Anda di halaman 1dari 2

Akhir-akhir ini, kebijakan Full Day School yang dirumuskan oleh Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Muhadjir Effendy menuai polemik. Banyak pihak yang mendukung kebijakan dari
menteri yang menggantikan Anies Baswedan ini, namun tak sedikit juga yang menolak dengan
alasan siswa menjadi lebih sibuk, diperlakukan seperti karyawan, dan argumen-argumen lainnya.

Banyak siswa-siswi yang merasa bahwa kebijakan lima hari sekolah itu membuat mereka lelah
dan tidak lagi memiliki waktu untuk berkumpul bersama keluarga di rumah. Selain itu, mereka
juga merasa beban mereka semakin berat karena harus sekolah dari pagi hingga sore ditambah
ekstrakulikuler sehingga mereka baru tiba di rumah ketika langit sudah gelap.

Sementara pihak yang mendukung kebijakan Mendikbud berpendapat bahwa pendidikan


Indonesia sudah tertinggal dari negara-negara lain di dunia. Oleh karena itu, perlu dibuat sebuah
kebijakan yang bisa membuat kesejajaran itu dapat tercipta. Selain itu, FDS juga diterapkan
untuk mencegah berbagai kenakalan remaja yang saat ini sudah semakin aneh tingkahnya.
Kebijakan lima hari sekolah adalah sebuah hal yang dilematis, setidaknya menurut saya. Disatu
sisi saya mendukung kebijakan Muhadjir yang sadar bahwa untuk meningkatkan mutu
pendidikan Indonesia yang sudah sangat jauh tertinggal dari negara-negara maju seperti Jepang
dan Finlandia.

Muhadjir tentunya ingin menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang tangguh untuk
menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang saat ini sedang dilakukan. Dengan
diterpkannya kebijakan sekolah lima hari tersebut, tentu harapannya ialah tercipta SDM yang
tangguh yang bisa menguasai aset-aset strategis negara dan mengelola kekayaan alam yang kita
miliki di masa mendatang.

Akan tetapi di satu sisi saya juga tidak menerima kebijakan Muhadjir Effendy. Selama saya
menyandang status siswa, saya dikenal sebagai anak yang tidak bisa berlama-lama duduk diam
di kelas. Dengan lamanya duduk di kelas saya menjadi mengantuk, dan dengan mengantuk, saya
kerap kali tertidur di kelas. Maka dari itu ketika saya sekolah saya dijuluki sebagai tukang tidur.
Hadeh.

Akan tetapi meskipun dijuluki tukang tidur di kelas, saya menyandang status sebagai juara kelas
dan kerap kali mewakili sekolah ke berbagai lomba dan berhasil membawa pulang kejuaraan
yang membawa harum nama sekolah saya ketika itu.

Dengan waktu sekolah saya yang waktu itu hanya sekitar enam hingga tujuh jam saja saya kerap
kali mengantuk, bagaimana mereka para adik-adikku yang selama di sekolah masuk pagi pulang
sore? Hadeh, untung saya sudah lulus, hehe.

Pendidikan tidak melulu harus duduk di kelas dan mendengarkan guru menerangkan materi.
Pendidikan bisa juga diraih dengan terlibat di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan yang tinggi
dan status juara kelas yang disandang selama menempuh pendidikan formal tidak menjadi
jaminan bahwa seseorang akan sukses ketika dihadapkan ke kehidupan nyata kelak. Pernyataan
tersebut muncul dari sebuah video yang dibuat oleh Deddy Corbuzier. Dan saya pun mengamini
apa yang ia katakan.

Memang benar pendidikan tak melulu soal belajar duduk di kelas, pendidikan bisa didapat
dimana saja. Pepatah yang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik adalah benar.
Pengalaman membuat kita belajar untuk terus memperbaiki diri dan mengembangkan potensi
yang kita punya.

Lihatlah seorang Susi Pudjiastuti yang kini menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan kita. Ia
hanya memiliki ijazah SMP, saat SMA ia putus sekolah. Tapi lihat kiprahnya, baik saat menjadi
menteri ataupun saat menjadi pengusaha. Siapapun pasti tidak mengira bahwa dia menjadi
menteri dan bahkan kinerjanya adalah salah satu yang terbaik di Kabinet Kerja. Bandingkan
dengan doktor lulusan Amerika Serikat yang hanya bisa beretorika tanpa aksi nyata dan akhirnya
direshuffle oleh Jokowi.

Jika kita melihat kiprah seorang Susi Pudjiastuti, bahwa pendidikan tak melulu di sekolah. Justru
di luar sekolah akan banyak yang bisa didapatkan. Begitu juga saya yang lebih banyak
mendapatkan pelajaran-pelajaran berharga di luar sekolah ketimbang di dalam sekolah.

Kebijakan Full Day School sebenarnya sudah diterapkan di beberapa sekolah swasta yang
menerapkan sekolah lima hari kepada siswa-siswinya. Namun ketika Muhadjir Effendy
menetapkan kebijakan tersebut ke seluruh sekolah di Indonesia, pro dan kontra pun
bermunculan.

Seperti biasa, pro dan kontra akan selalu hadir ketika pemerintah merumuskan suatu kebijakan.
Oleh karena itu, sebaiknya kita menanggapi dengan bijak kebijakan Full Day School. Pemerintah
dalam hal ini Mendikbud pasti ingin melakukan yang terbaik bagi kemajuan bangsa ini.

Anda mungkin juga menyukai