Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Manusia sebagai makluk sosial menurut kodrat alam, manusia di mana-mana


pada zaman apa pun selalu hidup bersama, hidup berkelompok-kelompok. Sekurang-
kurangnya kehidupan bersama itu terdiri dari dua orang, suami istri atau pun ibu dan
bayinya.

Dalam sejarah perkembangan manusia tak seorang pun hidup sendiri-sendiri


dan terpisah dari kelompok manusia lainnnya, kecuali dalam keadaan terpaksan dan
itu pun hanya dalam waktu sementara.

Hidup manusia terlepas dari kehidupan masyarakat mungkin terjadi di dalam


dongeng belaka, seperti tarzan robinson crosoe, dan sebagainya, namun dalam
kenyataan hal itu tak mungkin terjadi. Sejak dahulu kala pada diri mausia terdapat
hasrat untuk berkumpul dengan sesamanya dalam satu kelompok, hasrat untuk
bermasyarakat.

Aristoteles (384-322 sebelum masehi), seorang ahli fikir yunani kuno


menyatakan dalam ajarannya, manusia itu adalah ZOON POLITICON, artinya bahwa
manusia itu sebagai mahluk pada dasarnya ingin bersama, bergaul dan berkumpul
dengan sesama mausia lainnya, jadi mahluk yang suka bermasyarakat dan oleh
karena sifat yang suka bergaul satu sama lain maka manusia di sebut sebagai mahluk
sosial.

Manusia sebagai individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang


menyendiri, namun manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat. Manusia lahir, hidup berkembang dan meninggal dunia didalam
masyarakat.

Sebagai individu manusia tidak diba mencapai segala sesuatu yang


diinginkannya dengan mudah.

Contohnya, pak Tani baru dapat mengerjakan tanahnya setelah ia


mendapatkan, memperoleh alat-alat pertanian yang dibuat oleh pandai besi, pakayan
yang dipakainnya malah hasiil karya tukang jahit, tukang jahit tak bisa menghasilkan
pakaian kalau tak ada ahli tenun, atau pekerja pabrik yang mengusahakan bahannya
terlebih dahulu dan demikianlah seterusnya.

Lebih-lebih dalam jaman moderen ia tidaklah mungin bagi seorang untuk hidup
secara layak dan sempurnah tanpa bantuan dari atau kerja sama dari orang lain.

Tiap manusia mempunya sifat, watak dan kehendak sendiri-sendiri namun


dalam masyarakat manusia mengadakan hubungan satu sama lain, mengadakan
kerja sama tolong menolong, bantu membantu untuk memperoleh keperluan hidupnya

1
Tiap manusia mempunyai keperluan sendiri-sendiri, akan tetapi acap kali
kepentingan-kepentingan itu berlainan dan bahkan ada juga yang bertentangan,
sehingga dapat menimbulkan pertikaian yang ganggu keserasihan hidup bersama,
dalam hal ini orang atau golongan yang kuat menindas yang lemah untuk
menekankan kehendaknya

Apabila ketidak seimbangan masyarakt yang meningkat menjadi perselisihan


itu dibiarkan maka akan timbul perpecahan dalam masyarakat. Oleh karena itu dalam
masyarakat yang teratur harus memperhatikan kaedah-kaedah,norma-norma
ataupun peraturan-peraturan hidup tertentu yang ada dan hidup didalam masyarakat
dimana ia hidup.

Denagan sadar atau tidak sadar, manusia di penagruhi oleh peraturan-


peraturan hidup bersama yang mengekang hawa nafsu dan mengatur hubungan antar
manusia, peraturan-peraturan hidup itu memberi petunjuk perbuatan mana yang
boleh dijalankan dan mana yang harus dihindari.
Peraturan hidup itu memberi petunjuk kepada manusia ia harus bertingkah laku dan
bertindak didalam masyarakat, peraturan-peraturan hidup seperti ini disebut peraturan
hidup kemasyarakatan.

Peraturan hidup yang bersifat mengatur dan memaksa untuk menjamin tata
tertib di dalam masyarakat, di namakan Peraturan Hukum atau Kaedah Hukum.
Untuk dapat mengenal hukum itu kita harus dapat mengenal ciri-ciri hukum
yaitu :
a. adanya perintah dan atau larangan
b. perintah dan atau larangan itu harus dipatut oleh setiap orang.

Setiap orang wajib bertindak sedemikian rupa didalam masyarakat sehingga


tata tertib dalam masyarakat itu dapat terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh karena
itu hukum meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan mengatur hubungan
orang yang satu dengan yang lain yakni peraturan hidup masyarakat yang dinamakan
Kaedah Hukum.

Barangsiapa yang dengan sengaja melanggar sesuatu kaedah hukum akan


dikenakan Sanksi sebagai akibat pelanggaran kaedah hukum yang berupa
hukum. Hukumman atau pidana itu bermacam-macam jenisnya, yang menurut pasal
10 kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ialah:
a. Pidana Pokok, yang terdiri dari :
1) Pidana mati
2) Pidana penjara:
a) Seumur hidup
b) Sementara (setinggi-tingginya 20 tahun dan sekurang-kurangnya 1 tahun) atau
pidana penjara selama waktu tertentu
3) Pidana kurungan, sekurang-kurangnya satu hari dan setinggi-tingginya satu tahun
4) Pdana denda (sebagai pengganti hukuman kurungan)
5) Pidana tutupan

b. Pidana Tambahan, yang terdiri dari :


1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu

2
3. Pengumuman keputusan hakim.
Dengan demikin sangat penting sekali dibutukan Ilmu Kriminalistik dalam
menyelidiki kejahatan dengan menggunakan ilmu bantu yang lain, untuk menemukan
pelaku kejahatan. Demi terciptanya kelangsungan keseimbangan dan hubungan yang
baik antara anggota masyarakat itu.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pentingnya hukum pidana di dalam masyarakat ?


2. Bagaimana peran Kriminalistik terhadap hukum pidana dalam menemukan pelaku
kejahatan demi tercapainya ketentraman di dalam masyarakat ?

C. Tujuan Penulisan

Dari beberapa uraian dalam perumusan masalah yang telah di uraikan diatas,
maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pentingnya hukum pidana sebagai hukum positif yang mengatur
tata kehidupan didalam masyarakat
2. Untuk mengetahui peran Kriminalistik terhadap hukum pidana dalam dalam
menemukan pelaku kejahatan demi tercapainya ketentraman di dalam hidup
bermasyarakat

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bagaimana Pentingnnya Hukum Pidana Didalam Masyarakat

a) Pengertian
Hukum pidana yang dimaksud didalam bab ini adalah hukum pidana materil,
bukan hukum pidana formal, hukum pidana materil adalah peraturan atau norma
hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan apa yang dapat dipidana, siapa
yang dapat dipidana, dan apa macam-macam sanksi pidana yang dijatuhkan dengan
kata lain hukum pidana materil adalah keseliruhan peraturan atau hukum yang
mengatur perbuatan seseorang atau badan yang dilakukan dengan salah dan
melanggar hukum serta diancam dengan sanksi pidana. Sedangkan hukum pidana
formil adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tata cara
melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana matteril. Dengan kata lain hukum
acar pidana adal segalah peraturan hukum yang mengatur tintadan-tindakan aparatur
negara apabila diduga terjadi perbuatan pidana menurut hukum pidana materil.

Hukum pidana menurut Pompe adalah suatu peraturan hukum yang


menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana, dan
apakah macam-macam pidana itu.

Simon mendefenisikan hukum pidana adalah suatu perintah-perintah dan


larangan yang diadakan oleh negara yang diancam dengan hukuman pidana, barang
siapa yang tidak menaatinya, kesemua aturan itu menentuka syarat-syarat bagi akibat
hukum dan kesemuanya aturan-aturan untuk mejatuhkan dan menjalankan pidana
tersebut.

Van Hamel mengartikan hukum pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-
aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum
(rechtsorde), yaitu yang melanggar apa yang bertentangan dengan hukum dan
mengenakan suatu nestapa (sanksi) kepada yang melanggar larangan-larangan
tersebut. Sedangkan hukum pidana formil adalah (hukum acara pidana) menurut
simon, adalah hukum yang mengatur cara negara dengan perantaraan para
pejabatnya menggunakan haknya untuk memidana.

Van Bammelen mendefenisikan huum acar pidana mempelajari, peraturan-


peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran
undang-undang pidana.

Menurut Hazewinkel-Suringa, bahwa ius poenale (hukum pidana materil)


adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perinta atau

4
keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana (sanksi hukum)
bagi baranng siapa yang membuatnya.

a) Tujuan Hukum Pidana


Tujuan hukum pidana adalah mengatur masyarakat sedemikian rupa sehingga hak
dan kepentingan masyarakat itu terlindungi, dengan menjatuhkan sanksi pada orang-
orang atau badan yang perbuatannya membahayakan kepentingan orang lain atau
masyarakat, hukum pidana dapat menjaga ketertiban da keteraturan dalam
masyarakat. Apabila, masyarakat tertib dan teratur maka seluruh aktivitas masyarakat
menjadi tentram dan aman. Apabila masyarakat aman dan tentram, masyarakat bisa
bekerja dengan tenang sehingga dapat terciptanya tujuan hukum dan tujuan negara,
yakni menjadikan masyarakat yang adil makmur.

Akhir-akhir ini banyak yang tidak setuju dengan adanya hukuman mati. Mereka
mengajukan pendapat bahwa hanya Allah yang berhak mencabut nyawa orang, dan
agar huuman mati dihapuskan. Pendapat tersebut bukan tanpa resiko misalnya di
Sulawesi selatan (Bugis) ; jika seorang keluarga dibunuh maka semua keluarga besar
berkewajiban untuk membalasnya. Pembalasan yang dimaksut adalah dengan
membunuh si pembunuh. Demikianlah tindak pidana pembunuhan akan sangat sulit
dihindarkan jika orang yang yang mau melakukan pembunuhan mengetahui bahwa ia
tidak akan di hukum mati, kecermatan dengan akal jernih diperlukan untuk
mempertimbangkan penghapusa hukuman mati.

Tujuan penjatuhan hukuman dalam hukum pidana adalah untuk melindungi dan
memelihara ketertiban hukum guna mempertahankan keamanan dan ketertiban
masyarakat sebagai satu kesatuan (for thr public as a whole). Hukum pidana tidak
hanya melihat ppenderitaan korban atau penderitaan terpidanah (not only for the
person injured), tetapi melihat ketentraman masyarakat sebagai satu kesatuan yang
utuh.

b) Hukum Pidana didalam Masyarakat dan Perkembangan Sosial

Berbagai perubahan senantiasa terjadi, baik secara perlahan hingga hampir


luput dari peninjauan yang biasa, atau terjadi begitu cepat hingga sukar untuk
dinyatakan dengan pasti adanya lembaga lemasyarakatan yang menetap.

Demikian juga masyarakat, seiring dengan kemajuan yang dialami masyarakat


dalam berbagai bidang, bertambah juga peraturan-peraturan hukum. Penambahan
peraturan hukum itu tidak dapat di cegah karena masyarakat berharap dengan
bertambahnya peraturan tersebut, kehidupan dan keamanan bertambah.

5
Sebagaimana diketahui, bahwa maksud dan tujuan tiap-tiap macam-macam
hukum ialah untuk melindungi kepentingan orang-orang dalam masyarrakat, didalam
lingkungan suatu negara, apabila huku pidana itu dilaksanakan maka itu berarti
kepribadian seseorang yang dikenakan hukuman tadi telah dilanggar, misalnya orang
dijatuhi hukuman mati berarti hak-hak dirampas sebagai warga negara dirampas oleh
negara.

Perkembangan dan perubahan suatu masyarakat di dunia ini merupakan suatu


hal yang normal, justru dikatakan tidak normal jika tidak terjadi perubahan. Demikian
juga dalam hukum; hukum yang digunakan oleh suatu bangsa merupakan
pencerminan dari kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan. Dengan
memperhatikan karakteristik suatu hukum yang beraku dallam suatu masyarakat akan
terlihat pula karakter sosial masyarakat tersebut. Hukum sebagai tatanan kehidupan
yang megatur lalu lintas pergaulan masyarakat dengan segala peran dan fungsinya
akan ikut berubah mengikuti perubahan sosial yang melingkupinya. Cepat atau lambat
perkembangan dan perubahan hukum dalam suatu masyarakat sangat tergantung
kepada dinamika hukum itu sendiri. Apabila masyarakat dalam kehidupan sosial
berubah dengan cepat maka perubahan hukum akan berubah pula dengan cepat,
tetapi apabila perubahan dan perkembangan itu terjadi sangat lambat maka hukum
pun akan berubah secara lambat mengikuti perubahan dan perkembangan sosial
dalam masyarakat.

Perubahan dan perkembangan sosial dalam kehidupan masyarakat akan


membawah konsekuwensi pada perubahan hukum dalam berbagai aspek kehidupan
karena berbagai aspek tersebut saling kait mengait satu sama lain.

Perubahan dan perkembangan sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat


meniscayakan terjadi perubahan konsepsi mengenai kejahatan dan hukum pidana.
Karena hukum pidana sendiri merupakan satu sarana untuk menanggulangi
kejahatan, sementara kejahatan itu sendiri merupakan imbas dari perubahan dan
perkembangan sosial.

Kehadiran hukum pidana dengan segala konsep dan karakteristiknya,


hakikatnya merupakan respon terhadap berbagai fenomena sosial deskruktif yang
terjadi dalam suatu masyarakat. Masyarakat akan berada didalam
kondisi Disorder jika tidak “dijaga” oleh hukum pidana. Oleh sebab itu berbagai
fenomena deskruktif tersebut hendaknya di antisipasi oleh hukum pidana melalui
serangkaian tindakan-tindakan preventif melalui pelarangan suatu perbuatan sebagai
perbuatan pidana dan tindakan-tindakan represif dalam bentuk fungsionalisasi hukum
oleh aparat penegak hukum guna menyelesaikan fenomena sosial deskruktif diatas
yang merupakan akibat langsung dari perubahan dan perkembangan sosial.

6
Semakin cepat perubahan dan perkembangan sosial dalam suatu masyarakat
dengan segala implikasi negatifnya, maka kehadiran hukum pidana dituntut untuk
semakin canggih didalam merespon hal itu. Hukum pidan akan dirasa tidak memiliki
manfaat yang tidak berarti jika ia hanyan berkutat dengan konsep asas dan teori yang
di buat untuk menanggulangi berbagai fenomena deskruktif masa lalu. Hukum pidana
juga dirasakan ketinggalan dibelakang perubahan dan perkembangaan sosial masa
kini yang memuat antisipasi hukum (pidana) yang memadai. Perubahan dan
perkembangan sosial khususnya dibidang teknologi informas dan ekonomi dengan
segala sisi gelapnya yang kkemudian melahirkan berbagai jenis
dan modus operandi kejahatan baru dan kompleks, harus diimbangi dengan upaya
preventif dan represif guna menanggulangi kejahatan tersebut.

Perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat dapat terjadi oleh


bermacam-macam sebab. Sebab-sebab tersebut dapat berasal dari masyarakat itu
sendiri sebab-sebab dari dalam (interen) maupun di luar masyarakat itu sendiri
(eksteren), sebagai sebab-sebab interen antara lain dapat disebutkan, misalnya
pertambahan penduduk atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru,
pertentangan (conflict) atau mungkin karena terjadinyya suatu revolusi. Sebab-sebab
eksternal dapat mencakup sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik,
pengaruh kebudayaan masyarakat lain, peperangan dan seterusnya. Suatu
perubahan sosial akan terjadi apabila suatu masyarakat akan sering mengadakan
kontak dengan masyarakat lain atau telah mempunyai sistim pendidikan yang maju
sistim lapisan sosial yang terbuka penduduk yang heterogen serta ketidak puasan
masyarakat terhadap bidang pendidikan tertentu dapat pula memperlancar terjadinya
perubahan-perubahan sosial tersebut, sudah tentu disamping faktor-faktor yang
memperlancar perubahan sosial dapat pula di temukan fakto-faktor yang
memperhambat seperti sifat masyarakat yang mengagung-agungkan masa lampau
seperti tradisinalisme, adanya kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat
(vested interes), prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing, hambatan-
hambatan yang bersifat idiologis, dan seterusnya, fakto-faktor tersebut diatas sangat
mempengaruhi perubahan sosial beserta prosesnya.

Saluran-saluran yang dilalui oleh suatu perubahan sosial pada umumnya adalah
lembaga kemasyarakatan dibidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, dan
seterusnya. Lembaga kemasyarakatan merupakan titik tolak namun, tergantung pada
penilaian tertinggi yang diberikan oleh masyarakat terhadap masing-masing lembaga
kemasyarakatan tersebut.

Didalam proses perubahan hukum (terutama yang tertulis) pada umumnya


dikenal adanya tiga badan yang dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan
pembentuk hukum, badan-badan penegak hukum, dan badan-badan pelaksana

7
hukum. Adanya badan pembentuk hukum yang khusus adanya badan peradilan yang
menegakan hukum, serta badan-badan pelaksana yang menjalakan hukum,
merupakan ciri-ciri yang terdapat pada negara-negara moderen. Pada masyarakat
sederhana, ketiga fungsi tadi mungkin berada di suatu badan tertentu yang di
serahkan pada unit-unit terpenting dalam masyarakat seperti keluarga luas. Akan
tetapi, baik pada masyarakat moderen ataupun sederhana ketiga fungsi dijalankan
dan merupakan saluran-saluran melalui mana hukum mengalami perubahan-
perubahan.

Berdasarkan penjelasan diatas dapatlah disimpulkan bahwa perubahan dan


perkembangan sosial dan suatu masyarakat dengan segalah sisi positif dan
negatifnya meniscayakan kehadiran hukum pidana. Hukum pidana hadir sebagai
upaya menanggulangi sisi negatif perubahan dan perkembangan sosial tersebut.
Hukum pidana dianggap tidak memiliki signifikasi yang berarti jika mengahadapi
perubahan dan perkembangan sosial dalam suatu masyarakat masih berkutat dengan
kerangka berpikir yang di bangun berdasarkan kondisi masyarakat yang tidak begitu
banyak mengalami perubahan.

B. Bagaimana Peran Kriminalistik Terhadap Hukum Pidana Dalam Menemukan


Pelaku Kejahatan Demi Tercapainya Ketentraman Di Dalam Masyarakat

a. Pengertian
Secara Umum, kriminalistik adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana
cara untuk menemukan pelaku kejahatan didalam masyarakat dengan
mempergunagakan ilmu bantun lain. Kriminalistik sangat berperan penting dalam
masalah tindak kejahatan, upaya-upaya yang dilakukakn dalam kriminalistik sangat
berdampak positif terhadap penegakan hukum pidana, dalam konteks penegakan
hukum pidana yang dimaksud adalah bagaimana terciptanya cita-cita hukum yang
terdapat didalam Mukadimmah Konstitusi (UUD NRI 1945). Yaitu memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melasanakan
ketertiban dunia. Untuk itu peran kriminalistik dalam hukum pidana demi menegakan
cita-cita Konstitusi 1945 itu sangat signifikan.

b. Makna Kejahatan dalam Prespektif Masyarakat


kejahatan dalam kehidupan masyarakat bangsa dan negara tetap menjadi
masalah besar dalam upaya penegakan hukum suatu negara hukum. Penegakan
hukum17 pada hakikatnya akan bergunah untuk “memulihkan” kembali keamanan dan
ketertiban masyarakat yang sempat terganggu agar terciptanya suatu kepastian
hukum. Namun makna kejahatan menjadi aktual sepanjang masa dari segi prespektif
warga masyarakat dan politik kriminal18 dari kebijakan pembangunan hukum sebagai
politik hukum19 oleh pemerintah yang berkuasa. Hal ini disebabkan adanya

8
pandangan yang berbeda dalam menyikapi kejahatan dalam suatu masalah sosial
dan hukum.

Ambil contoh jenis kejahatan semua lapisan umur dan strata seperti perjudian.
Berulang kali pihak berwajib menggrebek sarang perjudian, akan tetapi berulangkali
pula pekerjaan terlarang itu muncul kembali. Anehnya seringkali si bandar gede
adalah orang-orang yang sama. Kasus-kasus perjudian dengan omzet juataan rupiah
sampai miliaran di Jakarta, bandung, Medan, Surabaya dan sebagainya yang berhasil
digrebek oleh pihak kepolisian merupakan contoh nyata terjadi perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang yang sempat diekspos oleh media masa sampai saat
ini. Perbuatan mereka jelas sebagai kejahatan dalam tataran hukum positif. Anehnya
lagi siapa dalang utamma yang berdiri dibalik usaha perjudian itu belum berhasil
diungkapkan oleh pihak kepolisian, masyarakat menganggap bahwa kejahatan itu
sangat sulit diberantas oleh karena penegakan hukum hanya sebatas getorika dan
utopia saja.

Keadaan ini sering menjadi perbincangan warga masyarakat awam diwarung


kopi, pinggir jalan bahwa intelectual actor dari kejahatan perjudian tidak pernah
tertangkap atau kebal hukum, buktinya mereka ini tidak dapat di ajukan ke meja hijau.
Oleh aparat penegak hukum. Sementara itu, dalang utama alias sang bandar yang
menyelenggarakan perjudian tersebut, bisa saja hidup dengan enak dan mewah di
villanya sambil ditemani oleh gadis-gadis cantik tanpa sedikit pun dirinya merasah
bersalah telah merusak mentalitas bangsa yang telah bermimpih dengan mudah
dalam waktu singkat memperoleh kekayaan yang berlimpah. Hukum dalam
masyarakat tidak selalu berpihak pada rakyat kecil sehingga perlu ada suatu law
reform.

Bejo, pemungut pontong rokok jalanan ditengah hiruk piruk lalu lintas ibu kota
dengan menjinjing perlengkapan kerjanya, kelang buruk dan tongkat, penjepit
pungtung rokok hanya dapat berucap dalam hati melihat perilaku kelompok elit negeri
ini. “Enak, ya jadi orang kaya, kendati harta diperoleh dengan jalan haram!”. Prototipe
Bejo dan bejo lain kurang beruntung dalam meniti kehidupan keras ibukota hanya bisa
mengomel di dalam hati tanpa mampu berbuat lain untuk negeri yang suda carut
marut dengan pelanggaran hukum. Kendati pemerintah telah berganti baju dan lebih
demokratis katanya untuk kemakmuran rakyat. Namun realitasnya jauh panggang dari
api, akibat maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme.

Peraturan hukum/undang-undang, aparat penegak hukum atau “otak” para


pelaku kejahatan semakin licin untuk dapat meloloskan diri dari jeretan kejahatan dan
jangkauan tangan hamba-hamba hukum untuk segera mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Ada kriminolog yang penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan

9
hakim), harus lebih profesional dalam melakukan bidang tugasnya, yakni,
menangkap, memproses dan memidana para pelaku kejahatan tanpa pandang bulu.
Gunanya untuk mengantisipasi setiap tindakan penjahat yang semakin pintar dan
nekad, terutama pada kejahatan ekonomi. Perilaku kejahatan “kerah putih” ini pada
masa orde baru dan pasca revormasi menyebabkan bangsa dan negara ini berada
didalam krisis ekonomi yang tidak kunjung berakhir. Pembangunan nasional
mengalami hambatan dalam mencapai mesyarakat adil dan makmur menurut UUD
1945.

Para pelaku kejahatan kii sangat licin dalam melakukan kejahatan. Bagaikan
belut mereka itu dengan muda meloloskan diri dengan menggunakan trik-trik baru
kejahatan, siapa bisa bilang teknologi hanya bisa bermanfaat bagi kemajuan hidup
umat manusia, akan tetapi ia juga dapat bermanfaat untuk kejahatan “Teknologi
Kejahatan”. Pada dekade kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi digital dewasa
ini. Teknologi digital telah merebah kemana-mana tanpa ada batas-batas negara yang
menyebabkan berkembang pasat berbagai bentuk kemajuan
masyarakat.21 meskipun harus diakui bahwa jenis kejahatan ini di prediksi oleh para
kriminolg sejak abad ke-19 dan bakal berkembang pada masa yang akan datang
abad ke 20 sampai 21. Edwin Harlin Sutherand, menyebutnya “white collar
crime”22 yakni kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang kalangan sosial ekonomi
tingkat atas (elite) yang memiliki kedudukan, jabatan, pendidikan, dan intelektual tinggi
dengan teknik canggih.

Jenis kejahatan yang disebut “white collar krime” merupakan lawan dari
kejahatan orang awam atau the blue collar crime” yaitu kejahatan yang sering
dilakukan oleh penjahat kelas teri sampai mencir ayam, menjambret, menodong,
mencopet, dan semacamnya. Kejahat ini dilakukan orang-orang awam dengan status
ekonomi rendah sebagai tindak pidana biasa. Kejahatan tersebut tidak memerlukan
keahlian khusus yang dapat dilakukan oleh siapa saja asal ada niat dankesempatan.
Kejahatan ada dalam segenap kehidupan masyarakat sebagai bentuk
pembangkan (defiance) dan memerlukan pengawasan ketat (tight control) melalui
penegakan hukum oleh aparat penegak hukum itu sendiri.

c. Pentingnya Ilmu Bantu Dalam Kriminalistik


Alat bukti sah untuk membuktikkan kebenaran materil tersangka/terdakwa
bersalah atau tidak bersalah. Bagi apart penegak huku baik polisi, jaksa, maupun
hakim akan muda membuktikan kebenaran materil bila saksi dapat menunjukan bukti
kesalahan tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidan dan tersangka atau
terdakwa mengaku bukti tersebut yang digunakan atau bukti tersebut sebagai hasil
tindak pidana dalam melakukan tindak ppidana tersebut yang digunakan atau
buktitersebut sebagai hasil tindak pidana dalam melakukan tindak pidana tersebut.
Tetapi hal ini akan sulit untuk membuktikan kebenaran materi, bila saksi tidak dapat
menunjukann bukti permulaan tindak pidana yang dilakukan tersangka atau terdakwa.
Bukti-bukti yang ditemukan ditempat kejadian, saksi tidak dapat menunjukan bahwa
bukti tersebut yang digunakan atau milik korban atau saksi yang diambil oleh
tersangka atau terdakwa. Sedangkan sebagian warga mencurigai si A yang

10
melakukan tindak pidana tersebut tanpa adanya bukti yang menunjukan bahwa
tersangka atau terdakwa tersebut sebagai pelaku tindak pidana.

Dalam menghadapi kasus tindak pidana yang tidak didukung dengan alat
bukti sah minimal dua alat bukti sah untuk membuktikan bersalah atau tidak bersalah
tersangka / terdakwa, maka aparat penegak hukum sulit membuktikaan bersalah atau
tidak bersalah tersangka atau terdakwa. Pada zaman dahulu bila menemui kasus
tindak pidana yang tidak didukung oleh alat bukti sah tetapi warga mencurigai atau
menuduh si A sebagai pelaku tindak pidana, maka aparat penegak hukum yang telah
ditunjuk oleh masyarakat untuk membuktikan bersalah atau tidak bersalah tersangka
atau terdakwa dengan melakukan beberapa ritual yang dipercaya oleh masyarakat,
jika berhasil diselesaikan menunjukan ketidakberdosaan tersangka atau terdakwa dari
tuntutan pidana. Misalnya: dengan siksaan api, menyuruh tersangka atau terdakwa
berjaalan diatas bara api, atau mengambil ujung besi yang panas tanpa terbakar,
siksaan yang lain yakni merendamkan tersang atau terdakwa di air panas, bila tidak
bersalah maka lengannya tidak luka bakar, atau melempar tersangka atau terdakwa
ke air kolam, dengan memberikan kesempatan kepada tersangka atau terdakwa
membuktikan bahwa ia tidak bersalah ia mengambang tanpa berenang, jika ia
bersalah ia tidak dapat mengambang. Ada juga cara tersangka atau terdakwa disuruh
bertarung sampai mati, baik dengan orang yang tunjuk atau binatan. Bila tersangka
atau terdakwa menang maka ia tidak bersalah. Ada juga yang menentukan bersalah
atau tidak bersalah setelah,endapatkan keterangan dari toko masyarakat yang
dipercaya kejujuran tersangka atau terdakwa tidak bersalah.

Selanjutnya perkembangan pembuktian bersalah atau tidak bersalah


tersangka atau terdakwa, aparat penegak hukum lebih mengutamakan pada
pengakuan tersangka atau terdakwa. Pembuktian tersebut, aparat penegak hukum
mengambil jalan pintas dengan melakukan penganiayaan dan penyiksaan bagi
tersangka atau terdakwa. Tersangka atau terdakwa dipaksa mengaku ia yang
melakukan perbuatan tindak pidana, penyiksaan tetap dilakukan bila tersangka atau
terdakwa tidak mengakui perbuatan tindak pidananya. Pemeriksaan dengan
pembuktian yang lebih menekankan pada pengakuan tersangka atau terdakwa
dengan cara penganiayaan dan penyiksaan tersebut mendapat protes dan kecaman
dari seluruh masyarakat internasional, karena perbuatan penganiayaan dan
penyiksaan tersebut merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang harus
mendapat jaminan dan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia, bagi aparat
penegak hukum yang menggunakan cara pembuktian dengan penganiayaan dan
penyiksaan untuk memaksa tersangka atau terdakwa mengakui bahwa ia sebagai
pelaku tindak pidana, mendapat sanksi pidana dengan dakwaan melanggar Hak Asasi
Manusia (HAM) berat.

11
Dengan adanya perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka atau
terdakwa dalam pasal 50 sampai pasal 68 UU No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara
pidana (KUHAP) dan pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana
(KUHAP) yang hanya mencantumkan keterangan terdakwa bukan pengakuan
terdakwa. Apalagi dalam pasal 189 ayat 3 (KUHAP) menyebutkan keterangan
terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri dan ayat 4 keterangan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti
yang lain. Dalam membuktikan kebenaran materil terhadap bersalah dan tidak
bersalah tersangka atau terdakwa dalam memberikan keyakinan kepada hakim,
hanya dengan cara pembuktian ilmiah berdasarkan keahlian disiplin ilmu yang dikenal
dengan istilah Forensik. Pembuktian dengan menggunakanforensik ini pada semua
negara maju telah berkembang dan digunakan sebagai alat bukti has utama dalam
memberikan keyakinan hakim, walaupun tersangka atau terdakwa bersikap diam atau
membisu atau tidak mengakui perbuatannya.

d. Kaitan Forensik Denga Hukum Pidana Formil (KUHAP)


Dengan telah diberlakukannya kitab undang-undang hukum pidana KUHAP
tanggal 31 desember 1981, terdapat berbagai perubahan khususnya yang
berhubungan dengan keterangan ahli, dimana dalam kitab undang-undang hukum
acara pidana tidak ada lagi disebut-sebut saksi ahli yang ada adalah keterangan ahli.

Dibawah ini akan ditemukan pasal-pasal dalam kitab undang-undang hukum


acara pidana yang berhubungan dengan kedokteran forensik: pasal 6 ayat
1 penyidik
adalah (a) pejabat polisi negara republik indonesia, (b) pejabat pegawai negeri sipil
yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang ayat 2 syarat kepangkatan
pejabat sebagaimana dimaksut dalam ayat 1 akan diatur lebih lanjut didalam
peraturan pemerintah, dengan atau 2 kedudukan dan perangkat penyidik diatur
didalam peraturan pemerintah di selenggarakan dan diseimbangkan dengan
kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum. Pasal 7
(1) penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 1 huruf a. Karena
kewajibannya mempunyai wewenang: (a). Menerima laporan dan pengaduan dan
seseorang tentang adanya tindak pidana; (b). Melakukan tindak pertama pada saat
dikejadian; (c). Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka; (d). Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan; (e). Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; (f). Mengambil sidik jari
dan memotret seorang; (g). Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi; (h). Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan
dengan pemeriksaan perkara; (i). Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggujawab. ayat 2 penyidikan sebagaimana dimaksut dalam pasal 6 ayat 1 huruf

12
(b) mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah
koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat ² huruf a. Ayat 3
dalam melaksanakan tugasnya yang dimaksut dalam ayat 1 dan ayat 92, penyidik
wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Dengan penjelasan ayat 1 huruf i, dalam
hal pemberitahuan oleh penyidik tersebut sebagaimana dimaksut dalam pasal 6 ayat
(1) huruf b dilakukakan oleh penyidik pada pasal 6 ayat 1 huruf a. Ayat 1 huruf j, yang
dimaksud dengan tindakan lain adalah tindakan dari penyidik untuk kepentinga
penyidikan dengan syarat: (a). Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; (b)
selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan
jabatan; (c) tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkup
jabatannya; (d) atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; (e)
menghormati hak asasi manusia. Ayat 2 yang dimaksud dengan penyidik adalah
misalnya pejabat bea dan cukai, pejabat imigrasi, pejabat kehutanan yang melakukan
tugas penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-
undang yang dasar hukumnya masing-masing.

Sumpah atau Janji. Pasal 76 ayat 1 dalam hal ini yang berdasarkan ketentuan
dalam undang-undang ini diharuskan adanya pengambilan sumpah atau janji yang
berlaku, baik mengenai tata caranya. Ayat 2 apabila ketentuan sebagaimana dimaksut
dalam ayat 1 tidak dipenuhi maka sumpah atau janji tersebut batal menurut hukum.
Pasal 108 ayat 1 setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, atau menjadi
korban peristiwa yanh merupakan tindak piadana berhak mengjukan laporan atau
pengaduan kepada penyidik baik lisan maupun tulisan. Ayat 2 setiap orang yang
mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap
ketentraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib
seketika itu juga melaporkan melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau
penyidik. Ayat 3 setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang
mengetahui tentang kejadian peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera
melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik. Ayat 4 laporan atau pengaduan
yang di ajukan secara tertulis harus di tanda tangani oleh pelapor atau pengadu. Ayat
5 laporan atau pengaduan yand disampaikan secara lisan harus dicatat oleh penyidik
dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik. Ayat 6 setelah menerima
laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda
penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.

Pasal 120 ayat 1 dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta
pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Ayat 2 ahli tersebut
mengangkat sumpah atau mengucap janji di hadapan penyidik bahwa ia akan
memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali yang
disebabkan karena harkat dan martabat pekerjaan atau jabatan yang mewajibkan ia

13
menutupinya dan menyimpan rahasia, dapat menolak untuk diminta keterangan yang
diminta . pasal 133 ayat 1 dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan mengenai
seorang korban baik luka, keracunan atau pun mati yang di duga karena peristiwa
yang merupakan tindak pidana ia berwenang mengajukan keterangan permintaan ahli
kepada ahli kedokteran kehakiman, atau dokter atau ahli lainnya. Ayat 2 permintaan
keterangan ahli sebagaiman dimaksud dalam ayat 1 dilakukan secara tertulis, yang
dalam surat itu di sebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan mayat atau pemeriksaan
bedah mayat. Ayat 3 mayat yang dikirim pada ahli kedokteran kehakiman atau dokter
pada rumah sakit harus di perlakukan secara baik bengan penuh penghormatan
kepada mayat tersebut dan memberi lebel identitas kepada mayat tersebut dilakukan
dengan memberi cap jabatan yang diletakan pada ibu jari kaki atau bagian lain mayat.
Dengan penjelasan ayat 2, keterangan yang diberikan ahli kedokteran kehakman
disebut keterangan ahli, sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli
kedokteran kehaliman adalah keterangan.

Pada pasal 134 ayat 1 dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan
pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi di hindari, penyidik penyidik wajib
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. Ayat 2 dalam hal keluarga
keberatan penyidik wajib menjelaskan denga sejelas-jelasnya tentang maksud dan
tujuan perlu dilakukan pembedaan tersebut. Ayat 3 apabila dalam waktu 2 hari tidak
ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak
ditemukan, penyidik segera melakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 133 ayat 3 undang-undang ini. Pasal 135, dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilaksanakan menurut ketentuan
sebagaimana dimaksud pasal 133 ayat 2 dan pasal 134 ayat 1 undang-undang ini,
dengan penjelasan yang dimaksud dengan penggalian mayat dari semua jenis tempat
dan jenis penguburan. Pasal 136, semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam bagian kedua Bab XIV di tanggung oleh
negara. Pasal 162 ayat 1 jika saksi sesuda memberi keterangan dalam penyidikan
meninggal dunia atau karena halangan dan tidak dapat hadir di sidang atau tidak
dipanggil karena jauh tempat kediamanya atau tempat tinggalnya atau karena sebab
lain yang berhubungan dengan kepentingan negara maka keterangan yang di
berikanya itu di bacakan. Ayat 2 jika keterangan ini sebelumnya telah diberikan
dibawah sumpah, maka keterangan ini disamakan denag keteranga ahli dibawah
sumpah yang di ucapkan disidang.

Pasal 170 ayat 1 mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau
jabatannya dapat diwajibkan untuk menyimpan rahasia, dapat di minta untuk tidak
memberikan keterangannya sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan
kepada mereka. Ayat 2 hakim menentukan sah atau tidaknya segalah alasan untuk
permintaan tersebut. Dengan penjelasan ayat 1 pekerjaan atau jabatan menentukan

14
adanya kewajiban untuk menimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan. Ayat 2 jika tidak ada keterangan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pekerjaan dan jabatan yang dimaksud, maka seperti yang
ditentukan oleh ayat ini, hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang di
ajukan untuk mendapatkan kebebasan tersebut. Pasal 179 ayat 1 setiap orang
dimintai pendapat sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya
wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Ayat 2 semua ketentua tersebut
diatas untuk saksi berlaku bagi mereka juga yang memberikan keterangan ahli,
dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah dan janji akan
memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan sebenarnya menurut pengetahuan
dalam bidang keilmuannya. Pasal 180 ayat 1 dalam hal diperlukan untuk
menjernihkan dudukanya persoalan yang timbul disidang pengadilan, hakim ketua
sidang dapat meminta keterangan ahli dan dapat pula agar diajukan bahan oleh yang
berkepentingan. Ayat 2 dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau
penasihat hukum terdapat hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
hakim meminta agar hal itu di adakan penelitian ulang. Ayat 3 hakim karena jabatanya
dapat memrintahkan untuk dilakukan penelitian ulang sebagaimana dimaksud ayat 2.
Ayat 4 penelitian ulang sebagaiman dimaksud ayat 2 dan ayat 3 dilakukan oleh
instansi semula denga komposisi porsenil yang berbeda dan instansi lain yang
mempunya wewenang untuk itu. Pasal 184 ayat 1 alat bukti yang sah ialah : (a).
Keterangan saksi; (b). Keterangan ahli; (c) surat; (d) petunjuk; (e) keterangan
terdakwa. Ayat 2 hal yang secara umum di ketahui tidak perlu dilakukan. Dengan
penjelasan dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu
alat bukti sah.

Pasal 185 ayat 1, 3, 4, 5, 6, dan 7. Pasal 186, pasal 187 ayat 1, pasal 188 ayat
1, 2, dan 3.

Sesuai penjelasa diatas, saya dapat menarik kesimpulan bahwa, dalam hal
eksistensi ilmu forensik di dalam hukum pidana materi sangat memberikan ruang
untuk bagaimana ilmu-ilmu bantu yang terdapat didalam kriminalistik itu diterapkan
dan di fungsikan untuk bagaimana dapat berusaha dalam upya penegak hukum atau
polisi, jaksa, dan hakim untuk bisa dapat dengan muda membangun komunikasi
sambung nalar ilmu pengetahuan dalam menemukan pelaku tindak pidana. Dengan
demikian kehadiran ilmu forensik sangat di apresiasikan secara legal formal di dalam
hukum pidana khususnya hukum pidana formil (KUHAP).

e. Macam-Macam Ilmu Bantu Dalam Kriminalistik


1. Medicine Forensik
2. Fisika Forensik
3. Dokumen dan Uang Palsu
4. Balistik dan Metalurgi forensik

15
5. Pemotretan Photografie Forensik
6. Sidik jari (Daktiloskopi) Forensik
f. Contoh Kasus Pidana, Tabrak Lari

Seorang wanita yang sedang hamil enam bulan menjadi korban tabrak lari di Jl R
Suprapto Bukit Daeng, Mukakuning, seibeduk, Batam, Kepri, Sabtu (22/10/16) sekitar
pukul 06.00 WIB.
Wanita tersebut diketahui bernama Veni Marlina tewas setelah ditabrak mobil taksi
sedan warna kuning.
Korban sempat dilarikan ke Rumah Sakit Camantha Sahidiya, Mukakuning namun
nyawanya tidak tertolong sehingga dibawah ke marar jenaza RSUD Embung Fatimah
Batam di batuaji untuk divisum.
Informasi yang dapat di lapangan, kecelakaan maut tersebut terjadi saat warga
kavaling Sagulung Baru (Saguba) itu hendak berangkat ke tempat kerjanya di PT
Dynacast Indonesia di Mukakuning.
Namun saat melintas diturun bukut Daeng Mukakuning dari arah Batuaji, sepeda
motor di tabrak mobil taksi dari belakang.
Akibat tabrakan itu korban, terpental ke semak-semak pinggir jalan bersama sepeda
motornya dalam posisi terlantang. Korban mengalami luka serius di sekujur tubuhnya.
Sementara taksi yang di informasikan menabrak Veni kabur begitu saja. Sejumlah
pengendara yang melihat kejadian itu, mencoba mengejar taksi tersebut. Namun tak
berhasil karena taksi tersebut melaju cukup kencang melarikan diri kearah
Mukakuning. Warga hanya bisa menolong korban ke Rumah Sakit.
Taksinya kabur begitu saja kata orang yang di TKP. Tak tau harus mencari
pertanggungjawaban kemana lagi, ujar agus adik sepupu korban di kamar jenaza
RSUD.
Menurut Dokter ahli forensik RSUD Embung Fatimah dr Agung Hasdi, korban
meninggal dunia karena ada bekas luka disekujur tubuhnya mulai dari memar pada
pundak, luka lecet di pinggang dan derik tulang kepala bagian belakang.
Yang fatal itu benturan di bagian kepalanya, ujar dr Agung.

g. Tahap – Tahap Penaggulangan Kasus Tabrak Lari (HIT and RUN) Menurut
Ilmu Bantu Kriminalistik
Yang dimaksud denga kasus tabrak lari adalah, suatu kejadian tabrakan
dimana kenderaan yang menabrak melarikan diri dan berusaha menyembunyikan
identitasnya untuk menghindari tindakan hukum kepadanya.

1. Kemungkinan kejahatan
a. Setelah menabrak kenderaan tidak berhrnti dan pngemudinya akan melakukan hal-
hal sebagai berikut : (1) Melarikan kenderaan secepat mungkin; (2) berusaha
menghindari pengenalan kenderaan, misalnya dengan mematikan lampu; (3)
kenderaannya di bawah dan di tinggalkan di suatu tempat yang jauh dari tempat
kejadian, kemudian melaporkan bahwa kenderaannya dicir.

b. Setelah menabrak, kenderaan berhenti sejenak dan pengemudinya kemungkinan


akan melakukan hal-hal sebagai berikut : (1) menyingkirkan korban dan

16
menyembunyikannya; (2) mengatur kecelakaan sendiri, misalnya naik sepedah dan
jatuh didalam selokan.

Dalam hal demikian mungkin akan tinggal bekas-bekas dari pengemudi di tempat
kejadian seperti sidik jari pengemudi pada badan korban dan benda-benda lainnya.

2. Tanda-tanda dari kenderaan yang baru menabrak


Tanda-tanda sebagai berikut dapat di perhatikan oleh petugas dijalan, untuk
segerah dapat diambil tindakan bila kenderaan tersebut mecurigakan : (a) lari dengan
kecepatan tinggi; (b) lampu dan kaca-kaca kemungkinan ada yang pecah; (c) matikan
lampu pada malam hari; (d) badan kenderaan penyot dan sebagainya; (e) terdapat
goresan dan bekas cat dengan warna lain dari pada warna kenderaan.

3. Tindakan pertama pada korban manusia


Setelah memberi tanda lokasi korban (dengan kapur dan sebagainya) segera
membawah korna ke Rumah Sakit atau dokter terdekat untuk segerah mendapatkan
pertolongan : (a) bila korban meninggal harus di mintai visum et repertum jenazah; (b)
bila korban masih hidup dapat dimintakan visum et repertum sementara (lihat JUKNIS
kedokteran kehakiman).

4. Pencarian barang bukti


Barang bukti pada kasus tabrak lari dicari pada beberapa objek sebagai berikut :

a) Di sekitar tempat kejadian. Bekas dan (dalam bentuk impression atau print), bekas
rem (pengerem) pada jalan, pecahan kaca, pecahan cat dan sebagainya.
b) Pada korban manusia, pada baju korban bekas, ban, bekas pakayan yang tersobek,
darah, pecaahan-pecahan cat, contoh rambut korban, dokumen-dokumen mengenai
identitas korban dan sebagainya.
c) Pada kenderaan korban yang terbakar, bekas cat kenderaan yang menabrak,
pecahaan kaca, bagian kenderaan mungkin ada yang sobek, atau patah, sidik jari
pengemudi kenderaan tersangka.
d) Pada kenderaan tersangka yang menabrak, bekas cat kenderaan yang tertabrak,
pecahan kaca kenderaan korban, dan bagian kenderaan kordan yang tersobek atau
patah, sobekan serat baju korban, rambut korban, perikan darah korban, dan
kenderaan tersangka bagian-bagian kenderaan tersangka yang rusak, mark (tanda)
pada bagian kendaraan yang menabrak.
5. Pengumpulan barang bukti
Sebelum barang bukti dikumpulkan terlebih dahulu harus membuat skets
tempat kejadian secara lengkap. Posisi barang bukti harus terlihat dalam skets secara
jelas dalam skets tersebut. Demikian pula harus dilakukakn pemotretan pada semua
objek,. Setelah itu harus dilakukan pengumpulan barang bukti sebagai berikut : (a)
barang bukti tidak boleh dicampur satu sama lain; (b) setiap jenis barang bukti
dimasukan dalam wadah; (c) barang bukti yang tidak bisa di ambil dapat di periksa
langsung ditempat kejadian.

17
6. Pengamanan barang bukti
Barang bukti setelah dikumpulkan dapat dilakukan pengamana sebagai berikut :
a. Pecahan cat : (1) pecahan cat bukti harus dipisahkan antara cat kenderaan korban
dan cat kenderaan tersangka, (2) demikian pula contoh cat bandingan yang diambil
dari kenderaan harus dipisahkan; (3) kemudian masing-masing dimasuka di wadah
tersendiri.

b. Pecahan kaca, pecahan kaca sedapat mungkin dipisahkan menurut alatnya


masing-masing jenis dimasukan dalam wadah tersendiri.

c. Pakaian korban, pakaian korban yang tersobek harus dipisahkan dari sobeknya
atau seratnya yang menempel pada kenderaan tersangka

d. Darah : (1) darah korban harus di pisahkan dari percikan darah yang terdapat pada
kenderaan tersangka.(2) dara segar dimasukan dalam botol sendiri dan diberi zat
pengawet (lihat JUKNIS KIMIA KEHAKIMAN)

e. Sidik jari: sidik jari harus diambil dan diperiksan oleh ahli doktileskopi dari
identifikasi.

f. Jejak ban : (1) jejak ban dalam bentuk impression harus dibuat tuangannya; (2) jejak
dalam bentuk print cukup dipotret tegak lurus dengan memakai skala.

g. Mark (Tanda) : Mark (tanda) yang terdapat pada bagian kenderaan yang
bertabrakan dapat diperiksa llangsung oleh pemeriksaan ahli pada kenderaannya.

Dari tahap-tahap di atas merupakan tahapan dalam mengungkap pelaku


kejahatan Tabrak Lari dengan menggunakan pendekatan kriminalistik dalam hal ini,
ilmu bantu lain yang di butuhkan dalam mengungkap kasus tersbut. Peran kriminalistik
sangat penting sekali dalam mengungkapkan kasus tabrak lari tersebut yang sampai
sekarang pihak kepolisian belum menemukan pelaku tersebut, untuk itu dengan
hadirnya ilmu kriminallistik sangat membantu pihak kepolisian dalam mengungkap
pelaku tabrak lari.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada dasarnya setiap manusia itu menghendaki untuk hidup bersama dalam
hal ini manusia merupakan mahluk Zoon Politicon yang pada hakikatnya manusia itu
tidak bisa hidup sendiri, manusia itu berkehendak untuk membentuk
sebuah kelompok dalam masyarakat, dari sinilah lahirlah norma-norma dari
masyarakat itu untuk mengatur tatanan hidup bersama bersama, kerena dalam
sejarah perkembangan manusia dalam kelompok sosial itu pasti ada masalah yang
dialaminya entah itu kejahatan, pelanggaran, pembunuhan pemerkosaan, dan
masalah lainnya, untuk itu sangat di butukan suatu aturan untuk mengatur kehidupan
bersama,
Aturan yang dimaksud di sini adalah atauran yang sifatnya mengikat secara
universal, untuk itu lahirlah hukum pidana sebagai aturan yang universal yang bersifat
mengikat dan bersifat mengikat dan memaksa untuk tidak melakukan perbuatan yang
melanggat kesusilaan dan ketentraman didalam kelompok masyarakat,
Hadirnya krimininalistik sebagai ilmu bantu dalam hukum pidana dalam upaya
mewujudkan cita-cita hukum. Kriminalistik adalah, upaya yang dilakukan berupa
teknik dan taktik dalam menemukan peleku kejahatan.
Kriminalistik memberikan ruang yang sebesar-besarnya kepada ilmu lain
untuk, menjadi ilmu yang bantuk dalam kriminalistik, artinya ilmu bantu yang dimaksud
disini adalah ilmu-ilmu Medicine Forensik, Fisika Forensik, Dokumen dan Uang Palsu,
Balistik dan Metalurgi forensik, Pemotretan Photografie Forensik, Sidik jari
(Daktiloskopi) Forensik. Ilmu-ilmu ini sangat berperan penting dalam upaya
menemukan pelaku kejahatan.

B. Saran

Saran saya, dengann hadirnya ilmu bantu dalam hukum pidana, dalam hal ini
Kriminalistik, sangat membantu penegak hukum dalam proses penyilidikan ataupun
penyidikan, terhadap kejahatan-kejahatan yang semakin hari semakin kerkembang
pasat, kearah yang Ekstra Ordinari Crime (kejahatan luar biasa).
Kejahatan Tabrak Lari (Hit and Run) yang terjadi pada seorang wanita yang
sedang hamil, merupakan sebuah kejahatan yang sampai sekarang penegak hukum
dalam hal ini, pihak kepolisian belum menemukan pelakunya. Untuk itu dengan
hadirnya keriminalistik sebagai ilmu bantu dalam menemukan pelaku kejahatan
sangatlah signifikan, dengan demikian pihak penyelidik atau pun penyidik harus
mampu memenemukan pelaku dari kejahatan yang tidak bertanggung jawab ini demi,
terciptanya cita-cita hukum.

19
Daftar Pustaka

Andi hanza. 1994 Asas-Aasas Hukum Pidana. Aneka Cipta. Jakarta.hlm 3


Albert K. Cohen, Deviance and Control, (New Jersey: Prentice Hall, Inc,
Englewood Chiliftts, 1966), hlm.5.
Dr. H. R. ABDUSSALAM, SIK, S.H, M.H. FORENSIK, Restu Agung,
Jakarta, 2006, hlm. 1- 4.
Dr. H. R. ABDUSSALAM, SIK, S.H, M.H. FORENSIK, Restu Agung,
Jakarta, 2006, hlm. 11- 18.
Dr. H. R. ABDUSSALAM, SIK, S.H, M.H. FORENSIK, Restu Agung,
Jakarta, 2006, hlm. 80.
Edwin H. Suthernald, White Collar Crime, Thent Edition, Holt, (New
York: Rinehart & Winston, 1961), hlm.419
Edwin H. Suthernald, White Collar Crime, Thent Edition, Holt, (New
York: Rinehart & Winston, 1961), hlm.419
“Geoffrey Sawer, Law In Society, Fist Publication, (Oxford, London: The
Clarendon Press), hlm. 128.
Hassan Sadily, Sosiologi Untuk masyarakat Indonesia, Jakarta:
Pembangunan, hlm.273,1958
Moelyanto. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Aneka Cipta. Jakarta. Hlm. 7
Mahrus Ali, SH., M.H. Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafik,
2011, hlm. 237.
Mahrus Ali, SH., M.H. Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafik,
2011, hlm. 237.
Prof. Drs. C.S.T. Kansil, SH. 1977. Pengantar Ilmu Hukum jilid 1. Balai
Pustaka. Jakarta. Hlm 3-8.
R. Sudarto, Pembaharuan hukum pidana di Indonesia, Makalah,
Simposium Pembaharuan Hukum Nasional, (Jakarta: BPHN Depkeh RI dan Bina
Cipta, 1980), hlm. 35.
R. Sudarto, Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik, Jurnal, Masalah-
Masalah Hukum, Edisi Khusus, Tahun XVII, (Semarang: FH Undip,
1987), hlm. 44.
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakrta, PT. Raja
Grafindo Persada, 2012, hlm. 112
Satjpto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan
Sosiologis, BPHN Depkeh RI dan Sinar baru, Bandung, hlm. 24.
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakrta, PT. Raja
Grafindo Persada, 2012, hlm. 112

20
Teguh Sulistia, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) Dampak
Perkembangan Teknologi Informasi “Dunia Maya”, Jurnal, Forum Hukum, Vol.1
No.3, (Jakarta: Diskumal TNI AL, 2004), hlm.39.
Umar Said Sugiarto, SH. M.S. 2013. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta.
Sinar Garfik.hlm 234-235

21

Anda mungkin juga menyukai