) DENGAN
MENGGUNAKAN PENYAMAKAN KOMBINASI
ALDEHIDA DAN NABATI
ABSTRACT
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
dan limpahan rahmat-Nya sehingga penyusunan skripsi berjudul Penyamakan
Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp.) Dengan Menggunakan Penyamakan Kombinasi
Aldehida dan Nabati berhasil diselesaikan. Tema yang diangkat dalam penelitian
yang dilaksanakan selama Mei 2013 sampai Nopember 2013 ini adalah proses
penyamakan kulit ikan tuna. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan teristimewa kepada:
1. Prof Dr Ono Suparno, STP, MT, selaku Pembimbing Akademik atas
perhatian dan bimbingannya selama penelitian dan penyelesaian skripsi.
2. Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti dan Dr Endang Warsiki STP MSi, selaku
dosen penguji atas kritik dan saran yang telah diberikan.
3. Bapak Ir Moh. Najikh selaku CEO, Bapak Saiful Azis selaku Business
Manager Unit III, Bapak Pebru Yuwono, dan seluruh Staff atas kesediaan
dalam pengadaan bahan baku selama proses penyelesaian skripsi ini.
4. Ayahanda Rustam Effendi Hasibuan, Ibunda Santi Pasaribu, adik-adik
Elfriyanti Srimadona Hasibuan dan Ali Akbar Hasibuan beserta keluarga
besar atas doa, semangat, dan kasih sayangnya.
5. Keluarga besar TIN 46 atas dukungan dan doanya.
6. Seluruh dosen, laboran, dan staff Departemen Teknologi Industri Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
7. Seluruh sanak dan kerabat yang tidak bisa disebutkan satu-persatu
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 3
Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp.) 3
Penyamakan Kulit 4
Penyamakan Aldehida 4
Bahan Penyamak Nabati 6
Reaksi Penyamakan Nabati 7
METODE 7
Waktu dan Tempat 7
Bahan 7
Alat 8
Prosedur Penelitian 8
Prosedur Pengujian 9
Prosedur Analisis Data 9
HASIL DAN PEMBAHASAN 10
Ketebalan Kulit 10
Suhu Kerut 11
Kuat Sobek 12
Kuat Tarik 13
Elongasi Putus 14
Sifat - Sifat Organoleptik 16
Pemilihan Perlakuan Terbaik 17
Peningkatan Nilai Tambah Limbah Kulit Ikan Tuna 17
SIMPULAN DAN SARAN 20
Simpulan 20
Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 21
LAMPIRAN 23
RIWAYAT HIDUP 49
DAFTAR TABEL
1 Hubungan sifat organoleptik kulit samak tuna dengan bahan penyamak
nabati 16
2 Perhitungan nilai tambah pengolahan limbah kulit ikan tuna per Kg 17
DAFTAR GAMBAR
1 (a) Ikan tuna (Thunnus.), (b) struktur kulit hewan 3
2 Jaringan kulit sebelum dan setelah disamak (ilustrasi) 4
3 Polimerisasi glutaraldehida 5
4 Reaksi antara glutaraldehida dan protein 5
5 (a) Gambir, (b) black wattle (b), (c) quebracho 6
6 Reaksi hidrogen antara bahan penyamak nabati dan kolagen kulit 7
7 Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya
terhadap ketebalan kulit 11
8 Hubungan jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya terhadap
peningkatan suhu kerut kulit samak 12
9 Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya
terhadap kuat sobek kulit samak tuna 13
10 Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya
terhadap peningkatan kuat tarik kulit samak tuna 14
11 Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya
terhadap peningkatan elongasi putus (%) kulit samak tuna 15
DAFTAR LAMPIRAN
1 Foto-foto bahan dan peralatan yang digunakan 23
2 Prosedur Penelitian 25
3 Prosedur Analisis dan Uji Sifat Fisik Kulit 27
4 Uji Organoleptik 29
5 Tabel hasil pengukuran kadar tanin bahan penyamak nabati 30
6 Tabel hasil pengukuran peningkatan ketebalan kulit (%) 30
7 Tabel uji Anova ( = 5%) terhadap peningkatan ketebalan kulit (%) 30
8 Tabel uji Duncan terhadap peningkatan kebebalan kulit (%) 31
9 Tabel hasil pengukuran suhu kerut kulit samak (C) 31
10 Tabel uji Anova ( = 5%) terhadap peningkatan suhu kerut kulit (C) 32
11 Tabel uji Duncan terhadap peningkatan suhu kerut kulit (C) 32
12 Tabel hasil pengukuran kuat sobek kulit samak (N/mm) 32
13 Tabel uji Anova ( = 5%) terhadap kuat sobek kulit samak (N/mm) 33
14 Tabel uji lanjut Duncan terhadap kuat sobek kulit samak (N/mm) 33
15 Tabel hasil pengukuran kuat tarik kulit samak (N/mm) 33
16 Tabel uji Anova ( = 5%) terhadap kuat tarik kulit samak (N/mm) 34
17 Tabel hasil pengukuran elongasi putus kulit samak tuna (%) 34
18 Tabel uji Anova ( = 5%) terhadap elongasi putus kulit samak (%) 35
19 Tabel uji lanjut Duncan terhadap kuat sobek kulit samak (N/mm) 35
20 Tabel prosedur perhitungan nilai tambah 36
PENDAHULUAN
Latar Belakang
bahan penyamak nabati yang digunakan hanya satu jenis yaitu mimosa dengan
konsentrasi 5%, 10%, dan 15%.
Pada penelitian ini, kombinasi penyamakan yang dilakukan menggunakan
dua jenis bahan penyamak yaitu aldehida sebagai proses penyamakan awal (pre-
tanning) dengan menggunakan Relugan GT50, dan nabati sebagai proses
penyamakan lanjutan dengan menggunkan mimosa, gambir dan quebracho.
Kombinasi bahan penyamak ini diharapkan dapat menghasilkan sifat fisik kulit
samak tuna yang lebih baik seperti ketebalan kulit samak, suhu kerut, kuat tarik,
elongasi putus, kuat sobek, dan sifat organoleptik kulit samak seperti kelenturan
(feel/handle) dan warna.
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Ikan tuna termasuk ke dalam ikan pelagis besar dalam keluarga Scombridae
yang mempunyai warna biru kehitaman pada bagian punggung dan berwarna
keputih-putihan pada bagian perut. Ikan tuna tergolong ikan perenang cepat,
tubuhnya seperti cerutu, mempunyai dua sirip punggung, sirip depan biasanya
lebih pendek dan terpisah dari sirip belakang. Mempunyai jari-jari sirip tambahan
(finlet) di belakang punggung dan dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip
perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong
menutup seluruh hypural (DKP 2008). Gambar ikan tuna dapat dilihat pada
Gambar 1a. .
Kulit merupakan lapisan terluar dari tubuh makhluk hidup yang berfungsi
sebagai pelindung tubuh dari berbagai pengaruh luar seperti panas, pengaruh
mekanis maupun kimiawi. Secara histologis kulit ikan dapat dibagi atas tiga
lapisan yaitu lapisan epidermis, lapisan corium atau cutis, dan lapisan subcutis.
Epidermis adalah lapisan paling luar dari kulit, yang berfungsi sebagai
penghalang antara binatang dengan lingkungannya (Covington 2011). Lapisan ini
merupakan lapisan dengan struktur seluler dan terdiri dari lapisan-lapisan sel
epitel yang dapat berkembang biak dengan sendirinya. Pada penyamakan kulit,
biasanya lapisan ini harus dibuang sampai bersih.
Lapisan corium atau cutis adalah bagian pokok tenunan kulit yang akan
diubah menjadi kulit samak. Corium sebagian besar tersusun dari serat-serat
tenunan pengikat. Dalam derma terdapat tiga tipe tenunan pengikat yaitu tenunan
kolagen, elastin, dan reticular. Sedangkan lapisan subcutis adalah tenunan
pengikat longgar yang menghubungkan corium dengan bagian-bagian lain dari
tubuh. Struktur kulit dapat dilihat pada Gambar 1b.
Penyamakan Kulit
Penyamakan Aldehida
antara gugus aldehida hidroksilisin dan gugus amino hidroksilisin lain. Basa
Schiff yang dihasilkan dari proses ikatan antara kedua gugus tersebut yang
menghasilkan aldehida sedikitnya satu atom hidrogen terikat pada karbon dalam
gugus karbonil. Gugus fungsi dalam senyawa ini adalah gugus karbonil, C=O.
Keberadaan atom hidrogen tersebut menjadikan aldehida sangat mudah teroksidasi.
Atau dengan kata lain, aldehida adalah agen pereduksi yang kuat (Arsyad 2001).
Gambar 4 menunjukkan reaksi yang terjadi antara glutaraldehida dengan protein.
a b c
Gambar 5 (a) Gambir (Gumbira-Said et al., 2009a), (b) black wattle (Anonim
2013), (c) quebrach (Anonim 2013)
7
Reaksi utama yang terjadi pada penyamakan nabati adalah reaksi antara
tanin dengan protein pada kulit. Tanin dapat mengikat dan mengendapkan protein,
sehingga terbentuk suatu senyawa kompleks yang tidak larut. Terdapat dua gugus
penting pada kolagen kulit hewan yang berperan dalam proses penyamakan kulit,
yaitu gugus NH2 dan COOH. Gugus tersebut akan berubah menjadi gugus NH3+
dan COO- pada keadaan isoelektrik. Gugus amina (NH3+) yang berkaitan dengan
tanin yang terdapat pada bahan penyamak nabati (Radiman 1990).
Gambar 6 Reaksi hidrogen antara bahan penyamak nabati dan kolagen kulit
(Suparno 2005)
METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Nopember 2013.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyamakan Kulit, Laboratorium
Bioindustri, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Laboratorium Fisik yang terdapat pada bagian Rekayasa dan Desain
Bangunan Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan baku
utama dan bahan pembantu. Bahan baku utama yang digunakan adalah kulit tuna
pikel dan bahan penyamak nabati (mimosa, gambir, dan quebracho). Bahan
pembantu penyamakan adalah aquades, eusapon, sertan ND (dispersing agent),
natrium formiat, asam formiat, natrium karbonat, natrium bikarbonat, NaCl,
Relugan GT 50, dan fatliquoring agent (Lampiran 1).
8
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat untuk proses
penyamakan dan proses analisis yaitu ember plastik, pisau, telenan, molen (drum
putar), shaker, toggle dryer, pH meter, baumemeter, thickness gauge, tensile
strength tester (Instron), pengukur suhu kerut, dan alat uji tarik dengan merk
Zwick/Roell (Lampiran 1).
Prosedur Penelitian
Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan yang dilakukan merupakan tahapan awal persiapan
bahan yaitu pengujian kadar tanin bahan penyamak nabati, proses pra-
penyamakan (beam house operation) dan proses penyamakan dengan
menggunakan dua jenis bahan penyamak dengan masing-masing satu jenis
konsentrasi. Proses pra-penyamakan yang dilakukan diantaranya proses liming,
deliming, bathing, dan pickling. Proses lanjutan adalah proses penyamakan
(tanning) dengan menggunakan Relugan GT 50 (3%) dan mimosa (15%) sebagai
bahan penyamaknya.
Penelitian Utama
a. Penyamakan Aldehida
Prosedur penyamakan awal merujuk pada prosedur di dalam jurnal yang
dilaporkan oleh Suparno et al. (2009a). Penyamakan awal dilakukan dengan
mencuci terlebih dahulu kulit tuna yang telah di-pickling. Sebelum dicuci, kulit
ditimbang untuk menentukan jumlah bahan pencuci yang akan digunakan sesuai
dengan persentase yang sudah ditetapkan. Persentase bahan pencuci yang
digunakan berbasis bobot total bahan (kulit pikel). Setelah itu, ditambahkan air
200% dan NaCl 8% dengan mengukur derajat baume (6-10 Be). Setelah itu,
sebelum ditambahkan bahan penyamak aldehid (glutaraldehida) sebanyak 3%,
dilakukan pengecekan pH <3, jika masih kurang ditambahkan asam formiat.
Setelah sesuai, Relugan GT 50 ditambahkan sebanyak 3%. Relugan yang
ditambahkan sebelumnya diencerkan dengan air 3 kali bobot Relugan GT50 dan
dimasukkan ke dalam jar dengan tiga kali pemasukan setiap 15 menit. Kemudian
di-shaker kembali selama 60 menit dengan kecepatan 150 rpm. Selanjutnya
ditambahkan natrium formiat 1% yang telah diencerkan terlebih dahulu
menggunakan air dengan perbandingan 1:10 dengan empat tahap pemasukan
dengan selang waktu 10 menit dan kemudian di-shaker kembali selama 20 menit.
Setelah selesai, dilakukan penambahan natrium karbonat sebanyak 2% dan air
sebanyak 10%. Penambahan dilakukan dengan tiga kali tahap pemasukan setiap
selang waktu 15 menit. Setelah itu, air sebanyak 10% ditambahkan ke dalam jar
dan di-shaker selama 60 menit.
Setelah semua selesai, dilakukan pengecekan pH > 8. Jika masih kurang,
ditambahkan natrium karbonat. Selanjutnya, larutan dikeluarkan dari jar dan kulit
didiamkan selama semalam. Setelah itu, kulit dilanjukan dengan penyamakan
lanjutan dengan menggunakan bahan penyamak nabati (Lampiran 2).
9
b. Penyamakan Nabati
Prosedur penyamakan lanjutan merujuk pada prosedur di dalam jurnal yang
dilaporkan oleh Suparno et al. (2008) yang telah dimodifikasi. Penyamakan nabati
dilakukan setelah kulit selesai disamak dengan menggunakan glutaraldehida.
Bahan penyamak yang digunakan pada penyamakan lanjutan adalah bahan
penyamak nabati (mimosa, gambir, dan quebracho). Konsentarasi masing-masing
bahan penyamak nabati yang digunakan sama, yaitu 10%, 15%, dan 20%.
Sebelum bahan penyamak nabati di masukkan, terlebih dahulu kulit dicuci dengan
air 200% dan ditambahkan sertan ND (dispersing agent) 2% dan dilakukan
pengecekan pH 4.5. Selanjutnya bahan penyamak dimasukkan dan di-shaker
selama 120 menit. Setelah itu, ditambahkan asam formiat 0.25 % dan dilakukan
pengecekan pH 3.5. Kemudian ditambahkan natrium bikarbonat 1% dan dilakukan
pengecekan pH 4.5-5.5. setelah itu, larutan dikeluarkan dari jar. Selanjutnya
ditambahkan air 200% yang telah dipanaskan pada suhu 40C, dan kemudian
ditambahkan fatliquoring agent (minyak ikan 3% dan bahan penyamak sintetik
sebanyak 7%) yang kemudian di-shaker selama 90 menit. Setelah di-shaker,
larutan dikeluarkan dari jar dan selanjutnya ditambahkan 300% air untuk mencuci
kulit dari sisa bahan penyamak. Setelah larutan dicuci, kulit kemudian
dibentangkan selama semalam dan dikeringkan selama 1-2 hari pada toggle dryer
(Lampiran 2).
Prosedur Pengujian
Pengujian yang dilakukan pada penelitian ini mengenai sifat-sifat fisik kulit
samak yaitu kuat tarik dan perpanjangan putus diuji dengan prosedur SLP 6, suhu
kerut (Ts) dengan prosedur SLP 18, ketebalan dengan prosedur SLP 4, kuat sobek
dengan prosedur SLP 7 (SLTC 1996) dan sifat organoleptik kulit berupa warna
dan feel/handle yang diuji oleh dua orang panelis. Prosedur pengujian terhadap
sifat fisik kulit dapat dilihat pada Lampiran 3 dan prosedur pengujian sifat
organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 4.
Apabila pengaruh faktor utama dan interaksi antar faktor utama berpengaruh
nyata pada tingkat kepercayaan 95%, pengolahan dan analisis data dilanjutkan
dengan menggunakan uji Duncan. Uji tersebut bertujuan untuk melihat perbedaan
pengaruh tiap faktor maupun kombinasi antarfaktor.
Ketebalan Kulit
Ketebalan kulit samak ikan tuna pada penelitian ini mengalami peningkatan
setelah dilakukan proses penyamakan. Ketebalan kulit mengalami peningkatan
seiring dengan bertambahnya konsentrasi bahan penyamak (Gambar 7). Hasil
analisis ragam pada = 0.05 menunjukkan bahwa konsentrasi tidak berpengaruh
yang signifikan, sedangkan jenis bahan penyamak berpengaruh signifikan
terhadap penambahan ketebalan kulit (Lampiran 7). Uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa gambir berbeda nyata dengan mimosa dan quebracho
(Lampiran 8).
Ketebalan rata-rata kulit samak pada setiap setiap bahan penyamak berbeda-
beda. Mimosa menghasilkan ketebalan kulit samak berkisar antara 1.33-1.81 mm,
gambir berkisar antara 1.17-1.42 mm, dan quebracho berkisar antara 1.26-1.46
mm. Mimosa dengan konsentrasi 20% dapat meningkatkan ketebalan kulit samak
terbesar sebesar 20.83% dan yang terkecil adalah gambir dengan konsentrasi 10%
sebesar 11.3%.
Perbedaan penambahan ketebalan kulit samak yang dihasilkan dipengaruhi
oleh kandungan tanin pada setiap jenis bahan penyamak yang berbeda-beda.
Berdasarkan hasil pengujian kadar tanin yang dilakukan, diperoleh kadar tanin
mimosa (25.26%), gambir (17.24%), dan quebracho (22.98%) (Lampiran 5).
Disamping itu, perbedaan ini juga dipengaruhi oleh proses shaving dan buffing,
yang pada penelitian ini tidak dilakukan proses tersebut. Menurut Suparno et al.
(2011), proses shaving bertujuan untuk menghilangkan butiran kasar dan lapisan
kasar (grain), dan daging pada kulit, sedangkan proses buffing bertujuan untuk
menghaluskan permukaan kulit sehingga ketebalan kulit dapat diatur dari kedua
proses tersebut. Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya
terhadap ketebalan kulit dapat dilihat pada Gambar 7.
11
30
20
15
Konsentrasi :
10
10%
5 15%
20%
0
Mimosa Gambir Quebracho
Quebracho
Jenis bahan penyamak nabati
Suhu Kerut
Suhu kerut atau shrinkage temperature (Ts) adalah salah satu parameter
yang sangat penting dalam karakterisasi stabilitas suhu kulit. Suhu kerut
merupakan suhu dimana kulit mulai mengerut di dalam air atau media panas
lainnya (Yahua et al., 2011).
Suhu kerut kulit tuna pikel adalah 52oC. Setelah kulit tuna pikel tersebut
disamak, nilai suhu kerutnya meningkat menjadi 79-82oC. Hal ini berarti kulit
setelah disamak dengan glutaraldehida akan lebih tahan terhadap peningkatan
suhu. Suparno et al. (2011) menyatakan bahwa hal ini berkaitan dengan
penggunaan glutaraldehida selama proses penyamakan awal mampu membentuk
ikatan silang dengan gugus amina pada kulit, sehingga struktur kulit yang awalnya
terpisah menjadi bergabung bersama menjadi struktur yang lebih kuat.
Hasil pengujian suhu kerut kulit samak tuna menunjukkan hasil rata-rata
83.4C. Jika dibandingkan dengan suhu kerut hasil penyamakan dengan
glutaraldehida nilai suhu kerut semakin meningkat dengan melakukan kombinasi
penyamakan dengan bahan penyamak nabati. Peningkatan suhu kerut ini dapat
disebabkan oleh kandungan tanin pada bahan penyamak nabati yang mengisi
rongga pada jaringan serat kulit, sehingga struktur serat kulit semakin padat yang
dapat meningkatkan suhu kerut kulit.
Hasil pengujian suhu kerut kulit samak kombinasi menghasilkan nilai yang
berbeda-beda. Mimosa dapat meningkatkan suhu kerut kulit samak berkisar antara
86.3-88.8C, gambir 80.0-80.7C, dan quebracho 81.8-83.0C. Peningkatan suhu
kerut kulit tertinggi dihasilkan oleh kombinasi dengan mimosa (20%) hingga
mencapai 88.8C, sedangkan gambir (15%) meningkatkan suhu kerut kulit terkecil
sebesar 79C (Gambar 8).
Gambar 8 secara umum menunjukkan bahwa suhu kerut kulit akan semakin
meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi pada setiap jenis bahan
12
penyamak nabati. Akan tetapi, hasil analisis ragam pada = 0.05 menunjukkan
bahwa konsentrasi pada setiap bahan penyamak tidak berpengaruh nyata terhadap
peningkatan suhu kerut, sedangkan jenis bahan berpengaruh nyata pada = 0.05
(Lampiran 10).
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mimosa berbeda nyata dari bahan
penyamak nabati lainnya yaitu gambir dan quebracho (Lampiran 11). Perbedaan
peningkatan suhu kerut ini dipengaruhi oleh kandungan tanin pada ketiga jenis
bahan penyamak nabati tersebut yang berbeda-beda. Hasil pengujian kadar tanin
menghasilkan jumlah kadar tanin mimosa (25.26%), gambir (17.24%), dan
quebracho (22.98%) (Lampiran 5). Menurut Suparno et al. (2008), jumlah tanin
dari mimosa yang dapat terikat pada kolagen kulit adalah sebesar 57%, 55% dari
quebracho, dan 54% dari gambir.
90
Suhu kerut kulit (C)
70
50 Konsentrasi :
10%
30 15%
20%
10
Mimosa Gambir Quebracho
Quebracho
Jenis bahan penyamak nabati
Kuat Sobek
Kuat sobek menunjukkan seberapa besar gaya yang dibutuhkan untuk dapat
merobek kulit tiap mm ketebalan kulit. Berdasarkan hasil pengujian kuat sobek
kulit samak ikan tuna (Gambar 9) menunjukkan bahwa adanya perbedaan nilai
kuat sobek pada setiap jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya. Nilai
kuat sobek kulit samak tuna pada jenis penyamak mimosa, gambir, dan quebracho
meningkat seiring dengan penambahan konsentrasinya. Akan tetapi, hasil analisis
ragam pada = 0.05 menunjukkan bahwa konsentrasi pada setiap bahan
penyamak tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan nilai kuat sobek kulit
samak, sedangkan jenis bahan penyamak berpengaruh yang nyata pada pada
= 0.05 (Lampiran 13).
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mimosa berbeda nyata dari jenis
bahan penyamak nabati lainnya (Lampiran 14). Hal ini dapat dilihat dari nilai
rata-rata kuat sobek yang dihasilkan dari ketiga konsentrasi secara berurutan yaitu
quebracho sebesar 65.61 N/mm, gambir sebesar 67.23 N/mm, dan mimosa sebesar
53.68 N/mm. Perbedaan nilai kuat sobek yang dihasilkan dari ketiga jenis bahan
13
penyamak nabati tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan ketebalan kulit setelah
disamak.
Menurut Suparno dan Wahyudi (2012) kuat sobek sangat dipengaruhi oleh
ketebalan, arah serat kolagen, dan sudut serat kolagen terhadap lapisan grain.
Faktor lain yang kemungkinan besar dapat mempengaruhi nilai kuat sobek adalah
proses prapenyamakan, khususnya proses liming dan bating.
Proses pengapuran (liming) bertujuan untuk melepaskan epidermis dan bulu
kulit. Selain itu, proses liming juga dapat membuka tenunan kulit yang akan
menentukan tingkat kelemasan, kelembutan kulit, serta kemampuan penetrasi
bahan penyamak. Tenunan kulit juga akan lebih sempurna terbuka pada proses
pelumatan (bating) dengan menggunakan enzim sebagai agen pelumat. Proses
liming dan bating yang berlebihan akan membuat tenunan kulit terlalu terbuka
atau terurai, sehingga kekuatan kulit berkurang. Sebaliknya, jika proses liming dan
bating kurang sempurna akan berakibat tenunan kulit kurang terbuka. Tenunan
kulit yang kurang terbuka berpengaruh terhadap berkurangnya daya penetrasi
bahan penyamak, sehingga kulit yang dihasilkan kurang tersamak dengan baik
(Judiamidjojo 1982).
80
70
Kuat sobel (N/mm)
60
50
40 Konsentrasi :
30 10%
20 15%
20%
10
0
Mimosa
Gambir Quebracho
Quebracho
Jenis bahan penyamak nabati
Gambar 9 Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya
terhadap kuat sobek kulit samak tuna.
Kuat Tarik
Kuat tarik menunjukkan besarnya gaya yang dibutuhkan untuk menarik kulit
hingga putus. Kuat tarik merupakan parameter yang sangat penting dalam
menentukan mutu kulit samak yang dihasilkan. Besarnya kuat tarik kulit samak
menggambarkan kekuatan ikatan yang terjadi antara bahan penyamak dan struktur
jaringan serat kulit.
Berdasarkan hasil pengujian kuat tarik kulit samak ikan tuna (Gambar 10)
menunjukkan bahwa adanya perbedaan nilai kuat tarik pada setiap jenis bahan
penyamak nabati dan konsentrasinya. Nilai kuat tarik kulit samak tuna pada jenis
penyamak mimosa, gambir, dan quebracho meningkat seiring dengan penambahan
konsentrasinya. Hasil analisis ragam pada = 0.05 menunjukkan bahwa jenis dan
14
20
Kuat tarik (N/mm2)
15
10 Konsentrasi :
10%
5 15%
20%
0
Mimosa Gambir Quebracho
Quebracho
Jenis bahan penyamak nabati
Gambar 10 Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya
terhadap peningkatan kuat tarik kulit samak tuna
Kuat tarik kulit samak dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya
jenis bahan penyamak, ketebalan kulit, arah serat (sejajar dan tegak lurus), dan
peminyakan kulit, serta proses penyamakannya. Menurut Suparno et al. (2011),
kuat tarik kulit dipengaruhi oleh arah serat, ketebalan kulit, dan lokasi
pengambilan sampel. Menurut Kanagy (1977) dalam Amwaliya (2011), tingginya
nilai kuat tarik kulit dipengaruhi oleh tingginya komposisi protein serat di dalam
kulit. Faktor lain yang mempengaruhi kuat tarik kulit adalah proses peminyakan.
Penambahan minyak (minyak ikan, minyak biji karet, dan lainnya) akan
memberikan sifat yang elastis dan fleksibel pada kulit samak yang dihasilkan,
sehingga dapat berpengaruh terhadap kuat tarik kulit. Fahidin dan Muslich (1999)
menyatakan bahwa semakin besar molekul zat penyamak semakin besar daya
absorpsi serat kulit terhadap zat penyamak. Bahan penyamak nabati akan bereaksi
dengan struktur kolagen kulit sehingga dapat menghasilkan struktur jaringan serat
kulit yang padat.
Elongasi Putus
60
50
Elongasi putus (%)
40
30
Konsentrasi :
20
10%
15%
10
20%
0
Mimosa Gambir Quebracho
Quebracho
Jenis bahan penyamak nabati
Gambar 11 Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dan konsentrasinya
terhadap peningkatan elongasi putus (%) kulit samak tuna
Sifat-Sifat Organoleptik
Tabel 1 Hubungan sifat organoleptik kulit samak tuna dengan bahan penyamak
nabati
Gambir 10 8-9 8
15 8 8
20 8 8-9
Quebracho 10 7-8 7
15 7 7
20 7 7-8
PT Kelola Mina Laut (KML), Gresik, Jawa Timur, mengolah sebanyak 7 ton
ikan tuna per hari. Proses pengolahan tersebut menghasilkan limbah berupa kulit
sebesar 238 kg per harinya. Proses penanganan limbah kulit yang dilakukan oleh
PT Kelola Mina Laut adalah dengan menjual limbah kulit tersebut dengan harga
Rp 500 per Kg. Limbah kulit tersebut dapat dimanfaatkan dengan lebih baik
dengan meningkatkan nilai tambahnya agar dapat menghasilkan berbagai jenis
produk dengan nilai jual yang lebih tinggi melalui proses penyamakan.
Penjualan kulit samak dilakukan dalam satuan luas (ft2). Nilai jual kulit
samak ikan tuna dengan kualitas baik dengan ukuran (30 cm x 15 cm) atau 0.5 ft2
adalah Rp 25000. Proses pengolahan limbah kulit ikan tuna per Kg dapat
menghasilkan 2 ft2/kg kulit samak tuna. Melalui proses perhitungan peningkatan
nilai tambah yang mengacu pada Hayami (1987) (Lampiran 20), menghasilkan
nilai tambah limbah kulit ikan tuna sebesar Rp 47400 per Kg dengan rasio nilai
tambah 47.4% (Tabel 2). Melalui hasil perhitungan nilai tambah pada Tabel 2,
menjelaskan bahwa pemanfaatan limbah kulit ikan tuna melalui proses
penyamakan sangat potensial untuk dikembangkan dalam skala industri.
Perhitungan nilai tambah limbah kulit ikan tuna dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Perhitungan nilai tambah pengolahan limbah kulit ikan tuna per Kg
No Uraian Kulit Samak Ikan Tuna
1. Input, Output, Harga
a. Output (ft2/Kg/proses produksi) 40
b. Input bahan baku (Kg/proses produksi) 20
c. Input bahan penyamak (% Kg bahan baku) Glutaraldehida (3%) dan
Mimosa (20%)
d. Input bahan kimia (% Kg bahan baku) Ca(OH)2 (5%), Na2S
(3%), Za (5%),H2SO4
(2%), HCOOH, dsb
e. Input bahan proses finishing (% Kg bahan baku) Proses Fatliquoring,
Dyeing, Buffing, Stacking,
Drying, dsb
f. Input tenaga kerja (HOK/orang/proses produksi) 6 (4 orang tenaga kerja)
g. Faktor konversi (a/b) 40 ft2
18
Keterangan:
1. Harga input bahan penyamak
a. 1 Kg mimosa = Rp 30000
Biaya penggunaan mimosa (20% x 20 Kg)/1 Kg x Rp 30000
= Rp 120000
b. 1 L Relugan GT 50 = Rp 50000
Biaya penggunaan Relugan GT 50 (3% x 20 Kg)/1 L x Rp 50000
= Rp 30000
2. Harga input bahan kimia
a. 1 L H2SO4 = Rp 20000
Biaya penggunaan H2SO4 (2% x 20 Kg)/1 L x Rp 30000 = Rp 8000
b. 1 L HCOOH = Rp 20000
Biaya penggunaan HCOOH (2% x 20 Kg)/1 L x Rp 30000 = Rp 8000
c. 1 Kg Na2S = Rp 50000
Biaya penggunaan Na2S (3% x 20 Kg)/1 Kg x Rp 50000 = Rp 30000
d. 1 Kg Ca(OH)2 = Rp 50000
Biaya penggunaan Ca(OH)2 (5% x 20 Kg)/1 Kg x Rp 50000
= Rp 50000
e. 1 Kg Za = Rp 6500
Biaya penggunaan Za (2.5% x 20 Kg)/1 Kg x Rp 6500 = Rp 3500
19
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Alfindo T. 2009. Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp.) Menggunakan Kulit
Kayu Akasia (Acacia mangium Willd) Terhadap Mutu Sifat Fisik Kulit
[Skripsi]. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor.
Amwaliya S. 2011. Pengaruh Waktu Oksidasi Terhadap Mutu Kulit Samoa pada
Proses Penyamakan Minyak yang Dipercepat dengan Hidrogen Peroksida.
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Anonim. 2013. Quebrcho. [Terhubung Berkala]. http://www.encyclopedia.
com/doc/1E1-quebracho. html. (25 Desember 2013)
Anonim. 2013. Tanaman Black Wattle. [Terhubung Berkala]. http://www.
encyclopedia. com/doc/1E1-blackwattle. html. (25 Desember 2013)
Arsyad. 2001. Kamus Kimia. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka.
Bossche VVD., G Gavend dan MJ Brun. 1997. Chromium Tanned Leather and Its
Environmental Impact. The Chromium File, 4, 1.
Collette BB. 1995. Thunnus orientalis pacific blufin tuna. www.fishbase.com. [20
Desember 2013].
Covington AD. 2009. Tanning Chemistry, The Science of Leather. The Royal
Society of Chemistry, Cambridge.
Covington AD. 2011. Prediction in Leather Processing : A Dark Art or a Clear
Possibility? Procter Memorial Lecture. 95 (6):231 242.
Damink LHHO, Dijkstra PJ, Van Luyn MJA, Van Wachem PB, Nieuwenhuis P,
Feijen J. 1995. Glutaraldehyde as a crosslinking agent for collagen-based
biomaterials. J. Mat. Sci.; Mats. In Medicine 6:460-472.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Potensi dan pemberdayaan
ikan tuna. www.dkp.go.id. [20 Desember 2013].
Fahidin dan Muslich. 1999. Ilmu dan Teknologi Kulit. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Faxing L, Yang L, and Youjie H. (2005). Preparation and the Properties of
Vegetable Extract Used in Low Temperature Tanning Leather Science and
Engineering 15(1): 22-25.
Febianti I. 2011. Penentuan Waktu Oksidasi Terbaik untuk Proses Penyamakan
Kulit Samoa Menggunakan Minyak Biji Karet dengan Oksidator Natrium
Hipoklorit. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Gumbira-Sa'id E, K. Syamsu, E Mardliyati, A Herryandie, NA Evalia. 2009a.
Agroindustri dan Bisnis Gambir Indonesia. IPB Press, Bogor.
Hastuti TU. 2012. Pemanfaatan Limbah Kulit Tuna sebagai Bahan Baku Gelatin
dan Kerupuk Kulit guna Meningkatkan Nilai Tambah Di PT Kelola Mina
Laut [laporan praktik lapang]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hayami Y. 1987. Agricultural Marketing and Processing in Upland Java, a
Perspective from Sunda Village. CGPRT Center. Bogor.
Heidemann E. 1993. Fundamentals of Leather Manufacturing. Eduard Roether KG,
Darmstadt.
Jansen PCM. 2005. Plant Resources of Tropical Africa 3: Dye and Tannins.
Wageningen: Backhuys Publishers.
22
Jianzhong MA, Yun L, Bin L, Dangge, G and Likun W. 2009. Synthesis and
properties of tannin/ vinyl polymer tanning agents. Accessed 24 March 2011
from http://www.aaqtic.org.ar/congresos/china2009/download/2-4/2-128.pdf
Judiamidjojo RM. 1982. Dasar Teknologi dan Kimia Kulit. Fakultas Teknologi
Hasil Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kanth SV, Venba R, Madhan B. et al. 2009. Journal of Cleaner Production. 17,
507.
Mann BR, and McMillan MM. 2000. The Chemistry of The Leather Industry.
Christchurch (NZ): G.L Bowron & Co. Ltd.
Duo N, L Yahua, H Jianbing, LV Bin, Z Thing. 2011. A Methode for Measuring
Shrinkage Temperature of Leather. Journal of The Society of Leather
Technologists and Chemists. Vol. 95 (5): 221-224.
Purnomo E. 1991. Penyamakan Kulit Reptil. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
. 1992. Penyamakan Kulit Kaki Ayam. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Radiman. 1990. General Theory of Tanning Process. Yogyakarta: Leather
Research Institute.
Said MI. 2000. Isolasi dan Identfikasi Kapang serta Pengaruhnya Terhadap Sifat
Fisik dan Struktur Jalinan Kulit Kambing Picling serta et Blue dengan
Perlakuan Fungisida Selama Penyimpanan. Tesis. Ilmu Pr Jalinan Kulit
Kambing Picling serta et Blue dengan Perlakuan Fungisida Selama
Penyimpanan. Tesis. Ilmu Peterternakan. Yogyakarta: UGM.
Shi B. 2006. Tannin-Aldehyde Compound (I): Combination Tanning by Vegetable
Tanninmodified Glutaraldehyde. China Leather 35(17):1-12.
[SLTC] Society of Leather Technologists and Chemists. 1996. Official methods of
Analysis. Northampton (UK): SLTC.
Suparno O. 2005. Phenolic Reactions for Leather Tanning and Dyeing. PHD.
Tessis. University of Leicester, Leicester.
Suparno O. 2009. Penyamakan kulit samoa (chamois leather). Bogor: Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Suparno O, IA Kartika, Muslich. 2009a. Chamois leather tanning using rubber
seed oil. Journal of The Society of Leather Technologists and Chemists
Vol 93. P. 158.
Suparno O, AD Covington and CS Evans. 2005. Kraft lignin degradation products
for tanning and dyeing of leather. Journal of Chemical Technology and
Biotechnology 80 (1): 44 49.
Suparno O, AD Covington, CS Evans. 2008. Teknologi Baru Penyamakan Kulit
Ramah Lingkungan: Penyamakan Kombinasi Menggunakan Penyamak
Nabati, Naftol dan Oksazolidin. J. Tek. Ind. Pert. Vol. 18(2): 79-84.
Suparno O, Gumbira-Said E, Kartika IA, Muslich, Mubarak S. 2011. An
Innovative New Application of Oxidizing Agents to Accelerate Chamois
Leather Tanning. Journal of the American Leather Chemists Association.
106(12): 360-366.
Suparno O, Wahyudi E. 2012. Pengaruh konsentrasi natrium perkarbonat dan
jumlah air pada penyamakan kulit samoa terhadap mutu kulit samoa. Jurnal
Teknologi Industri Pertanian 22 (1): 1-9.
23
LAMPIRAN
Kulit samak tuna untuk uji tarik Kulit samak tuna untuk uji sobek
Kulit samak tuna untuk uji tarik Kulit samak tuna untuk uji sobek
24
Timbangan Shaker
UTM Instron
25
Natrium 2 3 x 15
Karbonat menit
Air 10
Penyamakan nabati
Dimensi (mm) :
L l1 l2 B b1 A
55 25 15 5 12,5 5
( )
F = Nilai yang terbaca pada alat ( kgf)
t = Ketebalan kulit (mm)
Keterangan :
A. Penampang alat uji kekeuatan sobek.
B. Bentuk dan ukuran sampel
C. Posisi sampel untuk pengujian kekuatan sobek.
29
Keterangan :
A. Penampang alat uji suhu pengerutan.
B. Posisi sampel untuk pengujian suhu pengerutan.
Lampiran 5 Tabel hasil pengukuran kadar tanin bahan penyamak nabati (%)
Standar
Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Deviasi
A1B1 15.13 19.85 17.49 3.34
A1B2 18.84 16.68 17.76 1.53
A1B3 18.02 23.64 20.83 3.97
A2B1 13.40 9.20 11.30 2.97
A2B2 13.27 9.80 11.54 2.45
A2B3 12.42 11.15 11.79 0.90
A3B1 16.00 15.64 15.82 0.25
A3B2 15.53 17.17 16.35 1.16
A3B3 18.54 20.54 19.54 1.41
Keterangan :
A1 : mimosa B1 : 10%
A2 : gambir B2 : 15%
A3 : quebracho B3 : 20%
Lampiran 7 Tabel uji Anova ( = 5%) terhadap peningkatan ketebalan kulit (%)
Standar
Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Deviasi
A1B1 90.3 82.3 86.3 4.63
A1B2 91.3 83.0 87.2 4.76
A1B3 90.3 87.3 88.8 1.69
A2B1 79.0 81.0 80.0 1.25
A2B2 80.0 80.7 80.4 0.44
A2B3 79.0 82.3 80.7 2.05
A3B1 82.3 81.3 81.8 0.61
A3B2 81.7 84.0 82.9 1.39
A3B3 83.3 82.3 82.8 0.60
32
Lampiran 10 Tabel uji Anova ( = 5%) terhadap peningkatan suhu kerut kulit (C)
The GLM Procedure
Class Level Information
Lampiran 11 Tabel uji Duncan terhadap peningkatan suhu kerut kulit (C)
Standar
Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Deviasi
A1B1 51.40 54.30 52.85 2.05
A1B2 51.12 56.08 53.60 3.51
A1B3 56.25 52.92 54.59 2.35
A2B1 63.05 67.70 65.38 3.29
A2B2 69.53 65.19 67.36 3.07
A2B3 70.16 67.76 68.96 1.70
A3B1 62.33 63.64 62.99 0.93
A3B2 65.21 63.92 64.57 0.91
A3B3 67.89 70.64 69.27 1.94
33
Lampiran 13 Tabel uji Anova ( = 5%) terhadap kuat sobek kulit samak (N/mm)
The GLM Procedure
Class Level Information
Lampiran 14 Tabel uji lanjut Duncan terhadap kuat sobek kulit samak (N/mm)
Standar
Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Deviasi
A1B1 19.03 15.69 17.36 2.36
A1B2 19.13 15.68 17.41 2.44
A1B3 19.63 15.88 17.75 2.65
A2B1 16.54 15.14 15.84 0.99
A2B2 16.02 16.68 16.35 0.46
A2B3 15.83 17.24 16.54 1.00
A3B1 16.22 16.53 16.37 0.22
A3B2 16.01 16.85 16.43 0.59
A3B3 16.31 16.75 16.53 0.31
34
Lampiran 16 Tabel uji Anova ( = 5%) terhadap kuat tarik kulit samak (N/mm)
Lampiran 17 Tabel hasil pengukuran elongasi putus kulit samak tuna (%)
Standar
Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Deviasi
A1B1 44.04 41.79 42.91 1.59
A1B2 41.34 43.68 42.51 1.65
A1B3 42.40 40.37 41.39 1.44
A2B1 53.46 55.35 54.40 1.34
A2B2 54.51 52.18 53.34 1.65
A2B3 50.82 53.70 52.26 2.04
A3B1 47.97 51.40 49.69 2.42
A3B2 48.02 50.15 49.09 1.50
A3B3 47.54 49.69 48.61 1.52
35
Lampiran 18 Tabel uji Anova ( = 5%) terhadap elongasi putus kulit samak (%)
Lampiran 19 Tabel uji lanjut Duncan terhadap kuat sobek kulit samak (N/mm)
RIWAYAT HIDUP