RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM KABUPATEN KETAPANG 2019 BELL’S PALSY 1. Definisi Adalah facial paralisis karena disfungsi dari fasialis perifer yang menyebabkan kelumpuhan otot-otot wajah 2. Anamnesis Rasa nyeri daerah belakang telinga Gangguan atau kehilangan pengecapan Riwayat pekerjaan dan aktifitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan terbuka atau diluar ruangan Riwayat penyakit yang pernah dialami misalnya infeksi saluran nafas, otitis dan herpes 3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan neurologis pada paresis N VII tipe perifer gerakan volunter dari: Mengerutkan dahi Memejamkan mata Tersenyum Bersiul Mengencangkan kedua bibir 4. Kriteria Diagnosis Sesuai dengan kriteria anamnesis dan pemeriksaan fisik 5. Diagnosis Kerja Bell’s palsy 6. Diagnosis Banding Tumor pada serebelopontin angle yang menekan saraf fasialis Kerusakan saraf fasialis karena infeksi virus (sindroma Ramsay Hunt) Infeksi telinga tengah atau sinus mastoideus Patah tulang dasar tengkorak 7. Pemeriksaan Untuk mengeksklusi bells palsy dari differensial Penunjang diagnosis dapat ditentukan dari riwayat perjalanan penyakit, dan elektrofisiologi (dirujuk ke RS rujukan) bila tidak ada perbaikan kontraksi otot dalam waktu 3 bulan 8. Tata Laksana Untuk megurangi nyeri, diberikan modalitas panas pada sisi wajah yang mengalami kelumpuhan. Pemanasan superfisial dengan infra red atau menggunakan diathermy sesuai indikasi Latihan re edukasi otot otot wajah, latihan gerak volunter otot wajah dan masase otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa mengangkat alis, mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul, meniup dengan bantuan maupun tidak dengan bantuan di depan kaca sebagai feedback Pemberian modalitas listrik untuk mencegah atrofi dan memperkuat otot. Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk mencegah/memperlambat terjadinya atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah. Faradisasi diberikan untuk menstimulasi otot, redukasi, melaatih fungsi otot, meningkatkan sirkulasi, meregangkan serta mencegah perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset. 9. Edukasi Beri obat tetes mata / artifisial tears drop 3x sehari untuk melindungi kornea Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur supaya otot orbicularis oculi terlatih secara pasif, dan melindungi kornea saat tidur Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit bila telah melewati stadium akut, 3hari Masase wajah yang lumpuh kearah atas dengan menggunakan tangan dari sisi wajah yang sehat dengan maksud peberian latihan otot dengan melawan gravitasi Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang lumpuh, minum dengan sedotan, mengunyah permen karet 10. Prognosis Dubia ad bonam 11. Penelaah Kritis SMF Rehabilitas Medik 12. Indikator Medis Kondisi pasien membaik 13. Kepustakaan 1. Sidharta P. Bells palsy. Dalam Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Sastroasmoro S, Trihono PP, Pujiadi A, Tridjaja B, Mulya GD. Dian Rakyat, Jakarta;2007 2. Dillingham TR. Electrodiagnostic Medicine II; Clinical Evaluation and Findings. In: Braddom RL et al. Physical Medicine and Rehabilitation 4th ed. Elsevier Sauders. Philadelphia; 2011.p.209. 3. Committee of Physical Therapy Protocols Office of Physical Therapy Affair Ministry of Health – Physical Therapy Management Facial Nerve Paralysis. Kuwait; 2007 4. Teixeria LJ. Physical therapy for Bells palsy (idiopathic facial paralysis). The Cochrane Collaboration Published by John Wiley, Ltd.2008 PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) BADAN LAYANAN UMUM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM KABUPATEN KETAPANG 2019 LOW BACK PAIN 1. Definisi Adalah nyeri yang dirasakan di daerah punggung bagian bawah yaitu diantara iga terbawah sampai lipatan gluteal. 2. Anamnesis Lokasi nyeri Karakteristik nyeri Onset, durasi, frekuensi Faktor pemicu Pekerjaan Aktifitas sehari hari 3. Pemeriksaan Fisik Observasi postur, deformitas tulang belakang, pola jalan Palpasi tulang dan otot, trigger point, spasme, tonus Gerakan ROM spine,ekstremitas Test neurologi; miotom L1-S1, sensitifitas sesuai dermatom L1-S1, Refleks, keseimbangan dan koordinasi Low Back manuver; SLR, Kernig test, genslen sign dan patric contra patric 4. Kriteria Diagnosis Sesuai dengan kriteria anamnesis dan pemeriksaan fisik 5. Diagnosis Kerja Low back pain 6. Diagnosis Banding Lumbar strain or sprain Degenerative processes of disc and facet HNP Spinal stenosis Fraktur kompresi Spondilolistesis Spondilolisis 7. Pemeriksaan Radiologik Foto polos vertebrae Penunjang Neurofisiologi diperlukan bila nyeri menetap, untuk engetahui adanya entrapment pada radiks setinggi apa sesuai hasil dari EMG (EMG, Needle EMG dan H refleks, Somatosensory Evoked Potensial) 8. Tata Laksana Edukasi pasien, konseling fisik, okupasi, vokasional dan psikososial Modalitas fisik; cold pack (48 jam pertama), hot pack, ultrasound dan TENS Orthosis; LSO bila perlu Aktifitas fisik terkontrol, tirah baring lama Terapi latihan; o Peregangan lumbal dan panggul +ROM exercise (+heat/cold modalities) o Penguatan ekstensor trunkus + panggul o Latihan subluksasi lumbal Okupasi; body mechanics dan posture training Manual medicine; manipulasi untuk mengurangi spasme 9. Edukasi Mengurangi berat badan bila BMI berlebih Menggunakan sepatu dengan sol yang nyaman dan empuk Hindari pergerakan yang mendadak atau tekanan berlebih Kurangi stress, tekanan pikiran dan ansietas Olahraga seperti berjalan atau berenang dapat menguatkan otot tanpa menambahkan beban atau gerakan mendadak 10. Prognosis Dubia 11. Penelaah Kritis SMF Rehabilitasi Medik 12. Indikator Medis Kondisi pasien membaik 13. Kepustakaan 1. Abd OE. Low Back prain. In: Frontera WR, Silver JK, Rizzo TD (eds) Essentials of Physical Medicine and Rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadelphia; 2008:247-52 2. Barr KP, Harrast MA. Low Back Pain. In: Braddom RL (ed), Physical Medicine and Rehabilitation, 4th edition, Elsevier Saunders Publishing, Philadelphia; 2011: 871-912 PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) BADAN LAYANAN UMUM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM KABUPATEN KETAPANG 2019 STROKE 1. Definisi Adalah kumpulan gejala kelainan neurologis yang timbul mendadak akibat gangguan peredaran darah otak yang disebabkan penyakit atau kelainan yang juga merupakan faktor risiko. Gejala tersebut dapat disertai atau tidak disertai gangguan kesadaran dan manifestasi klinis tergantung lokasi lesi neuroanatomis 2. Anamnesis Kelemahan anggota gerak merupakan kelainan yang sering ditemukan pada penderita stroke. Kelainan lain yang juga sering ditemukan adalah gangguan bicara, menelan, afasia, gangguan kognitif, hiangnya fungsi sensorik, dan gangguan penglihatan. Peningkatan tonus otot, kelemahan, depresi dan nyeri merupakan gejala yang dapat timbul setelah stroke 3. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan kesadaran dengan glasgow Coma Scale 2. Evaluasi status mental dengan Mini Mentl State evaluation 3. Pemeriksaan saraf cranial 4. Pemeriksaan sensibilitas superfisial dan dalam, propioseptif, diskriminasi 2 titik 5. Pemeriksaan lingkup gerak sendi 6. Pemeriksaan kekuatan otot dan tonus otot 7. Pemeriksaan refleks fisiologis 8. Pemeriksaan refleks patologis 9. Pemeriksaan koordinasi motorik 10. Uji keseimbangan statis dan dinamis 11. Uji fungsi lokomotor 12. Uji fungsi komunikasi 13. Uji fungsi menelan 14. Uji fungsi berkemih 15. Uji fungsi defekasi 16. Uji kemampuan fungsional dan perawatan diri 17. Uji pola jalan 4. Kriteria Diagnosis Sesuai dengan kriteria anamnesis dan pemeriksaan fisik 5. Diagnosis Kerja Stroke 6. Diagnosis Banding SOL 7. Pemeriksaan Sesuai dengan DPJP Penunjang 8. Tata Laksana Rehabilitasi Stroke adalah pengelolaan Medis dan Rehabilitasi komprehensif terhadap disabilitas yang diakibatkan oleh stroke melalui pendekatan neurorehabilitasi. Program Rehabilitasi perlu disusun sesuai dengan tingkat keparahan akibat serangan stroke. Rehabilitasi stroke fase akut dilaksanakan selama pasien rawat inap. Pada kondisi medis dan neurologis stabil/ subakut pasien bisa dilakukan rehabilitasi awat inap maupun rawat jalan/ home care. Sedangkan fase kronik/ lanjut rehabilitasi dilakukan dengan rawat jalan. Program rehabilitasi multidisiplin secara komprehensif dimulai dari fase akut secara inter maupun intra disiplin dengan spesialis lain. Latihan/ Exercise Program latihan fisik bertujuan untuk meningkatkan kapasitas ungsi dengan penekanan pada peningkatan kemamuan untuk melakukan aktifitas sehari hari (ADL). Instruksi mengenai tehnik tehnik kompensasi dan edukasi yang dibutuhkan psien diajarkan juga pada keluarga atau caregiver penting untuk mempersiapkan kembalinya pasien kerumah. Bukti bukti menunjukkan bahwa terapi fisik bermanfaat terhadap reorganisasi korteks paska stroke, yang di iringi dengan perbaikan kontrol motorik dan kapasitas fungsinya. Disfagia Penanganan disfagia neurogenk tergantung pada fasenya, meliputi penggunaan selang nasogastrik, modifikasi diet (misal: cairan kental, makanan dihaluskan) dan terapi menelan (misal: penggunaan tehnik kompensasi seperti mengangkat dagu saat menelan) Komunikasi Gangguan komunikasi bisa berupa afasia dan disartria. Tindakan rehabilitasi diberikan sesuai dengan penilaian (uji fungsi komunikasi) yang terdapat pada pasien Kognisi Stroke seringkali mempengaruhi kemampuan kognisi pasien. Perubahan dalam memori, perhatian, insight/ wawasan dan kemampuan penyelesaian masalah sering ditemukan pada pasien dengan stroke. Penentuan tingkatan dari gangguan kognisi dapat ditentukan dengan mini mental state. Edukasi dan latihan keluarga merupakan komponen penting dalam rehabilitasi kognitif. Pengenalan dan penatalaksanaan depresi paska stroke merupakan hal yang sangat penting, karena depresi dapat menyebabkan penurunan kognitif paska stroke Ortotis Ortosis dapat membantu kegiatan mobilisasi penderita stroke. Ortosis dapat membantu kompensasi pada gangguan dorsofleksi pergelangan kaki (drop foot), mengontrol pergerakan kaki, spastisitas dan stabilisasi sendi lutut (cenderung hiperekstensi). Bantuan Ambulasi Adanya hemiparesis pada penderita stroke menyebabkan banyak penderita stroke yang membutuhkan alat bantu untuk ambulasi, seperti tongkat, tongkat kaki empat/ hemi walker, atau pada beberapa kasus dapat menggunakan walker konvensional. Pada kondisi yang berat kursi roda dibutuhkan untuk ambulasi pasien. Subluksasi bahu Subluksasi bahu umum terjadi pada kasus hemiplegi pasca stroke/ Menopang lengan dengan menggunakan penopang lengan/ sling arm dapat mencegah terjadinya subluksasi. Pada nyeri bahu akibat terjadinya subluksasi dapat diberikan TENS dan Elektikal stimulation. Evaluasi untuk dpat bekerja kembali Evaluasi dilakukan terhadap kemampuan fungsional yang masih dimiliki dan ditingkatkan kemampuannya untuk dapat melakukan pekerjaan seperti sebelum terkena stroke dengan atau tanpa alat bantu Alat bantu adaptif Alat bantu adaptif merupakan alat bantu yang bentuk dan fungsinya disesuaikan untuk meningkatkan kemampuan fungsi seorang penderita stroke untuk mampu melakukan aktifitas yang diperlukan 9. Edukasi Secara umum kondisi pasien pasca stroke seringkali mengalami masalah pada kestabilan emosional, karena adanya perubahan kemampuan dalam melakukan aktivitas. Seorang pasien stroke selalu merasa putus asa karena pasien merasa kelumpuhan seakan tidak dapat dipulihkan lagi. Hal ini dapat disikapi dengan selalu melakukan pendekatan yang kooperatif dan memberikan keyakinan kalau potensi untuk sembuh selalu ada. Motivasi pasien mungkin akan meningkat jika pasien dapat merasakan perubahan yang positif setelah diberikan tindakan, karena yang paling tahu tentang peningkatan kemampuan gerak adalah pasien sendiri. Untuk itu terapi yang diberikan haruslah tepat. Kebanyakan pasien mengkondisikan seluruh tubuhnya ikut lemah, padahal seharusnya dengan kelemahan pada anggota gerak disatu sisi tubuh, pasien masih dapat beraktifitas dengan organ di sisi tubuh yang sehat serta postur tubuh yang baik. 10. Prognosis Dubia 11. Penelaah Kritis SMF Rehabilitasi Medik 12. Indikator Medis Kondisi pasien membaik 13. Kepustakaan 1. Pengembangan konsep Nasional Penanggulangan Stroke, Depkes, 2001 2. Standar Operasional Prosedur, Depkes, 2002 3. Konsensus Nasional Rehabilitasi Stroke, Perdosri, 2004 4. Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia, Perdossi, 1999 5. Bradstater ME. Important Practical Issues in Rehabilitation of Stroke Patients. In: Stroke Rehabilitation, Williams and Wilkins. 1987, p.90-101. 6. Sten J. Stroke. In: Frontera WR, editor. Essenials of Physical Medicine and Rehabilitation, 2nd ed. Saunders Elsevier. Philadelphia; 2008 .p 887-91. PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) BADAN LAYANAN UMUM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM KABUPATEN KETAPANG 2019 HEART FAILURE 1. Definisi Adalah sutu keadaan dimana jantung tidak dapat memompakan darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh walaupun aliran darah balik cukup 2. Anamnesis 1. Sesak nafas bila melakukan aktivitas 2. Pasien mengeluh cepat lelah bila melakukan pekerjaan dan berjalan kaki 3. Edema perifer, edema didapatkan pada tungkai dan membaik bila beristirahat 4. Takikardi sering terjadi baik saat melakukan aktivitas maupun sedang beristirahat 3. Pemeriksaan Fisik Status generalisata : dilakukan pemeriksaan tanda vital, tekanan darah, nadi, RR dan suhu 1. Inspeksi : penilaian keadaan umum saat istirahat dan selama aktifitas jalan, apakah pasien mengalami sesak nafas, posisi saat beristirahat 2. Palpasi : palpasi jantung (ictus cordis), v jugularis apakah terjadi peningkatan, pembesaran hepar dan lien (hepatosplenomegali) 3. Perkusi : didapatkan pembesaran pinggang jantung 4. Auskultasi : penilaian bunyi jantung (murmur, gallop) 4. Kriteria Diagnosis Sesuai dengan kriteria anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang 5. Diagnosis Kerja Heart failure 6. Diagnosis Banding Noncardiogenic pulmonary edema Pneumonia COPD CAP ARDS 7. Pemeriksaan Sesuai DPJP Penunjang 8. Tata Laksana Inpatient Mobilisasi sesuai kelas aktifitas fungsional Functional Capacity 1 > 6 Mets (Metabolik equivalent) Functional Capacity 2 berkisar 5-6 mets Functional Capacity 3 berkisar 3-4 mets Functional Capacity 4 berkisar 1-2 mets Latihan ROM keempat ekstremitas secara aktif tanpa tahanan Out patient fase initial (selama 4-6 minggu) Awal latihan dilakukan uji jalan 6 menit untuk menentukan metabolic equivalent setelah rawat inap Latihan aerobik jalan dengan intensitas rendah dengan target HR 50% HR maks Latihan ergocycle 50-60% HR max Latihan relaksasi Tujuan menigkatkan kelas fungsional menurut NYHA 9. Edukasi Outpatient fase progresif Latihan aerobik jalan ditingkatkan dengan target HR 50% dari HR maks Latihan ergocycle 60-70% HR maks Latihanrelaksasi Tujuan meningkatkan kelas fungsional NYHA Lama latihan 6-26 minggu Outpatient fase pemeliharaan Latihan aerobik sesuai fase progresif Latihan ergocycle sesuai fase progresif Latihan relaksasi Tujuan ketahanan aerobik dan toleransi latihan dengan target HR 70% HR maks Lama latihan 52 minggu 10. Prognosis Dubia 11. Penelaah Kritis SMF Rehabilitasi Medik 12. Indikator Medis Kondisi pasien membaik 13. Kepustakaan Guidelines for Cardiac Rehabilitation and Secondary Prevention Program 3rd ed. American association of Cardiovascular & Pulmonary Rehabilitation. 1999: 19.21.45 PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) BADAN LAYANAN UMUM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM KABUPATEN KETAPANG 2019 OSTEOARTHRITIS GENU 1. Definisi Adalah suatu kelainan sendi kronis (jangka lama) dimana terjadi proses pelemahan dan disintegrasi dari tulang rawan sendi yang disertai dengan pertumbuhan tulang dan tulang rawan baru pada sendi. Kelainan ini merupakan suatu proses degeneratif pada sendi yang dapat mengenai satu atau lebih sendi. 2. Anamnesis Nyeri merupakan keluhan utama tersering dari pasien-pasien dengan OA yang ditimbulkan oleh kelainan seperti tulang, membran sinovial, kapsul fibrosa, dan spasme otot-otot di sekeliling sendi. Nyeri awalnya tumpul kemudian semakin berat, hilang timbul, dan diperberat oleh aktivitas gerak sendi. Nyeri biasanya menghilang dengan istirahat. Kekakuan pada kapsul sendi dapat menyebabkan kontraktur (tertariknya) sendi dan menyebabkan terbatasnya gerakan. Penderita akan merasakan gerakan sendi tidak licin yang disertai bunyi gemeretak (krepitus). Sendi terasa lebih kaku setelah istirahat. Perlahan-lahan sendi akan bertambah kaku. Sendi akan terlihat membengkak karena adanya penumpukan cairan di dalam sendi. Pembengkakan ini terlihat lebih menonjol karena pengecilan otot sekitarnya yang diakibatkan karena otot menjadi jarang digunakan o Nyeri sendi di sekitar lutut selama weight bearing dan berkurang dengan istirahat, namun dengan berkembangnya penyakit, rasa sakit menetap sampai saat istirahat o Nyeri tekan pada lutut sesuai kompartemen yang terlibat o Penurunan ROM karena kekakuan sendi atau pembengkakan o Sensasi locking karena berbagai penyebab, termasuk debris dari degenerasi tulang rawan atau meniskus pada sendi, peningkatan perlekatan permukaan artikular, kelemahan otot (kuadrisep femoris) peradangan jaringan o Peradangan dalam berbagai derajat 3. Pemeriksaan Fisik Inspeksi : Hipertrofi tulang Varus deformitas dari keterlibatan kompartemen medial Palpasi Peningkatan suhu Efusi sendi Nyeri tekan sendi ROM Nyeri saat fleksi lutut Penurunan fleksi sendi karena nyeri Krepitasi Stabilitas sendi Ketidak stabilan mediolateral Neurologis Umumnya normal, dengan pengecualian penurunan kekuatan otot terutama daerah kuadriseps, karena penurunan aktifitas otot tersebut sebagai guarding sekunder terhadap rasa nyeri 4. Kriteria Diagnosis Sesuai dengan kriteria anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang 5. Diagnosis Kerja Osteoarthritis genu 6. Diagnosis Banding Rheumatoid arthritis 7. Pemeriksaan Xray genu Penunjang 8. Tata Laksana Pada fase akut: Protection, rest, ice, compression dan elevation Rehabilitasi: Latihan penguatan statis atau dinamis dapat mempertahankan atau meningkatkan kekuatan otot, sehingga memperbaiki atau mencegah keainan biomekanik dan kontribusinya terhadap disfungsi dan degenerasi sendi Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) untuk meningkatkan ambang nyeri Tongkat atau walker dapat mengurangi beban panggung atau lutut, sehingga mengurangi rasa sakit dan mencegah jatuh Penggunaan knee brace pada osteoartritis lutut unikompartemental untuk meningkatkan fungsi Pengurangan berat badan secara non farmakologik dengan retriksi intake kalori dan lemak serta peningkatan aktifitas fisik Latihan aerobik dapat mengurangi rasa sakit dan meningkatkan status fungsional serta kapasitas pernafasan, meningkatkan toleransi aktifitas, ambang rasa sakit dan dapat memiliki efek posistif pada suasana hati dan motivasi untuk berpartisipasi dalam kegitan lainnya 9. Edukasi Latihan yang dilakukan dapat berupa gerakan aerobik, namun tetap menghindari aktivitas yang memberatkan sendi. Latihan secara teratur dapat berguna dalam menurunkan berat badan yang pada akhirnya membantu perbaikan OA, mengingat obesitas merupakan salah satu faktor risiko OA. 10. Prognosis Dubia 11. Penelaah Kritis SMF Rehabilitasi Medik 12. Indikator Medis Kondisi pasien membaik 13. Kepustakaan 1. Wilkins AN, Phillips EM. Knee Osteoarthritis In: Frontera W, Silver J, Rizzo T, Eds, Essential of Physical Medicine and Rehabilitation 2nd Edition. Elsevier Inc. Philadelphia, 2008. P 345-354 2. Stitik TP, Foye PM, Stiskal D, Nadler RR. Osteoarthritis, In: DeLisa, etal (eds). Physical Medicine & Rehabilitation Principles and Practice 4th ed. Lippincott William & Wilkins, Philadelphia: 2005.p 781-810