2. Penyebab
Penyebab penyakit demam berdarah dangue pada seseorang adalah virus
dangue termasuk family flaviviridae genus Flavivirus yang terdiri dari 4
serotipe, yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Ke empat serotip ini ada
di Indonesia, dan dilaporkan bahwa serotip virus DEN-3 sering menimbulkan
wabah (Syahruman, 1988). Virus DEN termasuk dalam kelompok virus yang
relative labil terhadap suhu dan faKtor kimiawai lain serta masa viremia yang
pendek. Virus DEN virionnya tersusun oleh genom RNA dikelilingi oleh
nukleokapsid, ditutupi oleh suatu selubung dari lipid yang mengandung 2
protein yaitu selubung protein E dan protein membrane M.
3. Patofisiologi
Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas
vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler,
sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah.
Volume plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat. (Gubler,
1998). Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi
diabsorbsi dengan cepat, menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan
hemostasis pada DBD dan DSS melibatkan 3 faktor, yaitu perunahan vaskuler,
trombositopeni, dan kelainan koagulasi (Soegijanto, 2004).
1
Beberapa teori mengenai terjadinya DBD dan DSS antara lain adalah:
a. Teori Antigen Antibodi
Virus dangue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan
antibody, membentuk virus antibody kompleks (komplek imun) yang akan
mengaktifasi komplemen. Aktifasi ini akan menghasilkan anafilaktosin
C3A dan C5A yang akan merupakan mediator yang mempunyai efek
farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat fasoaktif dan
prokoagulant sehingga menimbulkan kebococran plasma (hipovolemik
syok dan perdarahan. (Soewandoyo, 1998).
b. Teori Infection Enhancing Antibody
Teori ini berdasarkan pada peran sel fagosit mononuclear merangsang
terbentuknya antibody nonnetralisasi. Antigen dangue lebih banyak
didapat pada sel makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Pada kejadian
ini antibody nonnetralisasi berupaya melekat pada sekeliling permukaan
sel makrofag yang beredar dan tidak melekat pada sel makrofag yang
menetapdi jaringan. Makrofag yang dilekati antibody nonnetralisasi akan
memiliki sifat opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel mudah terinfeksi.
Makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif dan akan melepaskan
sitokin yang memiliki sifat vasoaktif atau prokoagulasi. Bahan-bahan
mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh
darah dan system hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma
dan perdarahan. (Wang, 1995).
c. Teori mediator
Teori mediator didasarkan pada beberapa hal:
1) Kelanjutan dari teori antibody enhancing, bahwa makrofag yang
terinfeksi virus mengeluarkan mediator atau sitokin. Fungsi dan
mekanismme sitokin kerja adalah sebagai mediator pada imunitas
alami yang disebabkan oleh rangsangan zat yang infeksius, sebagai
regulator yang mengatur aktivasi, proliferasi dan diferensiasi limfosit,
sebagai activator sel inflamasi nonspesifik, dan sebagai stimulator
pertumbuhan dan deferensiasi lekosit matur (Khana, 1990).
2
2) Kejadian masa krisis pada DBD selama 48-72 jam, berlangsung sangat
pendek. Kemudian disusul masa penyembuhan yang cepat, dan praktis
tidak ada gejala sisa.
3) Dari kalangan ahli syok bacterial, mengambil perbandingan bahwa
pada syok septic banyak berhubungan dengan mediator.
3
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke
ruang ekstravaskular (Suvatte, 1977).
Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai
lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini
terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar
natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites).
Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan
anoksia, yang dapat berakhir fatal. Oleh karena itu, pengobatan syok sangat
penting guna mencegah kematian (Suvatte, 1977).
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus
binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu.
Virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi
dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain
virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar (Suvatte,
1977).
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit
dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh
darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD.
Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin
di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system)
sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan
pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif
(KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan factor
pembbekuan. Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi
trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak
berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi
4
factor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu
peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok.
Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan
faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dankerusakan
dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan mempercepat syok yang
terjadi (Suvatte, 1977).
4. Klasifikasi
WHO (1997) membagi DBD menjadi 4 (Vasanwala dkk, 2011):
a. Derajat 1
Demam tinggi mendadak (terus menerus 2-7 hari) disertai tanda dan gejala
klinis (nyeri ulu hati, mual, muntah, hepatomegali), tanpa perdarahan
spontan, trombositopenia dan hemokonsentrasi, uji tourniquet positif.
b. Derajat 2
Derajat 1 dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain seperti
mimisan, muntah darah dan berak darah.
c. Derajat 3
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah
rendah (hipotensi), kulit dingin, lembab dan gelisah, sianosis disekitar
mulut, hidung dan jari (tanda-tand adini renjatan).
d. Renjatan berat (DSS) / Derajat 4
Syok berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.
5. Manifestasi Klinis
a. Demam
Demam berdarah dengue biasanya ditandai dengan demam yang
mendadak tanpa sebab yang jelas, continue, bifasik. Biasanya berlangsung
2-7 hari (Bagian Patologi Klinik, 2009). Naik turun dan tidak berhasil
dengan pengobatan antipiretik. Demam biasanya menurun pada hari ke-3
dan ke-7 dengan tanda-tanda anak menjadi lemah, ujung jari, telinga dan
5
hidung teraba dingin dan lembab. Masa kritis pda hari ke 3-5. Demam akut
(38-40 C) dengan gejala yang tidak spesifik atau terdapat gejala penyerta
seperti , anoreksi, lemah, nyeri punggung, nyeri tulang sendi dan kepala.
6
Syok biasanya terjadi pada saat demam mulai menurun pada hari ke-3 dan
ke-7 sakit. Syok yang terjadi lebih awal atau periode demam biasanya
mempunyai prognosa buruk (Bagian Patologi Klinik, 2009). Kegagalan
sirkulasi ini ditandai dengan denyut nadi terasa cepat dan lemah disertai
penurunan tekanan nadi kurang dari 20 mmHg. Terjadi hipotensi dengan
tekanan darah kurang dari 80 mmHg, akral dingin, kulit lembab, dan
pasien terlihat gelisah.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah
1) Kadar trombosit darah menurun (trombositopenia) ( 100000/I)
2) Hematokrit meningkat 20%, merupakan indikator akan timbulnya
renjatan. Kadar trombosit dan hematokrit dapat menjadi diagnosis
pasti pada DBD dengan dua kriteria tersebut ditambah terjadinya
trombositopenia, hemokonsentrasi serta dikonfirmasi secara uji
serologi hemaglutnasi (Brasier, Ju, Garcia, Spratt, Forshey, Helsey,
2012).
7
Gambar: Perubahan Ht, Trombosit, dan LPB dalam perjalanan DHF
d. USG
Pemeriksaan USG biasanya lebih disukai pada anak dan dijadikan sebagai
pertimbangan karena tidak menggunakan system pengion (Sinar X) dan
dapat diperiksa sekaligus berbagai organ pada abdomen. Adanya acites
dan cairan pleura pada pemeriksaan USG dapat digunakan sebagai alat
menentukan diagnose penyakit yang mungkin muncul lebh berat misalnya
dengan melihat ketebalan dinding kandung empedu dan penebalan
pancreas.
e. Diagnosis Serologis
1) Uji hemaglutinasi inhibisi (Uji HI)
Tes ini adalah gold standard pada pemeriksaan serologis, sifatnya
sensitive namun tidak spesifik artinya tidak dapat menunjukkan tipe
virus yang menginfeksi. Antibody HI bertahan dalam tubuh lama
sekali (>48 tahun) sehingga uji ini baik digunakan pada studi serologi-
8
epidemioligi. Untuk diagnosis pasien, Kenaikan titer konvalesen 4x
lipat dari titer serum akut atau titer tinggi (> 1280) baik pada serum
akut atau konvalesen daianggap sebagai presumtif (+) atau di dugan
keras positif infeksu dengue yang baru terjadi (Vasanwala dkk, 2011).
2) Uji komplemen fiksasi (uji CF)
Jarang digunakan secara rutin karena prosedur pemeriksaannya rumit
dan butuh tenaga berpengalaman. Antibodi komplemen fiksasi
bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun).
3) Uji neutralisasi
Uji ini paling sensitif dan spesifik untuk virus dengue. Biasanya
memamkai cara Plaque Reduction Neutralization Test (PNRT) yaitu
berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Anti body
neutralisasi dapat dideteksi dalam serum bersamaan dengan antibody
HI tetapi lebih cepat dari antibody komplemen fiksasi dan bertahan
lama (>4-8 tahun). Prosedur uji ini rumit dan butuh waktu lama
sehingga tidak rutin digunakan (Vasanwala dkk, 2011).
9
darah, jaringan tubuh manusia, dan nyamuk. Sensitifitas PCR sama
dengan isolasi virus namun PCR tidak begitu dipengaruhi oleh
penanganan specimen yang kurang baik bahkan adanya antibody
dalam darah juga tidak mempengaruhi hasil dari PCR (Vasanwala dkk,
2011).
7. Penatalaksanaan
a.Pre Hospital
Penatalaksanaanprehospital DBD bisa dilakukan melalui 2 cara
yaitu pencegahan dan penanganan pertama pada penderita demam
berdarah. DinasKesehatan Kota Denpasar menjelaskan pencegahan
yang dilakukan meliputi kegiatan pemberantasan sarang nyamuk
(PSN), yaitu kegiatan memberantas jentik ditempat perkembangbiakan
dengan cara 3M Plus:
1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti
bak mandi / WC, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1).
2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong
air/tempayan, dan lain-lain (M2).
3) Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan (M3).
10
4) Mencegah gigitan nyamuk dengan memakai obat nyamuk gosok
5) Memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi
6) Tidak membiasakan menggantung pakaian di dalam kamar
7) Melakukan fogging atau pengasapan bila dilokasi ditemukan 3
kasus positif DBD dengan radius 100 m (20 rumah) dan bila di
daerah tersebut ditemukan banyak jentik nyamuk.
11
4) Minuman lain yang disarankan: Jus jambu merah untuk
meningkatkan trombosit
5) Makanlah makanan yang bergizi dan usahakan makan dalam
kuantitas yang banyak
6) Cara penghitung kebutuhan cairan dapat berdasarkan rumus
berikut ini :
a) Dewasa: 50 cc/kg BB/hari
b) Anak: Untuk 10 kg BB pertama: 100cc/kg BB/ hari
- Untuk 10 kg BB kedua: 50 cc/kg BB/ hari
- Untuk 10 kg BB ketiga dan seterusnya: 20 cc/kg BB/hari
12
Air heksagonal merupakan air yang banyak mengandung
oksigen, air telah banyak dikembangkan untuk membantu
metabolisme tubuh sehingga bisa menjaga stamina dan
vitalitas, termasuk bagi yang menderita demam berdarah.
d) Alang-Alang
Dalam kandungan Alang-alang terdapat manitol, glukosa,
sakharosa, malic acid, citric acid, coixol, arundoin, cylindrin,
fernenol, simiarenol, anemonin, asam kersik, damar, dan logam
alkali. Dilihat dari kandungan-kandungan tersebut, alang-alang
bersifat antipiretik (menurunkan panas), diuretik (meluruhkan
kemih), hemostatik (menghentikan perdarahan), dan
menghilangkan haus.
13
tapi bila syok terjadi dalam waktu yang lama, penderita sudah tidak
sadar lagi. Dampak syok dapat menyebabkan semua organ tubuh akan
kekurangan oksigen dan akhirnya menyebabkan kematian dalam
waktu singkat. Oleh karena itu penderita harus segera dibawa kerumah
sakit bila terdapat tanda gejala dibawah ini:
1) Demam tinggi (lebih 39oc ataulebih)
2) Muntah terus menerus
3) Tidak dapat atau tidak mauminum sesuai anjuran
4) Kejang
5) Perdarahan hebat, muntah atau berak darah
6) Nyeri perut hebat
7) Timbul gejala syok, gelisah atau tidak sadarkan diri, nafas cepat,
seluruh badan teraba lembab, bibir dan kuku kebiruan, merasa
haus, kencing berkurang atau tidak ada sama sekali
8) Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan kekentalan darah
atau penurunan jumlah trombosit
14
b.Intra Hospital di Unit Gawat Darurat
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas
kapiler dansebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan
sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada
kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif.
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit
lain adalah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang
menyebabkan perembesan plasma dangangguan hemostasis. Gambaran
klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis
hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan
tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase
kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang
merupakan ease awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan
melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma
dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan
awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari
peningkatan kadar hematokrit (DepKes RI, 2005).
Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit.
Penurunanjumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2
trombosit/ Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum
peningkatan hematokrit dansebelum terjadi penurunan suhu.
Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan
plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian caiaran. Larutan
garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume
plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian
khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus
dan penurunan jumlah trombosit < 50.000/41. Secara umum pasien
DBD derajat I danII dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D,
C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B danA (DepKes
RI, 2005).
15
1) Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan
tatalaksana DD, bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian
cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak
dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri
perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu
diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu
diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama
demam pada DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk
pemberian atau dapat di sederhanakan seperti tertera pada Tabel 1.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat
demam tinggi, anoreksia danmuntah. Jenis minuman yang
dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta larutan
oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam
pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan
cairan rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi
yang masih minum asi, tetap harus diberikan disamping larutan
oiarit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan
antikonvulsif selama demam (DepKes RI, 2005).
Tabel 1
Dosisi Parasetamol Menurut umur
Umur (Tahun) Parasetaol (tiap kali pemberian)
Dosis (mg) Tablet (1 tab = 500
mg)
<1 60 1/8
1-3 60-125 1/8-1/4
4-6 125-250 1/4-1/2
7-12 250-500 1/2-1
16
kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium
yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu
menggambarkan derajat kebocoran plasma danpedoman kebutuhan
cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum
dijumpai perubahan tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit
harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai
suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak
tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai
alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang
tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan
menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb
(DepKes RI, 2005).
a) Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang
terjadi pada fase penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase
syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume
plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan
harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan
cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada
kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan
dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan
tanda vital, kadar hematokrit, danjumlah volume urin (DepKes
RI, 2005).
Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal
mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume
yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus
smuntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak
rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya
dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai
hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.
Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi
17
dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di
dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan
natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus
perlahan-lahan (DepKes RI, 2005).
Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka
komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan
plasma. Volume dankomposisi cairan yang diperlukan sesuai
cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu
cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada
tabel 2 dibawah ini (DepKes RI, 2005).
Tabel 2
Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang
(defisit cairan 5 8 %)
Berat Badan waktu masuk Jumlah cairan Ml/kg berat
RS ( kg ) badan per hari
<7 220
7-11 165
12-18 132
>18 88
18
penderita SSD dengan tensi tak terukur dantekanan nadi <20 mm
Hg segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB/jam
seiama 30 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg BB
(DepKes RI, 2005).
a) Penggantian Volume Plasma Segera
Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat > 20
ml/kg BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30
menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai
berat BB ideal danumur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak ada
perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid.
Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan
kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada
perbaikan stop pemberian kristaloid danberi cairan koloid
(dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya
pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal
pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada
saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid
dankoloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit
turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan
pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit
tetap > tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10
ml/kg BB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam.
Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infuse dikurangi
bertahap sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit (DepKes
RI, 2005).
b) Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian
Volume Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda
vital telah membaik dankadar hematokrit turun. Tetesan cairan
segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dankemudian
disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi
selama 24-48 jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala
19
pada pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi. Cairan
intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun,
dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam
atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi
membaik (DepKes RI, 2005).
Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48
jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah
yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari
ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit
setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan
hipervolemia dengan akibat edema paru dangagal jantung.
Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan
dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh
hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, dieresis
cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase
reabsorbsi (DepKes RI, 2005).
c) Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai
pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dankadar elektrolit
harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak
dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana
pasien menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila
penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan
koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan
sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak
diperlukan (DepKes RI, 2005).
d) Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada
semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan
mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak
seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker
oksigen (DepKes RI, 2005).
20
e) Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus
dilakukan pada setiap pasien syok, terutama pada syok yang
berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah
diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata.
Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal
haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan
hematokrit(misalnya dari 50% me.njadi 40%) tanpa perbaikan
klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi,
merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar
dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup
mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar
trombosit (DepKes RI, 2005).
Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk
pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi
pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga
dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti
waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen
degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk
mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan
hematologis tersebut juga menentukan prognosis (DepKes RI,
2005).
f) Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan
dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-
hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:
- Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat
setiap 15-30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat
teratasi.
- Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali
sampai keadaan klinis pasien stabil.
21
- Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan,
mengenai jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk
menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.
- Jumlah dan frekuensi dieresis
Tersangka DBD
Gejala Klinis
Demam 2-7 hari
Uji Tourniquet (+) atau perdarahan spontan
Laboratorium: Ht tidak meningkat,
Trombositopenia ringan
Evaluasi ketat
Tanda vital
Tanda Perdarahan
Gambar: Penatalaksanaan DBD derajat II dan III (Sumber: DepKes RI, 2005)
25
Prevention) menjelaskan bahwa fokus pengkajian untuk kegawatan pada
DHF yang dikenal dengan DSS adalah sebagai berikut (CDC, 2010):
a. Riwayat demam
Riwayat demam yang akurat penting untuk ketepatan diagnosis dan
membantu prediksi kehilangan cairan, dan fase penyakit. Terdapat
perbedaan karakteristik demam pada :
DF demam akut biasanya 2 hari atau lebih
DHF : 2-7 hari
DSS :penurunan temperatur yang tiba-tiba (>38.0C menjadi
temperatur normal atau subnormal)
b. Tanda-tanda vital
Tanda-tanda kegawatan/kritis adalah ketika didapatkan nadi cepat dan
lemah, tekanan nadi yang sempit (TD sistolik-TD diastolik <20mm
Hg) atau hipotensi berdasarkan tekanan darah sesuai usia.
26
2) Hemokosentrasi ( peningkatan hematocrit 20%diatas rata-rata
sesuai usia atau penurunan hematocrit 20% dari terapi cairan yang
diperlukan, hipoproteinemia, hipokolesterolemia
Intervensi :
Intervensi prioritas NIC
1) Autotranfusi pengumpulan dan reinfusi darah yang hilang akibat
perdarahan
27
2) Pengelolaan elektrolit peningkatan keseimbangan elektrolit dan
pencegahan komplikasi akibat kadar elektrolit serum yang tidak
normal atau tidak diinginkan (misalnya : kalsium,
kalium.agnesium, natrium dan fosfat dalam serum).
3) Pengelolaan cairan : peningkatan dan analisis data paisen untuk
mengatur keseimbangan cairan
4) Pengelolaan hipovolemia : expansi volume cairan intravaskular
pada pasien yang mengalami penurunan volume.
5) Terapi intravena : Pemberian dan pemantauan cairan dan obat
intravena
6) Pengelolaan syok , volume : peningkatan keadekuatan perfusi
jaringan pada pasien yang mengalami masalah volume
intravaskular yang berat
Aktifitas Keperawatan
1) Pantau warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan cairan
2) Observasi khusus terhadap kehilangan cairan dan elektrolit yang
tinggi
3) Pantau perdarahan
4) Identifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap bertambah
buruknya dehidrasi
5) Tinjau ulang elektrolit terutama natrium, kalium dan klorida.
6) Kaji orientasi terhadap orang, tempat dan waktu.
7) Pengelolaan cairan (NIC) :
a) Pantau status hidrasi
b) Pantau hasil laboratorium yang relevan dengan keseimbangan
cairan
c) Pertahankan keakuratan asupan dan keluaran.
28
Aktivitas kolaboratif :
1) laporkan dan catat keluaran (Output)
2) laporkan abnormalitas elektrolit
3) berikan terapi IV sesuai dengan anjuran
Aktifitas lain
1) bersihkan mulut secara teratur,
2) tentukan jumlah cairan dalam 24 jam
3) tingkatkan asupan orla, pasang kateter bila perlu
4) berikan cairan sesuai indikasi
Intervensi :
Intervensi prioritas NIC
1) Pengobatan demam pengelolaan pasien dengan hipertermia yang
disebabkan oleh faktor-faktor yang bukan dari lingkungan
2) Regulasi suhu mencapai dan atau untuk mempertahankan suhu
tubuh dalam rentang normal
3) Pemantauan tanda vital pengumpulan dan analisis data
kardiovaskluar, respirasi, suhu tubuh untuk menentukan serta
mencegah komplikasi
Aktivitas Keperawatan
1) Pantau aktivitas kejang
2) Pantau hidrasi
3) Pantau tkanan darah dan, nadi dan pernafasan,e
29
4) Regulasi suhu (NIC) : pantau suhu tubuh minimal tiap 2 jam
sesuai dengan kebutuhan denge pantau warna kulit dan suhu
Aktifitas kolaboratif :
1) Berikan obatantipiretik sesuai dengan kebutuhan
2) Gunakan air jangat untuk mengatasi gangguan suhu tubuh sesuai
dengan kebutuhan
Aktifitas lain :
1) Lepaskan pakaian yang yang berlebihn
2) Anjurkan asupan cairan oral
3) Gunakan selimut
4) Gunakna kompres pada aksila, kening, leher dan lipat paha
Intervensi:
1) Kaji tingkat pengetahuan klien/keluarga tentang penyakit DHF
2) Kaji latar belakang pendidikan klien/ keluarga.
3) Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan obat-obatan
pada klien dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.
4) Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan dan manfaatnya
pada klien.
30
5) Berikan kesempatan pada klien/ keluarga untuk menanyakan hal-
hal yang ingin diketahui sehubungan dengan penyakit yang diderita
klien.
6) Gunakan leaflet atau gambar-gambar dalam memberikan
penjelasan.
DAFTAR PUSTAKA
31
DepKes, RI.,(2005). Pedoman Pencegahan dan Pemberantasan Demam
Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Waspadalah penyakit demam berdarah dengue.
Retrieved from www.denpasarkota.go.id. 18 april 2013.
32
Syahruman A., 1998. Beberapa Lahan Penelitian untuk Penanggulangan Demam
Berdarah Dangue. Mikrobiologi Klinik Indonesia. Vol:3:3:87-89.
Vasanwala. F. F., Puvanendran. R., Chong. S. F., Ng. J. M., Suhail. S. M., Lee. K.
H. (2011). Could peak proteinuria determine whether patient with dengue
fever develop dengue hemorraghic/dengue shock syndrome/- A prospective
cohort study. BMC Infectious Diseases.
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan intrevensi
NIC dan kriteria hasil NOC. EGC. Jakarta.
World Health Organization (WHO). (1999). Guidelines for treatment of dengue
fever/dengue hemorrhagic fever in small hospitals. New Delhi.
33