Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu pemikiran dan upaya untuk
menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani. Dengan
keselamatan dan kesehatan kerja maka para pihak diharapkan dapat melakukan
pekerjaan dengan aman dan nyaman. Pekerjaan dikatakan aman jika apapun yang
dilakukan oleh pekerja tersebut, resiko yang mungkin muncul dapat dihindari.
Pekerjaan dikatakan nyaman jika para pekerja yang bersangkutan dapat melakukan
pekerjaan dengan merasa nyaman dan betah, sehingga tidak mudah capek.
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu aspek perlindungan
tenaga kerja yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dengan
menerapkan teknologi pengendalian keselamatan dan kesehatan kerja, diharapkan
tenaga kerja akan mencapai ketahanan fisik, daya kerja, dan tingkat kesehatan yang
tinggi. Disamping itu keselamatan dan kesehatan kerja dapat diharapkan untuk
menciptakan kenyamanan kerja dan keselamatan kerja yang tinggi. Jadi, unsur
yang ada dalam kesehatan dan keselamatan kerja tidak terpaku pada faktor fisik,
tetapi juga mental, emosional dan psikologi.
Meskipun ketentuan mengenai kesehatan dan keselamatan kerja telah diatur
sedemikian rupa, tetapi dalam praktiknya tidak seperti yang diharapkan. Begitu
banyak faktor di lapangan yang mempengaruhi kesehatan dan keselamatan kerja
seperti faktor manusia, lingkungan dan psikologis. Masih banyak perusahaan yang
tidak memenuhi standar keselamatan dan kesehatan kerja. Begitu banyak berita
kecelakaan kerja yang dapat kita saksikan. Dalam makalah ini kemudian akan
dibahas mengenai permasalahan kesehatan dan keselamatan kerja serta bagaimana
mewujudkannya dalam keadaan yang nyata.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja


1. Menurut Mangkunegara, keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu
pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik
jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya, dan manusia
pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju masyarakat adil dan
makmur.
2. Menurut Sumamur (1981: 2), keselamatan kerja merupakan rangkaian
usaha untuk menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para
karyawan yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.
3. Menurut Simanjuntak (1994), keselamatan kerja adalah kondisi
keselamatan yang bebas dari resiko kecelakaan dan kerusakan dimana kita
bekerja yang mencakup tentang kondisi bangunan, kondisi mesin,
peralatan keselamatan, dan kondisi pekerja
4. Mathis dan Jackson, menyatakan bahwa keselamatan adalah merujuk pada
perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang terhadap cidera yang
terkait dengan pekerjaan. Kesehatan adalah merujuk pada kondisi umum
fisik, mental dan stabilitas emosi secara umum.
5. Menurut Ridley, John (1983), mengartikan kesehatan dan keselamatan
kerja adalah suatu kondisi dalam pekerjaan yang sehat dan aman baik itu
bagi pekerjaannya, perusahaan maupun bagi masyarakat dan lingkungan
sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut.
6. Jackson, menjelaskan bahwa kesehatan dan keselamatan kerja
menunjukkan kepada kondisi-kondisi fisiologis-fisikal dan psikologis
tenaga kerja yang diakibatkan oleh lingkungan kerja yang disediakan oleh
perusahaan.
7. Ditinjau dari sudut keilmuan, kesehatan dan keselamatan kerja adalah ilmu
pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan
terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja di tempat kerja. (Lalu
Husni, 2003: 138).

Setelah melihat berbagai pengertian di atas, pada intinya dapat ditarik


kesimpulan bahwa kesehatan dan keselamatan kerja adalah suatu usaha dan upaya
untuk menciptakan perindungan dan keamanan dari resiko kecelakaan dan bahaya
baik fisik, mental maupun emosional terhadap pekerja, perusahaan, masyarakat
dan lingkungan. Jadi berbicara mengenai kesehatan dan keselamatan kerja tidak
melulu membicarakan masalah keamanan fisik dari para pekerja, tetapi
menyangkut berbagai unsur dan pihak.

B. Urgensi Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan bagian yang sangat penting dalam
ketenagakerjaan. Oleh karena itu, dibuatlah berbagai ketentuan yang mengatur
tentang kesehatan dan keselamatan kerja. Berawal dari adanya Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Ketenagakerjaan yang dinyatakan
dalam Pasal 9 bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas
keselamatan, kesehatan dan pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai
dengan harkat, martabat, manusia, moral dan agama. Undang-Undang tersebut
kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 ini ada beberapa hal yang diatur
antara lain:
a. Ruang lingkup keselamatan kerja, adalah segala tempat kerja, baik di darat, di
dalam tanah, di permukaan air, di dalam air, maupun di udara yang berada
dalam wilayah hukum kekuasaan RI. (Pasal 2).
b. Syarat-syarat keselamatan kerja adalah untuk:
Mencegah dan mengurangi kecelakaan
Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran
Mencegah dan mengurangi peledakan
Memberi pertolongan pada kecelakaan
Memberi alat-alat perlindungan diri pada pekerja
Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai
Memelihara kesehatan dan ketertiban
dll (Pasal 3 dan 4).
c. Pengawasan Undang-Undang Keselamatan Kerja, direktur melakukan
pelaksanaan umum terhadap undang-undang ini, sedangkan para pegawai
pengawas dan ahli keselamatan kerja ditugaskan menjalankan pengawasan
langsung terhadap ditaatinya undang-undang ini dan membantu
pelaksanaannya. (Pasal 5).
d. Menteri Tenaga Kerja berwenang membentuk Panitia Pembinaan Kesehatan
dan Keselamatan Kerja untuk mengembangkan kerja sama, saling pengertian
dan partisipasi yang efektif dari pengusaha atau pengurus tenaga kerja untuk
melaksanakan tugas bersama dalam rangka keselamatan dan kesehatan kerja
untuk melancarkan produksi. (Pasal 10).
e. Setiap kecelakan kerja juga harus dilaporkan pada pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri Tenaga Kerja di dinas yang terkait. (Pasal 11 ayat 1).
(Sumamur. 1981: 29-34).
Dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 86 ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003
diatur pula bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas:
a. Keselamatan kerja
b. Moral dan kesusilaan
c. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
agama.
Selain diwujudkan dalam bentuk undang-undang, kesehatan dan keselamatan
kerja juga diatur dalam berbagai Peraturan Menteri. Diantaranya Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor Per-01/MEN/1979 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja.
Tujuan pelayanan kesehatan kerja adalah:
a. Memberikan bantuan kepada tenaga kerja dalam penyesuaian diri dengan
pekerjaanya.
b. Melindungi tenaga kerja terhadap setiap gangguan kesehatan yang timbul dari
pekerjaan atau lingkungan kerja.
c. Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental, dan kemapuan fisik tenaga
kerja.
d. Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi tenaga kerja
yang menderita sakit.
Selanjutnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-02/MEN/1979 tentang
Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja
meliputi: pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pemeriksaan kesehatan berkala,
pemeriksaan kesehatan khusus. Aturan yang lain diantaranya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagaan dan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor 03/MEN/1984 tentang Mekanisme Pengawasan
Ketenagakerjaan.
Arti penting dari kesehatan dan keselamatan kerja bagi perusahaan adalah
tujuan dan efisiensi perusahaan sendiri juga akan tercapai apabila semua pihak
melakukan pekerjaannya masing-masing dengan tenang dan tentram, tidak
khawatir akan ancaman yang mungkin menimpa mereka. Selain itu akan dapat
meningkatkan produksi dan produktivitas nasional. Setiap kecelakaan kerja yang
terjadi nantinya juga akan membawa kerugian bagi semua pihak. Kerugian tersebut
diantaranya menurut Slamet Saksono (1988: 102) adalah hilangnya jam kerja
selama terjadi kecelakaan, pengeluaran biaya perbaikan atau penggantian mesin
dan alat kerja serta pengeluaran biaya pengobatan bagi korban kecelakaan kerja.

Menurut Mangkunegara tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah


sebagai berikut:
a. Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik
secara fisik, sosial, dan psikologis.
b. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya dan
seefektif mungkin.
c. Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya.
d. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi
pegawai.
e. Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.
f. Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau
kondisi kerja.
g. Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja
Melihat urgensi mengenai pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja, maka
di setiap tempat kerja perlu adanya pihak-pihak yang melakukan kesehatan dan
keselamatan kerja. Pelaksananya dapat terdiri atas pimpinan atau pengurus
perusahaan secara bersama-sama dengan seluruh tenaga kerja serta petugas
kesehatan dan keselamatan kerja di tempat kerja yang bersangkutan. Petugas
tersebut adalah karyawan yang memang mempunyai keahlian di bidang
keselamatan dan kesehatan kerja, dan ditunjuk oleh pimpinan atau pengurus tempat
kerja/perusahaan
Pengusaha sendiri juga memiliki kewajiban dalam melaksanakan kesehatan
dan keselamatan kerja. Misalnya terhadap tenaga kerja yang baru, ia berkewajiban
menjelaskan tentang kondisi dan bahaya yang dapat timbul di tempat kerja, semua
alat pengaman diri yang harus dipakai saat bekerja, dan cara melakukan
pekerjaannya. Sedangkan untuk pekerja yang telah dipekerjakan, pengusaha wajib
memeriksa kesehatan fisik dan mental secara berkala, menyediakan secara cuma-
cuma alat pelindung diri, memasang gambar-gambar tanda bahaya di tempat kerja
dan melaporkan setiap kecelakaan kerja yang terjadi kepada Depnaker setempat.
Para pekerja sendiri berhak meminta kepada pimpinan perusahaan untuk
dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja, menyatakan
keberatan bila melakukan pekerjaan yang alat pelindung keselamatan dan
kesehatan kerjanya tidak layak. Tetapi pekerja juga memiliki kewajiban untuk
memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan dan menaati persyaratan
keselamatan dan kesehatan kerja yang berlaku. Setelah mengetahui urgensi
mengenai kesehatan dan keselamatan kerja, koordinasi dari pihak-pihak yang ada
di tempat kerja guna mewujudkan keadaan yang aman saat bekerja akan lebih
mudah terwujud.
C. Kasus Kecelakaan Kerja dan Solusi
1. Kecelakaan Kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja bertalian dengan apa yang disebut dengan
kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang berhubungan
dengan pelaksanaan kerja yang disebabkan karena faktor melakukan
pekerjaan. (Sumamur, 1981: 5). Kecelakaan kerja juga diartikan sebagai
kecelakaan yang terjadi di tempat kerja atau suatu kejadian yang tidak diduga
semula dan tidak dikehendaki yang mengacaukan proses aktivitas kerja. (Lalu
Husni, 2003: 142). Kecelakaan kerja ini disebabkan oleh beberapa faktor.
Faktor-faktor dalam hubungan pekerjaan yang dapat mendatangkan
kecelakaan ini disebut sebagai bahaya kerja. Bahaya kerja ini bersifat
potensial jika faktor-faktor tersebut belum mendatangkan bahaya. Jika
kecelakaan telah terjadi, maka disebut sebagai bahaya nyata. (Sumamur,
1981: 5).

Lalu Husni secara lebih jauh mengklasifikasikan ada empat faktor penyebab
kecelakaan kerja yaitu:
a. Faktor manusia, diantaranya kurangnya keterampilan atau pengetahuan tentang
industri dan kesalahan penempatan tenaga kerja.
b. Faktor material atau peralatannya, misalnya bahan yang seharusnya dibuat dari
besi dibuat dengan bahan lain yang lebih murah sehingga menyebabkan
kecelakaan kerja.
c. Faktor sumber bahaya, meliputi:
Perbuatan bahaya, misalnya metode kerja yang salah, sikap kerja yang
teledor serta tidak memakai alat pelindung diri.
Kondisi/keadaan bahaya, misalnya lingkungan kerja yang tidak aman serta
pekerjaan yang membahayakan.
d. Faktor lingkungan kerja yang tidak sehat, misalnya kurangnya cahaya,
ventilasi, pergantian udara yang tidak lancar dan suasana yang sumpek.
Dari beberapa faktor tersebut, Sumamur menyederhanakan faktor penyebab
kecelakaan kerja menjadi dua yaitu:
a. Tindak perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan (unsafe
human act atau human error).
b. Keadaan lingkungan yang tidak aman. (Sumamur, 1981: 9).
Diantara penyederhanaan tersebut, faktor manusia adalah
penyebab kecelakaan kerja di Indonesia yang paling dominan. Para
ahli belum dapat menemukan cara yang benar-benar jitu untuk
menghilangkan tidakan karyawan yang tidak aman tersebut.
Tindakan-tindakan tersebut diantaranya membuat peralatan
keselamatan dan keamanan tidak beroperasi dengan cara
memindahkan, mengubah setting, atau memasangi kembali, memakai
peralatan yang tidak aman atau menggunakannya secara tidak aman,
menggunakan prosedur yang tidak aman saat mengisi, menempatkan,
mencampur, dan mengkombinasikan material, berada pada posisi
tidak aman di bawah muatan yang tergantung, menaikkan lift dengan
cara yang tidak benar, pikiran kacau, tidak memperhatikan tanda
bahaya dan lain-lain.

Kecelakaan kerja tentunya akan membawa suatu akibat yang berupa kerugian.
Kerugian yang bersifat ekonomis misalnya kerusakan mesin, biaya perawatan dan
pengobatan korban, tunjangan kecelakaan, hilangnya waktu kerja, serta
menurunnya mutu produksi. Sedangkan kerugian yang bersifat non ekonomis
adalah penderitaan korban yang dapat berupa kematian, luka atau cidera dan cacat
fisik.
Sumamur (1981: 5) secara lebih rinci menyebut akibat dari kecelakan kerja
dengan 5K yaitu:
a. Kerusakan
b. Kekacauan organisasi
c. Keluhan dan kesedihan
d. Kelainan dan cacat
e. Kematian
BAB III
KONSEP TEORI
A. Konsep Dasar Keperawatan Maternitas
Keperawatan Maternitas merupakan persiapan persalinan serta kwalitas pelayanan
kesehatan yang dilakukan dan difokuskan kepada kebutuhan bio-fisik dan psikososial dari klien,
keluarga , dan bayi baru lahir. (May & Mahlmeister, 1990)
Keperawatan Maternitas merupakan sub system dari pelayanan kesehatan dimana
perawat berkolaborasi dengan keluarga dan lainnya untuk membantu beradaptasi pada masa
prenatal, intranatal, postnatal, dan masa interpartal. (Auvenshine & Enriquez, 1990)

B. Patient safety pada keperawatan maternitas


Keperawatan maternitas merupakan salah satu bentuk pelayanan profesional keperawatan
yang ditujukan kepada wanita pada masa usia subur (WUS) berkaitan dengan sistem reproduksi,
kehamilan, melahirkan, nifas, antara dua kehamilan dan bayi baru lahir sampai umur 40 hari,
beserta keluarganya, berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar dalam beradaptasi secara fisik
dan psikososial untuk mencapai kesejahteraan keluarga dengan menggunakan pendekatan proses
keperawatan.
Setiap individu mempunyai hak untuk lahir sehat maka setiap individu berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Keperawatan ibu menyakini bahwa
peristiwa kelahiran merupakan proses fisik dan psikis yang normal serta membutuhkan adaptasi
fisik dan psikososial dari idividu dan keluarga. Keluarga perlu didukung untuk memandang
kehamilannya sebagai pengalaman yang positif dan menyenangkan. Upaya mempertahankan
kesehatan ibu dan bayinya sangat membutuhkan partisipasi aktif dari keluarganya.

C. Peran Perawat Maternitas


Peran perawat dalam keperawatan maternitas menurut Reeder (1997):
a. Pelaksana
Perawat yang memberi asuhan keperawatan di tempat pelayanan kesehatan, diantaranya :
1. Meningkatkan kesehatan : Mengidentifikasi dan memaksimalkan
kemampuan klien yang spesifik dan unik untuk mencapai hasil maksimal dan
hidup yang berkwalitasatau kematian yang tenang
2. Mencegah penyakit : Sasaran objeknya mengurangi resiko sakit,
meningkatkankebiasaan gaya hidup sehat mempertahankan keadaan optimal.
3. Memulihkan kesehatan/rehabilitasi : fokusnya pada tingkat kesakitan individu
darideteksi dini perawat, rehabilitasi dan bimbingan saat pemulihan.
4. Memfasilitasi koping : Perawat lebih aktif dalam mempersiapkan kematian
dankehidupan yang nyaman sebisa mungki
5. Pendidik
Bertanggung jawab dalam hal pendidikan dan pengajaran ilmu keperawatan dan
tenagakesehatan lainnya, bagi klien yang dalam keadaan tidak tahu menjadi tahu,
tidak mau menjadi mau dan tidak mampu menjadi mampu
6. Konselor
Perawat sebagai seorang yang mempunyai keahlian dalam memberikan konseling
kepada klien,konselor bertanggungjawab memberikan layanan dan konseling.
7. Role Model bagi para ibu
Panutan bagi para ibu-ibu yang sedang menjalankan keperawatan maternitas.
8. Role model bagi teman sejawat
Panutan sesame perawat atau saling bekerja sama antar perawat.
9. Perumus masalah
Mengetahui masalah-masalah yang muncul pada pasien dan merumuskan masalah
tersebut.
10. Pembela / advocator
Suatu proses menjaga, melindungi, hadir di samping klien saat klien
membutuhkanbantuan, bertujuan untuk melindungi hak pasien dalam pelayanan kesehatan
melaluikemitraan partnership dan memperlakukan pasien sama sebagai mana ia
ingindiperlakukan Gates, 1994)
D. Tujuan keperawatan maternitas
1. Membantu klien dalam mengatasi masalah reproduksi dalam mempersiapkan diri untuk
kehamilan.
2. Memberi dukungan agar ibu hamil memandang kehamilan sebagai pengalaman yang
positif dan menyenangkan.
3. Membantu memberikan informasi yang adekuat untuk calon orang tua.
4. Memahami social budaya klien.
5. Membantu mendeteksi secara dini penyimpangan abnormal pada klien.

E. Model konsep keperawatan maternitas


1. Melaksanakan kelas untuk pendidikan prenatal orang tua.
2. Mengikut sertakan keluarga dalam perawatan kehamilan, persalinan dan nifas.
3. Mengikut sertakan keluarga dalam operasi.
4. Mengatur kamar bersalin seperti suasana rumah
5. Menjalankan system kunjungan tidak ketat
6. Pemulangan secepat mungkin.

F. Hal Hal Yang Perlu Diperhatikan Pada Keperawatan Maternitas


Untuk mengurangi tuntunan keluarga dan untuk pemikiran, perlu diperhatikan beberapa hal:
a) Ikut sertakan keluarga dalam pengambilan keputusan, yang artinya dokter dan perawat
memberikan informasi mengenai keadaan ibu yang sedang menjalani persalinan,
keadaan janin dan kemajuan proses persalinannya.
b) Informasikan risiko proses persalinan yang untuk beberapa keadaan cukup tinggi
akibatnnya.
c) Dokumentasi dalam catatan medik yang tepat dan kronologik, mencerminkan derajat
pelayanan, catatan mana dapat menjadi titik lemah bila tidak dicatat secara cermat,
sebaliknya dapat dimanfaatkan untuk menangkis tuduhan-tuduhan bila pencatatannya
baik.
d) Keterampilan dan sopan santun penolong perlu diperhatikan
e) Kenalilah watak pasien
f) Ambilah anamnesis dengan baik, lengkap dan tepat
g) Lakukan prosedur yang anda terampil mengerjakan.
h) Rujuklah bila terjadi kesulitan
i) Pengawasan yang selalu teratur
j) Hargailah pendapat klien untuk menerima atau menolak pengobatan yang akan
diberikan.

G. Insiden
Beberapa kesalahan yang dapat terjadi dalam menjalankan pelayanan obstretrik di antara
lain :
Di tinjau dari seringnya Di tinjau dari derajat Ditinjau dari segi
kejadian kesalahan pembiayaan (Seringnya
kejadian kesalahan)
Diagnosis yang Perlukaan pada bayi Diagnosis yang
kurang tepat Anestesi yang kurang kurang tepat
Kesalahan teknik tepat Kesalahan teknik
operasi Perlukaan jalan lahir operasi
Kesalahan obat Kesalahan petugas Perlukaan pada bayi
Perlukaan pada kesehatan Anestesi yang kurang
bayi Diagnosis yang tepat
Infeksi luka operasi kurang tepat Kesalahan obat
Anestasi yang Infeksi luka operasi
kurang tepat Kesalahan teknik
Benda asing yang
operasi
tertinggal
Klien kurang puas
Kesalahan petugas
terhadap pelayanan
kesehatan
Laporan Insiden
Insiden Maternal Insiden Neonatus Insiden organisasional
Kematian ibu Kematian neonates Dokumentasi
Komplikasi yang tidak APGAR score <7 Terlambat merespon
terdiagnosa dalam 5 menit panggilan darurat
Distosia Trauma Persalinan mendadak
Kehilangan darah > 1500ml Laserasi fetal dalam di rumah
Eklampsia Caesar Peralatan
Histerektomi/laparatomi Asidosis darah arteri Konflik manajemen
Komplikasi anastesi Hipotermi Infeksi nosokomial
Emboli pulmoner Anomali fetal
Ruptur uterus
Forcep yang tdk berhasil

Mengidentifikasi Kesalahan
Menurut The London Protocol, ada langkah struktur dan pendekatan sistematis yang
digunakan untuk mengidentifikasi kesalahan klinis atau insiden yang terjadi:
1. Identifikasi insiden dan mengambil keputusan untuk investigasi
2. memilih anggota tim investigasi
3. memperoleh data (dokumentasi bukti, wawancara, prosedur) dan poin fisik yang relevan
4. Mengelompokkan kronologi kejadian
5. mengidentifikasi masalah dalam asuhan keperawatan (tindakan yang tidak aman)
6. mengidentifikasi faktor yang berhubungan (pelatihan yang tidak adekuat, tidak ada
supervisi)
7. Plan of Action
H. Penerapan Pasien Safety Pada Keperawatan Maternitas

SKP1. Identifikasi pasien


Pada ibu hamil maka perlu dilakukan pengkajian dimana menyangkut tentang identitas ibu,
baik nama,usia, riwayat kesehatan, riwayat kehamilan dan kelahiran, obstetri serta kesiapan
ibu menerima kehamilan.
Pengkajian data yang akurat perlu dilakukan untuk menghidari kesalahan dalam
pendiagnosaan, salah identifikasi maupun pemberian tindakan. Selain dilakukannya
pengkajian data maka perlu dilakukan pemeriksaan fisik, untuk menentukan status kesehatan
ibu dalam menerima kehamilan. Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada ibu hamil
pemeriksaan fisik yang dilakukan seperti, pemeriksaan TTV, pemeriksaan tubuh head to toe,
pemeriksaan leopold, Tinggi fundus urteri (TFU), dan juga pemeriksaan laboratorium. Yang
dimana seluruh data ini dikumpulkan dalam satu format pengkajian. Format pengkajian
inilah yang digunakan untuk identifikasi pasien, dimana dalam tujuan SKP1. Yaitu
meningkatkan ketelitian dalam identifikasi pasien.
Maksud dan tujuan dari identifikasi klien adalah dilakukannya pengecekan dua kali supaya
tidak terjadi kesalahan dalam pelayanan dan pemberian pengobatan maupun terciptanya
kesesuaian penerimaan pengobatan kepada pasien dalam hal ini ibu hamil.
Pada ibu hamil dengan HIV/AIDS Identifikasi klien sangat penting digunakan dalam
prosedur pengambilan darah untuk pemeriksaan lab. Apabila tidak dilakukan identifikasi
dan penandaan secara akurat maka dapat mengakibatkan tertukarnya spesimen darah ibu
hamil tersebut dengan darah pasien lain, yang mengakibatkan terjadinya kesalahan diagnosis
pasien.
Salah satu program dalam meminimalisir terjadinya kesalahan identifikasi adalah dengan
menggunakan gelang identitas pasien yang dilengkapi dengan bar code, nama, nomor rekam
medis dan tanggal lahir. Pada ibu hami yang dirawat menggunakan gelang identitas warna
pink, dan dapat ditambahkan dengan gelang warna merah jika ibu memiliki alergi obat
tertentu, warna kuning untuk resiko jatuh. Gelang identitas digunakan untuk menghindari
kesalah dalam pemberian obat, salah pasien, pemberian produk darah, dan pengambilan
spesimen.
SKP.2 Komunikasi Efektif
Penggunaan komunikasi yang tepat dalam maternitas membantu kefektifan dalam dunia
keperawatan maternitas. Komunikasi efektif dapat dilakukan antara perawat ke dokter, perawat
ke perawat, perawat ke pasien maupun dokter ke pasien. Di dalam komunikasi efektif ini perawat
dapat menjelaskan tentang keadaan kesehatan si ibu dan janinnya kepada suami dan ibu
hamil. Komunikasi efektif antara perawat ataupun dokter ke pasien dalam hal ini ibu hamil
dapat membantu ibu sejak pra konsepsi untuk mengorganisasikan perasaannya, pikirannya untuk
menerima dan memelihara kehamilannya. Di dalam SKP2. Komunikasi efektif terdapat pula
komunikasi antara tim kesehatan melalui komunikasi SBAR.
Komunikasi SBAR dapat digunakan secara efektif untuk meningkatkan serah terima antara
shift atau antara staf di daerah klinis yang sama atau berbeda, melibatkan semua anggota tim
kesehatan untuk memberikan masukan ke dalam situasi pasien termasuk memberikan
rekomendasi.
Pada komunikasi SBAR perawat di harapkan dapat berkomunikasi efektif tentang analisa
keadaan pasien dan diagnosa keperawatan kepada tim kesehatan lain. Salah satu contoh
komunikasi SBAR misalnya pada ibu hamil dengan preklamsia yang perlu mendapatkan
perawatan. Di sana perawat membuat suatu bentuk pendokumentasian yang berisi:
S (Situation) : merupakan situasi pasien yang dilaporkan seperti :
- Data dari pasien/ ibu hamil, baik nama, usia, tanggal masuk dan lama
perawatan. Lalu nama dokter yang menangani serta nama perawat.
- Diagnosa medis pasien
- Apa yang terjadi dengan pasien, menyangkut diagnosa/ masalah
keperawatan
B (Background) : latar belakang klinis yang berhubungan dengan situasi pasien, seperti :
TTV, obat saat ini dan alergi, hasil lab sebelumnya untuk perbandingan,
riwayat medis, dan temuan klinis. Misalnya pada TD ibu hamil dengan
preklamsia > 160/110 mmhg, terjadinya penambahan berat badan serta
edema pada kaki, jari dan muka. Hal seperti ini perlu dilaporkan dan di
dokumentasikan dalam SBAR.
A (Assassment) : berisi hasil penilalian klinis klie, temuan klinis dari perawat serta analisa
dan pertimbangan perawat. Contohnya : hasil laboratorium terbaru,
keadaan klien saat ini serta keluhannya.
R (recomendation) : berisi rekomendasi yang diperlukan untuk memperbaiki masalah, solusi
yang ditawarkan perawat serta apa yang perawat perlukan dari dokter
untuk memperbaiki kondisi klien. Seperti rekomendasi pemberian obat
serta infus dekstrosa untuk menstabilkan tekanan darah.

Komunikasi efektif dapat digunakan dalam semua tahap keperawatan maternitas, mulai
dari tahap kehamilan, melahirkan, dan nifas. Paa tahap kehamilan komunikasi
efektif dilakukukan pada saat kunjungan kehamilan (trimester I,II, dan III, dimana perawat
ataupun dokter memberikan penjelasan mengenai perkembangan kehamilan ibu dan pendidikan
kesehatan mengenai perawatannya kehamilannya.
Sebelum memasuki masa intranatal, rumah sakit maupun petugas kesehatan melakukan
komunikasi efektif baik pada pasien maupun keluarga mengenai bagaimana proses persalinan
yang akan dilakukan,apakah pasien bisa melahirkan secara normal ataupun secara secsio
ceasaria, itu semua beradasarkan hasil dari identifikasi perawat ataupun dokter selama proses
kehamilan klien.
Pada masa intranatal perawat melakukan komunikasi kepada ibu hamil untuk melakukan
instruksi cara mengedan dengan benar apabila si ibu melahirkan normal. Pada postnatal
komunikasi efektif dilakukan ketika masa perawatan setelah melahirkan, perawat dapat
mengkomunikasikan kepada ibu hamil tentang bagaimana car teknik menyusui an perawatan
terhadap alat reproduksi ibu pasca melahirkan.

SKP3. Peningkatan keamanan obat


Peningkatan keamanan obat diperlukan pada selama masa konsepsi hingga nifas, saat
masa prenatal apabila seorang ibu terindikasi mengalami suatu penyakit misalnya demam tifus,
yang memerlukan obat obatan tertentu seperti antibiotik maka pihak petugas kesehatan harus
melakukan identifikasi seksama terhadap obat obatan yang di berikan, dengan memahami
prinsip 6 benar khususnya pada obat obatan LASA (Look Alike Sound Alike), karena pada ibu
hamil sensitiv terhadap obat obatan karena dapat mengganggu janinnya. Misalkan saja
penggunaan obat obatan yang diberikan kepada ibu hamil dengan demam tifus contohnya
Ampisilin dan Amoxcisilin. Kedua obat ini memliki nama yang terdengar sama dan digunakan
untuk kasus yang sama tetapi memiliki perbedaan pada penggunaan dosis dan efeknya. Pada
Ampicilin digunakan 1gr/oral untuk 4xsehari. Dan Amoxicilin 1gr/oral untuk 3x sehari selama
14 hari. Dimana apabila terjadi kesalahan pemberian dosis atau tertukarnya dosis kedua obat ini
dapat memberika efek negativ pada janin dan ibunya.
Pada proses kelahiran memerlukan pemberian injeksi (untuk meningkatkan konstraksi
uterus), disini perawat juag harus meningkatkan kewaspadaan 6 benar. Pada masa postnatal
diberikan obat obatan pengontrol nyeri pasca bedah contohnya Paracetamol 500mg/oral sesuai
yang dibutuhkan.

SKP4. Tepat lokasi, Tepat Prosedur, Tepat pasien operasi


Penerapan SKP 4 lebih ditekankan pada masa intranatal khususnya pada prosedur sectio
ceasaria. Pada prosedur ini perawat dan tim kesehatan yang bertuagas harus memastikan pasien
yang akan di operasi dan tindakan apa yang akan dilakukan. Hal hal yang perlu dilakukan
sebelum operasi sectio ceasaria :
Memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar;
Memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan sepert USG yang
relevan tersedia, diberi label dengan baik, dan dipampang;
Lakukan verifikasi ketersediaan setiap peralatan khusus dan/atau implant-implant yang
dibutuhkan.
Penilaian SKP 4. Pada keperawatan Maternitas
Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dapat dimengerti untuk identifikasi
lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses penandaan.
Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk memverifikasi saat
preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien dan semua dokumen serta peralatan
yang diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional.
Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur sebelum insisi / time-out
tepat sebelum dimulainya suatu prosedur / tindakan pembedahan.
Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung keseragaman proses untuk
memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien, termasuk prosedur medis.
Langkah dan Prosedur SKP.4 dalam Penerapannya Pada Keperawatan Maternitas Khususnya
Pada Sectio Ceasaria

Sesuai dengan sepuluh sasaran dalam safety surgery (WHO 2008). Yaitu:
Tim bedah akan melakukan operasi pada pasien dan posisi janin di dalam perut ibu.
Tim bedah akan menggunakan metode yang sudah di kenal untuk mencegah bahaya dari
pengaruh anastesi, pada saat melindungi pasien dari rasa nyeri.
Tim bedah mengetahui dan secara efektif mempersiapkan bantuan hidup dari adanya
bahaya kehilangan atau gangguan pernafasan pada saat proses kelahiran maupun sesudah
proses kelahiran.
Tim bedah mengetahui dan secara efektif mempersiapkan adanya resiko kehilangan
darah.
Tim bedah menghindari adanya reaksi alergi obat dan mengetahui adanya resiko alergi
obat pada pasien.
Tim bedah secara konsisten menggunakan metode yang sudah dikenal untuk
meminimalkan adanya resiko infeksi pada lokasi operasi.
Tim bedah mencegah terjadinya tertinggalnya sisa kasa dan instrument pada luka
pembedahan.
Tim bedah akan mengidentifikasi secara aman dan akurat, specimen (contoh bahan)
pembedahan.
Tim bedah akan berkomunikasi secara efektif dan bertukar informasi tentang hal-hal
penting mengenai pasien untuk melaksanakan pembedahan yang aman.
Rumah sakit dan system kesehatan masyarakat akan menetapkan pengawasan yang rutin
dari kapasitas , jumlah dan hasil pembedahan.
SKP 5. Pengurangan resiko infeksi
Pada masa pranatal, perawat memberikan pendidikan kesehatan untuk menjaga kesehatan
selama hamil, dengan mengonsumsi makanan yang bersih dan memenuhi pola diet sehat
berimbang, serta minum air dalam jumlah yang cukup.

Pada masa intranatal, petugas kesehatan harus memperhatikan universal precaution dan
alat-alat persalinan dan ruang bersalin terjaga kesterilannya

Pada masa postnatal, dengan menjaga kebersihan daerah sekitar vagina dan luka bekas
episiotomi (prosedur bedah untuk melebarkan jalan lahir ) karena dapat menjadi pintu masuk
kuman dan menimbulkan infeksi, terutama setelah buang air kecil dan buang air besar. Cuci
tangan dengan bersih sebelum menyentuh area genital dan anus, basuhlah dengan gerakan dari
arah depan ke belakang.

SKP 6. Pengurangan resiko pasien jatuh


Pada masa prenatal, perawat memberikan pendidikan kesehatan kepada klien untuk
menggunakan alas kaki yang nyaman dan tidak berhak tinggi, hindari menggunakan tangga, jaga
kebersihan lantai, berikan penerangan yang memadai, serta hubungi keluarga jika perlu bantuan.
Pada masa intranatal, perlu ditingkatkan keamanan tempat tidur serta posisi ibu saat
melahirkan dengan tujuan supaya menurunkan resiko jatuh, dan perlu diperhatikan posisi ibu dan
bayi setelah proses melahirkan agar bayi tidak jatuh. Pada bayi yang lahir prematur perlu
diperhatikan pemakaian tabung inkubator, petugas kesehatan perlu meningkatkan keamanan
seperti memperhatikan jarak antara bayi dan lampu serta berapa lama anak berada dalam
inkubator. Pada masa postnatal, ajarkan keluarga untuk membantu klien dalam melakukan
aktivitas karena klien dalam keadaan lemah serta istirahat yang cukup.
Contoh Kebijakan tentang Standar Pelayanan Maternitas-Keselamatan Pasien di Rumah
Sakit :

1. Identifikasi Pasien yang jelas dan Selalu dipastikan identitasnya sebelum mendapatkan
tindakan
2. Pasien maupun staff berhak untuk dilindungi dari infeksi dan kontaminasi yang diatur
oleh Kebijakan Kontrol Infeksi
3. Selama Pasien dikondisikan atau tidak ada intervensi keperawatan, bed selalu dijaga
dengan posisi rendah dan terkunci, hanya dinaikkan bila akan melakukan intervensi,
tujuannya adalah untuk :
Pencegahan jatuh intrapartum, misalnya pada pasien dengan Epidural Infussion yang
butuh bed-rest
untuk mencegah jatuh setelah mobilisasi dari tempat operasi

4. Staf Perawat harus menjaga keselamatan pasien pada saat menggunakan peralatan
elektrik
5. Perhatikan label atau daftar alergi pasien
6. Perawat wajib ikut serta memperhatikan, merawat dan memelihara Peralatan Medis
Ruangan baik emergency maupun tidak yang dievaluasi setiap hari
7. Penilaian keselamatan pasien dapat dilakukan oleh setiap personil/praktisi kesehatan
8. Medikasi terhadap pasien diikuti oleh intervensi keperawatan dan Standar Operasionel
Prosedur yang ada
9. Kapabilitas untuk memulai operasi Caesar adalah selama 30 menit setelah pengambilan
keputusan dan Inform Consent
H. IDENTIFIKASI BAHAYA POTENSIAL (HAZARD) DI RUANGAN NIFAS
1. FISIK
Bising : bila lokasi bangsal berdekatan dengan laundry,incenarator dan genset.
Getararan : bila lokasi berdekatan dengan laundry,incenarator dan genset.
Radiasi : lokasi bangsal berdekatan dengan pusat radiologi.

2. Kimia
Desinfektan : alcohol, h2o2, cairan betahdine dan lain-lain
Cytotoxics : zat atau bahan yang bersifat racun dan merusak sel.
Solvents : Cairan pembersih lantai, bisa terdapat di semua area nifas yang berisiko
: cleaning service, perawat dan petugas lainya

3. Biologic
Virus : hiv, hepatitis, rubella dan herpes.
Bakteri : tbc , pneumonia dan lain-lain
Jamur : tinea, dan dermatologis lain.
4. Ergonomic
Pekerjaan yang di lakukan secara manual
Postur yang salah dalam melakukan pekerjaan.
Pekerjaan yang berulang.
5. Psikososial.
Sering kontak dengan pasien, kerja bergilir, kerja berlebih, dan ancaman secara
fisik.
6. Fisiologis
Kerapian meja kerja tidaknteratur dengan rapi, dan ruangan yang terlalu sempit.

Anda mungkin juga menyukai