Dosen Pengampu :
Anggota Kelompok :
A. Latar Belakang
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28H Ayat 1
menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Ayat tersebut menunjukkan bahwa tinggal
di sebuah hunian dengan lingkungan yang layak merupakan hak dasar yang harus
dijamin pemenuhannya oleh Pemerintah sebagai penyelenggara negara.
Penanganan permukiman kumuh menjadi tantangan yang rumit dan
multidimensional bagi pemerintah kota/kabupaten. Persoalan permukiman merupakan
masalah yang serius karena dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya kantong-
kantong kemiskinan yang fatal dan kemudian menyebabkan lahirnya berbagai
persoalan sosial di luar kontrol atau kemampuan pemerintah kota untuk menangani dan
mengawasinya. Permukiman kumuh merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia
yang tidak mudah untuk diatasi. Beragam upaya dan program dilakukan untuk
mengatasinya, namun masih saja banyak kita jumpai permukiman masyarakat miskin
di hampir setiap sudut kota yang disertai dengan ketidaktertiban dalam hidup
bermasyarakat di perkotaan. Salah satu program pemerintah yang dimaksudkan untuk
mengatasi permasalahan ini adalah program Kotaku.
PROGRAM KOTAKU
Program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh) adalah program yang dilaksanakan secara nasional
di 269 kota/kabupaten di 34 Propinsi yang menjadi “platform” atau basis penanganan kumuh
yang mengintegrasikan berbagai sumber daya dan sumber pendanaan, termasuk dari
pemerintah pusat, provinsi, kota/kabupaten, pihak donor, swasta, masyarakat, dan pemangku
kepentingan lainnya. KOTAKU bermaksud untuk membangun sistem yang terpadu untuk
penanganan kumuh, dimana pemerintah daerah memimpin dan berkolaborasi dengan para
pemangku kepentingan dalam perencanaan maupun implementasinya, serta mengedepankan
partisipasi masyarakat. KOTAKU diharapkan menjadi “platform kolaborasi” yang mendukung
penanganan kawasan permukiman kumuh seluas 38.431 Ha yang dilakukan secara bertahap di
seluruh Indonesia melalui pengembangan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat,
penguatan kelembagaan, perencanaan, perbaikan infrastruktur dan pelayanan dasar di tingkat
kota maupun masyarakat, serta pendampingan teknis untuk mendukung tercapainya sasaran
RPJMN 2015-2019 yaitu pengentasan permukiman kumuh perkotaan menjadi 0 persen.
Dari pengertian tersebut dapat dirumuskan karakteristik perumahan kumuh dan permukiman
kumuh dari aspek fisik sebagai berikut:
a) Keteraturan bangunan.
b) Jalan Lingkungan.
c) Drainase Lingkungan.
e) Pengelolaan Persampahan.
g) Pengamanan Kebakaran.
Karakteristik fisik tersebut selanjutnya menjadi dasar perumusan kriteria dan indikator dari
gejala kumuh dalam proses identifikasi lokasi perumahan kumuh dan permukiman kumuh.
Selain karakteristik fisik, karakteristik non fisik pun perlu diidentifikasi guna melengkapi
penyebab kumuh dari aspek non fisik seperti perilaku masyarakat, kepastian bermukim,
kepastian berusaha, dsb.
TUJUAN PROGRAM
Tujuan program adalah meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di
kawasan kumuh perkotaan untuk mendukung terwujudnya permukiman perkotaan yang layak
huni, produktif dan berkelanjutan.
Pencapaian tujuan program dan tujuan antara diukur dengan merumuskan indikator kinerja
keberhasilan dan target capaian program yang akan berkontribusi terhadap tercapainya sasaran
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yaitu pengentasan
permukiman kumuh perkotaan menjadi 0 persen. Secara garis besar pencapaian tujuan diukur
dengan indikator “outcome” sebagai berikut:
2. Kondisi bangunan tidak memenuhi syarat, tidak teratur dan memiliki kepadatan tinggi;
3. Kondisi sarana dan prasarana tidak memenuhi syarat. Khusus untuk bidang
keciptakaryaan, batasan sarana dan prasarana adalah sebagai berikut:
a. Keteraturan bangunan
b. Jalan Lingkungan;
c. Drainase Lingkungan,
e. Pengelolaan Persampahan;
Karakteristik fisik tersebut selanjutnya menjadi dasar perumusan kriteria dan indikator dari
gejala kumuh dalam proses identifikasi lokasi perumahan kumuh dan permukiman kumuh.
Selain karakteristik fisik, karakteristik non fisik pun perlu diidentifikasi guna melengkapi
penyebab kumuh dari aspek non fisik seperti perilaku masyarakat, kepastian bermukim,
kepastian berusaha, dsb.
Sumber: kotaku.pu.go.id
Seperti yang sudah disebutkan, program Kotaku memiliki tujuan untuk mengurangi
permukiman kumuh hingga 0 ha. Hal ini merupakan salah satu upaya sosial dari pemerintah
untuk membuat tingkat kesejahteraan di Indonesia meningkat dan inklusif. Maka dapat
dikatakan juga bahwa area pengembangan komunitas Kotaku adalah sosial/ social development.
Terdapat beberapa proses dalam pengembangan sosial menurut Jim Ife [1], diantaranya adalah :
1
Ife, Jim. 2013. Community Development in an Uncertain World. Perth: Curtin University
4. Menyiapkan struktur organisasi dalam pembuatan komunitas baru
5. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar ikut berkontribusi
6. Monitoring dan evaluasi
Biasanya, pemerintah akan menggunakan purchase of service model yaitu dimana
pemerintah menyediakan pembiayaan yang spesifik dalam melaksanakan keberjalanan dari
komunitas ini. Idealnya pendekatan sosial ini dilihat dari sudut pandang masyarakat yang paling
tidak diuntungkan.
PENDEKATAN PROGRAM
Untuk mengidentifikasi peran para pelaku program, digunakan teori Level of Social
Agency atau tingkatan para pelaku sosial. Menurut Jim Ife, terdapat tiga tingkatan pelaku sosial,
yaitu individu, organisasi, dan jejaring. Kondisi individu dapat diamati melalui sumber daya
dan kepemimpinan manusia tersebut, seperti dari kemampuan, pengetahuan, sumber daya di
sekitarnya, dan partisipasinya dalam aktivitas pengembangan komunitas. Dalam tingkat
organisasi, penilaian kualitas dilihat dari responsibilitas, efektivitas, dan efisiensi organisasi
tersebut. Pengembangan komunitas dalam tingkat organisasi terjadi pada komunitas yang pada
dasarnya berbentuk organisasi. Selanjutnya, dalam tingkat jejaring, komunitas bergerak melalui
hubungan kompleks antara individu, grup informal, maupun organisasi formal.
Pengembangan masyarakat melalui program Kotaku berada pada tingkatan network atau
jejaring, dimana dalam implementasi program tersebut terdapat organisasi-organisasi tertentu
yang saling bekerjasama dan bekerja berdasarkan organogram tertentu. Dari organisasi formal
tersebut, selanjutnya turun ke masyarakat sebagai grup informal atau sebagai individu yang
digerakkan agar memiliki kemandirian untuk membangun daerahnya masing-masing. Bentuk
organogram dapat dilihat pada gambar berikut :
Dari organogram tersebut, dapat dilihat bahwa dalam setiap tingkatan wilayah, terdapat
organisasi atau stakeholder tertentu yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan program
Kotaku. Setiap stakeholder berkoordinasi dan menjalankan tugas berdasar garis pengendalian
dan garis koordinasi. Pada tingkat kelurahan atau desa, terdapat tim yang bertugas untuk
langsung berkomunikasi kepada masyarakat. Tim tersebut selanjutnya bertanggungjawab untuk
pengembangan masyarakat termasuk pada kemampuan individu masing-masing anggota
masyarakat.
FUNGSI PROGRAM
STRATEGI PROGRAM
Strategi dasar dari program Kotaku termasuk dalam strategi Kolaborasi sehingga seluruh
pelaku pembangunan dalam penanganan permukiman kumuh. Penyusunan rencana ini
dilakukan secara kolaboratif, sehingga:
1. Adanya tingkat partisipasi yang tinggi dari para pemangku kepentingan sampai pada
pengambilan keputusan dan control terhadap pelaksanaan program;
2. Kesetaraan kekuasaan dimana tidak ada dominasi oleh pihak tertentu dan setiap actor
yang terlibat tidak dihalangi oleh batas hirarki dan terdapat rasa saling menghormati;
3. Terdapat actor-aktor yang memiliki kompetensi dalam berkomunikasi, memahami
substansi dan memiliki orientasi untuk mencapai tujuan Bersama.
Kemudian hasil yang diharapkan dari perencanaan yang kolaboratif adalah, sebagai Berikut:
1. Mengacu pada visi bersama, tujuan dan sasaran yang jelas, akurat dan terukur dalam
penanganan permukiman kumuh tingkat kawasan dan di tingkat Kabupaten/kota. Visi
ini sesuai dengan visi dari RPJMD;
2. Harmonisasi sasaran lokasi/kawasan kumuh prioritas yang akan ditangani dan semua
pihak sepakat, lintas sektor dan pelaku, bekerja sama pada lokasi kerja yang sama;
3. Harmonisasi bidang perencanaan mencakup aspek prasarana, sarana, utilitas
perumahan dan permukiman serta ancaman bencana dan aspek legalitas, kesehatan,
sosial, budaya, dan ekonomi kawasan dan penghuni;
4. Pola penanganan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan berbasis
masyarakat dan berbasis institusi;
5. Harmonisasi lembaga yang akan menangani agar tidak terjadi duplikasi lembaga di
tingkat desa/kelurahan mengingat beragamnya nomenklatur lembaga komunitas (BKM,
LKM, Pokmas, Gapoktan, dan komunitas lainya);
6. Harmonisasi berbagai sumber daya yang dapat diberikan oleh para pemangku
kepentingan (dana, waktu, manusia) dan berdasarkan jenis komponen serta jenis
investasi.
KELUARAN PROGRAM
Keluaran Kotaku datang dari indikator-indikator yang hendak diselesaikan oleh Program
Kotaku itu sendiri. Indikator tersebut yakni:
1. Bangunan Gedung
o kepadatan tinggi tidak sesuai dengan ketentuan dalam rencana tata ruang;
o Kondisi permukaan jalan yang tidak dapat dilalui kendaraan dengan aman dan nyaman;
4. Drainase Lingkungan
o Menimbulkan bau;
6. Pengelolaan Persampahan
7. Pengamanan Kebakaran
Penerapan dari perbaikan terhadap setiap indicator ini menghasilkan keluaran berupa lima hal
yang dapat dirasakan oleh wilayah/area yang menerapkan program Kotaku dengan baik.
1. Better service
• Pengelolaan persampahan
Peningkatan pelayanan publik terkait persampahan contohnya terjadi di Pagaralam pada tahun
2017 ketika program KOTAKU menyerahkan puluhan unit kotak sampah dan satu unit motor,
meningkatkan pengelolaan sampah di Pagaralam.
Peningkatan pelayanan terhadap air minum salah satunya terjadi di Desa Lae Ikan, Aceh.
Semula masyarakat harus berjalan 1 km membawa air dari sumber mata air tapi dengan
kerjasama antara BKM dan program Kotaku maka dibuat pipa-pipa yang menghubungkan
sumber mata air dengan rumah masyarakat.
2. Community Preparedness
Salah satu indikator program Kotaku adalah pengamanan kebakaran. Oleh karena itu Kota
Tanpa Kumuh (Kotaku) menggelar sosialisasi pelatihan penanganan kebakaran tingkat satu di
banyak tempat. Salah satu contohnya adalah di Pangkal Pinang pada tahun 2017. Hal ini sangat
informatif untuk masyarakat supaya masyarakat bisa mencegah api membesar dan menjalar
ketika terjadi kebakaran.
4. Economic Well-being
Kotaku yang berfokus pada reduksi permukiman kumuh dan pengadaan infrastruktur tentunya
membantu perekonomian untuk tumbuh. Contohnya adalah di Kabupaten Manna yang
mendapatkan bantuan infrastruktur dan penerapan ekonomi bergulir yang dikelola oleh BKM
dan dibantu Kotaku.
5. Community Building
Penerapan Kotaku tidak hanya sekedar program untuk menuntaskan permasalahan fisik saja
melainkan jauh daripada itu juga untuk mengatasi permasalahan sosial yang ada di masyarakat.
Melalui program Kotaku masyarakat yang diwakili oleh BKM berkolaborasi dengan
pemerintah untuk mengidentifikasi masalah dan penyelesaiannya. Contoh-contohnya di antara
lain terlihat pada penyediaan air minum di Desa Lae Ikan, persampahan di Pagaralam, dst.
Community Organizer merupakan orang atau sekelompok orang dengan latar belakang
organisasi tertentu yang ditugaskan ke tengah-tengah masyarakat atau komunitas untuk
melaksanakan tujuan dan tugas organisasi tersebut dengan membentuk kesadaran, membangun
gerakan, dan perubahan sosial didalam masyarakat atau komunitas. Terkait dengan hal tersebut,
dalam Program KOTAKU terdapat prinsip penataan permukiman yang berbasis komunitas.
Dimana pemerintah mendorong partisipasi masyarakat kelurahan/desa dengan menjadikannya
salah satu pelaku utama pembangunan tingkat kelurahan/desa dibawah koordinasi pemerintah
kecamatan dan kabupaten/kota. Adapun ketentuan ini menyebabkan masyarakat memiliki hak
dan kewajiban dalam seluruh proses pengambilan keputusan berkaitan dengan penataan
lingkungan permukiman, mulai dari persiapan, perencanaan, pelaksanaan, operasi dan
pemeliharaan, serta keberlanjutan program. Untuk itu dalam hal mendorong partisipasi dan
pemberdayaan masyarakat kelurahan/desa, pemerintah kabupaten/kota memberi dukungan
teknis. Dukungan teknis yang dimaksud meliputi penyediaan Pokja PKP dan/atau tim teknis
dan tim konsultan yang terdiri dari tim fasilitator, tim koordinator kota, serta konsultan regional
dan nasional.
Kotaku dengan programnya 100-0-100 menargetkan 100 persen akses air minum, 0 persen
permukiman kumuh, 100 persen akses sanitasi layak. Tapi perhatian utama pada program ini
masih belum fokus pada sasaran utamanya, banyak kampung kota yang berada dekat dengan
pusat kota justru belum terdampak pembangunan infrastruktur yang mendukung terealisasinya
target 100-0-100. Selain itu, di beberapa tempat yang sudah mendapatkan hasil dari program
Kota Tanpa Kumuh, pengelolaan dari apa yang sudah dibangun pemerintah melalui program
ini diserahkan kepada pihak ketiga. Masyarakat tidak secara langsung mengelola, merawat, dan
menjaga lingkungan hasil binaan tersebut. Jadi jika ada infrastruktur yang rusak dikemudian
hari, masyarakat akan merasa itu bukan kewajiban mereka untuk memperbaiki karena sudah
ada pihak yang mengelola infrastruktur tersebut. Di salah satu tempat, karena pengelolaan
diberikan kepada pihak swasta, pernah terjadi ada perbaikan infrastruktur berupa galian untuk
kabel, dan lubang tersebut dibiarkan berminggu-minggu tanpa kejelasan kapan perbaikan itu
dapat diselesaikan. Karena itupun ada orang yang menjadi korban kelalaian dari perbaikan
tersebut. Masyarakat tidak bisa berbuat banyak, jika didiamkan mereka dirugikan karena
tersendatnya perbaikan tersebut memakan korban dan merukan keindahan lingkungan sekitar,
jika mereka menutup lubang sementara, ketika pihak swasta hendak melanjutkannya,
masyarakat akan disalahkan karena sudah mengganggu proses perbaikan tersebut. Terkadang
pihak ketiga ini merugikan masyarakat jika hal-hal tersebut tidak ada yang mengawasi. Hal
tersebut berdampak juga terhadap tingkat partisipasi warga dalam menjaga lingkungan
sekitarnya yang sudah diperbaiki. Karena tidak merasa memiliki, mereka berlaku seenaknya
terhadap apa yang sudah pemerintah berikan. Selain itu kurangnya pengawasan dari pihak
pemerintah terutama Direktorat Jenderal Cipta Karya menjadi salah satu faktor lain hal-hal
tersebut bisa terjadi.
Terlepas dari hal tersebut, dana yang dikeluarkan untuk mendukung program ini tidak
sedikit. Pemerintah mendapat pinjaman dana dari pihak asing demi terwujudnya tujuan dari
Kota Tanpa Kumuh sebesar 5.629 triliyun rupiah. Permasalahannya berada pada system
pembiayaannya, dimana pada program ini tidak memberikan profit secara langsung kepada
pihak pemerintah dimana uang yang mereka turunkan pada setiap daerah bisa kembali ke
pemerintah dengan jumlah yang sama.
KESIMPULAN
REFERENSI
Tentang Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku). (n.d.). diakses November 29, 2018, dari
http://kotaku.pu.go.id/page/6880/tentang-program-kota-tanpa-kumuh-kotaku
Bahaya Hutang Bank Dunia dalam Program KOTAKU diakses pada 26 November, 2018, dari
http://elsam.or.id/2016/10/bahaya-hutang-bank-dunia-dalam-proyek-kotaku/