Anda di halaman 1dari 15

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

BADAN LAYANAN UMUM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM
KABUPATEN KETAPANG
2019
BELL’S PALSY
1. Definisi Adalah facial paralisis karena disfungsi dari
fasialis perifer yang menyebabkan kelumpuhan
otot-otot wajah
2. Anamnesis  Rasa nyeri daerah belakang telinga
 Gangguan atau kehilangan pengecapan
 Riwayat pekerjaan dan aktifitas yang
dilakukan pada malam hari di ruangan
terbuka atau diluar ruangan
 Riwayat penyakit yang pernah dialami
misalnya infeksi saluran nafas, otitis dan
herpes
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan neurologis pada paresis N VII tipe
perifer gerakan volunter dari:
 Mengerutkan dahi
 Memejamkan mata
 Tersenyum
 Bersiul
 Mengencangkan kedua bibir
4. Kriteria Diagnosis Sesuai dengan kriteria anamnesis dan
pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Kerja Bell’s palsy
6. Diagnosis Banding  Tumor pada serebelopontin angle yang
menekan saraf fasialis
 Kerusakan saraf fasialis karena infeksi
virus (sindroma Ramsay Hunt)
 Infeksi telinga tengah atau sinus
mastoideus
 Patah tulang dasar tengkorak
7. Pemeriksaan Untuk mengeksklusi bells palsy dari differensial
Penunjang diagnosis dapat ditentukan dari riwayat
perjalanan penyakit, dan elektrofisiologi (dirujuk
ke RS rujukan) bila tidak ada perbaikan
kontraksi otot dalam waktu 3 bulan
8. Tata Laksana  Untuk megurangi nyeri, diberikan
modalitas panas pada sisi wajah yang
mengalami kelumpuhan. Pemanasan
superfisial dengan infra red atau
menggunakan diathermy sesuai indikasi
 Latihan re edukasi otot otot wajah, latihan
gerak volunter otot wajah dan masase otot
wajah diberikan setelah fase akut. Latihan
berupa mengangkat alis, mengerutkan
dahi, menutup mata dan mengangkat
sudut mulut, tersenyum, bersiul, meniup
dengan bantuan maupun tidak dengan
bantuan di depan kaca sebagai feedback
 Pemberian modalitas listrik untuk
mencegah atrofi dan memperkuat otot.
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu
menstimulasi otot untuk
mencegah/memperlambat terjadinya atrofi
sambil menunggu proses regenerasi dan
memperkuat otot yang masih lemah.
Faradisasi diberikan untuk menstimulasi
otot, redukasi, melaatih fungsi otot,
meningkatkan sirkulasi, meregangkan serta
mencegah perlengketan. Diberikan 2
minggu setelah onset.
9. Edukasi  Beri obat tetes mata / artifisial tears drop
3x sehari untuk melindungi kornea
 Biasakan menutup kelopak mata secara
pasif sebelum tidur supaya otot orbicularis
oculi terlatih secara pasif, dan melindungi
kornea saat tidur
 Kompres hangat daerah sisi wajah yang
sakit selama 20 menit bila telah melewati
stadium akut, 3hari
 Masase wajah yang lumpuh kearah atas
dengan menggunakan tangan dari sisi
wajah yang sehat dengan maksud peberian
latihan otot dengan melawan gravitasi
 Latihan tiup lilin, berkumur, makan
dengan mengunyah disisi yang lumpuh,
minum dengan sedotan, mengunyah
permen karet
10. Prognosis Dubia ad bonam
11. Penelaah Kritis SMF Rehabilitas Medik
12. Indikator Medis Kondisi pasien membaik
13. Kepustakaan 1. Sidharta P. Bells palsy. Dalam Tata
Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi
ke-2. Sastroasmoro S, Trihono PP, Pujiadi
A, Tridjaja B, Mulya GD. Dian Rakyat,
Jakarta;2007
2. Dillingham TR. Electrodiagnostic Medicine
II; Clinical Evaluation and Findings. In:
Braddom RL et al. Physical Medicine and
Rehabilitation 4th ed. Elsevier Sauders.
Philadelphia; 2011.p.209.
3. Committee of Physical Therapy Protocols
Office of Physical Therapy Affair Ministry of
Health – Physical Therapy Management
Facial Nerve Paralysis. Kuwait; 2007
4. Teixeria LJ. Physical therapy for Bells palsy
(idiopathic facial paralysis). The Cochrane
Collaboration Published by John Wiley,
Ltd.2008
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
BADAN LAYANAN UMUM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM
KABUPATEN KETAPANG
2019
LOW BACK PAIN
1. Definisi Adalah nyeri yang dirasakan di daerah punggung
bagian bawah yaitu diantara iga terbawah sampai
lipatan gluteal.
2. Anamnesis  Lokasi nyeri
 Karakteristik nyeri
 Onset, durasi, frekuensi
 Faktor pemicu
 Pekerjaan
 Aktifitas sehari hari
3. Pemeriksaan Fisik  Observasi postur, deformitas tulang
belakang, pola jalan
 Palpasi tulang dan otot, trigger point,
spasme, tonus
 Gerakan ROM spine,ekstremitas
 Test neurologi; miotom L1-S1, sensitifitas
sesuai dermatom L1-S1, Refleks,
keseimbangan dan koordinasi
 Low Back manuver; SLR, Kernig test,
genslen sign dan patric contra patric
4. Kriteria Diagnosis Sesuai dengan kriteria anamnesis dan
pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Kerja Low back pain
6. Diagnosis Banding  Lumbar strain or sprain
 Degenerative processes of disc and facet
 HNP
 Spinal stenosis
 Fraktur kompresi
 Spondilolistesis
 Spondilolisis
7. Pemeriksaan  Radiologik Foto polos vertebrae
Penunjang  Neurofisiologi diperlukan bila nyeri
menetap, untuk engetahui adanya
entrapment pada radiks setinggi apa sesuai
hasil dari EMG (EMG, Needle EMG dan H
refleks, Somatosensory Evoked Potensial)
8. Tata Laksana  Edukasi pasien, konseling fisik, okupasi,
vokasional dan psikososial
 Modalitas fisik; cold pack (48 jam pertama),
hot pack, ultrasound dan TENS
 Orthosis; LSO bila perlu
 Aktifitas fisik terkontrol, tirah baring lama
 Terapi latihan;
o Peregangan lumbal dan panggul
+ROM exercise (+heat/cold
modalities)
o Penguatan ekstensor trunkus +
panggul
o Latihan subluksasi lumbal
 Okupasi; body mechanics dan posture
training
 Manual medicine; manipulasi untuk
mengurangi spasme
9. Edukasi  Mengurangi berat badan bila BMI berlebih
 Menggunakan sepatu dengan sol yang
nyaman dan empuk
 Hindari pergerakan yang mendadak atau
tekanan berlebih
 Kurangi stress, tekanan pikiran dan
ansietas
 Olahraga seperti berjalan atau berenang
dapat menguatkan otot tanpa
menambahkan beban atau gerakan
mendadak
10. Prognosis Dubia
11. Penelaah Kritis SMF Rehabilitasi Medik
12. Indikator Medis Kondisi pasien membaik
13. Kepustakaan 1. Abd OE. Low Back prain. In: Frontera WR,
Silver JK, Rizzo TD (eds) Essentials of
Physical Medicine and Rehabilitation,
second edition, Saunders publishing,
Philadelphia; 2008:247-52
2. Barr KP, Harrast MA. Low Back Pain. In:
Braddom RL (ed), Physical Medicine and
Rehabilitation, 4th edition, Elsevier
Saunders Publishing, Philadelphia; 2011:
871-912
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
BADAN LAYANAN UMUM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM
KABUPATEN KETAPANG
2019
STROKE
1. Definisi Adalah kumpulan gejala kelainan neurologis yang
timbul mendadak akibat gangguan peredaran
darah otak yang disebabkan penyakit atau
kelainan yang juga merupakan faktor risiko.
Gejala tersebut dapat disertai atau tidak disertai
gangguan kesadaran dan manifestasi klinis
tergantung lokasi lesi neuroanatomis
2. Anamnesis Kelemahan anggota gerak merupakan kelainan
yang sering ditemukan pada penderita stroke.
Kelainan lain yang juga sering ditemukan adalah
gangguan bicara, menelan, afasia, gangguan
kognitif, hiangnya fungsi sensorik, dan gangguan
penglihatan.
Peningkatan tonus otot, kelemahan, depresi dan
nyeri merupakan gejala yang dapat timbul setelah
stroke
3. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan kesadaran dengan glasgow
Coma Scale
2. Evaluasi status mental dengan Mini Mentl
State evaluation
3. Pemeriksaan saraf cranial
4. Pemeriksaan sensibilitas superfisial dan
dalam, propioseptif, diskriminasi 2 titik
5. Pemeriksaan lingkup gerak sendi
6. Pemeriksaan kekuatan otot dan tonus otot
7. Pemeriksaan refleks fisiologis
8. Pemeriksaan refleks patologis
9. Pemeriksaan koordinasi motorik
10. Uji keseimbangan statis dan dinamis
11. Uji fungsi lokomotor
12. Uji fungsi komunikasi
13. Uji fungsi menelan
14. Uji fungsi berkemih
15. Uji fungsi defekasi
16. Uji kemampuan fungsional dan
perawatan diri
17. Uji pola jalan
4. Kriteria Diagnosis Sesuai dengan kriteria anamnesis dan
pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Kerja Stroke
6. Diagnosis Banding SOL
7. Pemeriksaan Sesuai dengan DPJP
Penunjang
8. Tata Laksana Rehabilitasi Stroke adalah pengelolaan Medis dan
Rehabilitasi komprehensif terhadap disabilitas
yang diakibatkan oleh stroke melalui pendekatan
neurorehabilitasi.
Program Rehabilitasi perlu disusun sesuai
dengan tingkat keparahan akibat serangan
stroke.
Rehabilitasi stroke fase akut dilaksanakan selama
pasien rawat inap. Pada kondisi medis dan
neurologis stabil/ subakut pasien bisa dilakukan
rehabilitasi awat inap maupun rawat jalan/ home
care. Sedangkan fase kronik/ lanjut rehabilitasi
dilakukan dengan rawat jalan. Program
rehabilitasi multidisiplin secara komprehensif
dimulai dari fase akut secara inter maupun intra
disiplin dengan spesialis lain.
 Latihan/ Exercise
Program latihan fisik bertujuan untuk
meningkatkan kapasitas ungsi dengan
penekanan pada peningkatan kemamuan
untuk melakukan aktifitas sehari hari
(ADL).
Instruksi mengenai tehnik tehnik
kompensasi dan edukasi yang dibutuhkan
psien diajarkan juga pada keluarga atau
caregiver penting untuk mempersiapkan
kembalinya pasien kerumah. Bukti bukti
menunjukkan bahwa terapi fisik
bermanfaat terhadap reorganisasi korteks
paska stroke, yang di iringi dengan
perbaikan kontrol motorik dan kapasitas
fungsinya.
 Disfagia
Penanganan disfagia neurogenk tergantung
pada fasenya, meliputi penggunaan selang
nasogastrik, modifikasi diet (misal: cairan
kental, makanan dihaluskan) dan terapi
menelan (misal: penggunaan tehnik
kompensasi seperti mengangkat dagu saat
menelan)
 Komunikasi
Gangguan komunikasi bisa berupa afasia
dan disartria. Tindakan rehabilitasi
diberikan sesuai dengan penilaian (uji
fungsi komunikasi) yang terdapat pada
pasien
 Kognisi
Stroke seringkali mempengaruhi
kemampuan kognisi pasien. Perubahan
dalam memori, perhatian, insight/
wawasan dan kemampuan penyelesaian
masalah sering ditemukan pada pasien
dengan stroke.
Penentuan tingkatan dari gangguan kognisi
dapat ditentukan dengan mini mental state.
Edukasi dan latihan keluarga merupakan
komponen penting dalam rehabilitasi
kognitif.
Pengenalan dan penatalaksanaan depresi
paska stroke merupakan hal yang sangat
penting, karena depresi dapat
menyebabkan penurunan kognitif paska
stroke
 Ortotis
Ortosis dapat membantu kegiatan
mobilisasi penderita stroke. Ortosis dapat
membantu kompensasi pada gangguan
dorsofleksi pergelangan kaki (drop foot),
mengontrol pergerakan kaki, spastisitas
dan stabilisasi sendi lutut (cenderung
hiperekstensi).
 Bantuan Ambulasi
Adanya hemiparesis pada penderita stroke
menyebabkan banyak penderita stroke
yang membutuhkan alat bantu untuk
ambulasi, seperti tongkat, tongkat kaki
empat/ hemi walker, atau pada beberapa
kasus dapat menggunakan walker
konvensional. Pada kondisi yang berat
kursi roda dibutuhkan untuk ambulasi
pasien.
 Subluksasi bahu
Subluksasi bahu umum terjadi pada kasus
hemiplegi pasca stroke/ Menopang lengan
dengan menggunakan penopang lengan/
sling arm dapat mencegah terjadinya
subluksasi. Pada nyeri bahu akibat
terjadinya subluksasi dapat diberikan
TENS dan Elektikal stimulation.
 Evaluasi untuk dpat bekerja kembali
Evaluasi dilakukan terhadap kemampuan
fungsional yang masih dimiliki dan
ditingkatkan kemampuannya untuk dapat
melakukan pekerjaan seperti sebelum
terkena stroke dengan atau tanpa alat
bantu
 Alat bantu adaptif
Alat bantu adaptif merupakan alat bantu
yang bentuk dan fungsinya disesuaikan
untuk meningkatkan kemampuan fungsi
seorang penderita stroke untuk mampu
melakukan aktifitas yang diperlukan
9. Edukasi  Secara umum kondisi pasien pasca stroke
seringkali mengalami masalah pada
kestabilan emosional, karena adanya
perubahan kemampuan dalam melakukan
aktivitas. Seorang pasien stroke selalu
merasa putus asa karena pasien merasa
kelumpuhan seakan tidak dapat dipulihkan
lagi. Hal ini dapat disikapi dengan selalu
melakukan pendekatan yang kooperatif dan
memberikan keyakinan kalau potensi
untuk sembuh selalu ada.
 Motivasi pasien mungkin akan meningkat
jika pasien dapat merasakan perubahan
yang positif setelah diberikan tindakan,
karena yang paling tahu tentang
peningkatan kemampuan gerak adalah
pasien sendiri. Untuk itu terapi yang
diberikan haruslah tepat.
 Kebanyakan pasien mengkondisikan
seluruh tubuhnya ikut lemah, padahal
seharusnya dengan kelemahan pada
anggota gerak disatu sisi tubuh, pasien
masih dapat beraktifitas dengan organ di
sisi tubuh yang sehat serta postur tubuh
yang baik.
10. Prognosis Dubia
11. Penelaah Kritis SMF Rehabilitasi Medik
12. Indikator Medis Kondisi pasien membaik
13. Kepustakaan 1. Pengembangan konsep Nasional
Penanggulangan Stroke, Depkes, 2001
2. Standar Operasional Prosedur, Depkes,
2002
3. Konsensus Nasional Rehabilitasi Stroke,
Perdosri, 2004
4. Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di
Indonesia, Perdossi, 1999
5. Bradstater ME. Important Practical Issues
in Rehabilitation of Stroke Patients. In:
Stroke Rehabilitation, Williams and Wilkins.
1987, p.90-101.
6. Sten J. Stroke. In: Frontera WR, editor.
Essenials of Physical Medicine and
Rehabilitation, 2nd ed. Saunders Elsevier.
Philadelphia; 2008 .p 887-91.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
BADAN LAYANAN UMUM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM
KABUPATEN KETAPANG
2019
HEART FAILURE
1. Definisi Adalah sutu keadaan dimana jantung tidak dapat
memompakan darah yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh
walaupun aliran darah balik cukup
2. Anamnesis 1. Sesak nafas bila melakukan aktivitas
2. Pasien mengeluh cepat lelah bila
melakukan pekerjaan dan berjalan kaki
3. Edema perifer, edema didapatkan pada
tungkai dan membaik bila beristirahat
4. Takikardi sering terjadi baik saat
melakukan aktivitas maupun sedang
beristirahat
3. Pemeriksaan Fisik Status generalisata : dilakukan pemeriksaan
tanda vital, tekanan darah, nadi, RR dan suhu
1. Inspeksi : penilaian keadaan umum saat
istirahat dan selama aktifitas jalan, apakah
pasien mengalami sesak nafas, posisi saat
beristirahat
2. Palpasi : palpasi jantung (ictus cordis), v
jugularis apakah terjadi peningkatan,
pembesaran hepar dan lien
(hepatosplenomegali)
3. Perkusi : didapatkan pembesaran pinggang
jantung
4. Auskultasi : penilaian bunyi jantung
(murmur, gallop)
4. Kriteria Diagnosis Sesuai dengan kriteria anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Heart failure
6. Diagnosis Banding  Noncardiogenic pulmonary edema
 Pneumonia
 COPD
 CAP
 ARDS
7. Pemeriksaan Sesuai DPJP
Penunjang
8. Tata Laksana Inpatient
 Mobilisasi sesuai kelas aktifitas fungsional
Functional Capacity 1 > 6 Mets (Metabolik
equivalent)
Functional Capacity 2 berkisar 5-6 mets
Functional Capacity 3 berkisar 3-4 mets
Functional Capacity 4 berkisar 1-2 mets
 Latihan ROM keempat ekstremitas secara
aktif tanpa tahanan Out patient fase initial
(selama 4-6 minggu)
 Awal latihan dilakukan uji jalan 6 menit
untuk menentukan metabolic equivalent
setelah rawat inap
 Latihan aerobik jalan dengan intensitas
rendah dengan target HR 50% HR maks
 Latihan ergocycle 50-60% HR max
 Latihan relaksasi
Tujuan menigkatkan kelas fungsional menurut
NYHA
9. Edukasi Outpatient fase progresif
 Latihan aerobik jalan ditingkatkan dengan
target HR 50% dari HR maks
 Latihan ergocycle 60-70% HR maks
 Latihanrelaksasi
Tujuan meningkatkan kelas fungsional
NYHA
Lama latihan 6-26 minggu
Outpatient fase pemeliharaan
 Latihan aerobik sesuai fase progresif
 Latihan ergocycle sesuai fase progresif
 Latihan relaksasi
Tujuan ketahanan aerobik dan toleransi
latihan dengan target HR 70% HR maks
Lama latihan 52 minggu
10. Prognosis Dubia
11. Penelaah Kritis SMF Rehabilitasi Medik
12. Indikator Medis Kondisi pasien membaik
13. Kepustakaan Guidelines for Cardiac Rehabilitation and
Secondary Prevention Program 3rd ed. American
association of Cardiovascular & Pulmonary
Rehabilitation. 1999: 19.21.45
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
BADAN LAYANAN UMUM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM
KABUPATEN KETAPANG
2019
OSTEOARTHRITIS GENU
1. Definisi Adalah suatu kelainan sendi kronis (jangka lama)
dimana terjadi proses pelemahan dan disintegrasi
dari tulang rawan sendi yang disertai dengan
pertumbuhan tulang dan tulang rawan baru pada
sendi. Kelainan ini merupakan suatu proses
degeneratif pada sendi yang dapat mengenai satu
atau lebih sendi.
2. Anamnesis  Nyeri merupakan keluhan utama tersering
dari pasien-pasien dengan OA yang
ditimbulkan oleh kelainan seperti tulang,
membran sinovial, kapsul fibrosa, dan
spasme otot-otot di sekeliling sendi.
 Nyeri awalnya tumpul kemudian semakin
berat, hilang timbul, dan diperberat oleh
aktivitas gerak sendi. Nyeri biasanya
menghilang dengan istirahat.
 Kekakuan pada kapsul sendi dapat
menyebabkan kontraktur (tertariknya)
sendi dan menyebabkan terbatasnya
gerakan. Penderita akan merasakan
gerakan sendi tidak licin yang disertai
bunyi gemeretak (krepitus). Sendi terasa
lebih kaku setelah istirahat. Perlahan-lahan
sendi akan bertambah kaku.
 Sendi akan terlihat membengkak karena
adanya penumpukan cairan di dalam
sendi. Pembengkakan ini terlihat lebih
menonjol karena pengecilan otot sekitarnya
yang diakibatkan karena otot menjadi
jarang digunakan
o Nyeri sendi di sekitar lutut selama
weight bearing dan berkurang dengan
istirahat, namun dengan
berkembangnya penyakit, rasa sakit
menetap sampai saat istirahat
o Nyeri tekan pada lutut sesuai
kompartemen yang terlibat
o Penurunan ROM karena kekakuan
sendi atau pembengkakan
o Sensasi locking karena berbagai
penyebab, termasuk debris dari
degenerasi tulang rawan atau
meniskus pada sendi, peningkatan
perlekatan permukaan artikular,
kelemahan otot (kuadrisep femoris)
peradangan jaringan
o Peradangan dalam berbagai derajat
3. Pemeriksaan Fisik Inspeksi :
 Hipertrofi tulang
 Varus deformitas dari keterlibatan
kompartemen medial
Palpasi
 Peningkatan suhu
 Efusi sendi
 Nyeri tekan sendi
ROM
 Nyeri saat fleksi lutut
 Penurunan fleksi sendi karena nyeri
 Krepitasi
Stabilitas sendi
 Ketidak stabilan mediolateral
Neurologis
 Umumnya normal, dengan pengecualian
penurunan kekuatan otot terutama daerah
kuadriseps, karena penurunan aktifitas
otot tersebut sebagai guarding sekunder
terhadap rasa nyeri
4. Kriteria Diagnosis Sesuai dengan kriteria anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Osteoarthritis genu
6. Diagnosis Banding Rheumatoid arthritis
7. Pemeriksaan Xray genu
Penunjang
8. Tata Laksana Pada fase akut:
 Protection, rest, ice, compression dan
elevation
Rehabilitasi:
 Latihan penguatan statis atau dinamis
dapat mempertahankan atau
meningkatkan kekuatan otot, sehingga
memperbaiki atau mencegah keainan
biomekanik dan kontribusinya terhadap
disfungsi dan degenerasi sendi
 Transcutaneus electrical nerve stimulation
(TENS) untuk meningkatkan ambang nyeri
 Tongkat atau walker dapat mengurangi
beban panggung atau lutut, sehingga
mengurangi rasa sakit dan mencegah jatuh
 Penggunaan knee brace pada osteoartritis
lutut unikompartemental untuk
meningkatkan fungsi
 Pengurangan berat badan secara non
farmakologik dengan retriksi intake kalori
dan lemak serta peningkatan aktifitas fisik
 Latihan aerobik dapat mengurangi rasa
sakit dan meningkatkan status fungsional
serta kapasitas pernafasan, meningkatkan
toleransi aktifitas, ambang rasa sakit dan
dapat memiliki efek posistif pada suasana
hati dan motivasi untuk berpartisipasi
dalam kegitan lainnya
9. Edukasi Latihan yang dilakukan dapat berupa gerakan
aerobik, namun tetap menghindari aktivitas yang
memberatkan sendi. Latihan secara teratur dapat
berguna dalam menurunkan berat badan yang
pada akhirnya membantu perbaikan OA,
mengingat obesitas merupakan salah satu faktor
risiko OA.
10. Prognosis Dubia
11. Penelaah Kritis SMF Rehabilitasi Medik
12. Indikator Medis Kondisi pasien membaik
13. Kepustakaan 1. Wilkins AN, Phillips EM. Knee
Osteoarthritis In: Frontera W, Silver J,
Rizzo T, Eds, Essential of Physical Medicine
and Rehabilitation 2nd Edition. Elsevier
Inc. Philadelphia, 2008. P 345-354
2. Stitik TP, Foye PM, Stiskal D, Nadler RR.
Osteoarthritis, In: DeLisa, etal (eds).
Physical Medicine & Rehabilitation
Principles and Practice 4th ed. Lippincott
William & Wilkins, Philadelphia: 2005.p
781-810

Anda mungkin juga menyukai