Anda di halaman 1dari 43

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28H Ayat 1 menyatakan bahwa:

“Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,

dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak

memperoleh pelayanan kesehatan”. Ayat tersebut menunjukkan bahwa tinggal

di sebuah hunian dengan lingkungan yang layak merupakan hak dasar yang

harus dijamin pemenuhannya oleh Pemerintah sebagai penyelenggara negara.

Sudah barang tentu luasan kawasan kumuh perkotaanpun diperkirakan akan

terus mengalami penambahan apabila tidak ada bentuk penanganan yang

inovatif dan tepat sasaran. Penanganan permukiman kumuh menjadi tantangan

yang rumit bagi pemerintah kota/kabupaten, karena selain merupakan masalah,

di sisi lain ternyata merupakan salah satu pilar penyangga perekonomian kota.

Berangkat dari cita-cita bangsa dan memperhatikan berbagai tantangan

yang ada, Pemerintah menetapkan penanganan perumahan dan permukiman

kumuh sebagai target nasional yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015/2019. Disebutkan bahwa salah satu

sasaran pembangunan kawasan permukiman adalah tercapainya pengentasan


2

permukiman kumuh perkotaan menjadi 0 Ha melalui penanganan kawasan

permukiman kumuh seluas 38.431 Ha(RPJMN 2015-2016).

Untuk itu, seluruh program di Direktorat Jendral Cipta Karya (DJCK)

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen. PUPR) dalam

kurun waktu 5 tahun ke depan akan difokuskan untuk mewujudkan permukiman

yang layak huni hingga tercapai 0 Ha kumuh tanpa menggusur. Mengingat sifat

pekerjaan dan skala pencapaian, diperlukan kolaborasi multi-pihak antara

Pemerintah mulai tingkat pusat sampai dengan tingkat kelurahan/desa, pihak

swasta, masyarakat, dan pihak terkait lainnya. Pelibatan berbagai pihak secara

kolaboratif diharapkan memberikan berbagai dampak positif, antara lain

meningkatkan komitmen pemerintah daerah dalam pencapaian kota layak huni;

meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat dalam

memanfaatkan dan memelihara hasil pembangunan; menjamin keberlanjutan;

dan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan swasta terhadap Pemerintah.

Oleh karena itu, Direktorat Jendral Cipta (DJCK) menginisiasi

pembangunan platform kolaborasi untuk mewujudkan permukiman layak huni

melalui Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU). Rancangan program ini

berpijak pada pengembangan dari program nasional sebelumnya. Program

tersebut telah memberikan berbagai pembelajaran penting untuk pengembangan

Program KOTAKU dan investasi berharga berupa terbangunnya kelembagaan

tingkat masyarakat, kerja sama antara masyarakat dan pemerintah daerah, sistem
3

monitoring dan kapasitas tim pendamping. Berdasarkan pembelajaran tersebut,

Program KOTAKU dirancang dengan Pemerintah Daerah sebagai nakhoda

dalammewujudkan permukiman layak huni di wilayahnya, yang mencakup: (1)

pengembangan kapasitas dalam perencanaan dan pelaksanaan penanganan

kumuh tingkat kota/kab karena peran pemda menjadi sangat penting dalam

penyediaan infrastruktur dan pelayanan di tingkat kota/kabupaten; (2)

penyusunan rencana penanganan kumuh tingkat kota termasuk rencana investasi

dengan pembiayaan dari berbagai sumber (pusat, propinsi, kota/kabupaten,

masyarakat, swasta, dll); (3) perbaikan serta pengoperasian dan pemeliharaan

infrastruktur tingkat kota (primer atau sekunder) yang terkait langsung dengan

penyelesaian permasalahan di kawasan kumuh; (4) penyediaan bantuan teknis

untuk memperkuat sistem informasi dan monitoring penanganan kumuh,

mengkaji pilihan-pilihan untuk penyelesaian masalah tanah, dan sebagainya.

Dinamika Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) dalam uraian sebelumnnya

menjadi program yang sangat penting untuk diteliti , terutama bentuk program

maupun implementasi Kota Tanpa Kumuh ditengah- tengah masyarakat di

wilayah desa/kelurahan maupun dalam skala Kabupaten. Kabupaten Majene

adalah salah salah satu Kabupaten di Sulawesi Barat yang juga memiliki

program Kota Tanpa Kumuh terutama di wilayah Kecamatan Banggae dan

Banggae Timur. Khusus di kecamatan Banggae Rencana Penataan Lingkungan

Permukiman (RPLP) merupakan dokumen perencanaan kelurahan/dan desa di


4

Kecamatan Banggae yang disusun secara partisipatif yang dilengkapi dengan skenario

penanganan (road map), program-program dan kegiatan yang lebih terukur dalam

pencapaian 0 Hektar kawasan kumuh pada tahun 2019. Dan salah- satu wilayah sasaran

di Kecamatan Banggae

Dari beberapa wilayah kelurahan yang menjadi fokus Kota tanpa Kumuh,

Kelurahan Banggae menjadi bagian perencanaan dan sasaran penanganan wilayah

kekumuhan di kelurahan Banggae dimulai dari Tahun 2016 dan telah banyak

melakukan penanganan dalam menangani infrastruktur masyarakat seperti Selokan,

Jalan setapak, dan bedah rumah dibeberapa rumah warga masyarakat di kelurahan

Banggae dan fokus di Lingkungan Copala, perencanaan program Kota Tanpa Kumuh

(KOTAKU) di kelurahan Banggae ini akan dilaksanakan mulai tahun 2016 sampai

dengan tahun 2021.

Karena itulah, fokus penelitian ini berada di lokasi Kabupaten Majene yang

tepatnya di Lingkungan Copala Kelurahan Banggae Kecamatan Banggae.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalahnya

adalah sebagaiberikut :

Bagaimanakah Implementasi Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di

Lingkungan Copala Kelurahan Banggae ?

C. Tujuan dan Kegunaan

1. Tujuan Penelitian
5

a. Untuk mengetahui gambaran umum Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di

Lingkungan Copala Kelurahan Banggae Kecamatan Banggae Kabupaten

Majene.

b. Untuk mengetahui implementasi program Kota Tanpa Kumuh

(KOTAKU) di Lingkungan Copala Kelurahan Banggae Kecamatan

Banggae Kabupaten Majene.

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam dimensi teoritis

dan praktis. Ada lima kegunaan penelitian ini yaitu :

a. Dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah daerah kabupaten dalam

mendesain model kerjasama dengan Kota Tanpa Kumuh berjalan dengan

efisien dan efektif.

b. Dapat memberi konstribusi dalam penyempurnaan kebijakan operasional

baik di tingkat kelurahan maupun dalam skala kabupaten.

c. Sebagai bahan pertimbangan pemerintah daerah dalam meningkatkan

kesejahteraan dan keindahan tata kota dan masyarakat yang maju.

d. Dapat memberikan sumbangan pemikiran ke arah pengembangan ilmu

pengetahuan sosial, khususnya dalam bidang studi pembangunan

infrastrukruktur bahkan pada kebijakan politik.


6

e. Sebagai wahana dalam bidang studi ilmu pemerintahan yang berkaitan

dengan pengembangan konsep dan Program Kota Tanpa Kumuh

(KOTAKU).

D. Kerangka Konseptual

Berdasarkan pentingnya program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), maka

sistematika penelitian dalam ruang lingkup kerangka pemikiran sangat diperlukan

untuk mencermati tahap-tahap dan kerangka konsep dalam rangka menguatkan

penelitian.

Keberadaan Kota Tanpa Kumuh tidak lepas dari agenda pemerintah sebagai

kekuatan struktural birokrasi mulai dari tingkat pusat sampai pada tinkat

kabupaten dan kelurahan, hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan

meminimalisir adanya wilayah kumuh diberbagai tempat bahkan berfungsi untuk

membahagiakan dan mensejahterakan rakyat. Karena itulah sumber daya manusia

diperlukan dalam bentuk kelembagaan yang bernama Kota Tanpa Kumuh

(KOTAKU) dengan struktur yang secara nasional sampai tingkat kelurahan

dibentuk berdasarkan kebutuhan umum di masyarakat melalui proses identifikasi

wilayah sampai pada penentuan lokasi pemberdayaan yang diprogramkan dengan

rencana dan pelaksanaan lapangan yang matang. Kemudian dilanjutkan dengan

adanya evaluasi pelaksanaan berdasarkan aspirasi rakyat sebagai bentuk yang

komunikatif searah dan seimbang dalam rangka mempelancar kebutuhan

implementasi dan kebijakan wilayah yang masih belum sempurna. Tentu

penelitian ini akan banyak bersentuhan kepada pengelolah program Kota Tanpa
7

Kumuh (KOTAKU) di tingkat Kabupaten hingga Kelurahan/Desa, kemudian dari

kalangan pemerintah sebagai Stakeholder untuk membuat kebijakan dan

pengawasan kinerja, maka sikap atau desposisi dibutuhkannya agar komunikasi

seluruh elemen dalam masyarakat berjalan sebagaimana mestinya, alhasil,

penelitian ini akan meminta pandangan masyarakat atau tokoh masyarakat

sebagai bentuk aspirasi atau masukan yang positif.

Berdasarkan sistematika implementasi Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU),

berikut kerangka penelitian ini :

Pemerintah /Stakeholder
Kebijakan dan Pengawasan

Lembaga Swadaya Masyarakat KOTAKU


Program dan Implementasi

Wilayah Program KOTAKU


Identifikasi dan penentuan

Masyarakat
Aspirasi dan dukungan Program
8

E. Definisi operasional

Setelah beberapa konsep dan gambaran umum telah diuraikan dalam hal

yang berhubungan dengan kegiatan ini, sehingga untuk mempermudah dalam

mencapai tujuan penelitian, perlu disusun definisi operasional yang dapat

dijadikan acuan dalam penelitian ini antaralain :

1. Implementasi dalam penelitian adalah pelaksanaan atau penerapan yang

nyata dalam perencanaan program yang akan dilakukan Kota Tanpa Kumuh

(KOTAKU) di Lingkungan Copala Kelurahan Banggae Kabupaten Majene.

2. Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) dalam penelitian ini adalah salah satu

program Pemerintah yang dijalankan sesuai rencana pemerintah yang

berkolaborasi dengan program Organisasi kemasyarakatan.

3. Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) dalam perencanaannya akan melaksanakan

pembangunan dan penguatan infrastruktur wilayah terutama dalam menata

tata ruang kota agar lingkungan dan socialnya teratur dengan baik.

F. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi uraian tentang Latar Belakang Masalah yang mendasari

pentingnya diadakan penelitian, identifikasi, pembatasan dan perumusan

Masalah Penelitian, Maksud dan Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian yang

diharapkan, dan Hipotesis yang diajukan serta Sistematika Penulisan.


9

BAB II TINJAUAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Bab ini berisi Tinjauan teori yang mendiskripsikan pengertian, jenis-jenis

dan prinsip dasar, Media Komunikasi dan Saluran Komunkasi, Hubungan

Masyarakat dan teori Implementasi .

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisi uraian tentang Disain Penelitian, Operasional Variabel dan

Pengukuran, Populasi dan Sampel Penelitian, Teknik Pengumpulan Data dan

Teknik Analisis Data yang digunakan, Rancangan Uji Hipotesis serta Jadual

Penelitian.

BAB IV IMPLEMENTASI PROGRAM KOTA TANPA KUMUH (KOTAKU)

LINGKUNGAN COPALA’ KELURAHAN BANGGAE KABUPATEN

MAJENE

Dalam bab ini diuraikan tentang Hasil Penelitian yang meliputi deskripsi

Penerbitan Bulletin Bandara, Karakteristik Responden yang menjadi sampel

penelitian, Distribusi Data, Pengujjian Persyaratan Analisis yang tediri atas

Pengujian Validitas dan Pengujian Reliabilitas Instrumen Penelitian,

Pengukuran Koefisien Korelasi, Pengukuran Koefisien Determinasi dan

Pengukuran Koefisien Regresi serta Pengujian Hipotesis; dan Pembahasan

Hasil Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan analisis kualitatif.

BAB V PENUTUP

Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran


10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Implementasi

Menurut Patton dan Sawicki (1993) bahwa implementasi berkaitan dengan

berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada

posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan

dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan

mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien

sumber daya, Unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan

program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat,

dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang

dilaksanakan.

Jadi tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan

apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan

memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas

dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai suatu

penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil

melalui aktivitas atau kegiatan dan program pemerintah. (Tangkilisan, 2003:9)

Menurut Robert Nakamura dan Frank Smallwood hal-hal yang

berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan dalam


11

mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan ke dalam keputusan-

keputusan yang bersifat khusus. (Tangkilisan, 2003:17)

Sedangkan menurut Pressman dan Wildavsky (1984), implementasi

diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana

tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk

menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara

untuk mencapainya. (Tangkilisan, 2003:17)

Jones (1977) menganalisis masalah implementasi Kebijakan dengan

mendasarkan pada konsepsi kegiatan-kegiatan fungsional. Jones (1977)

mengemukakan beberapa dimensi dan implementasi pemerintahan mengenai

program-program yang sudah disahkan, kemudian menentukan implementasi,

juga membahas aktor-aktor yang terlibat, dengan memfokuskan pada birokrasi

yang merupakan lembaga eksekutor. Jadi Implementasi merupakan suatu proses

yang dinamis yang melibatkan secara terus menerus usaha-usaha untuk

mencari apa yang akan dan dapat di lakukan. Dengan demikian

implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan

suatu program kedalam tujuan kebijakan yang diinginkan.

Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan

adalah:

1) Penafsiran yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna

program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.


12

2) Organisasi yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan

program ke dalam tujuan kebijakan.

3) Penerapan yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan,

upah, dan lain-lainnya. (Tangkilisan, 2003:18)

Implementasi dalam Kamus Bahas Indonesia diartikan sebagai pelaksanaan

atau penerapan. Artinya dilaksanakan dan diterapkan adalah kurikulum yang

telah dirancang /didesain untuk kemudian dilaksanakan sepenuhnya.

B. Kerangka Teori Implementasi

Pendekatan yang digunakan dalam menganalisis implementasi kebijakan

adalah teori yang dikemukakan oleh George C. Edwards III. Dimana

implementasi dapat dimulai dari kondisi abstrak dan sebuah pertanyaan tentang

apakah syarat agar implementasi kebijakan dapat berhasil, menurut George C.

Edwards III ada empat variabel dalam kebijakan publik yaitu Komunikasi

(Communications), Sumber Daya (resources), sikap (dispositions atau attitudes)

dan struktur birokrasi (bureucratic structure)

Ke empat faktor di atas harus dilaksanakan secara simultan karena antara

satu dengan yang lainnya memiliki hubungan yang erat. Tujuan kita adalah

meningkatkan pemahaman tentang implementasi kebijakan. Penyederhanaan

pengertian dengan cara membreakdown (diturunkan) melalui eksplanasi

implementasi kedalam komponen prinsip. Implementasi kebijakan adalah suatu

proses dinamik yang mana meliputi interaksi banyak faktor. Sub kategori dari
13

faktor-faktor mendasar ditampilkan sehingga dapat diketahui pengaruhnya

terhadap implementasi.

Diagram : Dampak langsung dan tidak langsung dalam Implementasi

Sumber : George III Edward :implemeting public policy, 1980

Faktor –faktor yang berpengaruh dalam implementasi menurut George C.

Edwards III sebagai berikut :

a. Komunikasi

Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-

tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab

dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan

dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana.

Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu

dikomunikasikan sehingga implementors mengetahui secara tepat ukuran


14

maupun tujuan kebijakan itu. Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu

proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa menahannya hanya

untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya. Di samping itu

sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang

berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang

bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah

mereka dapat melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus

diterima oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat

mengenahi maksud dan tujuan kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan

telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak

mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan

bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan

tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi

kepada para implementor secara serius mempengaruhi implementasi

kebijakan.

b. Sumberdaya

Tidak menjadi masalah bagaimana jelas dan konsisten implementasi

program dan bagaimana akuratnya komunikasi dikirim. Jika personel yang

bertanggungjawab untuk melaksanakan program kekurangan sumberdaya

dalam melakukan tugasnya. Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf,

keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk

mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait


15

dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa

program dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg diharapkan, serta

adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan

kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana.

Sumberdaya manusia yang tidak memadahi (jumlah dan kemampuan)

berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena

mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf

pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan

skill/kemampuan para pelaksana untuk melakukan program. Untuk itu perlu

adanya manajemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja

program. Ketidakmampuan pelaksana program ini disebabkan karena

kebijakan konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka dimana

dalam melaksanakan program ini membutuhkan kemampuan yang khusus,

paling tidak mereka harus menguasai teknik-teknik kelistrikan.

Informasi merupakan sumberdaya penting bagi pelaksanaan kebijakan.

Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenahi bagaimana cara

menyelesaikan kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui

tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung

kepetuhan kepada peraturan pemerintah dan undang-undang. Kenyataan

dilapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para

pelaksana dilapangan. Kekurangan informasi/pengetahuan bagaimana

melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana


16

tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga

menimbulkan inefisien. Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan

organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah yang ada.

Sumberdaya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan

bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/mengatur

keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan

supervisor.

Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus

terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa

fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.

c. Disposisi atau Sikap

Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan

adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi

dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi

jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses

implementasi akan mengalami banyak masalah.

Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan ; kesadaran

pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah

penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Para

pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun

seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat

karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara


17

sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program. Disamping

itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai

sasaran program.

Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program

dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan

pimpinan ini adalah Menempatkan kebijakan menjadi prioritas program,

penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program,

memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan

karakteristik demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang

cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana program agar mereka

mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakan/program.

d. Struktur Birokrasi

Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat dilepaskan dari

struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan

pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan

eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan

apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan. Van Horn dan Van

Meter menunjukkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap

suatu organisasi dalam implementasi kebijakan, yaitu:

1. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;

2. Tingkat pengawasan hirarkhis terhadap keputusan-keputusan sub unit

dan proses-proses dalam badan pelaksana;


18

3. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara

anggota legislatif dan eksekutif);

4. Vitalitas suatu organisasi;

5. Tingkat komunikasi “terbuka”, yaitu jaringan kerja komunikasi

horizontal maupun vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang

secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di

luar organisasi;

6. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan pembuat

keputusan atau pelaksana keputusan.

Bila sumberdaya cukup untuk melaksanakan suatu kebijakan dan para

implementor mengetahui apa yang harus dilakukan , implementasi masih

gagal apabila struktur birokrasi yang ada menghalangi koordinasi yang

diperlukan dalam melaksanakan kebijakan. Kebijakan yang komplek

membutuhkan kerjasama banyak orang, serta pemborosan sumberdaya akan

mempengaruhi hasil implementasi. Perubahan yang dilakukan tentunya akan

mempengaruhi individu dan secara umum akan mempengaruhi sistem dalam

birokrasi.

Proses perencanaan implementasi bukan salah satu dari tiga proses

pemikiran dasar. Proses ini adalah aplikasi mode pengembangan dari analisis

keputusan yang dipasangkan dengan penciptaan lembar kerja yang tepat


19

untuk mendefinisikan dan memeriksa detail. Jadi diperlukan rencana

implementasi dan ada tujuh langkah untuk mengembangkannya :

1. Merumuskan Pernyataan Rencana

2. Mengidentifikasi Tujuan Rencana

3. Mengidentifikasi Komponen Rencana

4. Menjadwalkan event dan waktu

5. Memeriksa kembali Komponen –Analisis Rencana

6. Melaksanakan Tes Objektif

7. Menyusun Ulang Rencana

Karena ada sejumlah langkah dalam perencanaan implementasi dan

karena langkah-langkah itu relatif sudah jelas, maka akan lansung

diilustrasikan konsep dengan contoh sebagai berikut :.

Langkah pertama : Merumuskan Pernyataan Rencana

Pernyataan keputusan adalah titik tumpu penting bagi proses analisis

keputusan , sedangkan pernyataan rencana adalah titik tumpu bagi rencana

implementasi.

Langkah kedua : Mengidentifikasi Tujuan Rencana

Serangkaian tujuan tertentu dianggap penting untuk membentuk dan

mengarahkan analisis keputusan, dan hal yang sama berlaku untuk rencana

implementasi. Meski tujuan implementasi ini dikembangkan dengan cara

yang sama, merekan umumnya lebih sedikit dan didefenisikan dalam cara

yang lebih umum ketimbang dalam analisis keputusan.


20

Langkah ketiga : mengidentifikasi Komponen Utama

Sekarang siap untuk mengumpulkan data keputusan utama yang harus

dibuat, tugas yang harus dijalankan, tindakan yang harus dilakukan, hal-hal

yng harus dipenuhi, agar semua rencana terwujud.

Langkah keempat : Menjadwalkan Event dan Waktu

Sebuah rencana tak lain adlah peta jalan yang menjelaskan apa yang

diharapkan terjadi dan kapan terjadi. Pemecah persoalan dan

mengidentifikasi apa yang akanterjadi, sekarang merka harus membuat

kerangka waktu ( time frame ).

Langkah kelima : Memeriksa kembali Komponen

Setelah semua rencana diterapkan, maka perlu ditinjau kembali

komponen-komponennya dan melihat kemungkinan yang ada didepan.

Langkah keenam : Melakukan Tes Objektif

Selama langkah kedua dalam pengembangan rencana implementasi,

dalm menyusun daftar singkat tujuan rencana.

Langkah ketujuh : Menyusun Ulang ( redraft ) Rencana

Ringkasan perencanaan Implementasi , konsep utama Perencanaan

situasi adalah :

1. Merumuskan pernyataan Rencana

- Mengembangkan

2. Mengidentifikasi Komponen Rencana

- Panduan umum
21

3. Mengidentifikasi Komponen Rencana

- Analisis Keputusan

- Tugas-tugas

- Tindakan-tindakan

- Daftar adlah tak pernah lengkap

4. Jadwal event dan waktu

- Apa yang terjadi dan kapan ?

- Pengaruh Pola waktu

- Tanggal data line

- Jendela waktu

- Hubungan dependen

- Penambahan Waktu

- Siapa yang bertanggung jawab ?

5. Meninjau Komponen-membuat tambahn :

- Analisis keputusan

- Subrencana

- Sub-subrencana

- Model lain

- Masterplan ?

6. Melakukan Tes Objektif

- Dapatkah terpenuhi ?

- Memecahkan konflik
22

7. Menyusun Ulang Rencana

- update berkala

8. Melakukan reviu analisis


- Aktual vs yang direncanakan
C. Pengertian Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)

1. Pengertian Program dan Definisi “Kumuh”

Program KOTAKU adalah program yang dilaksanakan secara nasional yang

menjadi “platform” atau basis penanganan kumuh yang mengintegrasikan

berbagai sumber daya dan sumber pendanaan, termasuk dari pemerintah pusat,

provinsi, kota/kabupaten, pihak donor, swasta, masyarakat, dan pemangku

kepentingan lainnya. Program KOTAKU bermaksud untuk membangun sistem

yang terpadu untuk penanganan kumuh, dimana pemerintah daerah memimpin

dan berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan dalam perencanaan

maupun implementasinya, serta mengedepankan partisipasi masyarakat.

Program KOTAKU diharapkan menjadi “platform kolaborasi” yang mendukung

penanganan kawasan permukiman kumuh seluas 38.431 Ha yang dilakukan

secara bertahap di seluruh Indonesia melalui pengembangan kapasitas

pemerintah daerah dan masyarakat, penguatan kelembagaan, perencanaan,

perbaikan infrastruktur dan pelayanan dasar di tingkat kota maupun masyarakat,

serta pendampingan teknis untuk mendukung tercapainya sasaran RPJMN

2015-2019 yaitu pengentasan permukiman kumuh perkotaan menjadi 0 persen.


23

Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan

Permukiman dijelaskan bahwa Permukiman Kumuh adalah permukiman yang

tidak laik huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan

yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak

memenuhi syarat, sedangkan Perumahan Kumuh adalah perumahan yang

mengalami penurunan kualitas fungsi sebagai tempat hunian.

Dari pengertian tersebut dapat dirumuskan karakteristik perumahan kumuh

dan permukiman kumuh dari aspek fisik sebagai berikut:

a. Merupakan satuan entitas perumahan dan permukiman;

b. Kondisi bangunan tidak memenuhi syarat, tidak teratur dan memiliki

kepadatan tinggi;

c. Kondisi sarana dan prasarana tidak memenuhi syarat. Khusus untuk bidang

keciptakaryaan, batasan sarana dan prasarana adalah sebagai berikut:

1. Keteraturan bangunan

2. Jalan Lingkungan;

3. Drainase Lingkungan,

4. Penyediaan Air Bersih/Minum;

5. Pengelolaan Persampahan;

6. Pengelolaan Air Limbah;

7. Pengamanan Kebakaran; dan

8. Ruang Terbuka Publik.


24

Karakteristik fisik tersebut selanjutnya menjadi dasar perumusan kriteria dan

indikator dari gejala kumuh dalam proses identifikasi lokasi perumahan kumuh

dan permukiman kumuh. Selain karakteristik fisik, karakteristik non fisik pun

perlu diidentifikasi guna melengkapi penyebab kumuh dari aspek non fisik

seperti perilaku masyarakat, kepastian bermukim, kepastian berusaha, dsb.

2. Tujuan Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)

Tujuan program adalah meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan

pelayanan dasar di kawasan kumuh perkotaan untuk mendukung terwujudnya

permukiman perkotaan yang layak huni, produktif dan berkelanjutan.

Tujuan tersebut dicapai melalui tujuan antara sebagai berikut:

1. Menurunnya luas kawasan permukiman kumuh menjadi 0 Ha;

2. Terbentuknya Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman

(Pokja PKP) di tingkat kabupaten/kota dalam penanganan kumuh yang

berfungsi dengan baik;

3. Tersusunnya rencana penanganan kumuh tingkat kota/kabupaten dan tingkat

masyarakat yang terlembagakan melalui Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Daerah (RPJMD);

4. Meningkatnya penghasilan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)

melalui penyediaan infrastruktur dan kegiatan peningkatan penghidupan


25

masyarakat untuk mendukung pencegahan dan peningkatan kualitas kawasan

permukiman kumuh; dan

5. Terlaksananya aturan bersama sebagai upaya perubahan perilaku hidup

bersih dan sehat masyarakat dan pencegahan kumuh.

Pencapaian tujuan program dan tujuan antara diukur dengan merumuskan

indikator kinerja keberhasilan dan target capaian program yang akan

berkontribusi terhadap tercapainya sasaran Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yaitu pengentasan permukiman

kumuh perkotaan menjadi 0 persen. Secara garis besar pencapaian tujuan

diukur dengan indikator “outcome” sebagai berikut :

1. Meningkatnya akses masyarakat terhadap infrastruktur dan pelayanan

perkotaan pada kawasan kumuh sesuai dengan kriteria kumuh yang ditetapkan

(a.l drainase; air bersih/minum; pengelolaan persampahan; pengelolaan air

limbah; pengamanan kebakaran; Ruang Terbuka Publik);

2. Menurunnya luasan kawasan kumuh karena akses infrastruktur dan pelayanan

perkotaan yang lebih baik;

3. Terbentuk dan berfungsinya kelembagaan yaitu Pokja PKP di tingkat

kota/kabupaten untuk mendukung program KOTAKU; dan

4. Penerima manfaat puas dengan kualitas infrastruktur dan pelayanan perkotaan

di kawasan kumuh.
26

3. Prinsip Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)

Ada tujuh Prinsip dasar yang diterapkan dalam pelaksanaan Program

KOTAKU adalah sebagai berikut :

1. Pemerintah Daerah sebagai Nakhoda

Pemerintah daerah dan pemerintah desa/kelurahan memimpin

kegiatan penanganan permukiman kumuh secara kolaboratif dengan berbagai

pemangku kepentingan baik sektor maupun aktor di tingkatan pemerintahan

serta melibatkan masyarakat dan kelompok peduli lainnya.

2. Perencanaan komprehensif dan berorientasi outcome (pencapaian tujuan

program) Penataan permukiman diselenggarakan dengan pola pikir yang

komprehensif dan berorientasi pencapaian tujuan terciptanya permukiman

layak huni sesuai visi kabupaten/kota yang berkontribusi pada pencapaian

target nasional yaitu mencapai 0 ha kumuh pada 5 tahun mendatang (2019).

3. Sinkronisasi perencanaan dan penganggaran

Rencana penanganan kumuh merupakan produk Pemda sehingga

mengacu pada visi kabupaten/ kota dalam RPJMD. Rencana penanganan

permukiman kumuh terintegrasi dengan perencanaan pembangunan di tingkat

kota/ kabupaten dimana proses penyelenggaraan disesuaikan dengan siklus

perencanaan dan penganggaran. Rencana penanganan permukiman kumuh di

tingkat kota/ kabupaten mengakomodasi rencana di tingkat masyarakat, yang


27

diikuti dengan integrasi penganggaran mulai dari Pemerintah Provinsi,

Pemkot/ Pemkab hingga pemerintah desa dan kecamatan.

4. Partisipatif.

Pembangunan partisipatif dengan memadukan perencanaan dari atas

(top-down) dan dari bawah (bottom-up)sehingga perencanaan di tingkat

masyarakat akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan

yang lebih makro/tingkat kota

5. Kreatif dan Inovatif

Prinsip kreatif dalam penanganan permukiman kumuh adalah upaya

untuk selalu mengembangkan ide-ide dan cara-cara baru dalam melihat

masalah dan peluang yang sangat dibutuhkan dalam penanganan kumuh

untuk mewujudkan kesejahteraan bersama dan menciptakan lingkungan

permukiman yang layak huni.

6. Tata Kelola Kepemerintahan yang Baik (good governance)

Prinsip ini menjadikan kegiatan penanganan permukiman kumuh

sebagai pemicu dan pemacu untuk membangun kapasitas pemerintah daerah

pemerintah desa/kelurahan dan masyarakat, agar mampu melaksanakan dan

mengelola pembangunan wilayahnya secara mandiri, dengan menerapkan

tata kelola yang baik (good governance).

7. Investasi penanganan kumuh disamping harus mendukung perkembangan

kota juga harus mampu meningkatkan kapasitas dan daya dukung lingkungan.
28

4. Komponen Program Kota Tanpa Kumuh

Program KOTAKU terdiri dari lima komponen-komponen berikut dalam

rangka pencapaian tujuannya yaitu sebagai berikut :

1. Pengembangan kelembagaan dan kebijakan

2. Integrasi perencanaan dan pengembangan kapasitas untuk pemerintah daerah

dan masyarakat.

3. Peningkatan kualitas infrastruktur dan pelayanan perkotaan di kawasan

kumuh, yang terdiri dari:

a. Infrastruktur primer dan sekunder yang yang terkait langsung dengan

infrastruktur tersier atau permasalahan di kawasan kumuh, termasuk

dukungan untuk pengembangan pusat usaha di kota/kabupaten terpilih.

b. Infrastruktur tersier atau infrastruktur lingkungan, termasuk dukungan

untuk penghidupan berkelanjutan

4. Dukungan pelaksanaan dan bantuan teknis

5. Dukungan untuk kondisi darurat bencana

5. Pola Penanganan

Sesuai dengan tujuan program, penanganan permukiman kumuh yang

dimaksud dalam Program KOTAKU tidak hanya mengatasi kekumuhan yang

sudah ada, namun juga untuk mencegah tumbuhnya kekumuhan baru. Cakupan

kerja penanganan kumuh dalam Program KOTAKU berdasarkan kondisi


29

kualitas permukiman yang ada dapat dibedakan menjadi tiga pola penanganan,

yang mengacu kepada Undang-Undang No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan

dan Kawasan Permukiman, yaitu:

1. Pencegahan

Tindakan pencegahan kumuh meliputi pengelolaan dan pemeliharaan

kualitas perumahan dan permukiman, serta dengan pencegahan tumbuh dan

berkembangnya perumahan dan permukiman kumuh baru. Pencegahan kumuh

meliputi pengembangan aturan bersama, sosialisasi semua peraturan yang

berlaku dalam pembangunan hunian (mis. tata ruang, IMB, garis sempadan

sungai), peningkatan kapasitas pelaku pembangunan, penegakan aturan-aturan

tersebut, pengendalian/monitoring, pemeliharaan secara rutin dan pengecekan

terhadap ijin bangunan dan standar teknis, pemberdayaan masyarakat melalui

penyediaan fasilitas pendukung pengembangan penghidupan, akses terhadap

informasi, dan penyediaan infrastruktur dasar dan pengembangan penghidupan

untuk masyarakat.

2. Peningkatan Kualitas

Peningkatan kualitas perumahan kumuh dan permukiman kumuh

dapat dilaksanakan melalui pola-pola penanganan, antara lain pemugaran,

peremajaan, dan permukiman kembali


30

3. Pengelolaan

a. Pengelolaan dilakukan untuk mempertahankan dan menjaga kualitas

perumahan dan permukiman secara berkelanjutan;

b. Pengelolaan dilakukan oleh masyarakat secara swadaya;

c. Pengelolaan oleh masyarakat difasilitasi oleh pemerintah daerah baik

dukungan pendanaan untuk pemeliharaan maupun penguatan kapasitas

masyarakat untuk melaksanakan pengelolaan; dan

d. Pengelolaan oleh pemerintah daerah dengan berbagai sumber

pendanaan.

Aspek yang ditangani mencakup seluruh aspek yang diidentifikasi sebagai

gejala dan penyebabkumuh, baik dari aspek sosial, ekonomi, fisik lingkungan,

maupun aspek legal yang bertujuan untuk pencapaian visi kota tanpa kumuh.

Program kotaku dilaksanakan di 269 kota/kabupaten di 34 Propinsi di seluruh

Indonesia. Cakupan lokasi program berdasarkan kategori kegiatan adalah

sebagai berikut:

1. Kegiatan peningkatan kualitas permukiman dilaksanakan di seluruh kawasan

teridentifikasi kumuh yang diusulkan kabupaten/kota1. Khusus untuk

perbaikan infrastruktur tingkat kota (infrastruktur primer dan sekunder),

dukungan investasi dari pemerintah pusat hanya akan diberikan kepada

kota/kabupaten terpilih, yang memenuhi kriteria tertentu.

1
31

2. Kegiatan pencegahan kumuh dilaksanakan di seluruh kelurahan dan atau

kawasan/kecamatan Perkotaan diluar kel/desa kawasan yang teridentifikasi

kumuh termasuk lokasi kawasan permukiman potensi rawan kumuh yang

diidentifikasi pemerintah kabupaten/kota.

3. Kegiatan pengembangan penghidupan berkelanjutan dilakukan di semua

lokasi peningkatan kualitas maupun pencegahan kumuh.

Seleksi Kota/Kabupaten untuk memperoleh dukungan investasi infrastruktur

tingkat kota akan dipilih Kabupaten/Kota dari kriteria karakteristik

penduduk, luas kawasan kumuh, kebutuhan akses terhadap infrastruktur dasar

dan pelayanan dasar dan komitmen pemerintah daerah untuk melaksanakan

penanganan perumahan dan permukiman kumuh. Adapun tata cara seleksi

diatur secara terpisah dalam surat Direktur Pengembangan Kawasan

Permukiman, Direktorat Jendral Cipta Karya.

Penetapan lokasi diatas ditetapkan melalui Surat Keputusan Direktur

Pengembangan Kawasan Permukiman yang akan diterbitkan setiap tahun.

Kegiatan pencegahan dan peningkatan kualitas permukiman kumuh di tingkat

kelurahan didukung oleh dana stimulan yang akan dialokasikan melalui

Bantuan dana Investasi (BDI) kolaborasi dan PLPBK. BDI kolaborasi

diberikan kepada kota/kabupaten terpilih namun dana BDI dicairkan

langsung ke kelurahan sesuai Petunjuk Teknis Pencairan dan Pemanfaatan

Bantuan Dana Investasi. Pemda dan masyarakat akan menyepakati kriteria


32

untuk menentukan kelurahan yang akan menerima BDI kolaborasi. BDI

PLPBK diberikan oleh pemerintah pusat kepada kelurahan terpilih yang

memenuhi kriteria. Berikut adalah lampiran SK Bupati Majene Nomor : 1583

/HK/KEP-BUP/VIII/2014 Tentang Penetapan Lokasi Perumahan Kumuh dan

Permukiman Kumuh di Kabupaten Majene.

Berikut adalah Kerangka pikir yang akan saat penelitian Berdasarkan Teori

Inplementasi Menurut George Edward III :

Komunikasi

Sumber Daya

Implementasi Program
KOTAKU
Disposisi atau Sikap

Struktur Birokrasi
33

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metodologi Penelitian

Untuk memperoleh data dan informasi yang relevan dengan penelitian ini,

maka penulis menggunakan metode penelitian tertentu yang dapat mendukung.

Sehingga, data dan informasi yang diperoleh dapat lebih akurat dengan

menggunakan pendekatan Kualitatif.

a. Jenis Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif yang bertujuan untuk

memberikan gambaran umumtentangimplementasi Kota TanpaKumuh

(KOTAKU) Kelurahan Banggae Kecamatan Banggae Kabupaten Majene.

b. Teori dalam Penelitian Kualitatif

Semua penelitian bersifat ilmiah, oleh karena itu semua peneliti haus

berbekal teori. Dalam penelitian kualitatif, teori yang digunakan harus sudah

jelas, karena teori disini akan berfungsi untuk merumuskan hipotesis, dan

sebagai referensi untuk menyusun instrumen penelitian. Oleh karena itu

landasan teori dalam proposal penelitian kualitatif harus sudah jelas teori apa

yang harus dipakai.

Dalam penelitian kualitatif, karena permasalahan yang dibawa oleh

peneliti masih bersifat sementara, maka teori yang digunakan dalam

penyusunan proposal penelitian kualitatif juga masih brsifat sementara, dan


34

akan berkembang setelah peneliti memasuki lapangan atau konteks sosial.

Dalam kaitannya dengan teori, kalau dalam penelitian kuantitatif itu bersifat

menguji menguji hipotetis atau teori.

Dalam penelitian kuantitatif jumlah teori yang digunakan sesuai dengan

jumlah variabel yang diteliti, sedangkan dalam penelitian kualitatif jauh lebih

banyak karena harus disesuaikan fenomena yang berkembang di lapangan.

Peneliti kualitatif akan lebih profesional kalau menguasai semua teori

sehingga wawasannya akan lebih luas, dan dapat menjadi instrumen

penelitian yang baik. Teori bagi peneliti kualitatif akan berfungsi sebagai

bekal untuk bisa memahami konteks sosial secara lebih luas dan mendalam.

Walaupun peneliti kualitatif dituntut untuk menguasai teori yang luas dan

mendalam, namun dalam melaksanakan penelitian kualitatif, peneliti

kualitatif harus mampu melepaskanteori yang dimiliki tersebut dan tidak

digunakan sebagai panduan untuk menyusun instrumen dan sebagai panduan

untuk wawancara, dan observasi. Peneliti kualitatatif dituntut untuk menggali

data berdasarkan apa yang diucapkan, dirasakan, dan dilakukan oleh

partisipan atau sumber data. Peneliti kualitatif harus bersifat “perspektif

emic” artinya memperoleh data bukan “sebagaimana seharusnya”, bukan

berdasarkan apa yang difikirkan olehpeneliti, tetapi berdasarkan sebagaimana

adanya yang terjadi di lapangan,yang dialami, dirasakan , dan difikirkan oleh

partisipan/sumber data.
35

Oleh karena itu peneliti kualitatif jauh lebuh sulit dari penelitian

kuantitatif, karena peneliti kualitatif harus berbekal teori yang luas sehingga

mampu menjadi “human instrumen” yang baik. Dalam hal ini Borg and Gall

1988 menyatakan bahwa “Qualitatif research is much more difficult to do

well than quantitative research because the data collected are usually

subjective and the main measurement tool for collecting data is the

investingator himself” penelitian kualitatif lebih sulit bila dibandingkan

dengan penelitian kuantitatif, karena data yang terkumpul bersifat subyektif

dan instrumen sebagai alat pengumpul data adalah peneliti itu sendiri.

Untuk dapat menjadi instrumen penelitian yang baik, peneliti kualitatif

dituntut untuk memiliki wawasan yang luas, baik wawasan teoritis maupun

wawasan yang terkait dengan konteks sosial yang diteliti yang berupa nilai

budaya, keyakinan, hukum, adat, dan istiadat tang terjadi dan berkembang

pada konteks sosial tersebut. Bila peneliti tidak memiliki wawasan yang luas,

maka peneliti akan sulit membuka pertanyaan kepada sumber data, sulit

memahami apa yang terjadi, tidak akan dapat melakukan analisissecara

induktif terhadap data yang diperoleh. Sebagai contoh seorang penelitibidang

menejemen akan merasa sulit untuk mendapatkan data tentang kesehatan,

karena untuk bertanya pada bidang kesehatan saja akan mengalami kesulitan.

Peneliti kualitatif dituntut mampumrngorganisasikan semua teori yang

dibaca. Landasan teori yang dituliskan dalam proposal penelitian lebih

berfungsi untuk menunjukkan seberapa jauh peneliti memiliki teori dan


36

memahami permasalahan yang diteliti walaupun masih permasalahan

tersebut bersifat sementara itu. Oleh karena itu, landasan teori yang

dikemukakan tidak merupakan harga mati, tetapi bersifat sementara. Peneliti

kualitaif justrul dituntut untuk melakukan grounded research, yaitu

menemukan teori berdasarkan data yang diperoleh di lapangan atau situasi

sosial.

c. Lokasi dan Waktu Penelitian

Berdasarkan pada judul penelitian, maka penelitian ini dilaksanakan di

Copala Kelurahan Banggae Kecamatan Banggae Kabupaten Majene dimulai

pada bulan maret sampai dengan april 2018.

d. Informan Penelitian

Populasi Penelitian didasarkan pada beberapa pertimbangan dalam

pengambilan sampel. Penelitian kualitatif deskriptif diambil dari populasi

dengan pengambilan sampel yang disebut Informan. Informan penelitian

adalah subjek penelitian yang menjadi kunci dari pencarian data dan

informasi dari penelitian kualitatif. Informan befungsi untuk menjadi kunci

yang akan membuka dan mengantarkan peneliti kepada objek penelitian yang

dikaji. Peneliti bisa melakukan refleski dari informasi yang disampaikan oleh

informan penelitian dalam setiap wawancara yang dilakukanya pada

penelitian.

Dalam penelitian ini informa dibagi sebagai berikut :


37

a. Informan Kunci

Beberapa referensi disebut sebagai informan primer, Informan ini

adalah iniforman yang berhubungan langsung dengan objek penelitian

yang dikaji oleh peneliti. Informan Kunci adalah informan yang terlibat

langsung didalam permasalahan dan informan yang akan bergelut secara

langsung oleh peneliti dalam setiap proses partisipatif. Data yang

diperoleh dari informan kunci adalah data primer atau utama yaitu empat

informan..

b. Informan Madiya

Adalah iniforman yang berposisi terlibat langsung namun tidak

terlibat aktif dengan objek yang diteliti. Informan madiya berfungsi

sebagai informan ricek terhadap informan kunci. Data yang diperoleh dari

informan madya adalah data yang bersifat skunder atau pelengkap dari

data yang diperoleh dari informan kunci yaitu berjumlah dua informan .

c. Informan Biasa

Adalah informan yang berposisi sebagai pakar atau pengamat dari

objek penelitian yang dikaji oleh peneliti. Informan biasa adalah informan

biasa juga adalah subjek yang bisa mengantarkan peneliti kepada

informan-informan lanjutan yang akan diteliti oleh peneliti. Data yang

diperoleh dari informan biasa adalah data skunder yang berjumlah enam

informan

.
38

d. Teknik Menentukan Informan

Penelitian ini memakai metode penelitian Kualitatif sehingga

penelitian ini menarik sampel dengan memilih secara sengaja informan

sesuai kebutuhan penelitian dan kesesuaian antara masalah penelitian

dengan jabatan/status yang terlibat langsung dan tidak terlibat langsung

dalam penelitian ini. Ada 12 Informan penelitian yang dirinci sebagai

berikut :

1. Camat Banggae : 1 orang


2. Kepala Satker PIP KabupatenMajene : 1 orang
3. Tim Korkot : 1 orang
4. Fasilitator KOTAKU Kelurahan Banggae : 1 orang
5. Relawan Teknik : 1 orang
6. Lurah Banggae : 1 orang
7. BKM dan KSM : 2 orang
8. Kepala Lingkungan dan Tokoh Masyarakat : 4 orang
Pemerintah pusat sudah dari awal memiliki Perencanaan (planning) dalam

rangka mengawal masyarakat untuk kesejahteraan dan keadilan masyarakat.

Maka program untuk meminimalisir daerah kumuh di perkotaan disepakati

pemerintah dengan menggelontorkan dana pusat untukwilayah Kabupaten Kota

sebanyak 20 Milyar pertahun dan dalam perencanaan 5 tahun sekitar ratusan

milyar sesuai dengan Surat edaran dari Kementerian Pekerjaan Umum . Pada

Kabupaten Kota pendanaan Kota tanpa kumuh dimasukkan dalam Dana Alokasi

Khusus (DAK). Dengan adanya program pemerintah untuk peduli terhadap


39

wilayah Kumuh, ditunjuklah beberapa Kelurahan dan lingkungan yang menjadi

titik lokasi perumahan Kumuh yang akan dicarikan solusi wilayah tanpa Kumuh

melalui adanya relasi antara struktur Organisasi Program Kota Tanpa Kumuh dari

tingkat Pusat, provinsi dan Kabupaten Kota sebagai perpanjangan tangan

pemerintah dalam melancarkan kegiatan pemerintah Kabupaten sampai pada

tingkat kelurahan. Ditingkat Kabupaten disebut Satker PPK Kabupaten yang akan

berembuk dengan Tim Korkot dan Fasilitator dalam perencanan RPJM Daerah/

Kabupaten Kota sampai ketingkat kelurahan. Proses perencanaan ini

berkolaborasi dengan lembaga masyarakat dan tim Kotaku didukung oleh

pemerintah. Berikut adalah Struktur Organisasi Program Kotaku Kabupaten Majene

e. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua jenis teknik pengumpulan

data yaitu:

1. Studi Kepustakaan (Library Research)

Pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca literatur-literatur

yang berhubungan tentang buku/artikel birokrasi pemerintahan,

buku/artikel tentang ilmu pemerintahan serta dokumen-dokumen yang

ada relevansinya dengan topik yang dibahas dalam penelitian ini. Data

yang diperoleh dari kepustakaan ini merupakan data sekunder.

2. Penelitian Lapangan (Field Research)


40

Pengumpulan data dilakukan dengan cara terjun langsung ke lapangan

yang dimaksudkan mencari data primer untuk objek penulisan, sekaligus

mencari bahan pendekatan terhadap prakteknya. Sehubungan dengan

pengumpulan data secara Field Research tersebut, maka digunakan

teknik penyusunan antara lain:

1) Observasi, yaitu cara pengumpulan data dengan mengamati secara

langsung di lapangan.

2) Interview (wawancara), yaitu pengumpulan data dengan mengadakan

wawancara langsung dengan informan yang berkompeten terhadap

tujuan penelitian.

3. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan instrumen sebagi berikut :

1. Matriks Wawancara

2. Quisioner (jika dibutuhkan)

f. Analisis Data

Untuk menganalisis data yang telah diperoleh maka digunakan teknik

analisis data kualitatif dengan tujuan untuk mendeskripsikan hubungan

indikator dan variabel-variabel yang diteliti dengan berdasarkan pada

laporan dan catatan yang ada di lapangan.

Staretegi analisis kualitatif umunya tidak digunakan sebagai alat

mencarai data dalam arti frekwensi akan tetapi digunakan untuk


41

menganalisis proses sosial yang berlangsung dan makna dari fakta-fakta

yang tampak dipermukaan.

Model tahapan analisis Induktif adalah sebagai berikut :

a. Melakukan pengamatan terhadap fenomena sosial, melakukan

identifikasi, revisi-reivisi, dan pengecekan ulang terhadap data yang ada.

b. Melakukan kategorisasi terhadap informasi yang diperolah

c. Menelusuri dan menjelasakan kategorisasi

d. Menjelaskan hubungan-hubungan kategorisasi

e. Menarik kesimpulan-kesimpulan umum

f. Membangun atau menjelaskna teori

1. Pendekatan Analisis dan Metode Analisis

Dilihat dari tujuan analisis maka ada dua hal yang ingin dicapai dalam

analisis data kualitatif, yaitu : pertama, menganalisis proses berlangsungnya

suatu fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap

proses tersebut dan yang kedua, menganilisis makna yang ada dibalik

informasi, data dan proses suatu fenomena sosial itu.

Metode analisis dalam penelitian ini adalah metode analisis studi kasus

yang menekankan pada kasus-kasus khusus yang terjadi pada objek analisis.

Tujuan model analisis studi kasus adalah : menemukan domain-domain

analisis, kedua, domain analisis di petakan menjadi domain tunggal atau

domain ganda. Ketiga, apabila domai tungal maka studi kasus dapat dilakukan
42

dnegan mendeskripsikan domai tersebut berdasarkan fenomena vertikal

(sejarah, perkembangan fenomena dan struktur fenomena) atau fenomena

horisontal seperti dinamika, perubahan dan perpindahan status yang terjadi

pada orang-orang dalam studi kasus, dan keempat, menjelaskan domain ganda

antara struktur fenomena dengan dinamika dan perubahan fenomena.

Penelitian ini fokus pada metode analisis studi kasus situasional yang

mencermati kehidupan sosial secara dinamis dan selalu mengapai perubahan-

demi perubahan tertentu dalam domain fenomena sosial.

2. Rancangan Umum Penelitian Deskriptif Kualitatif

BERAKHIR MEMULAI

VI I
Membangun atau Melakukan pengamatan, identifikasi
menjelaskan teori dan re-chek terhadap data

V II
Menarik Kesimpulan- Melakukan Kategorisasai terhadap
kesimpulan Umum informasi yang diperoleh

IV
Menjelaskan hubungan- III
hubungan Kategorisasi Menelusuri dan menjelaska
kategorisasi

Gambar : rancangan umum desain penelitian Kualitatif Deskriptif


43

3. Analisis Pelengkapan Data

Analisa data yang digunakan adalah analisa kualitatif yang didukung

oleh tabel frekuensi dan hasil tabulasi silang beberapa variabel yang relevan

dengan tujuan penelitian.

Anda mungkin juga menyukai