [33].
Traumatika yang menjadi predisposisi abses otak pada populasi sipil (insidensi
sebesar 2.5% hingga 10.9% setelah trauma) mencakup fraktur tengkorak depresi,
gigitan anjing, patukan ayam, pemakaian anting pada lidah, dan, terutama pada
anak-anak yang bermain anak panah dan ujung pensil [34].

Tampilan klinis
Miskonsepsi yang sering terjadi diantara para dokter berkenaan dengan
frekuensi demam yang ditemukan selama tampilan klinis awal abses otak. Pada
sebagian kasus demam terjadi pada < 50% kasus, dan ketiadaannya tidak boleh
digunakan untuk menyingkirkan diagnosis [35]. Perjalanan abses otak berkisar
dari indolen hingga fulminant [3]. Sebagian besar manifestasi klinis tidak
disebabkan oleh tanda-tanda sistemik infeksi, melainkan karena ukuran dan lokasi
lesi yang mendesak ruang didalam otak, dan virulensi organisme yang
menginfeksi. Nyeri kepala merupakan gejala yang paling sering ditemukan, dan
teramati pada rata-rata 70 % hingga 75% pasien. Nyeri kepala dapat bersifat
sedang hingga berat dan lokasinya bisa hemikranial atau generalisata, namun tidak
memiliki gambaran yang sangat membedakan untuk keterlambatan diagnosis yang
seringkali ditemukan. Perburukan nyeri kepala secara tiba-tiba, yang disertai
dengan onset meningismus baru, dapat menandakan rupturnya abses ke ruang
ventrikel, komplikasi ini seringkali berkaitan dengan angka mortalitas yang tinggi
(85% pada sebagian kasus), [36].
Lokasi abses otak menentukan tampilan klinisnya [3]. Pasien dengan abses
lobus frontalis seringkali datang dengan nyeri kepala, rasa mengantuk, sulit untuk
memberikan perhatian, perburukan status mental, hemiparesis dengan tanda-tanda
motorik unilateral, dan gangguan bicara motorik.
Hemiparesis dengan tanda-tanda motorik unilateral,d an gangguan bicara
motorik [35]. Pasien dengan abses otak Aspergillus paling sering menunjukkan
tanda-tanda stroke (akibat iskemia dari perdarahan interserebral atau keduanya)
yang dapat dirujuk ke area otak yang terlibat [25]. Rhinocereberalmucromycosis
awalnya bermanifestasi sebagai gejala-gejala yang dapat terlihat pada mata atau
sinus, termasuk nyeri kepala (seringkali unilateral), nyeri pada wajah, diplopia,
lakrimasi, dan sumbatan hidung atau epistaksis. Demam adalah hal yang biasa
ditemukan [25].
Manifestasi klinis penyakit CNS yang disebabkan oleh Cryptococcus,
histoplasma, Coccidioides, Candida, dan patogen jamur lainnya bergantung pada
lokasi abses di intrakranial. Pada satu tinjauan, hampir pada satu pertiga resipien
transplantasi sumsum tulang dengan abses otak yang disebabkan oleh Candida
spp, tidak terdapat tanda atau gejala; infeksi ini seringkali didiagnosis pada
postmortem [38]. Pasien dengan sindroma imunodefisiensi didapat (AIDS) dan
ensefelitis toksoplasma seringkali memperlihatkan gejala-gejala yang nonspesifik,
seperti keluhan neuropsikiatri, nyeri kepala, disorientasi, rasa bingung, dan
letargis yang berkembang selama 2 hingga 8 minggu; demam dan penurunan berat
badan yang terkait sering ditemukan [39].

Diagnosis dan Penatalaksanaan


Pendekatan awal terhadap pasien dengan kecurigaan abses otak adalah suatu
hal yang bersifat multidisiplin dan harus mencakup ahli neuroradiologi, ahli bedah
saraf dan spesialis penyakit infeksi [40]. Diagnosis abses otak mengalami revolusi
karena ketersediaan CT scan, yang sangat baik untuk memeriksa parenkim otak
dan sinus paranasal, mastoid, dan telinga tengah [8, 41]. CT scan yang khas
memperlihatkan lesi hipodens dengan cincin penyerapan kontras uniformis
perifer. Barangkali terdapat area edema otak hipodens yang mengitarinya. MRI
saat ini merupakan tindakan pencitraan pilihan pertama bagi pasien-pasien yang
dicurigai menderita penyakit ini. MRI menawarkan keuntungan yang signifikan
dibandingkan CT yang mencakup deteksi dini serebritis, deteksi edema serebri
dengan kontras yang lebih besar antara edema dan otak, penyebaran inflamasi
yang lebih mencolok ke ventrikel dan ruang subarachnoid, dan deteksi lesi satelit
secara lebih dini. Pemberian agen paramagnetik asam asetat-gadolinium
dietiletriaminpenta memungkinkan pembedaan abses di bagian sentral, tepi yang
menyerap kontras disekitarnya, dan edema serebri [42].
Pemeriksaan noninvasif, misalnya pemeriksaan CSF, CT, MRI untuk
diagnosis abses otak jamur biasanya bersifat nonspesifik, meskipun terdapat
beberapa pengecualian. Sebagai contohnya temuan infark serebri pada pasien
dengan faktor-faktor untuk aspergilosis invasif mengesankan diagnosis tersebut;
infark yang seperti ini biasanya berkembang menjadi apakah itu abses tunggal
atau multipel.
Pada rhino-serebro mucromikosis, CT dan MRI biasanya memperlihatkan
opasifikasi sinus, erosi tulang, dan obliterasi bidang fascial dalam; keterlibatan
sinus kavernosus juga dapat terlihat pada MRI, pada pengguna obat injeksi
dengan mucromikosis serebri, tempat penyakit SSP yang paling sering ditemukan
adalah ganglia basalis [26].
Diagnosis definitif abses otak jamur membutuhkan biopsi dengan
pewarnaan jamur yang sesuai. Pewarnaan mucicaramine akan secara spesifik
menemukan C. Neoformans. Spesies Aspergillus tampak sebagai hifa bersepta
dengan percabangan sudut dikotom, sementara hifa yang tidak memiliki septa
yang khas dengan percabangan yang memiliki sudut yang tepat terlihat pada
mucromikosis. P. Boydii tampak sebagai hifa bersepta pada spesimen klinis,
meskipun hifa lebih sempit dan tidak memperlihatkan percabangan dikotom yang
terlihat pada aspergilosis. Pewarnaan antibodi fluoresens juga merupakan suatu
metode yang sensitif untuk mengidentifikasi P. Boydii [26].

Pemeriksaan Laboratorium
Ketika abses otak dikesankan oleh pemeriksaan radiologi, diagnosis
mikrobiologi idealnya harus dilakukan untuk memandu terapi antimikroba. CT
telah menjadikan aspirasi abses yang dipandu stereotaktik mungkin untuk
dilakukan. Spesimen harus dikirimkan untuk pemeriksaan pewarnaan gram, kultur
aerob dan anaerob. Pewarnaan Ziehl-Nelsen untuk mikobakterium, pewarnaan
modifikasi untuk Nocordiai, dan pewaranaan perak untuk jamur. Kultur untuk
Mycobacterium, Nocardia, dan jamur juga harus dilakukan [8].

Terapi antimikroba
Terapi antibiotika empiris
Pada pasien dengan abses otak bakteri, ketika diagnosis telah ditegakkan
apakah itu secara presumtif melalui pemeriksaan radiologi atau dengan aspirasi
yang dipandu CT pada lesi, terapi antimikroba harus dimulai. Jika aspirasi tidak
dapat dilakukan atau pewarnaan Gram tidak menghasilkan apa-apa, terapi empiris
harus dimulai berdasarkan mekanisme patogenik yang diduga dalam pembentukan
abses misalnya otitis media atau mastoid, sinusitis frontoetmoidalis atau
sfenoidalis, abses gigi, trauma tembus atau pasca bedah saraf, penyakit jantung
kongenital, abses paru, empiema, bronkiektasis, dan andokarditis bakteri.
Regimen antimikroba mencakup: Metronidazole ditambah sefalosporin
generasi ketiga, vankomisin ditambah metronidazole ditambah sefalosporin
generasi ketiga, penisilin ditambah metronidazole, vankomisin ditambah
sefalosporin generasi ketiga, dan vankomisin ditambah gentamisin atau nafcilin
ditambah ampisilin ditambah gentamicin [8, 41, 43].

Terapi antibiotika
Dengan patogen yang telah dikonfirmasi. Jika kultur yang positif telah
didapatkan, terapi antimikroba dapat dimodifikasi untuk penatalaksanaan yang
optimal. Terapi antimikroba intravena dosis tinggi harus diteruskan selama 6
hingga 8 minggu; hal ini seringkali diikuti dengan terapi antimikroba oral jika
agen yang tepat tersedia. Rangkaian pemberian terapi yang lebih singkat
(misalnya 3 hingga 4 minggu) mungkin tidak sesuai bagi pasien-pasien yang telah
menjalani eksisi pembedahan komplit untuk abses [8, 41, 43].

Terapi pembedahan
Sebagian besar abses otak bakteri membutuhkan insisi pembedahan untuk
terapi yang optimal. Aspirasi abses dengan panduan CT stereotaktik menawarkan
ahli bedah suatu akses yang cepat, akurat dan aman ke hampir semua lokasi di
intrakranial dan memungkinkan suatu pengurangan tekanan intrakranial yang
meningkat. Namun, aspirasi memiliki suatu kerugian besar berupa drainase yang
tidak komplit terhadap lesi multilokus [8, 41, 44].

Kesimpulan
Abses otak merupakan suatu penyakit yang mematikan. Kemajuan terbaru
dalam diagnosis, penatalaksanaan, pemeriksaan CT dan MRI, terapi antimikroba
dan teknik aspirasi otak stereotaktik telah mengurangi mortalitas. Kecurigaan
klinis yang tinggi dibutuhkan dan terapi antibiotika empiris yang tepat harus
dimulai.

Anda mungkin juga menyukai