PENDAHULUAN
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu pemikiran dan upaya untuk
menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani. Dengan
keselamatan dan kesehatan kerja maka para pihak diharapkan dapat melakukan
pekerjaan dengan aman dan nyaman. Pekerjaan dikatakan aman jika apapun yang
dilakukan oleh pekerja tersebut, resiko yang mungkin muncul dapat dihindari.
Pekerjaan dikatakan nyaman jika para pekerja yang bersangkutan dapat melakukan
pekerjaan dengan merasa nyaman dan betah, sehingga tidak mudah capek.
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu aspek perlindungan
tenaga kerja yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dengan
menerapkan teknologi pengendalian keselamatan dan kesehatan kerja, diharapkan
tenaga kerja akan mencapai ketahanan fisik, daya kerja, dan tingkat kesehatan yang
tinggi. Disamping itu keselamatan dan kesehatan kerja dapat diharapkan untuk
menciptakan kenyamanan kerja dan keselamatan kerja yang tinggi. Jadi, unsur
yang ada dalam kesehatan dan keselamatan kerja tidak terpaku pada faktor fisik,
tetapi juga mental, emosional dan psikologi.
Meskipun ketentuan mengenai kesehatan dan keselamatan kerja telah diatur
sedemikian rupa, tetapi dalam praktiknya tidak seperti yang diharapkan. Begitu
banyak faktor di lapangan yang mempengaruhi kesehatan dan keselamatan kerja
seperti faktor manusia, lingkungan dan psikologis. Masih banyak perusahaan yang
tidak memenuhi standar keselamatan dan kesehatan kerja. Begitu banyak berita
kecelakaan kerja yang dapat kita saksikan. Dalam makalah ini kemudian akan
dibahas mengenai permasalahan kesehatan dan keselamatan kerja serta bagaimana
mewujudkannya dalam keadaan yang nyata.
BAB II
PEMBAHASAN
Lalu Husni secara lebih jauh mengklasifikasikan ada empat faktor penyebab
kecelakaan kerja yaitu:
a. Faktor manusia, diantaranya kurangnya keterampilan atau pengetahuan tentang
industri dan kesalahan penempatan tenaga kerja.
b. Faktor material atau peralatannya, misalnya bahan yang seharusnya dibuat dari
besi dibuat dengan bahan lain yang lebih murah sehingga menyebabkan
kecelakaan kerja.
c. Faktor sumber bahaya, meliputi:
Perbuatan bahaya, misalnya metode kerja yang salah, sikap kerja yang
teledor serta tidak memakai alat pelindung diri.
Kondisi/keadaan bahaya, misalnya lingkungan kerja yang tidak aman serta
pekerjaan yang membahayakan.
d. Faktor lingkungan kerja yang tidak sehat, misalnya kurangnya cahaya,
ventilasi, pergantian udara yang tidak lancar dan suasana yang sumpek.
Dari beberapa faktor tersebut, Sumamur menyederhanakan faktor penyebab
kecelakaan kerja menjadi dua yaitu:
a. Tindak perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan (unsafe
human act atau human error).
b. Keadaan lingkungan yang tidak aman. (Sumamur, 1981: 9).
Diantara penyederhanaan tersebut, faktor manusia adalah
penyebab kecelakaan kerja di Indonesia yang paling dominan. Para
ahli belum dapat menemukan cara yang benar-benar jitu untuk
menghilangkan tidakan karyawan yang tidak aman tersebut.
Tindakan-tindakan tersebut diantaranya membuat peralatan
keselamatan dan keamanan tidak beroperasi dengan cara
memindahkan, mengubah setting, atau memasangi kembali, memakai
peralatan yang tidak aman atau menggunakannya secara tidak aman,
menggunakan prosedur yang tidak aman saat mengisi, menempatkan,
mencampur, dan mengkombinasikan material, berada pada posisi
tidak aman di bawah muatan yang tergantung, menaikkan lift dengan
cara yang tidak benar, pikiran kacau, tidak memperhatikan tanda
bahaya dan lain-lain.
Kecelakaan kerja tentunya akan membawa suatu akibat yang berupa kerugian.
Kerugian yang bersifat ekonomis misalnya kerusakan mesin, biaya perawatan dan
pengobatan korban, tunjangan kecelakaan, hilangnya waktu kerja, serta
menurunnya mutu produksi. Sedangkan kerugian yang bersifat non ekonomis
adalah penderitaan korban yang dapat berupa kematian, luka atau cidera dan cacat
fisik.
Sumamur (1981: 5) secara lebih rinci menyebut akibat dari kecelakan kerja
dengan 5K yaitu:
a. Kerusakan
b. Kekacauan organisasi
c. Keluhan dan kesedihan
d. Kelainan dan cacat
e. Kematian
BAB III
KONSEP TEORI
A. Konsep Dasar Keperawatan Maternitas
Keperawatan Maternitas merupakan persiapan persalinan serta kwalitas pelayanan
kesehatan yang dilakukan dan difokuskan kepada kebutuhan bio-fisik dan psikososial dari klien,
keluarga , dan bayi baru lahir. (May & Mahlmeister, 1990)
Keperawatan Maternitas merupakan sub system dari pelayanan kesehatan dimana
perawat berkolaborasi dengan keluarga dan lainnya untuk membantu beradaptasi pada masa
prenatal, intranatal, postnatal, dan masa interpartal. (Auvenshine & Enriquez, 1990)
G. Insiden
Beberapa kesalahan yang dapat terjadi dalam menjalankan pelayanan obstretrik di antara
lain :
Di tinjau dari seringnya Di tinjau dari derajat Ditinjau dari segi
kejadian kesalahan pembiayaan (Seringnya
kejadian kesalahan)
Diagnosis yang Perlukaan pada bayi Diagnosis yang
kurang tepat Anestesi yang kurang kurang tepat
Kesalahan teknik tepat Kesalahan teknik
operasi Perlukaan jalan lahir operasi
Kesalahan obat Kesalahan petugas Perlukaan pada bayi
Perlukaan pada kesehatan Anestesi yang kurang
bayi Diagnosis yang tepat
Infeksi luka operasi kurang tepat Kesalahan obat
Anestasi yang Infeksi luka operasi
kurang tepat Kesalahan teknik
Benda asing yang
operasi
tertinggal
Klien kurang puas
Kesalahan petugas
terhadap pelayanan
kesehatan
Laporan Insiden
Insiden Maternal Insiden Neonatus Insiden organisasional
Kematian ibu Kematian neonates Dokumentasi
Komplikasi yang tidak APGAR score <7 Terlambat merespon
terdiagnosa dalam 5 menit panggilan darurat
Distosia Trauma Persalinan mendadak
Kehilangan darah > 1500ml Laserasi fetal dalam di rumah
Eklampsia Caesar Peralatan
Histerektomi/laparatomi Asidosis darah arteri Konflik manajemen
Komplikasi anastesi Hipotermi Infeksi nosokomial
Emboli pulmoner Anomali fetal
Ruptur uterus
Forcep yang tdk berhasil
Mengidentifikasi Kesalahan
Menurut The London Protocol, ada langkah struktur dan pendekatan sistematis yang
digunakan untuk mengidentifikasi kesalahan klinis atau insiden yang terjadi:
1. Identifikasi insiden dan mengambil keputusan untuk investigasi
2. memilih anggota tim investigasi
3. memperoleh data (dokumentasi bukti, wawancara, prosedur) dan poin fisik yang relevan
4. Mengelompokkan kronologi kejadian
5. mengidentifikasi masalah dalam asuhan keperawatan (tindakan yang tidak aman)
6. mengidentifikasi faktor yang berhubungan (pelatihan yang tidak adekuat, tidak ada
supervisi)
7. Plan of Action
H. Penerapan Pasien Safety Pada Keperawatan Maternitas
Komunikasi efektif dapat digunakan dalam semua tahap keperawatan maternitas, mulai
dari tahap kehamilan, melahirkan, dan nifas. Paa tahap kehamilan komunikasi
efektif dilakukukan pada saat kunjungan kehamilan (trimester I,II, dan III, dimana perawat
ataupun dokter memberikan penjelasan mengenai perkembangan kehamilan ibu dan pendidikan
kesehatan mengenai perawatannya kehamilannya.
Sebelum memasuki masa intranatal, rumah sakit maupun petugas kesehatan melakukan
komunikasi efektif baik pada pasien maupun keluarga mengenai bagaimana proses persalinan
yang akan dilakukan,apakah pasien bisa melahirkan secara normal ataupun secara secsio
ceasaria, itu semua beradasarkan hasil dari identifikasi perawat ataupun dokter selama proses
kehamilan klien.
Pada masa intranatal perawat melakukan komunikasi kepada ibu hamil untuk melakukan
instruksi cara mengedan dengan benar apabila si ibu melahirkan normal. Pada postnatal
komunikasi efektif dilakukan ketika masa perawatan setelah melahirkan, perawat dapat
mengkomunikasikan kepada ibu hamil tentang bagaimana car teknik menyusui an perawatan
terhadap alat reproduksi ibu pasca melahirkan.
Sesuai dengan sepuluh sasaran dalam safety surgery (WHO 2008). Yaitu:
Tim bedah akan melakukan operasi pada pasien dan posisi janin di dalam perut ibu.
Tim bedah akan menggunakan metode yang sudah di kenal untuk mencegah bahaya dari
pengaruh anastesi, pada saat melindungi pasien dari rasa nyeri.
Tim bedah mengetahui dan secara efektif mempersiapkan bantuan hidup dari adanya
bahaya kehilangan atau gangguan pernafasan pada saat proses kelahiran maupun sesudah
proses kelahiran.
Tim bedah mengetahui dan secara efektif mempersiapkan adanya resiko kehilangan
darah.
Tim bedah menghindari adanya reaksi alergi obat dan mengetahui adanya resiko alergi
obat pada pasien.
Tim bedah secara konsisten menggunakan metode yang sudah dikenal untuk
meminimalkan adanya resiko infeksi pada lokasi operasi.
Tim bedah mencegah terjadinya tertinggalnya sisa kasa dan instrument pada luka
pembedahan.
Tim bedah akan mengidentifikasi secara aman dan akurat, specimen (contoh bahan)
pembedahan.
Tim bedah akan berkomunikasi secara efektif dan bertukar informasi tentang hal-hal
penting mengenai pasien untuk melaksanakan pembedahan yang aman.
Rumah sakit dan system kesehatan masyarakat akan menetapkan pengawasan yang rutin
dari kapasitas , jumlah dan hasil pembedahan.
SKP 5. Pengurangan resiko infeksi
Pada masa pranatal, perawat memberikan pendidikan kesehatan untuk menjaga kesehatan
selama hamil, dengan mengonsumsi makanan yang bersih dan memenuhi pola diet sehat
berimbang, serta minum air dalam jumlah yang cukup.
Pada masa intranatal, petugas kesehatan harus memperhatikan universal precaution dan
alat-alat persalinan dan ruang bersalin terjaga kesterilannya
Pada masa postnatal, dengan menjaga kebersihan daerah sekitar vagina dan luka bekas
episiotomi (prosedur bedah untuk melebarkan jalan lahir ) karena dapat menjadi pintu masuk
kuman dan menimbulkan infeksi, terutama setelah buang air kecil dan buang air besar. Cuci
tangan dengan bersih sebelum menyentuh area genital dan anus, basuhlah dengan gerakan dari
arah depan ke belakang.
1. Identifikasi Pasien yang jelas dan Selalu dipastikan identitasnya sebelum mendapatkan
tindakan
2. Pasien maupun staff berhak untuk dilindungi dari infeksi dan kontaminasi yang diatur
oleh Kebijakan Kontrol Infeksi
3. Selama Pasien dikondisikan atau tidak ada intervensi keperawatan, bed selalu dijaga
dengan posisi rendah dan terkunci, hanya dinaikkan bila akan melakukan intervensi,
tujuannya adalah untuk :
Pencegahan jatuh intrapartum, misalnya pada pasien dengan Epidural Infussion yang
butuh bed-rest
untuk mencegah jatuh setelah mobilisasi dari tempat operasi
4. Staf Perawat harus menjaga keselamatan pasien pada saat menggunakan peralatan
elektrik
5. Perhatikan label atau daftar alergi pasien
6. Perawat wajib ikut serta memperhatikan, merawat dan memelihara Peralatan Medis
Ruangan baik emergency maupun tidak yang dievaluasi setiap hari
7. Penilaian keselamatan pasien dapat dilakukan oleh setiap personil/praktisi kesehatan
8. Medikasi terhadap pasien diikuti oleh intervensi keperawatan dan Standar Operasionel
Prosedur yang ada
9. Kapabilitas untuk memulai operasi Caesar adalah selama 30 menit setelah pengambilan
keputusan dan Inform Consent
H. IDENTIFIKASI BAHAYA POTENSIAL (HAZARD) DI RUANGAN NIFAS
1. FISIK
Bising : bila lokasi bangsal berdekatan dengan laundry,incenarator dan genset.
Getararan : bila lokasi berdekatan dengan laundry,incenarator dan genset.
Radiasi : lokasi bangsal berdekatan dengan pusat radiologi.
2. Kimia
Desinfektan : alcohol, h2o2, cairan betahdine dan lain-lain
Cytotoxics : zat atau bahan yang bersifat racun dan merusak sel.
Solvents : Cairan pembersih lantai, bisa terdapat di semua area nifas yang berisiko
: cleaning service, perawat dan petugas lainya
3. Biologic
Virus : hiv, hepatitis, rubella dan herpes.
Bakteri : tbc , pneumonia dan lain-lain
Jamur : tinea, dan dermatologis lain.
4. Ergonomic
Pekerjaan yang di lakukan secara manual
Postur yang salah dalam melakukan pekerjaan.
Pekerjaan yang berulang.
5. Psikososial.
Sering kontak dengan pasien, kerja bergilir, kerja berlebih, dan ancaman secara
fisik.
6. Fisiologis
Kerapian meja kerja tidaknteratur dengan rapi, dan ruangan yang terlalu sempit.