Anda di halaman 1dari 49

PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp.

) DENGAN
MENGGUNAKAN PENYAMAKAN KOMBINASI
ALDEHIDA DAN NABATI

DOLLY ROBBY SAHPUTRA HASIBUAN

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penyamakan Kulit


Ikan Tuna (Thunnus sp.) dengan Menggunakan Penyamakan Kombinasi Aldehida
dan Nabati adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta
dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Dolly Robby Sahputra Hasibuan


F34090046
ABSTRAK
DOLLY ROBBY SAHPUTRA HASIBUAN. Penyamakan Kulit Ikan Tuna
(Thunnus sp.) Dengan Menggunakan Penyamakan Kombinasi Aldehida dan
Nabati. Dibimbing oleh ONO SUPARNO.

Penelitian mengenai penyamakan kulit ikan tuna sudah mulai dikembangkan


pada skala laboratorium dengan beberapa jenis bahan penyamak dan belum
mencapai hasil optimum. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya diarahkan pada
pengombinasian berbagai jenis bahan penyamak untuk mendapatkan hasil
optimum. Penyamakan kombinasi adalah penyamakan dengan dua atau lebih
bahan penyamak, dengan tujuan saling melengkapi, karena setiap bahan
penyamak memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis bahan penyamak nabati (mimosa,
gambir, dan quebracho) dan konsentrasinya (10%, 15%, dan 20%) terhadap mutu
kulit yang dihasilkan dan menentukan kombinasi perlakuan terbaik. Berdasarkan
penelitian ini, jenis bahan penyamak nabati berpengaruh signifikan terhadap
peningkatan ketebalan, suhu kerut, kuat sobek, dan elongasi kulit samak.
Konsentrasi tidak berpengaruh signifikan terhadap sifat-sifat fisik kulit samak.
Interaksi kedua faktor tidak berpengaruh signifikan terhadap sifat-sifat fisik kulit
samak. Kombinasi penyamakan dengan glutaraldehida (3%) dan mimosa (20%)
memberikan hasil terbaik pada penelitian ini. Sifat-sifat fisik kulit samak yang
dihasilkan adalah memiliki penambahan ketebalan 20.8%, Suhu kerut 88.8C,
kuat tarik 17.8 N/mm2, perpanjangan putus 41.4%, dan kuat sobek 54.59 N/mm.
Nilai sifat-sifat organoleptiknya adalah kelenturan (fell/handle) 6-7 dan warna 7-8.

Kata kunci: kulit, penyamakan kombinasi, glutaraldehida, bahan penyamak nabati,


sifat fisik kulit samak.

ABSTRACT

DOLLY ROBBY SAHPUTRA HASIBUAN. Tanning of Tunas Leather


(Thunnus sp.) Using Aldehyde and Vegetable Combination Tanning. Supervised
by ONO SUPARNO.

The research of tunas leather tanning had been developed at laboratory


scale with some type of tannages and not yet achieved optimum results. Therefore,
further research is directed toward the combination of several types of tannage in
order to obtain the optimum result. Combination tanning is a tanning process
using two or more tannages in order to complete each others advantage and
disadvantage. This research aimed to determine the effects of vegetable tannages
(e.g. mimosa, gambier, and quebracho) and its concentrations (10%, 15%, and
20%) on the quality of leather produced using combination tanning. It also aimed
to determine the best combination of treatments. Based on the result of this
research, the type of vegetable tannages had a significant effect on increase of
thickness, shrinkage temperature, tear strength, and elongation at break of the
leathers. Concentration had no significant effect on physical properties of tanned
leather. Interaction of two factors had no significant effect on physical properties
of tanned leather. Combination tanning using 3% glutaraldehyde and 20%
mimosa presented the best result. The physical properties of tanned leather
resulted were 20.8% increase of thickness, shrinkage temperature of 88C, tensile
strength of 17.8 N/mm2, elongation of break of 41.4%, and tear strength of 54.59
N/mm. Organoleptic properties of the tanned leather were flexibility (fell or
handle) in the scale of 67 and color of 78.

Key words : leather, combination tanning, glutaraldehyde, vegetable tannages,


tanned leather properties
PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp.) DENGAN
MENGGUNAKAN PENYAMAKAN KOMBINASI
ALDEHIDA DAN NABATI

DOLLY ROBBY SAHPUTRA HASIBUAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp.) Dengan Menggunakan
Penyamakan Kombinasi Aldehida dan Nabati
Nama : Dolly Robby Sahputra Hasibuan
NIM : F34090046

Disetujui oleh

Prof Dr Ono Suparno, STP, MT


Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti


Ketua Departemen

Tanggal Lulus:
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
dan limpahan rahmat-Nya sehingga penyusunan skripsi berjudul Penyamakan
Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp.) Dengan Menggunakan Penyamakan Kombinasi
Aldehida dan Nabati berhasil diselesaikan. Tema yang diangkat dalam penelitian
yang dilaksanakan selama Mei 2013 sampai Nopember 2013 ini adalah proses
penyamakan kulit ikan tuna. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan teristimewa kepada:
1. Prof Dr Ono Suparno, STP, MT, selaku Pembimbing Akademik atas
perhatian dan bimbingannya selama penelitian dan penyelesaian skripsi.
2. Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti dan Dr Endang Warsiki STP MSi, selaku
dosen penguji atas kritik dan saran yang telah diberikan.
3. Bapak Ir Moh. Najikh selaku CEO, Bapak Saiful Azis selaku Business
Manager Unit III, Bapak Pebru Yuwono, dan seluruh Staff atas kesediaan
dalam pengadaan bahan baku selama proses penyelesaian skripsi ini.
4. Ayahanda Rustam Effendi Hasibuan, Ibunda Santi Pasaribu, adik-adik
Elfriyanti Srimadona Hasibuan dan Ali Akbar Hasibuan beserta keluarga
besar atas doa, semangat, dan kasih sayangnya.
5. Keluarga besar TIN 46 atas dukungan dan doanya.
6. Seluruh dosen, laboran, dan staff Departemen Teknologi Industri Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
7. Seluruh sanak dan kerabat yang tidak bisa disebutkan satu-persatu
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2014

Dolly Robby Sahputra Hasibuan


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 3
Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp.) 3
Penyamakan Kulit 4
Penyamakan Aldehida 4
Bahan Penyamak Nabati 6
Reaksi Penyamakan Nabati 7
METODE 7
Waktu dan Tempat 7
Bahan 7
Alat 8
Prosedur Penelitian 8
Prosedur Pengujian 9
Prosedur Analisis Data 9
HASIL DAN PEMBAHASAN 10
Ketebalan Kulit 10
Suhu Kerut 11
Kuat Sobek 12
Kuat Tarik 13
Elongasi Putus 14
Sifat - Sifat Organoleptik 16
Pemilihan Perlakuan Terbaik 17
Peningkatan Nilai Tambah Limbah Kulit Ikan Tuna 17
SIMPULAN DAN SARAN 20
Simpulan 20
Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 21
LAMPIRAN 23
RIWAYAT HIDUP 49
DAFTAR TABEL
1 Hubungan sifat organoleptik kulit samak tuna dengan bahan penyamak
nabati 16
2 Perhitungan nilai tambah pengolahan limbah kulit ikan tuna per Kg 17

DAFTAR GAMBAR
1 (a) Ikan tuna (Thunnus.), (b) struktur kulit hewan 3
2 Jaringan kulit sebelum dan setelah disamak (ilustrasi) 4
3 Polimerisasi glutaraldehida 5
4 Reaksi antara glutaraldehida dan protein 5
5 (a) Gambir, (b) black wattle (b), (c) quebracho 6
6 Reaksi hidrogen antara bahan penyamak nabati dan kolagen kulit 7
7 Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya
terhadap ketebalan kulit 11
8 Hubungan jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya terhadap
peningkatan suhu kerut kulit samak 12
9 Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya
terhadap kuat sobek kulit samak tuna 13
10 Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya
terhadap peningkatan kuat tarik kulit samak tuna 14
11 Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya
terhadap peningkatan elongasi putus (%) kulit samak tuna 15

DAFTAR LAMPIRAN
1 Foto-foto bahan dan peralatan yang digunakan 23
2 Prosedur Penelitian 25
3 Prosedur Analisis dan Uji Sifat Fisik Kulit 27
4 Uji Organoleptik 29
5 Tabel hasil pengukuran kadar tanin bahan penyamak nabati 30
6 Tabel hasil pengukuran peningkatan ketebalan kulit (%) 30
7 Tabel uji Anova ( = 5%) terhadap peningkatan ketebalan kulit (%) 30
8 Tabel uji Duncan terhadap peningkatan kebebalan kulit (%) 31
9 Tabel hasil pengukuran suhu kerut kulit samak (C) 31
10 Tabel uji Anova ( = 5%) terhadap peningkatan suhu kerut kulit (C) 32
11 Tabel uji Duncan terhadap peningkatan suhu kerut kulit (C) 32
12 Tabel hasil pengukuran kuat sobek kulit samak (N/mm) 32
13 Tabel uji Anova ( = 5%) terhadap kuat sobek kulit samak (N/mm) 33
14 Tabel uji lanjut Duncan terhadap kuat sobek kulit samak (N/mm) 33
15 Tabel hasil pengukuran kuat tarik kulit samak (N/mm) 33
16 Tabel uji Anova ( = 5%) terhadap kuat tarik kulit samak (N/mm) 34
17 Tabel hasil pengukuran elongasi putus kulit samak tuna (%) 34
18 Tabel uji Anova ( = 5%) terhadap elongasi putus kulit samak (%) 35
19 Tabel uji lanjut Duncan terhadap kuat sobek kulit samak (N/mm) 35
20 Tabel prosedur perhitungan nilai tambah 36
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kulit merupakan salah satu komoditas yang sangat potensial untuk


dikembangkan dalam skala industri di Indonesia. Ikan tuna merupakan salah satu
komoditi perikanan yang diproduksi dalam jumlah besar di Indonesia dan juga
merupakan komoditi ekspor.
PT Kelola Mina Laut (KML), Gresik, Jawa Timur, mengolah sebanyak 7 ton
ikan tuna per hari. Tidak semua ikan tersebut terkonversi secara sempurna menjadi
produk. Proses pengolahan tersebut menghasilkan limbah berupa kulit sebesar
3,4% (Hastuti 2012). Nilai tersebut setara dengan 238 kg kulit yang dihasilkan
sebagai limbah setiap harinya di PT KML. Limbah kulit tersebut dapat
dimanfaatkan dengan lebih baik agar dapat menghasilkan berbagai jenis produk
dengan nilai jual yang tinggi melalui proses penyamakan.
Penyamakan merupakan proses memodifikasi struktur kolagen, komponen
utama kulit dengan mereaksikannya dengan berbagai bahan kimia (tannin atau
bahan penyamak) yang pada umumnya meningkatkan stabilitas hidrotermal kulit
tersebut dan kulit tersebut menjadi tahan terhadap mikroorganisme (Suparno et al.,
2005).
Dewasa ini, sebagian besar kulit samak dunia disamak dengan krom (III)
sulfat, yang merupakan konsekuensi dari kemudahan proses, keluasan kegunaan
produk, dan sangat memuaskannya karakteristik kulit samak yang dihasilkan.
Namun demikian, penyamakan mineral tersebut juga berkontribusi terhadap
masalah pencemaran lingkungan, khususnya di negara-negara berkembang.
Dengan demikian, diperlukan proses penyamakan non mineral yang ramah
lingkungan dalam pembuatan kulit samak (Suparno et al., 2008).
Bahan penyamak nabati terdiri atas bahan penyamak yang ramah lingkungan
karena kemudahannya untuk didegradasi secara biologis (Jianzhong et al., 2009).
Menurut Faxing et al. (2005) and Shi (2006), kulit yang disamak menggunakan
bahan nabati menghasilkan kesempurnaan yang sangat baik seperti sifat-sifat fisik,
ketahanan aus atau pakai, permeabilitas udara, dan ketebalan. Oleh sebab itu,
penggunaan bahan nabati memberikan pengaruh yang sangat besar untuk
mengurangi bahaya penggunaan krom pada proses penyamakan kulit.
Penyamakan menggunakan glutaraldehida (OCH-(CH2)3-CHO)
menghasilkan kulit samak yang tahan terhadap suhu 80-85C, halus, kuat, dan
tahan cuci. Untuk mengahasilkan kulit samak yang lebih baik dapat dilakukan
pengkombinaan berbagai jenis bahan penyamak. Penyamakan kombinasi
merupakan proses penyamakan dengan menggunakan dua atau lebih bahan
penyamak yang berbeda dengan tujuan untuk saling melengkapi, karena setiap
jenis bahan penyamak memiliki kelebihan dan kekurangan, agar didapatkan hasil
kulit samak yang lebih baik.
Penelitian mengenai penyamakan kulit ikan tuna pada saat ini sudah mulai
dikembangkan pada skala laboratorium. Penelitian terakhir telah dilakukan oleh
Alfindo (2009) dengan menggunakan penyamakan krom pada proses pretanning
dan penyamakan nabati untuk penyamakan lanjutan. Pada penelitian tersebut,
2

bahan penyamak nabati yang digunakan hanya satu jenis yaitu mimosa dengan
konsentrasi 5%, 10%, dan 15%.
Pada penelitian ini, kombinasi penyamakan yang dilakukan menggunakan
dua jenis bahan penyamak yaitu aldehida sebagai proses penyamakan awal (pre-
tanning) dengan menggunakan Relugan GT50, dan nabati sebagai proses
penyamakan lanjutan dengan menggunkan mimosa, gambir dan quebracho.
Kombinasi bahan penyamak ini diharapkan dapat menghasilkan sifat fisik kulit
samak tuna yang lebih baik seperti ketebalan kulit samak, suhu kerut, kuat tarik,
elongasi putus, kuat sobek, dan sifat organoleptik kulit samak seperti kelenturan
(feel/handle) dan warna.

Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaruh jenis dan konsentrasi bahan penyamak nabati


terhadap sifat fisik kulit samak ikan tuna yang dihasilkan?
2. Jenis dan konsentrasi bahan penyamak nabati manakah yang menghasilkan
kulit samak ikan tuna terbaik?
3. Bagaimanakah sifat fisik kulit samak ikan tuna yang dihasilkan?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis dan konsentrasi


beberapa bahan penyamak nabati (mimosa, gambir, quebracho) terhadap mutu
kulit samak ikan tuna, menentukan kombinasi jenis dan konsentrasi bahan
penyamak nabati yang terbaik untuk penyamakan kulit ikan tuna, serta
mengetahui sifat-sifat kulit samak ikan tuna yang dihasilkan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bahwa proses


kombinasi bahan penyamak aldehida dan nabati dapat menghasilkan sifat fisik
kulit samak ikan tuna yang lebih baik bila dibandingkan dengan menggunakan
satu jenis bahan penyamak. Disamping itu, limbah kulit ikan tuna dapat
dimanfatkan secara lebih luas dengan dengan meningkatkan nilai tambahnya
dengan proses penyamakan (tanning).
3

TINJAUAN PUSTAKA

Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp.)

Ikan tuna termasuk ke dalam ikan pelagis besar dalam keluarga Scombridae
yang mempunyai warna biru kehitaman pada bagian punggung dan berwarna
keputih-putihan pada bagian perut. Ikan tuna tergolong ikan perenang cepat,
tubuhnya seperti cerutu, mempunyai dua sirip punggung, sirip depan biasanya
lebih pendek dan terpisah dari sirip belakang. Mempunyai jari-jari sirip tambahan
(finlet) di belakang punggung dan dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip
perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong
menutup seluruh hypural (DKP 2008). Gambar ikan tuna dapat dilihat pada
Gambar 1a. .
Kulit merupakan lapisan terluar dari tubuh makhluk hidup yang berfungsi
sebagai pelindung tubuh dari berbagai pengaruh luar seperti panas, pengaruh
mekanis maupun kimiawi. Secara histologis kulit ikan dapat dibagi atas tiga
lapisan yaitu lapisan epidermis, lapisan corium atau cutis, dan lapisan subcutis.
Epidermis adalah lapisan paling luar dari kulit, yang berfungsi sebagai
penghalang antara binatang dengan lingkungannya (Covington 2011). Lapisan ini
merupakan lapisan dengan struktur seluler dan terdiri dari lapisan-lapisan sel
epitel yang dapat berkembang biak dengan sendirinya. Pada penyamakan kulit,
biasanya lapisan ini harus dibuang sampai bersih.
Lapisan corium atau cutis adalah bagian pokok tenunan kulit yang akan
diubah menjadi kulit samak. Corium sebagian besar tersusun dari serat-serat
tenunan pengikat. Dalam derma terdapat tiga tipe tenunan pengikat yaitu tenunan
kolagen, elastin, dan reticular. Sedangkan lapisan subcutis adalah tenunan
pengikat longgar yang menghubungkan corium dengan bagian-bagian lain dari
tubuh. Struktur kulit dapat dilihat pada Gambar 1b.

Sumber: (Collette 1995)


(a)
Sumber : (Said 2000)
(b)
Gambar 1 (a) Ikan tuna (Thunnus.), (b) struktur kulit hewan
4

Penyamakan Kulit

Penyamakan merupakan tahap paling penting dalam produksi kulit samak.


Selama penyamakan, kolagen akan memfiksasi bahan penyamak pada situs-situs
reaktifnya (Heidemann, 1993 dan Bossche et al.,1997). Mekanisme penyamakan
kulit pada prinspnya adalah memasukkan bahan tertentu yang disebut bahan
penyamak ke dalam anyaman atau jaringan serat kulit, sehingga terjadi ikatan
kimia antara bahan penyamak dengan serat kulit (Purnomo 1991). Panampakan
jaringan kulit sebelum dan setelah dilakukan penyamakan dapat dilihat pada
Gambar 2.

Serat-serat pada kulit

Ikatan yang terbentuk selama proses penyamakan


Gambar 2. Jaringan kulit sebelum dan setelah disamak (ilustrasi) (Mann 2000)

Menurut Purnomo (1992), proses penyamakan secara garis besar meliputi


proses pra-penyamakan, proses penyamakan, proses pasca penyamakan, dan
proses penyelesaian. Penyamakan dapat dilakukan dengan berbagai cara
tergantung bahan yang akan digunakan. Secara praktis penyamakan dapat
digolongkan menjadi lima yaitu penyamakan nabati, aldehida, minyak, mineral,
dan penyamakan sintetis.

Penyamakan Aldehida

Bahan-bahan penyamak yang digunakan untuk penyamakan awal dalam


produksi kulit samoa adalah formaldehida, glutaraldehida atau oksazolidin.
Glutaraldehida (OCH-(CH2)3-CHO) adalah dialdehida yang dapat digunakan
sebagai bahan penyamak kulit. Karena penggunaan formaldehida dalam
penyamakan kulit menurun, penggunaan glutaraldehida sebagai bahan pengganti
meningkat. Gambar 3 menunjukkan struktur dialdehida alifatik tersebut dalam
larutan. Struktur tersebut merupakan sebuah struktur penghubung antara dua
molekul glutaraldehida yang bereaksi (Suparno 2009).
Dalam suatu skema komplek reaksi, glutaraldehida membentuk basa Schiff
dengan protein dan distabilisasi oleh molekul-molekul glutaraldehida lain. Tidak
ada bukti bahwa crosslink terbentuk. Tiga molekul glutaraldehida difiksasi per
grup amino lisyne, tidak ada bukti untuk sebuah matriks terpolimerisasi (Damink
et al., 1995).
Basa Schiff terbentuk karena adanya hubungan antara ikatan antara gugus
aldehida dan gugus amino. Ikatan yang paling sering berhubungan adalah ikatan
5

antara gugus aldehida hidroksilisin dan gugus amino hidroksilisin lain. Basa
Schiff yang dihasilkan dari proses ikatan antara kedua gugus tersebut yang
menghasilkan aldehida sedikitnya satu atom hidrogen terikat pada karbon dalam
gugus karbonil. Gugus fungsi dalam senyawa ini adalah gugus karbonil, C=O.
Keberadaan atom hidrogen tersebut menjadikan aldehida sangat mudah teroksidasi.
Atau dengan kata lain, aldehida adalah agen pereduksi yang kuat (Arsyad 2001).
Gambar 4 menunjukkan reaksi yang terjadi antara glutaraldehida dengan protein.

Gambar 3 Polimerisasi glutaraldehida (Suparno 2009)

Gambar 4 Reaksi antara glutaraldehida dan protein (Covington 2009)

Seperti formaldehida, kulit yang disamak dengan glutaraldehida adalah


tahan cuci dan hidrofilik. Suhu kerutnya mirip. Namun, warnanya berbeda,
glutaraldehida menghasilkan warna kuning. Turunan glutaraldehida telah
ditawarkan ke industri, yakni Relugan GT, turunan tambahan bisulfit. Bahan
tersebut menghasilkan kulit samak lebih pucat, tetapi tetap menghasilkan warna
kuning. Produk lainnya adalah Relugan GT50, yang merupakan larutan 50 persen
dari glutaraldehida yang digunakan sebagai pretanning, selftanning, dan retanning
agents untuk seluruh jenis kulit samak (Suparno 2009).
6

Bahan Penyamak Nabati

Penyamak nabati (condensed vegetable tannages) seperti mimosa,


quebracho, dan gambir merupakan bahan penyamak non mineral yang dihasilkan
dari sumberdaya alam terbarukan dan bersifat ramah lingkungan. Mimosa
dihasilkan dari kayu dan kulit kayu Acacia mearnsii dan A. mangium; quebracho
dari kayu Schinopsis lorentzii dan S. balansae; dan gambier dari daun dan ranting
pohon Uncaria gambier (Suparno et al., 2008).
Bahan penyamak nabati merupakan komponen dari senyawa fenol yang
memiliki bobot molekul 500-3000 Dalton. Bahan tersebut terdiri atas golongan
hidroksil dan karboksil yang cenderung membentuk ikatan-ikatan yang kuat
dengan protein-protein kulit (Kanth et al., 2009).
Mimosa, gambir, dan quebracho merupakan golongan pirokatekol yaitu
golongan kondensasi, pembentuk flobafen atau endapan. Ekstrak mimosa yang
digunakan sebagai bahan penyamak diperoleh dari kulit batang pohon black wattle
yang merupakan sejenis tanaman akasia. Tanaman black wattle banyak ditemukan
di daratan Astralia dan dibudidayakan di Afrika Selatan. Kulit batang dari
tanaman ini banyak mengandung tannin yang dapat dimanfaatkan untuk
penyamakan kulit. Menurut Jansen (2005), kadar tannin yang terkandung dalam
kulit batang tanaman black wattle kurang lebih 60-65%. Bentuk tanaman black
wattle dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambir merupakan bahan penyamak nabati yang dihasilkan dari daun dan
ranting pohom Uncaria gambier yang mengandung flavonoid, ketekin (51%),
tannin (22-50%) dan sejumlah alkaloid. Menurut Thorpe dan Whiteley (1921)
dalam Gumbira-Said et al. (2009a), asam catechunnat atau tannin dalam gambir
terkandung sebanyak 22-55%. Gambir merupakan bahan penyamak nabati yang
besifat sangat lemah, menghasilkan kulit samak berwarna cokelat abu-abu yang
akan luntur jika terpapar sinar matahari. Gambir dalam peyamakan biasanya
dikombinasikan dengan bahan penyamak lain yang lebih astrigen untuk
meninggikan tegangan putus kulit samaknya. Bentuk tanaman gambir dapat
dilihat pada Gambar 5.
Quebracho merupakan bahan penyamak nabati yang dihasilkan dari kayu
Schinopsis lorentzii dan S. balansae yang mengandung tannin berkisar 30%
setelah melewati proses ekstraksi (Anonim 2013). Karakteristik utama dari ekstrak
quebracho adalah larut dengan air dingin, cepat dalam penetrasi ke dalam kulit
mentah, dan memiliki kandungan agen penyamakan tinggi. Quebracho memiliki
kadar asam rendah dan kandungan garam sedang, sehingga termasuk sebagai
bahan penyamak rendah. Bentuk tanaman quebracho dapat dilihat pada Gambar 5.

a b c
Gambar 5 (a) Gambir (Gumbira-Said et al., 2009a), (b) black wattle (Anonim
2013), (c) quebrach (Anonim 2013)
7

Reaksi Penyamakan Nabati

Reaksi utama yang terjadi pada penyamakan nabati adalah reaksi antara
tanin dengan protein pada kulit. Tanin dapat mengikat dan mengendapkan protein,
sehingga terbentuk suatu senyawa kompleks yang tidak larut. Terdapat dua gugus
penting pada kolagen kulit hewan yang berperan dalam proses penyamakan kulit,
yaitu gugus NH2 dan COOH. Gugus tersebut akan berubah menjadi gugus NH3+
dan COO- pada keadaan isoelektrik. Gugus amina (NH3+) yang berkaitan dengan
tanin yang terdapat pada bahan penyamak nabati (Radiman 1990).

Gambar 6 Reaksi hidrogen antara bahan penyamak nabati dan kolagen kulit
(Suparno 2005)

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Nopember 2013.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyamakan Kulit, Laboratorium
Bioindustri, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Laboratorium Fisik yang terdapat pada bagian Rekayasa dan Desain
Bangunan Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan baku
utama dan bahan pembantu. Bahan baku utama yang digunakan adalah kulit tuna
pikel dan bahan penyamak nabati (mimosa, gambir, dan quebracho). Bahan
pembantu penyamakan adalah aquades, eusapon, sertan ND (dispersing agent),
natrium formiat, asam formiat, natrium karbonat, natrium bikarbonat, NaCl,
Relugan GT 50, dan fatliquoring agent (Lampiran 1).
8

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat untuk proses
penyamakan dan proses analisis yaitu ember plastik, pisau, telenan, molen (drum
putar), shaker, toggle dryer, pH meter, baumemeter, thickness gauge, tensile
strength tester (Instron), pengukur suhu kerut, dan alat uji tarik dengan merk
Zwick/Roell (Lampiran 1).

Prosedur Penelitian

Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan yang dilakukan merupakan tahapan awal persiapan
bahan yaitu pengujian kadar tanin bahan penyamak nabati, proses pra-
penyamakan (beam house operation) dan proses penyamakan dengan
menggunakan dua jenis bahan penyamak dengan masing-masing satu jenis
konsentrasi. Proses pra-penyamakan yang dilakukan diantaranya proses liming,
deliming, bathing, dan pickling. Proses lanjutan adalah proses penyamakan
(tanning) dengan menggunakan Relugan GT 50 (3%) dan mimosa (15%) sebagai
bahan penyamaknya.

Penelitian Utama
a. Penyamakan Aldehida
Prosedur penyamakan awal merujuk pada prosedur di dalam jurnal yang
dilaporkan oleh Suparno et al. (2009a). Penyamakan awal dilakukan dengan
mencuci terlebih dahulu kulit tuna yang telah di-pickling. Sebelum dicuci, kulit
ditimbang untuk menentukan jumlah bahan pencuci yang akan digunakan sesuai
dengan persentase yang sudah ditetapkan. Persentase bahan pencuci yang
digunakan berbasis bobot total bahan (kulit pikel). Setelah itu, ditambahkan air
200% dan NaCl 8% dengan mengukur derajat baume (6-10 Be). Setelah itu,
sebelum ditambahkan bahan penyamak aldehid (glutaraldehida) sebanyak 3%,
dilakukan pengecekan pH <3, jika masih kurang ditambahkan asam formiat.
Setelah sesuai, Relugan GT 50 ditambahkan sebanyak 3%. Relugan yang
ditambahkan sebelumnya diencerkan dengan air 3 kali bobot Relugan GT50 dan
dimasukkan ke dalam jar dengan tiga kali pemasukan setiap 15 menit. Kemudian
di-shaker kembali selama 60 menit dengan kecepatan 150 rpm. Selanjutnya
ditambahkan natrium formiat 1% yang telah diencerkan terlebih dahulu
menggunakan air dengan perbandingan 1:10 dengan empat tahap pemasukan
dengan selang waktu 10 menit dan kemudian di-shaker kembali selama 20 menit.
Setelah selesai, dilakukan penambahan natrium karbonat sebanyak 2% dan air
sebanyak 10%. Penambahan dilakukan dengan tiga kali tahap pemasukan setiap
selang waktu 15 menit. Setelah itu, air sebanyak 10% ditambahkan ke dalam jar
dan di-shaker selama 60 menit.
Setelah semua selesai, dilakukan pengecekan pH > 8. Jika masih kurang,
ditambahkan natrium karbonat. Selanjutnya, larutan dikeluarkan dari jar dan kulit
didiamkan selama semalam. Setelah itu, kulit dilanjukan dengan penyamakan
lanjutan dengan menggunakan bahan penyamak nabati (Lampiran 2).
9

b. Penyamakan Nabati
Prosedur penyamakan lanjutan merujuk pada prosedur di dalam jurnal yang
dilaporkan oleh Suparno et al. (2008) yang telah dimodifikasi. Penyamakan nabati
dilakukan setelah kulit selesai disamak dengan menggunakan glutaraldehida.
Bahan penyamak yang digunakan pada penyamakan lanjutan adalah bahan
penyamak nabati (mimosa, gambir, dan quebracho). Konsentarasi masing-masing
bahan penyamak nabati yang digunakan sama, yaitu 10%, 15%, dan 20%.
Sebelum bahan penyamak nabati di masukkan, terlebih dahulu kulit dicuci dengan
air 200% dan ditambahkan sertan ND (dispersing agent) 2% dan dilakukan
pengecekan pH 4.5. Selanjutnya bahan penyamak dimasukkan dan di-shaker
selama 120 menit. Setelah itu, ditambahkan asam formiat 0.25 % dan dilakukan
pengecekan pH 3.5. Kemudian ditambahkan natrium bikarbonat 1% dan dilakukan
pengecekan pH 4.5-5.5. setelah itu, larutan dikeluarkan dari jar. Selanjutnya
ditambahkan air 200% yang telah dipanaskan pada suhu 40C, dan kemudian
ditambahkan fatliquoring agent (minyak ikan 3% dan bahan penyamak sintetik
sebanyak 7%) yang kemudian di-shaker selama 90 menit. Setelah di-shaker,
larutan dikeluarkan dari jar dan selanjutnya ditambahkan 300% air untuk mencuci
kulit dari sisa bahan penyamak. Setelah larutan dicuci, kulit kemudian
dibentangkan selama semalam dan dikeringkan selama 1-2 hari pada toggle dryer
(Lampiran 2).

Prosedur Pengujian

Pengujian yang dilakukan pada penelitian ini mengenai sifat-sifat fisik kulit
samak yaitu kuat tarik dan perpanjangan putus diuji dengan prosedur SLP 6, suhu
kerut (Ts) dengan prosedur SLP 18, ketebalan dengan prosedur SLP 4, kuat sobek
dengan prosedur SLP 7 (SLTC 1996) dan sifat organoleptik kulit berupa warna
dan feel/handle yang diuji oleh dua orang panelis. Prosedur pengujian terhadap
sifat fisik kulit dapat dilihat pada Lampiran 3 dan prosedur pengujian sifat
organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 4.

Prosedur Analisis Data

Proses pengolahan data penelitian ini dilakukan dengan Microsoft Excel


2010 dan SAS 9.1.3, yaitu didasarkan pada percobaan faktorial dalam rancangan
acak lengkap (RAL) dengan dua faktor perlakuan, yaitu faktor A adalah jenis
bahan penyamak nabati (mimosa, gambir, dan quebracho) dan faktor B adalah
konsentrasi jenis bahan penyamak nabati (10%, 15%, dan 20%) dengan ulangan
sebanyak dua kali.
Model linear aditif dari rancangan percobaan faktorial acak lengkap yaitu:
Yijk = + Ai + Bj + ABij + ijk
dengan:
Yijk = nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j
dan ulangan ke k
= rata-rata yang sebenarnya
Ai = pengaruh jenis bahan penyamak nabati pada taraf ke-i
10

Bj = pengaruh konsentrasi bahan penyamak pada taraf ke-j


ABij = pengaruh interaksi antara faktor jenis dan faktor konsentrasi
ijk = kesalahan karena ulangan ke-k dari faktor ke-i dan faktor ke-j

Apabila pengaruh faktor utama dan interaksi antar faktor utama berpengaruh
nyata pada tingkat kepercayaan 95%, pengolahan dan analisis data dilanjutkan
dengan menggunakan uji Duncan. Uji tersebut bertujuan untuk melihat perbedaan
pengaruh tiap faktor maupun kombinasi antarfaktor.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ketebalan Kulit

Ketebalan kulit samak ikan tuna pada penelitian ini mengalami peningkatan
setelah dilakukan proses penyamakan. Ketebalan kulit mengalami peningkatan
seiring dengan bertambahnya konsentrasi bahan penyamak (Gambar 7). Hasil
analisis ragam pada = 0.05 menunjukkan bahwa konsentrasi tidak berpengaruh
yang signifikan, sedangkan jenis bahan penyamak berpengaruh signifikan
terhadap penambahan ketebalan kulit (Lampiran 7). Uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa gambir berbeda nyata dengan mimosa dan quebracho
(Lampiran 8).
Ketebalan rata-rata kulit samak pada setiap setiap bahan penyamak berbeda-
beda. Mimosa menghasilkan ketebalan kulit samak berkisar antara 1.33-1.81 mm,
gambir berkisar antara 1.17-1.42 mm, dan quebracho berkisar antara 1.26-1.46
mm. Mimosa dengan konsentrasi 20% dapat meningkatkan ketebalan kulit samak
terbesar sebesar 20.83% dan yang terkecil adalah gambir dengan konsentrasi 10%
sebesar 11.3%.
Perbedaan penambahan ketebalan kulit samak yang dihasilkan dipengaruhi
oleh kandungan tanin pada setiap jenis bahan penyamak yang berbeda-beda.
Berdasarkan hasil pengujian kadar tanin yang dilakukan, diperoleh kadar tanin
mimosa (25.26%), gambir (17.24%), dan quebracho (22.98%) (Lampiran 5).
Disamping itu, perbedaan ini juga dipengaruhi oleh proses shaving dan buffing,
yang pada penelitian ini tidak dilakukan proses tersebut. Menurut Suparno et al.
(2011), proses shaving bertujuan untuk menghilangkan butiran kasar dan lapisan
kasar (grain), dan daging pada kulit, sedangkan proses buffing bertujuan untuk
menghaluskan permukaan kulit sehingga ketebalan kulit dapat diatur dari kedua
proses tersebut. Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya
terhadap ketebalan kulit dapat dilihat pada Gambar 7.
11

30

Peningkatan ketebalan (%)


25

20

15
Konsentrasi :
10
10%
5 15%
20%
0
Mimosa Gambir Quebracho
Quebracho
Jenis bahan penyamak nabati

Gambar 7 Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya


terhadap ketebalan kulit

Suhu Kerut

Suhu kerut atau shrinkage temperature (Ts) adalah salah satu parameter
yang sangat penting dalam karakterisasi stabilitas suhu kulit. Suhu kerut
merupakan suhu dimana kulit mulai mengerut di dalam air atau media panas
lainnya (Yahua et al., 2011).
Suhu kerut kulit tuna pikel adalah 52oC. Setelah kulit tuna pikel tersebut
disamak, nilai suhu kerutnya meningkat menjadi 79-82oC. Hal ini berarti kulit
setelah disamak dengan glutaraldehida akan lebih tahan terhadap peningkatan
suhu. Suparno et al. (2011) menyatakan bahwa hal ini berkaitan dengan
penggunaan glutaraldehida selama proses penyamakan awal mampu membentuk
ikatan silang dengan gugus amina pada kulit, sehingga struktur kulit yang awalnya
terpisah menjadi bergabung bersama menjadi struktur yang lebih kuat.
Hasil pengujian suhu kerut kulit samak tuna menunjukkan hasil rata-rata
83.4C. Jika dibandingkan dengan suhu kerut hasil penyamakan dengan
glutaraldehida nilai suhu kerut semakin meningkat dengan melakukan kombinasi
penyamakan dengan bahan penyamak nabati. Peningkatan suhu kerut ini dapat
disebabkan oleh kandungan tanin pada bahan penyamak nabati yang mengisi
rongga pada jaringan serat kulit, sehingga struktur serat kulit semakin padat yang
dapat meningkatkan suhu kerut kulit.
Hasil pengujian suhu kerut kulit samak kombinasi menghasilkan nilai yang
berbeda-beda. Mimosa dapat meningkatkan suhu kerut kulit samak berkisar antara
86.3-88.8C, gambir 80.0-80.7C, dan quebracho 81.8-83.0C. Peningkatan suhu
kerut kulit tertinggi dihasilkan oleh kombinasi dengan mimosa (20%) hingga
mencapai 88.8C, sedangkan gambir (15%) meningkatkan suhu kerut kulit terkecil
sebesar 79C (Gambar 8).
Gambar 8 secara umum menunjukkan bahwa suhu kerut kulit akan semakin
meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi pada setiap jenis bahan
12

penyamak nabati. Akan tetapi, hasil analisis ragam pada = 0.05 menunjukkan
bahwa konsentrasi pada setiap bahan penyamak tidak berpengaruh nyata terhadap
peningkatan suhu kerut, sedangkan jenis bahan berpengaruh nyata pada = 0.05
(Lampiran 10).
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mimosa berbeda nyata dari bahan
penyamak nabati lainnya yaitu gambir dan quebracho (Lampiran 11). Perbedaan
peningkatan suhu kerut ini dipengaruhi oleh kandungan tanin pada ketiga jenis
bahan penyamak nabati tersebut yang berbeda-beda. Hasil pengujian kadar tanin
menghasilkan jumlah kadar tanin mimosa (25.26%), gambir (17.24%), dan
quebracho (22.98%) (Lampiran 5). Menurut Suparno et al. (2008), jumlah tanin
dari mimosa yang dapat terikat pada kolagen kulit adalah sebesar 57%, 55% dari
quebracho, dan 54% dari gambir.
90
Suhu kerut kulit (C)

70

50 Konsentrasi :
10%
30 15%
20%
10
Mimosa Gambir Quebracho
Quebracho
Jenis bahan penyamak nabati

Gambar 8 Hubungan jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya terhadap


peningkatan suhu kerut kulit samak

Kuat Sobek

Kuat sobek menunjukkan seberapa besar gaya yang dibutuhkan untuk dapat
merobek kulit tiap mm ketebalan kulit. Berdasarkan hasil pengujian kuat sobek
kulit samak ikan tuna (Gambar 9) menunjukkan bahwa adanya perbedaan nilai
kuat sobek pada setiap jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya. Nilai
kuat sobek kulit samak tuna pada jenis penyamak mimosa, gambir, dan quebracho
meningkat seiring dengan penambahan konsentrasinya. Akan tetapi, hasil analisis
ragam pada = 0.05 menunjukkan bahwa konsentrasi pada setiap bahan
penyamak tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan nilai kuat sobek kulit
samak, sedangkan jenis bahan penyamak berpengaruh yang nyata pada pada
= 0.05 (Lampiran 13).
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mimosa berbeda nyata dari jenis
bahan penyamak nabati lainnya (Lampiran 14). Hal ini dapat dilihat dari nilai
rata-rata kuat sobek yang dihasilkan dari ketiga konsentrasi secara berurutan yaitu
quebracho sebesar 65.61 N/mm, gambir sebesar 67.23 N/mm, dan mimosa sebesar
53.68 N/mm. Perbedaan nilai kuat sobek yang dihasilkan dari ketiga jenis bahan
13

penyamak nabati tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan ketebalan kulit setelah
disamak.
Menurut Suparno dan Wahyudi (2012) kuat sobek sangat dipengaruhi oleh
ketebalan, arah serat kolagen, dan sudut serat kolagen terhadap lapisan grain.
Faktor lain yang kemungkinan besar dapat mempengaruhi nilai kuat sobek adalah
proses prapenyamakan, khususnya proses liming dan bating.
Proses pengapuran (liming) bertujuan untuk melepaskan epidermis dan bulu
kulit. Selain itu, proses liming juga dapat membuka tenunan kulit yang akan
menentukan tingkat kelemasan, kelembutan kulit, serta kemampuan penetrasi
bahan penyamak. Tenunan kulit juga akan lebih sempurna terbuka pada proses
pelumatan (bating) dengan menggunakan enzim sebagai agen pelumat. Proses
liming dan bating yang berlebihan akan membuat tenunan kulit terlalu terbuka
atau terurai, sehingga kekuatan kulit berkurang. Sebaliknya, jika proses liming dan
bating kurang sempurna akan berakibat tenunan kulit kurang terbuka. Tenunan
kulit yang kurang terbuka berpengaruh terhadap berkurangnya daya penetrasi
bahan penyamak, sehingga kulit yang dihasilkan kurang tersamak dengan baik
(Judiamidjojo 1982).

80
70
Kuat sobel (N/mm)

60
50
40 Konsentrasi :
30 10%
20 15%
20%
10
0
Mimosa
Gambir Quebracho
Quebracho
Jenis bahan penyamak nabati
Gambar 9 Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya
terhadap kuat sobek kulit samak tuna.

Kuat Tarik

Kuat tarik menunjukkan besarnya gaya yang dibutuhkan untuk menarik kulit
hingga putus. Kuat tarik merupakan parameter yang sangat penting dalam
menentukan mutu kulit samak yang dihasilkan. Besarnya kuat tarik kulit samak
menggambarkan kekuatan ikatan yang terjadi antara bahan penyamak dan struktur
jaringan serat kulit.
Berdasarkan hasil pengujian kuat tarik kulit samak ikan tuna (Gambar 10)
menunjukkan bahwa adanya perbedaan nilai kuat tarik pada setiap jenis bahan
penyamak nabati dan konsentrasinya. Nilai kuat tarik kulit samak tuna pada jenis
penyamak mimosa, gambir, dan quebracho meningkat seiring dengan penambahan
konsentrasinya. Hasil analisis ragam pada = 0.05 menunjukkan bahwa jenis dan
14

konsentrasi bahan penyamak tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan nilai


kuat sobek kulit samak (Lampiran 16). Hal ini dapat dilihat dari nilai kuat tarik
yang dihasilkan tidak berbeda jauh pada ketiga jenis bahan penyamak nabati.
25

20
Kuat tarik (N/mm2)

15

10 Konsentrasi :
10%
5 15%
20%
0
Mimosa Gambir Quebracho
Quebracho
Jenis bahan penyamak nabati
Gambar 10 Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya
terhadap peningkatan kuat tarik kulit samak tuna

Kuat tarik kulit samak dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya
jenis bahan penyamak, ketebalan kulit, arah serat (sejajar dan tegak lurus), dan
peminyakan kulit, serta proses penyamakannya. Menurut Suparno et al. (2011),
kuat tarik kulit dipengaruhi oleh arah serat, ketebalan kulit, dan lokasi
pengambilan sampel. Menurut Kanagy (1977) dalam Amwaliya (2011), tingginya
nilai kuat tarik kulit dipengaruhi oleh tingginya komposisi protein serat di dalam
kulit. Faktor lain yang mempengaruhi kuat tarik kulit adalah proses peminyakan.
Penambahan minyak (minyak ikan, minyak biji karet, dan lainnya) akan
memberikan sifat yang elastis dan fleksibel pada kulit samak yang dihasilkan,
sehingga dapat berpengaruh terhadap kuat tarik kulit. Fahidin dan Muslich (1999)
menyatakan bahwa semakin besar molekul zat penyamak semakin besar daya
absorpsi serat kulit terhadap zat penyamak. Bahan penyamak nabati akan bereaksi
dengan struktur kolagen kulit sehingga dapat menghasilkan struktur jaringan serat
kulit yang padat.

Elongasi Putus

Perpanjangan putus (elongation at break) merupakan salah satu faktor yang


sangat penting dalam menentukan mutu kulit samak karena dapat
mengindikasikan keelastisan kulit. Nilai perpanjangan putus yang tinggi
menunjukkan bahwa kulit samak bermutu baik, tidak mudah rusak, tidak kaku,
dan memiliki keealastisan yang baik.
Berdasarkan hasil pengujian, nilai perpanjangan putus yang dihasilkan
cenderung mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya konsentrasi yang
digunakan pada ketiga jenis bahan penyamak nabati (Gambar 11). Hal ini dapat
disebabkan oleh adanya penambahan ketebalan pada kulit samak seiring dengan
15

bertambahnya konsentrasi bahan penyamak sehingga kulit samak menjadi kaku


yang menyebabkan nilai kemuluran putus akan semakin berkurang. Pada hasil
pengujian ketebalan kulit samak tuna menunjukkan bahwa penambahan
konsentrasi dapat meningkatkan ketebalan kulit samak.

60

50
Elongasi putus (%)

40

30
Konsentrasi :
20
10%
15%
10
20%
0
Mimosa Gambir Quebracho
Quebracho
Jenis bahan penyamak nabati
Gambar 11 Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya
terhadap peningkatan elongasi putus (%) kulit samak tuna

Hasil analisis ragam pada = 0.05 menunjukkan bahwa konsentrasi pada


setiap bahan penyamak tidak berpengaruh yang nyata terhadap peningkatan nilai
perpanjangan putus kulit samak tuna, sedangkan jenis bahan penyamakan
berpengaruh yang nyata pada = 0.05 (Lampiran 18). Nilai perpanjangan putus
terbesar dihasilkan oleh gambir (10%) sebesar 54.4% dan yang terkecil dihasilkan
oleh mimosa (10%) sebesar 41.4% (Gambar 9).
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mimosa berbeda nyata dari gambir
dan quebracho (Lampiran 19). Hal ini dapat dilihat dari hasil pengujian yang
menunjukkan bahwa mimosa menghasilkan nilai perpanjangan putus terkecil pada
konsentrasi 10% dan 20% dari gambir dan quebracho.
Perbedaan nilai perpanjangan putus dari ketiga bahan penyamak tersebut
dapat disebabkan oleh adanya perbedaan kadar tanin bahan penyamak dan
ketebalan kulit. Pada pegujian ketebalan kulit, mimosa dapat meningkatkan
ketebalan kulit terbesar yang menyebabkan kulit samak yang dihasilkan lebih
kaku sehingga menghasilkan nilai perpanjangan putus lebih kecil. Disamping itu,
dari hasil pengujian kelenturan (feel/handle), mimosa menghasilkan nilai terkecil
yaitu 5-6.
Kulit yang tersamak dengan baik akan memiliki nilai elastisitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan kulit yang kurang tersamak. Menurut Febrianti (2011),
perpanjangan putus kulit samak sangat dipengaruhi oleh susunan serat, ketebalan
kolagen dan ketebalan kulit. Disamping itu, proses peminyakan pada penyamakan
kulit juga sangat mempengaruhi nilai elongasi putus kulit samak, karena proses
peminyakan dapat meningkatkan kelenturan dan elastisitas kulit.
16

Sifat-Sifat Organoleptik

Sifat organoleptik merupakan parameter yang sangat penting dalam


penentuan mutu kulit samak yang dihasilkan. Sifat ini dapat disesuaikan dengan
pengamplikasiannya pada produk-produk dengan ketentuan dan kebutuhan yang
berbeda. Kulit samak dengan kelenturan (feel/handle) dan warna yang baik dapat
digunakan sebagai bahan baku untuk indusri tekstil seperti dompet, sabuk atau
ikat pinggang, jaket, aksesoris, sofa, dan jok mobil atau motor. Kulit samak yang
kaku dan tebal dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan sandal dan
sepatu.
Pada penelitian ini, uji sifat organoleptik yang dilakukan terdiri atas dua
respon yaitu kelenturan dan warna pada kulit samak tuna yang dihasilkan.
Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan, gambir adalah jenis bahan penyamak
nabati yang menghasilkan mutu kulit samak paling baik dibandingkan mimosa
dan quebracho dengan nilai uji yaitu 8-9. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh
kandungan tanin pada gambir yang paling kecil diantara mimosa dan quebraho.
Menurut Suparno et al. (2008), jumlah tanin dari mimosa yang dapat terikat
pada kolagen kulit adalah sebesar 57%, 55% dari quebracho, dan 54% dari gambir.
Perbedaan kandungan tanin pada setiap bahan penyamak akan memberikan
pengaruh pada penambahan ketebalan kulit setelah disamak. Hasil dari uji
ketebalan kulit menunjukkan bahwa gambir meningkatkan ketebalan kulit yang
paling kecil dari ketiga bahan penyamak tersebut. Hal ini memberikan pengaruh
terhadap kelenturan kulit samak yang dihasilkan. Hubungan antara jenis bahan
penyamak nabati dengan sifat organoleptik kulit samak dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hubungan sifat organoleptik kulit samak tuna dengan bahan penyamak
nabati

Jenis Bahan Nabati Konsentrasi Kelenturan Warna


(%) (feel/handle)
Mimosa 10 7 7
15 7 7
20 6-7 7-8

Gambir 10 8-9 8
15 8 8
20 8 8-9

Quebracho 10 7-8 7
15 7 7
20 7 7-8

Keterangan : 1 = sangat kurang (poor)


10 = sempurna (excellent)
17

Pemilihan Perlakuan Terbaik

Berdasarkan penelitian ini, kombinasi penyamakan dengan glutaraldehida


(3%) dan mimosa (20%) memberikan hasil terbaik. Pemilihan ini didasarkan pada
pengujian sifat fisik dan organoleptik yang diperlukan oleh kulit samak sebagai
bahan baku untuk memproduksi dompet, sabuk atau ikat pinggang, dan aksesoris
yakni yang memerlukan sifat-sifat fisik dan organoleptik kulit samak seperti
penambahan ketebalan yang tinggi (20.83%), suhu kerut yang tinggi (88.8C),
kuat tarik yang tinggi (17.8 N/mm2), perpanjangan putus (41.4%), dan kuat sobek
(54.59 N/mm), serta kelenturan (fell/handle) yang tidak terlalu tinggi (6-7) dan
warna 7-8.

Peningkatan Nilai Tambah Limbah Kulit Ikan Tuna

PT Kelola Mina Laut (KML), Gresik, Jawa Timur, mengolah sebanyak 7 ton
ikan tuna per hari. Proses pengolahan tersebut menghasilkan limbah berupa kulit
sebesar 238 kg per harinya. Proses penanganan limbah kulit yang dilakukan oleh
PT Kelola Mina Laut adalah dengan menjual limbah kulit tersebut dengan harga
Rp 500 per Kg. Limbah kulit tersebut dapat dimanfaatkan dengan lebih baik
dengan meningkatkan nilai tambahnya agar dapat menghasilkan berbagai jenis
produk dengan nilai jual yang lebih tinggi melalui proses penyamakan.
Penjualan kulit samak dilakukan dalam satuan luas (ft2). Nilai jual kulit
samak ikan tuna dengan kualitas baik dengan ukuran (30 cm x 15 cm) atau 0.5 ft2
adalah Rp 25000. Proses pengolahan limbah kulit ikan tuna per Kg dapat
menghasilkan 2 ft2/kg kulit samak tuna. Melalui proses perhitungan peningkatan
nilai tambah yang mengacu pada Hayami (1987) (Lampiran 20), menghasilkan
nilai tambah limbah kulit ikan tuna sebesar Rp 47400 per Kg dengan rasio nilai
tambah 47.4% (Tabel 2). Melalui hasil perhitungan nilai tambah pada Tabel 2,
menjelaskan bahwa pemanfaatan limbah kulit ikan tuna melalui proses
penyamakan sangat potensial untuk dikembangkan dalam skala industri.
Perhitungan nilai tambah limbah kulit ikan tuna dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Perhitungan nilai tambah pengolahan limbah kulit ikan tuna per Kg
No Uraian Kulit Samak Ikan Tuna
1. Input, Output, Harga
a. Output (ft2/Kg/proses produksi) 40
b. Input bahan baku (Kg/proses produksi) 20
c. Input bahan penyamak (% Kg bahan baku) Glutaraldehida (3%) dan
Mimosa (20%)
d. Input bahan kimia (% Kg bahan baku) Ca(OH)2 (5%), Na2S
(3%), Za (5%),H2SO4
(2%), HCOOH, dsb
e. Input bahan proses finishing (% Kg bahan baku) Proses Fatliquoring,
Dyeing, Buffing, Stacking,
Drying, dsb
f. Input tenaga kerja (HOK/orang/proses produksi) 6 (4 orang tenaga kerja)
g. Faktor konversi (a/b) 40 ft2
18

h. Koefisien tenaga kerja (HOK/kg bahan baku) (f/b) 0.3 x 4 = 1.2


i. Harga Output (Rp/ft2) 25000
j. Upah tenaga kerja (Rp/HOK) 35000
2. Pendapatan dan Keuntungan
k. Harga input bahan baku (Rp/Kg) 0 (Tanpa pembelian)
l. Harga input bahan penyamak 150000
(Rp/% Kg bahan baku)
m.Harga input bahan kimia (Rp/% Kg bahan baku) 153000
(Keseluruhan)
n. Harga input bahan proses finishing 131000
(Rp/% Kg bahan baku) (Keseluruhan)
o. Sumbangan input lain (Rp/Proses produksi) 115000
p. HPP (Rp/Kg proses produksi) (k+l+m+n+o+p) 549000
q. Nilai Output (Rp/ft2) (g*i) 2000000
r. Nilai Tambah (Rp/Kg proses produksi) (q-p) 1451000
s. Rasio nilai tambah (%) (q/p*100%) 72.25
t. Pendapatan tenaga kerja (Rp/Kg proses produksi ) 840000
((h*j)x20 Kg))
u. Bagian tenaga kerja (%) (t/r*100%) 57.89
v. Keuntungan (Rp/Kg proses produksi) (r-t) 611000
w. Bagian Keuntungan (%) (v/q*100%) 30.55
3. Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi
x. Margin (Rp/Kg) (q-k) 2000000
y. Pendapatan tenaga kerja (%) (t/x*100%) 42
z. Harga pokok produksi (%) (p/x*100%) 27.45
aa. Keuntungan (%) (v/x*100%) 30.55

Keterangan:
1. Harga input bahan penyamak
a. 1 Kg mimosa = Rp 30000
Biaya penggunaan mimosa (20% x 20 Kg)/1 Kg x Rp 30000
= Rp 120000
b. 1 L Relugan GT 50 = Rp 50000
Biaya penggunaan Relugan GT 50 (3% x 20 Kg)/1 L x Rp 50000
= Rp 30000
2. Harga input bahan kimia
a. 1 L H2SO4 = Rp 20000
Biaya penggunaan H2SO4 (2% x 20 Kg)/1 L x Rp 30000 = Rp 8000
b. 1 L HCOOH = Rp 20000
Biaya penggunaan HCOOH (2% x 20 Kg)/1 L x Rp 30000 = Rp 8000
c. 1 Kg Na2S = Rp 50000
Biaya penggunaan Na2S (3% x 20 Kg)/1 Kg x Rp 50000 = Rp 30000
d. 1 Kg Ca(OH)2 = Rp 50000
Biaya penggunaan Ca(OH)2 (5% x 20 Kg)/1 Kg x Rp 50000
= Rp 50000
e. 1 Kg Za = Rp 6500
Biaya penggunaan Za (2.5% x 20 Kg)/1 Kg x Rp 6500 = Rp 3500
19

f. 1 L Rindill RNN = Rp 16500


Biaya penggunaan Rindill RNN (0.15% x 20 Kg)/1 L x Rp 16500
= Rp 3500
g. 1 Kg Sodium Bisulfit = Rp 11000
Biaya penggunaan Sodium Bisulfit (0.2% x 20 Kg)/1 Kg x Rp 16500
= Rp 450
h. 1 Kg Natrium Formiat = Rp 6600
Biaya penggunaan Natrium Formiat (0.5% x 20 Kg)/1 Kg x Rp 6600
= Rp 700
i. 1 L Degreser 606 = Rp 30000
Biaya penggunaan Degreser 606 (0.1% x 20 Kg)/1 L x Rp 30000
= Rp 450
j. 1 Kg NaCl = Rp 8000
Biaya penggunaan NaCl (20% x 20 Kg)/1 Kg x Rp 8000 = Rp 32000
k. 1 L Palgrosol LP = Rp 37000
Biaya penggunaan Palgrosol LP (0.2% x 20 Kg)/1 L x Rp 37000
= Rp 1500
l. 1 Kg Natrium Karbonat = Rp 8000
Biaya penggunaan Natrium Karbonat (2% x 20 Kg)/1 Kg x Rp 8000
= Rp 3200
m. 1 Kg Natrium Bikarbonat = Rp 6500
Biaya penggunaan Natrium bikarbonat (1% x 20 Kg)/1 Kg x Rp 6500
= Rp 1300
n. 1 Kg Sertan ND = Rp
Biaya penggunaan Sertan ND (2% x 20 Kg)/1 Kg x Rp 25725
= Rp 10290
3. Harga input sumbangan lain
a. Biaya penggunaan listrik/proses produksi dengan motor 1 pk = Rp 100000
b. Biaya penggunaan air/proses produksi = 3 m3/1m3 x Rp 5000 = Rp 15000
4. Harga input proses finishing
a. Biaya fatliquoring agent (8% x 20 Kg)/1 L x Rp 31850 = Rp 51000
b. Biaya proses dyeing (3% x 20 Kg)/1 Kg x Rp 83300 = Rp 50000
c. Biaya proses buffing (1500 x 20 Kg = Rp 30000
20

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil pengujian kulit samak tuna menunjukkan bahwa jenis bahan


penyamak nabati memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan suhu kerut,
kuat sobek, dan elongasi putus kulit samak. Konsentrasi bahan penyamak tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan ketebalan, suhu kerut, kuat
sobek, kuat tarik, dan elongasi putus kulit samak. Interaksi dari kedua faktor tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan ketebalan, suhu kerut, kuat
sobek, kuat tarik, dan elongasi putus kulit samak.
Kombinasi penyamakan dengan glutaraldehida (3%) dan mimosa (20%)
memberikan hasil terbaik pada penelitian ini. Kombinsasi perlakuan ini digunakan
untuk menghasilkan kulit samak sebagai bahan baku untuk produk industri tekstil
seperti dompet, sabuk atau ikat pinggang, dan aksesoris lainnya. Sifat-sifat fisik
kulit samak yang dihasilkan adalah memiliki penambahan ketebalan 20.83%,
Suhu kerut 88.8C, kuat tarik 17.8 N/mm2, perpanjangan putus 41.4%, dan kuat
sobek 54.59 N/mm. Nilai sifat-sifat organoleptiknya adalah kelenturan
(fell/handle) 6-7 dan warna 7-8.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melakukan proses shaving


dan buffing untuk menghilangkan lapisan grain dan daging pada kulit. Selain itu,
diperlukan penggunaan jenis bahan fatliquoring dan waktu proses fatliquoring
terbaik pada proses penyamakan lanjutan.
21

DAFTAR PUSTAKA

Alfindo T. 2009. Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp.) Menggunakan Kulit
Kayu Akasia (Acacia mangium Willd) Terhadap Mutu Sifat Fisik Kulit
[Skripsi]. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor.
Amwaliya S. 2011. Pengaruh Waktu Oksidasi Terhadap Mutu Kulit Samoa pada
Proses Penyamakan Minyak yang Dipercepat dengan Hidrogen Peroksida.
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Anonim. 2013. Quebrcho. [Terhubung Berkala]. http://www.encyclopedia.
com/doc/1E1-quebracho. html. (25 Desember 2013)
Anonim. 2013. Tanaman Black Wattle. [Terhubung Berkala]. http://www.
encyclopedia. com/doc/1E1-blackwattle. html. (25 Desember 2013)
Arsyad. 2001. Kamus Kimia. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka.
Bossche VVD., G Gavend dan MJ Brun. 1997. Chromium Tanned Leather and Its
Environmental Impact. The Chromium File, 4, 1.
Collette BB. 1995. Thunnus orientalis pacific blufin tuna. www.fishbase.com. [20
Desember 2013].
Covington AD. 2009. Tanning Chemistry, The Science of Leather. The Royal
Society of Chemistry, Cambridge.
Covington AD. 2011. Prediction in Leather Processing : A Dark Art or a Clear
Possibility? Procter Memorial Lecture. 95 (6):231 242.
Damink LHHO, Dijkstra PJ, Van Luyn MJA, Van Wachem PB, Nieuwenhuis P,
Feijen J. 1995. Glutaraldehyde as a crosslinking agent for collagen-based
biomaterials. J. Mat. Sci.; Mats. In Medicine 6:460-472.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Potensi dan pemberdayaan
ikan tuna. www.dkp.go.id. [20 Desember 2013].
Fahidin dan Muslich. 1999. Ilmu dan Teknologi Kulit. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Faxing L, Yang L, and Youjie H. (2005). Preparation and the Properties of
Vegetable Extract Used in Low Temperature Tanning Leather Science and
Engineering 15(1): 22-25.
Febianti I. 2011. Penentuan Waktu Oksidasi Terbaik untuk Proses Penyamakan
Kulit Samoa Menggunakan Minyak Biji Karet dengan Oksidator Natrium
Hipoklorit. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Gumbira-Sa'id E, K. Syamsu, E Mardliyati, A Herryandie, NA Evalia. 2009a.
Agroindustri dan Bisnis Gambir Indonesia. IPB Press, Bogor.
Hastuti TU. 2012. Pemanfaatan Limbah Kulit Tuna sebagai Bahan Baku Gelatin
dan Kerupuk Kulit guna Meningkatkan Nilai Tambah Di PT Kelola Mina
Laut [laporan praktik lapang]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hayami Y. 1987. Agricultural Marketing and Processing in Upland Java, a
Perspective from Sunda Village. CGPRT Center. Bogor.
Heidemann E. 1993. Fundamentals of Leather Manufacturing. Eduard Roether KG,
Darmstadt.
Jansen PCM. 2005. Plant Resources of Tropical Africa 3: Dye and Tannins.
Wageningen: Backhuys Publishers.
22

Jianzhong MA, Yun L, Bin L, Dangge, G and Likun W. 2009. Synthesis and
properties of tannin/ vinyl polymer tanning agents. Accessed 24 March 2011
from http://www.aaqtic.org.ar/congresos/china2009/download/2-4/2-128.pdf
Judiamidjojo RM. 1982. Dasar Teknologi dan Kimia Kulit. Fakultas Teknologi
Hasil Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kanth SV, Venba R, Madhan B. et al. 2009. Journal of Cleaner Production. 17,
507.
Mann BR, and McMillan MM. 2000. The Chemistry of The Leather Industry.
Christchurch (NZ): G.L Bowron & Co. Ltd.
Duo N, L Yahua, H Jianbing, LV Bin, Z Thing. 2011. A Methode for Measuring
Shrinkage Temperature of Leather. Journal of The Society of Leather
Technologists and Chemists. Vol. 95 (5): 221-224.
Purnomo E. 1991. Penyamakan Kulit Reptil. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
. 1992. Penyamakan Kulit Kaki Ayam. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Radiman. 1990. General Theory of Tanning Process. Yogyakarta: Leather
Research Institute.
Said MI. 2000. Isolasi dan Identfikasi Kapang serta Pengaruhnya Terhadap Sifat
Fisik dan Struktur Jalinan Kulit Kambing Picling serta et Blue dengan
Perlakuan Fungisida Selama Penyimpanan. Tesis. Ilmu Pr Jalinan Kulit
Kambing Picling serta et Blue dengan Perlakuan Fungisida Selama
Penyimpanan. Tesis. Ilmu Peterternakan. Yogyakarta: UGM.
Shi B. 2006. Tannin-Aldehyde Compound (I): Combination Tanning by Vegetable
Tanninmodified Glutaraldehyde. China Leather 35(17):1-12.
[SLTC] Society of Leather Technologists and Chemists. 1996. Official methods of
Analysis. Northampton (UK): SLTC.
Suparno O. 2005. Phenolic Reactions for Leather Tanning and Dyeing. PHD.
Tessis. University of Leicester, Leicester.
Suparno O. 2009. Penyamakan kulit samoa (chamois leather). Bogor: Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Suparno O, IA Kartika, Muslich. 2009a. Chamois leather tanning using rubber
seed oil. Journal of The Society of Leather Technologists and Chemists
Vol 93. P. 158.
Suparno O, AD Covington and CS Evans. 2005. Kraft lignin degradation products
for tanning and dyeing of leather. Journal of Chemical Technology and
Biotechnology 80 (1): 44 49.
Suparno O, AD Covington, CS Evans. 2008. Teknologi Baru Penyamakan Kulit
Ramah Lingkungan: Penyamakan Kombinasi Menggunakan Penyamak
Nabati, Naftol dan Oksazolidin. J. Tek. Ind. Pert. Vol. 18(2): 79-84.
Suparno O, Gumbira-Said E, Kartika IA, Muslich, Mubarak S. 2011. An
Innovative New Application of Oxidizing Agents to Accelerate Chamois
Leather Tanning. Journal of the American Leather Chemists Association.
106(12): 360-366.
Suparno O, Wahyudi E. 2012. Pengaruh konsentrasi natrium perkarbonat dan
jumlah air pada penyamakan kulit samoa terhadap mutu kulit samoa. Jurnal
Teknologi Industri Pertanian 22 (1): 1-9.
23

LAMPIRAN

Lampiran 1 Foto-foto bahan dan peralatan yang digunakan

Kulit tuna setelah di washing Kulit tuna dipotong (7cm x 7cm)

Kulit samak tuna untuk uji tarik Kulit samak tuna untuk uji sobek

Kulit samak tuna untuk uji tarik Kulit samak tuna untuk uji sobek
24

Timbangan Shaker

Drum putar (molen) Thickness gauge

UTM Instron
25

Lampiran 2 Prosedur Penelitian


Penyamakan aldehida

Tabel Proses Penyamakan Awal (Suparno et al. 2009a)

Proses Bahan Kimia Jumlah Waktu Keterangan


(% kulit
pikel) (b/b)
Penimbangan
Pencucian 1 NaCl 8-10 20 menit Derajat baume diukur min. 8,
Air 200 jika kurang dari 8
ditambahkan NaCl

Pencucian 2 NaCl 8-10 10 menit - Ukur min. 8 boume, jika


Air 100 kurang dari 8 tambahkan
NaCl
- Cek pH min. 3, jika kurang
tambahkan asam formiat

Pre-Tanning Relugan GT 3 3 x 15 + Relugan GT50 diencerkan


50 30 menit dengan air, perbandingan 1:3
Air 9

Natrium 1 4 x 10 + Natrium Formiat diencerkan


Formiat 20 menit dengan air, perbandingan
Air 10 1:10

Natrium 2 3 x 15
Karbonat menit
Air 10

Air 10 1 jam pH min 8, jika kurang


ditambahkan Natrium
Karbonat
26

Penyamakan nabati

Tabel Proses Penyamakan Nabati (Modifikasi dari Suparno et al. 2008)

Proses Bahan Kimia Jumlah Waktu Keterangan


(% kulit
pikel) (b/b)
Pencucian1 Air 200 20 menit

Penyamakan Sertan ND 2 30 menit Cek pH 4.5

Bahan 10, 15, 20 2 x 60 menit


penyamak nabati

Fiksasi Asam formiat 0.25 3 x 10 + 60 Encerkan dengan air 3 kali


menit (cek pH 3.5)

Natrium 1% 2 x 10 + 20 Cek pH (4.5-5.5)


bikarbonat menit

Drain Keluarkan cairan dari


molen/jar

Pencucian 2 Air (40C) 150 10 menit

Fatliquoring Fatliquoring 8-10 90 menit


agent

Fiksasi Asam formiat 2% 2 x 20 menit Cek pH (3.6-3.8). Jika pH


belum sesuai tambahkan
asam formiat

Pencucian 3 Air 300 10 menit Cek pH (3.5)

Drain Keluarkan air dari


molen/jar

Horse-up Semalam Sampirkan pada kuda-


kuda

Pengeringan 1-2 hari Bentangkan kulit pada


toggle dryer
27

Lampiran 3 Prosedur Analisis dan Uji Sifat Fisik Kulit


Sifat Fisik Kulit
Ketebalan (SLTC, 1996)
Ketebalan kulit diukur dengan cara mengukur ketebalan pada lima titik
permukaan kulit dan dihitung rata-rata dari hasil pengukuran. Pengukuran
ketebalan menggunakan alat thickness gauge. Alat diletakkan di atas bidang
horizontal dengan permukaan yang rata kemudian sampel diletakkan di antara
tatakan dan penekan dengan sisi grain berada di atas (jika dapat diidentifikasi).
Jika sisis grain-nya tidak dapat diidentifikasi, maka sampel diletakkan dengan
salah satu sisi ke atas. Penekan dilepas, ditunggu sekitar 5 detik 1 detik,
kemudian angka yang terbaca pada meteran dicatat.sebagai ketebalan. Hasil
ketebalan yang terbaca kemudian dirata-ratakan.

Kuat tarik (SLTC, 1996)


Pengujian kekutan tarik dilakukan dengan menggunakan alat tensile strength
tester. Sampel dipasang pada alat penguji dengan cara menjepitkan kedua ujung
sampel pada alat penjepit. Jarak antar jepitan adalah 5 cm. Setelah sampel
terpasang, mesin dinyalakan dan dimatikan ketika sampel terputus. Nilai kekuatan
tarik dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
( )
F = nilai yang terbaca pada alat (kgf)
l = lebar kulit yang diuji (mm)
t = ketebalan kulit (mm)

Berikut ini adalah bentuk sampel untuk uji kekuatan tarik

Dimensi (mm) :

L l1 l2 B b1 A
55 25 15 5 12,5 5

Perpanjangan putus atau elongasi (SLTC 1996)


Pengujian perpanjangan (elongasi) adalah pengukuran perpanjangan kulit
yang ditarik mulai dari kondisi awal sampai dengan akhir yaitu terputusnya kulit
pada saat pengujian kekuatan tarik. Perpanjangan dihitung dengan
membandingkan perpanjangan kulit ketika terputus pada saat pengujian kekuatan
tarik dengan panjang kulit diawal pengukuran. Penghitungan perpanjangan putus
dilakukan dengan menggunakan rumus sebagi berikut:
28

L1 = Panjang pada waktu putus (mm)


L0 = Panjang mula mula (mm)

Kuat sobek (SLTC 1996)


Pengujian kekuatan sobek menggunakan alat yang sama dengan uji
kekuatan tarik, yang berbeda hanya pada bentuk sampel dan penggunaan alat
tambahan pada alat tensile strength tester. Alat tambahan yang digunakan yaitu
pengait yang berfungsi untuk menarik sampel uji kekuatan sobek. Sampel
dipasang dengan cara mengaitkan bagian tengah sampel pada alat pengait. Alat
pengait akan menarik sampel dengan arah yang berlawanan sehingga sampel akan
tersobek. Nilai kekuatan sobek yang terbaca pada alat dilihat ketika sampel mulai
tersobek dan jarum penunjuk nilai kekuatan sobek pada alat pengujian berhenti.
Nilai kekuatan sobek dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

( )
F = Nilai yang terbaca pada alat ( kgf)
t = Ketebalan kulit (mm)

Keterangan :
A. Penampang alat uji kekeuatan sobek.
B. Bentuk dan ukuran sampel
C. Posisi sampel untuk pengujian kekuatan sobek.
29

Suhu kerut (SLTC 1996)


Prosedur pengujian :
1. Sampel dikaitkan pada pengait D dan J
2. Sampel dimasukkan ke dalam gelas A yang telah berisi 35050 ml air
destilasi. Kecuali sampel diduga mempunyai suhu pengerutan di bawah
60oC, sampel dimasukkan ke dalam air dengan suhu 505oC. Air dipanaskan
dengan menjaga kenaikan suhu sebisa mungkin sebesar 2oC per menit.
3. Setiap interval setengah menit, suhu yang terbaca pada termometer M dan
derajat yang terbaca pada pointer G dicatat. Kegiatan ini diteruskan sampai
sampel mengalami pegerutan. Kegiatan ini dapat diakhiri setelah sampel
tidak lagi mengalami pengerutan seiring dengan kenaikan suhunya. Dengan
membaca hubungan antara suhu dan besarnya derajat pergerakan pointer
atau dengan menggunakan grafik hubungan antara pembacaan pointer
dengan suhu maka dapat ditentukan derajat pengerutan dari sampel tersebut.
Suhu pengerutan adalah suhu dimana terjadi pengerutan sampel dengan
derajat paling besar.

Keterangan :
A. Penampang alat uji suhu pengerutan.
B. Posisi sampel untuk pengujian suhu pengerutan.

Lampiran 4 Uji Organoleptik


Uji organoleptik dilakukan dengan cara mengindentifikasi beberapa
parameter mutu kulit samak tuna diantaranya yaitu: kelenturan (fell/handle) dan
warna. Indentifikasi dilakukan oleh panelis ahli yang mengetahui standar mutu
kulit samak. Selang nilai yang diberikan adalah 1 10 dengan skala nilai 1 adalah
sangat kurang dan 10 adalah sangat baik
30

Lampiran 5 Tabel hasil pengukuran kadar tanin bahan penyamak nabati (%)

Jenis bahan nabati Kadar tanin


Mimosa 25.26
Gambir 17.24
Quebracho 22.98

Lampiran 6 Tabel hasil pengukuran peningkatan ketebalan kulit (%)

Standar
Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Deviasi
A1B1 15.13 19.85 17.49 3.34
A1B2 18.84 16.68 17.76 1.53
A1B3 18.02 23.64 20.83 3.97
A2B1 13.40 9.20 11.30 2.97
A2B2 13.27 9.80 11.54 2.45
A2B3 12.42 11.15 11.79 0.90
A3B1 16.00 15.64 15.82 0.25
A3B2 15.53 17.17 16.35 1.16
A3B3 18.54 20.54 19.54 1.41

Keterangan :
A1 : mimosa B1 : 10%
A2 : gambir B2 : 15%
A3 : quebracho B3 : 20%

Lampiran 7 Tabel uji Anova ( = 5%) terhadap peningkatan ketebalan kulit (%)

The GLM Procedure


Class Level Information

Class Levels Values


F1 3 A1 A2 A3
F2 3 B1 B2 B3
Ulangan 2 12

Number of Observations Read 18


Number of Observations Used 18
31

Source df SS MS F Value Pr > F


Jenis Bahan (F1) 2 171.488133 85.744066 15.97 0.0011
Konsentrasi (F2) 2 22.306300 11.153150 2.08 0.1812
Interaksi (F1*F2 ) 4 7.894866 1.973716 0.37 0.8260
Model 8 201.689300 25.211162 4.70 0.0164
Error 9 48.320700 5.368966
Corrected Total 17 250.010000

Lampiran 8 Tabel uji Duncan terhadap peningkatan kebebalan kulit (%)

Duncan Grouping Mean N F1


A 18.693 6 A1
A 17.237 6 A3
B 11.540 6 A2
Alpha = 0.05

Lampiran 9 Tabel hasil pengukuran suhu kerut kulit samak (C)

Standar
Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Deviasi
A1B1 90.3 82.3 86.3 4.63
A1B2 91.3 83.0 87.2 4.76
A1B3 90.3 87.3 88.8 1.69
A2B1 79.0 81.0 80.0 1.25
A2B2 80.0 80.7 80.4 0.44
A2B3 79.0 82.3 80.7 2.05
A3B1 82.3 81.3 81.8 0.61
A3B2 81.7 84.0 82.9 1.39
A3B3 83.3 82.3 82.8 0.60
32

Lampiran 10 Tabel uji Anova ( = 5%) terhadap peningkatan suhu kerut kulit (C)
The GLM Procedure
Class Level Information

Class Levels Values


F1 3 A1 A2 A3
F2 3 B1 B2 B3
Ulangan 2 12

Number of Observations Read 18


Number of Observations Used 18

Source df SS MS F Value Pr > F


Jenis Bahan (F1) 2 148.703333 74.351666 7.89 0.0105
Konsentrasi (F2) 2 3.763333 1.881666 0.20 0.8225
Interaksi (F1*F2 ) 4 4.313333 1.078333 0.11 0.9741
Model 8 156.780000 19.597500 2.08 0.1480
Error 9 84.780000 9.420000
Corrected Total 17 241.560000

Lampiran 11 Tabel uji Duncan terhadap peningkatan suhu kerut kulit (C)

Duncan Grouping Mean N F1


A 87.417 6 A1
B 82.483 6 A3
B 80.333 6 A2
Alpha = 0.05

Lampiran 12 Tabel hasil pengukuran kuat sobek kulit samak (N/mm)

Standar
Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Deviasi
A1B1 51.40 54.30 52.85 2.05
A1B2 51.12 56.08 53.60 3.51
A1B3 56.25 52.92 54.59 2.35
A2B1 63.05 67.70 65.38 3.29
A2B2 69.53 65.19 67.36 3.07
A2B3 70.16 67.76 68.96 1.70
A3B1 62.33 63.64 62.99 0.93
A3B2 65.21 63.92 64.57 0.91
A3B3 67.89 70.64 69.27 1.94
33

Lampiran 13 Tabel uji Anova ( = 5%) terhadap kuat sobek kulit samak (N/mm)
The GLM Procedure
Class Level Information

Class Levels Values


F1 3 A1 A2 A3
F2 3 B1 B2 B3
Ulangan 2 12

Number of Observations Read 18


Number of Observations Used 18

Source df SS MS F Value Pr > F


Jenis Bahan (F1) 2 657.1685333 328.5842667 58.41 <.0001
Konsentrasi (F2) 2 45.8334333 22.9167167 4.07 0.0550
Interaksi (F1*F2 ) 4 12.7800333 3.1950083 0.57 0.6926
Model 8 715.7820000 89.4727500 15.90 0.0002
Error 9 50.6306500 5.6256278
Corrected Total 17 766.4126500

Lampiran 14 Tabel uji lanjut Duncan terhadap kuat sobek kulit samak (N/mm)

Duncan Grouping Mean N F1


A 67.232 6 A2
A 65.605 6 A3
B 53.678 6 A1
Alpha = 0.05

Lampiran 15 Tabel hasil pengukuran kuat tarik kulit samak (N/mm)

Standar
Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Deviasi
A1B1 19.03 15.69 17.36 2.36
A1B2 19.13 15.68 17.41 2.44
A1B3 19.63 15.88 17.75 2.65
A2B1 16.54 15.14 15.84 0.99
A2B2 16.02 16.68 16.35 0.46
A2B3 15.83 17.24 16.54 1.00
A3B1 16.22 16.53 16.37 0.22
A3B2 16.01 16.85 16.43 0.59
A3B3 16.31 16.75 16.53 0.31
34

Lampiran 16 Tabel uji Anova ( = 5%) terhadap kuat tarik kulit samak (N/mm)

The GLM Procedure


Class Level Information

Class Levels Values


F1 3 A1 A2 A3
F2 3 B1 B2 B3
Ulangan 2 12

Number of Observations Read 18


Number of Observations Used 18

Source df SS MS F Value Pr > F


Jenis Bahan (F1) 2 5.51621111 2.75810556 0.24 0.7907
Konsentrasi (F2) 2 0.51271111 0.25635556 0.02 0.9779
Interaksi (F1*F2 ) 4 0.21562222 0.05390556 0.00 0.9999
Model 8 6.2445444 0.7805681 0.07 0.9995
Error 9 102.9531500 11.4392389
Corrected Total 17 109.1976944

Lampiran 17 Tabel hasil pengukuran elongasi putus kulit samak tuna (%)

Standar
Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Deviasi
A1B1 44.04 41.79 42.91 1.59
A1B2 41.34 43.68 42.51 1.65
A1B3 42.40 40.37 41.39 1.44
A2B1 53.46 55.35 54.40 1.34
A2B2 54.51 52.18 53.34 1.65
A2B3 50.82 53.70 52.26 2.04
A3B1 47.97 51.40 49.69 2.42
A3B2 48.02 50.15 49.09 1.50
A3B3 47.54 49.69 48.61 1.52
35

Lampiran 18 Tabel uji Anova ( = 5%) terhadap elongasi putus kulit samak (%)

The GLM Procedure


Class Level Information

Class Levels Values


F1 3 A1 A2 A3
F2 3 B1 B2 B3
Ulangan 2 12

Number of Observations Read 18


Number of Observations Used 18

Source df SS MS F Value Pr > F


Jenis Bahan (F1) 2 374.295211 187.147605 16.21 0.0010
Konsentrasi (F2) 2 7.679744 3.839872 0.33 0.7255
Interaksi (F1*F2 ) 4 0.669988 0.167497 0.01 0.9995
Model 8 382.644944 47.830618 4.14 0.0243
Error 9 103.904150 11.544905
Corrected Total 17 486.549094

Lampiran 19 Tabel uji lanjut Duncan terhadap kuat sobek kulit samak (N/mm)

Duncan Grouping Mean N F1


A 53.334 6 A2
A 49.127 6 A3
B 42.270 6 A1
Alpha = 0.05
36

Lampiran 20 Tabel prosedur perhitungan nilai tambah (Hayami 1987)


Keluaran (output), Masukan (input), dan Harga
1 Output/produk total (kg/ proses produksi) A
2 Input bahan baku (kg/proses produksi) B
3 Input tenaga kerja (HOK/proses produksi) C
4 Faktor konversi (kg output//kg bahan baku) D = A/B
5 Koefisien tenaga kerja (HOK/kg bahan baku) E = C/B
6 Harga output (Rp/kg) F
7 Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/proses produksi) G
Pendapatan dan Keuntungan
8 Harga input bahan baku (Rp/kg) H
9 Sumbangan input lain (Rp/kg) I
10 Nilai output (Rp/kg) J = D*F
11 Nilai tambah (Rp/kg) K = J-H-I
Rasio nilai tambah (%) L % = K/J*100%
12 Pendapatan tenaga kerja (Rp/kg) M = E*G
Bagian tenaga kerja (%) N % = M/K*100%
13 Keuntungan (Rp/kg) O = K-M
Bagian keuntungan (%) P % = O/J*100%
Balas Jasa untuk Faktor Produksi
14 Marjin (Rp/kg) Q = J-H
a. Pendapatan tenaga kerja (%) R % = M/Q*100%
b. Sumbangan input lain (%) S % = I/L*100%
c. Keuntungan (%) T % = O/Q*100%
Sumber : Hayami (1987)
37

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Torgamba, Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Provinsi


Sumatera Utara pada tanggal 26 Nopember 1991 sebagai anak pertama dari tiga
bersaudara dari pasangan Rustam Effendi Hasibuan dan Santi Pasaribu.
Penulis telah berhasil menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri
(SDN) 01 Torgamba pada tahun 2003. Selanjutnya, penulis menempuh jenjang
pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Swasta Torgamba dan lulus pada tahun
2006. Pada tahun 2009 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah
Atas Negeri (SMAN) 1 Rantau Utara dan pada tahun yang sama lulus seleksi
masuk IPB melalui jalur undangan resmi (USMI). Penulis memilih Program Studi
Teknologi Industri Pertanian, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif pada berbagai organisasi
kemahasiswaan, antara lain Himpunan Profesi di Himpunan Mahasiswa Teknologi
Industri Pertanian (HIMALOGIN) sebagai anggota Divisi Industri pada tahun
2010-2011, PASKIBRA IPB sebagai anggota dan pelatih pada tahun 2009-2011,
UKM Bola Volly IPB sebagai anggota pada tahun 2010-2014, dan Himpunan
Mahasiswa Labuhan Batu (HIMLAB) pada tahun 2009-2014. Selain itu, penulis
juga pernah menjadi asisten mata kuliah Peralatan Industri Pertanian pada tahun
2013 dan asisten mata kuliah Teknologi Serat, Karet, Gum, dan Resin pada tahun
2013. Penulis juga pernah mengikuti kejuaraan bola volly antar perguruan tinggi
se-Indonesia pada tahun 2013.
Penulis telah melaksanakan Praktik Lapang (PL) pada bulan Juli - Agustus
2012 mengenai Aspek Teknologi Proses dan Pengawasan Mutu Crude Palm Oil
(CPO) di PT Perkebunan Nusantara IV (PERSERO), Unit Usaha Adolina,
Perbaungan-Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai