NIM : B021201020
Kelas : Hukum Tata Ruang Kelas A
A. Pendahuluan
Indonesia sebagai negara berkembang dengan kondisi demografi yang tidak stabil
tercermin pada angka pertumbuhan penduduk yang tak terkendali. Parahnya jumlah penduduk
yang cukup besar tidak dibarengi dengan perbaikan dan pertumbuhan ekonomi yang baik.
Angka pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan kondisi perekonomian yang buruk, dapat
menimbulkan permasalahan perumahan dan permukiman bahkan yang paling buruk adalah
terbentuknya permukiman kumuh atau kawasan kumuh.
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan
akan perumahan dan fasilitas-fasilitas lainnya yang terkait. Pemenuhan kebutuhan perumahan
dan fasilitas-fasilitas yang terkait tersebut tidak terlepas dari peningkatan penggunaan lahan.
Pengembangan kawasan permukiman akibat tidak tertata dan semakin berkurangnya lahan
permukiman mendorong peningkatan permukiman kumuh di Kota Makassar. Disamping itu,
Makassar sebagai suatu kota yang mempunyai pertumbuhan dan perkembangan pembangunan
semakin maju, maka semua aspek pembangunan juga ikut menimbulkan berbagai implikasi
yang menyangkut industrial, mobilitas manusia yang terus meningkat, diskonkurensi masalah
kependudukan terhadap daya dukung yang makin melebar. Dengan implikasi ini, kebutuhan
akan kawasan perumahan permukiman yang semakin besar dengan lahan yang terbatas
menciptakan luasan kawasan permukiman kumuh yang besar di Kota Makassar.
Pada tahun 2016 telah diluncurkan sebuah program untuk mencegah permukiman di
wilayah perkotaan melalui Program KOTAKU (Kota Tampa Kumuh) yang merupakan
program pencegahan dan peningkatan kualitas permukiman kumuh nasional dengan sasaran
tercapainya permukiman kumuh perkotaan menjadi 0 Ha melalu pencegahan dan peningkatan
kualitas permukiman kumuh. Dengan tujuan meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan
pelayanan dasar kawasan kumuh perkotaan untuk mendukung terwujudnya permukiman
perkotaan yang layak huni, produktif dan berkelanjutan.
Kota Makassar merupakan salah satu Kota yang mendapatkan fasilitas program
KOTAKU karena masih banyak kawasan permukiman kumuh yang diberikan perhatian. Luas
permukiman kumuh di kota Makassar menapai 47,62 kilometer persegi yang berada hampIr
semua kecamatan. Besaran luas kawasan permukiman kumuh berbeda-beda, tetapi kawasan
yang paling luas berada di Kecamatan Tallo, Mariso, Tamalate. Kawasan Kelurahan Kaluku
Bodoa merupakan salah satu daerah yang mendapatkan Program KOTAKU, kawasan
Kelurahan Kaluku Bodoa memiliki permasalahan ketidakteraturan bangunan serta sarana
infrastruktur dasar masyarakat yang juga msih kurang seperti MCK pribadi yang masih belum
mereka miliki.
C. Permukiman Kumuh
Sebelum mengarah kepada permukiman kumuh, perlu diketahui arti dasar dari kumuh
itu sendiri, Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah laku
yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah. Dengan kata lain,
kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan atas yang sudah mapan
kepada golongan bawah yang belum mapan.
Kumuh dapat ditempatkan sebagai sebab dan dapat pula ditempatkan sebagai akibat.
Ditempatkan di mana pun juga, kata kumuh tetap menjurus pada sesuatu hal yang bersifat
negatif menurut Clinard dalam Budiharjo (1984) (Jawas Dwijo Putro, 2011: 20). Pemahaman
kumuh dapat ditinjau dari :
1. Sebab kumuh
Kumuh adalah kemunduran atau kerusakan lingkungan hidup dilihat dari (a) segi fisik,
yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam seperti air dan udara, (b) segi
masyarakat/ sosial, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh manusia sendiri seperti
kepadatan lalu lintas, sampah.
2. Akibat kumuh
Kumuh adalah akibat dari perkembangan dari gejala-gejala antara lain, (a) kondisi
perumahan yang buruk; (b) penduduk yang terlalu padat; (c) fasilitas lingkungan yang
kurang memadai; (d) tingkah laku menyimpang; (e) budaya kumuh; (f) apati dan isolasi.
Kawasan kumuh adalah kawasan dimana rumah dan kondisi hunian masyarakat di
kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana dan prasarana yang ada tidak sesuai
dengan standar yang berlaku, baik standar kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah
sehat, kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan,
ruang terbuka serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya.
Ciri-ciri permukiman kumuh, seperti yang diungkapan oleh suparlan (dalam Jawa
Dwijo Putro, 2011 : 22) adalah:
1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
2. Kondisi hunian rumah dan permukiman serta penggunaan ruang-ruangnya
mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.
3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan ruang-
ruang yang ada di permukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan
tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.
4. Permukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup secara
tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas.
5. Penghuni permukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen, warganya
mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang beranekaragam, begitu juga
asal muasalnya.
6. Sebagian besar penghuni permukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor
informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informil.
E. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pelaksanaan program
kota tanpa kumuh (KOTAKU) dalam rangka penanganan kawasan permukiman kumuh di
kelurahan Kaluku Bodoa sangat diperlukan sebuah Collaborative Governance, yang dimana
dalam pelaksanaan yang sudah dijelaskan di atas colaborasi ini sudah berjalan dengan baik.
Hal tersebut terlihat dengan telah berjalannya program KOTAKU dalam penanganan kawasan
permukiman kumuh yang ada dalam Kelurahan Kaluku Bodoa dengan melibatkan semua
pihak, mulai dari pemerintah daerah sampai dengan masyarakat.