Anda di halaman 1dari 38

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2
DAFTAR TABEL 4
DAFTAR GAMBAR 5

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 6
1.2 Rumusan Masalah 7
1.3 Tujuan dan Sasaran 7
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
1.4.1 Ruang Lingkup Materi 8
1.4.2 Ruang Lingkup Wilayah 8
1.4.3 Ruang Lingkup Waktu 9
1.5 Metodologi Penelitian
1.5.1 Metpda Pengumpulan Data 9
1.5.2 Metoda Analisis Data 9
1.6 Sistematika Penulisan 9

BAB II DASAR TEORI


2.1 Teori Urban Farming
2.1.1 Definisi Urban Farming 11
2.1.2 Manfaat Urban Farming 12
2.2 Teori Pangan
2.2.1 Definisi Ketahanan Pangan 13
2.2.2 Kualitas Pangan 14
2.3 Teori Lahan Bangunan
2.3.1 Klasifikasi Bangunan 15
2.3.2 Definisi Bangunan 15
2.3.3 Definisi Rumah Tinggal 15

2
2.4 Teori Lahan Produktif
2.4.1 Lahan Produktif Berkelanjutan 16
2.5 Analisis Inferensial
2.5.1 Penggunaan Analisis Statistik Inferensial dengan Aplikasi SPSS
2.5.1.1 Penggunaan Uji Missing Values 18
2.5.1.2 Penggunaan Uji Normalitas 18
2.5.1.3 Penggunaan One sample T- Test 19
2.5.1.4 Penggunaan independent sample T-Test 20
2.5.1.5 Penggunaan Paired Sample T-Test 22

BAB III INPUT DAN ANALISIS DATA


3.1 Input Data 24
3.2 Analisis Output Data
3.2.1 Uji Missing Values
3.2.1.1 Uji Missing Values Luas Bangunan 25
3.2.1.2 Uji Missing Values Kualitas Pangan 25
3.2.2 Uji Normalitas
3.2.2.1 Uji Normalitas Luas Bangunan 26
3.2.2.2 Uji Normalitas Kualitas Pangan 28
3.2.1 Analisis Inferensi
3.2.1.1 Analisis Inferensi One Sample T Test 30
3.2.1.2 Analisis Inferensi Independent Samples T Test 31
3.2.1.3 Analisis Inferensi Parametrik Paired Samples T Test 33
3.3 Interpretasi Terhadap Bidang Perencanaan Wilayah dan Kota 34

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN


4.1 Kesimpulan 36
4.2 Saran
4.2.1 Saran terhadap Studi 37
4.2.2 Saran terhadap Praktikum 37

DAFTAR PUSTAKA 38

3
DAFTAR TABEL

Tabel 3.2.1.1.1 Uji Missing Value Luas Bangunan 25


Tabel 3.2.1.2.1 Uji Missing Value Kualitas Pangan 25
Tabel 3.2.2.1.1 Validasi Data Luas Bangunan 26
Tabel 3.2.2.1.2 Uji Normalitas Luas Bangunan 26
Tabel 3.2.2.2.1 Validasi Data Kualitas Pangan 28
Tabel 3.2.2.2.2 Uji Normalitas Kualitas Pangan 29
Tabel 3.2.1.1.1 One Sample Statistics Luas Bangunan 30
Tabel 3.2.1.1.2 One Sample Test Luas Bangunan 31
Tabel 3.2.1.2.1 Group Statistics Kualitas Pangan dan Sulit Pangan 31
Tabel 3.2.1.2.2 Independent Samples Test Kualitas Pangan dan 32
Sulit Pangan
Tabel 3.2.1.3.1 Paired Samples Statistics Luas Lahan Produktif 33
Tabel 3.2.1.3.2 Paired Samples Test Luas Lahan Produktif 33

4
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.4.2.1 Peta Kelurahan Tamansari 8


Gambar 3.2.2.1.1 Normal Q-Q Plot Luas Bangunan 27
Gambar 3.2.2.2.1 Detrended Normal Q-Q Plot Luas Bangunan 28
Gambar 3.2.2.2.1 Normal Q-Q Plot Kualitas Pangan 29
Gambar 3.2.2.2.1 Detrended Normal Q-Q Plot Kualitas Pangan 30

5
BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dijelaskan hal-hal yang berkaitan dengan topik
penelitian secara umum, meliputi latar belakang penelitian, rumusan masalah,
tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, ruang lingkup laporan penelitian berupa
ruang lingkup materi, ruang lingkup wilayah dan ruang lingkup waktu, serta
metodologi penelitian dan sistematika penulisan laporan.

1.1 Latar Belakang

Menghadapi masalah kelangkaan pangan membuat kegiatan pertanian


tidak hanya difokuskan pada daerah-daerah pedesaan saja, contohnya
adalah pelaksaan program urban farming di daerah perkotaan. Apabila
masalah kelangkaan pangan tidak ditangani dengan baik, maka akan
menimbulkan ketahanan pangan yang buruk dan menuntut adanya
pasokan pangan dari daerah lain. Sebanyak 96% komoditas pangan Kota
Bandung pada kenyataannya dipasok dari luar Kota Bandung menurut
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung pada tahun 2016.
Kegiatan pertanian yang dikembangkan di daerah perkotaan termasuk
Kota Bandung, salah satunya program urban farming dapat meningkatkan
pasokan komoditas pangan di kawasan perkotaan. Dengan demikian,
masalah kelangkaan pangan dan akses terhadap pangan yang dihadapi
masyarakat perkotaan dapat teratasi.

Alih fungsi lahan di Kota Bandung mengakibatkan ketersediaan lahan


produktif di Kota Bandung terbatas. Kota Bandung pada tahun 2016 hanya
memiliki 7,36 km2 lahan pertanian dari 167,31 km2, dengan kata lain
hanya sebesar 4,39% dari total wilayah Kota Bandung1. Menurut Arsyad
dan Rustiadi (2008:78) konversi lahan merupakan konsekuensi logis dari

1
Kota Bandung dalam Angka 2017, (Bandung : Badan Pusat Statistik Kota Bandung,
2017), hlm 139.
6
peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk serta proses pembangunan
lainnya. Konversi lahan pada tahap tertentu wajar terjadi, namun pada
sisi lain jika tidak dikendalikan maka akan semakin bermasalah karena
umumnya alih fungsi terjadi di atas lahan produktif. Salah satu masalah
yang ditimbulkan dari konversi lahan pertanian ke non pertanian akibat
pembangunan permukiman dan industri adalah kelangkaan pangan di Kota
Bandung. Walaupun terdapat pasokan komoditas pangan dari luar Kota
Bandung, tidak serta merta dapat memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat Kota Bandung. Dalam mengatasi kelangkaan pangan di Kota
Bandung, pemerintah telah mengembangkan kegiatan pertanian dalam
bentuk urban farming.

Produk dari urban farming yang dilakukan lebih menjamin


kebersihan dan kesehatan untuk dikonsumsi. Program urban farming juga
salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan
ekonomi dan kesejahteraan keluarga serta memotivasi keluarga miskin
guna membentuk kelompok pertanian yang dapat membangun dirinya
sendiri menjadi lebih mandiri dan maju. Berdasarkan data observasi
masyarakat di Kelurahan Tamansari memiliki luas bangunan yang hampir
sama dengan luas kavling bahkan lebih. Sehingga hanya terdapat
beberapa lahan kosong yang dimiliki oleh masyarakat. Karena
ketersediaan lahan kosong yang tidak memadai, akan berdampak
terhadap keberlanjutan program urban farming yang telah dicanangkan
oleh pemerintah. Oleh karena itu, laporan ini disusun guna mengetahui
karakteristik kemampuan masyarakat Kelurahan Tamansari melaksanakan
progam urban farming.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai


berikut.

1. Bagaimana persebaran ruang terbuka publik di Kelurahan Tamansari?


2. Bagaimana perubahan luas lahan produktif di Kota Bandung pada
tahun 2015 dan 2016?
7
3. Bagaimana keadaan luas kavling dan luas bangunan masyarakat di
Kelurahan Tamansari?

1.3 Tujuan dan Sasaran

Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi karakteristik


kemampuan masyarakat Kelurahan Tamansari melaksanakan progam
urban farming. Sasaran dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui persebaran ruang terbuka publik di Kelurahan Tamansari.

2. Mengetahui besar perubahan luas lahan produktif di Kota Bandung


pada tahun 2015 dan 2016.

3. Mengetahui keadaan luas kavling dan luas bangunan masyarakat di


Kelurahan Tamansari.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini terdiri atas ruang lingkup materi,
ruang lingkup wilayah, dan ruang lingkup waktu.

1.4.1 Ruang Lingkup Materi

Variabel yang digunakan dalam laporan ini yaitu ketersediaan


lahan kosong, luas lahan produktif di Kota Bandung, luas kavling,
dan luas bangunan.

1.4.2 Ruang Lingkup Wilayah

Ruang lingkup wilayah dan pengambilan data untuk praktikum


ini dilakukan di Kelurahan Tamansari terutama RW 4, 6, 7, 9, 12,
13, 15, dan 16.

8
GAMBAR 1.4.2.1
PETA KELURAHAN TAMANSARI

Sumber : Materi Praktikum Pertama, 2017

1.4.3 Ruang Lingkup Waktu

Waktu pengambilan data satu angkatan peserta MAP 1


dilakukan pada tanggal 12 dan 13 September 2017, dengan waktu
pembuatan laporan penelitian pada rentang waktu 18-24 Oktober
2017.

1.5 Metodologi Penelitian

Metoda penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini mencakup


dua hal, yaitu metoda pengumpulan data dan metoda analisis data.

1.5.1 Metoda Pengumpulan Data

Terdapat dua jenis data yang telah dikumpulkan dan


nantinya akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
9
1. Data Primer, dilakukan dengan melakukan observasi dan
wawancara secara langsung serta pembagian kuesioner
kepada masyarakat di Kelurahan Tamansari.

2. Data Sekunder merupakan literatur, buku, jurnal, artikel dari


lembaga resmi maupun beberapa orang, dan sumber dari
internet.

1.5.2 Metoda Analisis Data

Metoda analisis data yang digunakan pada penelitian ini


adalah dengan menggunakan analisis statistik inferensial, yaitu
pengujian hipotesis.

I.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan laporan praktikum ini adalah sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan

Pada bagian pendahuluan, penulis menjelaskan mengenai latar belakang


pembuatan laporan, rumusan masalah, tujuan dan sasaran yang ingin
dicapai, ruang lingkup laporan penelitian mencakup ruang lingkup materi,
ruang lingkup waktu, serta metodologi penelitian, dan sistematika
penulisan laporan.

Bab II Dasar Teori

Pada bab ini, penulis akan memaparkan mengenai dasar-dasar penelitian


teori Urban Farming, teori mengenai luas bangunan, dan teori mengenai
lahan produktif. Penulis juga akan memaparkan teori analisis inferensial
berupa pengujian hipotesa menggunakan uji runs, uji Wilcoxon, dan uji
mann whitney.

Bab III Input dan Analisis Data

Pada bab ini, penulis akan memaparkan input data, analisis output data,
dan interpretasinya dalam bidang perencanaan wilayah dan kota.

10
Bab IV Penutup

Pada bagian penutup, penulis akan menyimpulkan hasil penelitian dari


analisis-analisis yang menjawab rumusan masalah dan mencapai tujuan
yang telah ditetapkan, serta memberikan saran terhadap studi dan
praktikum.

11
BAB II

DASAR TEORI

Pada bab ini akan dijelaskan hal-hal yang berkaitan dengan teori-teori
substansial yang berkaitan dengan laporan ini, meliputi teori urban farming,
teori luas bangunan,teori lahan produktif, teori luas kavling, dan teori

2.1 Teori Urban Farming

Teori urban farming yang akan dibahas meliputi definisi urban farming
dan manfaat urban farming.

2.1.1 Definisi Urban farming

Program urban farming merupakan salah satu wujud dari


upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di
bidang pangan. Menurut Badan Pusat Statistik, Urban Farming
merupakan suatu aktivitas pertanian di dalam atau di sekitar
perkotaan yang melibatkan keterampilan, keahlian, dan inovasi
dalam budidaya dan pengolahan makanan. Program ini dibuat
dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan
keluarga serta memotivasi keluarga miskin untuk membangun
suatu kelompok pertanian guna membangun dirinya sendiri.

Widyawaty (2013) menyebutkan praktek urban farming


adalah optimalisasi pemanfaatan lahan perkotaan tanpa
menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan hidup perkotaan
sehingga memperoleh nilai manfaat seperti memulihkan dan
meningkatkan kesehatan lingkungan, meningkatkan kesehatan
pangan, memperluas kesempatan ekonomi, perbikan sosial,
efisiensi energi dan meningkatkan ketersediaan dan kualitas
pangan. Urban farming juga secara tidak langsung dapat menjadi
wadah bagi masyarakat untuk mengembangkan kreativitasnya

12
dan masyarakat pun dapat berpartisipasi dalam pembudidayaan
aneka sumber daya hayati dilingkungan perkotaan guna
memenuhi kebutuhan.

2.1.2 Manfaat Urban Farming

Meneliti tentang pengalaman dalam melakukan urban


farming, mereka mendapat manfaat dari urban farming itu
sendiri salah satunya dapat membangun sosialitas baru, nilai
sosial, kegiatan yang berhubungan kembali dengan alam, dan
bertambahnya modal sosial dan budaya dalam konteks ekonomi
global. Misalnya, masyarakat sekitar bersama-sama membangun
Ruang Terbuka Hijau seperti di sekitar lingkungan rumah mereka.
Dengan begitu, ada interaksi antar tetangga untuk bekerja sama
dalam pembangunan RTH tersebut sehingga dapat menambah
nilai sosial dan rasa kepedulian2.

Selain itu, melakukan urban farming juga dapat membuat


kota lebih nyaman dan berpengaruh terhadap kesehatan. Jika
ada pertanian perkotaan di kota, kota akan jauh lebih hijau.
Kota yang hijau akan terasa lebih nyaman karena tanaman dapat
menghasilkan udara yang baik melalui proses fotosintesis
sehingga akan mengurangi tingkat polusi udara dan lingkungan
perkotaan akan terasa lebih sejuk. Jelas bahwa kota hijau
penting bagi kesehatan manusia.

Manfaat lain dari melaksankan program urban farming


yaitu untuk memanfaatkan lahan kosong. Oleh karena, tingkat
urbanisasi yang terjadi lebih cepat, lahan yang produktif
terbuang dengan pembangunan industri. Tidak adanya rencana
untuk desain kota menyebabkan tanah yang lebih cocok untuk
pertanian terbuang dan juga jika rencana kota kurang baik dan

2
Diana Mincyte dan Karin Dobernig, Urban farming in the North American metropolis:
Rethinking work and distance in alternative food networks, New York City College of
Technology, 2016.
13
tidak efektif, sering kali ada lahan kosong yang terbengkalai.
Pemanfaatan lahan kosong ialah satu metode untuk memasok
pangan untuk penduduk kota. Selain memastikan pasokan pangan
tetap kuat dan berkelanjutan. Selain itu, pemanfaatan lahan
kosong dapat mengurangi gejala Urban Sprawl (Bandung City
Environmental Management Board 2014).

2.2 Teori Luas Bangunan

Teori luas bangunan yang akan dibahas meliputi klasifikasi bangunan,


definisi bangunan dan definisi rumah tinggal.

2.2.1 Definisi Bangunan

Bangunan adalah semua sarana dan prasarana yang berfungsi


sebagai tempat manusia melakukan kegiatan dalam melakukan
kegiatan sehari-hari seperti hunian atau tempat tinggal. Bangunan
juga biasanya dikonotasikan dengan rumah, gedung ataupun segala
sarana, prasarana atau infrastruktur dalam kebudayaan atau
kehidupan manusia dalam membangun peradabannya seperti
halnya jembatan dan konstruksinya serta rancangannya.

2.2.2 Klasifikasi Bangunan

Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan fungsi


utama bangunan. Fungsi bangunan gedung dapat dikelompokkan
dalam fungsi hunian, fungsi keagamaan, fungsi usaha, fungsi sosial
dan budaya, dan fungsi khusus. Penentuan klasifikasi bangunan
gedung atau bagian dari bangunan gedung ditentukan berdasarkan
fungsi yang digunakan dalam perencanaan, pelaksanaan, atau
perubahan yang diperlukan pada bangunan gedung.

2.2.3 Definisi Rumah Tinggal

14
Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat
tinggal atau hunian yang digunakan manusia untuk berlindung dari
gangguan iklim, dan tempat awal pengembangan kehidupan3.

Jenis dan jumlah ruang minimum yang harus ditampung


dalam tiap tipe rumah tinggal menyesuaikan dengan luas
kebutuhan luas minimum tiap ruang dan fungsinya. Luas lahan
disesuaikan dengan kondisi daerah/ketentuan yang diatur dalam
RT/RW yang dituangkan dalam ketentuan masing-masing wilayah
daerah.

2.3 Teori Lahan Produktif

Teori ini akan memebahas mengenani lahan produktif berkelanjutan


yang nantinya dapat digunakan sebagai lokasi urban farming.

2.3.1 Lahan Produktif berkelanjutan

Tersedianya sumberdaya lahan pertanian tanaman pangan


yang berkelanjutan merupakan syarat untuk ketahanan pangan
nasional. Ketersediaan lahan pertanian pangan sangat berkaitan
erat dengan beberapa hal, yaitu: (1) Potensi sumberdaya lahan
pertanian pangan, (2) Produktifitas lahan, (3) Fragmentasi lahan
pertanian, (4) Skala luasan penguasaan lahan pertanian, (5) Sistem
irigasi, (6) Land rent lahan pertanian, (7) Konversi, (8) Pendapatan
petani, (9) Kapasitas SDM pertanian serta, (10) Kebijakan di bidang
pertanian4.

Pencegahan dan pengendalian terhadap adanya alih fungi


lahan terutama sawah perlu dilakukan, mengingat: (1) Konversi
lahan sawah beririgasi teknis adalah ancaman terhadap upaya
untuk mempertahankan swasembada pangan nasional, (2) Dari

3
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman BAB I, Pasal 1.
4
Sitanala Arsyad dan Ernan Rustiadi, Penyelamatan tanah, air, dan lingkungan (Bogor:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2008), hlm 64.
15
segi lingkungan dan pelestarian sumberdaya alam, ekosistem
sawah ternyata relatif stabil dengan tingkat erosi yang relatif
kecil, dan (3) Dari sudut pandang struktur sosial budaya
masyarakat Indonesia, alih fungsi lahan sawah akan menyebabkan
ketidakseimbangan hubungan sistematik antara pelaku usaha
pertanian dan lahannya karena sawah merupakan pengikat
kelembagaan perdesaan sekaligus menjadi public good yang
mendorong masyarakat perdesaanbekerja sama lebih produktif5.

Pembangunan dan sektor pertanian dapat berjalan


berdampingan hanya jika kebijakan perencanaan penggunaan
lahan diberlakukan dengan ketat. Undang-undang Nomor 41 tahun
2009 tentang PLPPB diharapkan menjadi salah satu kebijakan yang
dapat mengatur tentang perencanaan penggunaan lahan,
khususnya lahan pertanian pangan.

Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah


sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan,
mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan,
dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara
berkelanjutan6. Undang-undang ini digunakan sebagai acuan bagi
Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melindungi lahan
pertanian pangan dalam rangka ketahanan dan kedaulatan pangan
nasional.

2.3.2 Konversi Lahan Produktif

Irawan (2005) mengungkapkan bahwa konversi lahan


berawal dari permintaan komoditas pertanian terutama komoditas
pangan yang kurang elastis terhadap pendapatan dibanding dengan
komoditas non pertanian. Oleh karena itu pembangunan ekonomi

5
Sitanala Arsyad dan Ernan Rustiadi, Penyelamatan tanah, air, dan lingkungan (Bogor:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2008), hlm 79 dan 80.
6
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, BAB I, Pasal 1, Ayat 5.
16
yang berdampak pada peningkatan pendapatan penduduk
cenderung menyebabkan naiknya permintaan komoditas non
pertanian dengan laju lebih tinggi dibandingkan dengan
permintaan komoditas pertanian. Konsekuensi lebih lanjut adalah
karena kebutuhan lahan untuk memproduksi setiap komoditas
merupakan turunan dari permintaan komoditas yang bersangkutan,
maka pembangunan ekonomi yang membawa kepada peningkatan
pendapatan akan menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk
kegiatan di luar pertanian dengan laju lebih cepat dibanding
kenaikan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian. Kuantitas
atau ketersediaan lahan di setiap daerah relatif tetap atau
terbatas walaupun secara kualitas sumberdaya lahan dapat
ditingkatkan.

Pada kondisi keterbatasan tersebut maka peningkatan


kebutuhan lahan untuk memproduksi komoditas tertentu akan
mengurangi ketersediaan lahan yang dapat digunakan untuk
memproduksi komoditas lainnya. Oleh karena pembangunan
ekonomi cendurung mendorong permintaan lahan di luar sektor
pertanian dengan laju lebih besar dibanding permintaan lahan di
sektor pertanian, maka pertumbuhan ekonomi cenderung
mengurangi kuantitas lahan yang dapat digunakan untuk kegiatan
pertanian. Pengurangan kunatitas lahan yang dialokasikan untuk
kegiatan pertanian tersebut berlangsung melalui konversi lahan
pertanian yaitu perubahan pemanfaatan lahan yang semula
digunakan untuk kegiatan pertanian ke pemanfaatan lahan di luar
pertanian seperti kompleks perumahan, kawasan perdagangan,
kawasan industri dan seterusnya (Irawan, 2005). Pengertian
konversi atau alih fungsi lahan secara umum menyangkut
transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu
penggunaan ke penggunaan lainnya. Konversi lahan pertanian ini
tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan.

17
Konversi lahan pertanian ke nonpertanian bukan semata-
mata sebagai fenomena fisik yang berpengaruh terhadap
berkurangnya luas lahan pertanian, melainkan sebuah fenomena
yang bersifat dinamis mempengaruhi aspek-aspek kehidupan
masyarakat secara lebih luas, tidak hanya berkaitan dengana aspek
ekonomi, juga terkait dengan perubahan sosial dan budaya
masyarakat. Menurut Nasoetion, dkk., (2000) proses alih fungsi
lahan pertanian secara langsung atau tidak langsung ditentukan
oleh dua faktor besar yaitu sistem kelembagaan yang
dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah dan sistem
kelembagaan yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat.
Sistem kelembagaan yang dikembangkan pemerintah seperti
melalui peraturan pertanahan dan tata ruang akan berpengaruh
terhadap konversi lahan. Demikian halnya dengan sistem
kelembagaan masyarakat seperti subak di Bali juga mempunyai
pengaruh kuat terhadap alih fungsi lahan pertanian. Jadi dengan
demikian dorongan-dorongan terjadinya konversi lahan pertanian
ke nonpertanian baik yang mempercepat atau memperlambat tidak
sepenuhnya bersifat alamiah, tetapi ada juga secara langsung atau
tidak langsing dihasilkan dari proses kebijakan yang dihasilkan oleh
pemerintah.

Menurut Lestari (2005) proses konversi lahan pertanian ke


penggunaan nonpertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa
faktor. Tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya konversi
lahan pertanian yaitu sebagai berikut. 1) Faktor eksternal
merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika
pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi. 2) Faktor
internal merupakan faktor yang lebih melihat sisi yang disebabkan
oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna
lahan. 3) Faktor kebijakan merupakan aspek regulasi yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan
dengan perubahan fungsi lahan pertanian.

18
2.5 Teori Analisis Inferensial

Analisis stastik bertujuan menentukan kesimpulan dan pemahaman


yang lebih baik tentang sumber data yang dipelajari. Salah satu lingkup
metoda analisis statistik berdasarkan kelengkapan data yaitu analisis
statistik inferensi. Analisis statistik inferensi bermaksud untuk melakukan
pengukuran karakteristik populasi melalui karakteristik sampel yang
diambil dari populasi tersebut. Penerapan analisis statistik inferensi dapat
diterapkan dalam dua bentuk yaitu estimasi parameter dan pengujian
hipotesa.

2.5.1 Uji Hipotesa

Metode uji hipotesa merupakan metode pengambilan keputusan


yang didasarkan dari analisis data, baik dari percobaan yang
terkontrol, maupun dari observasi (tidak terkontrol). Sebuah hasil
bisa dikatakan signifikan secara statitstik jika kejadian hampir tidak
mungkin disebabkan oleh faktor yang kebetulan, sesuai batas
probabilitas yang sudah ditentukan

2.5.1.1 Bentuk Uji Hipotesa

Pengujian hipotesa terdiri dari dua bentuk


pengujian, yaitu untuk pengujian parametrik untuk data
yang terdistribusi normal dan non-parametrik untuk data
yang tidak terdistribusi normal.

1. Pengujian Parametrik
Pengujian yang memerlukan distribusi populasi
normal.
2. Pengujian Non-parametrik
Pengujian yang tidak memerlukan distribusi populasi
normal.
a. Kondisi untuk melakukan metode analisis statistik
non-parametrik:
- Jumlah sampel yang diambil kecil
19
- Data yang ada terdistribusi normal
- Jenis data berupa data nominal atau ordinal
b. Keuntungan inferensi non-parametrik:
- Tidak mengharuskan data terdistribusi normal
- Dapat dipakai untuk level data nominal dan
ordinal
- Lebih sederhana dan mudah dimengerti
c. Kelemahan inferensi non-parametrik
Tidak adanya sistematika yang jelas sehingga
hasilnya dapat meragukan
2.5.1.2 Prosedur Uji Hipotesa
Prosedur uji hipotesa terdiri dari lima langkah yaitu:
1. Penentuan Asumsi
Penentuan asumsi meliputi:
Proses pengambilan sampel
Tipe skala pengukuran
Distribusi sampling.
2. Pernyataan Hipotesa Nol
Membuat dua pernyataan yaitu H0 dan H1 sebagai
berikut.
H0 Suatu pernyataan tidak ada perbedaan.
H1 Suatu pernyataan yang secara langsung
bertentangan dengan H0.
3. Pemilihan Distribusi Sampling dan Penentuan Wilayah
Kritis
Mengukur wilayah di bawah distribusi dengan
menggunakan distribusi yang sesuai.
Wilayah kritis terdiri dari wilayah di bawah
distribusi sampling yang mencakup semua hasil
sampel yang tidak mungkin Disebut daerah
penolakan H0.

20
Ukuran wilayah kritis diungkapkan dalam
Proporsi dari seluruh wilayah yang tercakup
dalam wilayah kritis.
4. Penghitungan Statistik Uji
Untuk mengevaluasi probabilitas beberapa hasil
sampel tertentu, nilai sampel harus diubah ke dalam
nilai standar, sesuai dengan distribusi yang digunakan.
Dalam pengolahan data laporan ini menggunakan
distribusi Z. Oleh karena itu, nilai sampel diubah
dalam skor Z dengan cara sebagai berikut.
Statistik Parameter
Z hitung
Standard Error

5. Membuat Keputusan
Keputusan dibuat dengan membandingkan statistik uji
(Z hitung) dengan wilayah kritis (Z tabel). Hasil
keputusannya sebagai berikut.
Bila statistik uji di wilayah kritis Tolak H0
Bila statistik uji berada di wilayah tidak kritis
Gagal tolak H0

2.6 Penggunaan Analisis Statistik Inferensi Non-parametrik dengan Aplikasi


SPSS
Langkah-langkah penggunaan analisis statistik inferensi non
parametrik dengan aplikasi SPSS adalah sebagai berikut:
2.6.1 Uji Runs
Uji runs merupakan langkah untuk menentukan keputusan
pada uji hipotesa kasus satu sampel. Pernyataan H0 akan diterima
jika nilai sig > 0,05. Jika nilai sig < 0,05, pernyataan H1 yang
diterima. Langkah-langkah melakukuan uji runs menggunakan
aplikasi SPSS adalah sebagai berikut.
1. Klik Analyze pada toolbar
2. Pilih Nonparametric Test Legacy Dialogs Runs

21
3. Pilih variabel yang diinginkan, variabel yang dipilih akan
berada pada kolom Test Variable List
4. Centang Mean pada kolom Cut Point
5. Klik Ok untuk mendapat hasil pengujian

2.6.2 Uji Wilcoxon


Uji wilcoxon merupakan langkah untuk menentukan
keputusan pada uji hipotesa kasus dua sampel terkait. Pernyataan
H0 akan diterima jika nilai sig > 0,05 dan Z berada bukan pada
daerah kritis. Jika nilai sig < 0,05 dan/atau Z berada pada daerah
kritis, pernyataan H1 yang diterima. Langkah-langkah melakukuan
uji wilcoxon menggunakan aplikasi SPSS adalah sebagai berikut.
1. Klik Analyze pada toolbar
2. Pilih Nonparametric Test Legacy Dialogs 2 Related
Samples
3. Masukkan variabel pertama yang ingin diuji ke kolom Variable
1
4. Masukkan variabel kedua yang ingin diuji ke kolom Variable 2
5. Centang Wilcoxon pada kolom Test Type
6. Klik Ok untuk mendapat hasil pengujian
2.6.3 Uji Mann Whitney
Uji mann whitney merupakan langkah untuk menentukan
keputusan pada uji hipotesa kasus dua sampel independen.
Pernyataan H0 akan diterima jika nilai sig > 0,05 dan Z berada
bukan pada daerah kritis. Jika nilai sig < 0,05 dan/atau Z berada
pada daerah kritis, pernyataan H1 yang diterima. Langkah-langkah
melakukuan uji mann whitney menggunakan aplikasi SPSS adalah
sebagai berikut.
1. Klik Analyze pada toolbar
2. Pilih Nonparametric Test Legacy Dialogs 2
Independent Samples

22
3. Tentukan satu variabel yang akan diuji. Variabel ini
dimasukkan pada kolom Test Variable List. Variabel yang
berada pada kolom ini memiliki jenis data ordinal kontinu.
4. Tentukan satu variabel lainnya yang akan diuji. Variabel ini
dimasukkan pada kolom Grouping Variable. Variabel yang
berada pada kolom ini memiliki jenis data nominal.
5. Centang Mann-Whitney U pada kolom Test Type
6. Klik Ok untuk mendapat hasil pengujian

23
BAB 3

INPUT DAN ANALISIS DATA

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai variabel-variabel yang diuji, analisis
output data dan interpretasinya terhadap bidang perencanaan wilayah dan
kota.

3.1 Input Data

Data-data penelitian diperoleh dari data primer berupa pengisian


kuesioner dan data sekunder berupa tinjauan literatur. Data tersebut
ditampilkan dalam bentuk tabel input berisi variabel-variabel yang ada di
kuesioner menggunakan aplikasi SPSS. Data dari kuesioner akan dianalisis
menggunakan uji runs untuk variabel ketersediaan lahan; uji Wilcoxon
untuk variabel luas lahan produktif Kota Bandung tahun 2015-2016; dan
analisis mann whitney untuk variabel luas kavling dan luas bangunan.
Data wawancara dengan responden di Kelurahan Tamansari akan
diinformasikan di tabel berikut.

Pada tabel 3.1.1 diinformasikan tentang data hasil wawancara


dengan responden di Kelurahan Tamansari. Data yang ditampilkan
merupakan data yang digunakan untuk uji runs dan uji mann whitney.

TABEL 3.1.1
DATA LUAS KAVLING, LUAS BANGUNAN, DAN KETERSEDIAAN LAHAN

Luas Luas Ketersediaan Lahan


No Nama
Kavling Bangunan Kosong di Sekitar Rumah
1 Aisyah 74 70 Tidak
2 Kanti 56 56 Tidak
3 Dina 63 59 Ya
4 Rini Mardiani 50 50 Tidak
5 Nur Hayati 60 60 Tidak
6 Prayitno 56 56 Ya
24
Luas Luas Ketersediaan Lahan
No Nama
Kavling Bangunan Kosong di Sekitar Rumah
7 Neni 60 50 Tidak
8 Eti Rohaeti 56 56 Tidak
9 Uyu 56 56 Tidak
10 Jenny noer 75 75 Tidak
11 Eti Rohaeti 56 56 Tidak
12 Uyu 56 56 Tidak
13 Iin 64 64 Tidak
14 Aisyah 64 64 Tidak
15 Tonny 60 60 Ya
16 Toto 70 70 Tidak
17 Rubianti 63 63 Tidak
18 Febi 50 60 Tidak
19 Winy 50 69 Tidak
20 Lina 56 56 Ya

Sumber: Hasil Analisis, 2017

Tabel 3.2.2 menginformasikan tentang luas lahan produktif menurut


jenisnya di Kota Bandung pada tahun 2015 dan 2016. Data pada tabel ini
digunakan untuk melakukan uji wilcoxon.

TABEL 3.1.2
DATA LUAS LAHAN PRODUKTIF MENURUT JENIS TAHUN 2015 DAN 2016

Luas
Luas Tahun
No Jenis Lahan Produktif Tahun
2016
2015
1 Lahan sawah 736 736
2 Lahan tegal 332 335
3 Lahan ladang 27 32
4 Lahan tak diusahakan 37 37

Sumber: Kota Bandung Dalam Angka 2016 dan 2017, 2017

25
3.2 Analisis Output Data

Data yang ditabulasikan di input data selanjutnya diolah menggunakan


analisis SPSS dengan uji runs, uji wilcoxon, dan analisis mann whitney.
Analisis output data yang dibahas menggunakan data non-parametrik.
Kemudian dilakukan reduksi pada semua variabel.

3.2.1 Pengujian Hipotesa

Bentuk pengujian hipotesa yang digunakan untuk menguji suatu


pernyataan itu benar atau tidak. Pengujian hipotesa yang dilakukan
berupa uji

3.2.1.1 Uji Runs

Uji runs dilakukan dengan data non-parametrik dan variabel


lokasi pangan. Uji runs digunakan hipotesa sebagai berikut.

H0 = Ketersediaan lahan di Kelurahan Tamansari tersebar secara


acak.

H1 = Ketersediaan lahan di Kelurahan Tamansari tersebar secara


merata.

TABEL 3.2.1.1.1
UJI RUNS KETERSEDIAAN LAHAN
Ada_Lahan
Test Valuea 1.80
Cases < Test Value 4
Cases >= Test Value 16
Total Cases 20
Number of Runs 8
Z .074
Asymp. Sig. (2-tailed) .941

Sumber: Hasil Analisis SPPS, 2017

26
Berdasarkan Tabel 3.2.1.1.1 Uji Runs Ketersediaan Lahan
diperoleh total cases sebesar 20 yang menunjukan banyak
responden. Test valuea (rata-rata)
diperoleh nilai sebesar 1,80 yang
menunjukan bahwa data ketersediaan lahan cenderung
mendekati label 2, yang mana dalam data primer di SPSS
ketersediaan lahan ditunjukan label 1 dan ketidaktersediaan
lahan diberi label 2, sehingga dapat disimpulkan bahwa rata-rata
masyarakat Kelurahan Tamansari tidak memiliki ketersediaan
lahan. Number of runs bernilai 8 yang berarti terdapat 8 run di
dalam data yang ada di SPSS.

Dengan nilai cases < test value sebesar 4, dapat diartikan


bahwa terdapat 4 kasus yang berada di bawah nilai test value
atau dengan kata lain terdapat 4 responden yang menjawab ya
untuk variabel ketersediaan lahan. Dan dengan nilai cases test
value sebesar 16 dapat diartikan bahwa terdapat 16 responden
yang menjawab tidak untuk variabel ketersediaan lahan.

Untuk menganalisis hipotesis nol diterima atau tidak,


dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama dengan melihat
nilai signifikasi dan cara kedua dengan melihan nilai Z. Nilai
signifikansi sebesar 0.941 atau lebih besar daripada 0,05. Karena
nilai signifikansi > standar error maka H0 diterima dan H1 ditolak.

GRAFIK 3.2.1.1.1
DISTRIBUSI SAMPLING DAN WILAYAH KRITIS KETERSEDIAAN LAHAN

Zspss=0,74

Sumber : Hasil analisis, 2017


27
Cara kedua dengan melihat grafik distribusi sampling dan
wilayah kritis. Sebelumnya dalam Tabel 3.2.1.1.1 Uji Runs
Ketersediaan Lahan diperoleh nilai Z menggunakan SPSS sebesar
0,74. Kemudian menggunakan standar error sebesar 5 %, yang
mana Ztabel nya bernilai 1.96 dapat dilihat dalam Grafik
3.2.1.1.1 diperoleh nilai Z perhitungan SPSS berada di luar
wilayah kritis. Sehingga berdasarkan pengolahan data tersebut
H0 diterima dan H1 ditolak. Maka dari kedua cara disimpulkan
bahwa ketersediaan lahan di Kelurahan Tamansari tersebar
secara acak.

Persebaran ketersediaan lahan yang acak ini terjadi


karena mayoritas rumah tangga yang ada di Kelurahan Tamansari
tidak memiliki ketersediaan lahan, sehingga lahan hanya tersedia
di beberapa rumah warga secara acak. Karena ketersediaan lahan
di Kelurahan Tamansari acak, maka tidak dapat ditentukan
secara pasti variabel lain yang dapat mempengaruhi ketersediaan
lahan secara menyeluruh di Kelurahan Tamansari. Atau dengan
kata lain, variabel lain hanya berlaku di beberapa responden
saja, tidak berlaku untuk keseluruhan.

3.2.1.2 Uji Wilcoxon

Uji wilcoxon dilakukan dengan data non-parametrik


dependen dengan variabel luas lahan produktif tahun 2015 dan
2016. Uji wilcoxon digunakan hipotesa sebagai berikut.

H0 = Luas lahan produktif Kota Bandung tahun 2015 sama dengan


luas lahan produktif Kota Bandung tahun 2016

H1 = Luas lahan produktif Kota Bandung tahun 2015 tidak sama


dengan luas lahan produktif Kota Bandung tahun 2016

28
TABEL 3.2.1.2.1
RANKING LUAS LAHAN PRODUKTIF KOTA BANDUNG
N Mean Rank Sum of Ranks
Luas_2016 - Luas_2015 Negative Ranks 0a .00 .00
Positive Ranks 2b 1.50 3.00
Ties 2c
Total 4
a. Luas_2016 < Luas_2015
b. Luas_2016 > Luas_2015
c. Luas_2016 = Luas_2015
Sumber: Hasil Analisis SPPS, 2017

Berdasarkan data di Tabel 3.2.1.2.1 Ranking Lahan


Produktif Kota Bandung, jumlah data yang dipakai di uji Wilcoxon
sebanyak 4 data. Diperoleh jumlah ranking negatif, luas lahan
produktif tahun 2016 < luas lahan produktif tahun 2015, sebanyak
0 dengan rata-rata dan jumlah rangkingnya juga 0. Sedangkan
jumlah rangking positif, luas lahan produktif tahun 2016 < luas
lahan produktif tahun 2015, sebanyak 2 data dengan rata-rata
rangking 1,50 dan jumlah rangkingnya 3. Dari data positive ranks
tersebut, maka dapat diartikan bahwa terdapat 2 data yang
mengalami peningkatan luas area (Hektar) pada tahun 2016. Dan
diperoleh nilai ties sebesar 2 yang dapat diartikan bahwa
terdapat 2 data yang tidak mengalami perubahan dari tahun 2015
hingga 2016.

TABEL 3.2.1.2.2
WILCOXON SIGN RANKS TEST LUAS LAHAN PRODUKTIF KOTA BANDUNG
Luas_2016 - Luas_2015
Z -1.342a
Asymp. Sig. (2-tailed) .180
a. Based on negative ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Sumber: Hasil Analisis dengan aplikasi SPSS, 2017

29
Berdasarkan Tabel 3.2.1.2.2 Wilcoxon Sign Ranks Test
Luas Lahan Produktif Kota Bandung diperoleh nilai signifikasi
0,180 yang lebih besar daripada standar error dengan nilai 0,025.
Berdasarkan pengolahan data tersebut maka H0 diterima dan H1
ditolak.

GRAFIK 3.2.1.2.1
DISTRIBUSI SAMPLING DAN WILAYAH KRITIS LUAS LAHAN PRODUKTIF
KOTA BANDUNG

Zspss= -1,342

Sumber : Hasil analisis, 2017

Sebelumnya dalam Tabel 3.2.1.2.2 Wilcoxon Sign Ranks


Test Luas Lahan Produktif Kota Bandung diperoleh nilai Z
menggunakan SPSS sebesar -1,342. Kemudian menggunakan
standar error sebesar 5 %, diperoleh Z tabel sebesar 1.96. Dapat
dilihat dalam Grafik 3.2.1.2.1 bahwa nilai Z perhitungan SPSS
berada di luar wilayah kritis. Sehingga berdasarkan pengolahan
data tersebut H0 diterima dan H1 ditolak. Maka dapat disimpulkan
bahwa luas lahan produktif Kota Bandung tahun 2015 sama atau
hanya mengalami sedikit perubahan dengan luas lahan produktif
Kota Bandung tahun 2016. Hal yang menyebabkan tidak ada
pertambahan luas lahan produktif yang signifikan di Kota
Bandung adalah jumlah penduduk yang semakin meningkat dan
membutuhkan tempat tinggal.

30
3.2.1.3 Uji Mann Whitney

Uji mann whitney dilakukan dengan data non-parametrik


independen dengan variabel luas lahan produktif tahun 2015 dan
2016. Uji wilcoxon digunakan hipotesa sebagai berikut.

H0 = Luas kavling luas bangunan

H1 = Luas kavling < luas bangunan

TABEL 3.2.1.3.1
RANKS MANN-WHITNEY TEST LUAS KAVLING DAN LUAS BANGUNAN

group N Mean Rank Sum of Ranks


Luas luas kavling 20 19.98 399.50
luas bangunan 20 21.03 420.50
Total 40

Sumber: Hasil Analisis menggunakan SPSS, 2017

Berdasarkan data di Tabel 3.2.1.3.1 terdapat 40 data


responden, yang terdiri dari 20 data luas kavling dan 20 data luas
bangunan. Dengan variabel luas kavling yang memiliki rata-rata
ranking sebesar 19,98 dan jumlah ranking 399,50. Sedangkan
untuk variabel luas bangunan memiliki rata-rata ranking sebesar
21,03 dan jumlah ranking 420,50.

TABEL 3.2.1.3.2
MANN-WHITNEY TEST LUAS KAVLING DAN LUAS BANGUNAN

Luas
Mann-Whitney U 189.500
Wilcoxon W 399.500
Z -.291
Asymp. Sig. (2-tailed) .771
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .779a

Sumber: Hasil Analisis menggunakan SPSS, 2017

31
Berdasarkan data di Tabel 3.2.1.3.2 Mann-Whitney Test
Luas Kavling dan Luas Bangunan, didapat nilai Z sebesar -0,291
dan signifikansi bernilai 0,77. Hal ini menunjukkan bahwa H0
diterima dan H1 ditolak karena Z tidak berada pada daerah kritis
dan nilai signifikasinya lebih besar daripada standar error.
Berdasarkan pengolahan data tersebut dapat disimpulkan bahwa
luas kavling di Kelurahan Tamansari lebih besar daripada luas
bangunannya.

3.3 Interpretasi Terhadap Bidang Perencanaan Wilayah dan Kota

Hasil uji runs menunjukkan bahwa pernyataan H0 diterima sehingga


dapat disimpulkan bahwa ketersediaan lahan kosong di Kelurahan
Tamansari tersebar secara acak. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak
semua rumah di Kelurahan Tamansari terletak di sekitar lahan kosong dan
tidak semuanya memiliki lahan kosong di rumahnya. Berdasarkan
pengolahan data, hanya terdapat 4 responden yang di sekitar rumahnya
terdapat lahan kosong.
Berdasarkan data dari BPS, jumlah penduduk di Kota Bandung
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan jumlah penduduk ini
menyebabkan kebutuhan akan rumah tempat tinggal. Fungsi bangunan
gedung yang tergolong menjadi fungsi hunian memiliki luas minimum yang
telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Dengan semakin
meningkatnya kebutuhan akan hunian tempat tinggal pada akhirnya akan
mengancam ketersediaan lahan produktif secara berkelanjutan.
Berdasarkan pengolahan data menggunakan uji mann whitney
menunjukan bahwa luas kavling di Kelurahan Tamansari lebih kecil sama
dengan luas bangunannya. Sehingga ketersediaan lahan kosong yang bisa
digunakan untuk melaksanakan urban farming sangat terbatas. Padahal
96% pasokan pangan dalam Kota Bandung masih mengandalkan dari
wilayah lain di luar Kota Bandung.
Hasil uji Wilcoxon menunjukkan bahwa pernyataan H0 diterima
sehingga dapat disimpulkan bahwa luas lahan produktif Kota Bandung
32
tahun 2015 sama atau hanya mengalami sedikit perubahan dengan luas
lahan produktif Kota Bandung tahun 2016. Ketersediaan lahan pertanian
pangan sangat berkaitan erat dengan beberapa hal, yaitu: (1) Potensi
sumberdaya lahan pertanian pangan, (2) Produktifitas lahan, (3)
Fragmentasi lahan pertanian, (4) Skala luasan penguasaan lahan
pertanian, (5) Sistem irigasi, (6) Land rent lahan pertanian, (7) Konversi,
(8) Pendapatan petani, (9) Kapasitas SDM pertanian serta, (10) Kebijakan
di bidang pertanian. Semakin sedikitnya pertumbuhan lahan produktif di
Kota Bandung, hal ini dipacu terutama karena semakin maraknya konversi
lahan produktif menjadi lahan permukiman.
Konversi lahan berawal dari permintaan komoditas pertanian
terutama komoditas pangan yang kurang elastis terhadap pendapatan
dibanding dengan komoditas non pertanian. Pada kondisi keterbatasan
tersebut maka peningkatan kebutuhan lahan untuk memproduksi
komoditas tertentu akan mengurangi ketersediaan lahan yang dapat
digunakan untuk memproduksi komoditas lainnya. Oleh karena
pembangunan ekonomi cendurung mendorong permintaan lahan di luar
sektor pertanian dengan laju lebih besar dibanding permintaan lahan di
sektor pertanian, maka pertumbuhan ekonomi cenderung mengurangi
kuantitas lahan yang dapat digunakan untuk kegiatan pertanian.
Kota Bandung sebagai ibu kota provinsi Jawa Barat dan kota
metropolitan yang pembangunan perekonomiannya cenderung mendorong
permintaan lahan nonpertanian daripada sektor pertanian. Hal tersebut
terjadi karena anggapan masyarakat perkotaan akan keuntungan yang
lebih besar jika memproduksi sektor nonpertanian. Dengan begitu laju
konversi lahan produktif semakin tinggi, dan berakibat pada berkurangnya
komoditas pangan di Kota Bandung.
Menurut Lestari (2005) proses konversi lahan pertanian ke
penggunaan nonpertanian yang terjadi disebabkan oleh tiga factor, yaitu
sebagai berikut. 1) Faktor eksternal merupakan faktor yang disebabkan
oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun
ekonomi. 2) Faktor internal merupakan faktor yang lebih melihat sisi yang
disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna
33
lahan. 3) Faktor kebijakan merupakan aspek regulasi yang dikeluarkan
oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan
fungsi lahan pertanian. Dari ketiga faktor yang telah disebutkan, perlu
adanya pencegahan dan perlindungan terhadap lahan pertanian pangan
berkelanjutan.
Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah sistem
dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan,
memanfaatkan dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan
pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan . Undang-undang
ini digunakan sebagai acuan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah
untuk melindungi lahan pertanian pangan dalam rangka ketahanan dan
kedaulatan pangan nasional.
Namun rupanya implementasi perundang-undangan tersebut susah
dilaksanakan secara masiv di Kota Bandung. Terbukti dari data Dinas
Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung, yang mencatat ada
sebesar 96 persen komoditas pangan di Kota Bandung pada tahun 2016
yang dipasok dari luar Bandung. Maka oleh sebab itulah untuk
meminimalisir konsumsi komoditas pangan dari luar Kota Bandung,
pemerintah kota telah melaksanakan program urban farming di beberapa
kelurahan di Kota Bandung. Yang nantinya diharapkan dapat mengurangi
konsumsi impor dari luar kota.

Dalam merencanakan suatu wilayah kota, perlu adanya zonasi yang


baik terhadap peruntukan lahan. Jangan sampai dalam suatu kota wilayah
lahan hijau produktifnya tidak sebanding dengan lahan untuk peruntukan
lainnya. Dengan tata guna lahan produktif yang semakin luas maka
produksi pangan akan meningkat, sehingga kelangkaan pangan di suatu
kota dapat teratasi tanpa adanya pasokan dari daerah lain. Adanya proses
konversi lahan produktif di Kota Bandung akan dipelajari dalam mata
kuliah Pola Ruang dan Struktur Ruang, dimana lahan industri barang dan
jasa akan memilih lokasi-lokasi yang strategis menurut teorinya sehingga
mengakibatkan pengalihfungsian lahan produktif menjadi lahan industri
barang dan jasa.

34
Kelangkaan pangan terjadi karena suply akan pangan lebih kecil
daripada demand terhadap pangan itu sendiri. Sehingga menyebabkan
terjadinya kelangkaan, dan kelangkaan dipelajari dalam mata kuliah
Pengantar Ekonomi dimana permintaan dan penawaran pasar menentukan
harga pasar. Hal tersebut berarti jika suatu barang semakin langka maka
harga barang tersebut semakin mahal. Selain itu kelangkaan berhubungan
erat dengan biokapasitas suatu ekosistem. Telah dipelajari dalam mata
kuliah Lingkungan dan Sumber Daya Alam bahwa lingkungan memiliki daya
dukung yang mendukung setiap kebutuhan dan kegiatan manusia.
Biokapasitas yang tinggi tidak akan menyebabkan kelangkaan, sebaliknya
jika biokapasitas rendah akan menimbulkan kelangkaan.

Tingkat kapasitas lingkungan ini dapat ditingkatkan dengan cara


meningkatkan penggunaan teknologi, sehingga dapat meningkatkan
kuantitas dan kualitas produksi bahan pangan. Salah satu penggunaan
teknologi untuk meningkatkan kapasitas produksi bahan pangan yaitu
dengan melaksanakan program urban farming. Widyawaty (2013)
menyebutkan praktek urban farming adalah optimalisasi pemanfaatan
lahan perkotaan tanpa menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan
hidup perkotaan sehingga memperoleh nilai manfaat seperti memulihkan
dan meningkatkan kesehatan lingkungan, meningkatkan kesehatan
pangan, memperluas kesempatan ekonomi, perbikan sosial, efisiensi
energi dan meningkatkan ketersediaan dan kualitas pangan.

Urban farming juga secara tidak langsung dapat menjadi wadah bagi
masyarakat untuk mengembangkan kreativitasnya dan masyarakat pun
dapat berpartisipasi dalam pembudidayaan aneka sumber daya hayati
dilingkungan perkotaan guna memenuhi kebutuhan. Melakukan urban
farming juga dapat membuat kota lebih nyaman dan berpengaruh
terhadap kesehatan. Jika ada pertanian perkotaan di kota, kota akan jauh
lebih hijau. Kota yang hijau akan terasa lebih nyaman karena tanaman
dapat menghasilkan udara yang baik melalui proses fotosintesis sehingga
akan mengurangi tingkat polusi udara dan lingkungan perkotaan akan

35
terasa lebih sejuk. Jelas bahwa kota hijau penting bagi kesehatan
manusia.
Manfaat lain dari melaksankan program urban farming yaitu untuk
memanfaatkan lahan kosong. Oleh karena, tingkat urbanisasi yang terjadi
lebih cepat, lahan yang produktif terbuang dengan pembangunan industri.
Tidak adanya rencana untuk desain kota menyebabkan tanah yang lebih
cocok untuk pertanian terbuang dan juga jika rencana kota kurang baik
dan tidak efektif, sering kali ada lahan kosong yang terbengkalai.
Pemanfaatan lahan kosong ialah satu metode untuk memasok pangan
untuk penduduk kota. Selain memastikan pasokan pangan tetap kuat dan
berkelanjutan. Selain itu, pemanfaatan lahan kosong dapat mengurangi
gejala Urban Sprawl (Bandung City Environmental Management Board
2014).
Kelurahan Tamansari memiliki ketersediaan lahan kosong secara
acak di beberapa tempat dan hanya sedikit yang memiliki lahan kosong di
area rumah masyarakatnya. Hal tersebut akibat luas kavling yang terbatas
dan luas bangunan yang sama bahkan melebihi luas kavling. Sehingga
keadaan tersebut mengakibatkan pelaksanaan program urban farming
tidak dapat berjalan secara efektif di Kelurahan Tamansari. Sehingga
diperlukannya pemanfaatan lahan kosong yang ada dengan semaksimal
mungkin agar program urban farming dapat berkelanjutan. Dengan
demikian lahan kosong yang tidak produktif dan terbengkalai akan
menjadi lahan produktif yang berkelanjutan. Yang pada akhirnya akan
meningkatkan pasokan komoditas pangan Kota Bandung dan dapat
menjaga ketahanan pangan nasional. Maka dari sebab itulah, campur
tangan pemerintah atau perangkat di bawahnya dalam mensosialisasikan
lebih gencar, memberi sarana dan prasarana pendukung, serta mengawasi
program urban farming ini sangat diperlukan. Sehingga program urban
farming yang pada mulanya telah berjalan dengan baik tidak berhenti di
tengah pelaksanaan.

36
BAB 4

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian dan
rekomendasi secara studi mengenai materi penyelesaian serta saran mengenai
praktikum.

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis untuk menjawab tujuan dan rumusan


masalah dari laporan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa
ketersediaan lahan di Kelurahan Tamansari tersebar secara acak. Hal ini
ditunjukkan dengan pernyataan H0 yang diterima pada uji runs. Hasil
pengujian tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan lahan kosong di
Kelurahan Tamansari tersebar secara acak. Persebaran ketersediaan
lahan yang acak ini terjadi karena mayoritas rumah tangga yang ada di
Kelurahan Tamansari tidak memiliki ketersediaan lahan, sehingga lahan
hanya tersedia di beberapa rumah warga secara acak. Karena
ketersediaan lahan di Kelurahan Tamansari acak, maka tidak dapat
ditentukan secara pasti variabel lain yang dapat mempengaruhi
ketersediaan lahan secara menyeluruh di Kelurahan Tamansari. Atau
dengan kata lain, variabel lain hanya berlaku di beberapa responden
saja, tidak berlaku untuk keseluruhan.

Luas lahan produktif di Kota Bandung pada tahun 2015 hampir


sama dengan tahun 2016. Pada tahun 2015 dan 2016 luas lahan produktif
di Kota bandung tidak mengalami perubahan yang signifikan. Salah satu
penyebabnya yaitu karena semakin meningkatnya penduduk di Kota
Bandung yang diiringi dengan kebutuhan akan tempat tinggal. Kebutuhan
akan tempat tinggal menciptakan preferensi rumah tangga yang lebih
condong ke hunian pribadi serta kurangnyya perhatian pemerintah dalam
menyediakan fasilitas hunian bertingkat yang dapat dijangkau oleh semua
37
kalangan masyarakat. Maka dari itu, tingkat konversi lahan produktif
meningkat.

Keadaan luas kavling di Kelurahan Tamansari lebih besar daripada


luas bangunannya. Berdasarkan hasil pengolahan data, luas kavling di
Kelurahan Tamansari lebih besar dibandingkan luas bangunannya. Hal ini
ditunjukkan dengan pernyataan H0 diterima dan H1 ditolak karena Z tidak
berada pada daerah kritis dan nilai signifikasinya lebih besar daripada
0,05. Hal tersebut meyebabkan sedikitnya lahan kosong yang dapat
digunakan untuk melaksanakan program urban farming. Dengan begitu,
program urban farming sulit dilaksanakan di Kelurahan Tamansari tanpa
adanya campur tangan pemerintah dalam penyediaan lahan kosong,
sosialisasi, serta pengawasan dan evaluasi.

4.2 Saran

4.2.1 Saran terhadap studi

Tidak adanya penjelasan mengenai

4.2.2 Saran terhadap Praktikum

1. Penjelasan sebelum memulai praktikum agar tidak terlalu


cepat.
2. Lebih detail lagi saat menjelaskan laporan praktikum

38
DAFTAR PUSTAKA

http://personal.its.ac.id/files/pub/5352eko_budiurplanCities%202014%20
Urban%20Farming_EBS_RRW.pdf, diakses pada 14 Oktober 2017 pukul 14.37 WIB

masrogultom.wordpress.com/2014/05/20/bagaimana-upaya-untuk-
meningkatkan-ketahanan-pangan-di-indonesia/ diakses pada 12 Oktober 2017
pukul 08.00 WIB.

http://sir.stikom.edu/99/5/BAB%20II.pdf, diakses pada 12 Oktober 2017


pukul 08.32 WIB.

http://repository.unpas.ac.id/3571/2/07_BAB%20II.pdf, diakses pada 14


Oktober 2017 pukul 12.45 WIB.

http://eprints.polsri.ac.id/110/3/BAB%20II%20fix.pdf, diakses pada 10


Oktober 2017 pukul 09.26.

http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmpda2908f5e4full.pdf,
diakses pada 13 Oktober 2017 pukul 20.00 WIB.

39

Anda mungkin juga menyukai