Anda di halaman 1dari 7

1.

Hewan Endoterm, Ektoterm, dan Heteroterm

Makhluk hidup dapat diklasifikasikan atas dasar sumber panas bagi tubuhnya.
Endoterm adalah kelompok hewan yang mampu memproduksi sendiri panas yang
diperlukan untuk tubuhnya. Sedangkan suhu tubuh kelompok hewan Ektoterm berasal
dari suhu di sekelilingnya yang merupakan sumber panas tubuh. Kelompok hewan
ketiga adalah Heteroterm, tubuh hewan ini dapat memproduksi panas seperti halnya
pada endoterm, tetapi tidak mempertahankan suhu tubuhnya dalam kisaran suhu yang
sempit (Yuliani dan Raharjo, 2009)
Sebagai salah satu faktor lingkungan yang utama, suhu memberikan efek yang
berbeda-beda pada organisme di bumi ini. Variasi suhu lingkungan alami mempunyai
efek dan peranan potensial dalam menentukan terjadinya proses kehidupan, penyebaran
serta kelimpahan organisme tersebut. Variasi suhu lingkungan dapat ditinjau dari
berbagai segi, yaitu dari sifat sikliknya (harian, musiman), dari kaitannya dengan letak
tempatnya di garis lintang bumi (latidunal) atau ketinggian diatas permukaan laut
(altitudinal) dan kedalaman (perairan tawar, lautan, tanah). Disamping itu juga dikenal
variasi suhu alami dalam sifat kaitan yang lebih akrab dengan organisme
(mikroklimatik).
Dalam kisaran yang tidak mematikan, pengaruh paling penting oleh suhu
terhadap hewan poikiloterm dari sudut pandang ekologi adalah pengaruh suhu atas
perkembangan dan pertumbuhan. Dalam hal ini langsung tampak adanya hubungan
linear antara laju perkembangan jika diplotkan terhadap suhu tubuh. Tampak pula
bahwa penyimpangan dari linearitas hubungan tersebut pada suhu terendah dapat
diabaikan, dan lagi makhluk yang bersangkutan secara tipikal menghabiskan waktu
dibawah suhu tinggi non linear.seringkali secara sederhana dianggap bahwa laju
perkembangan bertambah secara linear pada suhu di atas ambang perkembangan.
Hewan ektoterm atau poikiloterm tidak dapat dikatakan memerlukan waktu yang
lamanya tertentu. Yang mereka perlukan adalah gabungan waktu dengan suhu.
Gabungan ini sering disebut sebagai waktu-fisiologik. Pentingnya konsep waktu-suhu
terletak di dalam kemampuan konsep itu untuk memberikan pengertian tentang waktu
terjadinya sesuatu, dan tentang dinamika populasi hewan ektoterm atau hewan
poikiloterm. (Soetjipta, 1993).
Menurut Soetjipta (1993), malahan sesungguhnya kebanyakkan spesies dan
kebanyakkan aktivitas hanya terbatas di kisaran suhu yang lebih sempit. Beberapa
makhluk hidup terutama yang sedang di dalam tingkat istirahat, mampu ada dalam suhu
sangat rendah dalam waktu yang singkat, sedangkan beberapa mikroorganisme,
terutama bakteri, alga, dapat hidup dan berreproduksi di dalam air panas yang suhunya
mendekati suhu air mendidih.
Apabila dalam suhu rendah, hewan poikiloterm mungkin berubah menjadi tidak
aktif, atau bersifat tidur, atau dalam keadaan sedang hibernasi. Umumnya hewan
poikiloterm menggunakan periode penangguhan di dalam keadaan dormansi, yaitu
keadaan secara nisbi tidak aktif untuk menghemat energi, dan energi tersebut yang
dapat dipergunakan dalam waktu penangguhan berikutnya. Dari keadaan tersebut
hewan poikiloterm dapat berfungsi kembali bilaman suhu meningkat di atas harga
ambang. Adapun harga ambang adalah kuantitas faktor minimum yang menghasilkan
pengaruh yang dapat dirasakan oleh hewan tersebut.

2. Ikan Mas (Cyprinus carpio)

Menurut Khairuman dan Subenda (2002) sistematika taksonomi ikan mas


adalah sebagai berikut :
Phyllum : Chordata
Subphyllum : Vertebrata
Superclass : Pisces
Class : Osteichthyes
Subclass : Actinopterygii
Ordo : Cypriniformes
Subordo : Cyprinoidea
Family : Cypridae
Subfamily : Cyprinidae
Genus : Cyprinus
Species : Cyprinus carpio

Tubuh ikan mas (Cyprinus carpio) dilengkapi dengan sirip. Sirip punggung
(dorsal) berukuran relatif panjang dengan bagian belakang berjari-jari keras dan sirip
terakhir yaitu sirip ketiga dan keempat, bergerigi. Letak antara sirip punggung dan perut
berseberangan. Sirip pada pectoral terletak dibelakang tutup insang (overculum). Sisik
ikan mas berukuran relatif lebih besar dan digolongkan kedalam tipe sisik sikloid linea
lateralis (gurat sisi), terletak dipertengahan tubuh, melintang dari tutup insang sampai
keujung belakang pangkal ekor. Pharynreal teeth (gigi kerongkongan) terdiri dari tiga
baris yang berbentuk gigi geraham (Suseno, 2003).
Ikan mas (Cyprinus carpio) merupakan ikan pemakan segala (omnivora).
Kebiasaan makan ikan mas (Cyprinus carpio) yaitu sering mangaduk-ngaduk dasar
kolam, termasuk dasar pematang untuk mencari jasad-jasad organik. Karna kebiasaan
makannya seperti ini, ikan mas (Cyprinus carpio) dijuluki sebagai bottom feeder atau
pemakan dasar. Di alam, danau atau sungai tempat hidupnya, ikan ini hidup menepi
sambil mengincar makanan berupa binatang-binatang kecil yang biasanya hidup
dilapisan lumpur tepi danau atau sungai (Susanto,2004).
Menurut Susanto (2004), ikan mas (Cyprinus carpio) mempunyai telur yang
sifatnya merekat/menempel atau adhesif. Kebiasaan sebelum melakukan pemijahan di
alam adalah mencari tempat yang rimbun dengan tanaman air atau rumput-rumputan
yang menutupi permukaan perairan. Perkembangan seksual ikan mas (Cyprinus carpio)
yaitu ovivar dimana perkembangbiakan seksual yang ditandai dengan pelepasan sel
telur jantan dan 6 betina, dimana spermatozoa diluar tubuh dan fertilisasi terjadi diluar
tubuh. Ciriciri lain adalah sel telur berukuran besar karena banyak mengandung kuning
telur yang dapat menjadi bekal bagi anak-anaknya dalam mengawali hidupnya diluar
tubuh (Susanto,2004).
Ikan mas menyukai tempat hidup (habitat) di perairan tawar yang airnya tidak
terlalu dalam dan alirannya tidak terlalu deras, seperti di pinggiran sungai atau danau.
Ikan mas dapat hidup baik di daerah dengan ketinggian 150-600 meter diatas
permukaan air laut dan pada suhu 25-30C. Meskipun tergolong ikan air tawar, ikan
mas kadang-kadang ditemukan di perairan payau atau muara sungai yang bersalinitas
25-30%. 2.4. Siklus Hidup Ikan Mas (Cyprinus carpio). Ikan mas dan mas koi adalah
jenis ikan air tawar yang berkerabat sangat sangat dekat karena merupakan spesies yang
sama tetapi berbeda ras atau strain, begitu juga dalam siklus hidupnya sama dengan
ikan mas. Perkembangan di dalam gonad yakni ovarium pada ikan betina yang
menghasilkan telur, dan testis pada ikan jantan yang menghasilkan sperma (Khairuman,
2002).
Embrio akan tumbuh dalam telur yang telah dibuahi oleh spermatozoa. Dua
sampai tiga hari telur akan menetas dan tumbuh menjadi larva dengan ukuran berkisar
antara 0,5-0,6 mm dengan bobot antara 18-20 mg. Larva kemudian akan berubah
menjadi kebul (larva stadia akhir) dalam waktu 4-5 hari, setelah 2-3 minggu kebul akan
menjadi burayak (stadia benih) yamg mempunyai ukuran panjang 1-3 cm dan bobot
0,1-0,5 gram. Dalam waktu 2-3 minggu kemudian burayak tumbuh menjadi putihan
(benih besar) yang mempunyai ukuran panjang 7 3-5 cm dengan bobot 0,5-2,5 gram,
dan dalam waktu tiga bulan putihan akan tumbuh menjadi gelondongan (ikan remaja)
yang mempunyai bobot 100 gram dan gelondongan tersebut akan tumbuh terus sampai
menjadi induk.
Habitat Huet, (1971) menyatakan habitat ikan mas hidup pada kolam-kolam air
tawar dan danau-danau serta perairan umum lainnya. Dalam perkembangannya ikan ini
sangat peka terhadap perubahan kualitas lingkungan. Ikan mas merupakan salah satu
ikan yang hidup di perairan tawar yang tidak terlalu dalam dan aliran air tidak terlalu
deras. Ikan mas dapat hidup baik di daerah dengan ketinggian 150- 600 meter di atas
permukaan air laut dan pada suhu 25-30C. Meskipun tergolong ikan air tawar, ikan
mas kadang-kadang ditemukan di perairan payau atau muara sungai yang bersalinitas
25-30 ppt.
Sebagai biota perairan, Ikan merupakan mendapatkan Oksigen terlarut dalam
air. Pada hampir semua Ikan, insang merupakan komponen penting dalam pertukaran
gas, insang terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras, dengan beberapa
filamen insang di dalamnya (Fujaya. 1999).
Menurut Sukiya (2005), Setiap kali mulut dibuka, maka air dari luar akan masuk
menuju farink kemudian keluar lagi melalui melewati celah insang, peristiwa ini
melibatkan kartilago sebagai penyokong filamen ikan. Selanjutnya Sukiya
menambahkan bahwa lamella insang berupa lempengan tipis yang diselubungi epitel
pernafasan menutup jaringan vaskuler dan busur aorta, sehingga karbondioksida darah
dapat bertukar dengan oksigen terlarut di dalam air. Organ insang pada ikan ditutupi
oleh bagian khusus yang berfungsi untuk mengeluarkan air dari insang yang disebut
operculum yang membentuk ruang operkulum di sebelah sisi lateral insang. Laju
gerakan operculum ikan mempunyai korelasi positif terhadap laju respirasi ikan.
3. Pengaruh Suhu Air terhadap Aktivitas Ikan
Salah satu faktor fisik lingkungan perairan adalah suhu. Perubahan suhu
dipengaruhi oleh letak geografisnya, ketinggian tempat, lama paparan terhadap
matahari dan kedalaman badan air (Tunas, 2005). Suhu adalah ukuran energi gerakan
molekul. Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur
proses kehidupan dan penyebaran organisme.
Peningkatan suhu air menyebabkan penurunan kelarutan gas-gas, tetapi
meningkatkan solubilitas senyawa-senyawa toksik seperti polutan minyak mentah dan
pestisida, serta meningkatkan toksisitas logam berat, sebagai contoh bahwa pada air
tawar (salinitas 0%) peningkatan suhu dari 250C menjadi 300C menyebabkan
penurunan kelarutan oksigen dari 8,4 menjadi 7,6 mg/liter.
Suhu merupakan suatu faktor pembatas penting di ekosistem perairan tawar
karena jasad-jasad akuatik seringkali kurang dapat menoleransi perubahan-perubahan
suhu (bersifat stenothermal). Akibat adanya pencemaran panas yang ringanpun akan
dapat berakibat luas. Juga perubahan-perubahan suhu menghasilkan sirkulasi dan
stratifikasi suhu yang khas yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan akuatik
(Soegianto, 1994).
Menurut Dharmawan (2005) menyatakan bahwa Suhu merupakan salah satu
faktor yang sangat penting dalam proses metabolisme organisme perairan. Perubahan
suhu yang mendadak atau kejadian suhu yang ekstrim akan mengganggu kehidupan
organisme bahkan dapat menyebabkan kematian. Suhu perairan dapat mengalami
perubahan sesuai dengan musim, letak lintang suatu wilayah, ketinggian dari
permukaan laut, letak lintang tempat terhadap garis edar matahari, waktu pengukuran
dan kedalaman air. Suhu air mempunyai peranan dalam mengatur kehidupan biota
perairan, terutama dalam proses metabolisme. Suhu dapat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan kelangsungan organisme perairan. Suhu air berbanding terbalik
dengan konsentrasi jenuh oksigen dan berbanding lurus dengan laju oksigen hewan
air serta laju kimia dalam air. (Afriatna, 1998).
Berbagai jenis hewan dapat bertahan hidup tergantung pada timbunan lemak
atau bahan makanan lain di dalam tubuhnya. Banyak pula jenis hewan yang dapat
bertahan hidup beberapa waktu lamanya tanpa air. Akan tetapi hampir tidak satu jenis
hewan pun yang dapat bertahan hidup lama tanpa oksigen, oleh karena oksigen tidak
pernah ditimbun di dalam tubuh, melainkan diperoleh dari lingkungan.
Menurut Sutarno (2001) menyatakan bahwa Meskipun ikan dapat
beraklimatisasi pada suhu yang relatif tinggi, tetapi pada suatu derajat tertentu
kenaikan suhu dapat menyebabkan kematian ikan. Perubahan drastis suhu sampai
mencapai 5oC dapat menyebabkan stress pada ikan atau membunuhnya.
Air memiliki beberapa sifat termal yang unik, perubahan suhu dalam air
berjalan lebih lambat dari pada udara, walaupun suhu kurang mudah berubah di dalam
air daripada di udara, namun suhu merupakan faktor pembatas utama. Oleh karena itu
pisces sering memiliki toleransi suhu yang sempit (Soetjipta, 1993). Daerah tropis
memiliki kisaran suhu antara 27oC dan 32oC. Kisaran suhu ini adalah normal untuk
kehidupan biota laut di perairan Indonesia. Suhu alami tertinggi diperairan tropis
berada dekat ambang batas penyebab kematian biota laut. Oleh karena itu,
peningkatan suhu yang kecil saja dari alam dapat menimbulkan kematian atau paling
tidak gangguan fisiologis biota air. Kisaran suhu di daerah tropis sedemikian rupa
sehingga banyak organisme hidup dekat dengan batas suhu tertinggi.
Organisme sungai khususnya beberapa makroinvertebrata memiliki reaksi
terhadap suhu yang berbeda-beda antara 28oC sampai 34oC. Suhu yang dimiliki oleh
anggota dalam suatu species tertentu berbeda-beda, sehinga adanya pengaruh termal
pada lingkungan dapat menimbulkan median batas toleransi. Jika spesies tertentu
mempunyai median batas toleransi 24 jam 30oC, maka 50 % spesies tersebut akan
mengalami kematian dalam jangka waktu 24 jam jika suhu 30 derajat (Sastrawijaya,
2000).

4. Pengaruh DO (Oksigen Terlarut) terhadap Aktivitas Ikan


Atmosfer bumi mengandung oksigen sekitar 210 ml/L. Oksigen merupakan
salah satu gas yang terlarut dalam perairan.
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan makhluk hidup
didalam air maupun hewan teristrial. Peranan Oksigen (O2) Dalam Perairan
Menurut Zonnelved (1991) dalam Kordi (2004) kebutuhan oksigen
mempunyai dua aspek, yaitu kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan
kebutuhan komsutif yang tergantung pada keadaan metabolisme suatu organisme.
Perbedaan kebutuhan oksigen dalam suatu lingkungan bagi spesies tertentu
disebabkan oleh adanya perbedaan molekul sel dari organisme yang mempengaruhi
hubungan antara tekanan parsial oksigen dalam air dan derajat kejenuhan oksigen
dalam sel darah.
Organisme dalam air membutuhkan oksigen guna pembakaran bahan bakarnya
(makanan) untuk menghasilkan aktivitas, seperti aktivitas berenang, pertumbuhan,
reproduksi, dan sebagainya. Beberapa jenis organisme air mampu bertahan hidup
pada perairan dengan konsenterasi oksigen 3 ppm, namun konsenterasi minimum
yang masih dapat diterima sebagian besar organisme air untuk hidup dengan baik
adalah 5 ppm. Pada perairan dengan konsenterasi oksigen dibawah 4 ppm organisme
masih mampu bertahan hidup, akan tetapi nafsu makan mulai menurun (Kordi, 2004).
Penyebab utama berkurangnya oksigen
terlarut di dalam air adalah adanya bahan-bahan buangan organik yang banyak
mengonsumsi oksigen sewaktu penguraian berlangsung (Hadic dan Jatna, 1998).
Konsentrasi oksigen terlarut yang aman bagi kehidupan diperairan sebaiknya harus
diatas titik kritis dan tidak terdapat bahan lain yang bersifat racun,
konsentrasi oksigen minimum sebesar 2 mg/l cukup memadai untuk menunjang
secara normal komunitas akuatik di periaran (Pescod, 1973). Kandungan oksigen
terlarut untuk menunjang usaha budidaya adalah 5 8 mg/l (Akbar, 2001).
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan
hewan di dalam air. Kehidupan makhluk hidup di dalam air tersebut tergantung dari
kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan
untuk kehidupannya (Fardiaz, 1992). Oksigen terlarut dapat berasal dari proses
fotosintesis tanaman air, dimana jumlahnya tidak tetap tergantung dari jumlah
tanamannya, dan dari atmosfer (udara) yang masuk ke dalam air dengan kecepatan
terbatas (Fardiaz, 1992). Oksigen terlarut dalam air dimanfaatkan oleh organisme
perairan untuk respirasi dan penguraian zat-zat organik oleh mikroorganisme.
Konsentrasi oksigen terlarut dalam keadaan jenuh bervariasi tergantung dari suhu dan
tekanan atmosfer (Fardiaz, 1992).
Odum (1993), menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air akan bertambah
dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas.
Pada lapisan permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi
antara air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Dengan bertambahnya
kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses fotosintesis
semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk pernapasan
dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik.
Daftar Pustaka

Afriatna, Eddy dan Eviliawaty. 1998. Hewan dan Habitatnya. Yogyakarta: Kanisius.
Akbar S. & Sudaryanto. 2001. Pembenihan dan Pembesaran Ikan Kerapu Bebek. Jakarta:
Penebar Swadaya. hlm. 103.
Dharmawan, Agus dkk. 2005. Ekologi Hewan. Malang: UM Press.
Fardiaz Srikandi. 1992. POLUSI AIR & UDARA. Penerbit KANISIUS. Yogyakarta
Fujaya, Yushinta. 2004. Fisisologi Ikan. Jakarta. Penerbit P.T Rineka Cipta.
Hadick, W dan Jatna Supriatna. 1988. Pengembangan Udang Galah dalam Hatchery dan
Budidaya. Kanisius. Yogyakarta.
Huet, M. 1971. Textbook of Fish Culture.Breeding and Cultivation of Fish.Ryre &
Spottiswoode Ltd, at the Press Margate. England.
Khairuman dan Subenda. (2002). Budidaya Ikan Air Tawar : Ikan Bandeng, Ikan Nila, Ikan
Lele. Cetakan Kelima . 113 p. Yogyakarta : Kanisius.
Kordi, K. M. Ghufran. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Cetakan Pertama.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Odum, E. P. 1979. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press.
Oreginal English Edition. Fundamental of Ecology Thurd Edition, Yokyakarta
Sastrawijaya, A. T., 2000. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta, Jakarta.
Sukiya. 2005. Biologi Vertebrata. Malang. Penerbit Universitas Negeri Malang
Susanto. (2004). Budidaya Mas. Jakarta: Kanisius
Sutarno, Nono. 2001. Biologi Umum Lanjutan II. Jakarta : Universitas Terbuka.
Suseno. (2003). Pengelolaan Usaha Pembenihan Ikan Mas. Jakarta: Penebar Swadaya
Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Penerbit
Usaha Nasional. Jakarta.
Soetjipta. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Hewan. Jakarta: Depertemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Tunas, Arthama Wayan. 2005. Patologi Ikan Toloestei. Yogjakarta. Penerbit Universitas
Gadjah Mada
Yuliani dan Raharjo. 2017. Panduan Praktikum Ekofisiologi. Surabaya : Laboratorium
Fisiologi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA Unesa.

Anda mungkin juga menyukai