Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH BIOLOGI PANGAN

“LEMEA”
MAKANAN FERMENTASI KHAS BENGKULU, INDONESIA

Oleh :
Violita Yusi Adistiara
15030244007
BIOLOGI 2015

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Provinsi Bengkulu memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang diwarnai tiga
rumpun suku besar yaitu suku Rejang yang berpusat di Kabupaten Rejang Lebong, suku
Serawai yang berpusat di Kabupaten Bengkulu Selatan dan suku Melayu berpusat di
Kota Bengkulu. Ketiga suku besar itu pada umumnya menempati daerah yang berbeda.
Suku Rejang sebagian besar menempati di daerah dataran tinggi atau pegunungan,
sedangkan suku Serawai dan Melayu menempati daerah rendah atau pesisir.
Salah satu sumber pangan yang sangat potensial dikembangkan adalah makanan
tradisional. Makanan tradisional suatu daerah merupakan makan yang dikonsumsi oleh
golongan etnik dan wilayah yang spesifik (Wardhanu, 2009). Selain itu, makanan
tradisional mulai langka dibuat karena kerumitan dalam pembuatan dan hanya diketahui
oleh kalangan tertentu. Kecenderungan ini dikhawatirkan akan mengakibatkan
hilangnya kekayaan kuliner yang merupakan kekayaan bangsa.
Pangan lokal termasuk di dalamnya pangan tradisional dan pangan khas daerah
mempunyai peranan strategis dalam upaya pemantapan ketahanan pangan khususnya
aspek konsumsi dalam hal ini penganekaragaman di daerah karena bahan baku pangan
tersebut tersedia secara spesifik lokasi. Disamping itu resep makanan yang dimiliki
cukup beranekaragaman macamnya baik yang telah diwariskan turun temurun rnaupun
baru diciptakan.
Keunggulan makanan tradisional dewasa ini menjadi kajian yang didalami di
banyak Negara. Pada tahun 1996, Nigeria telah mengkaji makanan tradisional fermentasi
dengan pendekatan proses fermentasi tradisional dan permasalahannya. Luis et al (2009)
menyatakan bahwa makanan tradisional merupakan sesuatu yang sangat penting sebagai
kultur, identitas dan warisan yang perlu dijaga kelestariannya. Nuha et al (2010) meneliti
tentang makanan tradisional fermentasi “Hussuwa” dari Afrika sedangkan Liu et al
(2010) meneliti makanan tradisonal fermentasi dari China. Tuntutan zaman
menghendaki kajian tentang sertifikasi dan garansi kualitas makanan tradisional
(Casazza et al, 2011).
Setiap daerah memiliki potensi pangan yang berbeda-beda, demikian pula di
Provinsi Bengkulu. Berbagai jenis pangan tersebar, dimanfaatkan dan dikembangkan
oleh masyarakat sewadah. Untuk pemenuhan kebutuhan konsumsinya baik sebagai
pangan pokok maupun substitusi. Pangan lokal Bengkulu yang selama ini sudah
dikembangkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat perlu ditingkatkan pengembangannya,
baik dari sisi produksi maupun pemanfaatan/pengelolaannya. Dalam hal ini tentu
membutuhkan pendampingan yang intensif serta permodalan dan teknologi.
Bengkulu sebagai daerah pesisir, memiliki kekayaan keanekaragaman makan khas
berbasis ikan yang perlu dikembangkan. Selain dikonsumsi secara langsung,
pemanfaatan ikan melalui produk ikan fermentasi memberikan nilai gizi yang lebih
unggul (Ferdiaz, 2005) sebagai akibat terdegradasinya protein menghasilkan asam-asam
amino esensial. Hal ini manjadikan ikan banyak digunakan dalam bahan baku makanan
khas, terutama pada masyarakat pesisir.
Susanti dkk (2011) melaporkan makanan tradisional Bengkulu berbasis ikan antara
lain ikan pendap, ikan pais, ikan lemea, bagar hiu, badar goreng. Produk ini umumnya
merupakan produk fermentasi ikan sehingga nilai gizi dan cita rasanya lebih spesifik.
Makanan tersebut menggunakan bahan-bahan yang diperoleh dari sumber-sumber lokal
dan memiliki rasa yang relatif sesuai dengan masyarakat setempat.
Makanan lokal di Provinsi Bengkulu sangat beragam jenisnya salah satuya yaitu
makanan olahan yang berbasis ikan. Karena Bengkulu memiliki garis pantai yang cukup
panjang, menjadikan Provinsi Bengkulu mampu menghasilkan 41.847,5 ton ikan laut
(DKP, 2009). Dan di Bengkulu juga memiliki hasil perikanan darat, baik tangkap
maupun budidaya. Tetapi hasil dari perikanan darat ini tidak sebesar hasil dari perikanan
laut yalb,t 557,3 ton. Perikanan darat lebih banyak dihasilkan di daerah dataran tinggi
dan sedang (DKP, 2009). Dari jumlah yang besar ini maka akan dapat menunjang
keanekaragaman makanan olahan lokal daerah pesisir maupun pegunungan.
Hasil identifikasi makanan tradisional berbasis ikan di Provinsi Bengkulu (Susanti,
20ll) menyatakan bahwa lemea sebagai salah satu makanan khas daerah dataran tinggi.
Lemea adalah nama makanan khas masyarakat Rejang. Komposisi bahan baku terdiri
dari rebung yang dicincang-cincang dan dicampur ikan air tawar seperti ikan mas, sepat,
atau ikan-ikan kecil yang hidup di air tawar. Setelatr dicincang rebung yang dicampur
dengan ikan tersebut disimpan atau difermentasi. Lemea beraroma tajarn dan khas. Hal
itu merupakan efek dari pembusukan ikan yang dicampur dengan rebung. Meskipun
tidak semua orang menyukainya, namun karena keunikan dari aroma dan cita rasa produk
olahan liang dihasilkan merupakan kekayaan lokal yang perlu dilestarikan
BAB II
PEMBAHASAN
Lemea adalah sebuah nama makanan khas Rejang. Komposisinya terdiri dari
rebung yang dicincang-cincang, kemudian dicampur ikan mujair atau sepat. Setelah
cincangan rebung yang dicampur dengan ikan tersebut diaduk-aduk, maka adonan
tersebut disimpan ke dalam wadah yang dilapisi dengan daun pisang dan ditutup rapat-
rapat. Proses fermentasi ini membutuhkan waktu minimal selama tiga hari. Setelah itu,
baru lema siap untuk dimasak sebagai lauk saat makan nasi. Lemea beraroma agak tidak
sedap baunya. Itu merupakan efek dari fermentasi dari ikan yang dicampur dengan
rebung. Meskipun baunya yang tidak sedap, tetapi banyak yang menyukainya keunikan
aroma dari makanan tersebut.

Gambar 1. Lemea Mentah Gambar 2. Lemea telah dimasak

Lemea merupakan makanan yang diperoleh dari proses fermentasi. Perubahan


selama fermentasi sangat berperan penting dalam proses pembuatan lemea. Tanpa
adanya proses fermentasi maka campuran rebung dan ikan tersebut tidak akan menjadi
lemea. Fermentasi adalah proses perubahan komposisi bahan yang disebabkan oleh
aktivitas Jurnlah koloni mikroba. Pada proses fermentasi lemea, mikroorganisme yang
berperan adalah bakteri asam organik, yang dapat mengubah bentuk, aroma, dan rasa
yang yang berbeda dari keadaan awal sebelum dilakukan proses fermentasi. Perubahan-
perubahan ini dapat memperbaiki gizi dari produk dan biasanya menghambat
pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan, seperti Bacillus dan Clostridium
yang dapat menyebabkan keracunan pada produk (Buckle,l985).
Keunggulan makanan dari ikan yang difermentasi yaitu selain sebagai
pengawetan, fermentasi juga menyebabkan perubahan tekstur, cita rasa, dan aroma
batran pangan yang membuat produk fermentasian lebih menarik, mudah dicerna, dan
bergizi (Robert, 19S9). Fungsi-fungsi dari fermentasi makanan adalah untuk
menyelamatkan makanan dari berbagai masalah makanan seperti pembusukan atau basi
dan keracunan, memperpanjang masa penyimpanan makanan, meminimalkan kerugian
produksi pangan terutama dalam kegiatan industri dan menambah gizi makanan.
Sebagai produk pangan hasil fermentasi fakror-faktor yang mempengaruhi
fermentasi seperti wadah dan lama hari selama poses fermentasi ikut menentukan hasil
akhir produk. Oleh karena itu perlu dikaji pengaruh waktu dan wadah fermentasi
terhadap kualitas lemea dilihat dari sifat fisik, kimia, jumlah koloni mikroba, dan
organoleptik. Melalui kajian ini keunggulan dari makanan yang difermentasi tersebut
akan semakin dikenal dan mampu mendukung progam ketahanan pangan berbasis
makanan tradisional. Selain itu makanan tradisional ini dapat dikenal oleh masyarakat
luas dan dapat dipatenkan serta dapat melestarikan lemea menjadi makanan khas suku
Rejang.

Gambar 3. Bahan yang dibutuhkan untuk membuat lemea.


Proses pembuatan Lemea

Gambar 4. Proses Pembuatan Lemea


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Lemea merupakan makanan khas suku Rejang yang berpusat di Kabupaten
Rejang Lebong, suku Serawai, Provinsi Benkulu. Makanan khas ini diperoleh dari
proses fermentasi. Perubahan selama fermentasi sangat berperan penting dalam
proses pembuatan lemea. Lemea merupakan pencampuran dari ikan dan rebung yang
difermentasi, tanpa adanya proses fermentasi maka campuran rebung dan ikan
tersebut tidak akan menjadi lemea. Keunggulan makanan dari ikan yang difermentasi
yaitu selain sebagai pengawetan, fermentasi juga menyebabkan perubahan tekstur,
cita rasa, dan aroma batran pangan yang membuat produk fermentasian lebih
menarik, mudah dicerna, dan bergizi. Sehingga lemea cocok dikonsumsi untuk
masyarakat dan menjadi makanan khas di Provinsi Bengkulu
DAFTAR PUSTAKA

Buckel, K. A. 1985. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia press. Jakarta.


Casazza, A.P *, F. Gavazzi, F. Mastromauro, S. Gianì, D. Breviario. 2011. Analytical Methods
Certifying the feed to guarantee the quality of
traditional food: An easy way to trace plant species in complex
mixtures. Journal Food Chemistry. Journal homepage: www.elsevier.com
/locate/foodchem.
DKP. 2009. Nilai Produksi Menurut Subsektor Perikanan Kabupaten / Kota tahun 2008. Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu. Bengkulu.
Ferdiaz, 2005. Pengembangan Industri Pengolahan Hasil Perikanan di Indonesia: Tantangan
dan Penerapan Sistem Jaminan Mutu. Bulletin Teknologi dan Industri Pangan. 6 : 65-
73. Institut Pertanian Bogor.
Luis, et all. 2009. Consumer-driven definition of traditional food products and innovation in
traditional foods. A qualitative cross-cultural study.
Journa; Appetite 52 (2009) 345–354. Contents lists available at
ScienceDirect. [Journal homepage: www.elsevier.com /locate/appet].
Nuha M.K, et all. 2010. Diversity of lactic acid bacteria from Hussuwa, a traditional African
fermented sorghum food. Food Microbiology 27 (2010) 757-768. Journal homepage:
www.elsevier.com/locate/fm.
Robert, Haris dan Karmas Endel. 1989. Evalusi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan.ITB.
Bandung.
Susanti, Laili., Kurnia Harlina Dewi., dan Yantri, Nuryani. 2013. Perubahan Produk “Sambel
Lemea” Makanan Tradisional Suku Rejang Pada
Wardhanu, P. 2009. Pangan Tradisional Berbasis Makanan Tradisional. Wikipedia Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai