Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai

oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari),

hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria dan

hiperkoagulabilitas. Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer

(idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab

tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu.1

Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi

penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi

neopterin serum dan rasioneopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T

dalam darah perifer pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang

diperantarai sel T (4). Kelainan histopatologi pada SN primer meliputi nefropati

lesi minimal,nefropati membranosa, glomerulo-sklerosis fokal - segmental,

glomerulonefritis membrano-proliferatif.1

Penyebab SN sekunder sangat banyak, di antaranya penyakit infeksi,

keganasan, obat - obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi,

penyakit metabolik, penyakit herediter - familial, toksin, transplantasi ginjal,

trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas massif. Di klinik (75%-

80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik) yang merupakan penyebab

paling umum dari sindrom nefrotik pada anak dengan umur rata-rata 2,5 tahun.1,2
2

Dua dari 10.000 orang mengalami sindroma nefrotik. Sindom Nerfrotik

sulit tentukan pada usia dewasa, karena biasanya kondisinya menyerupai penyakit

lain. Pada anak-anak, biasanya lebih banyak dialami oleh anak laki dibandingkan

perempuan, usia antara 2 -3 tahun. Angka kejadian SN pada anak tidak diketaui

pasti, namun laporan dari luar negeri diperkirakan pada anak usia dibawah 16

tahun berkisar antara 2 sampai 7 kasus per tahun pada setiap 100.000 anak.

Menurut Raja Syeh angka kejadian kasus sindrom nefrotik di Asia tercatat 2

kasus setiap 10.000 penduduk. Sedangkan kejadian di Indonesia pada sindrom

nefrotik mencapai 6 kasus pertahun dari 100.000 anak berusia kurang dari 14

tahun.2,3

Sifat khusus dari penyakit sindrom nefrotik adalah sering kambuh, sering

gagalnya pengobatan dan timbulnya penyulit, baik akibat dari penyulitnya sendiri

maupun oleh karena pengobatannya. Penyulit yang sering terjadi pada sindrom

nefrotik adalah infeksi, trombosis, gagal ginjal akut, malnutrisi, gangguan

pertumbuhan, hiperlipidemia dan anemia.3

Infeksi merupakan penyulit yang mengakibatkan morbiditas dan mortalitas

yang bermakna. Bentuk infeksi yang sering dijumpai pada sindrom nefrotik

adalah peritonitis, infeksi saluran kemih, dan sepsis. Obat-obat yang digunakan

untuk terapi penyakit ini pada umumnya sangat toksik seperti kortikosteroid dan

immunosuppressant. Pemakaian kortikosteroid dosis tinggi dalam waktu yang

lama dapat menekan sistem imun (imunocompromised) dan menimbulkan

berbagai efek samping yang merugikan seperti munculnya infeksi sekunder.3

Infeksi yang tidak ditangani sebagaimana mestinya akan mengakibatkan

kekambuhan dan resisten terhadap steroid. Mortalitas dan prognosis anak dengan
3

sindrom nefrotik bervariasi berdasakan etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia

anak, kondisi yang mendasari dan responnya terhadap pengobatan. Namun sejak

diperkenalkannya kortikosteroid, mortalitas keseluruhan sindrom nefrotik telah

menurun drastis dari lebih dari 50% menjadi sekitar 2-5%. Pada beberapa episode

SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respon yang baik terhadap erapi

kortikosteroid, tetapi sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik (penyakit

ginjal kronik).3,4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan organ pada tubuh manusia yang menjalankan banyak

fungsi untuk homeostasis, yang terutama adalah sebagai organ ekskresi dan

pengatur keseimbangan cairan dan asam basa dalam tubuh. Terdapat sepasang

ginjal pada manusia, masing - masing di sisi kiri dan kanan (lateral) tulang

vertebra dan terletak retroperitoneal (di belakang peritoneum). Selain itu sepasang

ginjal tersebut dilengkapi juga dengan sepasang ureter, sebuah vesika urinaria

(buli - buli/kandung kemih) dan uretra yang membawa urin ke lingkungan luar

tubuh.1
4

Sumber: Human Anatomy, 2011


Gambar 2.1
Letak Ginjal

Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat sepasang

(masing - masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya

retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm)

dibanding ginjal kiri oleh karena adanya hati yang mendesak ginjal sebelah kanan.

Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12), sedangkan kutub atas

ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri

adalah processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka),

sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-

batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah

dibandingkan ginjal kiri.1

Tabel 2.1
Topografi Ginjal
Anterior Ginjal kiri Ginjal kanan
5

Dinding dorsal gaster Lobus kanan hati

Pankreas Duodenum pars descendens

Limpa Fleksura hepatica

Vasa lienalis Usus halus

Usushalus

Fleksura lienalis

Posterior Diafragma, m.psoas major, m. quadratus lumborum,


m.transversus abdominis (aponeurosis), n.subcostalis,
n.iliohypogastricus, a.subcostalis, aa.lumbales 1-2(3), iga 12
(ginjal kanan) dan iga 11-12 (ginjal kiri)

Sumber: Ume Azhar, 2010

Sumber: Ume Azhar, 2010


Gambar 2.2
Anatomi Ginal

Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:

1. Korteks
Bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus

renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus

proksimal, dan tubulus kontortus distalis.


2. Medulla
6

Terdiri dari 9-14 pyramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus rektus, lengkung

Henle, dan tubulus pengumpul (ductus collectivus).


3. Columna renalis
Bagian korteks di antara pyramid ginjal.
4. Processus renalis
Bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah korteks.

5. Hilus renalis
suatu bagian di mana pembuluh darah, serabut saraf atau duktus

memasuki/meninggalkan ginjal.
6. Papilla renalis
Bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix minor.
7. Calix minor
Percabangan dari calix major.
8. Calix major
Percabangan dari pelvis renalis.
9. Pelvis renalis
Disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara calyx

major dan ureter.


10. Ureter
Saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.

Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus

renalis/Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus

proksimal, lengkung Henle dan tubulus kontortus distal yang bermuara pada

tubulus kolektivus. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh darah

kapiler,yaitu arteriol yang membawa darah dari dan menuju glomerulus serta

kapiler peritubulus (yang memperdarahi jaringan ginjal). Berdasarkan letakya,

nefron dapat dibagi menjadi: (1) nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus

renalisnya terletak di korteks yang relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja

bagian lengkung Henle yang terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta medula,

yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di tepi medula, memiliki lengkung
7

Henle yang terbenam jauh ke dalam medula dan pembuluh - pembuluh darah

panjang dan lurus yang disebut sebagai vasa rekta.1

Sumber: Ume Azhar, 2010


Gambar 2.3 Vaskularisasi Ginjal

Ginjal diperdarahi oleh arteri dan vena renalis. A. renalis merupakan

percabangan dari aorta abdominal, sedangkan v. renalis akan bermuara pada vena

cava inferior. Setelah memasuki ginjal melalui hilus, a. renalis akan

bercabang menjadi arteri sublobaris, a. arcuata, a.interlobaris yang akan

memperdarahi segmen - segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen superior,

anterior-superior, anterior - inferior, inferior serta posterior. Ginjal memiliki

persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis, ginjal melalui

segmen T10-L1 atau L2, melalui n. splanchnicus major, n. splanchnicus imus dan

n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan

persarafan simpatis melalui n.vagus.1

2.2 Fisiologi Ginjal


8

Ginjal ikut mengatur keseimbangan biokimia tubuh manusia dengan cara

mengatur keseimbangan air, mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur

asam basa darah, pengaturan ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam serta

memproduksi hormon yaitu :

Prostaglandin
berfungsi untuk pengaturan garam dan air serta mempengaruhi tekanan

vaskuler
Eritropoietin
berfungsi untuk merangsang produksi sel darah merah
1,25 dihidroksikolekalsiferol
berfungsi memperkuat absorpsi kalsium dari usus dan reabsorbsi fosfat

oleh tubulus renalis


Renin
berfungsi bekerja pada jalur angiotensin untuk meningkatkan tekanan

vaskuler dan produksi aldosteron


2.2.1 Tiga tahap pembentukan urin:
Filtrasi glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus,

seperti kapiler tubuh lainnya, kapiler glomerulus secara relatif bersifat

impermeabel terhadap protein plasma yang besar dan cukup permeabel terhadap

air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa

nitrogen.
Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari

curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau

sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsul Bowman. Ini dikenal

dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate).2


Gerakan masuk ke kapsula bowman disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal

dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula

bowman, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah

filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula
9

bowman serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya

dipengaruhi oleh tekanan tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas

dinding kapiler.2
Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit,

elektrolit, dan, air. Setelah filtrasi, langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat

tersebut kembali lagi zat - zat yang sudah difiltrasi.2


Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul - molekul dari aliran

darah melalui tubulus ke dalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak

terjadi secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara

alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion - ion

hidrogen.2
Pada tubulus distalis, transpor aktif natrium sistem carier yang juga telibat

dalam sekresi hidrogen dan ion - ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali

carier membawa natrium keluar dari cairan tubular, carier nya bisa hidrogen atau

ion kalium ke dalam cairan tubular, perjalanannya kembali jadi, untuk setiap ion

natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi dan sebaliknya.2
Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan

ekstratubular (CES) dari ion - ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan

tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami

beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita

dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau

mengapa pada awalnya dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika asidosis

berat dikoreksi secara terapeutik.2

2.3 Sindroma Nefrotik


2.3.1 Definisi
10

Suatu kompleks klinis yang mencakup : proteinuria massif, dengan

pengeluaran protein didalam urine 3,5 gr atau lebih perhari, hipoalbuminemia

dengan kadar albumin plasma kurang dari 3gr/dl, edema generalisata yaitu

gambaran klinis yang paling mencolok serta hiperlipidemia dan lipiduria. Saat

onset sedikit atau tidak terdapat azotemia, hematuria tau hipertensi.6


2.3.2 Epidemiologi
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi

minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat

diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang

dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30 - 50

tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3

kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom

nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes

mellitus.9

2.3.3 Etiologi
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer (GN

primer) dan sekunder (GN sekunder) akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan

penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit

sistemik seperti tercantum pada table berikut:


Tabel 2.2
Klasifikasi dan Penyebab Sindrom Nefrotik
Klaifikasi Penyebab

Glomerulonefritis primer (GN o GN lesi minimal (GNLM)


primer) o Glomerulosklerosis fokal (GSF)
o GN membranosa (GNMN)
o GN membranoproliferatif (GNMP)
o GN proliferatif lain
Glomerulonefritis sekunder o HIV, hepatitis virus B dan C
akibat infeksi o Sifilis, malaria, skistosoma
o Tuberculosis, lepra
Keganasan Adenokarsinoma:

o Paru
o Payudara
11

o Kolon
Limfoma non Hodgkin

Myeloma multipel

Karsinoma ginjal

Penyakit jaringan terhubung o SLE


o Arthritis rheumatoid
o MCTD (mixed connective tissue disease)
Efek obat dan toksin o Obat antiinflamasi non-steroid
o Preparat emas
o Penisilinamin
o Probenesid
o Air raksa
o Kaptopril
o Heroin
Lain lain Diabetes mellitus, amiloidosis, preeklamsia, rejeksi alograf
kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah

Sumber: Wiguno Prodjosudjadi, 2007

2.3.4 Patofisiologi

Ada banyak bentuk penyakit glomerulus dengan patogenesis bervariasi,

terkait dengan adanya mutasi genetik, infeksi, paparan toksin, autoimunitas,

aterosklerosis, hipertensi, emboli, trombosis, atau diabetes mellitus. Bahkan,

setelah adanya studi penelitian, bagaimanapun penyebab tersering tetap tidak

diketahui, dan lesi ini disebut idiopatik.

Terdapat beberapa teori mengenai terjadinya sindrom nefrotik idiopatik

yaitu:

1. Soluble Antigen Antibody Complex (SAAC)2


Antigen yang masuk ke sirkulasi menimbulkan antibodi sehingga terjadi

reaksi antigen antibodi yang larut (soluble) dalam darah. SAAC ini kemudian

menyebabkan sistem komplemen dalam tubuh bereaksi sehingga komplemen C3

akan bersatu dengan SAAC membentuk deposit yang kemudian terperangkap di

bawah epitel kapsula Bowman yang secara imunofloresensi terlihat berupa

benjolan yang disebut HUMPS sepanjang membrana basalis glomerulus


12

berbentuk granuler atau noduler. Komplemen C3 yang ada dalam HUMPS inilah

yang menyebabkan permeabilitas membran basalis glomerulus terganggu

sehingga eritrosit, protein dan lain-lain dapat melewati membrana basalis

glomerulus sehingga dapat dijumpai dalam urin.7


2. Perubahan elektroemis
Selain perubahan struktur membrana basalis glomerulus, maka perubahan

elektrokemis dapat juga menimbulkan proteinuria. Dari beberapa percobaan

terbukti bahwa kelainan terpenting pada glomerulus berupa gangguan fungsi

elektrostatik (sebagai sawar glomerulus terhadap filtrasi protein) yaitu hilangnya

fixed negative ion yang terdapat pada lapisan sialo-protein gomeruli. Akibat

hilangnya muatan listrik ini permeabilitas membrana basalis glomerulus terhadap

protein berat molekul rendah seperti albumin meningkat sehingga albumin dapat

keluar bersama urin.7

Beberapa penyakit glomerulus terjadi melalui mutasi genetik yang

diproduksi dari penyakit familial. Misalkan pada (1) sindrom nefrotik kongenital

berasal dari mutasi NPHS1 (nephrin) dan NPHS2 (podocin) yang mempengaruhi

membrane pori pori setelah lahir, serta mutasi saluran kation TRPC6 saat masa

dewasa yang menghasilkan glomerulosklerosis fokal segmental (FSGS). (2)

Lipodistrofi sebagian dari mutasi pada gen yang mengkode Lamin A/C atau PPAR

sehingga menyebabkan sindrom metabolic yang dapat berhubungan dengan

glomerulonefritis membranoproliferatif (MPGN), yang kadang kadang disertai

dengan deposit padat dan faktor nefritik C3. (3) Sindrom Alport, mutasi pada gen

yang mengkode 3, 4, atau 5 rantai kolagen tipe IV, menghasilkan split basement

membrane dengan glomerulosklerosis, (4) penyakit penyimpanan lisosomal,

seperti kekurangan enzim galaktosidase yang menyebabkan penyakit Fabry, dan


13

defisiensi N - acetyl neuraminic asam hidrolase menyebabkan nephrosialidosis

menghasilkan FSGS.6

Hipertensi sistemik dan aterosklerosis dapat menghasilkan tekanan stress,

iskemia, atau bahan oksidan dari lemak sehingga menyebabkan hipertensi kronis

glomerulosklerosis. Hipertensi maligna dapat secara cepat menjadi

glomeruloskelrosis dengan fibrinoid dari arteriol dan glomeruli, mikroangiopati

trombotik, dan gagal ginjal akut. Nefropati diabetik merupakan cedera sklerotik

yang diperoleh dari penebalan GBM sekunder dengan efek hiperglikemia yang

lama, glikosilasi produk akhir, dan oksigen reaktif.6

Peradangan pada glomerulus kapiler disebut glomerulonefritis.

Kebanyakan, glomerulus atau antigen mesangial yang terlibat dalam reaksi

immune mediated glomerulonephritis tidak diketahui.6

Epitel glomerulus atau sel mesangial dapat mengungkapkan epitop yang

meniru protein imunogenik lain yang bersal dari bagian tubuh yang lain. Bakteri,

jamur, dan virus dapat langsung menginfeksi ginjal dengan memproduksi antigen

sendiri. Penyakit autoimun seperti glomerulonefritis membransa ideopatik (MGN)

atau MPGN terbatas pada ginjal, sedangkan penyakit inflamasi sistemikseperti

lupus nefritis atau agranulomatosis Wegener menyebar ke ginjal menyebabkan

cedera glomerulus sekunder. Sindrom Antiglomerular basal membrane

menghasilkan sindrom Goodpasture yang melukai paru paru dan ginjal karena

distribusi sempit dari domain 3 NC1 dari kolagen IV.6


14

sumber: Silbernagl/Lang, 2000


Gambar 2.4
Patofisiologi Glomerulonefritis

Awal aktivasi sel T memainkan peran penting dalam mekanisme

glomerulonefritis. Antigen yang dikeluarkan oleh kompleks histokompatibilitas

kelas utama II (MCH) pada makrofag dan sel dendritik dalam hubungannya

dengan molekul asosiatif melibatkan CD4 / 8 repertoar sel T.6

Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein

akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal, membrane basal glomerulus

(MBG) mempunyai mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul

(size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada

sindrom nefrotik, kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain

itu, konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui

MBG.3
Proteinuria dibedakan menjadi selekif dan non selektif berdasarkan

ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila yang

keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan non selektif
15

apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin.

Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.3


Pada sindrom nefrotik yang disebabkan oleh GNLM ditemukan proteinuria

selektif. Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan fusi foot processus sel

epitel viseral glomerulus dan terlepasnya sel dari struktur MBG. Berkurangnya

kandungan heparin sulfat proteoglikan pada GNLM menyebabkan muatan negatif

MBG menurun dan albumin dapat lolos ke dalam urin. Pada GSFS, peningkatan

permeabilitas MBG disebabkan oleh suatu faktor yang ikut dalam sirkulasi. Faktor

tersebut menyebabkan sel epitel viseral glomerulus terlepas dari MBG sehingga

permeabilitasnya meningkat. Pada GNMN kerusakan struktur MBG terjadi akibat

endapan kompleks imun di sub epitel. Kompleks C5b 9 yang terbentuk pada

GNMN akan meningkatkan permeabilitas MBG, walaupun mekanisme yang pasti

belum diketahui.3

Oleh karena protinuria parallel dengan kerusakan membrane basalis

glomerulus, maka proteinuria dapat dijadikan sebagai petunjuk sederhana untuk

menentukan derajat keruskan glomerulus. Jadi, yang diukur dalah index selectivity

of proteinuria (ISP). ISP dapat ditentukan dengan mengukur rasio antara

clearance IgG dan clearance transferin.7

Bila ISP < 0,2 berarti ISP meninggi (High Seletive proteinuria) yang

secara klinik menunjukkan:

Kerusakan glomerulus ringan


Respon terhadap kortikosteroid baik

Bila ISP > 0,2 berarti ISP menurun (Poorly Selectivity Proteinuria) yang secara

klinik menunjukkan:

Kerusakan glomerulus berat


Tidak respon terhadap kortikosteroid
16

Hipoalbuminemia

Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis

albumin hati, dan kehilangan protein melalui urin. Pada sindrom nefrotik,

hipoalbumin disebabkan oleh proteinura massif dengan akibat penurunan tekanan

onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma, hati

meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin, hati tidak berhasil

menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan

sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin

melalui urin. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorpsi

dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.3

Edema

Edema pada sindrom nefrotik dapat diterangkan dengan teori underfill dan

overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor

kunci terjadinya edema pada sindrom nefrotik. Hipoalbuminemia menyebabkan

penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke

jaringan interstitsium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik

plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan

kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme

kompensasi ini akan memperbaiki volume intrvaskular tetapi juga akan

mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.3

Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal

utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat

sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal

akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut


17

ditemukan secara bersama pada pasien sindroma nefrotik. Faktor seperti asupan

natrium, efek diuretik, atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi

glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan

mekanisme mana yang lebih berperan.3

Sumber: Wiguno Prodjosudjadi, 2007


Gambar 2.5
Mekanisme edema pada sindroma nefrotik

Hiperlipidemia dan lipiduria

Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyerai SN. Disebut

hiperlipidemia/hiperkolesterolemia bila kadar kolesterol > 250 mg/100ml.

Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis

lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme.3

Semula diduga hiperlipidemia merupakan hasil stimulasi non-spesifik

terhadap sintesis protein oleh hati. Karena sintesis protein tidak berkorelasi

dengan hiperlipidemia disimpulkan bahwa hiperlipidemia tidak langsung

diakibatkan oleh hipoalbuminemia. Hiperlipidemia dapat ditemukan pada SN


18

dengan kadar albumin mendekti normal dan sebaliknya pada pasien dengan

hipoalbuminemia kadar kolesterol dapat normal.3

Peningkatan kadar kolesterol disebabkan oleh meningkatnya LDL (low

density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid

yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density lipoprotein).

Selain itu, ditemukan pula peningkatan IDL (intermediate density lipoprotein) dan

lipoprotein (Lp)a, sedangkan HDL (high density lipoprotein) cenderung normal

atau rendah.3

Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan oleh peningatan sintesis hati

tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi

VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN.

Menurunnya aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan

penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada SN.3

Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat peningkatan tekanan

onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Penurunan kadar HDL pada SN

diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterol

acyltransferase) yang berfungsi katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga

berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme.

Penurunan aktivitas enzim tersebut diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang

terjadi pada SN. Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai dengan

akumulasi lipid pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval

fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria daripada

dengan hiperlipidemia.3

2.3.5 Gejala klinis


19

Gejala sindrom nefrotik adalah urin berbuih (proteinuria) kaki berat,


bengkak, dingin dan tidak berasa, penderita merasa lemah dan mudah lelah
(keseimbangan nitrogen negative) anoreksia, diare. Edema merupakan
gejala utama, bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka) dan
merupakan gejala satu - satunya yang nampak. Edema mula-mula nampak
pada kelopak mata terutama waktu bangun tidur. Edema yang hebat atau
anasarka sering disertai edema pada genitalia eksterna. Selain itu edema
anasarka ini dapat menimbulkan diare dan hilangnya nafsu makan karena
edema mukosa usus. Hernia umbilikalis, dilatasi vena, prolaps rektum, dan
sesak napas dapat pula terjadi akibat edema anasarka.4
Tanda dari SN adalah edema yang dapat timbul di daerah periorbita,
konjungtiva, diding perut, sedi lutut, efusi pleura, ascites. Selain itu juga
hilangnya massa otot rangka, kuku memperlihatkan pita-pita putih
melintang (muerchkes band) akibat hipoalbumin, hipertensi.4,5

2.3.6 Diagnosis

Diagnosis SN dibuat berdasarkan anamnesis, gambaran klinis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Edema merupakan gejala klinis yang menonjol, terjadi pada sekitar 95%

dari penderita SN. Tahap awal edema terlihat pada area tubuh yang resistensi

jaringannya rendah, seperti kedua kelopak mata, skrotum, dan labial. Edema dapat

menetap atau bertambah, baik lambat ataupun cepat, atau dapat hilang dan timbul

kembali. Lambat laun edema menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut, dan tungkai

bawah sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi tambah nyata. Pada keadaan

lebih lanjut dapat timbul asites, pembengkakan skrotum, atau labia dan bahkan

efusi pleura. Edema bersifat pitting edema dan lebih tampak jelas pada wajah pada
20

pagi hari, dan kemudian menjadi predominan pada ekstremitas bawah pada siang

hari.6

Gangguan gastrointestinal sering ditemukan pada perjalanan penyakit SN.

Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang massif dan keadaan ini

rupanya tidak berkaitan dengan infeksi, namun diduga penyebabnya adalah edema

di mukosa usus.5

Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin

disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema, atau keduanya. Pada

beberapa pasien nyeri perut yang kadang kadang berat, dapat terjadi.

Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan dengan

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya. Bila komplikasi ini tidak ada,

kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat disebabkan oleh edema

dinding perut atau pembengkakan hati (kongestif hepar). Kadang nyeri dirasakan

terbatas pada kuadran kanan atas abdomen. Nafsu makan berkurang berhubungan

erat dengan beratnya edema.7

Gangguan pernafasan oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau

tanpa efusi pleura maka pernafasan sering terganggu. Riwayat ispa sering terjadi

pada onset awal SN. Pasien dengan sindroma nefrotik dapat mengalami gross

hematuria disertai dengan resiko thrombosis vena renalis.7

2. Pemeriksaan penunjang
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan:
1. Proteinuria masif > 3,5 g/hari, Proteinuria ++++ ( dengan dipstick)
2. Hipoalbuminema (< 3g/dl)
3. Hiperlipidemia/dislipidemia
4. Lipiduria
5. Hiperkoagulabilitas 3,5
Pemeriksaan serum elektrolit, diantaranya BUN, kreatinin, kalsium (rendah

oleh karena hipoalbumin), natrium (rendah oleh karena hiperlipidemia) dan


21

fosfor. Pasien dengan SN ideopatik dapat terjadi gagal ginjal akut oleh karena

deplesi volume intravaskuler dan/atau thrombosis vena renalis bilateral.


Pemeriksaan C3,C4, antinuclear antibodi (ANA)
Biopsi ginjal
Biopsi ginjal tidak diindikasikan bagi pasien SN primer dengan awitan usia 1-

8 tahun, kecuali jika riwayat klinis, temuan pada pemeriksaan fisik, maupun

hasil laboratorium mengindikasikan kemungkinan SN sekunder atau SN

primer.
Pemeriksaan ultrasonografi atau venografi ginjal bila curiga adanya

thrombosis vena ginjal.7

2.3.7 Penatalaksanaan
Terapi non farmakologis
Pengobatan yang umum adalah diet yang mengandung protein dan kalium

dalam jumlah yang normal dengan lemak jenuh dan natrium yang rendah. Diet

untuk pasien SN adalah 35 kal/kgBB/hari sebagian besar terdiri dari karbohidrat.

Dianjurkan diet protein normal 0,8 1 g/kgBB/hari. Giardano dkk memberikan

diet protein 0,6 g/kgBB/hari ditambah dengn jumlah gram protein sesuai tekanan

kapiler glomerulus, area permukaan filtrasi dan mengurangi proteinuria sampai

75%. Namun, utntuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam 1 2

gram/hari). Tirah baring bila terdapat edema anasarka.4,5

Terapi farmakologis

Pada prinsipnya terapi SN terdiri dari terapi umum dan terapi spesifik.

1. Terapi umum
1.1 Pengobatan untuk edema
Dapat diberikan loop diuretic (furosemid) oral. Bila belum ada respon,

dosis ditingkatkan hingga terjadi diuresis, bila perlu dikombinasi


22

dengan hydrochlorothiazide oral (bekerja sinergistik dengan

Furosemid). Bila tetap tidak respon beri furosemid secara IV, bila perlu

disertai pemberian infuse albumin, dan bila tetap belum ada respon

perlu dipertimbangkan ultrafiltrasi mekanik (terutama untuk kasus

dengan insufisiensi ginjal).4,5


Pembatasan diit garam, 1-2 g/hari dan pembatasan cairan.
Bila perlu tirah baring, terutama untuk orang tua dengan edema

tungkai berat karena kemungkinan adanya insufisiensi venous.


Pengukuran berat badan setiap hari untuk mengevaluasi edema dan

keseimbangan cairan harus dicatat. BB diharapkan turun 0,5-1 kg/hari.


1.2 Pengobatan untuk proteinuria
ACE inhibitor paling sering digunakan, cara kerjanya menghambat

vasokonstriksi pada arteriol eferen.


Angiotensin II Receptor Antagonis (ARB) mempunyai efektivitas yang

sama dengan ACEI, tetapi tidak didapatkan efek batuk seperti pada

ACEI.4,5

1.3 Koreksi hipoproteiemia


Untuk memelihara keseimbangan nitrogen yang positif dibutuhkan

peningkatan kadar protein serum, tetapi pemberian diit tinggi protein

selain sulit dipenuhi penderita (anoreksia) juga terbukti meningkatkan

ekskresi protein urin. Untuk penderita SN diberikan diit tinggi

kalori/karbohidrat (untuk memaksimalkan penggunaan protein yang

dimakan) dan protein cukup (0,8-1 mg/kgBB/hr).4,5


1.4 Terapi hiperlipidemia
Walaupun belum ada bukti yang jelas bahwa hiperlipidemia pada SN

meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular, tetapi apa yang terjadi

pada populasi umum perlu dipakai sebagai pertimbangan untuk


23

menurunkan kadar lipid pada penderita SN. Dapat digunakan golongan

HMG-CoA reductase inhibitor (statin)4,5


1.5 Hypercoagulability
Masih terdapat silang pendapat mengenai perlunya pemberian

antokoagulasi jangka panjang pada semua penderita SN guna

mencegah terjadinya resiko thrombosis, tetapi bila telah terjadi

thrombosis atau emboli paru maka perlu dipertimbangkan

antikoagulasi jangka panjang, seperti Warfarin.4,5


1.6 Pengobatan infeksi
antibiotik yang tepat, hanya diberikan bila ada tanda-tanda infeksi

sekunder.4,5

1.7 Pengobatan hipertensi


bila terdapat hipertensi dapat diberikan ACEI, Non Dihydropiridin,

Calcium Channel Blocker (CCB). Pemberian diuretik dan pembatasan

diit garam juga ikut berperan dalam pengelolaan hipertensi.4,5


2. Terapi spesifik

Patogenesis sebagian besar penyakit glomerular dikaitkan dengan

gangguan imun, dengan demikian terapi spesifiknya adalah dengan pemberian

imunosupresif.

2.1 Steroid

Prednisone 1mg/kgBB/hari atau 60mg/hari dapat diberikan antara 4-12

minggu selanjutnya diturunkan secara bertahap dalam 2-3 bulan. Steroid memberi

respon yang baik untuk minimal change, walaupun pada orang dewasa responnya

lebih lambat dibandingkan dengan anak-anak.9

Pengobatan kortikosteroid menurut International Cooperative Study of Kidney

Disease in Children (ISKDC):


24

1. Selama 28 hari prednisone diberikan per oral dengan dois 60 mg/hari luas

permukaan badan (1bp) dengan maksimum 80 mg/hari.


2. Kemudian dilanjutkan dengan prednisone per oral selama 28 hari dengan

dosis 40 mg/hari/1bp, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis

maksimum 60 mg/hari. 9

Bila terdpat respon selama pengobatan, maka pengobatan ini dilanjutkan

secara intermitten selama 4 minggu. Pada pasien yang sering relaps dengan

kortikosteroid atau resisten terhadap kortikosteroid dapat digunakan terapi lain

dengan siklofosfamid atau klorambusil. Siklofosfamid memberi remisi yang lebih

lama daripada kortikosteroid (75% selama 2 tahun) dengan dosis 2 3

mg/kgBB/hari selama 8 minggu.9

2.2 Cyclophosphamide
untuk penderita yang mengalami relaps setelah steroid dihentikan (steroid-

dependent) atau mengalami relaps >3 kali dalam setahun (frequently relapsing)

bisa diberikan cyclophosphamide 2mg/kgBB/hr selama 8-12 minggu. Pada

penggunaan cyclophosphamide perlu diwaspadai terjadinya efek samping berupa

infertilitas, cystitis, alopecia, infeksi, malignansi.4,5


2.3 Chlorambucil
Digunakan dengan alasan yang sama dengan cyclophosphamide. Dosis

0,1-0,2/kgBB/hr selama 8-12 minggu.4,5


2.4 Cyclosporine A (CyA)
Pada penderita yang mengalami relaps setelah pemberian

cyclophosphamide, diberikan CyA dengan dosis awal 4-5 mg/kgBB/hari, di mana

dosis selanjutnya perlu disesuaikan dengan kadar CyA dalam darah. Pemberian

berlangsung selama 1 tahun kemudian diturunkan perlahan-lahan. Mengingat CyA

mempunyai efek nefrotoksik, perlu memonitor fungsi ginjal.4,5


2.5 Azathioprine
25

Azathioprine dengan dosis 2-2,5 mg/kgBB/hari digunakan untuk Nefritis

Lupus.4,5

2.3.8 Komplikasi
Keseimbangan nitrogen
Proteinuria masif pada SN akan menyebabkan keseimbangan nitrogen

menjadi negatif. Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi gejala ini tertutup

oleh gejala edema anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang.

Kehilangan massa otot sebesar 10 20 % dari massa tubuh (lean body masss)

tidak jarang dijumpai pada SN.7


Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan

koagulasi intravaskular. Pada GNMN kecenderungn terjadi thrombosis vena

renalis cukup tinggi sedangkan pada GNLM dan GNMP frekuensinya kecil.

Emboli paru dan thrombosis vena dalam (deep vein thrombosis) sering dijumpai

pada SN. Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan peningkatan sintesis

protein oleh hati dan kehilangan protein melalui urin.3


Metabolisme kalsium dan tulang
Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolism kalsium dan tulang

pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin

sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25

(OH)2D plasma juga menurun sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami

gangguan. 3
Pada SN juga terjadi kehilangan hormone tiroid yang terikat protein

(thyroid stimulating hormone) melalui urin dan penurunan kadar tiroksin

plasma. Tiroksin yang bebas dan hormone yang menstimulasi tiroksin (TSH) tetap

normal sehingga secara klinis tidak menimbulkan gangguan.3


Infeksi
26

Sbelum era antibiotik, infeksi sering merupakan penyebab kematian pada

SN terutama oleh organisme berkapsul (encapsulated organisms). Infeksi pada SN

akibat defek imunitas humoral, selular, dan gangguan system komplemen.

Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh

karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dn bertambah

banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang

yang menggambarkan ganggun imunitas selular. Hal ini dikaitkan keluarnya

transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi normal.3
Gangguan fungsi ginjal
Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui

berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering

menyebabkan nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi

penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan

kompresi pada tubulus ginjal.3


Malnutrisi
Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa terutama apabila

disertai proteinuria masif, asupan oral yang kurang, dn proses katabolisme yang

tinggi. Kemungkinan efk toksik obat yang terikat protein akan meningkat karena

hipoalbuminemia menyebabkan kadar obat bebas dalam plasma lebih tinggi.

Hipertensi tida jarnag ditemukan sebagai komplikasi SN terutama dikaitkan

dengan retensi natrium dan air.3

BAB 3

PENUTUP
27

3.1 Kesimpulan

Sindrom nefrotik adalah penyakit atau sindrom yang mengenai glomerulus

ditandai dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia, dan

hiperkolesterolemia.

Diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan gejala, dan tanda

berikut, yaitu adanya edema, sering edema anasarka, proteinuria (protein urin 24

jam > 40mg/m2/jam), hipoalbuminemia 3 g/dl, dan hiperkolesterolemia.

Pemeriksaan penunjang yang dpat dilakukan meliputi pemeriksaan urin

dan darah lengkap, pemeriksaan kimia darah, dan biopsi ginjal.

Prognosisnya berariasi, tergantung kepada penyebab, usia penderita, dan

jenis kerusakan ginjal yang bisa diketahui dari pemeriksaan mikroskopik pada

biopsi. Prognosis biasanya baik jika penyebabnya memberikan respon yang baik

terhadap kortikosteroid. Pada umumnya sebagian besar (80%) sindrom nefrotik

primer memberikan respon yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid,

tetapi kira kira 50% diantaranya kan relaps berulang dan sekitar 10% tidak

memberikan respon lagi dengan pengobatan steroid.

DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo Basuki B,Sp.U, Dasar-dasar UROLOGI Edisi Ketiga. Jakarta:CV


agung seto, 2011.
28

2. Guyton & hall, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 12. Jakarta:EGC, 2012
3. Prodjosudjati, W, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 Edisi IV.Jakarta :
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007
4. Tjokroprawiro, A, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga RS. Pendidikan Dr. Soetomo Surabya. Surabya:
Airlangga University Press, 2007
5. Pedoman Diagnosis Dan Terapi BAG/SMF ILMU PENYAKIT DALAM RS.
DOKTER SOETOMO SURABYA Edisi III. 2008
6. Robbins, Kumar, Buku Ajar Patologi Edisi 7 volume 2. Jakarta :EGC,2007
7. Sylvia A.Price, Lorraine M. Wilson, Patofisiologi konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC, 2005
8. Anthony S,Fauci, et all, Harrisons Manual Of Medicine :Mc Graw Hill, 2009.
9. Bettie, J, Dr, Guidline for the management of nephrotic syndrome, Renal Unit
Royal Hospital for sick children yorkhill division, NHS greter Glasgow,2007.

Anda mungkin juga menyukai