Anda di halaman 1dari 52

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang partisipasi publik dan perencanaan pembangunan

daerah telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Dalam penelitian

ini akan dikemukakan beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan topik

penelitian yakni Partisipasi Publik dalam Perencanaan Pembangunan Daerah.

Intisari penelitian terdahulu akan menjadi dasar bagi penelitian ini untuk mengkaji

hal-hal yang belum pernah diteliti secara mendalam. Dari penelitian-penelitian

terdahulu belum banyak yang mengkaji bentuk-bentuk partisipasi publik dalam

dalam perencanaan pembangunan daerah. Berikut ini akan dikemukakan

beberapa kesimpulan hasil dari hasil-hasil penelitian terdahulu.

Penelitian yang dilakukan oleh Sulistia (2003) tentang Musyawarah

Pembangunan sebagai Wujud Pemberdayaan dan Partisipasi publik dalam

Pembangunan Desa yang dilakukan di Desa Salimbutu, Kabupaten Bulungan,

Kalimantan Timur. Dalam hasil penelitian tersebut, Sulistia mengemukakan

bahwa musyawarah pembangunan dilaksanakan sebagai wahana

pemberdayaan dan partisipasi publik dalam rangka mendukung kegiatan sosial

ekonomi perdesaan. Untuk mensukseskan pelaksanaan pembangunan desa

yang diperlukan untuk partisipasi aktif dari masyarakatnya, dengan demikian

wujud nyata pembangunan sebagai manifestasi dari kebutuhan dan keingina.n

dari masyarakat akan dapat terlaksana dan berhasil tanpa harus mengurangi

sasaran dan tujuan pembangunan yang telah ditetapkan.

18
19

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk rnendeskripsikan dan

menganalisa proses pelaksanaan pembangunan, serta mendeskripsikan faktor

penghambat dan pendukung pelaksanaan musyawarah pembangunan sebagai

wujud pemberdayaan dan partisipasi publik dalam pembangunan desa di Desa

Salim Batu. Dengan memfokuskan pada (1) pelaksanaan musyawarah

pembangunan sebagai wujud pemberdayaan dan partisipasi publik dalam

pembagunan desa di Desa Salim Batu yang dapat dirinci sebagi berikut: (a)

Perencanaan, (b) Pelaksanaan, (c) Monitoring dan Evaluasi; (2) Analisa faktor

yang terjadi pendukung maupun penghambat dalam pelaksanaan musyawarah

pembangunan sebagai wujud pemberdayaan dan partisipasi publik dalam

pembangunan desa di Desa Salim Batu yang dirinci dalam indikator-indikator

sebagi berikut : (a) faktor pendukung maupun penghambat masyarakat desa, (2)

faktor penghambat masyarakat desa.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa secara umum proses musyawarah

pembangunan sebagai wujud Pemberdayaan dan partisipasi publik dalam

pembangunan desa Salim Batu, Kecamatan Tanjung Palas, Kabupaten

Bulungan, Propinsi Kalimantan Timur telah berjalan cukup bagus. Mengingat

prosesnya berjalan cukup lama dan mekenismenya juga telah berjalan sesuai

dengan aturan yang berlaku. Berkenaan dengan temuan tersebut penelitian ini

menyarankan: (1) Usulan-usulan yang muncul hendaknya disertai dengan skala

perioritas; (2) Lebih baik bagi jika pemerintah Desa Salim Batu dapat

menggandeng atau kerjasama dengan pihak Perguruan Tinggi, (3) Tidak kalah

pentingnya adalah adanya upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya

manusia (SDM) di Desa Salim Batu melalui peningkatan pembangunan di Sektor

pendidikan.
20

Penelitian ini mengkaji tentang Analisis Kebijakan Sistem Perencanaan

Pembangunan di daerah Kabupaten Situbondo. Soegito (2000) menyatakan

bahwa Sistem perencanaan pembangunan di Indonesia dituangkan dalam

rencana jangka pendek (tahunan), rencana jangka menengah (lebih dari 1 tahun

dan kurang dari 5 tahun) dan rencana jangka panjang (diatas 5 tahun). Rencana

jangka pendek (tahunan) berisi program-program dan proyek-proyek

pembangunan di berbagai bidang yang kemudian dituangkan dalam lagi dalam

perencanaan proyek-proyek (project plan). Rencana jangka panjang disusun dan

dirumuskan oleh MPR atas dasar saran rancangan pemerintah. Rencana jangka

menengah disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

(Bappenas) yang kemudian disetujui oleh pemerintah. Bappenas

mempergunakan masukan-masukan dari berbagai pihak. Rencana tahunan

disusun berdasarkan usulan-usulan Depatemen/ Lembaga-lembaga kemudian

diolah dan disetujui bersama oleh Bappenas dan Dirjen Anggaran Departemen

Keuangan.

Di Kabupaten Situbondo mekanisme atau sistem dalam perencanaan

pembangunan daerah ini telah dijalankan sebagaimana mekanisme atau sistem

di atas yang bernuansa bottom-up. Yakni dimusyawarahkan dahulu dalam LKMD

diteruskan ke Kecamatan dan dari Kecamatan ke Kabupaten. Namun pada

prakteknya di tingkat Kabupaten program-program tersebut (dari masyarakat)

harus dipadukan dan program -program yang berasal dari Pemerintah Pusat

yang terkadang juga sering mengalah dan dikalahkan dengan program-program

yang berasal dari Pemerintah Pusat. Hal ini disebabkan karena Pemerintah

Pusat
21

sudah mempunyai program-program sendiri dengan tujuan untuk memeratakan

pembangunan.

Penelitian ini menyoroti tentang aspek kelembagaan dalam perencanaan

pembangunan daerah dengan topik Efektivitas Fungsi Bappeda dalam

Koordinasi Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Padang di Era Otonomi

Daerah. Hasil penelitian Tafria (2005) menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Bappeda Kota Padang dalam melaksanakan fungsinya selaku koordinator

perencanaan pembangunan untuk menuju sasaran efektivitas koordinasi

belum mencapai sasaran secara maksimal, namun secara umum Bappeda

Kota Padang telah dapat melaksanakan fungsi-fungsi perencanaan

pembangunan yang mengacu kepada perencanaan partisipasi.

Kemampuan Bappeda melaksanakan perencanaan pembangunan daerah

sebagai daerah otonorn, belum didukung oleh pendayagunaan kemampuan

staf untuk berpola pikir perencanaan secara keseluruhan.

2. Efektivitas koordinasi yang dilakukan dalam perencanaan pembangunan

harus mengikuti proses yang berlaku dalam tahapan-tahapan antara lain

perencanaan awal dengan mengindentifikasi keadaan secara obyektif,

dilanjutkan dengan penyusunan program proyek yang menghasilkan jadwal

dan waktu pelaksanaan termasuk pembiayaan suatu rencana kegiatan.

3. Keberhasilan koordinasi ditentukan oleh kemampuan dari SDM Bappeda

Kota Padang dalam hal ini, kemampuan penyampaian visi dan misi

perencanaan pembangunan daerah harus dapat dipahami bersama diantara

lembaga-lembaga yang berkoordinasi, sehingga permasalahan yang

dipecahkan dapat diatasi dengan metode yang sama, persepsi harus diikuti
22

dengan persamaan pola pikir yaitu berpola pikir perencanaan pembangunan

sehingga kegitan-kegiatan program yang disusun dapat dilaksanakan sesuai

dengan kebutuhan perencanaan pembangunan.

Otonomi daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang

Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32

Tahun 2004 telah memberikan perubahan yang mendasar dalam

penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang ditandai dengan bergesernya

pola penyelenggaraan pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik.

Akibat langsung yang dirasakan adalah, Pemerintah Kabupaten dan Kota

kemudian memiliki kewenangan yang amat luas untuk dapat menjawab,

menanggapi dan sekaligus menanggulangi berbagai masalah yang berkembang

di daerah sehingga kebijakan yang dijalankan akan lebih menjamin terpenuhinya

kebutuhan masyarakat.

Pembangunan Daerah sebagai bagian integral dari pembangunan

Nasional tidak bisa dilepaskan dari prinsip otonomi daerah, Daerah mempunyai

kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat

yang berdasarkan prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Seiring

dengan itu maka proses perumusan perencanaan pembangunan daerah saat ini

sudah mulai beranjak kearah perencanaan partisipatif, namun karena disatu

pihak masyarakat kita masih sangat terikat dengan budaya paternalis sehingga

belum terlalu biasa dengan peran baru yang disandang, sedangkan dilain pihak

kultur birokrasi pemerintahan sebagian besar masih sangat terpengaruh oleh

pemikiran yang sentralistik.


23

Badan Perencana Pembangunan Daerah (BAPPEDA) merupakan

organisasi yang sangat strategis dalam proses penentuan kebijakan

perencanaan pembangunan daerah, agar dapat berperan dalam menjamin

terselenggaranya proses pembangunan daerah yang partisipatif yang tidak

hanya berorientasi kepada masyarakat tetapi yang lebih penting dari itu yaitu

pembangunan yang berpusat kepada masyarakat.

Tujuan Penelitian ini adalah (1) Untuk mendiskripsikan kedudukan dan

peranan BAPPEDA dalam proses pembangunan daerah di Kota Blitar, (2) Untuk

mengetahui dan menganalisis penerapan perencanaan partisipatif di dalam

sistem perencanaan pembangunan da:»rah di Kota Blitar. (3) Untuk mengetahui

dan menganalisis peranan BAPPEDA dalam upaya peningkatan kualitas

perencanaan pardsipatif pada sistem perencanaan pembangunan daerah di Kota

Blitar, (4) Untuk mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi oleh BAPPEDA

didalam meningkatkan kualitas perencanaan partisipatif pada sistem

perencanaan pembangunan daerah di Kota Blitar dan sekaligus langkah-langkah

yang diambil untuk menariggulanginya.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa (1) Kedudukan BAPPEDA Kota

Blitar dalam proses pembangunan daerah sangat kuat dalam arti, secara

normative mempunyai akses yang sangat kuat kepada penentu kebijakan

dilingkungan Pemerintah Daerah. (2) Dalam proses pembangunan daerah,

BAPPEDA Kota Blitar juga sangat dominan karena untuk melaksanakan tugas

dan fungsi baik secara struktural maupun secara fungsional karena telah

berperan secara aktif sebagai perencana, pengkoordinasi dan sekaligus sebagai

pengendali pelaksanaan pembangunan daerah. Hal itu dapat dilakukan dengan

berbagai upaya yaitu dengan optimausasi terhadap sumber daya yang ada di
24

Bappeda, (3) Pelaksanaan perencanaan partisipatif pada Sistem perencanaan

pembangunan daerah di Kota Blitar sudah berjalan sesuai dengan dasar-dasar

perencanaan pembangunan partisipatif, namun secara substantive masih

terdapat beberapa kekurangan yang harus dibenahi, (4) Upaya peningkatan

kualitas perencanaan partisipatif pada sistem perencanaan pembangunan

daerah oleh BAPPEDA Kota Blitar telah diupayakan agar dapat berjalan secara

sistemik dan menyeluruh dalam arti dapat mencakup berbagai faktor dasar yang

diperlukan bagi terlaksananya sebuah program, (5) BAPPEDA cukup berperan

dalam proses peningkatan kualitas perencanaan partisipatif pada system

perencanaan pembangunan daerah di Kola Blitar baik sebagai perumus

kebijakan maupun dalam operasionalisasinya.

Untuk mengatasi berbagai kelemahan yang masih terjadi dalam proses

perencanaan partisipaif peneliti menyarakan: (1) Perlu adanya peningkatan

sumber daya Bappeda terutama pada sumber daya manusianya baik secara

kuantitas maupun kulitas, (2) Perlu penyederhanaan prosedur perencanaan

untuk MUSRENBANG, sekaligus melakukan pembekalan dan pendampingan

teknis kepada semua pihak yang terkait dengan proses perencanaan partisipatif,

(3) Perlunya BAPPEDA meningkatkan kualitas hubungan kerjasama dengan

berbagai pihak yang terkait dengan perencanaan pembangunan dan

perencanaan anggaran baik secara internal maupun eksternal.

Desentralisasi atau penyerahan wewenang pemerintahan oleh

Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, mendorong partisipasi publik

dalam perencanaan pembangunan. Untuk mewujudkan Good Governance dalam

pemerintahan daerah, diperlukan partisipasi pelaku pembangunan yaitu


25

masyarakat dan dunia usaha. Penelitian ini bertujuan menggambarkan partisipasi

publik perdesaan dalam perencanaan pembangunan daerah yang meliputi jenis

partisipasi, bentuk partisipasi dan tingkat partisipasi di Kabupaten Kulon Progo.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme perencanaan

pembangunan di Kabupaten Kulon Progo menggunakan prosedur top-down dan

bottom-up dengan pendekatan partisipatif. Prosedur top-down, untuk memberi

bingkai agar perencanaan dapat terarah, prosedur bottom-up untuk

mengakomodasi usulan masyarakat rlitingkat bawah. Musrenbang yang

dilaksanakan di Kabupaten Kulon Progo melibatkan pelaku pembangunan yaitu

pemerintah, masyarakat dan swasta (dunia usaha). Jenis partisipasi yang ada di

masyarakat adalah partisipasi vertikal dan partisipasi horisontal. Bantuk

partisipasi mssyarakat diwujudkan dalam forum musyawarah berupa

rnendiskusikan, merencanakan dan mengusulkan program. Tingkat partisipasi

mencapai tangga kelima (placation) yaitu komunikasi telah berjalan baik, sudah

ada negosiasi antara masyarakat dan pemerintah. Tangga kelima dikategorikan

pada Tingkat Tokenisme (pertanda) yaitu tingkat peran serta masyarakat, dimana

masyarakat didengar dan berpendapat, tetapi masyarakat tidak mempunyai

kemamouan untuk mendapatkan jaminan bahwa usulan, pandangan dan

pendapatnya akan dipertimbangkan oleh pengambil keputusan. Strategi yang

digunakan Kabupaten Kulon Progo untuk menumbuhkan partisipasi publik yaitu.

Pertama, mengikutsertakan masyarakat dalam Musrenbang. Kedua,

menumbuhkan dan membangun hubungan dengan stakeholders atas dasar

saling percaya. Ketiga, keterbukaan Pemerintah Daerah terhadap aspirasi positif

masyarakat. Keempat, penerapan konsep dasar demokrasi melalui keterwakilan.


26

Dalam mencapai tujuan organisasi, baik organisasi swasta maupun

organisai pemerintah perlu dibuat suatu perencanaan. Perencanaan dalam

organisasi pemerintah atau public planning yang berarti pembuatan, penetapan

melalui proses pengambilan keputusan mengenai kegiatan publik dan akan

dilaksanakan untuk jangka waktu tertentu di rnasa depan secara terarah, sesuai

tujuan yang ditetapkan bersama. Sistem perencanaan pembangunan di

Indonesia meliputi pendekatan top-down dan bottom-up yang menjamin adanya

keseimbangan antara prioritas nasional dengan aspirasi lokal dalam

perencanaan pembangunan daerah. Namun dalam kenyataan menunjukkan

banyak daerah belum sepenuhnya mengakomodasi aspirasi lokal, yang

dibuktikan dengari banyaknya proposal proyek yang diajukan berdasarkan

aspirasi lokal tersingkir dalam rapat koordinasi yang menempatkan proposal

yang diajukan tingkat pemerintahan yang lebih tinggi tanpa rnemperhatikan

proposal yang diajukari oleh tingkat pemerintahan yang lebih rendah.

Selain prosedur perencanaan, kemampuan standar dari perencana juga

sangat perlu diperhatikan demi keberhasilan perencanaan. Sebagaimana survey

oleh Bappenas yang telali dilakukan di 18 kabupaten yarig tersebar pada 16

propinsi, tidak diperoleh responden perencana Utama. Golongan responden

tertinggi adalah yang termasuk jenjang Madya (golongan IV/C) sebanyak dua

orang. Begitu pula untuk tingkat pendidikan perencana di kabupaten masih

banyak pendidikannya dibawah SI, walaupun mereka sudah cukup lama bekerja

sebagai perencana. Secara keseluruhan perencana kabupalen per jenjang, baik

itu di Bappeda maupun Non Bappeda Kabupaten, ternyata lebih dari 50% di

bawah standar. Untuk materi kompetensi knowledge, semakin tinggi jenjang

perencana, maka semakin banyak jumlah materi yang mempunyai reponden di


27

bawah standar lebih dari 50%. Dan jumlah materi dengan persentase responden

di bawah standar di atas 50% untuk Non Bappeda lebih banyak dari pada

Bappeda. Sementara itu, untuk kompetensi profesionalisme yaitu dengan

membandingkan nilai rata-rata standar yang dibutuhkan dengan nilai rata-rata

aktual, dan ternyata pada semua jenjang memiliki nilai aktual yang sama dan di

bawah nilai rata-rata standar yang dibutuhkan.

Penelitian yang dilakukan oleh Setiawan ini menyimpulkan:

1. Mekanisme perencanaan pembangunan daerah di bibang pertanian

dalam rangka pembangurian daerah bidang pertanian, Pemerintah

Kabupaten Kulon Progo melaksanakan sistem perencanaan partisipatif yang

menggabungkan antara sistem top-down planning dan bottom-up planning.

Prosedur top-down planning dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Kulon

Progo berupa pemberian balasan kepada masyarakat terhadap perencanaan

kegiatan pembangunan bidang pertanian sesuai dengan renstra. Prosedur

bottom-up planning merupakan prosedur perencanaan yang sepenuhnya

mencerminkan kebutuhan konkrit masyarakat dan dalam proses

penyusunannya melibatkan masyarakat. Dengan digunakannya mekanisme

ini maka pembangunan daerah bidang pertanian di Kabupaten Kulon Progo

dapat memberikan hasil yang diharapkan dan dapat dirasakan oleh seluruh

masyarakat petani. Koordinasi perencanaan pembangunan daerah di bidang

pertanian.

2. Dari berbagai musyawarah dan koordinasi dalam perencanaan

pembangunan pertanian yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kulon

Progo pada dasarnya koordinasi sudah dilaksanakan dengan baik. Hal ini

ditunjukkan dengan pelaksanaan koordinasi yang demokratis. Walaupun


28

koordinasi perencanaan yang mencerminkan kebutuhan konkrit masyarakat

dan dalam proses penyusunannya benar-benar melibatkan masyarakat dapat

dikatakan belum mencukupi. Hal ini ditunjukkan dengan: 1) masyarakat yang

dimaksudkan dalam bidang pertanian, yaitu mayarakat tani yang hanya

dilibatkan pada saat perumusan rencana di tingkat Musbangdes, dan 2)

peserta dibagi dalam 3 (tiga) bidang pembangunan pada forum koordinasi

baik UDKP maupun Rakorbang Kabupaten. Peserta dari desa sebagai

peserta yang paling dekat dengan masyarakat tidak seluruhnya dilibatkan

pada bidang pertanian, melainkan dibagi untuk bidang pembangunan lainnya.

Hal ini berarti bahwa tidak semua peserta dari unsur masyarakat desa

dilibatkan dalam perencanaan pembangunan daerah secara keseluruhan.

Selain itu, peserta rakorbang kabupaten tidak semuanya merupakan peserta

yang terlibat dalam forum musbangdes atau juga UDKP, mengingat

ketentuan yang mengatur dan data yang akurat untuk keterlibatan seseorang

dalam forum koordinasi juga tidak tersedia.

3. Adapun faktor pendukung yaitu: (a) masyarakat tani yang memiliki

kemampuan untuk mengelahui tentang kebutuhan dan permasalahan

pertanian serta dapat berperan serta dalam memberikan masukan bagi

perencanaan pembangunan bidang pertanian, (b) Kabupaten Kulon Progo

memiliki kader penggerak pembangunan desa yang rnampu untuk mengelola

dana bergulir untuk pembangunan desa.

4. Faktor penghambat dalam perencanaan pembangunan daerah pada

bidang pertanian di Kabupaten Kulon Progo antara lain: (a) belum dimilikinya

sumber daya aparatur pemerintah fungsional dalam bidang perencanaan, (b)

terbatasnya dana yang disediakan untuk proses perencanaan pembangunan


29

bidang pertanian, sehingga pihak yang dilibatkan masih belum ideal karena

tidak semua unsur masyarakat dapat dilibatkan dalam forum koordinasi, dan

(c) tidak adanya ketentuan mengenai peserla forum koordinasi.

Dari berbagai penelitian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa

perencanaan pembangunan daerah merupakan tindakan yang sangat

menentukan di masa yang akan datang. Oleh sebab itu Pemerintah Daerah

sebagai pihak yang memiliki otoritas untuk melakukan perencanaan harus

memberikan perhatian yang besar dalam proses perencanaan pembangunan

daerah. Perhatian tersebut di antaranya adalah penempatan pegawai yang

profesional di bidang perencanaan yang didasarkan pada pendidikan dan

pengalaman serta penataan kelembagaan yang dapat bekerja secara efektif dan

efisien.

Agar perencanaan yang dibuat efektif di lapangan maka Pemerintah

Daerah harus melibatkan sebanyak mungkin stakeholder baik dari pihak swasta,

LSM maupun masyarakat umum. Oleh sebab itu Pemerintah Daerah harus dapat

membuat saluran-saluran untuk menerima berbagai aspirasi yang berkembang

terkait dengan perencanaan pembangunan daerah.

2.2. Konsep Partisipasi Publik

2.2.1. Pengertian Partisipasi

Partisipasi berasal dari kata participation yang artinya peran serta, dan

secara luas diartikan peran atau ikut serta mengambil bagian dalam suatu

kegiatan tertentu. Mubyarto (1984) mendefinisikan partisipasi sebagai kesediaan

untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang

tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Partisipasi dapat diartikan


30

sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh warga Negara dalam rangka

mempengaruhi proses pembuatan kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah.

Perwujudan dari partisipasi tersebut dapat dilakukan baik secara individu atau

berkelompok, bersifat spontan atau terorganisir, secara berkelanjutan atau

sesaat serta dengan cara damai atau kekerasan (Hasan, 2002).

Soetrisno (1995) membedakan definisi partisipasi menjadi 2 (dua) yaitu:

pertama, partisipasi adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak

program-program pemerintah yang dirancang dan ditentukan oleh pemerintah.

Kedua, partisipasi adalah kerjasama antara rakyat dan pemerintah dalam

merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil

pembangunan. Dalam definisi partisipasi yang pertama; yang lazim dipahami

oleh kalangan aparat perencana dan pelaksana pembangunan, masyarakat

adalah suatu bagian pasif, dimana masyarakat dituntut untuk mendukung proyek

pembangunan yang telah ditentukan, sedangkan usulan dari masyarakat

dianggap sebagai keinginan. Pada konsep partisipasi yang kedua masyarakat

diasumsikan mempunyai aspirasi yang perlu diakomodasikan dalam suatu

program pembangunan.

Secara harfiah, partisipasi berarti “ turut berperan serta dalam suatu

kegiatan”, “keikutsertaan atau peran serta dalam suatu kegiatan”, “peran serta

aktif atau proaktif dalam sutau kegiatan”. Karena itu secara luas partisipaai dapat

didefinisikan secara luas sebagai “bentuk keterlibatan dan keikutsertaan

masyarakat secra aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari dalam

dirinya (intrinsic) maupun dari luar dirinya (ekstrinsic) dalam keseluruhan proses

kegiatan yang bersangkutan (Moeliono, 1997). Partisipasi juga dapat

didefinisikan sebagai usaha-usaha terorganisir meningkatkan peranan


31

pengendalian atas sumber daya-sumber daya dan lembaga-lembaga regulatif

dalam satuan masyarakat tertentu, bagi kelompok-kelompok dan gerakan-

gerakan yang sampai sekarang tidak diikutsertakan dalam pengendalian.

Partisipasi dikonsepsikan secara baru sebagai suatu “insentif moral” yang

membolehkan kelompok marjinal untuk merundingkan “insentif-insentif material”

yang baru bagi mereka, dan sebagai terobosan yang memperbolehkan para

pelaku kecil mendapatkan jalan untuk ikut serta pada level makro dalam

pembuatan kebijakan. Masyarakat harus memiliki kesempatan ikut berpartisipasi

dalam segala kegiatan yang ada, mulai pemeriksaan awal masalah, daftar

pemecahan yang mungkin diambil, pemilihan satu kemungkinan tindakan,

mengorganisasi pelaksanaan, evaluasi dalam tahap pelaksanaan, hingga

memperdebatkan mutu dari mobilisasi atau organisasi lebih lanjut.

2.2.2. Pengertian Partisipasi Publik

Dalam prinsip good governance, pelaksanaan pembangunan tidak hanya

merupakan tugas pemerintah (state), tetapi juga menjadi tanggung jawab swasta

(private) dan masyarakat madani (civil society) seperti yang dikemukan Pertiwi

(2003). Partisipasi publik dipertukan untuk menciptakan good governance yang

memiliki unsur-unsur akuntabilitas, partisipasi, predictability dan transparansi.

Oleh karena itu, salah satu prinsip good governance (kepemerintahan yang baik)

yang sering diturunkan menjadi good local governance (kepemerintahan daerah

yang baik) adalah tumbuh dan berkembangnya partisipasi publik (Pertiwi, 2003).

Menurut Sumarto (2004) yang dimaksud partisipasi publik dalam

governance adalah keterlibatan warga dalam pembuatan keputusan mengenai


32

penggunaan sumber daya publik dan perrecahan masalah publik untuk

pembangunan daerahnya.

Partisipasi aktif masyarakat di Dunia Ketiga dinilai sebagai strategi efektif

untuk meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Dengan

partisipasi, pembangunan dapat menjangkau masyarakat terlemah melalui upaya

membangkitkan semangat hidup untuk menolong diri sendiri. Dalam hal ini

partisipasi aktif masyarakat terkait dengan efektifitas, efisiensi, kemandirian dan

jaminan bagi pembangunan yang berkelanjutan (Hikmat, 2001).

Pemrakarsa partisipasi dapat berasal dari atas (penguasa atau para ahli),

bawah (masyarakat) atau pihak ketiga dari luar. Jika berasal dari atas, maka

biasanya disertai oleh kontrol sosial tertentu atas proses dan pelaku-pelaku

partisipasi . Pembangunan dalam sebuah system yang non demokratis biasanya

masih memperbolehkan partisipasi di tingkat mikro (pemecah masalah) asalkan

tidak mengganggu ketentuan atau aturan di tingkat makro (Goulet, 1990).

Partisipasi ideal yang sulit ditemukan dalam tataran praktis adalah

partisipasi yang dimulai dari tingkat bawah dan berkembang ketingkat atas

menuju bidang-bidang yang semakin meluas dalam pembuat keputusan. Bentuk

partisipasi ideal diprakarsai, atau sekurang-kurangnya disetujui , oleh masyarakat

non-elit yang berkepentingan pada tingkat awal dalam urutan keputusan-

keputusan (Goulet, 1990). Dalam hal ini partisipasi dapat dimaknai sebagai

upaya untuk melibatkan atau terlibat baik secara langsung maupun tidak

langsung dalam suatu kegiatan pembangunan khususnya proses perencanaan

pembangunan daerah.

Konsep partisipasi publik dalam pembangunan perlu dilihat sebagai

shared authority diantara para”stakeholders” pembangunan, dimana proses


33

pembangunan tidak didomonasi oleh satu pihak saja tetapimerupakan suatu

usaha bersama yang didasarkan pada nilai bersama (shared values), visi

bersama (shared vision) dan misi bersama (shared mission) (Islamy, 2004).

Dalam proses pembangunan komunikasi antara pihak yang memiliki

kewenangan dengan pihak yang terkena dampak dari proses tersebut menjadi

hal yang sangat esensial (sangat penting) karena diharapkan akan terjadi saling

pengertian dan saling memahami diantara pihak-pihak yang terlibat tersebut.

Partisipasi publik merupakan elemen utama dari proses pemberdayaan

masyarakat. Pemberdayaan masyarakat ini merupakan salah satu strategi besar

dalam paradigma pembangunan yang berpusat pada rakyat. Pendekatan

partisipasi dalam pemberdayaan bertujuan agar masyarakat tampil sebagai

pelaku utama dalam pemecahan masalah dan mampu memenuhi kebutuhannya

sendiri. Pada dasarnya pemberdayaan merupakan suatu proses perubahan yang

menempatkan kreativitas dan prakarsa masyarakat. Dari pengertian tersebut

dapat dikatakan bahwa elemen penting dai pemberdayaan masyarakat adalah

partisipasi.

Partisipasi warga negara sangat berpengaruh bagi keputusan apa yang

hendak diambil oleh pemerintah. Tingginya partisipasi dari masyarakat

menunjukkan bahwa warga negara benar-benar memahami kehidupan politik.

Walaupun masyarakat yang notabene sebagai salah satu komponen dalam

development policy stakeholders yang seharusnya diberdayakan dan

diikutsertakan dalam proses pembangunan (perencanaan, pelaksanaan dan

penilaian pembangunan) ternyata mereka sering hanya ditempatkan di pinggiran

atau sengaja dipinggirkan dan sekadar menjadi objek pembangunan (Islamy,

2004).
34

Menurut Islamy, didalam diri mereka yang seharusnya ditumbuhkan self

sustaining capacity-nya, bahkan secara sistemik telah dibuat sedemikian rupa

oleh elit pembangunan menjadi selalu tergantung menunggu subsidi dari elit

domestik maupun luar negeri. Melihat kenyataan ini sangat jelas bahwa

permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat bukan semata-mata akibat

penyimpangan perilaku atau masalah kepribadian, juga sebagai akibat masalah

struktural, kebijakan yang keliru, tidak konsistennya dalam implementasi

kebijakan dan tidak adanya partisipasi publik dalam pembangunan (Adimiharja

dalam Prasojo, 2004). Padahal partisipasi publik sesungguhnya sangat

diperlukan agar masyarakat dapat merasa memiliki, ikut terlibat dan ikut

bertanggung jawab atas berhasilnya usaha-usaha pembangunan). Karena itu

perlu diubah pola manajemen pembangunan dari paradigma struktural menjadi

manajemen yang berbasis pada partisipasi publik.

2.2.3. Bentuk-Bentuk Partisipasi Publik

Menurut Nelson di dalam Ndraha (1990) ada dua jenis partisipasi yaitu

partisipasi antara sesama warga atau anggota suatu perkumpulan yang

dinanakan partisipasi horisontal, dan partisipasi yang dilakukan oleh bawahan

dangan atasan, atau antara masyarakat dengan pemerintahan yang diberi nama

partisipasi vertikal. Bryant dan White (1982) dalam Ndraha (1990) membagi

partisipasi menurut prosesnya ke dalam dua jenis; (1). Partisipasi dalam proses

politik yaitu keterlibatan dalam berbagai kegiatan politik seperti pemberian suara

dalam pemilihan, kampanye dan sebagainya; (2). Partisipasi dalam proses

administratif yaitu keterlibatan dalam kegiatan seperti perencanaan dan

pelaksanaan pembangunan.
35

Bentuk-bentuk partisipasi publik menurut Forum Inovasi (2002) dapat

berupa:

1) mendiskusikan program atau rancangan kebijakan antara

rnelalui public hearing, dialog interaktif;

2) menyampaikan usulan/ keluhan, dalam berbagai kegiatan;

3) menolak kebijakan dengan mendatangi kantor DPRD dan

Pemerintah Daerah secara bersama-sama;

4) merencanakan dan melaksanakan proyek pembangunan oleh

masyarakat.

Arnstein yang dikutip dalam Forum Inovasi (2002) lewat tipologinya yang

dikenal dengan Delapan Tangga Partisipasi publik (Eight Rungs on The Ladder

of Citizen Participation) menjelaskan peran serta masyarakat yang didasarkan

kepada kekuatan masyarakat untuk menentukan suatu produk akhir. Delapan

tangga partisipasi publik seperti Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1: Delapan Tangga Partisipasi


36

Tingkatan partisipasi mulai dari yang terendah sampai dengan yang

tertinggi menurut Arnstein adalah:

1) manipulation bisa diartikan tidak ada komunikasi apalagi dialog;

2) therapy berarti telah ada komunikasi namun masih terbatas, inisiatif

datang dari pemerintah dan sifatnya hanya satu arah;

3) Information, komunikasi sudah mulai banyak terjadi tetapi masih bersifat

satu arah;

4) consultation telah terjadi komunikasi dan bersifat dua arah;

5) placation komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara

masyarakat dan pemerintah;

6) partnership adalah kondisi dimana pemerintah dan masyarakat

merupakan mitra sejajar;

7) delegated power berarti bahwa pemerintah memberikan kewenangan

kepada masyarakat untuk mengurus sendiri beberapa keperluannya;

8) citizen control masyarakat menguasai kebijakan publik mulai dari

perumusan, implementasi, evaluasi dan control (pengawasan).

Arnstein (dalam Forum Inovasi, 2002) selanjutnya membagi dalam tiga

kategori meliputi:

1) Tingkat Non participation; yaitu tangga pertama dan kedua (therapy dan

manipulation).

2) Tingkat Tokenisme; yaitu tangga ketiga (information), keempat

(consultation) dan kelima (placation).

3) Tingkat Kekuasaan Masyarakat (degree of citizen power); yaitu tangga

keenam (partnership), tangga ketujuh (delegated power) dan tangga

kedelapan (citizen control).


37

2.3. Konsep Perencanaan Pembangunan Daerah

2.3.1. Pengertian Perencanaan

Menurut Munandar (1997) bahwa rencana ialah suatu penentuan terlebih

dahulu tentang aktivitas atau kegiatan yang akan dilakukan di waktu yang akan

datang. Sementara itu Syafiie, et al (1999) mengemukakan bahwa perencanaan

dapat diuraikan sebagai penentuan tindakan untuk vvaktu yang akan datang, dan

jika perencanaan ilu kita perlukan lebih metodis, maka kita dapat

menguraikannya dengan pengkoordinasian kegiatan-kegiatan yang akan datang

pada waktunya. Lebih lanjut Soekartawi (1990) mengatakan bahwa pelaksanaan

perancangan pembuatan. perencanaan itu pada dasamya adalah rnengambil

suatu kebijakan (policy) dengan mempertimbangkan: 1) perencanaan berarti

memilih berbagai alternatif yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada yang

didasarkan pada aspek skala prioritas, 2) perencanaan berarti pula alokasi

sumberdaya yang tersedia. Sumberdaya ini dapat berupa sumberdaya alam atau

sumberdaya manusia, 3) perencanaan mengandung arti rumusan yang

sistematis yang didasarkan pada kepentingan masyarakat banyak, 4)

perencanaan juga menyangkut masalah tujuan atau sasaran tertentu yang harus

dicapai, dan 5) perencanaan juga dapat diartikan atau dikaitkan dengan

kepentingan masa depan.

Dalam melakukan suatu perencanaan, maka perlu kiranya untuk

memperhatikan bagaimana suatu perencanaan itu dibuat dengan baik agar

dapat dilaksanakan atau diimplementasikan dan pada akhirnya dapat

menghasilkan sesuatu sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.


38

Menurut Silalahi (2003), di dalam suatu perencanaan haruslah

dirumuskan danditetapkan jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tentang

1) apa yang harus dikerjakan. 2) mengapa harus dikerjakan, 3) dimana

dikerjakan, 4) kapan akan dikerjakan, 5) siapa yang akan iiiengerjakan, dan 6)

bagaimana hal tersebut akan dikerjakan.

Sementara Syamsi (1986) mengatakan perencanaan yang baik dan

lengkap harus memenuhi enam unsur pokok, yaitu :

1. Apa (what), yakni mengenai materi kegiatan apa yang akan dilaksanakan;

2. Mengapa (why), yaitu alasan rnengapa memilih dan menetapkan kegiatan

tersebut dan mengapa diprioritaskan;

3. Bagaimana dan berapa (how dan how much), yaitu mengenai cara dan

teknis pelaksanaan yang bagaimana yang dibutuhkan untuk dilaksanakan,

dan dengan dana yang tersedia harus dipertimbangkan;

4. Dimana (where), yakni pemilihan tempat yang strategis untuk

pelaksanaan kegiatan;

5. Kapan (when), yaitu pemilihan waktu yang tepat dalam pelaksanaannya;

6. Siapa (who) menentukan siapa orang yang akan melaksanaan kegiatan

tersebut. Ini merupakan subyek dan obyek pelaksanaan.

Perencanaan menurut Tjokroamidjojo (1995), antara lain dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Klasifikasi perencanaan dari segi ketat alau kurang

ketatnya, perlu alau kurang perlunya rencana:

a) Planning by perspective

b) Planning by inducement

c) Planning by direction
39

d) Complete control planning

2) Klasifikasi dari segi luas atau kurang luasnya wilayah perencanaan.

sebagai contoh adalah sebagai berikut:

a) Perencanaan kota

b) Perencanaan regional.

3) Klasifikasi dari segi jangka waktu rencana, yaitu rencana yang

dipergunakan dalam kurun wakiu tcrtentu terdiri dari:

a) Rencana jangka panjang.

b) Rencana jangka menengah.

c) Rencana jangka pendek.

4) Klasifikasi dari segi cara perumusannya, dapat diiihat dalam

dim macam:

a) Forward planning, yaitu perencanaan yang dimulai dari penyusunan

rencana menyeluruh dan kemudian membaginya dalam rencana-

rencana sektor kemudian ke dalam rencana proyek-proyek.

b) Backward planning, yaitu perencanaan kegiatan investasi pemerintah

maupun non pemerintah disusun terlebih dahulu dan setelahnya

diserasikan derigan kerangka makronya.

2.3.2. Pengertian Pembangunan

Menurut Syamsi (1986), pembangunan merupakan proses perubahan

sistem yang direncanakan dan pertumbuhan menuju ke arah perbaikan yang

berorientasi pada modernitas, nation building dan kemajuan sosial ekonomi.

Dalam rangka mengejar ketinggalan, diungkapkan oleh Supriatna (2000), di

negera berkembang diterapkan konsep Growth Paradigm, yaitu ditandai dengan


40

adanya pertumbuhan pendapatan national. Namun pada pelaksanaannya,

sasaran peningkatan pendapatan nasional tidak menjamin distribusi pendapatan

nasional dan tidak menguntungkan sekelompok masyarakat. Hal tersebut senada

dengan Andre G. Frank seperti yang dikutip oleh Syamsi (1986) bahwa "Untuk

mengukur keberhasilan pembangunan itu bukan hanya berdasarkan Rate of

Economic Growth, dan Income per Capita saja namun juga harus

memperhatikan tipe pertumbuhan (the Type of Growth;). Sebab dengan tipe

pertumbuhan berarti proses pembangunan harus memungkinkan pemberian

manfaat secara maksimal dan seimbang antara sumber-sumber rnanusiawi dan

sumber-surnber non-manusiawi, sehingga kemiskinan dapat dikurangi. Jadi

pembangunan tidak diartikan sebagai penciptaan gaya hidup modern.

Sejarah perkembangan pembangunan diwarnai evolusi makna

pembangunan dari pemujaan terhadap pertumbuhan hingga paradigma baru

dalam pembangunan. Menurut Kuncoro (1997) paradigma baru pembangunan

meliputi pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs),

pembangunan mandiri (self reliant development), pembangunan berkelanjutan

dengan perhatian terhadap alam (ecodevelopment), dan pembangunan yang

memperhatikrn ketimpangan pendapatan menurut etnis (ethnodevelopment).

Pengertian pembangunan selama tiga dekade yang lalu menurut Arsyad

(1999) adalah kemampuan ekonomi nasional dimana keadaan ekonomi mula-

mula relatif statis selama jangka waktu yang lama untuk menaikkan dan

mempertahankan suatu kenaikan GNP (Gross National Product) antara 5 sampai

7 persen atau lebih per tahun. Namun demikian, pengertian pembangunan

mengalami perubahan karena pembangunan yang berorientasi pada kenaikan

GNP saja tidak bisa memecahkan permasalahar pembangunan yang mendasar.


41

Menurut Rostow dalam Arsyad (1999) proses pembangunan ekonomi

bisa dibedakan dalam lima tahap yaitu masyarakat tradisional (the traditions

society), prasyarat untuk tinggal landas (the preconditions for take-off), tinggal

landas (the take-off) menuju kedewasaan (the drive to maturity), dan mass

konsumsi tinggi (the age of high mass-consumption). Dasar pembedaan tahap

pembangunan ekonomi menjadi lima tahap tersebut adalah karakteristik

perubahan keadaan ekonomi, sosial dan politik yang terjadi.

Menurut Kuncoro (1997) teori pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan

Rostow merupakan garda depan dari linear stage of growth theory yang banyak

mempengaruhi pandangan dan persepsi para ahli ekonomi mengenai strategi

pembangunan yang harus dilakukan, teori ini didasarkan pada pengalaman

pembangunan di negara-negara maju terutama di Eropa.

Tjokroamidjojo (1995) memberikan pengertian pembangunan bahwa

pada pokoknya merupakan suatu usaha perubahan dan pembangunan dari

suatu keadaan dan kondisi kemasyarakatan tertentu kepada suatu dan kondisi

kemasyarakatan yang dianggap lebih baik (lebih diinginkan). Siagian (1993)

menyatakan bahwa pembangunan adalah suatu usaha pertumbuhan dan

perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa dan

negam serta pemerintah menuju modernisasi dalam rangka pembinaan bangsa

(nations building).

Dari uraian tersebut jelaslah bahwa pada dasarnya pembangunan

mengandung unsur-unsur antara lain :

1) Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan.

2) Merupakan suatu usaha yang dilaksanakan secara sadar dan

terencana.
42

3) Berorientasi pada perubahan dan pertumbuhan yang mengarah pada

modernisasi.

4) Bertujuan pada usaha pembinaan bangsa yang terus menerus guna

meningkatkan kesejahteraan rakyat.

2.3.3. Perencanaan Pembangunan

Perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses

perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-kepulusan yang didasarkan pada

data dan fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan

suatu rangkaian kegiatan/ aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik

(material) maupun nonfisik (mental dan spiritual), dalam rangka mencapai tujuan

yang lebih baik (Riyadi dan Bratakusumah, 2004). Dalam hubungannya dengan

suatu daerah sebagai area pembangunan dimana terbentuk konsep

perencanaan pembangunan daerah, dapat dinyatakan bahwa perencanaan

pembangunan daerah menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004) yaitu suatu

proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan

perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas

masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah/ daerah tertentu,

dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada,

dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tapi tetap

berpegang pada azas prioritas.

Menurut Soekartawi (1990) perencanaan regional (regional planning)

dimaksudkan agar semua daerah dapat melaksanakan pembangunan secara

proporsional dan merata sesuai dengan potensi yang ada di daerah, manfaatnya

untuk pemerataan pembangunan dan keriuasan dari pusat ke daerah (spread


43

effects). Dengan adanya perencanaan regional dan pembangunan regional yang

berkembang dengan baik, kemandirian daerah dapat tumbuh dan berkembang

dengan kekuatan sendiri yang bermuara pada peninakalan pendapatan dan

kesejahteraan masyarakat setempat.

Perlunya suatu perencanaan itu dilakukan menurut Abe (2005 : 50),

didasarkan pada dua dalih yaitu: Pertama, adanya suatu kebutuhan (rnendesak),

untuk mcnjalankan agenda pembangunan dengan secara maksimal, tepat dan

hemat, dalam menggunakan sumber-sumber yang ada. Kedua, adanya

kebutuhan untuk rnentransformasikan masyarakat, yang harus dipandang bukan

sebagai gerak tambal sulam rnelainkan sebuah proses yang di dalamnya

mernuat kejadian-kejadian, mengubah tatanan lama dengan tatanan baru.

Aspek perencanaan yang dikaitkan dengan pembangunan o!eh

Soekartawi (1990), dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) topik utama, yaitu:

a) Perencanaan sebagai "alat" dari pembangunan; dan

b) pembangunan sebagai tolok ukur dari berhasil-tidaknya pembangunan

tersebut.

Dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan pembangunan Tjokroamidjojo

(1995) memberikan suatu ciri bagi perencanaan pembangunan yaitu:

a) Ciri pertama yaitu dicerminkan dalam suatu usaha peningkatan produksi

national,

b) Ciri kedua yaitu berorientasi pada pendapatan per kapita, yang merupakan

kelanjutan dari ciri pertama.

c) Ciri ketiga yaitu usaha untuk mengadakan perubahan struktur ekonomi.

d) Ciri keempat yaitu usaha untuk perluasan kesempatan kerja.


44

e) Ciri kelima yaitu mempunyai kecenderungan pada usaha untuk pemerataan

pembangunan.

f) Ciri keenam yaitu usaha pembiraan kepada lembaga-lembaga ekonomi

masyarakat yang rnenunjang kegiatan-kegiatan pembangunan.

g) Ciri ketujuh yaitu mengarah pada kemampuan pembangunan secara

bertahap didasarkan pada kemampuan nasional.

h) Ciri kedelapan yaitu usaha secara terus menerus menjaga stabilitas

ekonomi.

i) Ciri kesembilan yaitu merupakan tujuan pembangunan yang fundamental

ideal atau bersifat jangka panjang.

Secara hirarki prosedur perencanaan itu dilakukan atas dasar prinsip top-

down planning dan bottom-up planning. Dalam suatu negara top-down planning

dilakukan oleh Pemerintah Pusat yang selanjutnya dituangkan dalam

perencanaan di tingkat daerah. Sementara itu boltom-up planning dilakukan

melalui usulan rencana dari daerah yang kemudian dituangkan dalam

perencanaan pusat, sehingga pada dasarnya dengan prinsip ini rencana daerah

menjadi rencana pusat.

Dalam perencanaan pembangunan perlu diperhatikan unsur-unsur pokok

sebagaimana diungkapkan oleh Tjokroamidjojo (1995), secara umum adalah

sebagai berikut:

a) Kebijaksanaan dasar atau strategi dasar rencana pembangunan, yang

mempakan unsur dasar daripada seluruh rencana yang kemudian

dituangkan dalam unsur-unsur pokok lainnya. Salah satunya adalah

penetapan tujuan-tujuan rencana.


45

b) Kerangka rencana, yang biasa juga disebut dengan kerangka makro, yang

menghubungkan berbagai variabel pembangunan serta implikasi luibungan

tersebut.

c) Perkiraan sumber - sumber pembangunan, yang seringkali merupakan

bagian dari penelaahan kerangka makro rencana.

d) Uraian tentang kerangka kebijaksanaan yang konsisten. Berbagai

kebijakan perlu dirumuskan dan kemudian dilaksanakan dimana kebijakan-

kebijakan tersebut harus serasi dan konsisten. Antara lain yaitu kebijakan

fiskal, penganggaran, moneter, harga sera kebijakan lainnya.

e) Program investasi, yang perlu dilakukan secara bersamaan dengan

penyusunan sasaran-sasaran rencana. Penyusunan di sini perlu dilakukan

secara seksama dan dilakukan berdasar perencanaan yang lebih

operasional. Dalam penyusunan program investasi dan sasaran rencana

pembangunan diserasikan dengan kemungkinan pembiayaan yang wajar.

f) Administrasi pembangunan. Salah satu segi penting perencanaan adalah

pelaksanaan rencana, dan untuk itu diperlukan administrasi negara yang

mendukung usaha perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tersebut.

Dalam hal ini perlu penelaahan terhadap mekanisme dan kelembagaan

perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

2.3.4. Perencanaan Pembangunan Daerah

Konsep perencanaan pembangunan daerah di sini dapat dikatakan

merupakan suatu perencanaan yang didesentralisasikan oleh Pemerintah Pusat

kepada Pemerintah Daerah. Sebagaimana dikemukakan oleh Kumar (2001)

bahwa "Decentralised planning connotes a better perception of the needs of local


46

areas, makes better informed dicision-making possible, gives a greater voice in

decision-making to the people for whom the development is meant, and serves to

achieve better co-ordination and integration among programmes enabling the felt

needs of the people to be taken into account." Kurang lebih maksudnya adalah

perencanaan yang didesentralisasikan mempunyai konotasi yang lebih baik

dalum memahami kebutuhan daerah, dapat mcmberikan informasi yang lebih

baik kepada pernbuat keputusan, memberikan kecenderungan yang lebih baik

dalam pembuatan keputusan untuk masyarakat daerah, dan dapat

melaksanakan koordinasi dan integrasi yang lebih baik dalam melaksanakan

program yang dirasakan sebagai kebutuhan masyarakat itu sendiri.

Perencanaan pembangunan daerah menurut Blakely (1994) memiliki 6

(tahapan). Diawali pada tahap I yaitu pengumpulan dan analisis data, tahap II

pemilihan strategi pembangunan daerah, tahap III pemilihan proyek-prnyek

pembangunan, tahap IV pembuatan rencana tindakan, tahap V penentuan

rincian proyek dan diakhiri tahap VI yaitu persiapan perencanaan secara

keseluruhan dan implementasinya.

Menurut Abe (2002) perencanaan pembangunan daerah merupakan

proses menyusun langkah-langkah yang akan diselenggarakan oleh Pemerintah

Daerah dalam rangka menjawab kebutuhan masyarakat untuk mencapai suatu

tujuan tertentu. Perencanaan daerah dapat dipandang sebagai formulasi

(rumusan) mengenai aspirasi masyarakat setempat, dalam rangka mencapai

suatu kehidupan baru yang lebih baik dan bermakna melalui langkah langkah

pembangunan. Dalam hal ini dikenal dua model perencanaan pembangunan:


47

1) Perencanaan pembangunan yang ditentukan langsung oleh pusat sehingga

Pemerintah Daerah hanya merupakan pelaksana atau pelengkap dari konsep

yang sudah ada;

2) Perencanaan merupakan hasil dari pergulatan masyarakat setempat dengan

menggunakan mekanisme formal dan non formal yang ada.

UU No.32 tahun 2004 menyebutkan bahwa perencanaan pembangunan

daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan penbangunan

nasional, disusun oleh Pemerintah Daerah provinsi, kabupaten/ kota sesuai

dengan kewenangannya yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah. Hal ini berarti bahwa perencanaan yang dilakukan oleh

Pemerintah Daerah merupakan bagian dari perencanaan pembangunan nasional

yang tentunya setiap daerah tidak bisa menjalankan sendiri program

pembangunannya tanpa melihat program pembangunan nasional secara

keseluruhan.

Perencanaan pembangunan daerah pada dasarnya mempunyai ciri-ciri

yang tidak banyak berbeda sebagaimana dikemukakan pada perencanaan

pembangunan. Dalam konteks pembangunan daerah, perencanaan mempunyai

ciri terhadap pembangunan seperti-dikemukakan oleh Todaro (2000) bahwa

pembangunan suatu daerah harus mencakup 3 (tiga) nilai yaitu kecukupan

(sustenance), jati diri (self-esteem), serta kebebasan (freedom), yang semuanya

berkaitan secara langsung dengan kebutuhan-Kebutuhan manusia yang paling

mendasar.

Unsur-unsur dasar dalarn perencanaan pembangunan daerah, selain dari

unsur-unsur perencanaan pembangunan, juga perlu diperhatikan hal-hal

sebagaimana diungkapkan oleh Kuncoro (2004), yaitu :


48

1. Perencanaan pembangunan ekonomi daerah yang realistik

2. Sesuatu yang tarnpaknya baik secara nasional belum tentu baik untuk

daerah, dan sebaliknya yang baik bagi daerah belum tentu baik bagi secara

nasional.

3. Perangkat kelembagaan yang tersedia untuk pembangunan daerah

Perlunya Pemerintah Daerah untuk secara aktif mengadakan

perencanaan atau program pembangunan daerahnya terutama disebabkan

karena ketiga alasan berikut:

1. Untuk membantu Pemerintah Pusat dan pada waktu yang sama

mengemukakan pendapatnya dalam meneliti proyek-proyek yang akan

dilaksanakan Pemerintah Daerah.

2. Menciptakan desenralisasi yang efektif dan selanjutnya

menciptakan administrasi yang lebih efisien.

3. Memberikan pengarahan kepada sektor swasta sehingga kegiatan

investasi mereka dapat dilaksanakan secara efisien dan memberikan

sumbangan yang maksimal terhadap pembangunan ekonomi.

2.4. Partisipasi Publik dalam Perencanaan Pembangunan

Masyarakat pada prinsipnya harus menjadi pelaku utama dalam proses

pembangunan. Jika demikian, maka pola yang dibutuhkan bukan lagi dari atas

kebawah tetapi harus mampu memberikan tempat bagi keterlibatan semua

tingkat. Masing-masing tingkat perlu mendapatkan pembagian peran dengan

prinsip semakin keatas, kewenangan dalam hal kebijakan semakin luas dan

semakin kebawah memiliki kewenangan operasionalisasi lebih luas (Prasojo,

2004).
49

Studi empiris banyak yang menunjukkan bahwa kegagalan pembangunan

atau pembangunan tidak memenuhi sasaran karena kurangnya partisipasi publik,

bahkan pada banyak kasus menunjukkan bahwa masyarakat justru menentang

upaya pembangunan (Kartasasmita, 1997). Padahal banyak manfaat utama

yang dapat diperoleh jika masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses

pembangunan. Selain masyarakat diberdayakan otoritas dan fungsinya, juga,

mereka akan ikut terlatih dalam bertanggung jawab atas pelaksanaan dan hasil

dari keputusan yang dibuat secra partisaipatif. Keputusan yang dibuat juga akan

semakin bermutu karena terkait secara langsung dengan kepentingan dan

kebutuhan masyarakat yang terlibat sehingga kan berdampak pada peningkatan

produktifitas hasil yang dicapai. Adanya komitmen mayarakat yang kuat atas

pelaksanaan keputusan yang mereka buat sendiri akan menambah semangat

dan kepuasan mereka untuk mewujudkan apa yang mereka putuskan.

Pelaksanaan partisipasi publik dalam pembangunan juga kan mengurangi

kekakuan hubungan antara masyarakat dan pemerintah dan hubungan antar

masyarakat serta mampu mengurangi konflik diantara mereka. Dan dalam

konteks masyarakat daerah maka partisipasi publik ini akan dapat meningkatkan

rasa solidaritas komunitas masyarakat local yang sangat dibutuhkan dalam

proses pembangunan daerah (Islamy, 2004).

Partisipasi publik dalam pembangunan juga dapat memperkuat proses

demokrasi, karena dengan partisipasi masyarakat berarti:

1. Memberi kesempatan yang nyata kepada mereka untuk

mempengaruhi pembuatan keputusan tentang masalah kehidupan yang

mereka hadapi sehari-hari dan mernpersempit jurang pemisah antara

pemerintah aan rakyat.


50

2. Memperluas peluang pendidikan politik bagi masyarakat sebagai

landasan bagi pendidikan demokrasi, sehingga rakyat menjadi terlatih

dalam menyusun proritas-prioritas kebutuhan dan kepentingar, yang

berbeda.

3. Dengar adarya partisipasi publik lokal dalam menangani urjsan-urusan

publik akan memperkuat solidaritas komunitas masyarakat lokal (Islamy,

2004).

Dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berbasis masyarakat

diperlukan beberapa proses pengelolaan yang sesuai dengan tahapan

manajemen yaitu mulai dari perencanaan, implementasi, monitoring dan

evaluasi. Perencanaan pembangunan merupakan tugas pokok dalam

manajemen pembangunan. Ada berbagai sifat perencanaan, yang tergantung

dari cara melihat atau pendekatannya. Dari segi ruang lingkup tujuan dan

sasarannya perencanaan dapat bersifat nasional, sektoral, dan spasial. Terkait

dengan itu, perencanaan dapat berupa perencanaan agregatif atau komprehensif

dan parsial. Dalam jangkauan hirarkinya, ada perencanaan tingkat pusat dan

daerah. Dari jangka waktu, bersifat jangka panjang, menengah dan jangka

pendek. Dari segi ketepatan, perencanaan dapat indikatif atau preskriptif.

Berdasarkan sistem politiknya, dapat bersifat alokatif, inovatif, dan radikal

(Friedman, 1987).

Pada sistem pemerintahan yang demokratis, konsep partisipasi publik

merupakan salah satu konsep yang penting karena berkaitan langsung dengan

hakikat demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfokus pada rakyat

sebagai pemegang kedaulatan. Dalam hal ini, masyarakat sebagai pemegang

kedaulatan berhak untuk ikut berpartisipasi dalam proses perencanaan


51

pembangunan dengan pemerintah bersama-sama masyarakat menjadi

implementor sekaligus contoller dalam proses pembangunan.

Bentuk dari partisipasi publik pun beragam. Mulai dari yang berupa

keikutsertaan langsung masyarakat dalam program pemerintahan maupun yang

sifatnya tidak langsung, seperti berupa sumbangan dana, tenaga, pikiran,

maupun pendapat dalam pembuatan kebijakan pemerintah. Meskipun demikian,

ragam dan kadar partisipasi seringkali ditentukan hanya dari banyaknya individu

yang dilibatkan. Padahal partisipasi publik pada hakikatnya berkaitan dengan

akses masyarakat untuk memperoleh informasi. Sampai saat ini partisipasi publik

masih belum menjadi kegiatan tetap dan terlembaga khususnya dalam

pembuatan keputusan. Partisipasi publik masih terbatas pada keikutsertaan

dalam pelaksanaan program-program atau kegiatan pemerintah, padahal

partisipasi publik tidak hanya diperlukan pada saat pelaksanaan tapi juga mulai

tahap perencanaan bahkan pengambilan keputusan.

Upaya yang harus dilakukan dalam pelaksanaan manajemen

pembangunan daerah, adalah meningkatan kapasitas aparat pemerintahan

daerah serta organisasi civil society agar dapat mengambil peranan yang tepat

dalam interaksi demokratis serta proses pembangunan secara komprehensif.

Spesifiknya bahwa pembangunan pada era desentralisasi ini harus lebih memiliki

dimensi peningkatan sumber daya manusia sehingga dapat memberikan

pelayanan yang tepat kepada masyarakat dan mampu mengelola sumber daya

alam secara berkelanjutan. Peran serta masyarakat secara langsung sangat

diperlukan dan perlu terus diperkuat serta diperluas. Sehingga istilah partisipasi

tidak menjadi sekedar retorika semata tetapi diaktualisasikan secara nyata dalam

berbagai kegiatan dan pengambilan kebijakan pembangunan. Keberhasilan


52

pemerintahan dalam jangka panjang tidak hanya bergantung pada kepuasan

masyarakat atas pelayanan yang diberikan, tetapi juga atas ketertarikan,

keikutsertaan, dan dukungan dari masyarakat. Sehatnya demokrasi bergantung

pada bagaimana masyarakat mendapatkan informasi yang baik dan dapat

mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.

Partisipasi secara utuh yang melibatkan aktor-aktor pembangunan daerah

mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai pada monitoring dan

evaluasi merupakan “daya dorong” guna mewujudkan sistem manajemen

pembangunan daerah yang terpadu menuju peningkatan harkat dan

kesejahteraan masyarakat. Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan

cara untuk menghantarkan pelaku-pelakunya untuk dapat memahami masalah

yang dihadapi, menganalisa akar-akar masalah tersebut, mendesain tindakan-

tindakan terpilih dan memberikan kerangka untuk pemantauan dan evaluasi

pelaksanaan program.

Dalam mendorong proses pembangunan yang partisipatif, maka peran

dari civil society organization yang di dalamnya termasuk Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) sangat dibuthkan. Peran tersebut terutama dalam hal

mensosialisasikan dan mempraktekkan pendekatan pembangunan yang bersifat

partisipatif kepada masyarakat. LSM-LSM ini juga berperan dalam upaya

menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam proses

pengambilan keputusan public dan melakukan pemantauan agar kebijakan

tersebut sesuai dengan aspirasi dari masyarakat yang telah berpartispasi

tersebut. Perencanaan dengan pendekatan partisipatif merupakan strategi

pembangunan dan proses penentuan keputusan publik sangat bergantung pada

kesadaran masyarakat untuk mau melibatkan diri dalam proses pembangunan.


53

Pentingnya partisipasi publik dalam perencanaan pembangunan daerah

ini ialah lebih kepada pengalaman yang terdahulu yang hanya beranggapan

bahwa negara dalam hal ini pemerintah sebagai pelaksana tunggal dalam proses

pembangunan sehingga pembangunan yang dilaksanakan menjadi salah sasara

dan tidak sesuai dengan pa an dikehendaki oleh masyarakat. Dengan

pendekatan yang partisipatif dalam proses perencanaan pembangunan daerah

ini maka diharapkan proses pembangunan yang dilakukan sesuai dengan apa

yang menjadi tuntutan masyarakat daerah. Satu sudut pandang atau satu sistem

nilai saja tidak akan menjawab persoalan yang ada dalam masyarakat. Karena

dalam suatu sistem publik kepentingan yang ada sangat beragam. Melihat dari

kenyataan ini, maka satu sudut pandang dari pemerintah saja tidak akan

menjawab/ tidak dapat memecahkan persoalan pembangunan yang ada dalam

masyarakat.

Perencanaan partisipatif ialah sebagai proses politik maupun proses

teknis. Proses ini lebih menekankan pada peran dan kapasitas fasilitator untuk

mendefinisikan dan mengidentifikasi stakeholder secara tepat. Proses ini juga

diarahkan untuk memformulasikan masalah secara kolektif, merumuskan strategi

dan rencana tindak kolektif, serta melakukan manajemen konflik untuk

kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya publik. Hal yang penting dalam

proses teknis ini adalah upaya pembangunan institusi masyarakat yang cukup

legitimat sebagai wadah bagi masyarakat untuk melakukan proses mobilisasi

pemahaman, pengetahuan, argumen, dan ide menuju terbangunnya sebuah

konsensus, sebagai awal tindak kolektif penyelesaian persoalan publik.

Perencanaan dengan pendekatan partisipatif atau biasa disebut sebagai

participatory planning merupakan suatu proses politik untuk memperoleh


54

kesepakatan bersama (collective agreement) melalui aktivitas negosiasi antar

seluruh pelaku pembangunan (stakeholders). Proses politik ini dilakukan secara

transparan dan aksesibel sehingga masyarakat memperoleh kemudahan setiap

proses pembangunan yang dilakukan serta setiap tahap perkembangannya.

Dalam hal ini perencanaan partisipatif lebih sebagai sebuah alat pengambilan

keputusan yang diharapkan dapat meminimalkan konflik antar “stakeholder”.

Perencanaan partisipatif juga dapat dipandang sebagai instrumen

pembelajaran masyarakat (social learning) secara kolektif melalui interaksi antar

seluruh pelaku pembangunan atau “stakeholders” tersebut. Pembelajaran ini

pada akhirnya akan meningkatkan kapasitas seluruh “stakeholders” dalam upaya

memobilisasi sumberdaya yang dimilikinya secara luas.

Sebenarnya partisipasi publik dalam proses perencanaan pembangunan

ialah lebih kepada pendewasaan bagi masyarakat dalam pendidikan politik serta

pengimplementasian dari bentuk demokratisasi. Di mana masyarakat sebagai

elemen terbesar dalam suatu tatanan masyarakat diharapkan dapat ikut dalam

proses penentuan arah pembangunan.

Konsep perencanaan pembangunan partisipatif awalnya dilatarbelakangi

oleh peran dan fungsi daerah otonom yang harus menentukan sendiri strategi

perencanaan daerahnya. Sehingga pertimbangan-pertimbangan kebutuhan

kapasitas, keragaman pelaku dalam pelaksanaan proses perencanaan di tingkat

daerah dalam kerangka desentralisasi dan otonomi daerah menjadi sangat

penting. Strategi perencanaan tersebut mengadopsi prinsip pemerintahan yang

baik seperti pembuatan keputusan yang demokratis, partisipasi, transparansi dan

sistem pertanggungjawaban dan mencoba menyerapkannya pada kondisi lokal.


55

Perencanaan tingkat daerah diarahkan berdasarkan isu yang dianggap

relevan bagi pembangunan. Dimulai dari perumusan visi dan tujuan umum

pembangunan jangka panjang berdasarkan masukan dari kelompok

“stakeholders” terkait, sehingga visi dan misi menjadi milik bersama dan acuan

untuk semua pelaku pembangunan di daerah. Partisipasi publik diterapkan

menjadi alat dan metode yang memberikan kesempatan luas kepada semua

unsur masyarakat/ ”stakeholders” untuk menyalurkan persepsi dan aspirasinya

yang selanjutnya dimasukkan ke dalam pembuatan tujuan kebijakan dan

program pembangunan daerah. Forum-forum “stakeholders”, seperti LSM,

organisasi perempuan, pemuda dan dunia usaha difasilitasi untuk meningkatkan

partisipasi di antara masyarakat setempat dan kelompok kepentingan sebagai

elemen yang mendukung untuk menentukan prioritas pembangunan daerah.

Forum “stakeholders” berperan sebagai salah satu proses untuk

menyuarakan kepentingan masyarakat terhadap tujuan pembangunan secara

spesifik. Dalam proses perumusan visi pembangunan daerah sebagai dasar

untuk perencanaan jangka menengah penting untuk menampung aspirasi

masyarakat melalui berbagai forum “stakeholders” yang ada di level daerah.

Perencanaan dilihat sebagai proses terstruktur yang bertahap dan bertingkat.

Perencanaan pembangunan daerah oleh lembaga teknis didasarkan pada

analisa potensi dan kebutuhan daerah, integrasi rencana spasial dan rencana

pembangunan dari tingkat propinsi maupun nasional. Aspek tersebut dipadukan

dengan alur perencanaan partisipatif untuk menggali aspirasi dan kebutuhan

masyarakat setempat. Hasil pemaduan dua perspektif, yakni dari masyarakat

sipil dan lembaga pemerintahan, selanjutnya menjadi dasar bagi para perencana
56

dalam menyusun dokumen perencanaan yang diterima semua pihak yang

sekaligus sesuai dengan norma dan standar nasional.

Selain alur perencanaan itu sendiri, hubungan fungsional antara

perencanaan dan penganggaran harus diperkuat. Terutama yang sudah

direncanakan perlu dianggarkan. Ini untuk menghindari prioritas yang telah

disetujui sebelumnya diganti dengan kepentingan partisipan yang bertentangan

dengan rencana pembangunan daerah. Tiap sektor harus diberikan alokasi

anggaran bagi perencanaan sektoralnya, sebagai bagian dari belanja daerah

pada tahun-tahun mendatang. Sebagai suatu proses maka perencanaan

pembangunan yang partisipatif akan mencakup sejumlah tahapan yang harus

dilalui dengan melibatkan seluruh “stakeholders”. Tahapan-tahapan ini diawali

oleh kegiatan identifikasi kebutuhan dan potensi daerah dan diakhiri dengan

kegiatan monitoring dan evaluasi dalam rangka memperoleh umpan balik untuk

penyusunan visi dan misi berikutnya.

Secara sederhana, siklus perencanaan pembangunan partisipatif dapat

digambarkan sebagai berikut:


57

Pemahaman
Daerah

Penetapan Visi
Monitoring & dan Misi
Evaluasi

Perumusan
Pelaksanaan/ Tujuan
implementasi

Penganggaran
Identifikasi
Strategi Alternatif

Penentuan Pengujian Alternatif


Kegiatan & Seleksi
Strategi/Program

Gambar 2: Siklus Perencanaan Pembangunan Partisipatif

Dalam keseluruhan langkah tersebut, perlu didesain lingkup partisipasi

yang diperlukan bagi “stakeholders”. Lingkup partisipasi ini menyangkut

penentuan siapa yang akan dilibatkan dan dalam perencanaan yang bagaimana

ia harus dilibatkan. Model partisipasi yang sifatnya masif (melibatkan masyarakat

luas) lebih tepat diterapkan bagi perencanaan yang menyangkut kepentingan

umum atau pembangunan yang berbasis wilayah. Sementara model partisipasi

terbatas dapat diterapkan dalam perencanaan yang sifatnya strategis yang

menyangkut identifikasi dan penentuan kebijakan-kebijakan yang membutuhkan

pemikiran dan skala prioritas yang visioner. Untuk tahapan perencanaan

strategis, akan lebih tepat jika “stakeholders” yang dilibatkan adalah kelompok-
58

kelompok ahli yang kompeten karena menyangkut dimensi teknokratis dari

perencanaan pembangunan. Dengan demikian, untuk menerapkan perencanaan

partisipatif dalam pembangunan daerah masih diperlukan upaya untuk

mendesain model partisipasi publik yang sesuai dengan kebutuhan, terutama

menyangkut lingkup partisipasi yang sesuai. Di sisi lain, implementasi konsep

perencanaan partisipatif juga tidak akan berhasil tanpa didukung oleh sejumlah

prasyarat yang mencakup perubahan struktur dan kultur dalam masyarakat

daerah, antara lain:

1. Adanya upaya pelibatan seluruh “stakeholders”.

2. Adanya upaya pembangunan institusi masyarakat yang kuat dan legitimate.

3. Adanya proses politik melalui upaya negosiasi yang pada akhirnya mengarah

pada pembentukan kesepakatan bersama (collective agreement).

4. Adanya usaha pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat dapat

mengetahui kebutuhannya; kapasitas yang dimilikinya; mampu

mengidentifikasi alternatif solusi untuk memenuhi kebutuhannya tersebut;

serta memilih alternatif terbaik yang paling sesuai dengan kapasitasnya.

Upaya ke depan untuk mendukung proses perencanaan pembangunan

partisipatif seharusnya lebih berfokus pada pengembangan kapasitas di tingkat

sistem, institusi, dan individu untuk menjamin kontinuitas perkembangan inovasi

dan konsepnya pada masa yang akan datang.

2. 5. Otonomi Daerah dan Perencanaan Pembangunan Daerah

Otonomi Daerah adalah kewenangan dan tanggung jawab suatu daerah

dalam membuat dan mengambil keputusannya sendiri yang lebih sesuai dengan

situasi, kondisi, kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi daerah. Sehingga


59

proses pengambilan keputusan kepada kelompok masyarakat yang paling bawah

akan semakin dekat. Tentu saja yang sesuai dengan ciri dan budaya setempat,

sehingga kebijakan public lebih dapat diterima dan produktif dalam memenuhi

kebutuhan.

Menurut Hoessein (2002) pengejawantahan dari desentralisasi adalah

otonomi daerah dan daerah otonom. Mengkaji masalah desentralisasi tidak bisa

dilepaskan dengan masalah senralisasi dalam penyelengaraan pemerintahan,

pembangunan dan pelayanan publik. Sentralisasi dan desentralisasi didalam

proses penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik,

pada dasarnya berkenaan dengan “delegation of authority and responsibility”

yang dapat diukur dari seajuh mana unit-unit bawahan memiliki wewenang dan

tangung jawab didalam proses pengambilan keputusan (Miewald dalam Pamuji,

1984).

Pada dasarnya desentralisasi dapat diartikan sebagai pelimpahan atau

penyerahan kekuasaan atau wewenang di bidang tertentu secara vertikal dari

institusi/ lembaga/ fungsionaris bawahannya sehingga yang diserahi/ dilimpahkan

kekuasaan wewenang tertentu itu berhak bertndak atas nama sendiri dalam

urusan tertentu tersebut (Pide, 1997).

Desentralisasi dapat diartikan pula sebagai suatu sistem, dimana bagian-

bagian dan tugas Negara diserahkan penyelenggaraannya kepada organ yang

sedikit banyak mandiri. Organ yang mandiri ini wajib dan berwenang melakukan

tugasnya atau melakukan inisiatif atas kebijaksanaannya sendiri. Ciri penting

bagi organ yang didesentralisasikan adalah, mempunyai sumber-sumber

keuangan sendiri untuk membiayai pelaksanaan tugasnya.


60

Desentralisasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat

kepada satuan-satuan organisasi pemerintahan untuk menyelengarakan

segenap kepentingan setempat dari sekelompok penduduk yang mendiami suatu

wilayah (The Liang Gie dalam Pide, 1997) Satuan organisasi tersebut berikut

wilayahnya ialah “daerah otonom”, wewenang untuk menyelenggarakan segenap

kepentingan setempat tersebut berikut kewajiban, tugas dan tanggung jawabnya

tercakup dalam istilah “pemerintahan daerah”

Diberlakukannya sistem desentralisasi bukanlah tanpa tujuan. Seperti

yang diungkapkan oleh Sady Sumardjan yang dikutip Nugroho (1994), bahwa

penggunaan sistem desentralisasi dimaksudkan untuk:

1. Untuk mengurangi beban dan tugas Pemerintah Pusat.

2. Untuk memeratakan tanggung jawab.

3. Untuk memobilisasi potensi masyarakat banyak untuk kepentingan

umum.

4. Mempertinggi efektifitas dan efisiensi dalam pengurusan kepentingan

daerah.

Desentralisasi juga memilki keunggulan, sebagaimana dikatakan oleh

Rondinelli seperti dikutip Zauhar (1993), bahwa keunggulan dari asas

desentralisasi yakni:

1. Desentralisasi merupakan alat untuk mengurangi kelemahan

perencanaan terpusat.

2. Desentralisasi merupakan alat yang bias mengurangi gejala

red tape;

3. Dengan desentralisasi maka kepekaan dan pengetahuan

tentang kebutuhan tentang kebutuhan masyarakat local dapat ditingkatkan.


61

4. Dengan desentralisasi, kebijaksanaan Pemerintah Pusat yang

sering tidak diketahui dan diabaikan oleh masyarakat dan elit local, menjadi

lebi dikenal.

5. Dengan desentralisasi lebih memungkinkan berbagai

kelompok kepentingan dan kelompok politik terwakili dalam proses

pengambilan keputusan.

6. Desentralisasi memungkinkan pejabat local dapat lebih

meningkatkan kapasitas manajerial dan teknisnya;

7. Efisiensi Pemerintah Pusat dapat lebih ditingkatkan .

8. Dengan desentralisasi akan tercipta struktur yang

memungkinkan koordinasi dilakukan dengan baik.

9. Struktur pemerintahan yang desentralistis sangat dibutuhkan

untuk melembagakan partisipasi warga Negara dalam perencanaan dan

pengelolaan pembangunan.

10. Desentralisasi dapat melibatkan elit local, sehingga dapat

memperlancar komunikasi aspirasi.

11. Desentralisasi memungkinkan lahirnya administrasi yang lebih

fleksibel , inovatif, dan kreatif;

12. Dengan desentralisasi pelayanan kepada masyarakat lebih

cepat dan lebih baik.

13. Desentralisasi dapat meningkatkan stabilitas politik dan

kesatuan nasional, karena berbagai kelompok diberi kesepatan untuk

berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.


62

14. Dengan lebih kompleksnya masyarakat dan pemerintahan

pengambiln keputusan yang sentralistis menjadi tidak efisien, mahal dan sulit

dilaksanakan.

Keunggulan dan tujuan desentralisasi tersebut menyebabkan banyak

Negara menyukai desentralisasi sebagai suatu strategi maupun sistem dalam

penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan. Otonomi

Daerah merupakan perwujudan pelaksanaan asas desentralisasi dalam

penyelenggaraan pemerintahan suatu Negara. Berdasarkan asas tersebut

kekuasaan Negara akan terbagi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah

Daerah. Daerah yang memiliki otonomi daerah disebut sebagai daerah otonom.

Daerah otonom adalah suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

batas wilayah tertentu yang berhak dan berwenang dan kewajiban mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik

Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Daerah otonom memilki ciri-ciri sebagaimana diungkapkan oleh Kaho

(1997) antara lain sebagai berikut:

1. Adanya urusan-urusan tertentu yang diserahkan oleh Pemerintah

Pusat atau daerah tingkat atas kepada daerah untuk diatur dan

diurusnya dalam batas-batas wilayahnya

2. Pengaturan dan pengurusan urusan-urusan tersebut dilakukan atas

inisiatif sendiri dan didasarkan pada kebjaksanaannya sendiri pula.

3. Adanya alat-alat perlengkapan atau organ-organ atau aparaur sendiri

untuk mengatur urusan-urusan tersebut maka daerah perlu memiliki

sumber-sumber pendapatan/keuangan sendiri.


63

Otonomi dengan demikian dianggap jauh lebih demokratis daripada yang

terpusat, bahka lebih menjamin adanya pluralitas, karena menghindari dominasi

suatu kekuasaan berdasrkan budaya atau agama atau kepercayaan/ ideology

tertentu. Prinsip dari otonomi daerah adalah: (1). Nyata (2). Dinamis (3).

Bertanggungjawab. Prinsip pemberian otonomi yang nyata dikaitkan dengan

proses pemberian hak, wewenang dan kewajiban pada daerah otonom untuk

mengukur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri, dimana dalam

pemberian otonomi harus didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan-

perhitungan, tindakan-tindakan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benar-

benar dapat menjamin daerah secara nyata mampu mengurus rumah tangganya

sendiri. Prinsip otonomi dinamis diartikan bahwa setiap daerah dapat berubah

dan berkembang sesuai dengan pembangunan yang dilakukan. Sedangkan

otonomi yang bertanggung jawab, berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai

dalam rangka pemberian otonomi kepada daerah. Artinya pemberian otonomi

kepada daerah harus benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan

pembangunan diseluruh daerah, dan menjamin perkembangan dan

pembangunan daerah.

Semakin besar urusan pemerintahan (kewenangan dan tanggung jawab)

yang diberikan kepada daerah, maka daerah tersebut semakin otonom

(berdaya). Pemberdayaan daerah dalam melaksanakan otonomi ini hanya bisa

diwujudkan jika faktor-faktor seperti personil, peralatan, dan pembiayaan yang

tersedia cukup memadai. Karena akan berimplikasi terhadap pemberdayaan

otonomi dan akibat lebih lanjut akan meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Otonomi daerah akan memperkuat daerah dalam rangka menangkap

aspirasi masyarakat daerah, bisa diartikan sebagai undangan pada institusi lokal
64

untuk kembali berfungsi. Otonomi daerah secara budaya berarti pengembalian

hak budaya lokal untuk bisa tumbuh dan berkembang secara wajar. Penguatan

institusi lokal dalam kerangka otonomi daerah bermakna pengembalian fungsi

institusi lokal sebagai wahana masyarakat dalam menghadapi hidup dan

menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi (Abe, 2002). Keterlibatan

rakyat dalam proses perencanaan adalah pada proses perumusan umum,

dimana pada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan pokok-pokok

harapan, kebutuhan dan kepentingan dasarnya, dalam kerangka ini perencanaan

bisa menjadi wahana untuk mengubah skema politik lama dari fop down menjadi

bottom up.

2.6. Paradigma Good Governance dalam Proses Perencanaan


Pembangunan Daerah

Pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat.

Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk

melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap

anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi

mencapai tujuan bersama (Rasyid, 2000).

Paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran dari

paradigma “rule government” menjadi “good governance”. Pemerintah dalam

menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik (public

services) menurut paradigma “rule government” senantiasa lebih menyandarkan

pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam “good governance”,

penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan tidak hanya


65

berfokus kepada pemerintah tetapi juga melibatkan seluruh elemen dalam

birokrasi maupun luar birokrasi (Rasyid, 2000).

Governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan

sosial yang melibatkan pengaruh sektor Negara dan sektor non-pemerintah

dalam suatu kegiatan non kolektif. Konsep “governance “ melibatkan tidak

sekedar pemerintah dan Negara, tapi juga peran berbagai aktor diluar

pemerintah dan negara , sehingga pihak-pihakyang terlibat juga sangat luas

(Ganie-Rochman 2000 dalam Widodo 2001).

Menurut United Nations Development Programme (1997 dalam Widodo

2001) mengemukakan “Governance” adalah suatu institusi, mekanisme, proses

dan hubungan yang komplek melalui warga Negara dan kelompok-kelompok

yang mengartikulasikan kepentingannya, melaksanakan hak dan kewajibannya

dan menengahi atau memfasilitasi perbedaan diantara mereka.

Adapun unsur utama yang dilibatkan dalam pernyelenggaraan

“governance” menurut UNDP terdiri dari tiga macam yaitu: (1). State, mempunyai

tugas mewujudkan pembangunan manusia yang berkelanjutan dengan

meredefinisi peran pemerintahan dalam mengintegrasikan social, ekonomi dan

melindungi lingkungan, melindungi kerentanan dalam masyarakat, menciptakan

komitmen politik mengenai restrukturisasi ekonomi, social dan politik,

menyediakan infra struktur,desentralisasi dan demokratisasi pemerintah,

memperkuat financial dan kapasitas administrative pemerintah local, kota dan

metropolitan. (2). Private Sector, sektor swasta telah memainkan peran penting

dalam pembanguna melalui pendekatan pasar. Pendekatan pasar untuk

pembangunan ekonomi berkaitan dengan penciptaan kondisi dimana barang dan

jasa berjalan dengan baik. (3) Civil Society, terdiri dari individual maupun
66

kelompok yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi dengan aturan

formal maupun tidak formal.

Good dalam “good governance” menurut Lembaga Administrasi Negara

(2000 dalam Widodo, 2001) terdapat dua pengertian. Pertama, nilai-nilai yang

menjunjung tinggi keinginan/ kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat

meningkatkan kermampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan (nasional)

kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek-

aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif, efisien dalam melakukan upaya

mencapai tujuan nasional.

Good Governance ialah penyelenggaraan pemerintahan Negara yang

solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga

“kesinergisan” interaksi yang konstruktif diantara domain-domain Negara, sektor

swasta dan masyarakat. Menurut (UNDP, 1997). Sistem kepemerintahan yang

baik adalah partisipasi, yang menyatakan bahwa semua anggota institusi

governance memiliki suara dalam mempengaruhi pembuatan keputusan.

Karakteristik “Good Governance” menurut UNDP sebagaimana dikutip

oleh Lembaga Administrasi Negara (2000), sebagai berikut:

1. Participation. Setiap warga Negara mempunyai suara dalam pembuatan

keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi

legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun

atas dasar kebebasan berasosiasi danberbicara serta berpartisipasi

secara konstruktif

2. Rule Of Law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa

pandang bulu, terutama hokum untuk hak asasi manusia .


67

3. Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus

informasi secara langsung dapat mereka terima bagi yang

mewmbutuhkan. Informasi harus dapatdipahami dan dimonitor.

4. Responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba

elayani setiap “stakeholders”.

5. Consensus Orientation. Good Governance menjadi perantara

kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan-pilihan terbaik bagi

kepentingan yang lebih luas baik dalam kebijakan-kebijakan maupun

prosedur-prosedur.

6. Equity. Semua warga Negara, baik laki-laki maupun perempuan,

mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga

kesejahteraan mereka.

7. Efectiveness and efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembagasebaik

mungkin menghasilkan sesai dengan apa yang digariskan dengan

engunaka sumber-sumber yang tersedia.

8. Accountabillity. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor

swasta dan masyarakat bertangung jawab kepada publik dan lembaga-

lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini terganung ada organisasi dan

sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk

kepentingan internal atau eksternal organsasi

9. Strategic Vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif

good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh

kedepan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan

semacam ini.
68

Sebagai perwujudan konkrit good governance dalam pemerintahan dapat

dilihat melalui aspek-aspek sebagai berikut LAN (2000):

1. Hukum/ kebijakan. Hukum/ kebijakan ditujukan pada perlndungan

kebebasan social, politik, ekonomi.

2. Administrative competence and transparency. Kemampuan membuat

perencanaan dan melakukan implementasi secara efisien, kemampuan

melakukan penyederhanaan organisasi penciptaan model disiplin dan

model administratif, keterbukaan informasi.

3. Desentralisasi. Desentraliasi regional dan dekosentrasi dalam deartmen.

4. Penciptaan pasar yang kompetitif. Penyempurnaan mekanisme pasar,

peningkatan peran pengusaha kecil dan segmen lain dalam sektor

swasta, deregulasi dan kemampuan pemerintah dalam mengelola

kebijakan ekonomi.

Sebelum adanya konteks good governance, awalnya proses

perencanaan pembangunan menempatkan pemerintah pada posisi sentral.

Pemerintah menjadi agent of change dari suatu masyarakat dalam Negara

berkembang. Karena perubahan yang dikehedaki adalah perubahan yang

berencana, maka mereka juga disebut sebagai agent of development. Agen

pembangunan menjadi pendorong proses pembangunan dan perubahan suatu

masyarakat bangsa. Pemerintah dalam hal ini mendorong melalui kebijaksanaan

program-program, proyek-proyek serta peran melalui perencanaan dan budget.

Dengan perencanaan dan budget pemerintah dapat menstimulasi dan

menginvestasi sektor swasta.

Seiring dengan tuntutan lingkungan, konteks yang pada awalnya

menempatkan pemerintah pada posisi agent of change kini berubah mejadi good
69

governance yang bukan hanya pemerintah yang andil dalam proses

perencanaan pembangunan. Dalam good governance agent of development juga

terdiri dari citizen, masyarakat dan terutama sektor usaha/swasta yang berperan

dalam governance. Jadi terdapat penyelenggara pemerintah, swasta, bahkan

oleh organisasi masyarakat. Tentu saja perubahan paradigma pembangunan

dengan peninjauan ulang peran pemerintah dalam pembangunan harus diikuti

dengan pemberdayaan masyarakat. Usaha pembangunan melalui koordinasai/

sinergi antara pemerintah, masyarakat, swasta dapat dilihat sebagai bentuk

pemerintah yang memberdayakan masyarakatnya. Secara khusus dalam proses

perencanaan pembangunan, masyarakat yang partisipatif serta pemerintah yang

memberdayakan masyarakatnya sangat membantu bagi perumusan serta

pengimplementasian perencanaan pembangunan daerah tersebut agar

pembangunan dapat segera terlaksana dan sesuai dengan tujuan dari rencana

yang telah ditetapkan.

Anda mungkin juga menyukai