PENDAHULUAN
1
BAB II
DERMATITIS ATOPIK
1.1 DEFINISI
Dermatitis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak,
sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi
pada keluarga atau penderita (dermatitis atopi, rhinitis alergik, dan asma bronkial).
Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah
yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat
kepekaan dalam keluarganya. Misalnya : asma bronkial, rhinitis alergik,
dermatitis atopi, dan konjungtivitis alergik.
1.2 SINONIM
Banyak istilah dermatitis atopik lain yang digunakan, misalnya : ekzema
atopik, ekzema konstitusional, ekzema fleksural, neurodermatitis diseminata,
prurigo Besnier.
1.3 EPIDEMIOLOGI
Oleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat maka untuk
menginterpretasikan hasil penelitian epidemiologi harus berhati-hati. Berbagai
penelitian menyatakan bahwa prevalensi D.A makin meningkat sehingga
merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang,
Australia dan Negara industri lain, prevalensi D.A pada anak mencapai 10-20%,
sedangkan pada kira-kira 1-3 %. Di negara agraris, misalnya Cina,Eropa Timur,
Asia Tengah, prevalensi D.A jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak menderita
D.A daripada pria dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh
terhadap prevalensi D.A misalnya jumlah keluarga kecil,pendidikan ibu makin
tinggi, penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya
penggunakan antibiotik, berpotensi menaikan jumlah penderita D.A.
2
Sedangkan rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga,
urutan lahir makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil, akan
melindungi kemungkinan timbul D.A pada kemudian hari.
D.A cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu
yang menderita atopi akan mengalami D.A pada masa kehidupan tiga bula
pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari seperuh jumlah anak
akna mengalami gejala alergi sampai usia dua tahun, dan meningkat sampai 79%
bila kedua orang tua menderita atopi. Resiko mewarisi D.A lebih tinggi bila ibu
yang menderita D.A dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila D.A yang dialami
berlanjut hingga masa dewasa, ,maka resiko untuk mewariskan untuk anaknya
sama saja yaitu kira-kira 50%.
1.4 ETIOPATOGENESIS
Respons Imun Pada Kulit
Sitokin Th2 dan Th1 berperan dalam patogenesis peradangan kulit D.A.
Jumlah Th2 lebih banyak pada penderita atopi, sebaliknya Th1 menurun. Pada
kulit 'normal' (tidak ada kelainan kulitnya) penderita D.A. bila dibandingkan
dengan kulit normal orang yang bukan penderita D.A., ditemukan lebih banyak
sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi bukan IL-5, IL-12,
atau IFN-y. Pada lesi akut dan kronis bila dibandingkan dengan kulit normal atau
kulit yang tidak ada lesinya penderita D.A., menunjukkan jumlah yang lebih besar
sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4, IL-5, dan IL-13. Tetapi pada lesi akut
tidak banyak mengandung sel yang mengekspresikan mRA IFN-y atau IL-12.
Lesi kronis D.A. mengandung sangat sedikit sel yang mengekspresikan mRNA
IL-4 dan IL-13, tetapi jumlah sel yang mengekpresikan mRNA IL-5, GM-CSF,IL-
12, dan IFN-y, meningkat bila dibandingkan dengan yang akut. Peningkatan IL-
12 pada lesi kronis D.A. berperan dalam perkembangan Th1.
Sel T yang teraktivasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis
keratinosit, sehingga terjadi spongiosis. Proses ini diperantarai oleh IFN-y yang
dilepaskan sel T teraktivasi dan meningkatkan Fas dalam keratinosit.
3
Berbagai kemokin ditemukan pada lesi kulit D.A. yang dapat menarik sel-
sel, misalnya eosinofil, limfosit T, dan monosit, masuk ke dalam kulit.
Pada D.A. kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil hidup
lebih lama dan menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan ekspresi GM-SCF
mempertahankan hidup dan fungsi monosit, sel Langerhans, dan eosinofil.
Produksi TNF-a dan IFN-y pada D.A. memicu kronisitas dan keparahan
dermatitis. Stimulasi TNF-a dan IFN-y pada keritinosit epidermal akan
meningkatkan jumlah RANTES (regulated on activation, normal T cell expressed
and secreted). Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF-a dan sitokin
proinflamasi yang lain dari epidermis, sehingga mempercepat timbulnya
peradangan di kulit D.A.
IL-4 meningkatkan perkembangan Th2, sedangkan IL-12 yang diproduksi
oleh makrofag, sel berdendrit,atau eosinofil, menginduksi Th1. Subunit reseptor
IL-12RP2 diekpresi pada Th1 tidak pada Th2. Sedangkan ekspresi IL-12RP2
dihambat oleh IL-4, tetapi sebaliknya diinduksi oleh IL-12, IFN-a, dan IFN-y. IL-
4 juga menghambat produksi IFN-y dan menekan deferensiasi sel Th1. Sel mas
dan basofil juga merupakan sumber sitokin tipe TH2, sehingga ekspresi IL-4 oleh
sel T, sel mas/basofilpada D.A. akan merangsang perkembangan sel Th2.
Sel mononuklear penderita D.A. meningkatkan aktivitas enzim cyclic-
adenosine monophosphate (CAMP) phosphodiesterase (PDE), yang akan
meningkatkan sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel T. Produksi IgE
dan IL-4 secara in vitro dapat diturunkan oleh penghambat PDE (PDEinhibitor).
Sekresi IL-10 dan PGE2 dari monosit juga meningkat; kedua produk ini
menghambat IFN-y yang dihasilkan oleh sel T.
Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita D.A. adalah abnormal, dapat
secara langsung menstimulasi sel Th tanpa adanya antigen, secara selektif dapat
mengaktivasi sel Th menjadi fenotip Th2. SL yang mengandung IgE
meningkat;sel ini mampu mempresentasikan alergen tungau debu rumah (D.
pteronyssinus) kepada sel T. SL yang mengandung IgE setelah menangkap
allergen akan mengaktifkan sel Th2 memori di kulit atopi, juga bermigrasi ke
4
kelenjar getah bening setempat untuk menstimulasi sel T nai've sehingga jumlah
sel Th2 bertambah banyak.
SL pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE, yaitu
FceRII, FceRII (CD23), dan IgE-binding protein. Reseptor FceRI mempunyai
afinitas kuat untuk mengikat IgE. IgE terikat pada SL melalui reseptor spesifik
FceRI pada permukaan SL. Pada orang normal dan penderita alergi saluran napas
kadar ekpresi FceRI di permukaan SLnya rendah, sedangkan di lesi ekzematosa
D.A. tinggi. Ada korelasi antara ekspresi permukaan FceRI dan kadar IgE dalam
serum. Selain pada SL, reseptor IgE dengan afinitas tinggi (FceRI) juga
ditemukan pada permukaan sel mas dan monosit.
Kadar seramid pada kulit penderita D.A. berkurang sehingga kehilangan
air (transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis dipermudah. Hal ini
mempercepat absorbsi antigen ke dalam kulit. Sebagaimana diketahui bahwa
sensitisasi epikutan terhadap alergen menimbulkan respons Th2 yang lebih tinggi
daripada melalui sistemik atau jalan udara, maka kulit yang terganggu fungsi
sawarnya merupakan tempat yang sensitif.
Respons Sistemik
Jumlah IFN-y yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi penderita
D.A. menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum meningkat. IFN-y
menghambat sintesis IgE, proliferasi sel Th2 dan ekspresi reseptor IL-4 pada sel
T. Sel T spesifik untuk alergen di darah tepi meningkat dan memproduksi IL-4,
IL-5, IL-13 dan sedikit IFN-y. IL-4 dan IL-13 merupakan sitokin yang
menginduksi transkripsi pada ekson C sehingga terjadi pembentukan IgE. IL-4
dan IL-13 juga menginduksi ekspresi molekul adesi permukaan pembuluh darah,
misalnya VCAM-1 (vascular cell adhesion molecular-1), infiltrasi eosinofil, dan
menurunkan fungsi sel Th1.
Sel monosit di darah tepi penderita D.A. diaktivasi, mempunyai insidens
apoptosis spontan rendah, tidak responsif terhadap induksi apoptosis IL-4.
Hambatan apoptosis ini disebabkan oleh meningkatnya produksi GM-CSF oleh
monosit yang beredar pada D.A.
5
Perubahan sistemik pada D.A. adalah sebagai berikut:
- Sintesis IgE meningkat.
- IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat, termasuk terhadap makanan,
aeroalergen, mikroorganisme, toksin bakteri, dan autoalergen.
- Ekspresi CD23 (reseptor IgE berafinitas rendah) pada sel B dan monosit
meningkat.
- Pelepasan histamin dari basofil meningkat.
- Respons hipersensitivitas lambat terganggu.
- Eosinofilia.
- Sekresi IL-4, IL-5, dan IL-13 oleh sel Th2 meningkat.
- Sekresi IFN-y oleh sel Th1 menurun.
- Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
- Kadar CAMP-phosphodiesterase monosit meningkat, disertai peningkatan IL-
10 dan PGE2.
6
orang tua mempunyai yang riwayat alergi, meskipun demikian faktor lain
(lingkungan) sangat pula berpengaruh atas berkembangnya penyakit.
2. Sosioekonomi : lebih banyak ditemukam pada status sosial yang lebih tinggi
dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah. Hal tersebut dapat
diterangkan dengan teori higiene.
3. Jumlah anggota keluarga : kejadian dermatitis atopik berbanding terbalik
dengan banyaknya jumlah anggota keluarga. Hal tersebut dapat pula
diterangkan dengan teori higiene, yaitu terjadi infeksi pada anggota muda
keluarga yang ditularkan oleh anggota keluaraga yang lebih tua
4. Laktasi : makin lama mendapat air susu ibu makin kecil kemungkinan untuk
mendapat dermatitis atopik. Hal tersebut perlu dicermati karena
perkembangan penyakit berhubungan dengan alergen lingkunagan dan status
ibu (misanya perokok)
5. Pengenalan makanan padat terlalu dini (sebelum 4 bulan), akan meningkatkan
angka kejadian dermatitis atopik sebesar 1,6 kali. Sensitisasi umumnya terjadi
terhadap alergen makanan, terutama susu sapi, telur, kacang-kacangan dan
gandum
6. Polusi lingkungan, antara lain daerah industri dengan peningkatan polusi
udara, pemakaian pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan
penurunan kelembaban udara, water hardeness, asap roklok, penggunaan
pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada kelemban, penggunanan
shampo dan sabun yang berlebihan, dan detergen yang tidak dibilas dengan
sempurna.
7
menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul,
likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta.
D.A. dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: D.A. infantil (terjadi pada usia
2 bulan sampai 2 tahun; D.A. anak (2 sampai 10 tahun); dan D.A. pada remaja dan
dewasa.
8
D.A. pada anak (usia 2 sampai 10 tahun)
Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil, atau timbul sendiri (de novo).
Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi, dan
sedikit skuama. Letak kelainan kulit di lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan
bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang di muka. Rasa gatal menyebabkan
penderita sering menggaruk; dapat terjadi erosi, likenifikasi, mungkin juga
mengalami infeksi sekunder. Akibat garukan, kulit menebal dan perubahan
lainnya yang menyebabkan gatal, sehingga terjadi lingkaran setan siklus gatal-
9
garuk. Rangsangan menggaruk sering di luar kendali. Penderita sensitif terhadap,
wol, bulu kucing dan anjing, juga bulu ayam, burung dan sejenisnya.
D.A. berat yang melebihi 50% permukaan tubuh dapat memperlambat
pertumbuhan.
10
latihan fisik. Pada umumnya D.A. remaja atau dewasa berlangsung lama,
kemudian cenderung menurun dan membaik (sembuh) setelah usia 30 tahun,
jarang sampai usia pertengahan; hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai
tua. Kulit penderita D.A. yang telah sembuh mudah gatal dan cepat meradang bila
terpajan oleh bahan iritan eksogen.
Penderita atopik berisiko tinggi menderita dermatitis tangan, kira-kira 70%
suatu saat dapat mengalaminya. D.A. pada tangan dapat mengenai punggung
maupun telapak tangan, sulit dibedakan dengan dermatitis kontak. D.A. di tangan
biasa timbul pada wanita muda setelah melahirkan anak pertama, ketika sering
terpajan sabun dan air sebagai pemicunya.
Berbagai kelainan dapat menyertai DA, misalnya: hipedinearis palmaris,
xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks, pitiriasis alba, keratosis pilaris, lipatan Dennie
Morgan, penipisan alis bagian luar (tanda Hertoghe), keilitis, katarak subkapsular
anterior, lidah geografik, liken spinulosus, dan keratokonus (bentuk kornea yang
abnormal). Selain itu penderita D.A. cenderung mudah mengalami kontak
urtikaria, reaksi anafilaksis terhadap obat, gigitan atau sengatan serangga.
11
1.7 DIAGNOSIS
Diagnosis D.A. didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan Rajka
yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris yang dikoordinasi oleh Williams
(1994).
Kriteria mayor
- Pruritus
- Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
- Dermatitis di fleksura pada dewasa
- Dermatitis kronis atau residif
- Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
12
Kriteria minor
- Xerosis
- Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
- Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
- lktiosis/hipediniar palmads/keratosis pilaris
- Pitiriasis alba
- Dermatitis di papila mame
- White dermographism dan delayed blanch response
- Keilitis
- Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
- Konjungtivitis berulang
- Keratokonus
- Katarak subkapsular anterior
- Orbita menjadi gelap
- Muka pucat atau eritem
- Gatal bila berkeringat
- Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
- Aksentuasi perifolikular
- Hipersensitif terhadap makanan
- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi
- Tes kulit alergi tipe dadakan positif
- Kadar IgE di dalam serum meningkat
- Awitan pada usia dini1.
13
Gambar 1. Kriteria Minor
Diagnosis D.A. harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor.
Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:
Tiga kriteria mayor berupa :
- riwayat atopi pada keluarga
- dermatitis di muka atau ekstensor
- pruritus
Ditambah tiga kriteria minor :
- Xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris
- Aksentuasi perifolikular
- Fisura belakang telinga
- Skuama di skalp kronis
Kriteria major dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka
didasarkan pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian
berbasis rumah sakit (hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai
pada penelitian berbasis populasi, karena kriteria minor umumnya ditemukan pula
pada kelompok kontrol, di samping juga belum divalidasi terhadap diagnosis
dokter atau diuji untuk pengulangan (repeatability). Oleh karena itu kelompok
14
kerja Inggris (UK working party) yang dikoordinasi oleh William memperbaiki
dan meyederhanakan kriteria Hanifin dan Rajka menjadi satu set kriteria untuk
pedoman diagnosis D.A. yang dapat diulang dan divalidasi. Pedoman ini sahih
untuk orang dewasa, anak, berbagai ras, dan sudah divalidasi dalam populasi,
sehingga dapat membantu dokter Puskesmas membuat diagnosis.
Pedoman diagnosis D.A. yang diusulkan oleh kelompok tersebut yaitu:
- Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang
tuanya bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok.
- Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut :
1. Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut,
bagian depan pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak
usia di bawah 10 tahun).
2. Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau riwayat
penyakit atopi pada keluarga tingkat pertama dari anak di bawah 4 tahun).
3. Riwayat kulit kedng secara umum pada tahun terakhir.
4. Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada pipi/dahi
dan anggota badan bagian luar anak di bawah 4 tahun).
5. Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak di bawah 4
tahun).
15
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Tidak ada hasil laboratorium yang spesifik yang dapat dipergunakan untuk
menegakkan diagnosis dermatitis atopik. Hasil yang dapat ditemukan pada
dermatitis atopik, misalnya kenaikkan kadar IgE dalam serum, mengurangnya
jumlah sel-T ( terutama T-supresor) dan imunitas seluler, jumlah eosinofil
dalah darah relatif meningkat.
2. Dermatografisme putih
Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respon yakni berturut-
turut akan terlihat: Garis merah ditempat penggoresan selama 15 detik, warna
merah disekitarnya selama beberapa detik, edema timbul setelah beberapa
menit. Penggoresan pada penderita yang atopi akan bereaksi belainan. Garis
merah tidak disusul warna kemerahan, tetapi kepucatan selama 2 detik sampai
5 menit, sedangkan edema tidak timbul. Keadaan ini disebut dermatografisme
putih.
3. Percobaan asetil kolin
Suntikan secara intra kutan solusio asetilkolin 1/5000 akan menyebabkan
hyperemia pada orang normal. Pada orang dengan dermatitis atopi akan timbul
vasokonstriksi terlihat kepucatan selama satu jam.
4. Percobaan histamin
Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita dermatitis atopi eritema
akan berkurang dibandingkan orang lain sebagai kontrol. Kalau obat tersebut
disuntikkan parenteral, tampak eritema bertambah pada kulit orang normal.
16
1.9 PENATALAKSANAAN
Kulit penderita D.A. cenderung lebih rentan terhadap bahan iritan, oleh
karena itu penting untuk mengidentifikasi kemudian menyingkirkan faktor yang
memperberat dan memicu siklus gatal-garuk, misalnya sabun dan deterjen;
kontak dengan bahan kimia, pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau dingin
yang ekstrim. Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal
terhadap lemak dan mempunyai pH netral. Pakaian baru sebaiknya dicuci terlebih
dahulu sebelum dipakai untuk membersihkan formaldehid atau bahan kimia
tambahan. Mencuci pakaian dengan deterjen harus dibilas dengan baik, sebab sisa
deterjen dapat bersifat iritan. Kalau selesai berenang harus segera mandi untuk
membilas klorin yang biasanya digunakan pada kolam renang. Stress psikik juga
dapat menyebabkan eksaserbasi DA.
Dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari luar, misalnya terlalu
sering dimandikan, menggosok terlalu kuat, pakaian terlalu tebal, ketat atau kotor,
kebersihan kurang terutama di daerah popok, infeksi lokal, iritasi oleh kencing
atau feses, bahkan juga medicated baby oil. Pada bayi penting diperhatikan
kebersihan daerah bokong dan genitalia, popok segera diganti bila basah atau
kotor. Upaya pertama adalah melindungi daerah yang terkena terhadap garukan
agar tidak memperparah penyakitnya. Usahakan tidak memakai pakaian yang
bersifat iritan (misalnya wol, atau sintetik), bahan katun lebih baik. Kulit
anak/bayi dijaga tetap tertutup pakaian untuk menghindari pajanan iritan atau
trauma garukan.
Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembab. Hindari pembersih
antibakterial karena berisiko menginduksi resistensi.
PENGOBATAN TOPIKAL
Hidrasi kulit. Kulit penderita D.A. kering dan fungsi sawarnya berkurang,
mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan
iritan dan alergen. Pada kulit yang demikian perlu diberikan pelembab, misalnya
krim hidrofilik urea 10%, dapat pula ditambahkan hidrokortison 1% di dalamnya.
Bila memakai pelembab yang mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan
17
lebih dari 5%, karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif. Setelah
mandi kulit dilap, kemudian memakai emolien agar kulit tetap lembab. Emolien
dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja maksimum 6 jam.
Kortikosteroid topikal. Pengobatan D.A. dengan kortikosteroid topikal
adalah yang paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun
demikian harus waspada karena dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan.
Pada bayi digunakan salap steroid berpotensi rendah, misalnya
hidrokortison 1 %-2.5%. Pada anak dan dewasa dipakai steroid berpotensi
menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada muka digunakan steroid
berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid berpotensi rendah juga dipakai di daerah
genitalia dan intertriginosa, jangan digunakan yang berpotensi kuat, misalnya
fluorinated glucocorticoid. Bila aktivitas penyakit telah terkontrol, dipakai secara
intermiten, umumnya 2 kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh;
sebaiknya dengan kortikosteroid yang potensinya paling rendah.
Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan steroid,
misalnya dengan larutan Burowi, atau dengan larutan permanganas kalikus
1:5000.
Imunomodulator topikal
Takrolimus. Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat
diberikan dalam bentuk salep 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun; untuk dewasa
0,03% dan 0,1%. Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam D.A.
yaitu: sel Langerhans, sel T, sel mas, dan keratinosit. Pada pengobatan jangka
panjang dengan salep takrolimus, koloni S.aureus menurun. Tidak ditemukan efek
samping kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi kulit
seperti pada pemakaian kortikosteroid; dapat digunakan di muka dan kelopak
mata.
Pimekrolimus. Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin
yaitu imunomodulator golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil
fermentasi Streptomyces hygroscopicus var. ascomyceticus. Cara kerja sangat
mirip siklosporin dan takrolimus yang dihasilkan dari Streptomyces tsuku-baensis,
18
walaupun ketiganya berbeda dalam struktur kimianya, yaitu bekerja sebagai pro-
drug, yang baru menjadi aktif bila terikat pada reseptor sitosolik imunofilin.
Reseptor imunofilin untuk askomisin ialah makrofilin-12. Ikatan askomisin pada
makrofilin-12 dalam sitoplasma sel T, akan menghambat calcineurin (suatu
molekul yang dibutuhkan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin), sehingga
produksi sitokin Th1 ( IFN-y dan IL-2) dan Th2 ( IL-4 dan IL-10) dihambat.
Askomisin juga menghambat aktivasi sel mas. Askomisin menghasilkan efek
imunomodulator lebih selektif dalam menghambat fase elisitasi dermatitis kontak
alergik, tetapi respons imun primer tidak terganggu bila diberikan secara sistemik,
tidak seperti takrolimus dan siklosporin.
Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM 981 konsentrasi
1%, mempunyai efektivitas sama dengan krim klobetasol-17- propionat 0.05%
(steroid superpoten), tidak menyebabkan atrofi kulit (setidaknya selama 4
minggu), aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif misalnya pada
muka dan lipatan. Cara pemakaian dioleskan 2 kali sehari.
Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari
2 tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati
untuk memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat tersebut
berpotensi menimbulkan kanker kulit.
Preparat ter. Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi
pada kulit. Dipakai pada lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk
salap hidrofilik, misainya yang mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai
10 %, atau crude coal tar 1 % sampai 5%.
Antihistamin. Pengobatan D.A. dengan antihistamin topikal tidak
dianjurkan karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan
bahwa aplikasi topikal krim doksepin 5% dalam jangka pendek (satu minggu),
dapat mengurangi gatal tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila
dipakai pada area yang luas akan menimbulkan efek samping sedatif.
19
PENGOBATAN SISTEMIK
Kortikosteroid. Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk
mengendalikan eksaserbasi akut, dalam jangka pendek, dan dosis rendah,
diberikan berselang-seling (alternate), atau diturunkan bertahap (tapering),
kemudian segera diganti dengan kortikosteroid topikal. Pemakaian jangka panjang
menimbulkan berbagai efek samping, dan bila dihentikan, lesi yang lebih berat
akan muncul kembali.
Antihistamin. Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa
gatal yang hebat, terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena
itu, antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya
hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan
doksepin hidroklorid yang mempunyai efek antidepresan dan memblokade
reseptor histamih H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam
hari pada orang dewasa.
Anti-infeksi. Pada D.A. ditemukan peningkatan koloni S. aureus. Untuk
yang belum resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau, klaritromisin,
sedang untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi
pertama sefalosporin.
Bila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks kortikosteroid
dihentikan sementara dan diberikan per oral asiklovir 400 mg 3 kali per hari
selama 10 hari, atau 200 mg 4 kali per hari selama 10 hari.
Interferon. IFN-y diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi
dan proliferasi sel Th2. Pengobatan dengan IFN-y rekombinan menghasilkan
perbaikan klinis, karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.
Siklosporin. D.A. yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional
dapat diberikan pengobatan dengan siklosporin dalam jangka pendek. Dosis
jangka pendek yang dianjurkan per oral : 5 mg/kg berat badan. Siklosporin adalah
obat imunosupresif kuat yang terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan
cyclophilin (suatu protein intraselular) menjadi satu kompleks yang akan
menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Tetapi, bila
pengobatan dengan siklosporin dihentikan umumnya penyakitnya akan segera
20
kambuh lagi. Efek samping yang mungkin timbal yaitu peningkatan kreatinin
dalam serum, atau bahkan terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi1.
Pelembab, edukasi
21
PROGNOSIS
Sulit meramalkan prognosis D.A. pada seseorang. Prognosis lebih buruk
bila kedua orang tuanya menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan spontan
pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus
menetap pada usia di atas 30 tahun. Penyembuhan spontan D.A. yang diderita
sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun sebesar 40-60%,
terutama kalau penyakitnya ringan. Sebelumnya juga ada yang melaporkan bahwa
84% D.A. anak berlangsung sampai masa remaja. Ada pula laporan, D.A. pada
anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20% menghilang, dan 65 % berkurang
gejalanya. Lebih dari separo D.A. remaja yang telah diobati kambuh kembali
setelah dewasa.
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik D.A. yaitu:
- DA luas pada anak
- Menderita rinitis alergik dan asma bronkial
- Riwayat D.A. pada orang tua atau saudara kandung
- Awitan (onset) D.A. pada usia muda
- Anak tunggal
- Kadar igE serum sangat tinggi.
Diperkirakan 30 hingga 50 persen D.A. infantil akan berkembang menjadi
asma bronkial atau hay fever. Penderita atopi mempunyai risiko menderita
dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan.
22
BAB III
KESIMPULAN
23
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
24
12. Habif, T. and P. Thomas, Atopic Dermatitis, in A Clinical Dermatology: A
Color Guide to Diagnosis and Therapy, T. Habif, Editor. 2004, Mosby:
London. p. 106-116.
13. Boguniewicz, M., Conventional Topical Treatment Of Atopic Dermatitis,
in Atopic Dermatitis, T. Bieber and D. Leung, Editors. 2002, Marcel
Dekker: New York. p. 453-470.
14. Dawber, R., I. Bristow, and W. Turner, in Text Atlas Of Pediatric
Dermatology. 2005, Martin Dunitz: London. p. 95-97.
25