Anda di halaman 1dari 16

PL3101 ASPEK SOSIAL DAN PENGEMBANGAN KOMUNITAS

TUGAS PENGEMBANGAN KOMUNITAS

IDENTIFIKASI PENGEMBANGAN MASYARAKAT MELALUI


PROGRAM “KOTAKU (KOTA TANPA KUMUH)”

Dosen Pengampu :

Ir. Tubagus Furqon Sofhani, M.A., Ph.D.

Anggota Kelompok :

1. Elmira Azalea (15415038)


2. Foreign Crysantenium (15416005)
3. Eri Krismiyaningsih (15416006)
4. Anandhika Arifanto (15416008)
5. M. Rizky Fauzan (15416012)
6. Linggar Yelita Asmara (15416014)
7. Zalfa Fadilla Anjani (15416017)
8. Arliza Nathania G. (15416018)
9. Ferdian Fauzi H. (15416019)
10. Martha Jesica S. M. (15416025)
11. Rizki Fadli Rahawarin (15416031)

PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2018
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28H Ayat 1
menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Ayat tersebut menunjukkan bahwa tinggal
di sebuah hunian dengan lingkungan yang layak merupakan hak dasar yang harus
dijamin pemenuhannya oleh Pemerintah sebagai penyelenggara negara.
Penanganan permukiman kumuh menjadi tantangan yang rumit dan
multidimensional bagi pemerintah kota/kabupaten. Persoalan permukiman merupakan
masalah yang serius karena dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya kantong-
kantong kemiskinan yang fatal dan kemudian menyebabkan lahirnya berbagai
persoalan sosial di luar kontrol atau kemampuan pemerintah kota untuk menangani dan
mengawasinya. Permukiman kumuh merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia
yang tidak mudah untuk diatasi. Beragam upaya dan program dilakukan untuk
mengatasinya, namun masih saja banyak kita jumpai permukiman masyarakat miskin
di hampir setiap sudut kota yang disertai dengan ketidaktertiban dalam hidup
bermasyarakat di perkotaan. Salah satu program pemerintah yang dimaksudkan untuk
mengatasi permasalahan ini adalah program Kotaku.

B. Tujuan dan Sasaran Penelitian

Kotaku merupakan sebuah program yang diusung pemerintah untuk


mengentaskan permasalahan fisik dan sosial yang ada di masyarakat melalui
pengembangan komunitas. Oleh karena itu keberhasilan atau kegagalan program
Kotaku dapat diukur dari peran Kotaku sebagai program pengembangan komunitas
sehingga tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi peran program Kotaku dalam pengembangan


komunitas di Indonesia

Dari tujuan tersebut diturunkan menjadi beberapa sasaran yakni:

1. Mengidentifikasi tujuan penyelenggaraan program


2. Mengidentifikasi garis besar karakteristik pokok wilayah atau
masyarakat yang menjadi kelompok sasaran
3. Mengidentifikasi area atau bidang pengembangan komunitas yang
diaplikasikan
4. Mengidentifikasi pendekatan yang dilakukan program
5. Mengidentifikasi peran para pelaku terkait dengan program serta
sumber dana
6. Mengidentifikasi fungsi yang dijalankan program
7. Mengidentifikasi strategi yang dilakukan
8. Mengidentifikasi keluaran
9. Mengidentifikasi peran community organizer pada program
10. Mengidentifikasi kritik terhadap program

C. PEMBAHASAN

PROGRAM KOTAKU

Program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh) adalah program yang dilaksanakan secara nasional
di 269 kota/kabupaten di 34 Propinsi yang menjadi “platform” atau basis penanganan kumuh
yang mengintegrasikan berbagai sumber daya dan sumber pendanaan, termasuk dari
pemerintah pusat, provinsi, kota/kabupaten, pihak donor, swasta, masyarakat, dan pemangku
kepentingan lainnya. KOTAKU bermaksud untuk membangun sistem yang terpadu untuk
penanganan kumuh, dimana pemerintah daerah memimpin dan berkolaborasi dengan para
pemangku kepentingan dalam perencanaan maupun implementasinya, serta mengedepankan
partisipasi masyarakat. KOTAKU diharapkan menjadi “platform kolaborasi” yang mendukung
penanganan kawasan permukiman kumuh seluas 38.431 Ha yang dilakukan secara bertahap di
seluruh Indonesia melalui pengembangan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat,
penguatan kelembagaan, perencanaan, perbaikan infrastruktur dan pelayanan dasar di tingkat
kota maupun masyarakat, serta pendampingan teknis untuk mendukung tercapainya sasaran
RPJMN 2015-2019 yaitu pengentasan permukiman kumuh perkotaan menjadi 0 persen.

Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman


dijelaskan bahwa Permukiman Kumuh adalah permukiman yang tidak laik huni karena
ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan
serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat, sedangkan Perumahan Kumuh adalah
perumahan yang mengalami penurunan kualitas fungsi sebagai tempat hunian.

Dari pengertian tersebut dapat dirumuskan karakteristik perumahan kumuh dan permukiman
kumuh dari aspek fisik sebagai berikut:

1. Merupakan satuan entitas perumahan dan permukiman;

2. Kondisi bangunan tidak memenuhi syarat, tidak teratur dan memiliki


kepadatan tinggi;
3. Kondisi sarana dan prasarana tidak memenuhi syarat. Khusus untuk
bidang keciptakaryaan, batasan sarana dan prasarana adalah sebagai
berikut:

a) Keteraturan bangunan.

b) Jalan Lingkungan.

c) Drainase Lingkungan.

d) Penyediaan Air Bersih/Minum.

e) Pengelolaan Persampahan.

f) Pengelolaan Air Limbah.

g) Pengamanan Kebakaran.

h) Ruang Terbuka Publik.

Karakteristik fisik tersebut selanjutnya menjadi dasar perumusan kriteria dan indikator dari
gejala kumuh dalam proses identifikasi lokasi perumahan kumuh dan permukiman kumuh.
Selain karakteristik fisik, karakteristik non fisik pun perlu diidentifikasi guna melengkapi
penyebab kumuh dari aspek non fisik seperti perilaku masyarakat, kepastian bermukim,
kepastian berusaha, dsb.

TUJUAN PROGRAM

Tujuan program adalah meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di
kawasan kumuh perkotaan untuk mendukung terwujudnya permukiman perkotaan yang layak
huni, produktif dan berkelanjutan.

Tujuan tersebut dicapai melalui tujuan antara sebagai berikut:

1. Menurunnya luas kawasan permukiman kumuh menjadi 0 Ha.

2. Terbentuknya Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja


PKP) di tingkat kabupaten/kota dalam penanganan kumuh yang berfungsi
dengan baik.

3. Tersusunnya rencana penanganan kumuh tingkat kota/kabupaten dan tingkat


masyarakat yang terlembagakan melalui Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD).

4. Meningkatnya penghasilan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)


melalui penyediaan infrastruktur dan kegiatan peningkatan penghidupan
masyarakat untuk mendukung pencegahan dan peningkatan kualitas kawasan
permukiman kumuh.

5. Terlaksananya aturan bersama sebagai upaya perubahan perilaku hidup bersih


dan sehat masyarakat dan pencegahan kumuh.

Pencapaian tujuan program dan tujuan antara diukur dengan merumuskan indikator kinerja
keberhasilan dan target capaian program yang akan berkontribusi terhadap tercapainya sasaran
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yaitu pengentasan
permukiman kumuh perkotaan menjadi 0 persen. Secara garis besar pencapaian tujuan diukur
dengan indikator “outcome” sebagai berikut:

1. Meningkatnya akses masyarakat terhadap infrastruktur dan pelayanan


perkotaan pada kawasan kumuh sesuai dengan kriteria kumuh yang ditetapkan
(a.l drainase; air bersih/minum; pengelolaan persampahan; pengelolaan air
limbah; pengamanan kebakaran; Ruang Terbuka Publik)

2. Menurunnya luasan kawasan kumuh karena akses infrastruktur dan pelayanan


perkotaan yang lebih baik.

3. Terbentuk dan berfungsinya kelembagaan yaitu Pokja PKP di tingkat


kota/kabupaten untuk mendukung program KOTAKU.

4. Penerima manfaat puas dengan kualitas infrastruktur dan pelayanan perkotaan


di kawasan kumuh.

KARAKTERISTIK POKOK WILAYAH

Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman


dijelaskan bahwa Permukiman Kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena
ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan
serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat, sedangkan Perumahan Kumuh adalah
perumahan yang mengalami penurunan kualitas fungsi sebagai tempat hunian. Dari pengertian
tersebut dapat dirumuskan karakteristik perumahan kumuh dan permukiman kumuh dari aspek
fisik sebagai berikut:

1. Merupakan satuan entitas perumahan dan permukiman;

2. Kondisi bangunan tidak memenuhi syarat, tidak teratur dan memiliki kepadatan tinggi;

3. Kondisi sarana dan prasarana tidak memenuhi syarat. Khusus untuk bidang
keciptakaryaan, batasan sarana dan prasarana adalah sebagai berikut:

a. Keteraturan bangunan
b. Jalan Lingkungan;

c. Drainase Lingkungan,

d. Penyediaan Air Bersih/Minum;

e. Pengelolaan Persampahan;

f. Pengelolaan Air Limbah;

g. Pengamanan Kebakaran; dan

h. Ruang Terbuka Publik.

Karakteristik fisik tersebut selanjutnya menjadi dasar perumusan kriteria dan indikator dari
gejala kumuh dalam proses identifikasi lokasi perumahan kumuh dan permukiman kumuh.
Selain karakteristik fisik, karakteristik non fisik pun perlu diidentifikasi guna melengkapi
penyebab kumuh dari aspek non fisik seperti perilaku masyarakat, kepastian bermukim,
kepastian berusaha, dsb.

Program kotaku dilaksanakan di 269 kota/kabupaten di 34 Propinsi di seluruh Indonesia.


Cakupan lokasi program berdasarkan kategori kegiatan adalah sebagai berikut:

1. Kegiatan peningkatan kualitas permukiman dilaksanakan di seluruh kawasan


teridentifikasi kumuh yang diusulkan kabupaten/kota. Khusus untuk perbaikan
infrastruktur tingkat kota (infrastruktur primer dan sekunder), dukungan investasi dari
pemerintah pusat hanya akan diberikan kepada kota/kabupaten terpilih, yang
memenuhi kriteria tertentu.

2. Kegiatan pencegahan kumuh dilaksanakan di seluruh kelurahan dan atau


kawasan/kecamatan Perkotaan diluar kel/desa kawasan yang teridentifikasi kumuh
termasuk lokasi kawasan permukiman potensi rawan kumuh yang diidentifikasi
pemerintah kabupaten/kota.

3. Kegiatan pengembangan penghidupan berkelanjutan dilakukan di semua lokasi


peningkatan kualitas maupun pencegahan kumuh.

Sebagai implementasi percepatan penanganan kumuh, Program Kotaku akan melakukan


peningkatan kualitas, pengelolaan serta pencegahan timbulnya permukiman kumuh baru,
dengan kegiatan-kegiatan pada entitas desa/kelurahan, serta kawasan dan kabupaten/kota.
Kegiatan penanganan kumuh ini meliputi pembangunan infrastruktur serta pendampingan
sosial dan ekonomi untuk keberlanjutan penghidupan masyarakat yang lebih baik di lokasi
permukiman kumuh.
Tahapan pelaksanaan Program Kotaku adalah pendataan. Lembaga masyarakat di
desa/kelurahan yang bernama Badan/Lembaga Keswadayaan Masyarakat (BKM/LKM) sudah
melakukan pendataan kondisi awal (baseline) 7 Indikator Kumuh di desa/kelurahan masing-
masing. Data tersebut diintergrasikan antara dokumen perencanaan masyarakat dan dokumen
perencanaan kabupaten/kota untuk menentukan kegiatan prioritas mengurangi permukiman
kumuh dan mencegah timbulnya permukiman kumuh baru. Yang nantinya akan dilaksanakan,
baik oleh masyarakat atau oleh pihak lain, yang memiliki keahlian dalam pembangunan
infrastruktur pada entitas kawasan dan kota. Selain itu, Program Kotaku juga memiliki diagram
alir dalam pelaksanaannya sebagai berikut:

Gambar 1. Diagram Alir Program KOTAKU

Sumber: kotaku.pu.go.id

BIDANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS

Seperti yang sudah disebutkan, program Kotaku memiliki tujuan untuk mengurangi
permukiman kumuh hingga 0 ha. Hal ini merupakan salah satu upaya sosial dari pemerintah
untuk membuat tingkat kesejahteraan di Indonesia meningkat dan inklusif. Maka dapat
dikatakan juga bahwa area pengembangan komunitas Kotaku adalah sosial/ social development.
Terdapat beberapa proses dalam pengembangan sosial menurut Jim Ife [1], diantaranya adalah :

1. Proses pengidentifikasian masalah


2. Melakukan survey atas kondisi eksisting
3. Public meeting/ diadakannya forum di masyarakat

1
Ife, Jim. 2013. Community Development in an Uncertain World. Perth: Curtin University
4. Menyiapkan struktur organisasi dalam pembuatan komunitas baru
5. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar ikut berkontribusi
6. Monitoring dan evaluasi
Biasanya, pemerintah akan menggunakan purchase of service model yaitu dimana
pemerintah menyediakan pembiayaan yang spesifik dalam melaksanakan keberjalanan dari
komunitas ini. Idealnya pendekatan sosial ini dilihat dari sudut pandang masyarakat yang paling
tidak diuntungkan.

PENDEKATAN PROGRAM

Terdapat tiga pendekatan yang dilakukan dalam mengimplementasikan program kotaku


pada masyarakat, yaitu pendekatan self-help, technical assistance, dan conflict. Pendekatan
pertama yang dilakukan adalah technical assistance, ditandai dengan penyediaan program,
kegiatan, dan layanan oleh masyarakat untuk memperkuat kapasitas masyarakat sehinga dapat
meningkatkan kinerja mereka sehubungan dengan fungsinya. Dalam studi kasus program
kotaku, pendekatan menggunakan technichal assistance dapat dilihat dari tahapan kegiatan
pelaksanaan yang meliputi penyediaan kegiatan skala kawasan, NSD, BDC, dan vocational
training. Selain itu pendekatan ini ditunjukan dari komponen ke empat dan lima program kotaku,
yaitu dukungan pelaksanaan dan bantuan teknis, dan dukungan program/kegiatan lainnya
termasuk dukungan untuk kondisi darurat bencana.

Pendekatan kedua merupakan pendekatan conflict dimana dalam pengembangan


program kotaku, pemerintah daerah dianalogikan sebagai nahkoda dalam pengembangan
program. Hal ini ditunjukan dengan penyusunan RP2KPKP/SIAP dalam kegiatan perencanaan
yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Pendekatan self-helf dalam program kotaku dapat
ditunjukan pada masyarakat yang telah mandiri pada tahapan kegiatan ke empat, yaitu
keberlanjutan yang meliputi pengelolaan, pemeliharaan, dan replikasi program. Kemandirian
masyarakat dalam tahapan kegiatan ini ditunjukan dengan kondisi masyarakat permukiman
kumuh yang dapat, akan, dan harus berkolaborasi untuk menyelesaikan persoalannya sendiri.
Dalam pendekatan self-help pemerintah sebagai pelaksana program kotaku berperan sebagai
fasilitator yang ditugaskan ke dalam kelompok masyarakat tersebut untuk melakukan
pergerakan usaha menuju objektif dari tujuan pengembangan komunitas.

PERAN PELAKU PROGRAM

Untuk mengidentifikasi peran para pelaku program, digunakan teori Level of Social
Agency atau tingkatan para pelaku sosial. Menurut Jim Ife, terdapat tiga tingkatan pelaku sosial,
yaitu individu, organisasi, dan jejaring. Kondisi individu dapat diamati melalui sumber daya
dan kepemimpinan manusia tersebut, seperti dari kemampuan, pengetahuan, sumber daya di
sekitarnya, dan partisipasinya dalam aktivitas pengembangan komunitas. Dalam tingkat
organisasi, penilaian kualitas dilihat dari responsibilitas, efektivitas, dan efisiensi organisasi
tersebut. Pengembangan komunitas dalam tingkat organisasi terjadi pada komunitas yang pada
dasarnya berbentuk organisasi. Selanjutnya, dalam tingkat jejaring, komunitas bergerak melalui
hubungan kompleks antara individu, grup informal, maupun organisasi formal.

Pengembangan masyarakat melalui program Kotaku berada pada tingkatan network atau
jejaring, dimana dalam implementasi program tersebut terdapat organisasi-organisasi tertentu
yang saling bekerjasama dan bekerja berdasarkan organogram tertentu. Dari organisasi formal
tersebut, selanjutnya turun ke masyarakat sebagai grup informal atau sebagai individu yang
digerakkan agar memiliki kemandirian untuk membangun daerahnya masing-masing. Bentuk
organogram dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2. Organogram Pelaksanaan Program Kotaku

Sumber : Publikasi Kementrian PUPR, 2016

Dari organogram tersebut, dapat dilihat bahwa dalam setiap tingkatan wilayah, terdapat
organisasi atau stakeholder tertentu yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan program
Kotaku. Setiap stakeholder berkoordinasi dan menjalankan tugas berdasar garis pengendalian
dan garis koordinasi. Pada tingkat kelurahan atau desa, terdapat tim yang bertugas untuk
langsung berkomunikasi kepada masyarakat. Tim tersebut selanjutnya bertanggungjawab untuk
pengembangan masyarakat termasuk pada kemampuan individu masing-masing anggota
masyarakat.

FUNGSI PROGRAM
Berdasarkan pedoman teknis program dapat diidentifikasi beberapa fungsi yang ada pada
program KOTAKU, yakni:

1. Planning and governance

Yakni, program KOTAKU dijadikan sebagai program yang direncanakan oleh pemerintah
pusat untuk serentak dilakukan di kota-kota di Indonesia dengan koordinasi langsung diatur
oleh pemerintah daerah. Perencanaan sangat banyak diterapkan dalam program ini. Mulai dari
perencanaan program, pengimplementasian program, bahkan sampai menimbulkan wadah
pembelajaran tentang perencanaan bagi kawasan kumuh yang dikenai program.

2. Production of goods and service.

Pada program ini juga ditemukan fungsi yang memicu pengembangan goods and services.
Seperti yang tertera pada indikator capai tujuan, program ini salah satunya ditujukan untuk
membangun infrastruktur di kawasan permukiman yang ditujukan untuk memudahkan akses
para penduduk di sekitar dan meningkatkan produktivitas penduduk sekitar.

3. Information dissemination

Diseminasi informasi juga terjadi pada program ini. Seperti tertera pada prinsip pemerintah
daerah sebagai nahkoda, salah satu cakupan intervensi pemerintah daerah adalah penyediaan
bantuan teknis untuk memperkuat sistem informasi dan monitoring penanganan kumuh,
mengkaji pilihan-pilihan untuk penyelesaian masalah tanah, dan sebagainya. Sehingga dapat
diidentifikasi bahwa melalui program KOTAKU ini ada informasi yang disebarkan disetiap
objek program dan ada informasi yang dijadikan bahan komparasi untuk mengkaji permasalah
pada program.

4. Organizing

Pada program ini ditemukan juga fungsi organizing. Seperti tertera pada prinsip pemerintah
daerah sebagai nahkoda, salah satu cakupan intervensi pemerintah daerah adalah perbaikan
serta pengoperasian dan pemeliharaan infrastruktur tingkat kota (primer atau sekunder) yang
terkait langsung dengan penyelesaian permasalahan di kawasan kumuh. Sehingga dapat
dikatakan bahwa fungsi pengaturan (organizing) pada program ini muncul dan dilakukan oleh
pemerintah daerah.

STRATEGI PROGRAM

Strategi dasar dari program Kotaku termasuk dalam strategi Kolaborasi sehingga seluruh
pelaku pembangunan dalam penanganan permukiman kumuh. Penyusunan rencana ini
dilakukan secara kolaboratif, sehingga:
1. Adanya tingkat partisipasi yang tinggi dari para pemangku kepentingan sampai pada
pengambilan keputusan dan control terhadap pelaksanaan program;
2. Kesetaraan kekuasaan dimana tidak ada dominasi oleh pihak tertentu dan setiap actor
yang terlibat tidak dihalangi oleh batas hirarki dan terdapat rasa saling menghormati;
3. Terdapat actor-aktor yang memiliki kompetensi dalam berkomunikasi, memahami
substansi dan memiliki orientasi untuk mencapai tujuan Bersama.

Prinsip-prinsip kolaborasi yang mendasari dalam penanganan perumahan dan permukiman


kumuh adalah:

1. Partisipasi/Participation (P), artinya semua pihak memiliki kesempatan yang sama


untuk menyatakan pendapat, memutuskan hal-hal yang langsung menyangkut nasibnya
dan bertanggung jawab atas semua keputusan yang telah disepakati bersama. Dalam
melaksanakan partisipasi harus tepat waktu atau tepat momentum artinya partisipasi
harus punctual (P) sehingga terjadi sinkronisasi
2. Akseptasi/Acceptable (A), artinya kehadiran tiap pihak harus diterima oleh pihak lain
apa adanya dan dalam kesetaraan. Agar tiap pihak dapat diterima oleh pihak lain
maka kepada tiap pihak dituntut untuk bersikap bertanggung jawab atau dapat
diandalkan atau bersifat tanggung gugat/accountable (A).
3. Komunikasi/Communication(C), artinya masing-masing pihak harus mau dan mampu
mengomunikasikan dirinya beserta rencana kerjanya sehingga dapat dilakukan sinergi.
Untuk itu tiap pihak dituntut untuk mau meleburkan diri menjadi satu
kesatuan/collaboration (C)
4. Percaya/Trust (T), artinya masing-masing pihak harus dapat mempercayai dan
dipercaya atau saling percaya karena tidak mungkin suatu hubungan kerjasama yang
intim dibangun di atas kecurigaan . Untuk itu tiap pihak dituntut untuk berani bersikap
terbuka/transparent (T)
5. Berbagi/Share (S), artinya masing-masing harus mampu membagikan diri dan
miliknya (time, treasure and talents) untuk mencapai tujuan bersama dan bukan satu
pihak saja yang harus berkorban atau memberikan segalanya sehingga tidak lagi
proporsional. Dalam prinsip berbagi ini juga mengandung arti penyerahan/submit (put
under control of another - S) artinya tiap pihak disamping siap memberi juga siap
menerima pendapat orang lain termasuk dikritik

Kemudian hasil yang diharapkan dari perencanaan yang kolaboratif adalah, sebagai Berikut:

1. Mengacu pada visi bersama, tujuan dan sasaran yang jelas, akurat dan terukur dalam
penanganan permukiman kumuh tingkat kawasan dan di tingkat Kabupaten/kota. Visi
ini sesuai dengan visi dari RPJMD;
2. Harmonisasi sasaran lokasi/kawasan kumuh prioritas yang akan ditangani dan semua
pihak sepakat, lintas sektor dan pelaku, bekerja sama pada lokasi kerja yang sama;
3. Harmonisasi bidang perencanaan mencakup aspek prasarana, sarana, utilitas
perumahan dan permukiman serta ancaman bencana dan aspek legalitas, kesehatan,
sosial, budaya, dan ekonomi kawasan dan penghuni;
4. Pola penanganan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan berbasis
masyarakat dan berbasis institusi;
5. Harmonisasi lembaga yang akan menangani agar tidak terjadi duplikasi lembaga di
tingkat desa/kelurahan mengingat beragamnya nomenklatur lembaga komunitas (BKM,
LKM, Pokmas, Gapoktan, dan komunitas lainya);
6. Harmonisasi berbagai sumber daya yang dapat diberikan oleh para pemangku
kepentingan (dana, waktu, manusia) dan berdasarkan jenis komponen serta jenis
investasi.

KELUARAN PROGRAM

Penerapan dari perbaikan terhadap setiap indicator Kotaku menghasilkan keluaran berupa lima
hal yang dapat dirasakan oleh wilayah/area yang menerapkan program Kotaku dengan baik.

1. Better service

• Pengelolaan air limbah

Peningkatan infrastruktur permukiman merupakan tujuan dari pengembangan Kotaku, oleh


karena itu pelayanan publik juga ditargetkan untuk jadi lebih baik. Hal ini tercermin seperti dari
pembangunan IPAL Domestik untuk 55 KK di Aceh yang memperbaikki sanitasi di sana.

• Pengelolaan persampahan

Peningkatan pelayanan publik terkait persampahan contohnya terjadi di Pagaralam pada tahun
2017 ketika program KOTAKU menyerahkan puluhan unit kotak sampah dan satu unit motor,
meningkatkan pengelolaan sampah di Pagaralam.

• Penyediaan air minum

Peningkatan pelayanan terhadap air minum salah satunya terjadi di Desa Lae Ikan, Aceh.
Semula masyarakat harus berjalan 1 km membawa air dari sumber mata air tapi dengan
kerjasama antara BKM dan program Kotaku maka dibuat pipa-pipa yang menghubungkan
sumber mata air dengan rumah masyarakat.

2. Community Preparedness
Salah satu indikator program Kotaku adalah pengamanan kebakaran. Oleh karena itu Kota
Tanpa Kumuh (Kotaku) menggelar sosialisasi pelatihan penanganan kebakaran tingkat satu di
banyak tempat. Salah satu contohnya adalah di Pangkal Pinang pada tahun 2017. Hal ini sangat
informatif untuk masyarakat supaya masyarakat bisa mencegah api membesar dan menjalar
ketika terjadi kebakaran.

3. Inflluence on decision making

Program KOTAKU ini mempengaruhi keputusan pemerintah terutama dalam perihal


pembangunan, terlihat dari surat edaran 40/SE/DC/2016 tentang pedoman kota tanpa kumuh
yang diberikan ke Provinsi dan Kota. Selain itu Program KOTAKU ini juga merupakan
perwujudan dari cara merealisasikan RPJMN 2015-2019 terkait penanganan kualitas
permukiman.

4. Economic Well-being

Kotaku yang berfokus pada reduksi permukiman kumuh dan pengadaan infrastruktur tentunya
membantu perekonomian untuk tumbuh. Contohnya adalah di Kabupaten Manna yang
mendapatkan bantuan infrastruktur dan penerapan ekonomi bergulir yang dikelola oleh BKM
dan dibantu Kotaku.

5. Community Building

Penerapan Kotaku tidak hanya sekedar program untuk menuntaskan permasalahan fisik saja
melainkan jauh daripada itu juga untuk mengatasi permasalahan sosial yang ada di masyarakat.
Melalui program Kotaku masyarakat yang diwakili oleh BKM berkolaborasi dengan
pemerintah untuk mengidentifikasi masalah dan penyelesaiannya. Contoh-contohnya di antara
lain terlihat pada penyediaan air minum di Desa Lae Ikan, persampahan di Pagaralam, dst.

PERAN COMMUNITY ORGANIZER

Community Organizer merupakan orang atau sekelompok orang dengan latar belakang
organisasi tertentu yang ditugaskan ke tengah-tengah masyarakat atau komunitas untuk
melaksanakan tujuan dan tugas organisasi tersebut dengan membentuk kesadaran, membangun
gerakan, dan perubahan sosial didalam masyarakat atau komunitas. Terkait dengan hal tersebut,
dalam Program KOTAKU terdapat prinsip penataan permukiman yang berbasis komunitas.
Dimana pemerintah mendorong partisipasi masyarakat kelurahan/desa dengan menjadikannya
salah satu pelaku utama pembangunan tingkat kelurahan/desa dibawah koordinasi pemerintah
kecamatan dan kabupaten/kota. Adapun ketentuan ini menyebabkan masyarakat memiliki hak
dan kewajiban dalam seluruh proses pengambilan keputusan berkaitan dengan penataan
lingkungan permukiman, mulai dari persiapan, perencanaan, pelaksanaan, operasi dan
pemeliharaan, serta keberlanjutan program. Untuk itu dalam hal mendorong partisipasi dan
pemberdayaan masyarakat kelurahan/desa, pemerintah kabupaten/kota memberi dukungan
teknis. Dukungan teknis yang dimaksud meliputi penyediaan Pokja PKP dan/atau tim teknis
dan tim konsultan yang terdiri dari tim fasilitator, tim koordinator kota, serta konsultan regional
dan nasional.

Penyediaan tenaga ahli dan/atau konsultan oleh pemerintah kabupaten/kota memiliki


tujuan untuk membantu keberjalanan program KOTAKU di tingkat kelurahan/desa. Selain
untuk memberdayakan membantu masyarakat, konsultan ini harus mempertahankan
kesinkronan dan kesinergisan antara program pembangunan tingkat kelurahan/desa dengan
program-program di tingkat yang lebih tinggi. Konsultasi ini dapat dilakukan dalam bentuk
forum-forum diskusi untuk membangun persamaan persepsi dan kesepakatan-kesepakatan
yang dilakukan minimal satu sekali di setiap tahapnya.

Tim konsultan yaitu tim fasilitator berperan mendampingi masyarakat dalam seluruh
rangkaian proses, namun memiliki titik berat pada proses perencanaan. Pada tahap persiapan,
tim fasilitator bersama UPS melakukan pelatihan terlebih dahulu untuk TIPP, lurah/kades,
camat, dan BKM/LKM mengenai perencanaan partisipatif. Selain itu, tim fasilitator juga
melakukan pendampingan dalam penyusunan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria)
dan Raperda tentang pencegahan dan peningkatan kualitas perumahan kumuh dan permukiman
kumuh. Setelah itu, tim fasilitator melakukan pendampingan dalam penyusunan Rencana
Pengembangan dan Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) di daerah,
Rencana Kawasan Permukiman (RKP), dan Rencana Pencegahan dan Peningkatan Kualitas
Permukiman Kumuh Perkotaan (RP2KP-KP).

KRITIK TERHADAP PROGRAM

Kotaku dengan programnya 100-0-100 menargetkan 100 persen akses air minum, 0 persen
permukiman kumuh, 100 persen akses sanitasi layak. Tapi perhatian utama pada program ini
masih belum fokus pada sasaran utamanya, banyak kampung kota yang berada dekat dengan
pusat kota justru belum terdampak pembangunan infrastruktur yang mendukung terealisasinya
target 100-0-100. Selain itu, di beberapa tempat yang sudah mendapatkan hasil dari program
Kota Tanpa Kumuh, pengelolaan dari apa yang sudah dibangun pemerintah melalui program
ini diserahkan kepada pihak ketiga. Masyarakat tidak secara langsung mengelola, merawat, dan
menjaga lingkungan hasil binaan tersebut. Jadi jika ada infrastruktur yang rusak dikemudian
hari, masyarakat akan merasa itu bukan kewajiban mereka untuk memperbaiki karena sudah
ada pihak yang mengelola infrastruktur tersebut. Di salah satu tempat, karena pengelolaan
diberikan kepada pihak swasta, pernah terjadi ada perbaikan infrastruktur berupa galian untuk
kabel, dan lubang tersebut dibiarkan berminggu-minggu tanpa kejelasan kapan perbaikan itu
dapat diselesaikan. Karena itupun ada orang yang menjadi korban kelalaian dari perbaikan
tersebut. Masyarakat tidak bisa berbuat banyak, jika didiamkan mereka dirugikan karena
tersendatnya perbaikan tersebut memakan korban dan merukan keindahan lingkungan sekitar,
jika mereka menutup lubang sementara, ketika pihak swasta hendak melanjutkannya,
masyarakat akan disalahkan karena sudah mengganggu proses perbaikan tersebut. Terkadang
pihak ketiga ini merugikan masyarakat jika hal-hal tersebut tidak ada yang mengawasi. Hal
tersebut berdampak juga terhadap tingkat partisipasi warga dalam menjaga lingkungan
sekitarnya yang sudah diperbaiki. Karena tidak merasa memiliki, mereka berlaku seenaknya
terhadap apa yang sudah pemerintah berikan. Selain itu kurangnya pengawasan dari pihak
pemerintah terutama Direktorat Jenderal Cipta Karya menjadi salah satu faktor lain hal-hal
tersebut bisa terjadi.

Terlepas dari hal tersebut, dana yang dikeluarkan untuk mendukung program ini tidak
sedikit. Pemerintah mendapat pinjaman dana dari pihak asing demi terwujudnya tujuan dari
Kota Tanpa Kumuh sebesar 5.629 triliyun rupiah. Permasalahannya berada pada system
pembiayaannya, dimana pada program ini tidak memberikan profit secara langsung kepada
pihak pemerintah dimana uang yang mereka turunkan pada setiap daerah bisa kembali ke
pemerintah dengan jumlah yang sama.

KESIMPULAN

Program Kotaku adalah program yang diadakan pemerintah yang bertujuan untuk
mengentaskan permasalahan permukiman kumuh di Indonesia melalui pembangunan kembali
dan upaya rehabilitasi. Pendekatan dalam pengadaan program Kotaku sendiri menerapkan
konsep self-help, technical assistance, dan conflict yang berbeda-beda tergantung kebutuhan di
wilayah yang ditangani. Dalam pelaksanaannya, terdapat stakeholder-stakeholder yang
memegang peran tertentu dan saling berkoordinasi untuk mengadakan Kotaku. Fungsi dari
program Kotaku sendiri terbagi menjadi empat yaitu Planning and governance, Production of
goods and service, Information dissemination, dan Organizing.

Strategi programnya sendiri lebih bersifat kolaboratif dan partisipatif dengan masyarakat
sehingga dapat menghasilkan keluaran berupa Better service, Community Preparedness,
Inflluence on decision making, Economic Well-being, dan Community Building. Peran
community organizer dalam pelaksanaan program juga penting, tampak dari dibutuhkannya tim
konsultan dan tim fasilitator. Kritik terhadap program Kotaku terletak pada efisiensi dan
efektivitasnya serta dampak yang sebenarnya ingin dicapai dibandingkan dengan kenyataan.
Dari seluruh elemen itu maka dapat disimpulkan bahwa program Kotaku merupakan program
yang sudah bertujuan untuk mengembangkan komunitas dan walaupun perannya dalam
pengembangan komunitas masih belum maksimal tapi sudah cukup terasa.
REFERENSI

Tentang Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku). (n.d.). diakses November 29, 2018, dari
http://kotaku.pu.go.id/page/6880/tentang-program-kota-tanpa-kumuh-kotaku

Pedoman Teknis Kotaku. diakses pada November 29, 2018 dari


https://www.academia.edu/27992008/Pedoman_Teknis_Program_Kota_Tanpa_Kumuh_KOTAKU_1

Bahaya Hutang Bank Dunia dalam Program KOTAKU diakses pada 26 November, 2018, dari
http://elsam.or.id/2016/10/bahaya-hutang-bank-dunia-dalam-proyek-kotaku/

Chaskin, R. J. (2009). Building community capacity. New Brunswick, NJ: AldineTransaction.

Banda Aceh dengan Target Pencapaian Masalah Kumuh Pengelolaan Air Limbah
http://kotaku.pu.go.id/view/3865/banda-aceh-dengan-target-pencapaian-masalah-kumuh-pengelolaan-
air-limbah-

Anda mungkin juga menyukai