Anda di halaman 1dari 10

TUJUAN HUKUM KESEHATAN

Tujuannya Pasal 3 adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup

sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal

AZAS HUKUM KESEHATAN

1. Asas perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti

bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dilandasi atas perikemanusiaan yang

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak membeda- bedakan

golongan, agama, dan bangsa

2. Asas manfaat berarti memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi

kemanusiaan dan perikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara

3. Asas usaha bersama dan kekeluargaan berarti bahwa penyelenggaraan

kesehatan dilaksanakan melalui kegiatan yang dilakukan oleh seluruh lapisan

masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan

4. Asas adil dan merata berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat

memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan

masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat

5. Asas perikehidupan dalam keseimbangan berarti bahwa penyelenggaraan

kesehatan harus dilaksanakan seimbang antara kepentingan individu dan

masyarakat, antara fisik dan mental, antara material dan spiritual

6. Asas kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri berarti bahwa

penyelenggaraan kesehatan harus berlandaskan pada kepercayaan akan

kemampuan dan kekuatan sendiri dengan memanfaatkan potensi nasional

seluas-luasnya.
HAK DAN KEWAJIBAN

Setiap undang-undang selalu mengatur hak dan kewajiban, baik yang dimiliki oleh

pemerintah maupun warganya, demikian juga uu kesehatan. Hak dan kewajiban yang

dimiliki setiap warga berdasarkan Pasal 4 dan 5 UUK adalah:

1. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan

yang optimal.

2. Setiap orang berkewajiban ikut serta dalam pemeliharaan dan peningkatan

derajat kesehatan perseorangan, keluarga dan lingkungannya. Sedangkan

pemerintah mempunyai tugas dan tanggung jawab sbb:

a. Mengatur, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan.

b. Menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau

masyarakat

c. Menggerakkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan

pembiayaan kesehatan dengan memperhatikan fungsi sosial.

d. Bertanggung jawab meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

UPAYA KESEHATAN

Upaya kesehatan guna mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat

meliputi:

a. Upaya peningkatan kesehatan (promotif)

b. Upaya pencegahan penyakit ( preventif)

c. Upaya penyembuhan penyakit (kuratif)

d. Upaya pemulihan kesehatan (rehabilitatif)

keempat upaya tersebut dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan


berkesinambungan.

HAL-HAL PENTING DARI UUK

1. Adanya payung bagi tindakan aborsi atas indikasi medik sebagaimana

diketahui bahwa tindakan medik dalam bentuk pengguguran kandungan

dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma agama,

kesusilaan, dan hukum. Namun dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan

jiwa ibu dapat dilakukan aborsi. Aborsi atas indikasi medik tersebut dapat

dilakukan dengan syarat:

a. Adanya kondisi yang menyebabkan wanita hamil berada dalam keadaan

bahaya maut jika tidak dilakukan aborsi.

b. Sebelumnya harus meminta pertimbangan lebih dahulu dari tim ahli yang

terdiri atas ahli medik, agama, hukum, dan psikologi.

c. Harus ada informed consent dari wanita yang bersangkutan. Jika wanita

ybs dalam keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan

persetujuannya, maka informed consent dapat diminta dari suami atau

keluarganya.

d. Pelaksanaan aborsi harus dilakukan oleh dokter ahli kandungan dan

kebidanan.

e. Tempat aborsi adalah di sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan

fasilitas yang memadai untuk kepentingan tersebut dan telah ditunjuk oleh

pemerintah.

2. Penyembuhan dan pemulihan kesehatan dengan transplantasi upaya

penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan dengan


memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang

transplantasi. Meskipun belum diatur secara lengkap tetapi beberapa

pembatasan telah dikemukakan dalam UUK, antara lain :

a. Transplantasi organ/jaringan hanya boleh dilakukan dengan kemanusiaan.

Tidak dibenarkan dilakukan dengan tujuan komersial.

b. Pelaksanaannya hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang

mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu

c. Tempat pelaksanaan ialah di sarana kesehatan yang memiliki persyaratan

ketenagaan dan fasilitas

d. Pengambilan organ/jaringan harus memperhatikan kesehatan donor

e. Harus ada persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya

3. Dimungkinkannya melakukan upaya kehamilan di luar cara alami. Upaya

kehamilan untuk memperoleh keturunan di luar cara alami dengan

memanfaatkan teknologi bayi tabung dapat dilakukan sebagai upaya terakhir

dengan syarat-syarat yang sangat ketat, yaitu:

a. Hanya boleh dilakukan terhadap pasangan nikah (suami isteri)

b. harus menggunakan sperma suami dan ovum isteri

c. embrio yang dihasilkan hanya boleh ditanamkan ke dalam rahim

isteri.

d. Pelaksanaannya hanya di sarana kesehatan yang memenuhi persyaratan

ketenagaan dan fasilitas yang memadai untuk itu dan telah ditunjuk

oleh pemerintah

e. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan


kewenangan untuk itu.

Dengan adanya syarat tersebut maka upaya kehamilan dengan teknologi bayi tabung

tidak boleh menggunakan donor sperma atau ovum, donor embrio, dan ibu tumpang.

(ttg kehamilan dg menggunakan teknologi cloning tidak disinggung dlm UUK)

4. Diakuinya hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri pengakuan atas hak

pasien untuk menentukan nasibnya sendiri yang diwujudkan dalam bentuk

informed consent merupakan refleksi bahwa HAM juga dijadikan acuan bagi

kebijakan di bidang kesehatan. Dengan adanya pengakuan tersebut maka

pasien berhak menentukan apakah ia akan menerima atau menolak tindakan

medik.

Mengenai masalah imunisasi, yang sebetulnya amat penting bagi upaya meningkatkan

kesehatan masyarakat tidak disebut dalam UUK, yaitu termasuk wajib atau sukarela.

5. Dibolehkannya melakukan pengobatan tradisional dengan dibolehkannya

melakukan pengibatan tradisional berarti sistem yang dianut bukan system

monopli kedokteran, artinya orang boleh melakukan praktek pengobatan

tradisional, yaitu metode pengobatan yang mengacu pada pengalaman turun

temurun, baik yang asli maupun dari luar negeri. Kebijakan seperti ini

memang patut dihargai, sebab masyarakat memang punya hak untuk

menentukan, metode mana yang menurutnya baik untuk dipilih. Meskipun

demikian pemerintah punya kewajiban dan sekaligus kewenangan untuk

melakukan pengawasan dan pembinaan agar dapat dipertanggungjawabkan

manfaat dan keamanannya sehingga tidak merugikan masyarakat.


6. Dibentuknya majelis disiplin tenaga kesehatan untuk memberikan

perlindungan yang seimbang antara tenaga kesehatan dan penerima layanan

kesehatan, maka perlu dibentuk Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan, yang akan

menentukan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga

kesehatan dalam rangka memberikan layanan. Majelis terdiri atas ahli

psikologi, sosiologi, agama dan ahli hukum yang sekaligus bertindak sebagai

ketua. Hukuman yang dapat diterapkan adalah hukuman administratif berupa

pencabutan izin untuk jangka waktu ttt atau hukukman lain sesuai dengan

kesalahan dan kelalaiannya.

7. Adanya payung bagi Program KB sebelum ada UUK banyak tenaga kesehatan

merasa ragu terhadap program KB, sebab meskipun secara materiil tidak lagi

dianggap sebagai tindak pidana namun secara formil masih. Dengan adanya

UUK, maka secara formil tindakan pengaturan terhadap kelahiran dalam

rangka menciptakan keluarga yang sehat dan harmonis tidak lagi mrpkn tindak

pidana.

8. Ditetapkannya hukuman pidana yang yang sangat berat (Pasal 80-86) bisanya

dalam uu yang mengatur hal yang khusus (lex specialis) diatur juga ketentuan

pidananya, demikian juga dalam UUK. Hukumannya mencapai 15 tahun

penjara disertai denda 500 juta rupiah.

HUBUNGAN DOKTER PASIEN

Hubungan antara dokter dan pasien dalam ilmu kedokteran umumnya berlangsung

sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hubungan tersebut rupanya hanya


terlihat superioritas dokter terhadap pasien dalam bidang ilmu biomedis; hanya ada

kegiatan pihak dokter sedangkan pasien tetap pasif. Hubungan ini berat sebelah dan

tidak sempurna, karena merupakan suatu pelaksanaan wewenang oleh yang satu

terhadap lainnya. Oleh karena hubungan dokter-pasien merupakan hubungan antar

manusia, lebih dikehendaki hubungan yang mendekati persamaan hak antar manusia.

Jadi hubungan dokter yang semula bersifat paternalistik akan bergeser menjadi

hubungan yang dilaksanakan dengan saling mengisi dan saling ketergantungan antara

kedua belah pihak yang di tandai dengan suatu kegiatan aktif yang saling

mempengaruhi. Dokter dan pasien akan berhubungan lebih sempurna sebagai

partner. Sebenamya pola dasar hubungan dokter dan pasien, terutama berdasarkan

keadaan sosial budaya dan penyakit pasien dapat dibedakan dalam tiga pola

hubungan, yaitu:

1. Activity passivity.

Pola hubungan orangtua-anak seperti ini merupakan pola klasik sejak profesi

kedokteran mulai mengenal kode etik, abad ke 5 S.M. Di sini dokter seolah-olah dapat

sepenuhnya melaksanakan ilmunya tanpa campur tangan pasien. Biasanya hubungan

ini berlaku pada pasien yang keselamatan jiwanya terancam, atau sedang tidak sadar,

atau menderita gangguan mental berat.

2. Guidance Cooperation.

Hubungan membimbing-kerjasama, seperti hainya orangtua dengan remaja. Pola ini

ditemukan bila keadaan pasien tidak terlalu berat misalnya penyakit infeksi baru atau

penyakit akut lainnya. Meskipun sakit, pasien tetap sadar dan memiliki perasaan serta
kemauan sendiri. la berusaha mencari pertolongan pengobatan dan bersedia

bekerjasama. Walau pun dokter rnengetahui lebih banyak, ia tidak semata-rna ta

menjalankan kekuasaan, namun meng harapkan kerjasama pasien yang diwujudkan

dengan menuruti nasihat atau anjuran dokter.

3. Mutual participation.

Filosofi pola ini berdasarkan pemikiran bahwa setiap manusia memiliki martabat dan

hak yang sarna. Pola ini terjadi pada mereka yang ingin memelihara kesehatannya

seperti medical check up atau pada pasien penyakit kronis. Pasien secara sadar dan

aktif berperan dalam pengobatan terhadap dirinya. Hal ini tidak dapat diterapkan pada

pasien dengan latar belakang pendidikan dan sosial yang rendah, juga pada anak atau

pasien dengan gangguan mental tertentu. Hubungan dokter dan pasien, secara hokum

umumnya terjadi melalui suatu perjanjian atau kontrak. Di mulai dengan tanya jawab

(anarnnesis) antara dokter dan pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik,

akhirnya dokter rnenegakkan suatu diagnosis. Diagnosis ini dapat merupakan suatu

working diagnosis atau diagnosis sementara, bisa juga merupakan diagnosis yang

definitif. Setelah itu dokter biasanya merencanakan suatu terapi dengan memberikan

resep obat atau suntikan atau operasi atau tindakan lain dan disertai nasihat-nasihat

yang perlu diikuti agar kesembuhan lebih segera dicapai oleh pasien. Dalam proses

pelaksanaan hubungan dokter pasien tersebut, sejak tanya jawab sampai dengan

Perencanaan terapi, dokter melakukan pencatatan dalam suatu Medical Records

(Rekam Medis). Pembuatan rekam medis ini merupakan kewajiban dokter sesuai

dengan dipenuhinya standar profesi medis. Dalam upaya menegakkan diagnosis atau
melaksanakan terapi, dokter biasanya melakukan suatu tindakan medik. Tindakan

medik tersebut ada kalanya atau sering dirasa menyakitkan atau menimbulkan rasa

tidak menyenangkan. Secara material, suatu tindakan medis itu sifatnya tidak

bertentangan dengan hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Mempunyai indikasi medis, untuk mencapai suatu tujuan yang konkrit.

b. Dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran.

kedua syarat ini dapat juga disebut seba bertindak secara lege artis.

c. Harus sudah mendapat persetujuan dahulu dari pasien.

Secara yuridis sering dipermasalahkan apakah tindakan medis itu dapat dimasukkan

dalam pengertian penganiayaan. Akan tetapi dengan dipenuhinya ketiga syarat

tersebut di atas hal ini menjadi jelas. Sebenarnya kualifikasi yuridis mengenai

tindakan medis tidak hanya mempunyai arti bagi hukum pidana saja, melainkan juga

bagi hukum perdata dan hukum administratif.

Dalam hukum administratif, masalahnya berkenaan antara lain dengan kewenangan

yuridis untuk melaku tindakan medis. Dokter yang berpraktek harus mempunyai izin

praktek yang sah.

Ditinjau segi hukum perdata, tindakan medis merupakan pelaksanaan suatu perikatan

(perjanjian) antara dokter dan pasien. Apabila tidak terpenuhinya syarat suatu

perikatan, misalnya pada pasien tidak sadar maka keadaan ini bisa dikaitkan dengan K

U H Perdata pasal 1354 yaitu yang mengatur zaakwaarnemingatau perwakilan

sukarela, yaitu suatu sikap tindak yang pada dasar nya merupakan pengambil-alihan

peranan orang lain yang sebenarnya bukan merupakan kewajiban si pengambil-alih


itu, namun tetap melahirkan tanggung jawab yang harus dipikul oleh si pengambil-

alih tersebut atas segala sikap tindak yang dilakukannya.

Anda mungkin juga menyukai