Anda di halaman 1dari 19

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

BADAN LAYANAN UMUM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM
KABUPATEN KETAPANG
2019
Community Acquired Pneumonia
1. Definisi  Pneumonia pada individu yang menjadi sakit
di luar rumah sakit, atau dalam 48 jam sejak
masuk rumah sakit
 Infeksi akut pada parenkim paru yang
berhubungan dngan setidaknya beberapa
gejala infeksi akut, disertai adanya gambaran
infiltrat akut pada radiologi toraks atau
temuan auskultasi yang sesuai dengan
pneumonia (perubahan suara napas dan atau
ronkhi setempat) pada orang yang tidak
dirawat di rumah sakit atau tidak berada pada
fasilitas perawatan jangka panjang selama ≥
14 hari sebelum timbulnya gejala (IDSA 2000)
2. Anamnesis  Demam
 Batuk berdahak
 Sesak napas
 Gejala penyerta: lesu, tidak mau makan
3. Pemeriksaan Fisik  Peningkatan suhu tubuh
 Saturasi oksigen berkurang
 Perubahan suara napas dan atau rhonki
setempat
4. Kriteria Diagnosis Rencana diagnostik bertujuan :
1. Diagnostik adanya CAP :
 Foto paru terdapat infiltrat baru atau
infiltrat yang bertambah
 Terdapat 2 dari 3 gejala berikut :
Demam, batuk + sputum produktif,
leukositosis (pada penderita usia lanjut
: gejala dapat tidak khas / tersamar,
seperti lesu, tidak mau makan, dll)
2. Pengkajian awal derajat berat penyakit
dengan The Pneumonia PORT prediction
rule atau Pneumonia Severity of Illness
Index (PSI) : Berdasarkan proses dua
langkah yang mengevaluasi faktor
demografis, penyakit komorbid,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan radiologis, pasien
distratifikasi menjadi lima kelas risiko
mortalitas dan outcome (lihat tabel 2,3,4
dan gambar 1).
3. Identifikasi penyebab mikrobiologis (lihat
tabel 4):
 Pewarnaan Gram sputum
 Kultur sputum
 Kultur darah
5. Diagnosis Kerja Community Acquired Pneumonia
6. Diagnosis Banding  Tuberkulosis paru
 Infeksi jamur
7. Pemeriksaan  Foto toraks
Penunjang  Pulse oxymetry
 Laboratorium rutin : Darah rutin, hitung
jenis, LED, Glukosa darah, Ureum,
Creatinin, SGOT, SGPT
 Analisis gas darah, elektrolit
 Pewarnaan Gram Sputum
 Kultur Sputum
 Kultur darah
8. Tata Laksana Tata laksana umum:
Rawat jalan :
 Dianjurkan untuk tidak merokok,
beristirahat, dan minum banyak cairan
 Nyeri pleuritik/demam diredakan dengan
parasetamol
 Ekspektoran/mukolitik
 Nutrisi tambahan pada penyakit yang
berkepanjangan
 Kontrol setelah 48 am atau lebih awal bila
diperlukan
 Bila tidak membaik dalam 48 jam :
dipertimbangkan untuk dirawat di rumah
sakit, atau dilakukan foto toraks.

Keputusan merawat pasien di RS ditentukan oleh


:
 Derajat berat CAP (lihat di atas)
 Penyakit terkait
 Aktor prognostik lain
 Kondisi dan dukungan orang rumah
 Kepatuhan, keinginan pasien

Rawat inap di RS :
 Oksigen, bila perlu dengan pemantauan
saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen
inspirasi. Tujuannya : mempertahankan
PaO2 ≥ 8 kPa dan SaO2 ≥ 92 %
 Terapi oksigen pada pasien dengan penyakit
dasar PPOK dengan komplikasi gagal napas
dituntun dngan pengukuran analisis gas
darah berkala
 Cairan : bila perlu dengn cairan intravena
 Nutrisi
 Nyeri pleuritik/demam diredakan dengan
parasetamol
 Ekspektoran/mukolitik

Foto toraks diulang pada pasien yang tidak


menunjukkan perbaikan yang memuaskan

Rawat di ICU :
 Bronkoskopi dapat bermanfaat utnuk retensi
sekret, mengambil sampel untuk kultur guna
penelusuran mikrobiologi lain dan
menyingkirkan kelainan endobronkial

Terapi antibiotika
 Pemilihan antibiotika dengan spektrum
sesempit mungkin, berdasarkan perkiraan
etiologi yang menyebabkan CAP pada
kelompok pasien tertentu, sesuai dengan
pedoman terapi empirik inisial ATS 2001
(lihat tabel 1, 5 dan gambar 2). Syarat untuk
alih terapi (ATS 2001) :
- Berkurangnya keluhan batuk dan sesak
napas
- Suhu Afebris (< 100 °F) pada dua
pengukuran terpisah 8 jam lamanya, o
leukosit berkurang / menjadi normal)
- Saluran gastrointestinal berfungsi baik,
masukan oral adekuat

Syarat untuk pemulangan dapat merujuk pada


kriteria Weingarten dan Ramirez
9. Edukasi  Tidak batuk di sembarang tempat
 Menggunakan masker
 Menghindari pencetus/ hal yang
memperberat penyakit
10. Prognosis Tergantung pada derajat berat penyakit, penyakit
komorbid, status imunologis, dll
11. Penelaah Kritis SMF Paru
12. Indikator Medis Kondisi Pasien Membaik
13. Kepustakaan 1. American Thoracic Society. Guideliness for
the Management of Adults with Community-
Acquired Pneumonia : Diagnosis. Assesment
of severity, Antimicrobial Therapy, and
Prevention. Am J Respir Crit Med,
2001 :163:1730-54
2. British Thoracic Society Standards of Care
Committee. Britsh Thoracic Society
Guidelines for the Management of
Community Acquired Pneumonia in Adults.
Thorax 2001 : 56 (suppl IV)
3. Rhew DC, Weingarten SR. Achieving A safe
and early Discharge for Patients With
Community – Acquired Pneumonia. Medical
Clinics of North America, November
2001:85(6):1427-40
4. Barlett JG, Dowell SF, Mandell LA, File Jr
TM, Musher MJ. Guidelines from the
Infections Diseases Society of America :
Practice Guidelines for The Management of
Community – Acquired Pneumonia in Adults.
Clinical infections Diseases 2000:31:347-82
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
BADAN LAYANAN UMUM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM
KABUPATEN KETAPANG
2019
Tuberkulosis Paru
1. Definisi adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
TB yaitu Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar
kuman TB menyerang paru, namun dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya.
2. Anamnesis Batuk berdahak > 2 minggu dan dapat disertai
sedikitnya salah satu dari gejala berikut:
o Lokal respiratorik: dapat bercampur darah atau
batuk darah, sesak nafas, dan nyeri dada atau
pleuritic chest pain (bila disertai peradangan
pleura)
o Sistemik: nafsu makan menurun, berat badan
menurut, berkeringat malam tanpa kegiatan fisik,
demam meriang lebih dari 1 bulan, badan lemah
dan malaise

3. Pemeriksaan Demam (pada umumnya subfebris, walaupun bias juga


Fisik tinggi sekali), dapat disertai dengan respirasi
meningkat, berat badan menurun (BMI pada umumnya
<18,5). Pada lesi minimal umumnya tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan. Pada lesi luas dapat
ditemui bentuk dada yang tidak simetris, fremitus
mengeras atau melemah, perubahan suara perkusi,
suara napas bronkial/ amforik/ ronki basah/ suara
napas melemah di apeks paru.
4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis Kerja o TB paru BTA positif kasus baru
o TB paru BTA negative kasus baru
o TB paru BTA positif kasus pengobatan ulang
(gagal, kambuh, putus obat)
o Suspek TB paru resisten obat
o Hepatitis Imbas Obat
o TB HIV
o TB DM
o TB dengan Penyakit Ginjal Kronik
o TB dengan kelainan hati
6. Diagnosis o Pneumonia
Banding o Tumor/ keganasan paru
o Jamur paru
o Penyakit paru akibat kerja
o Asma
7. Pemeriksaan o Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri
Penunjang Tahan Asam /BTA) atau kultur kuman dari
specimen sputum/ dahak sewaktu-pagi-sewaktu
sebanyak 3 kali. Jika laboratorium sudah
terakreditasi, pemeriksaan BTA dapat dilakukan 2
kali dan minimal satu bahan berasal dari dahak
pagi hari.
o Radiologi dengan foto toraks PA-lateral/ top
lordotik dapat dilakukan jika ada fasilitas dan
atas indikasi
o Pemeriksaan Gene X-pert/ MTB-Rif jika tersedia
di fasilitas
o Biakan kuman TB atas indikasi
o Pemeriksaan darah rutin, gula darah, fungsi hati,
fungsi ginjal, HIV
8. Tata Laksana Terapi konservatif:
o Terapi umum: istirahat, stop merokok, hindari
polusi, tatalaksana komorbiditas, nutrisi, dan
vitamin
o Terapi pengobatan OAT
OAT kategori I (2RHZE/4RH – 2RHZE/4R3H3 –
2RHZE/6HE)
o Penderita baru TB paru, sputum BTA positif
o Penderita baru TB paru, sputum BTA negative,
foto toraks positif dengan kelainan paru luas
o Penderita TB ekstraparu berat
OAT kategori II (2RHZES/1RHZE/5RHE –
2RHZES/1RHZE/5R3H3E3)
o Penderita TB paru kasus kambuh
o Penderita TB paru kasus gagal pengobatan
Obat anti tuberkulosis yang digunakan adalah :
1. Isoniazid (INH) : selama 6-12 bulan
a. Dosis terapi : 5-10 mg/kgBB/hari
diberikan sekali sehari
b. Dosis profilaksis : 5-10 mg/kgBB/hari
diberikan sekali sehari
c. Dosis maksimum : 300 mg/hari
2. Rifampisin ( R ) : selama 6-12 bulan
a. Dosis : 10-20 mg/kgBB/hari
sekali sehari
b. Dosis maksimum : 600 mg/hari
3. Pirazinamid (Z) : selama 2-3 bulan pertama
a. Dosis : 25-35 mg/kgBB/hari
diberikan 2 kali sehari
b. Dosis maksimum : 2 gram/hari
4. Etambutol (E) : selama 2-3 bulan pertama
a. Dosis : 15-20 mg/kgBB/hari
diberikan sekali atau 2 kali sehari
b. Dosis maksimum : 1250 mg/hari
5. Streptomisin (S) : selama 1-2 bulan pertama
a. Dosis : 15-40 mg/kg/hari
diberikan sekali sehari intra muskular
b. Dosis maksimum : 1 gram/hari
9. Edukasi Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga
(Hospital mengenai:
Health o Penyakit
Promotion) o Berobat teratur hingga selesai dan risiko
resistensi
o Risiko efek samping OAT
o Pencegahan penularan termasuk etika batuk
o Komplikasi
o Penunjukan pengawas menelan obat (PMO)
10. Prognosis Advitam : dubia
Ad Sanationam : dubia
Ad Fungsionam : dubia
11. Penelaah SMF Paru
Kritis
12. Indikator Kondisi Pasien Membaik
13. Kepustakaa 1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
n 2013. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Tata Laksana Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011.
Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia revisi pertama.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
BADAN LAYANAN UMUM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM
KABUPATEN KETAPANG
2019
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)
1. Definisi Adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati,
ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversible, bersifat progresif dan berhubungan dengan
respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun / berbahaya, disertai efek ekstra paru yang
berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.
2. Anamnesis Hasil Anamnesis (Subjective)
 Indikator kunci diagnosis adalah sesak napas progresif,
bertambah saat aktivitas, persisten, batuk kronik dapat
hilang timbul, mungkin tidak berdahak atau berdahak.
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau
tanpa gejala pernapasan.
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat
kerja
 Infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok,
dan polusi udara

3. Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Fisik (Objective)
Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
 Inspeksi : pursed-lips breathing, barrel chest, penggunaan
otot bantu napas, hipertrofi otot banu napas, pelebaran
sela iga, bila terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut
vena jugularis di leher dan edema tungkai, penampilan
pink puffer atau blue bloater.
 Palpasi : pada emfisema fremitus melemah, sela iga
melebar
 Perkusi : pada emfisema hipersonor dan batas jantung
mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke
bawah
 Auskultasi : suara napas vesikuler normal atau melemah,
terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa
atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, bunyi
jantung terdengar jauh.
4. Pemeriksaan a. Darah: Hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit,
Penunjang analisis gas darah.
b. Radiologi : Foto toraks PA/lateral (hiperinflasi,
hiperlusen, ruang retrosternal melebar, diafragma
mendatar, jantung pendulum)
c. Faal paru : Spirometri (VEP1/KVP < 70% post
bronkodilator)
d. Uji latih kardiopulmoner : sepeda statis, treadmill, uji
jalan 6 menit(belum ada)
e. EKG : mengetahui komplikasi pada jantung
f. Bakteriologi : sputum pewarnaan gram dan kultur
resistensi
g. Kadar α-1 antitripsin : rendah pada emfisema herediter.
(belum ada)
5. Kriteria Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis - Sesak progresif, bertambah berat dengan aktivitas,
persisten
- Batuk kronik hilang timbul berdahak atau tidak
- Riwayat terpajan faktor risiko
- Foto toraks PA gambaran emfisema
- Pemeriksaan spirometri VEP1/KVP < 70%
postbronkodilator
6. Diagnosis Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
7. Diagnosis 1. Asma
Banding 2. Asma Chronic Obstructive Overlaping Syndrome (ACOS)
3. Gagal jantung kongestif
4. Bronkiektasis
5. Tuberkulosis
6. Bronkiolitis obliterans
7. Panbronkiolitis difus
8. Sindroma obstruksi pasca tuberkulosis
9. Penumotoraks
8. Talaksana Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Tujuan :
a. Mengurangi gejala
b. Mencegah progresivitas penyakit
c. Meningkatkan toleransi latihan
d. Meningkatkan status kesehatan
e. Mencegah dan menangani komplikasi
f. Mencegah dan menangani eksaserbasi
g. Menurunkan kematian

Prinsip-prinsip terapi
a. Edukasi
b. Berhenti merokok
c. Obat-obatan (bronkodilator, antiinflamasi, antibiotik,
antioksidan, mukolitik, phosphodiesterase-4 inhibitor)
d. Rehabilitasi : latihan fisik, psikososial
e. Terapi oksigen : jika PaO2 <60mmHg atau Sat O2 <90%,
PaO2 di antara 55-59 mmHg atau Sat O2 >89% disertai
korpulmonale, perubahan P pulmonal, Ht > 55% dan
tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, dan
penyakit paru lain
f. Ventilasi mekanis : pada eksaserbasi dengan gagal
napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik,
atau pada PPOK derajat berat dengan gagal napas
kronik.
g. Nutrisi
9. Edukasi 1. Perjalanan penyakit dan pengobatan PPOK
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Menghindari faktor pencetus
4. Efek samping obat
5. Prognosis
6. Menyesuaikan keterbatasan aktivitas
10. Prognosis Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad sanam : Dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
11. Penelaah Kritis SMF Paru
12. Indikator 1. Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas
Medis kronik
2. Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil
AGD menunjukkan pH normal, PCO2 > 60mmHg, dan PO2
<60mmHg
3. Sputum tidak berwarna atau jernih
4. Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat
PPOK (hasil spirometri)
5. Penggunaan bronkodilator sesuai rencana peengobatan,
tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan
13. Referensi 1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK : Diagnosis
dan Penatalaksanaan. 2011.
2. GOLD, Global Strategy for Diagnosis, Management and
Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease,
updated 2014
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
BADAN LAYANAN UMUM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM
KABUPATEN KETAPANG
2019
ASMA BRONKIAL
1. Definisi Adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas
yang ditandai dengan obstruksi jalan napas yang
dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan
akibat hiperreaktivitas bronkus terhadap
berbagai rangsangan yang melibatkan sel-sel
elemen selular terutama mastosit, eosinofil,
limfosit T, makrofag, netrofil dan epitel
2. Anamnesis Ada beberapa hal yang harus ditanyakan dari
pasien asma antara lain:
 Apakah ada batuk yang berulang terutama
pada malam menjelang dini hari?
 Apakah pasien mengalami mengi atau dada
terasa berat atau batuk setelah terpajan
allergen atau polutan?
 Apakah pada waktu pasien mengalami
selesma (common cold) merasakan sesak di
dada dan selesmanya menjadi
berkepanjangan (10 hari atau lebih)?
 Apakah ada mengi atau rasa berat di dada
atau batuk setelah melakukan aktifitas atau
olahraga?
 Apakah gejala-gejala tersebut di atas
berkurang/hilang setelah pemberian obat
pelega (bronkodilator)?
 Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika
terjadi perubahan musim/ cuaca atau suhu
yang ekstrim (tiba-tiba)?
 Apakah ada penyakit alergi lainnya (rhinitis,
dermatitis atopi, konjungtivitis alergi)?
 Apakah dalam keluarga (kakek/nenek, orang
tua, anak, saudara kandung, saudara
sepupu) ada yang menderita asma atau
alergi?
3. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari
normal sampai didapatkannya kelainan. Perlu
diperhatikan tanda-tanda asma dan penyakit
alergi lainnya. Tanda asma yang paling sering
ditemukan adalah mengi, namun pada sebagian
pasien asma tidak didapatkan mengi di luar
serangan. Begitu juga pada asma yang sangat
berat, mengi dapat tidak terdengan (silent chest),
biasanya pasien dalam keadaan sianosis dan
kesadaran menurun.
Secara umum pasien yang sedang mengalam
serangan asma dapat ditemukan hal-hal sebagai
berikut, sesuai derajat serangan:
 Inspeksi:
o Pasien terlihat gelisah
o Sesak (napas cuping hidung, napas
cepat, retraksi sela iga, retraksi
epigastrium, retraksi suprasternal)
o Sianosis
 Palpasi
o Biasanya tidak ditemukan kelainan
o Pada serangan berat dapat terjadi
pulsus paradoksus
 Perkusi
Biasanya tidak ditemukan kelainan
 Auskultasi
o Ekspirasi memanjang
o Mengi
o Suara lendir
4. Kriteria Diagnosis Episode berulang sesak napas, dengan atau
tanpa mengi dan rasa berat di dada akibat faktor
pencetus.
Dibagi menjadi :
1. Asma intermiten, gejala asma < 1 kali/minggu,
asimptomatik, APE di antara serangan normal,
asma malam ≤ 2 kali/bulan, APE ≥ 80 %,
variabilitas < 20 %.
2. Asma persisten sedang, gejala asma ≥ 1
kali/seminggu, < 1 kali/hari, asma malam > 2
kali/bulan, APE ≥ 80 %, variabilitas 20-30 %.
3. Asma persisten sedang, gejala asma tiap hari,
tiap hari menggunakan beta-2 agonis kerja
singkat, aktivitas terganggu saat serangan,
asma malam > 1 kali/minggu, APE > 60 % dan
< 80 % prediksi atau variabilitas > 30 %.
Asma persisten berat, gejala asma terus menerus,
asma malam sering, aktivitas terbatas, dan APE ≤
60 % prediksi atau variabilitas > 30 %. Asma
eksaserbasi akut dapat terjadi pada semua
tingkatan derajat asma.
5. Diagnosis Kerja Asma Bronkial
6. Diagnosis Banding  Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
 Bronkitis kronik
 Gagal jantung kongestif
 Batuk kronik akibat lain-lain
 Disfungsi laring
 Obstruksi mekanis
 Emboli paru
7. Pemeriksaan  Pemeriksaan fungsi/faal paru dengan alat
Penunjang spirometer
 Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan
alat peak flow rate meter
 Uji reversibilitas (dengan bronkodilator)
 Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/
tidaknya hipereaktivitas bronkus
 Uji alergi (tes tusuk kulit/ skin prick test)
untuk menilai ada tidaknya alergi
 Foto thoraks
 Laboratorium: jumlah eosinofil, sputum
dan analisis gas darah atas indikasi
8. Tata Laksana 1. Asma intermiten tidak memerlukan obat
pengendali
2. Asma persisten ringan memerlukan obat
pengendali kortikosteroid inhalasi (500 ug
BDP atau ekuivalennya) atau pilihan
lainnya: teofilin lepas lambat, kromolin,
antileukotrien.
3. Asma persisten sedang memerlukan obat
pengendali berupa kortikosteroid inhalasi
(200-1000 ug BDP atau ekuivalennya)
ditambah dengan beta-2 agonis aksi lama
(LABA) atau pilihan lain kortikosteroid
inhalasi (500-1000 ug BDP atau
ekuivalennya) + teofilin lepas lambat atau
Kortikosteroid Inhalasi (500-1000 ug BDP
atau ekuivalennya) + LABA oral atau
kortikosteroid inhalasi dosis ditinggikan (>
1000 ug BDP atau ekuivalennya) atau
kortikosteroid inhalasi 500-1000 ug BDP
atau ekuivalennya) + antileukotrien.
4. Asma persisten berat memerlukan
kortikosteroid Inhalasi (> 1000 ug BDP atau
ekivalennya) + LABA inhalasi + salah satu
pilihan berikut :
 Teofilin lepas lambat
 Antileukotrien
 LABA oral
BDP = Budesonide propionat
Sedangkan untuk penghilang sesak diberikan
beta 2-agonis kerja singkat inhalasi tetapi tidak
boleh lebih dari 3-4 kali sehari. Antikolinergik
inhalasi, agonis beta-2 kerja singkat oral dan
teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai
pilihan lain selain agonis beta-2 kerja singkat
inhalasi. Bila terjadi eksaserbrasi akut maka
tahap penatalaksanaannya sebagai berikut :
1. Oksigen
2. Inhalasi agonis beta-2 tiap 20 menit sampai
3 kali selanjutny tergantung respons terapi
awal
3. Inhalasi antikolinergik (Ipatropium
bromida) setiap 4-6 jam terutama pada
obstruksi berat (atau dapat diberikan
bersama-sama dengan agonis beta-2)
4. Kortikosteroid oral atau parenteral dengan
dosis 40-60 mg/hari setara prednison
5. Aminofilin tidak dianjurkan (bila diberikan
dosis awal 5-6 mg/kgBB dilanjutkan infus
aminofilin 0,5-0,6 mg/kgBB/jam)
6. Antibiotik bila ada infeksi sekunder
7. Pasien diobservasi 1-3 jam kemudian
dengan pemberian agonis beta-2 tiap 60
menit. Bila setelah masa observasi terus
membaik, pasien dapat dipulangkan
dengan pengobatan (3-5 hari) inhalasi
agonis beta-2 diteruskan, steroid oral
diteruskan, penyuluhan dan pengobatan
lanjutan, antibiotik diberikan bila ada
indikasi, perjanjian kontrol berobat
8. Bila setelah observasi 1-2 jam tidak ada
perbaikan atau pasien termasuk golongan
risiko tinggi : pemeriksaan fisik tambah
berat, APE (arus puncak ekspirasi) > 50 %
dan < 70 % dan tidak ada perbaikan
hipoksemia (dari hasil analisis gas darah)
pasien harus dirawat.

Pasien dirawat di ICU bila tida berespons


terhadap upaya pengobatan di unit gawat darurat
atau bertambah beratnya serangan/buruknya
keadaan setelah perawatan 6-12 jam, adanya
penurunan kesadaran atau tanda-tanda henti
napas, hasil pemeriksaan analisis gas darah
menunjukkan hipoksemia dengan kadar pO2 <
60 mmHg dan/atau pCO2 > 45 mmHG walaupun
mendapat pengobatan oksigen yang adekuat.
9. Edukasi Mengenali faktor-faktor pencetus alergi (polutan,
debu, makanan, gigitan serangga, obat, dsb) dan
menghindarinya
10. Prognosis Tergantung beratnya gejala, derajat penyakit dan
komorbid
11. Penelaah Kritis SMF Paru
12. Indikator Medis Kondisi pasien membaik
13. Kepustakaan Sukamto, Sundaru H. Asma Bronkial. In:
Simadibrata M, Setiati, Sudoyo AW, Alwi I,
Setiyohadi B, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI:2009.p404-414
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
BADAN LAYANAN UMUM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM
KABUPATEN KETAPANG
2019
HEMOPTISIS
1. Definisi Adalah ekspektorasi darah dari saluran napas.
Darah bervariasi dari dahak disertai bercak/
lapisan darah s/d batuk berisi darah saja. Batuk
darah masif adalah batuk darah > 100 ml s.d >
600 ml darah selama 24 jam.
2. Anamnesis  Batuk darah berwarna merah segar,
bercampur busa,
 Batuk sebelumnya, dahak (jumlah, bau,
penampilan), demam, sesak, nyeri dada,
riwayat penyakit paru, penurunan berat
badan, anoreksia.
 Penyakit komorbid, riwayat penyakit
sebelumnya
 Kelainan perdarahan, penggunaan obat
antokoagulan/ obat yang dapat menginduksi
trombositopenia
 Kebiasaan : merokok
3. Pemeriksaan Fisik  Orofaring dan nasofaring, tidak ada sumber
perdarahan
 Paru : ronki basah atau kering, pleural
friction rub
 Jantung : tanda-tanda hipertensi pulmonal,
mitral stenosis, gagal jantung
4. Kriteria Diagnosis Sesuai dengan kriteria anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Hemoptisis
6. Diagnosis Banding  Sumber trakeobronkial :
- Neoplasma (karsinoma bronkogenik,
tumor metastasis endobronkial, dll)
- Bronkitis (akut dan kronik)
- Bronkiektasis
- Bronkiolitiasis
- Trauma
- Benda asing
 Sumber parenkim paru :
- Tuberkolosis paru
- Pneumonia
- Abses paru
- Fungus ball
- Sindrom Goodpasture
- Granulomatosis Wegener
- Pneumonitis lupus
- Sember vaskular
- Peningkatan tekanan vena pulmonal (MS)
- Emboli paru
- Malformasi AV
- Hematemesis
- Perdarahan nasofaring
- Koagulopati, pengobatan
trombolitik/antikoagulan
7. Pemeriksaan  Foto thoraks: menentukan lesi paru
Penunjang (lokal/difus), kardiak
 Laboratorium
- DL, LED, ureum, kreatinin, urin lengkap
- Hemostasis (aPTT) bila perlu
- Sputum : pemeriksaan BTA langsung dan
kultur, pewarna Gram.
 Bronkoskopi : Menentukan lokasi sumber
perdarahan dan diagnosis
8. Tata Laksana Hemoptisis masif :
Tujuan terapi : mempertahankan jalan napas,
proteksi paru yang sehat, menghentikan
perdarahan.
 Istirahat baring, kepala direndahkan tubuh
miring ke sisi sakit
 Oksigen
 Infus, bila perlu transfusi darah
 Medikamentosa :
- Antibiotika
- Kodein tablet untuk supresi batuk
- Koreksi koagulopati : Vitamin K IV
 Bronkoskopi : diagnostik dan terapeutik
topikal (bilas air es, instilasi epinefrin)
 Intubasi selektif pada bronkus paru yang
tidak berdarah (bila perlu)

Indikasi operasi pada pasien batuk darah masif :


 Batuk darah ≥ 600 cc/24 jam. Pada
observasi tidak berhenti
 Batuk darah 100 – 250 cc/24 jam Hb < 10
g/dL. Pada observasi tidak berhenti
 Batuk darah 100 – 250 cc/24 jam, Hb > 10
g/dL. Pad observasi 48 jam tidak berhenti.
Hemoptisis non-masif :
Tujuan : mengendalikan penyakit dasar
Terapi konservtif sesuai penyakit dasar
9. Edukasi Tidak batuk di sembarang tempat, menggunakan
masker bila batuk
Segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan
bila batuk darah
10. Prognosis Tergantung penyebab penyakit
11. Penelaah Kritis SMF Paru
12. Indikator Medis Kondisi pasien membaik
13. Kepustakaan 1. Uyainah A. Hemoptisis. In : Simadibrata M,
Setiati, Alwi I, Maryantoro, Gani RS Mansjoer
A, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di
Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI : 1999. p. 215-6.
2. Approach to the Patient. In : Fishman AP, elias
JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior
RM, editors. Fishman’s Manual of Pulmonary
Diseases and Disorders, 3rd ed. New York :
McGraw – Hill : 2002.p. 16-21.
3. Weiberger SE, Braunwald E. Cough and
Hemoptysis. In : Braunwald E, Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson
JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
15th ed. New York : McGraw-Hill; 2001.p.203-
7.

Anda mungkin juga menyukai