Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MAKALAH

MATA KULIAH HUKUM KETENAGAKERJAAN

TENTANG OUTSOURCING
KELAS 3A

DI SUSUN OLEH :

WIRA HARYASETA NIM 1610116167

DOSEN : DR. Setyo Utomo, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PANCA BHAKTI

PONTIANAK
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas karunia, hidayah, dan nikmatNya penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu
tugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Hukum Ketenagakerjaan.

Makalah ini ditulis oleh penulis yang bersumber dari Buku dan Jurnal sebagai
refrensi.

Penulis berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita
semua. Makalah ini secara fisik dan substansinya diusahakan relevan dengan pengangkatan
judul makalah yang ada, Keterbatasan waktu dan kesempatan sehingga makalah ini masih
memiliki banyak kekurangan yang tentunya masih perlu perbaikan dan penyempurnaan maka
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju ke arah yang
lebih baik.
Demikian makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan yang membacanya,
sehingga menambah wawasan dan pengetahuan tentang bab ini. Amin.

Pontianak, Oktober 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. i

DAFTAR ISI .............................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN:

1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1

1.2 Tujuan ................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN:

2.1 Pengertian Outsourcing ......................................................................... 4

2.2 Masalah-Masalah Pelaksanaan Outsourcing......................................... 5

BAB III PENUTUP:

3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 9

3.2 Saran........ ............................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 11

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Dinamika pembangunan bangsa Indonesia telah menumbuhkan tantangan dan
tuntutan penanganan berbagai persoalan yang belum terpecahkan. Salah satunya adalah
perlindungan hukum terhadap tenaga kerja outsoucing. Di Indonesia sendiri, perkembangan
ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian cepat membawa dampak yang positif
tetapi juga menimbulkan dampak yang negative. Salah satu dampak negatifnya yaitu akan
timbulnya persaingan umum yang lebih ketat.

Dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan


kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Sesuai dengan
peranan dan kedudukan tenaga kerja diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk
meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang menentukan berhasil tidaknya usaha untuk
memenuhi tahap tinggal landas. Peningkatan kualitas manusia Indonesia tidak akan tercapai
tanpa memberikan jaminan hidup kepada tenaga kerja dan keluarganya.

Di dalam Peraturan Perundang Undangan Outsourching khususnya di Indonesia


masih banyak sekali terdapat perbedaan yang tidak adil antara pemilik dengan pekerjanya
dimna pekerja dilakukan seolah-olah sebagai hewan selain itu dengan menerapkan sistim
tersebut bisa dikatankan pekerja outsourcing bekerja seakan akan tidak bekerja karena setelah
masa kontrak berakhir maka tindakan selanjutnya tergantung kepada tindakan perusahaan.

Dalam kaitan itulah dapat dimengerti bahwa kalau kemudian muncul kecendrungan
uotsourcing yaitu memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang
tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut perusahaan penerima
pekerjaan.

Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa pembangunan


Ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam
rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya
untuk meningkatkan harkat, martabat dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan
masyarakat sejahtera adil, makmur dan merata baik material maupun spiritual.

1
Persoalan ketenagakerjaan bukan semata-mata soal melindungi pihak yang
perekonomiannya yang lemah terhadap pihak yang perekonomiannya kuat untuk mencapai
adanya keseimbangan antara kepentingan yang berlainan melainkan juga soal menemukan
jalan dan cara yang sebaik-baiknya dengan tidak meninggalkan sifat kepribadian dan
kemanusian bagi setiap orang yang melakukan pekerjaan untuk mendapatkan hasil yang
sebanyak-banyaknya dari tiap pekerjaan yang sudah ditentukan menjadi tugasnya dan sebagai
imbalan atas jerih payahnya itu untuk mendapatkan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.

Pelaksanaan pengawasan atas pemenuhan syarat-syarat outsourcing sangat sulit


dilakukan, oleh karena itu banyak pelanggaran-pelanggaran yang kerap terjadi. Pelanggaran
yang banyak terjadi adalah rendahnya perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja terhadap
pekerja. Perlindungan dan syarat-syarat kerja yang diberikan pengusaha kepada pekerja
umumnya di bawah standar yang berlaku di mana pekerja dipekerjakan. Meskipun realisasi
hubungan kerja dibuat secara tertulis antara perusahaan outsourcing dengan pekerja akan
tetapi perusahaan pengerah jasa tenaga kerja mendapatkan keuntungan melalui pemotongan
sebagian hak yang diterima pekerja pada perusahaan di mana pekerja ditempatkan.

Adanya pro kontra terhadap pengaturan outsourcing di dalam Undang-undang Nomor


13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak menyurutkan pembentuk undang-undang
untuk mengatur mengenai masalah outsourcing. Hal tersebut dikarenakan sebelum
berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, lebih banyak
terjadi penyelewengan hukum dalam mengatur hubungan kerja dan syarat kerja antara
perusahaan outsourcing dengan pekerja. Berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang berupaya melindungi pekerja dari ketidakpastian hukum dalam
hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan outsourcing tetap tidak menghentikan
masalah pekerja outsourcing, bahkan di satu sisi semakin menjadi pilihan pengusaha untuk
mengatur hubungan kerja dengan pekerja outsourcing dengan alasan efisiensi biaya, waktu
dan tenaga bagi pengusaha.

Kritik tajam terhadap pemberlakuan outsourcing dalam Undang-undang No. 13 Tahun


2003 tentang Ketenagakerjaan juga tercermin dari pasal-pasal yang mengaturnya. Pada Pasal
64 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur bahwa perusahaan
dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain dan perjanjian penyedia jasa
buruh. Selain itu diatur bahwa perjanjian pemborongan pekerjaan diatur dalam Pasal 65 Ayat
(2) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menyebutkan bahwa
pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat
(1) harus memenuhi syarat bahwa pekerjaan itu harus dilakukan dengan perintah langsung
atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan. Ketentuan dalam pasal ini telah menimbulkan
kritik karena bagaimana mungkin perusahaan yang telah menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada orang lain masih memiliki kewenangan untuk memberikan perintah
langsung atau tidak langsung terhadap pelaksanaan pekerjaan yang telah diborongkan kepada
perusahaan lain. Dalam hal ini terhadap inkonsistensi antara Pasal 64 dan Pasal 65 Ayat (1)
sub b Undang-undang No. 13 Tahun 2003. Sebab hal tersebut akhirnya menimbulkan
konsekuensi hukum bahwa perusahaan yang memborongkan pekerjaan dengan pekerja
pelaksana pekerjaan terhadap hubungan kerja. Sebaliknya antara pekerja dengan perusahaan
yang memborongkan pekerjaan tidak terdapat hubungan kerja.

2
Mengenai perjanjian penyedia jasa buruh pada Pasal 66 Undang-undang No 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pekerja dari perusahaan penyedia jasa tidak
boleh digunakan oleh perusahaan pengguna untuk melaksanakan kegiatan pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi kecuali untuk kegiatan
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Kalimat
pertama pasal tersebut memberikan pemahaman seakan-akan antara perusahaan penyedia jasa
tenaga kerja dengan perusahaan pemberi kerja terjadi perjanjian sewa menyewa buruh. Hal
tersebut yang menyebabkan kemudian memicu pertentangan oleh elemen masyarakat sebagai
salah satu bentuk praktek perbudakan modern.

Meskipun dianggap sebagai timbulnya praktek perbudakan modern di Indonesia,


hampir disemua sektor pekerjaan melibatkan pekerja outsourcing. Banyak perkara juga
diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial mengenai tuntutan pekerja outsourcing yang
diputus hubungan kerjanya secara sepihak untuk mendapatkan kompensasi pemutusan
hubungan kerja dari perusahaan pengguna atau bahkan agar dapat dipekerjakan pada
perusahaan pengguna sebagai pekerja di perusahaan tersebut.

1.2 TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Melengkapi tugas Hukum Ketenagakerjaan
b. Mengetahui lebih jauh tentang Outsourcing
c. Memberikan manfaat bagi pembaca yang membacanya

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN OUTSOURCING

Outsourcing berasal dari kata out yang berarti keluar dan source yang berarti sumber.
Menurut Pasal 64 UUK, outsourcing adalah suatu perjanjian kerja yang dibuat antara
pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
yang dibuat secara tertulis.

Menurut Pasal 1601 b KUH Perdata, outsoucing disamakan dengan perjanjian


pemborongan pekerjaan. Sehingga pengertian outsourcing adalah suatu perjanjian dimana
pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang
memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain yang memborongkan
mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran
tertentu.

Dari pengertian-pengertian di atas maka dapat ditarik suatu definisi operasional


mengenai outsourcing yaitu suatu bentuk perjanjian kerja antara perusahaan A sebagai
pengguna jasa dengan perusahaan B sebagai penyedia jasa, dimana perusahaan A meminta
kepada perusahaan B untuk menyediakan tenaga kerja yang diperlukan untuk bekerja di
perusahaan A dengan membayar sejumlah uang dan upah atau gaji tetap dibayarkan oleh
perusahaan B.

Praktek sehari-hari outsourcing selama ini diakui lebih banyak merugikan


pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak tetap/kontrak (PKWT), upah
lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security
serta tidak adanya jaminan pengembangan karir dan lain-lain sehingga memang benar kalau
dalam keadaan seperti itu dikatakan praktek outsourcing akan menyengsarakan pekerja/buruh
dan membuat kaburnya hubungan industrial.

Hal tersebut dapat terjadi karena sebelum adanya UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun
2003, tidak ada satupun peraturan perundang-undangan dibidang ketengakerjaan yang
mengatur perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam melaksanakan outsourcing. Kalaupun
ada, barang kali Permen Tenaga Kerja No. 2 Tahun 1993 tentang kesempatan kerja waktu
tertentu atau (KKWT), yang hanya merupakan salah satu aspek dari ousourcing.

Walaupun diakui bahwa pengaturan outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan No. 13


Tahun 2003 belum dapat menjawab semua permasalahan outsourcing yang begitu luas dan
kompleks, namun setidak-tidaknya dapat memberikan perlindungan hukum terhadap
pekerja/buruh terutama yang menyangkut syarat-syarat kerja, kondisi kerja serta jaminan
sosial dan perlindungan kerja lainnya serta dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan
apabila terjadi permasalahan.
4
Dalam Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa : setiap orang berhak
untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja. Berdasarkan Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 maka untuk menjaga keseimbangan
dalam hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah telah mengadakan
peraturan-peraturan yang bertujuan melindungi pihak yang lemah yaitu ketenagakerjaan.

Menurut Prof. Iman Soepomo, hukum ketenagakerjaan adalah himpunan peraturan-


peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaandengan kejadian dimana
seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.

Menurut MR. Soetikno dalam G. Karta Sapoetra dan RG Widianingsih bahwa hukum
ketenagakerjaan adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai hubungan kerja
yang mengakibatkan seseorang secara pribadi ditempatkan dibawah perintah/pimpinan orang
lain dan mengenai keadaan-keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan
hubungan kerja tersebut.

Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa hukum ketenagakerjaan merupakan
bagian dari hukum privat dan hukum publik. Dikatakan bersifat privat karena hukum
ketenagakerjaan mengatur hubungan orang-perorang dalam hal ini antara pekerja/buruh
dengan pengusaha/ majikan. Hukum ketenagakerjaan merupakan hukum publik yang oleh
pemerintah ditetapkan dengan suatu Undang-Undang. Dengan demikian hukum
ketenagakerjaan pada dasarnya harus mempunyaiunsur-unsur tertentu :
Adanya serangkaian peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis.
Peraturan tersebut mengenai suatu kejadian.
Adanya orang (pekerja/buruh) yang bekerja pada pihak lain (majikan)
Adanya upah

Tujuan pokok hukum ketenagakerjaan adalah pelaksanaan keadilan social dalam


bidang ketenagakerjaan dan pelaksanaan itu diselenggarakan dengan jalan melindungi
pekerja/buruh terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pihak majikan.

2.2 MASALAH-MASALAH PELAKSANAAN OUTSOURCING


Masalah-masalah di dalam Pelaksanaan Outsourcing Pasca Berlakunya Undang-
undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan :

1. Berlakunya Outsourcing Melegalkan Perdagangan dan Perbudakan Manusia


Sebelum berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
praktik penyediaan jasa pekerja untuk dipekerjakan di perusahaan lain sudah terjadi. Bidang-
bidang pekerjaan seperti satuan pengamanan (satpam), sekuriti dan cleaning service
merupakan pekerjaan yang diserahkan perusahaan untuk dikerjakan oleh tenaga kerja dari
perusahaan lain. Praktik pelaksanaannya pun tidak berbeda dengan yang diatur dalam
Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Praktek outsourcing di -

5
Indonesia ditilik dari sejarahnya telah dilakukan bertahun-tahun yang lampau. Pada Putusan
P4P Nomor 65/59/II/02/c 5 Agustus 1959 mengenai tuntutan pekerja kontrak dari Kontraktor
Firma Semesta yang bekerja di Pacific Bechtel. Pekerja dipekerjakan dengan sistem seperti
yang dilakukan pada pekerjaan outsourcing, sehingga pada saat kontrak diputus begitu saja
antara kontraktor Firma Semesta dengan Pacific Bechtel, pekerja outsourcing tidak dapat
menuntut hak-haknya kepada kedua perusahaan tersebut. Namun demikian, ketiadaan
perlindungan bagi pekerja telah membuat pandangan masyarakat menjadi negatif. Pekerja
dianggap sebagai barang komoditi yang dapat dijual, dipindah tangankan, ditukar, yang
hanya diperhatikan apabila pengusaha menganggap dapat mempekerjakan pekerja yang
bersangkutan dan dapat disingkirkan begitu saja apabila pengusaha tidak memerlukannya
lagi. Pada kenyataannya hingga masa-masa sekarang ini di mana pekerja kesulitan mencari
pekerjaan, pekerja dihadapkan pada pilihan take it or leave it terhadap tawaran peluang
pekerja outsourcing atau tidak bekerja sama sekali.

2. Beralihnya Hubungan Hukum dalam Outsourcing Merugikan Pekerja


Hubungan hukum dalam outsourcing bagi pekerja dan perusahaan penerima pekerjaan
menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bisa beralih menjadi
hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan pemberi kerja untuk pekerjaan yang
sifatnya berlangsung terus menerus dalam hal terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa
tenaga kerja. Hubungan hukum yang dimaksud tidak terbatas pada pemberian upah dan
pesangon ketika pekerja diputus hubungan kerjanya melainkan juga perlindungan hak-hak
pekerja, di antaranya keikutsertaan pekerja dan keluarganya dalam program Jamsostek,
program perlindungan pensiun dan lain-lain. Menurut ketentuan undang-undang, perusahaan
pemberi kerja harus mengambil alih tanggung jawab terhadap pekerja dalam hal terjadi
perusahaan pemberi kerja telah memberi pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa tenaga
kerja yang tidak berbadan hukum. Akan tetapi masalah yang sering timbul terjadi pada
masalah perjanjian kerja antara pekerja outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa tenaga
kerja yang harus berakhir karena perjanjian kerja sama antara perusahaan pemberi kerja
dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerjanya telah berakhir. Akibatnya perusahaan
pemberi kerja tidak lagi mempekerjakan pekerja outsourcing dan perusahaan penyedia jasa
juga tidak mau membayar sisa upah yang diperjanjikan dalam kontrak perjanjian kerja sama.
Pada banyak kasus seperti yang tersebut di atas bermuara pada tuntutan di Pengadilan
Hubungan Industrial. Akan tetapi hingga tingkat kasasi pun pekerja outsourcing tidak dapat
menuntut hak-haknya yang menurut undang-undang ketenagakerjaan kedudukannya beralih
dari menjadi pekerja di perusahaan pemberi kerja apabila perusahaan penyedia jasa tenaga
kerja tidak melakukan kewajibannya sesuai dengan hubungan kerja yang terjadi antara
perusahaan dengan pekerja. Kasus karyawan koperasi Setia Kawan melawan PT Bakrie
Tosan Jaya karena buruh menuntut agar dibayarkan upah pesangon sesuai dengan yang diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan kepada PT Bakrie Tosan Jaya oleh karena
hubungan kerja diputus secara sepihak oleh perusahaan penyedia jasanya yaitu Koperasi
Setia Kawan. Dasar pemikiran para karyawan tersebut yang berjumlah 60 orang adalah
karena diatur bahwa buruh yang dipekerjakan melalui perusahaan penyedia jasa berubah
status hukumnya menjadi pekerja di perusahaan pengguna dengan segala hak dan
kewajibannya. Kelemahan kedudukan dan hak pekerja outsourcing tersirat dalam Putusan-

6
Kasasi No.192 K/PHI/2007 yang memenangkan PT Bakrie Tosan Jaya oleh karena pada
dasarnya buruh outsourcing tersebut tidak mempunyai hubungan hukum dengan perusahaan
pengguna, sehingga tidak mendapat perlindungan karena terjadi pengakhiran hubungan kerja.

3. Pekerja Kontrak dan Rendahnya Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing


Masalah-masalah mengenai pelaksanaan outsourcing sebenarnya dalam penerapannya
banyak terkait dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan bidang hukum
ketenagakerjaan. Bidang hukum ketenagakerjaan berlaku untuk mengatur hubungan antara
pengusaha dan pekerja pada saat mereka sepakat untuk melakukan suatu pekerjaan yang
menghasilkan barang atau jasa. Sedangkan fungsi Hukum Perdata terutama menata hubungan
antara perusahaan dengan perusahaan dalam perjanjian kerja sama. Oleh karena perjanjian
kerja yang bersifat waktu tertentu (PKWT) antara pemberi kerja dengan penerima kerja pada
umumnya dibatasi masa berlakunya, maka tidak ada kepastian kesinambungan dalam
pekerjaan sehingga pekerja merasa terancam. Persoalan yang muncul adalah bahwa setelah
pekerjaan yang diperjanjikan selesai, maka otomatis para pekerja akan berhenti bekerja. Oleh
karena itu untuk menghindar dari kewajiban membayar gaji kepada pekerja dalam hal tidak
ada pekerjaan bagi pekerja, pengusaha mensyaratkan kontrak kerja. Pada pelaksanaannya
kontrak kerja dapat berlangsung secara bertahun-tahun dan walaupun hal tersebut
bertentangan dengan undang-undang, pengusaha menempuh jalan pekerja yang selesai masa
kontraknya diistirahatkan dulu selama beberapa bulan, kemudian masuk kembali ke
perusahaan yang sama dengan status sebagai pekerja baru dari perusahaan penyedia jasa
tenaga kerja. Pekerja dalam hal ini tidak dapat menentukan penawaran dan mengajukan
persyaratan kepada pengusaha oleh karena sempitnya lapangan kerja yang tersedia.
Pengusaha dengan mudah dapat menolak pekerja outsourcing yang menuntut haknya terlalu
banyak oleh karena masih banyak pelamar lain yang bersedia bekerja dengan syarat-syarat
yang memberatkan pekerja yang ditetapkan oleh pengusaha.

4. Rendahnya Hak-hak Pekerja Outsourcing


Pada kegiatan outsourcing, perjanjian kerja sama bukan ditandatangani oleh pekerja
dengan perusahaan pemberi kerja, akan tetapi antara perusahaan pengguna dengan
perusahaan pemberi kerja, maka negosiasi mengenai upah dan hak-hak pekerja outsourcing
lainnya hanya diperjanjikan di antara kedua perusahaan tersebut tanpa diketahui oleh pekerja.
Oleh karena bisnis perusahaan penerima pekerjaan adalah dengan mempekerjakan pekerja
untuk kepentingan perusahaan lain, maka dari jasa tersebut perusahaan pemberi kerja
memperoleh keuntungan. Keuntungan perusahaan penyedia jasa tersebut diperoleh dari
selisih antara upah yang diberikan perusahaan pengguna dengan upah yang harus dibayarkan
kepada pekerja outsourcing. Oleh karenanya upah yang diterima oleh pekerja outsourcing
biasanya sangat kecil dan paling tinggi hanya untuk memenuhi ketentuan upah minimum.
Berdasarkan hal tersebut pula, maka banyak perusahaan penyedia jasa yang semakin kaya
raya dan para pekerja tetap hidup dengan upah di bawah standar atau maksimal dengan upah
sesuai dengan ketentuan mengenai upah minimum. Beberapa kasus menggambarkan hal
tersebut seperti kasus petugas kebersihan atau cleaning service dari Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta hanya menerima upah antara Rp 460.000,- sampai Rp 700.000,- perbulan yang jauh
lebih rendah dari upah minimum provinsi DKI tahun 2006 yang mencapai Rp 819.000,-

7
perbulan untuk pekerja lajang.[8] Para pekerja outsourcing dalam hal upah ini tidak dapat
berbuat banyak untuk menuntut pengusaha. Sebab pada satu sisi upah yang diberikan telah
memenuhi ketentuan mengenai upah minimum, akan tetapi di sisi lain pengusaha tidak akan
menerima tuntutan pekerja outsourcing untuk disamakan kedudukannya dalam menerima
upah dengan pekerja yang lain, karena status dan kedudukannya hanya tergantung kepada
perusahaan pemberi kerja.

5. Pengabaian Pengembangan Kemampuan Pekerja Outsourcing


Kesulitan lain yang dihadapi oleh pekerja outsourcing adalah peningkatan
kemampuan seorang pekerja yang sulit diperolehnya dari pengusaha. Sebab pada umumnya
pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja outsourcing adalah pekerjaan yang dilakukan
berulang-ulang. Selain itu pengembangan kemampuan dan karier pada pekerja outsourcing
juga dibatasi oleh adanya spesialisasi yang dilakukan perusahaan pemberi kerja sehingga
yang dihasilkan perusahaan memberi kesan kuat pada perusahaan pengguna untuk
menggunakan jasa tenaga kerja yang ada pada perusahaan pemberi kerja.

8
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dibahas, maka dapat ditarik
kesimpulan untuk permasalahan yang dikaji berikut ini:

1. Mekanisme penggunaan tenaga administrasi alih daya antara perusahaan tenaga alih
daya (outsourcing) dengan pengguna (user):
a. Hubungan kerja yang terjadi antara PT. S dan PT. O dilakukan antara
perusahaan outsourcing dengan pemberi kerja yang bukan pemilik pekerjaan
itu sendiri (catatan: PT. H adalah pemilik pekerjaan. Selanjutnya
penyebutan user dimaksudkan untuk PT. H dan PT. S) namun bukan
disubkontrakkan antar perusahaan outsourcing. Hubungan kerja demikian
belum tercantum dalam ketentuan yang ada sekarang ini.

b. Prosedur pengikatan hubungan kerja yang dilakukan user dengan perusahaan


outsourcing bervariasi termasuk bentuk perjanjian yang dibuat dengan
mengikuti ketentuan dari perusahaan outsourcing yang bersangkutan seperti
yang terjadi pada PT. "O1" dan PT. O2". Selain itu, tata cara yang ada belum
mengikuti ketentuan dalam Permenakertrans dan aturan pelaksananya.

2. Hambatan-hambatan yang ditemui oleh pengguna (user) dalam hal perusahaan


menggunakan tenaga alih daya terbagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu yang
bersifat teknis dan yang berasal dari peraturan dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Hambatan yang bersifat teknis tersebut disebabkan karena:
Belum adanya asosiasi ataupun organisasi resmi yang mewadahi seluruh
atau sebagian besar perusahaan outsourcing di Indonesia sehingga user
sulit untuk mendapatkan informasi mengenai perusahaan outsourcing
yang ada di Jakarta dan pedoman tatacara sesuai dengan ketentuan
terbaru untuk hubungan kerjasama dengan perusahaan outsourcing. Hal
ini juga menyulitkan pemerintah dalam mengawasi perusahaan
perusahaan outsourcing yang ada di Indonesia dan juga mensosialisasi
ketentuan terbaru.
2) Proses perekrutan tenaga outsourcing tidak dilakukan dengan baik dan
profesional baik oleh perusahaan outsourcing. Selain itu, user tidak ikut
menyeleksi tenaga outsourcing yang dikirimkan oleh perusahaan
outsourcing terkait.

9
b. Hambatan yang berasal dari peraturan disebabkan karena peraturan tentang
outsourcing yang ada sekarang ini masih belum tepat karena belum sesuai
dengan logika dan alur berpikir baik secara hukum maupun bisnis. Ketentuan
outsourcing untuk penyedia jasa pekerja/ buruh dalam Pasal 66 UU No. 13
Tahun 2003 tidak sesuai dengan peraturan outsourcing yang ada dibawahnya.
Selain itu, interpretasi kegiatan usaha pokok (core business) dan kegiatan
penunjang (non core business) menurut UU. No. 13 Tahun 2003 sudah tidak
sesuai dengan perkembangan bisnis yang ada dewasa ini.

3. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh perusahaan agar penyelesaian masalah
ketenagakerjaan dapat dilakukan tanpa bertentangan dengan peraturan Permenakertrans No.
19 Tahun 2012 adalah: perusahaan mengajukan uji materi1
atas Permenakertrans ini atau Mengabaikannya dengan mempersiapkan diri
terhadap resiko kemungkinan menghadapi gugatan.

3.2 Saran

Penggunaan tenaga outsourcing suka tidak suka harus diakui tetap diperlukan.
Alasannya selain diatur oleh undang-undang, keberadaan tenaga kerja outsourcing sangat
dibutuhkan pengusaha dan calon tenaga kerja. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan -
perbaikan berikut dalam pelaksanaannya:
1. Bagi Pemerintah,
a) Ketentuan outsourcing di UU No 13 dan aturan pelaksanaannya sebaiknya
direvisi agar dapat memuat segala kekurangan pengaturan outsourcing yang
ada sekarang ini dan disesuaikan dengan kemajuan jaman dan praktik yang
ada dalam pelaksanaan kegiatan outsourcing. Selain itu juga mengakomodir
kepentingan pengusaha dan melindungi kepentingan pekerja.
b) Peraturan perundang-undangan khususnya ketenagakerjaan sebaiknya di
telaah setiap jangka waktu tertentu misalnya setiap 5 (lima) tahun sekali untuk
memastikan peraturan yang ada masih sesuai dengan kondisi dan peraturan
lintas kementerian lain yang ada atau tidak.
c) Diusulkan agar dilakukan langkah pengawasan terhadap perusahaanperusahaan
outsourcing karena banyak perusahaan-perusahaan outsourcing

10
DAFTAR PUSTAKA

Anulang S. 190. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Penerbit Rineka


Cipta. Jakarta.
Sendjun H. manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003.
http://salamnasution.blogspot.com/2012/05/perlindungan-hukum-terhadap-
tenaga.htmlhttp://sekartrisakti.wordpress.com/2011/05/14/hubungan-kerja-dan-
outsourcing/
http://maulabour.wordpress.com/2008/01/17/pelaksanaan-outsourcing-dari-aspek-
hukum-ketenagakerjaan/
http://zinkser.blogspot.com/2011/09/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html

11

Anda mungkin juga menyukai