Anda di halaman 1dari 16

BAB 1.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Protein merupakan zat makanan yang penting dan dibutuhkan oleh tubuh.
Bahan makanan yang memiliki kandungan protein yang banyak dan sering
dijumpai yaitu tahu. Tahu merupakan salah satu bahan pangan olahan kedelai
yang sangat populer di Indonesia. Pembuatan tahu pada dasarnya terdiri dari dua
bagian yaitu pembuatan susu kedelai dan penggumpalan protein. Proses
penggumpalan protein kedelai berdasarkan titik isoelektrisnya (Suprapti, 2005).

Proses pembuatan tahu memanfaatkan sifat fungsional protein yaitu sifat


gelasi. Menurut Zayas (1997), karakteristik mutu suatu produk pangan, khususnya
sifat tekstur dan juiciness, ditentukan melalui kapasitas gelasi protein. Gel dapat
bervariasi dalam hal sifat reologinya yaitu kekerasan, kelengketan, kohesivitas,
dan adesivitas. Dalam hal ini, protein sering digunakan untuk menghasilkan sifat
tekstur tertentu melalui fenomena gelasi protein. Sifat gelasi protein berhubungan
dengan agregasi protein. Gelasi protein terjadi ketika protein beragregasi
membentuk jaringan.
Tahu memiliki karakteristik yang berbeda-beda dari segi tekstur. Ada tahu
yang memiliki tekstur yang keras dan adapula yang memiliki tekstur yang lunak.
Perbedaan tekstur tahu ini bisa disebabkan karena adanya perbeadaan jenis bahan
baku dan juga zat koagulan yang digunakan. Zat koagulan dalam pembuatan tahu
berfungsi sebagai zat penggumpal. Koagulan tersebut terdiri dari berbagai jenis
misalnya garam, asam dan juga whey. Karakteristik tahu dengan menggunakan
jenis koagulan garam akan berbeda dengan karakteristik tahu yang menggunakan
asam, begitu pula yang menggunakan whey. Karakteristik tersebut ditentukan oleh
sifat dan jenis koagulan yang digunakan.
Karakteristik tahu yang menggunakan bahan baku yang berbeda juga
menghasilkan karakteristik yang berbeda. Hal tersebut dikarenakan bahan baku
yang berbeda mengandung jenis protein yang berbeda pula. Dalam pembuatan
tahu, jenis protein yang diperhatikan yaitu jenis globulin dengan fraksi 7S dan
11S. Gel yang diperoleh dari isolasi glisinin (11S) memberikan karakter gel yang
lebih keras dibandingkan gel yang diperoleh dari -konglisinin (7S), dan struktur
jaringan yang terbentuk memiliki perbedaan antar keduanya, tergantung dari
komposisi protein (Blazek, 2008).
Biji-bijian yang memiliki protein globulin 7S dan 11S yang banyak yaitu
kedelai. Jumlah kedelai yang digunakan dalam produksi tahu di Indonesia telah
banyak. Oleh karena itu dilakukan praktikum ini yaitu untuk mengetahui
karakteristik tahu dengan perbedaan komposisi campuran bahan dasar.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dilakukan praktikum ini yaitu untuk mengetahui
karakteristik tahu dengan perbedaan komposisi campuran bahan dasar.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tahu
Tahu merupakan salah satu bahan pangan olahan kedelai yang sangat
populer di Indonesia. Pembuatan tahu pada dasarnya terdiri dari dua bagian yaitu
pembuatan susu kedelai dan penggumpalan protein. Proses penggumpalan protein
kedelai berdasarkan titik isoelektrisnya (Suprapti, 2005). Secara umum proses
pembuatan tahu meliputi proses pencucian kedelai dan perendaman kedelai,
penghancuran kedelai, pemasakan, pembuatan susu kedelai, penggumpalan
protein kedelai, pencetakan, pengepresan dan pengemasan (Winarno, 1993).
Kualitas tahu dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu mutu, rendemen, kadar
protein dan daya simpan tahu. Kadar air dan kandungan gizi tahu yang cukup
tinggi merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme penyebab
kerusakan pada produk tahu (Suprapti, 2005). Kandungan protein yang tinggi
pada tahu juga menjadi penyebab kerusakan pada produk tahu. Kerusakan tersebut
karena adanya populasi mikroba perusak. Dengan berkembangnya populasi
mikroba ini dapat menyebabkan pelendiran, bau busuk, tekstur menjadi lunak,
rasa asam dan kadang berjamur pada permukaannya (Suprapti, 2005).

2.2 SNI Tahu


Tabel 1. Syarat mutu tahu berdasarkan SNI
No. Jenis Uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan:
1.1 Bau - Normal
1.2 Rasa - Normal
1.3 Warna - Putih normal atau kuning normal
1.4 Penampakan - Normal, tidak berlendir, tidak berjamur
2 Abu % (b/b) Maks. 1,0
3 Protein (Nx6,75) % (b/b) Min. 0,9
4 Lemak % (b/b) Min. 0,5
5 Serat kasar % (b/b) Maks. 0,1
6 Bahan tambahan % (b/b) Sesuai SNI 01-0222-1995 dan
makanan Peraturan MenKes No
722/Men.Kes/Per/IX/1988
7 Cemaran logam:
7.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 2,0
7.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 30,0
7.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40,0
7.4 Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0 / 250,0
7.5 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,03 m
8 Cemaran arsen (As) mg/kg Maks 1,0
9 Cemaran mikroba:
Escherichia Coli APM/g Maks. 10
Salmonella /25 g Negatif

2.3 Kedelai
Kedelai (Glycine max L. Merr) adalah tanaman semusim yang diusahakan
pada musim kemarau, karena tidak memerlukan air dalam jumlah besar. Kedelai
merupakan sumber protein, dan lemak, serta sebagai sumber vitamin A, E,K, dan
beberapa jenis vitamin B dan mineral K, Fe, Zn, dan P. Kadar protein kacang-
kacangan berkisar antara 20-25%, sedangkan pada kedelai mencapai 40%. Kadar
protein dalam produk kedelai bervariasi misalnya, tepung kedelai 50%, konsentrat
protein kedelai 70% dan isolat protein kedelai 90% (Winarsi, 2010) .
Protein kedelai sebagian besar 85-95% terdiri dari globulin. Dibandingkan
dengan kacang-kacang lain, susunan asam amino pada kedelai lebih lengkap dan
seimbang.
Tabel 2. Kandungan asam amino esensial kedelai per 100 gram
Asam Amino Essensial Kandungan/100 gram
Isoleusin (mg) 47,3
Leusin (mg) 77,4
Lisin (mg) 56,9
Metionin (mg) 11,0
Sistin (mg) 8,6
Fenilalanin (mg) 49,4
Tirosin (mg) 32,3
Treonin (mg) 41,3
Triptophan (mg) 11,5
Valin (mg) 47,6
Sumber: Hermana (1993)
Protein kedelai juga dapat digolongkan ke dalam 4 fraksi berdasarkan
kelarutannya, yaitu albumin (larut dalam air), globulin (larut dalam larutan
garam), prolamin (larut dalam alkohol 70%) dan glutelin (larut dalam basa encer)
(Belitz dan Grosch 1999). Globulin 7S dan 11S merupakan dua komponen utama
protein cadangan biji kedelai. Kedua fraksi ini disebut sebagai protein cadangan
karena tidak mempunyai aktivitas biologis kecuali sebagai asam amino cadangan
untuk germinasi biji. Protein 7S dan 11S merupakan dua protein utama yang
menyusun globulin dengan jumlah masing-masing sekitar 37% dan 31% dari total
protein kedelai. Baik globulin 7S maupun globulin 11S terdiri atas subunit-subunit
protein. Glisinin atau protein 11S tersusun atas polipeptida asam dan basa yang
saling dihubungkan oleh ikatan disulfida. Sedangkan -konglisinin atau protein
7S, merupakan protein dengan struktur trimer yang terdiri atas 3 tipe subunit (,
dan ) (Wolf dan Cowan 1975).
Keragaman protein kedelai berdasarkan fraksi 11s dan 7s pada 10 varietas
kedelai di Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3. Fraksi protein 7s dan 11s pada sepuluh varietas kedelai di Indonesia
Varietas Fraksi 7s Fraksi 11s
Cikurai 10,20 13,70
Raung 12,80 14,70
Petek 14,70 12,00
Galunggung 14,60 13,40
Tidar 16,30 17,00
Jayawijaya 17,50 13,60
Loko 8,70 21,90
Malabar 14,30 14,80
Rinjani 8,60 28,20
Tampomas 14,30 14,70
Sumber: Widowati et al (1998)

2.4 Kacang Hijau


Tanaman kacang hijau termasuk suku (famili) Leguminosae yang banyak
Varietasnya Kacang hijau dikenal dengan beberapa nama, seperti mungo, mung
bean, green bean dan mung. Di Indonesia, kacang hijau juga memiliki beberapa
nama daerah, seperti artak (Madura), kacang wilis (Bali), buwe (Flores), tibowang
candi (Makassar) (Astawan, 2009). Kandungan gizi kacang hijau cukup tinggi dan
komposisinya lengkap. Kandungan gizi dalam 100 g kacang hijau adalah 345,00
kalori energi; 22,00 g protein; 1,20 g lemak; 62,90 g karbohidrat; 10,00 g air;
125,00 mg kalsium; 320,00 mg fosfor; 6,70 mg zat besi; 157,00 SI vitamin A;
0,64 mg vitamin B1; 6,00 mg vitamin C ; 6 mg natrium; 1132 mg kalium; 4,4 g
serat.
Protein biji kacang hijau mengandung asam amino esensial dan asam amino
nonesensial yang cukup lengkap, terdiri atas asam amino esensial (Isoleusin,
Leusin, Metthionin, Phenylalanin, Theronin, dan Valin) dan asam amino
nonesensial (Alanin, Arginin, Asam aspartat, Asam Glutamat, Glycin, Tryptophan,
dan Tyrosin) (Cahyono, 2007).

2.5 Jenis dan Peran Koagulan


Koagulasi susu kedelai merupakan langkah yang paling penting dalam
proses pembuatan curd sekaligus menjadi tahapan paling sulit untuk dikendalikan
karena merupakan hasil interaksi yang kompleks dari berbagai variabel .
Penggunaan jenis maupun konsentrasi koagulan yang berbeda akan
mempengaruhi rendemen, sifat tekstur dan flavor curd yang berbeda pula (Blazek
2008; Mujoo 2003). Menurut Obatolu (2007), proses koagulasi susu kedelai
dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara jenis kedelai, suhu pemasakan susu
kedelai, volume, kandungan padatan, pH, jenis dan jumlah koagulan serta waktu
koagulasi.
Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1984), bahan penggumpal protein kedelai
dalam pembuatan tahu dapat digolongkan menjadi beberapa golongan, yaitu : 1)
golongan garam klorida atau nigari; 2) golongan garam sulfat; 3) golongan lakton;
dan 4) golongan asam.
Tabel 4. Beberapa golongan bahan penggumpal (koagulan) protein kedelai
Golongan Contoh yang umum dipakai
Garam klorida (nigari) MgCl2.6H2O, air laut, CaCl2,
CaCl2.2H2O
Garam sulfat CaSO4.2H2O, MgSO4.7H2O
Lakton C6H10O6 (glukono--lakton)
Asam Asam laktat, asam asetat, sari buah
jeruk
Sumber: Shurtleff dan Aoyagi (1984)
Nigari alami diekstrak dari air laut dengan menghilangkan sebagian besar
garam (NaCl) dan air. Koagulan jenis ini mengandung komponen mineral air laut
alami terutama magnesium klorida. Penggunaan koagulan jenis nigari
membutuhkan waktu pembuatan tahu yang cukup lama karena koagulan jenis ini
harus ditambahkan sedikit demi sedikit dan perlahan-lahan, akibatnya dibutuhkan
teknik yang baik dalam pembuatan tahu. Selain itu, penggunaan koagulan nigari
akan menghasilkan tahu dengan tekstur yang cenderung kurang lembut (Shurtleff
dan Aoyagi, 1984).
Garam sulfat merupakan golongan koagulan yang paling banyak digunakan
dalam pembuatan curd protein kedelai (Shurtleff dan Aoyagi, 1979). Koagulan ini
akan terdispersi perlahan di dalam susu kedelai sehingga memberikan waktu
koagulasi yang lambat (Shurtleff dan Aoyogi, 1984). Koagulan sulfat
mengkoagulasi protein kedelai dengan cara membentuk jembatan antar molekul
protein dan meningkatkan ikatan silang polimer sehingga terjadi agregasi protein
(Obatolu, 2007). Pemakaian GDL sebagai koagulan akan menurunkan pH susu
kedelai dan menyebabkan agregasi dari protein terdenaturasi dengan
meningkatkan sifat hidrofobik dan ketidaklarutan (Koshiyama, 1993).
Pengendapan menggunakan koagulan asam akan menurunkan pH sistem
dan memungkinkan agregasi protein terjadi (Obatolu, 2007). Melalui proses
pemanasan susu kedelai, sebagai prasyarat terbentuknya gel, struktur molekul
protein kedelai akan terbuka (unfold), akibatnya ikatan hidrogen (-SH), ikatan
disulfida (S-S), dan sisi rantai asam amino hidrofobik akan terekspos.
Selanjutnya, dengan penambahan koagulan, misalnya koagulan asam, muatan
negatif molekul protein akan berkurang akibat protonasi COO- pada residu asam
amino. Sebagai akibatnya, molekul-molekul protein akan cenderung saling
mendekat karena memiliki muatan yang sama. Keadaan ini membuat ikatan
hidrogen (-SH), ikatan disulfida (S-S) serta interaksi hidrofobik terjadi secara
intermolekul. Reaksi ini memfasilitasi terjadinya agregasi protein membentuk
struktur jaringan tiga dimensi gel curd (Liu et al 2004).

2.6 Koagulasi dan Gelasi Protein


Koagulasi susu kedelai merupakan langkah yang paling penting dalam
proses pembuatan curd sekaligus menjadi tahapan paling sulit untuk dikendalikan
karena merupakan hasil interaksi yang kompleks dari berbagai variabel.
Penggunaan jenis maupun konsentrasi koagulan yang berbeda akan
mempengaruhi rendemen, sifat tekstur dan flavor curd yang berbeda pula.
Menurut Obatolu (2007), proses koagulasi susu kedelai dipengaruhi oleh interaksi
kompleks antara jenis kedelai, suhu pemasakan susu kedelai, volume, kandungan
padatan, pH, jenis dan jumlah koagulan serta waktu koagulasi.

Gelasi protein merupakan tahapan yang penting dalam menghasilkan


produk pangan dengan mutu tekstur yang baik. Karakteristik mutu suatu produk
pangan, khususnya sifat tekstur dan juiciness, ditentukan melalui kapasitas gelasi
protein. Gel dapat bervariasi dalam hal sifat reologinya yaitu kekerasan,
kelengketan, kohesivitas, dan adesivitas. Dalam hal ini, protein sering digunakan
untuk menghasilkan sifat tekstur tertentu melalui fenomena gelasi protein. Sifat
gelasi protein berhubungan dengan agregasi protein. Gelasi protein terjadi ketika
protein beragregasi membentuk jaringan (Zayas, 1997).

Menurut Zayas (1997), gelasi protein adalah fenomena agregasi protein di


mana interaksi polimer-polimer dan polimer-solven setimbang sehingga jaringan
atau matriks tersier terbentuk. Agregasi protein dapat terjadi melalui proses
pemanasan, pengaturan pH atau pengaturan kekuatan ionik dalam larutan protein.

Gel terbentuk ketika protein yang strukturnya terbuka sebagian (unfold)


terurai menjadi segmen-segmen polipeptida yang kemudian berinteraksi pada titik
tertentu untuk membentuk jaringan ikatan silang tiga dimensi. Protein dengan
struktur unfold, dimana struktur sekundernya mengalami perubahan, diperlukan
pada proses gelasi protein. Perubahan ini dapat terjadi melalui perlakuan panas,
asam, alkali dan urea (Zayas 1997). Menurut Zayas (1997), pada proses
pembentukan gel, transisi dari bentuk alami menjadi bentuk terdenaturasi
merupakan prekursor penting dalam interaksi protein-protein. Jaringan gel baru
akan terbentuk setelah sebagian protein mengalami denaturasi. Pembentukan gel
protein merupakan hasil dari ikatan hidrogen, interaksi ionik dan hidrofobik,
ikatan Van der Waals, dan ikatan kovalen disulfida.

Sifat gelasi protein kedelai sering dihubungkan dengan keberadaan protein


7S dan 11S yang merupakan penyusun utama protein globulin kedelai.
Kandungan protein 11S dan rasio 11S/7S dilaporkan memberikan korelasi positif
terhadap kekerasan gel dari protein kedelai. Nakamura et al. (1984) yang dikutip
oleh Lakemond (2001) melaporkan bahwa kekerasan gel dari globulin 11S
berbeda-beda antara varietas yang berbeda pada konsentrasi globulin yang sama.
Mereka juga menunjukkan bahwa kekerasan gel meningkat sebanding dengan
kandungan dari suatu subunit asam yang berberat molekul tinggi dalam total
globulin 11S.

Gel yang diperoleh dari isolasi glisinin (11S) memberikan karakter gel yang
lebih keras dibandingkan gel yang diperoleh dari -konglisinin (7S), dan struktur
jaringan yang terbentuk memiliki perbedaan antar keduanya, tergantung dari
komposisi protein. Blazek (2008) melaporkan bahwa rasio 11S/7S mempengaruhi
karakter kekerasan dan elastisitas gel. Glisinin berkontribusi terhadap peningkatan
kekerasan dan kekokohan gel, sedangkan -konglisinin memberikan pengaruh
terhadap elastisitas gel yang dihasilkan.

2.7 Proses Pembuatan Tahu

2.8 Faktor yang Mempengaruhi


BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
1. Baskom
2. Blender
3. Kain saring
4. Piring
5. Panci
6. Dandang
7. Kompor
8. Spatula kayu
9. Sendok
10. Pisau
11. Pengepres tahu
12. Color reader
13. Pnetrometer
14. Botol timbamg
15. Neraca analitik
16. Oven
17. Desikator
18. Penjepit

3.1.2 Bahan
Kedelai 90 % dan
1. Kedelai Kedelai 100%
kacang hijau 10 %
2. Kacang hijau
3. Asam asetat
4. Air
Perendaman 8 jam

Pengupasan kulit ari


3.2 Skema Kerja
3.2.1 Pembuatan Tahu Pencucian

2 liter air Penggilingan

Bubur
kedelai

Pemasakan, 15 menit

Penyaringan Ampas

Filtrat
Pemanasan, suhu 800C

Asam asetat Penggumpalan

Penyaringan Whey

Gumpala
n

Pengepresan

Tahu
BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN
4.1 Hasil Pengamatan
1. Rendemen Tahu
Kedelai 90% dan
Kedelai 100% kacang hijau 10%
Berat kedelai awal 250 gram 250 gram
Air 2.000 ml 2.000 ml
Berat kedelai setelah
467,49 gram 162,14 gram
perendaman
Berat tahu 357,55 gram 295,17 gram
Rendemen 76,48% 73,59%

2. Warna (Lightness)
Kedelai 90% dan kacang hijau
Kedelai 100%
Ulangan ke- 10%
Da db dL Da db Dl
1 +2,6 +8,2 -6,5 +2,4 +8,0 -4,8
2 +2,6 +7,5 -10,0 +2,1 +6,9 -4,8
3 +1,0 +5,2 -12,6 +2,4 +7,4 -4,4
Rata-rata 80,12 87,50
Standar lightning keramik
Lightning
Standar belakang keramik (Lk) 94,35
Standar uji keramik (La) 64,3

3. Tekstur (Pnetrometer)
Kedelai 90% dan kacang hijau
Kedelai 100% (mm/10 s)
10% (mm/10 s)
Ulangan ke-
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
dikukus dikukus dikukus dikukus
1 105 103 108 105
2 100 100 108 108
3 104 102 107 106
Rata-rata 103 101,67 107,67 106,33

4.2 Hasil Perhitungan


BAB 5. PEMBAHASAN
5.1 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
5.1.1 Pembuatan Tahu
Proses pembuatan tahu pada praktikum ini menggunakan bahan baku
kedelai dan kacang hijau. Perlakuan pertama menggunakan kedelai 100% dan
perlakuan kedua yaitu dengan perbandingan kedelai dan kacang hijau sebesar
90% dan 10%. Bahan baku pembuatan tahu tersebut direndam selama 8 jam
dengan tujuan untuk melunakkan struktur selulernya sehingga mudah dalam hal
penggilingan dan memberikan dispersi dan suspensi yang lebih baik pada waktu
ekstraksi. Tahap selanjutnya yaitu pengupasan kulit ari. Kulit ari pada biji perlu
dihilangkan untuk memudahkan proses ekstraksi. Kemudian dilakukan pencucian
untuk menghilangkan kotoran sehingga dihasilkan biji yang bersih. Biji kedelai
dan kacang hijau yang telah direndam dan dicuci kemudian dikecilkan ukurannya.
Pengecilan ukuran ini menggunakan blender dengan perbandingan bahan dan air
sebesar 1:8 atau 250 gram bahan dan 2 liter air. Air yang digunakan dalam proses
pengecilan ukuran ini yaitu air panas yang bertujuan untuk meningkatkan hasil
ekstraksi dan sekaligus menghilangkan bau langu yang disebabkan oleh enzim
(inaktivasi enzim). Bubur kedelai dan kacang hijau hasil pengecilan ukuran
dilakukan pemasakan selama kurang lebih 15 menit serta dilakukan pengadukan.
Tujuannya yaitu agar pencampuran terjadi secara merata. Setelah proses
pemasakan dilakukan penyaringan menggunakan kain saring dalam keadaan
panas. Proses tersebut akan menghasilkan filtrat yang akan digunakan untuk
pembuatan tahu dan hasil sampingan berupa ampas.
Filtrat hasil ekstraksi protein kedelai dan kacang hijau kemudian dipanaskan
kembali sampai suhu 800C. Suhu tersebut merupakan suhu optimal untuk
memasukkan koagulan dalam filtrat. Koagulan yang digunakan dalam proses
penggumpalan yaitu asam asetat sebanyak 20 ml. Selama proses penuangan ini
disertai dengan pengadukan. Pada proses penggumpalan ini cairan yang semula
berwarna putih susu akan pecah dan di dalamnya terbentuk butiran-butiran protein
yang akhirnya bergabung membentuk gumpalan. Setelah itu cairan akan menjadi
bening. Kemudian dilakukan penyaringan untuk memisahkan antara protein yang
menggumpal (tahu) dengan cairan sisanya. Tahap terakhir yaitu pengepresan
gumpalan protein (tahu). Hal ini bertujuan untuk mengurangi kandungan air dan
membentuk padatan protein yang kompak yang disebut tahu.

5.2 Analisa Data


5.2.1 Rendemen
Rendemen tahu dihitung berdasarkan massa tahu yang dihasilkan
dibanding dengan bahan awal pembuatan. Rendemen tahu yang menggunakan
perbandingan kedelai 100% lebih besar dibanding dengan tahu yang
menggunakan komposisi kedelai 90% dan kacang hijau 10% yaitu secara berturut-
turut sebesar 76,48% dan 73,59%.

Berdasarkan gambar tersebut diketahui bahwa rendemen tahu yang


dihasilkan dengan komposisi bahan baku yang berbeda memiliki perbedaan yang
tidak signifikan. Rendemen dan kualitas pada pembuatan tahu dipengaruhi oleh
varietas kedelai, kualitas kedelai, kondisi selama proses serta koagulan yang
dipakai. Koagulasi protein terjadi sempurna pada konsentrasi koagulan dan suhu
yang optimum dengan waktu yang tepat sehingga jumlah protein sari kedelai yang
terendapkan semakin banyak dan rendemen yang dihasilkan semakin besar.

5.2.2 Kecerahan

Derajat keputihan tahu dengan perbedaan komposisi antara kedelai 90% +


kacang hijau 10% dengan kedelai 100% tidak berbeda signifikan. Nilai derajat
keputihan tahu dengan menggunakan kedelai 90% dan kacang hijau 10% sebesar
87,50 dan nilai derajat keputihan tahu yang menggunakan kedelai 100% sebesar
80,12.

Semakin tinggi nilai derajat warna, maka semakin tinggi pula nilai putihnya dan
semakin kecil nilai maka semakin gelap. Nilai kecerahan yang tinggi ini
dikarenakan bahan baku yang digunakan adalah bahan yang memiliki nilai L yang
tinggi pula.
Tahu yang baik merupakan tahu yang memiliki karakteristik sesuai syarat mutu
tahu berdasarkan Standar Nasional Indonesia yaitu putih normal.

tahu dengan bahan kedeai 100% memiliki derajat keputihan lebih rendah
dibanding tahu dengan penambhan kacang hijau 10% hal tersebut dapat
dikarenakan pada saat pembuatan tahu masih adanya kulit ari yang terikut saat
proses pengolahan.

5.2.3

Kenampakan irisan

Berdasarkan gambar dapat diketahui bahwa kenampakan irisan tahu


dengan Kedelai 100% lebih baik dibanding tahu dengan kedelai 90% dan kacang
hijau 10%. Tahu tersebut memiliki tekstur yang lebih kompak serta tidak mudah
hancur. Hal ini dikarenakan banyaknya kandungan air yang terbuang pada saat
pengepresan.
Munurut Estikomah (2010), pengepresan bertujuan untuk memberikan
kekompakan dan bentuk pada produk, serta membuang whey seluruhnya.
Intensitas kekompakan dapat dipengaruhi oleh beban yang digunakan selama
pencetakan dan pengepresan, tipe penggumpal dan konsentrasi penggumpal.
BAB 6. PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai