PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan yang didasarkan ilmu dan kiat keperawatan yang berbentuk pelayanan bio-psiko-
sosio-spiritual yang komprehensif serta ditujukan kepada individu keluarga masyarakat baik sakit
maupun sehat yang mencangkup seluruh siklus kehidupan manusia. Pelayanan keperawatan dilakukan
dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan serta pemeliharaan
kesehatan dengan penekanan serta pemeliharaan kesehatan khususnya pada klien (Perry, Potter. 2005)
Filariasis atau yang dikenal dengan penyakit kaki gajah mulai ramai diberitakan sejak akhir tahun 2009,
akibat terjadinya kematian pada beberapa orang. Sebenarnya penyakit ini sudah mulai dikenal sejak
1500 tahun oleh masyarakat, dan mulai diselidik lebih mendalam ditahun 1800 untuk mengetahui
penyebaran, gejala serta upaya mengatasinya. Baru ditahun 1970, obat yang lebih tepat untuk
mengobati filarial ditemukan. Rubrik ini berusaha menjelaskan mengapa hal tersebut dapat terjadi dan
mengapa penanggulangan Penyakit Kaki Gajah harus segera dilaksanakan. Penyakit filaria yang
disebabkan oleh cacing khusus cukup banyak ditemui di negeri ini dan cacing yang paling ganas ialah
Wuchereria bancrofti, Brugia, malayi, Brugia timori, Penelitian di Indonesia menemukan bahwa cacing
jenis Brugia dan Wuchereria merupakan jenis terbanyak yang ditemukan di Indonesia, sementara cacing
jenis Brugia timori hanya didapatkan di Nusa Tenggara Timur, khususnya di pulau Timor. Di dunia,
penyakit ini diperkirakan mengenai sekitar 115 juta manusia, terutama di Asia Pasifik, Afrika, Amerika
Selatan dan kepulauan Karibia. Penularan cacing Filaria terjadi melalui nyamuk dengan periodisitas
subperiodik (kapan saja terdapat di darah tepi) ditemukan di Indonesia sebagian besar lainnya memiliki
periodisitas nokturnal dengan nyamuk Culex, nyamuk Aedes dan pada jenis nyamuk Anopheles. Nyamuk
Culex juga biasanya ditemukan di daerah-daerah urban, sedangkan Nyamuk Aedes dan Anopheles dapat
ditemukan di daerah-daerah rural. (riyanto,harun.2010)
Filariasis merupakan penyakit menular (penyakit kaki gajah) yang disebabkan oleh cacing filaria yang
ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.penyakit ini bersifat menahun, Dan bila tidak dapat pengobatan
daapt menimbulakan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, dan alat kelamin, baik
perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya
tergantung kepada orang lain sehinggamenjadi beban keluarga. Berdasarkan laporan dari hasil survey
pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 puskesmas tersebar di 231 kabupaten
sebagai lokasi endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang. Hasil survay laboratorium, melalui
pemeriksaan darah jari, rata-rata mikrofilaria rate (Mf Rate) 3,1%berarti sekitar 6 juta orang sudah
terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orang memepunyai resiko tinggi untuk ketularan karena
nyamuk penularannya tersebar luas. Untuk memberantas penyakit ini sampai tuntas.
(chairufatah,alex.2009)
WHO sudah menetapkan kesepakatan global (The Global Goal of Elimination of lympatic filariasis as a
public Health Problem by the year 2020). Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan misal
dengan DEC dan albendazol setahun sekali selama 5 tahun di lokasi yang endemis dan perawatan kasus
klinis baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitanya.
Indonesia akan melaksanakan eliminasi penyakit gajah secara berthap dimulai pada tahun 2002 di 5
kabupaten percontohan. Perluasan wilayah akan dilaksanakan 5 tahun.
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan penyakit filariasis adalah penyakit endemis yang apa tidak
ditangani secara cepat akan memperluas penyebaran dan penularannya kepada manusia. Oleh karena
itu kita perlu mengetahui apa itu filariasis, serta hal-hal yang terkait dengannya. Berdasarkan paparan
dari fakta inilah maka kami selaku penulis tertarik untuk membahas kasus mengenai penyakit filariasis
ini dan sebagai pemenuhan tugas pada blok sistem imun dan hematologi. (riyanto, harun.2005)
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang diangkat pada makalah ini adalah bagaimana pelaksanaan asuhan
keperawatan pada pasien dengan filariasis.
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami konsep dan melaksanakan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Penyakit Filariasis.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan penyakit filariasis.
b. Mahasiswa mampu menganalisa data sesuai dengan pengkajian pada pasien dengan penyakit
filariasis.
c. Mahasiswa mampu membuat diagnosa keperawatan pada pasien dengan penyakit filariasis.
d. Mahasiswa mampu membuat rencana Asuhan Keperawatan pada pasien dengan penyakit filariasis.
e. Mahasiswa mampu melakukan Implementasi Asuhan Keperawatan pada pasien dengan penyakit
filariasis.
f. Mahasiswa mampu mengevaluasi intervensi keperawatan yang telah dilakukan pada pasien dengan
penyakit filariasis.
D. MANFAAT
1. Bagi Mahasiswa
Sebagai referensi awal dalam melaksanakan asuhan keperawatan dengan kasus filariasis.
2. Bagi Akademik
a. Sebagai referensi tambahan dalam proses pembelajaran khususnya blok imun dan hematologi.
b. Sebagai motivasi awal untuk melakukan penelitian khususnya dalam sistem imun dan hematologi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
B. FILARIASIS
3. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh 3 spesies cacing filarial : Wuchereria Bancrofti, Brugia Malayi, Brugia
Timori. cacing ini menyerupai benang dan hidup dalam tubuh manusia terutama dalam kelenjar getah
bening dan darah. infeksi cacing ini menyerang jaringan viscera, parasit ini termasuk kedalam
superfamili Filaroidea, family onchorcercidae.
Cacing ini dapat hidup dalam kelenjar getah bening manusia selama 4 - 6 tahun dan dalam tubuh
manusia cacing dewasa betina menghasilkan jutaan anak cacing (microfilaria) yang beredar dalam darah
terutama malam hari.
Brugia malayi AsiaSelatan,Timur, dan Tenggara Nyamuk Saluran limfe Darah Limfangitis
Elefantiasis
Brugia timori
Di beberapa pulau di Indonesia Nyamuk
Saluran limfe
Darah
Limfangitis
Elefantiasis
Loa-loa
Afrika Tengah dan Barat
Chrysops spp.
Jaringan ikat
Darah
Calabar Sweeling
Onchorcerca valvulus Afrika,Yaman, Amerika Tengah dan Selatan Simulium spp. Kulit Kulit Dermatitis,
nodula,lesi mata
Perbedaan antara W.bancrofti dan B. malayi dapat dilihat pada tabel di bawah. Perbedaan B. timori
dengan B. malayi adalah warna selubung dari B. timori adalah biru, sedangkan B. malayi berwarna pink,
selain itu terdapat pada cephalic space dimana B. timori 3:1, sedangkan B. malayi 2:1.
5. Pathway / WOC
6. Manifestasi Klinis
Manifestasi gejala klinis filariasis disebabkan oleh cacing dewasa pada sistem limfatik dengan
konsekuensi limfangitis dan limfadenitis. Selain itu, juga oleh reaksi hipersensitivitas dengan gejala klinis
yang disebut occult filariasis.
Dalam proses perjalanan penyakit, filariasis bermula dengan limfangitis dan limfadenitis akut berulang
dan berakhir dengan terjadinya obstruksi menahun dari sistem limfatik. Perjalanan penyakit berbatas
kurang jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya, tetapi bila diurutkan dari masa inkubasi dapat
dibagi menjadi:
1. Masa prepaten
Merupakan masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya mikrofilaremia yang memerlukan
waktu kira-kira 37 bulan. Hanya sebagian tdari penduduk di daerah endemik yang menjadi
mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik inipun tidak semua kemudian menunjukkan gejala
klinis. Terlihat bahwa kelompok ini termasuk kelompok yang asimtomatik baik mikrofilaremik ataupun
amikrofilaremik.
2. Masa inkubasi
Merupakan masa antara masuknya larva infektif hingga munculnya gejala klinis yang biasanya berkisar
antara 8-16 bulan.
3. Gejala klinik akut
Gejala klinik akut menunjukkan limfadenitis dan limfangitis yang disertai panas dan malaise. Kelenjar
yang terkena biasanya unilateral. Penderita dengan gejala klinis akut dapat mikrofilaremik ataupun
amikrofilaremik.
4. Gejala menahun
Gejala menahun terjadi 10-15 tahun setelah serangan akut pertama. Mikrofilaria jarang ditemukan pada
stadium ini, sedangkan limfadenitis masih dapat terjadi. Gejala kronis ini menyebabkan terjadinya cacat
yang mengganggu aktivitas penderita serta membebani keluarganya. (Witagama,dedi.2009)
Filariasis bancrofti
Pada filariasis yang disebabkan Wuchereria bancrofti pembuluh limfe alat kelamin laki-laki sering
terkena disusul funikulitis, epididimitis dan orchitis. Limfadenitis inguinal atau aksila, sering bersama
dengan limfangitis retrograd yang umumnya sembuh sendiri dalam 3-15 hari. Serangan biasanya terjadi
beberapa kali dalam setahun.
Filariasis brugia
Pada filariasis yang disebabkan Brugia malayi dan Brugia timori limfadenitis paling sering mengenai
kelenjar inguinal, sering terjadi setelah bekerja keras. Kadang-kadang disertai limfangitis retrograd.
Pembuluh limfe menjadi keras dan nyeri, dan sering terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan kaki.
Penderita tidak mampu bekerja selama beberapa hari. Serangan dapat terjadi 12 kali dalam satu tahun
sampai beberapa kali perbulan. Kelenjar limfe yang terkena dapat menjadi abses, memecah,
membentuk ulkus dan meninggalkan parut yang khas, setelah 3 minggu hingga 3 bulan.
Filariasis bancrofti
Keadaan yang sering dijumpai adalah hidrokel. Di dalam cairan hidrokel dapat ditemukan mikrofilaria.
Limfedema dan elefantiasis terjadi di seluruh tungkai atas, tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah
dada, dengan ukuran pembesaran di tungkai dapat 3 kali dari ukuran asalnya. Chyluria dapat terjadi
tanpa keluhan, tetapi pada beberapa penderita menyebabkan penurunan berat badan dan kelelahan.
Elefantiasis terjadi di tungkai bawah di bawah lutut dan lengan bawah. Ukuran pembesaran ektremitas
umumnya tidak melebihi 2 kali ukuran asalnya. (Witagama,dedi.2009)
7. Komplikasi
a. cacat menetap pada bagian tubuh yang terkena
b. Elephantiasis tungkai
c. Limfedema : Infeksi Wuchereria mengenai kaki dan lengan, skrotum, penis,vulva vagina dan payudara,
d. Hidrokel (40-50% kasus), adenolimfangitis pda saluran limfe testis berulang:
pecahnya tunika vaginalisHidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antaralapisan parietalis
dan viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang berada di dalam rongga itu memang
adadan berada dalam keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya.
e. Kiluria : kencing seperti susu
karena bocornya atau pecahnya saluran limfe oleh cacing dewasa yang menyebabkan masuknya cairan
limfe ke dalam saluran kemih. (T.Pohan,Herdiman.2009)
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Diagnosis Klinik
Diagnosis klinik ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik. Diagnosis klinik penting dalam
menentukan angka kesakitan akut dan menahun (Acute and Chronic Disease Rate).
Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang mendukung dalam diagnosis filariasis adalah gejala dan
tanda limfadenitis retrograd, limfadenitis berulang dan gejala menahun.
b. Diagnosis Parasitologik
Diagnosis parasitologik ditegakkan dengan ditemukannya mikrofilaria pada pemeriksaan darah kapiler
jari pada malam hari. Pemeriksaan dapat dilakukan siang hari, 30 menit setelah diberi DEC 100 mg. Dari
mikrofilaria secara morfologis dapat ditentukan species cacing filaria.
c. Radiodiagnosis
Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar limfe inguinal penderita akan
memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak (filarial dance sign).
Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang dilabel dengan radioaktif
akan menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik, sekalipun pada penderita yang mikrofilaremia
asimtomatik.
d. Diagnosis Immunologi
Pada keadaan amikrofilaremia seperti pada keadaan prepaten, inkubasi, amikrofilaremia dengan gejala
menahun, occult filariasis, maka deteksi antibodi dan/atau antigen dengan cara immunodiagnosis
diharapkan dapat menunjang diagnosis.
Adanya antibodi tidak menunjukkan korelasi positif dengan mikrofilaremia, tidak membedakan infeksi
dini dan infeksi lama. Deteksi antigen merupakan deteksi metabolit, ekskresi dan sekresi parasit
tersebut, sehingga lebih mendekati diagnosis parasitologik. Gib 13, antibodi monoklonal terhadap O.
gibsoni menunjukkan korelasi yang cukup baik dengan mikrofilaremia W. bancrofti di Papua New
Guinea. (Marty,Aileen,M.2009)
9. Penatalaksanaan
Dietilkarbamasin sitrat (DEC) merupakan obat filariasis yang ampuh, baik untuk filariasis bancrofti
maupun brugia, bersifat makrofilarisidal dan mikrofilarisidal. Obat ini ampuh, aman dan murah, tidak
ada resistensi obat, tetapi memberikan reaksi samping sistemik dan lokal yang bersifat sementara.
Reaksi sistemik dengan atau tanpa demam, berupa sakit kepala, sakit pada berbagai bagian tubuh,
persendian, pusing, anoreksia, kelemahan, hematuria transien, alergi, muntah dan serangan asma.
Reaksi lokal dengan atau tanpa demam, berupa limfadenitis, abses, ulserasi, limfedema transien,
hidrokel, funikulitis dan epididimitis. Reaksi samping sistemik terjadi beberapa jam setelah dosis
pertama, hilang spontan setelah 2-5 hari dan lebih sering terjadi pada penderita mikrofilaremik. Reaksi
samping lokal terjadi beberapa hari setelah pemberian dosis pertama, hilang spontan setelah beberapa
hari sampai beberapa minggu dan sering ditemukan pada penderita dengan gejala klinis. Reaksi
sampingan ini dapat diatasi dengan obat simtomatik.(Harun,riyanto.2010)
Reaksi samping ditemukan lebih berat pada pengobatan filariasis brugia, sehingga dianjurkan untuk
menurunkan dosis harian sampai dicapai dosis total standar, atau diberikan tiap minggu atau tiap bulan.
Karena reaksi samping DEC sering menyebabkan penderita menghentikan pengobatan, maka diharapkan
dapat dikembangkan penggunaan obat lain (seperti Ivermectin) yang tidak/kurang memberi efek
samping sehingga lebih mudah diterima oleh penderita.
DEC tidak dapat dipakai untuk khemoprofilaksis. Pengobatan diberikan peroral sesudah makan malam,
diserap cepat, mencapai konsentrasi puncak dalam darah dalam 3 jam, dan diekskresi melalui air kemih.
DEC tidak diberikan pada anak berumur kurang dari 2 tahun, ibu hamil/menyusui, dan penderita sakit
berat atau dalam keadaan lemah.
Pada filariasis bancrofti, Dietilkarbamasin diberikan selama 12 hari sebanyak 6 mg/kg berat badan,
sedangkan untuk filariasis brugia diberikan 5 mg/kg berat badan selama 10 hari. Pada occult filariasis
dipakai dosis 5 mg/kg berat badan selama 23 minggu.
Pengobatan sangat baik hasilnya pada penderita dengan mikrofilaremia, gejala akut, limfedema, chyluria
dan elephantiasis dini. Sering diperlukan pengobatan lebih dari 1 kali untuk mendapatkan penyembuhan
sempurna. Elephantiasis dan hidrokel memerlukan penanganan ahli bedah.(harun,riyanto.2010)
Pengobatan nonfarmako pada filariasis adalah istirahat di tempat tidur, pengikatan di daerah
pembendungan untuk mengurangi edema, peninggian tungkai, perawatan kaki, pencucian dengan
sabun dan air, ekstremitas digerakkan secara teratur untuk melancarkan aliran, menjaga kebersihan
kuku, memakai alas kaki, mengobati luka kecil dengan krim antiseptik atau antibiotik, dekompresi
bedah, dan terapi nutrisi rendah lemak, tinggi protein dan asupan cairan tinggi
Dalam pelaksanaan pemberantasan dengan pengobatan menggunakan DEC ada beberapa cara yaitu
dosis standard, dosis bertahap dan dosis rendah. Dianjurkan Puskesmas menggunakan dosis rendah
yang mampu menurunkan mf rate sampai < 1%. Pelaksanaan melalui peran serta masyarakat dengan
prinsip dasa wisma. Penduduk dengan usia kurang dari 2 tahun, hamil, menyusui dan sakit berat ditunda
pengobatannya. DEC diberikan setelah makan dan dalam keadaan istirahat. 1. Dosis standar Dosis
tunggal 5 mg/kg berat badan; untuk filariasis bancrofti selama 15 hari, dan untuk filariasis brugia selama
10 hari. 2. Dosis bertahap Dosis tunggal 1 tablet untuk usia lebih dari 10 tahun, dan 1/2 tablet untuk usia
kurang dari 10 tahun; disusul 5 mg/kg berat badan pada hari 5-12 untuk filariasis bancrofti dan pada
hari 5-17 untuk filariasis brugia. 3. Dosis rendah Dosis tunggal 1 tablet untuk usia lebih dari 10 tahun,
1/2 tablet untuk usia < 10 tahun, seminggu sekali selama 40 minggu. (Marty,Aileen,M.2009) 10.
Pencegahan ` Pemberantasan filariasis ditujukan pada pemutusan rantai penularan, dengan cara
pengobatan untuk menurunkan morbiditas dan mengurangi transmisi oleh vektor. Pemberantasan
filariasis di Indonesia dilaksanakan oleh Puskesmas dengan tujuan: 1. Menurunkan Acute Disease Rate
(ADR) menjadi 0% 2. Menurunkan microfilarial (mf) rate menjadi < 5% 3. Mempertahankan Chronic
Disease Rate (CDR) Sasaran pemberantasan adalah daerah endemis lama yang potensial masih ada
penularan dan daerah endemis baru. Dengan prioritas sasaran ditujukan pada: 1. Daerah endemis lama
dengan mf rate > 5%
2. Daerah endemis lama dan baru yang merupakan daerah pembangunan, transmigrasi, pariwisata dan
perbatasan
Kegiatan pemberantasan meliputi pengobatan, pemberantasan nyamuk dan penyuluhan. Pengobatan
merupakan kegiatan utama dalam pemberantasan filariasis, yang akan menurunkan ADR dan mf rate.
Di suatu daerah yang diperkirakan endemik filariasis, perlu diselenggarakan suatu surveilans
epidemiologis. Pada daerah tersebut 10% dari penduduknya perlu diperiksa untuk menentukan Acute
Disease Rate dan mf rate. Pengobatan massal dilakukan bila ADR > 0%, dan mf rate > 5%; sedangkan
pengobatan selektif dilakukan bila ADR = 0%, dan mf rate < 5%. (Marty,Aileen,M.2009)
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami konsep dan melaksanakan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan
penyakit filarisis.
Filariasis merupakan salah satu penyakit yang termasuk endemis di Indonesia. Seiring dengan
terjadinya perubahan pola enyebaran penyakit di negara-negara sedang berkembang, penyakit
menular masih berperan sebagai penyebab utama kesakitan dan kematian. Salah satu penyakit
menular adalah penyakit kaki gajah (Filariasis). Penyakit ini merupakan penyakit menular
menahun yang disebabkan oleh cacing filaria. Di dalam tubuh manusia cacing filaria hidup di
saluran dan kelenjar getah bening(limfe), dapat menyebabkan gejala klinis akut dan gejala kronis.
Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk. Akibat yang ditimbulkan pada stadium lanjut
(kronis) dapat menimbulkan cacat menetap seumur hidupnya berupa pembesaran kaki (seperti
kaki gajah) dan pembesaran bagian bagian tubuh yang lain seperti lengan, kantong buah zakar,
payudara dan alat kelamin wanita
Pada tahun 1994 World Health Organization (WHO) telah menyatakan bahwa penyakit kaki
gajah dapat di eleminasi dan dilanjutkan pada tahun 1997 World Health Assembly membuat
resolusi tentang eliminasi penyakit kaki gajah dan pada tahun 2000 WHO telah menetapkan
komitmen global untuk mengeliminasi penyakit kaki gajah (The Global Goal of Elimination of
Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the year 2020).
Di Indonesia penyakit kaki gajah pertama kali ditemukan di Jakarta pada tahun 1889.
Berdasarkan rapid mapping kasus klinis kronis filariasis tahun 2000 wilayah Indonesia yang
menempati ranking tertinggi kejadian filariasis adalah Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Nusa
Tenggara Timur dengan jumlah kasus masing-masing 1908 dan 1706 kasus kronis. Menurut
Barodji dkk (1990 1995) Wilayah Kabupaten Flores Timur merupakan daerah endemis penyakit
kaki gajah yangdisebabkan oleh cacing Wuchereria bancrofti dan Brugia timori. Selanjutnya
oleh Partono dkk (1972) penyakit kaki gajah ditemukan di Sulawesi. Di Kalimantan oleh
Soedomo dkk (1980) Menyusul di Sumatra oleh Suzuki dkk (1981) Sedangkan penyebab
penyakit kaki gajah yang ditemukan di Sulawesi, Kalimantan dan Sumatra tersebut adalah dari
spesies Brugia malayi.
Selain ke tiga wilayah kepulauan tersebut diatas sebagaimana yang termuat didalam modul
eleminasi penyakit kaki gajah yang di terbitkan oleh Depkes. RI melalui Ditjen PPM &
PLDirektorat P2B2 Subdit Filariasis dan Schistosomiasis (2002) endemisitas kejadian filariasis
juga terdapat dibeberapa propinsi lainya di Indonesia, diantaranya Kabupaten Bekasi Propinsi
Jawa Barat, Kabupaten Pekalongan Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Lebak Tangerang Propinsi
Banten, Batam Propinsi Riau, Lampung Timur Propinsi Lampung, Mamuju Propinsi Sulawesi
Selatan, Donggala Propinsi Sulawesi Tengah, Kab. Pontianak Propinsi Kalimantan Barat,
Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah, dan Kota Baru Propinsi Kalimantan Selatan.
Menurut Harijani AM. (1981) ditemukan Brugia malayi di Kalimantan Selatan bersifat Zoonosis
karena dari penangkapan berbagai binatang, kucing, monyet daun mengandung Brugia malayi
stadium dewasa dan vektornyadapat menggigit baik manusia maupun hewan.