Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang


dikarakteristikkan oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan
perubahan-perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran udara saluran
nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversibel dan berhubungan dengan
respon inflamasi yang abnormal dari paru-paru terhadap gas atau partikel yang
berbahaya

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun


2020 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit
tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab
kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12
negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi PPOK sedang-berat pada
usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan
Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar
6,7%.
Emfisema paru merupakan penyakit yang umum, kronis, progresif dan
akhirnya dapat berakibat fatal. Penyakit ini disebabkan oleh rokok 80% sampai
90% kasus. Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding
alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat
dengan obstruksi jalan nafas yang tidak reversibel penuh dan memenuhi kriteria
PPOK.
Menurut American Lung Association, pada 2011 lebih dari 4,5 juta orang
di Amerika Serikat menderita emfisema. Mayoritas berusia di atas 65 tahun. Baik
pria dan wanita memiliki risiko yang sama untuk mendapatkan penyakit ini.

1
Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Semakin banyak merokok,
semakin tinggi risiko terkena emfisema.
Kolapsnya semua atau sebagian paru-paru yang memberikan komplikasi
pada banyak masalah pernafasan. Lendir di saluran udara setelah operasi, fibrosis
kistik, menghirup benda asing, asma berat dan cedera thorax adalah salah satu
penyebab umum atalektasis. Atelektasis terjadi ketika alveoli di paru-paru
menjadi kempis. Jumlah jaringan paru yang terlibat dalam atelektasis adalah
tergantung dari penyebabnya. Tanda dan gejala juga tergantung dari penyebab
yang mendasari dan keterlibatan paru. Atelektasis bisa serius karena mengganggu
pertukaran O2 dan CO2 dalam paru. Pengobatan tergantung pada penyebab dan
keparahan dari kolapsnya paru.

1.2 Tujuan
Mahasiswa kepaniteraan klinik senior dapat mampu mengetahui, memahami,
dan menjelaskan tentang :
1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
2. Emfisema Paru
3. Atelektasis

1.3 Manfaat
1. Bagi penulis
Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mempelajari,
mengidentifikasi, dan mengembangkan teori yang telah disampaikan
mengenai Penyakit Paru Obstruksi Kronis, Emfisema Paru dan
atelektasis.

2. Bagi institute pendidikan


Dapat dijadikan sumber referensi atau bahan perbandingan bagi
kegiatan yang ada kaitannya dengan pelayanan kesehatan, khususnya yang
berkaitan dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis, Emfisema Paru dan
Atelektasis.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)


2.1.1 Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang


dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek
ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.

Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh


gabungan antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan
kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu.

Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena:

 Emfisema merupakan diagnosis


patologik
 Bronkitis kronik merupakan diagnosis
klinis

Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan hambatan aliran udara dalam
saluran napas.

2.1.2 Faktor Risiko


1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Asap
rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala
respirasi dan gangguan fungsi paru.

3
Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang
dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan
lamanya merokok ( Indeks Brinkman ).
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a) Riwayat merokok
a. Perokok aktif
b. Perokok pasif
c. Bekas perokok
b) Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu
perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan
lama merokok dalam tahun :
a. Ringan : 0-200
b. Sedang : 200-600
c. Berat : >600
2. Polusi udara
Polusi udara terbagi menjadi
 Polusi dalam ruangan
- Asap rokok
- Asap kompor
 Polusi di luar ruangan
- Gas buang kendaraan bermotor
- Debu jalanan
 Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun
3. Stres oksidatif
Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan
endogen timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan
eksogen dari polutan dan asap rokok
4. Infeksi saluran napas bawah berulang
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas
PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas,
berperan secara bermakna menimbulkan eksaserbasi

4
5. Sosial ekonomi
6. Tumbuh kembang paru
7. Asma
8. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

2.1.3 Klasifikasi

Terdapat ketidaksesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderia, oleh


sebab itu perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin
tidak bisa diprediksi dengan VEP1.
Derajat Klinis Faal Paru

Gejala klinis Normal


(batuk, produksi sputum)
Derajat I : Gejala batuk kronik dan VEP1/KVP < 70%
PPOK Ringan produksi sputum ada tetapi tidak VEP1≥ 80% prediksi
sering. Pada derajat ini pasien
sering tidak menyadari bahwa
faal paru mulai menurun.

Derajat II : Gejala sesak mulai dirasakan VEP1/KVP < 70%


PPOK Sedang saat aktivitas dan kadang 50% ≤ VEP1< 80%
ditemukan gejala batuk dan prediksi
produksi sputum. Pada derajat
ini biasanya pasien mulai
memeriksakan kesehatannya
Derajat III : Gejala sesak lebih berat, VEP1/KVP < 70%
PPOK Berat penurunan aktivitas, rasa lelah 30% ≤ VEP1< 50%
dan serangan eksaserbasi prediksi
semakin sering dan berdampak
pada kualitas hidup pasien.

5
Derajat IV : Gejala diatas dimbah dengan VEP1/KVP <70%
PPOK Sangat tanda-tanda gagal napas atau VEP1< 30% prediksi
Berat gagal jantung kanan dan atau
ketergantungan oksigen. Pada VEP1< 50% dprediksi
derajat ini kualitas hidup pasien disertai gagal napas
memburuk dan jika eksaserbasi kronik
dapat mengancam jiwa.

2.1.4 Gejala Klinis


Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala,
gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan
kelainan jelas dan tanda inflasi paru.
Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai
berikut:
a) Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2
tahun terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang
diberikan. Batuk dapat terjadi sepanjang hari atau intermiten.
Batuk kadang terjadi pada malam hari.
b) Berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang
kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerustanpa
disertai batuk. Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi
pada pagi hari ketika bangun tidur.
c) Sesak napas terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali
pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat
progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan
d) Riwayat terpajan faktor risiko terutama asap rokok, debu dan
bahan kimia ditempat kerja

6
2.1.5 Diagnosis
Indikator kunci untuk mendiagnosis PPOK
Gejala Keterangan
Sesak yaitu Progresif (sesak bertambah berat
seiring berjalannya waktu
Bertambah berat dengan aktivitas
Persistens (menetap sepanjang hari)
Dijelaskan oleh bahasa pasien
sebagai “perlu usaha untuk bernafas”
Berat, sukar bernafas, terengah-
engah
Batuk kronik Hilang timbul dan mungkin tidak
berdahak
Batuk kronik berdahak Setiap batuk kronik berdahak dapat
mengindikasikan PPOK
Riwayat terpajan faktor risiko Asap rokok
terutama, Debu dan bahan kimia ditempat kerja
Asap rokok

a. Anamnesis
o Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa
gejala pernapasan
o Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
o Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
o Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat
badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara
o Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
o Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

7
b. Pemeriksaan fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
• Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal
sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis i leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
• Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
• Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.
• Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa
atau pada ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Faal paru
• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP ( % ).Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80%
VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

8
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari
20%
• Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan,
15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau
APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200
ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain dan melihat komplikasi

2.1.6 Diagnosis Banding


o Asma
o SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada
penderita pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.
o Pneumotoraks
o Gagal jantung kronik
o Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal :
bronkiektasis, destroyed lung.

9
2.1.7 Penatalakaksanaan
Tujuan penatalaksanaan PPOK mencakup beberapa komponen yaitu:

1. Mengurangi gejala
2. Mencegah progresifitas penyakit
3. Meningkatkan toleransi latihan
4. Meningkatkan status kesehatan
5. Mencegah dan menangani komplikasi
6. Mencegah dan menangani eksaserbasi
7. Menurunkan kematian
Penatalaksanaan menurut derajat PPOK

DERAJAT I DERAJAT II** DERAJAT III DERAJAT IV


VEP /KVP < 70% VEP 1/KVP < 70% VEP 1 /KVP 70% VEP 1 /KVP < 70%
1
VEP 1 80 % 50 % < VEP 1< 80 % 30 % VE P1 50 % VEP 1 < 30 %
prediksi prediksi prediksi prediksi

Hindari faktor risiko : BERHENTI MEROKOK, PAJANAN KERJA


Dipertimbangkan pemberian vaksinasi influenza
Tambakan bronkodilator kerja pendek (bila diperlukan)

Berikan pengobatan rutin d engan satu atau lebih bronkodilator kerja


lama
Tambahkan rehabilitasi fisis

VEP
Tambahkan inhalasi glukokortikosteroid
jika terjadi eksaserbasi berulang -ulang

Tambahkan
pemberian
oksigen jangka
panjang kalau
terjadi gagal
napas kronik
Lakukan
tindakan
opera si bila
diperlukan

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :


 Edukasi

10
 Berhenti merokok
 Obat-obatan
 Rehabilitasi
 Terapi oksigen
 Ventilasi mekanik
 Nutrisi

Derajat Karakteristik Rekomendasi pengobatan


Semua Derajat  Edukasi (hindari factor pencetus)
 Bronkodilator kerja singkat
(SABA, antikolinergik, kerja
cepat, xanthine) bila perlu.
 Vaksinasi influenza
Derajat 1 VEP1/KVP <70%  Bronkodilator kerja singkat
PPOK ringan VEP1 80% Prediksi (SABA, antikolinergik, kerja
dengan atau tanpa cepat, xanthine) bila perlu
gejala
Derajat 2 VEP1/KVP <70% Pengobatan regular dengan
PPOK Sedang 50% VEP1< 80% bronkodilator
Prediksi dengan  Agonis beta 2 kerja
atau tanpa gejala panjang sebagai terapi
pemeliharaan (LABA)
 Antikolinergik kerja lama
sebagai terapi
pemeliharaan
 Simptomatik
Rehabilitasi (edukasi, nutrisi,
rehabilitasi pernapasana)
Derajat 3 VEP1/KVP ≤70% Pengobatan regular dengan 1

11
PPOK berat 30%≤ VEP1≤50% atau lebih bronkodilator
Prediksi dengan  Agonis beta 2 kerja
atau tanpa gejala panjang sebagai terapi
pemeliharaan (LABA)
 Antikolinergik kerja lama
sebagai terapi
pemeliharaan
 Simptomatik
Rehabilitasi (edukasi, nutrisi,
rehabilitasi pernapasanan

Derajat 4 VEP1/KVP <70% Pengobatan regular dengan 1


PPOK sangat VEP1<30% atau lebih bronkodilator
berat Prediksi/ gagal  Agonis beta 2 kerja
nafas/ gagal jantung panjang sebagai terapi
kanan pemeliharaan (LABA)
 Antikolinergik kerja lama
sebagai terapi
pemeliharaan
 Pengobatan komplikasi
 Kortikosteroid inhalasi
bila memberikan respon
klinis/ eksaserbasi
berulang
 PDE-4 inhibitor
Rehabilitasi (edukasi, nutrisi,
rehabilitasi pernapasanan
Terapi oksigen jangka
panjang bila gagal nafas
Ventilasi non invasive
Pertimbangan terapi

12
pembedahan

 Penatalaksanaan umum PPOK


a) Edukasi
b) Obat-obatan bronkodilator
 Antikolinergik : ipratropium bromide
 Agonis beta 2 :
 Kerja singkat : terbutalin, salbutamol, fenoterol,
prokaterol
 Kerja lama: salmeterol, bambuterol, prokaterol,
formoterol
 Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2
 Xanthine : aminofilin, teofilin.
c) Anti inflamasi : metilprednisolon, prednisolon
d) Antibiotic (jika ada tanda-tanda akut ) :amoxicillin, makrolide
e) Antioksidan : N-asetil sistein
f) Mukolitik : ambroxol

13
2.2 Emfisema

2.2.1 Definisi

Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru-paru yang ditandai


dengan melebarnya secara abnormal saluran udara sebelah distal bronkus
terminal, disertai kerusakan dinding alveolus. Pelebaran ini disebabkan karena
adanya kerusakan dinding asinus. Asinus adalah bagian paru yang terletak di
bronkiolus terminal distal, terdiri dari bronkhiolus rerpiratorius yang memiliki
kantong udara kecil atau alveoli.
Definisi emfisema menurut gambaran radiologik yaitu suatu
keadaan di mana paru lebih banyak berisi udara, sehingga ukuran paru bertambah,
baik anterior-posterior maupun ukuran paru secara vertikal kearah diafragma.

2.2.2 Etiologi
Faktor- faktor yang menyebabkan timbulnya Emfisema paru adalah:
1. Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya Emfisema paru, secara patologis
rokok berhubungan dengan hiperplasia kelenjar mukus, bronkus
metaplasia, epitel skuamus dan saluran nafas. Menurut Sharma (2006),
emfisema terjadi pada seseorang dengan kebiasaan merokok lebih dari 20
batang perhari dan kebiasaan merokok tersebut sudah terjadi selama 20
tahun.
2. Polusi

14
Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya
tetapi bila di tambah merokok resiko akan lebih tinggi.
3. Faktor sosial ekonomi
Emfisema lebih banyak terdapat pada golongan sosial ekonomi rendah,
mungkin karena perbedaan pola merokok, selain itu juga disebabkan
faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.
4. Faktor genetik
Ditandai dengan adanya Eosinofil / peningkatan kadar Imunoglobin E
serum. Adanya hiperresponsif bronkus, riwayat penyakit obstruktif paru
pada keluarga dan defisiensi protein ɑ-1 antitripsin.

2.2.3 Klasifikasi

a. Centriacinar emfisema adalah salah satu jenis emfisema paru-paru yang


ditandai dengan pembesaran rongga udara di bagian proksimal acinus,
terutama pada tingkat bronchiolus repiratorius akibat merokok lama.

b. Distal acinar emfisema adalah salah satu jenis emfisema paru-paru yang
terbatas pada ujung distal alveolus di sepanjang septum interlobularis dan
di bawah pleura membentuk bula.

15
c. Panacinar emfisema adalah satu jenis emfisema paru-paru yang ditandai
dengan pembesaran rongga udara yang relatif seragam di seluruh acinus.

d. Irregular emfisema adalah kerusakan pada parenkim paru tanpa


menimbulkan kerusakan pada asinus.
2.2.4 Gejala Klinis
 Penampilan pink puffer
 Penderita kurus
 Kulit kemerahan
 Pernapasan pursed lips breathing
 Hipoksemia
 Sesak nafas
2.2.5 Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi : normal, barrel chest, sela iga melebar
 Palpasi : fremitus melemah
 Perkusi : hipersonor, batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, dan
hepar terdorong kebawah.

16
 Auskultasi : mengi dan atau ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar
jauh.

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang

a. Faal paru
1) Spirometri (VEP1, KVP)12
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 < 80%, KV menurun,
KFR dan VR meningkat. VEP merupakan parameter yang
paling umum dipakai untuk menilai beratnya dan perjalanan
penyakit.
2) Uji bronkodilatator
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan
15-20 menit kemudian dilihat perubahan VEP111.
b. Darah rutin
Hemoglobin, hematokrit, leukosit11.
c. Radiologi
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosentral melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung ( jantung pendulum/ tear drop/ eye drop
appearance)
d. Pemeriksaan analisis gas darah
Terdapat hipoksemia dan hipokalemia akibat kerusakan kapiler
alveoli.
e. Pemeriksaan EKG
Untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai
hipertensi pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
f. Pemeriksaan enzimatik

17
Kadar ɑ-1 antitripsin rendah.

2.2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan emfisema secara umum meliputi :


1. Penatalaksanaan umum
Yang termasuk disini adalah :
a. Pendidikan terhadap keluarga dan penderita
Penderita dan keluarga harus mengetahui faktor-faktor yang dapat
mencetus eksaserbasi serta faktor yang bisa memperburuk
penyakit. Ini perlu peran aktif penderita untuk usaha pencegahan.
b. Menghindari rokok dan zat inhalasi
Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk
perjalanan penyakit. Penderita harus berhenti merokok. Disamping
itu zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi harus dihindari. Karena zat
itu menimbulkan eksaserbasi/memperburuk perjalanan penyakit.
c. Menghindari infeksi saluran nafas
Infeksi saluran nafas sedapat mungkin dihindari oleh karena dapat
menimbulkan suatu eksaserbasi akut penyakit.
2. Pemberian obat-obatan
a. Bronkodilator
1) Derivat Xantin
Sejak dulu obat golongan teofilin sering digunakan pada
emfisema paru. Obat ini menghambat enzim fosfodiesterase
sehingga cAMP yang bekerja sebagai bronkodilator dapat
dipertahankan pada kadar yang tinggi, contoh : teofilin dan
aminofilin.
2) Golongan beta-2 agonis
Obat ini menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor bet
berhubungan erat dengan adenilmsiklase yaitu substansi
penting yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan

18
bronkodilatasi. Pemberian dalam bentuk aerosol lebih efektif.
Obat yang termasuk golongan ini adalah terbutalin,
metaproterenol dan albuterol.
3) Antikolinergik
Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor kolinergik
sehingga menekan enzim guanilsiklase. Kemudian
pembentukan cAMP sehingga broncospasme menjadi
terhambat, contoh : ipatropium bromida yang diberikan dalam
bentuk inhalasi.
4) Kortikosteroid
Manfaat kortikosteroid pada pengobatan obstruksi jalan nafas
pada emfisema masih diperdebatkan. Pada sejumlah penderita
mungkin memberi perbaikan. Pengobatan dihentikan bila tidak
ada respon. Obat yang termasuk didalamnya adalah
dexametason, prednison, dan prednisolon.
b. Ekspektoran dan Mukolitik
Usaha untuk mengeluarkan dan mengurangi mukus
merupakan yang utama dan penting pada pengelolaan emfisema
paru. Ekspektoran dan mukolitik yang biasa dipakai adalah
bromheksin dan karboksi metil sistein diberikan pada keadaan
eksaserbasi. Asetil sistein selain bersifat mukolitik juga
mempunyai efek anti oksidan yang melindungi saluran napas dari
kerusakan yang disebabkan oleh oksidan.
c. Antibiotik
Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru
obstruksi terutama eksaserbasi akut. Bila infeksi berlanjut maka
perjalanan penyakit akan semakin memburuk. Penanganan infeksi
yang cepat dan tepat sangat perlu dalam penatalaksanaan penyakit.
Pemberian antibiotik dapat mengurangi lama dan beratnya
eksaserbasi. Antibiotik yang bermanfaat adalah golongan Penisilin,
Eritromisin dan Kotrimoksazol. Apabila antibiotik tidak

19
memberikan perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan
mikroorganisme.
3. Terapi oksigen
Pada penderita dengan hiposemia yaitu PaO2<55mmHg. Pemberian
oksigen konsentrasi rendah 1-3liter/menit secara terus menerus
memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, dan toleransi beban
kerja.
4. Fisioterapi
Tujuan umum dan rencana pengobatan kondisi emfisema ialah sebagai
berikut :
a. Membantu mengeluarkan sputum dan meningkatkan efi-siensi
batuk.
b. Mengatasi gangguan pernapasan pasien.
c. Memperbaiki gangguan pengembangan thoraks.
d. Meningkatkan kekuatan otot-otot pernapasan.
e. Mengurangi spasme/ketegangan otot-otot leher pasien

20
2.3 Atelektasis

2.3.1 Definisi

Atelektasis adalah keadaan ketika sebagian atau seluruh paru mengempis


dan tidak mengandung udara. Keadaan ini sering disebabkan oleh obstruksi
bronkus dan kompresi pada jaringan paru

2.3.2 Klasifikasi

1. Berdasarkan Faktor yang Menimbulkan


a. Atelektasis Neonatorum
Banyak terjadi pada bayi prematur, di mana pusat pernapasan dalam
otak tidak matur dan gerakan pernapasan masih terbatas. Faktor
pencetus termasuk komplikasi persalinan yang menyebabkan hipoksia
intrauter.
Pada autopsy, paru tampak kolaps, berwarna merah kebiruan, non
crepitant, lembek dan elastis. Yang khas paru ini tidak mampu
mengembang di dalam air. Secara histologis, alveoli mempunyai paru
bayi, dengan ruang alveoli kecil yang seragam, dilapisi dindingin septa
yang tebal yang tampak kisut. Epitel kubis yang prominem melaposi
rongga alveoli dan sering terdapat edapan protein granular bercampur
dengan debris amnion dan rongga udara. Atelektasi neonatorum pada
sistem, gawat napas, telah di bahas disebelumnya.
b. Atelektasis Acquired atau Didapat
Atelektasis pada dewasa, termasuk gangguan intratoraks yang
menyebabkan kolaps dari ruang udara, yang sebelumnya telah
berkembang. Jadi terbagi atas atelektasis absorpsi, kompresi, kontraksi
dan bercak. Istilah ini banya menyangkut mekanisme dasar yang
menyebabkan paru kolaps atau pada distribusi dari perubahan tersebut.
1) Altelektasis obstruksi
Terjadi jika saluran pernapasan sama sekali tersumbat
sehingga udara tidak dapat memasuki bagian distal parenkim.

21
Udara yang telah tersedia secara lambat laun memasuki aliran
darah, disertai dengan kolapsnya alveoli. Tergantung dari tingkat
obstruksi saluran udara, seluruh paru, merupakan lobus yang
lengkap, atau bercak segmen dapat terlibat. Penyebab tersering
dari kolaps absorbsi adalah abstruksi bronchus oleh suatu
sumbatan mucus. Hal ini sering terjadi pasca operasi. Asma
bronchial, bronkiektasis dan bronchitis akut serta kronis, dapat
pula menyebabkan obstruksi akut serta kronis. Dapat pula
menyebabkan obstruksi akut serta kronis, dapat pula
menyebabkan obstruksi karena sumbatan bahan mukopurulen.
Kadang-kadang obstruksi disebabkan oleh aspirasi benda asing
atau bekuan darah, terutama pada anak atau selama operasi
rongga mulut atau anestesi. Saluran udara dapat juga ter sumbat
oleh tumor, terutama karsinoma bronkogenik dengan pembesaran
kelenjar getah bening (seperti pada tuberculosis, contohnya) dan
oleh aneurisma pembuluh darah.
2) Atelektasis kompresi
Paling sering dihubungkan dengan penimbunan cairan
darah atau udara dalam kavum pleura, yang secara mekanis
menyebabkan kolaps paru di sebelahnya. Ini adalah kejadian yang
sering pada efusi pleura dari penyebab apa pun, namun mungkin
yang paling sering dihubungkan dengan hidrotoraks pada payah
jantung kongesti. Pneumotoraks dapat juga menyebabkan
atelektasis kompresi pada penderita dengan tirah baring dan
penderita denan asites, atelaktasis basal menyebabkan posisi
diafragma yang lebih tinggi.
3) Atelektasis kontraksi
Terjadi bila perubahan fibrosis pada paru dan pleura yang
menghambat ekspensi dan meningkatkan daya pegas pada
ekspirasi.
4) Atelektasis bercak

22
Berarti adanya daeah kecil-kecil dari kolaps paru, sepeti
terjadi pada obstruksi bronkioli yang multiple karena sekresi atau
eksudat pada kedua sindrom gawat napas orang dewasa dan bayi.
Pada sebagian kecil kasus, atelektasis terjadi karena patogenesis
tertentu yang menyertai jelas pada dinding dada.
Atelektasis didapat (acquired) dapat akut atau kronis. Biasanya timbul
karena sumbatan mucus yang relatif akut, yang menjadi manifest
karena mendadak timbul sesak napas. Memang peristiwa sesak napas
akut dalam 48 jam setelah satu prosedur pembedahan, hampir selalu
didiagnosis sebagai atelektasis.
2. Berdasarkan luasnya atelektasis
a. Massive atelektasis, mengenai satu paru
b. Satu lobus, percabangan main bronchus

2.3.3 Etiologi
Etiologi terbanyak dari atelektasis adalah terbagi dua yaitu intrinsik dan
ekstrinsik.
1. Etiologi intrinsik atelektasis adalah sebagai berikut :
a. Bronkus yang tersumbat, penyumbatan bisa berasal di
dalam bronkus seperti tumor bronkus, benda asing, cairan
sekresi yang massif. Dan penyumbatan bronkus akibat
panekanan dari luar bronkus seperti tumor sekitar bronkus,
kelenjar yang membesar.
b. Peradangan intraluminar airway menyebabkan penumpukan
sekret yang berupa mukus.
c. Tekanan ekstra pulmonary, biasanya diakibatkan oleh
pneumothorak, cairan pleura, peninggian diafragma,
herniasi alat perut ke dalam rongga thorak, tumor thorak
seperti tumor mediastinum.
d. Paralisis atau paresis gerakan pernapasan, akan
menyebabkan perkembangan paru yang tidak sempurna,

23
misalkan pada kasus poliomyelitis dan kelainan neurologis
lainnya. Gerak napas yang terganggu akan mempengaruhi
kelancaran pengeluaran sekret bronkus dan ini akan
menyebabkan penyumbatan bronkus yang berakhir dengan
memperberat keadaan atelektasis.
e. Hambatan gerak pernapasan oleh kelainan pleura atau
trauma thorak yang menahan rasa sakit, keadaan ini juga
akan menghambat pengeluaran sekret bronkus yang dapat
memperberat terjadinya atelektasis
2. Etiologi ekstrinsik atelektasis:
a. Pneumothoraks
b. Tumor
c. Pembesaran kelenjar getah bening.
d. Pembiusan (anestesia)/pembedahan
e. Tirah baring jangka panjang tanpa perubahan posisi
f. Pernafasan dangkal
g. Penyakit paru-paru

2.3.4 Gejala Klinis

Atelektasis dapat terjadi secara perlahan dan hanya menyebabkan sesak


nafas yang ringan. Penderita sindroma lobus medialis mungkin tidak
mengalami gejala sama sekali,walaupun banyak yang menderita batuk-batuk
pendek.
Jika disertai infeksi, bisa terjadi demam dan peningkatan denyut
jantung, kadang-kadang sampai terjadi syok (tekanan darah sangat rendah).
Gejala klinis sangat bervariasi, tergantung pada sebab dan luasnya atelektasis.
Pada umumnya atelektasis yang terjadi pada penyakit tuberculosis, limfoma,
neoplasma, asma dan penyakit yang disebabkan infeksi misalnya bronchitis,
bronkopmeumonia, yang jarang menimbulkan gejala klinis yang jelas, kecuali
jika ada obstruksi pada bronkus utama. Jika daerah atelektsis itu luas dan

24
terjadi sangat cepat akan terjadi dipsnue dengan pola pernapasan yang cepat
dan dangkal, takikardi dan sering sianosis, temperatur yang tinggi, dan jika
berlanjut akan menyebabkan penurunan kesadaran atau syok. Pada perkusi
redup dan mungkin pula normal bila terjadi emfisema kompensasi. Pada
atelektasis yang luas, atelektasis yang melibatkan lebih dari satu lobus, bising
nafas akan melemah atau sama sekali tidak terdengar, biasanya didapatkan
adanya perbedaan gerak dinding thorak, gerak sela iga dan diafragma. Pada
perkusi mungkin batas jantung dan mediastinum akan bergeser, letak
diafragma mungkin meninggi.

2.3.5 Diagnosis
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan klinis dan gambaran
radiologis yang jelas dari berkurangnya ukuran paru-paru (digambarkan
dengan adanya penarikan tulang iga, peninggian diafragma, penyimpangan
dari trakea, jantung dan mediastinum dan sela lobus kehilangan udara,di celah
interlobus menjadi bergeser atau tidak pada tempatnya, dan densitas pada
lobus menjadi lebih opaq, seperti pada bronkus, pembuluh darah kelenjar
limfe menjadi tidak beraturan. Dan pemeriksaan khusus misalnya dengan
bronkoskopi dan bronkografi, dapat dengan tepat menetukan cabang bronkus
yang tersumbat.

2.3.6 Pemeriksaan Penunjang


Foto radiografi dada digunakan untuk konfirmasi diagnosis. CT scan
digunakan untuk memperlihatkan lokasi obstruksi. Foto radigrafi dada dilakukan
dengan menggunakan proyeksi anterior-posterior dan lateral untuk mengetahui
lokasi dan distribusi atelektasis. Sebagai dasar gambaran radiologi pada
atelektasis adalah pengurangan volume paru baik lobaris,segmental, atau seluruh
paru, yang akibat berkurangnya aerasi sehingga memberi bayangan yang lebih
suram (densitas tinggi) dan pergeseran fissura interlobaris. Tanda-tanda tidak
langsung dari atelektasis adalah sebagian besar dari upaya kompensasi
pengurangan volume paru, yaitu : penarikan mediastinum kearah atelektasis,

25
elevasi hemidiafragma,sela iga menyempit, pergeseran hilus. Adanya "Siluet"
merupakan tanda memungkinkan adanya lobus atau segmen dari paru-paru yang
terlibat.

2.3.7 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah mengeluarkan dahak dari paru-paru dan
kembali mengembangkan jaringan paru yang terkena. Tindakan yang biasa
dilakukan:
1. Berbaring pada sisi paru-paru yang sehat sehingga paru-paru yang
terkena kembali bisa mengembang
2. Menghilangkan penyumbatan, baik melalui bronkoskopi maupun
prosedur lainnya
3. Latihan menarik nafas dalam (spirometri insentif)
4. Perkusi (menepuk-nepuk) dada untuk mengencerkan dahak
5. Postural drainase
6. Antibiotik diberikan untuk semua infeksi
7. Pengobatan tumor atau keadaan lainnya.
8. Pada kasus tertentu, jika infeksinya bersifat menetap atau berulang,
menyulitkan atau menyebabkan perdarahan, maka biasanya bagian paru-
paru yang terkena mungkin perlu diangkat.
Setelah penyumbatan dihilangkan, secara bertahap biasanya paru-paru
yang mengempis akan kembali mengembang, dengan atau tanpa
pembentukan jaringan parut ataupun kerusakan lainnya.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. PDPI. 2011. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK di Indonesia.


Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
2. PDPI. 2003. Emfisema, Penyakit yang Melemahkan Fungsi Paru-paru.
Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
3. Mubin, A. 2008. Emfisema. Dalam: Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam
Diagnosis dan Terapi. Jakarta : EGC.
4. Djojodibroto, R A. 2009. Emfisema. Dalam: Respirologi. Jakarta: EGC.
Hal: 116-118.
5. Wibisono, MJ, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010.Surabaya :
Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR.
6. Djojodibroto, Darmanto., 2009. Respirologi (Respiratory Medicine).
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
7. Harrison., 2008. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Yogyakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
8. Lukas., 2010. Atelektasis. Kesehatan Milik Semua : Pusat Informasi
Penyakit dan Kesehatan . Penyakit Paru dan Saluran Pernafasan.

27

Anda mungkin juga menyukai