BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Derajat kesehatan sangat penting dalam menggambarkan profil
kesehatan masyarakat di suatu daerah. Dalam menilai derajat kesehatan
masyarakat, digunakan indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka
Kematian Ibu (AKI). Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat tidak hanya berasal dari sektor kesehatan melainkan juga
dipengaruhi oleh faktor ekonomi, pendidikan, lingkungan sosial, keturunan,
dan faktor lainnya.
Berdasarkan data dari The Fifty Sixth Session of Regional Committee
WHO pada Tahun 2003, kematian bayi terjadi pada usia neonatus dengan
penyebab infeksi (33%), asfiksia/trauma (28%), BBLR (24%), kelainan
bawaan (8%), ikterus (2%) dan lain-lain (5%). Salah satu penyebab mortalitas
pada bayi baru lahir adalah ensefalopati biliaris/kernikterus (Widyaningsih,
2012).
Menurut WHO (2007) banyak bayi terutama bayi kecil (yang kurang
dari 2,5 kg pada saat lahir atau lahir sebelum usia gestasi 37 minggu), dapat
mengalami ikterus selama minggu pertama kehidupan. Pada sebagian besar
kasus, kadar bilirubin yang menyebabkan ikterus yang tidak membahayakan
dan tidak membutuhkan terapi. Akan tetapi, setiap ikterus yang muncul dalam
24 jam pertama kehidupan harus dianggap serius.
Ikterus adalah diskolorisasi kuning pada kulit atau organ lain akibat
penumpukkan bilirubin. Pada bayi baru lahir terbagi menjadi ikterus
fisiologis dan patologis. Ikterus fisiologis timbul pada hari kedua dan ketiga
serta tidak mempunyai dasar patologis atau tidak ada potensi menjadi kern-
ikterus. Ikterus patologis adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin
serumnya bisa menjurus kearah terjadinya kern-ikterus bila kadar
1
bilirubinnya tidak terkendali atau mencapai hiperbilirubinemia (Muslihatun,
2010).
2
B. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan berat badan lahir bayi dan umur kehamilan ibu
dengan kejadian hiperbilirubinemia pada bayi di Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang Tahun 2014
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Hubungan Berat Badan Lahir Bayi dan Umur
Kehamilan Ibu dengan Kejadian Hiperbilirubinemia pada Bayi di Rumah
Sakit Muhammadiyah Palembang Tahun 2014
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian hiperbilirubinemia
pada bayi di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Tahun 2014
3
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi institusi pendidikan
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hiperbilirubinemia
1. Pengertian
Ikterus adalah diskolorisasi kuning pada kulit atau organ lain
akibat penumpukkan bilirubin. Pada bayi baru lahir terbagi menjadi
ikterus fisiologis dan patologis. Ikterus fisiologis timbul pada hari kedua
dan ketiga serta tidak mempunyai dasar patologis atau tidak ada potensi
menjadi kern-ikterus. Ikterus patologis adalah ikterus dengan konsentrasi
bilirubin serumnya bisa menjurus kearah terjadinya kern-ikterus bila
kadar bilirubinnya tidak terkendali atau mencapai hiperbilirubinemia
(Muslihatun, 2010).
Menurut Wulandari (2011), hiperbilirubinemia adalah suatu
insiden kern-ikterus yang tinggi berhubungan dengan kadar bilirubin
bebas yang lebih dari 18-20 mg/dl pada bayi aterm, sedangkan pada bayi
berat badan lebih rendah akan memperlihatkan kern-ikterus pada kadar
yang lebih rendah 10-15 mg/dl.
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin
mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan kern-ikterik
bila tidak ditanggulangi dengan baik (Prawirohardjo, 2009).
Hiperbilirubinemia merupakan suatu keadaan pada bayi baru lahir
dimana kadar bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu
pertama dengan ditandai ikterus (Hidayat, 2011).
2. Klasifikasi
Klasifikasi ikterus menurut Kristiyanasari (2009) adalah sebagai berikut:
a. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) Timbul pada hari kedua-ketiga
5
6
4. Etiologi
Menurut Fraser (2012), etiologi yang mendasari terjadinya ikterus
patologis adalah beberapa tipe gangguan pada produksi,
transpor/pengangkutan, konjugasi, atau sekresi bilirubin. Adanya penyakit
atau gangguan yang meningkatkan produksi bilirubin atau yang
mengganggu pengangkutan atau metabolism bilirubin tersamarkan oleh
ikterus fisiologis normal.
Faktor-faktor yang bisa menyebabkan terjadinya
hiperbilirubinemia, secara garis besar adalah: produksi bilirubin
berlebihan, gangguan proses uptake dan konjugasi hepar, gangguan
transportasi dalam metabolisme dan gangguan dalam ekskresi
(Muslihatun, 2010).
Faktor penyebab terjadinya ikterus adalah produksi bilirubin,
gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar, gangguan dalam
transportasi bilirubin dalam darah, dan gangguan ekskresi (Winkjosastro,
2007).
Menurut para staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Indonesia (2007), ada beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya hiperbilirubinemia diantaranya:
a. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebih, misalnya pada hemolisis
yang meningkat pada inkompatibilitas darah rhesus, ABO, defisiensi
enzim G6PD (Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase), perdarahan
tertutup dan sepsis
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar, yang dapat
disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan fungsi hati, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi.
c. Gangguan transportasi bilirubin dalam darah terikat pada albumin
kemudian diangkut ke hepar. Defisiensi albumin menyebabkan lebih
8
5. Faktor Risiko
Menurut Fraser (2012), beberapa faktor-faktor yang menyebabkan
timbulnya ikterus patologis/hiperbilirubinemia, antara lain:
a. Meningkatkan bilirubin (produksi). Faktor-faktor yang meningkatkan
penghancuran hemoglobin juga meningkatkan kadar bilirubin.
Penyebab peningkatan hemolisi, antara lain:
1) Inkompatibilitas rhesus dan golongan darah ABO
2) Hemoglobinopati, penyakit sel sabit dan talasemia
3) Sferositosis, membran sel darah merah putih
4) Darah terekstravasasi, sefalhematoma dan memar
5) Sepsis, dapat menyebabkan peningkatan pemecahan hemoglobin
6) Polisitemia, darah mengandung terlalu banyak sel darah merah,
seperti pada transfuse maternofetal atau transfusi kembar ke
kembar
b. Mengganggu pengangkutan (transport). Faktor-faktor yang
mengurangi kadar albumin darah atau mengurangi kemampuan
mengikat albumin, antara lain:
1) Hipotermia, asidosis atau hipoksia (dapat mengganggu
kemampuan mengikat albumin)
2) Obat-obatan yang bersaing dengan bilirubin untuk mendapatkan
tempat pengikatan albumin, misalnya aspirin, sulfonamide dan
ampisilin.
c. Mengganggu metabolisme bilirubin (konjugasi bilirubin)
1) Dehidrasi, kelaparan, hipoksia dan sepsis (oksigen dan glukosa
dibutuhkan untuk konjugasi)
2) Infeksi TORCH dan virus lain, misalnya hepatitis virus neonatus
9
3) Sukar menghisap
4) Tonus otot meninggi
5) Leher kaku
6) Akhirnya kaku seluruh tubuh
7) Tuli
8) Kejang-kejang
9) Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut kemungkinan terjadi
spasme otot dan kekakuan otot seluruhnya
10) Kemunduran mental
c. Menurut Muslihatun (2010), gejala hiperbilirubinemia antara lain:
warna kulit tubuh tampak kuning, paling baik pengamatan dengan
cahaya matahari dan menekan sedikit kulit untuk menghilangkan
warna karena pengaruh sirkulasi darah. Derajat ikterus ditentukan
dengan melihat kadar bilirubin direk dan indirek, atau secara klinis
menurut Kraemer dibawah sinar biasa (daylight).
7. Metabolisme Bilirubin
Sebagian besar (70-80%) produksi bilirubin berasal dari eritrosit
yang rusak. Heme dikonversi menjadi bilirubin indirek (tak terkonjugasi)
kemudian berkaitan dengan albumin dibawa ke hepar. Didalam hepar
dikonjugasikan oleh asam glukuronat pada reaksi yang dikatalisasi oleh
glukuronal transferase. Bilirubin direk (terkonjugasi) disekresikan ke
traktus gastrointestinal. Pada bayi baru lahir yang ususnya bebas dari
bakteri, pembentukan sterkobilin tidak terjadi. Sebagai gantinya, usus
bayi banyak mengandung beta glakuronidase yang menghidrolisis
bilirubin glukuronid menjadi bilirubin indirek dan akan diabsorbsi
kembali melalui sirkulasi enterohepatik ke aliran darah (Mansjoer, 2009).
8. Komplikasi
Ada beberapa komplikasi hiperbilirubinemia berdasarkan Davies (2011)
yakni:
12
9. Diagnosis/Masalah
Diagnosis atau masalah yang terjadi pada bayi dengan
hiperbilirubinemia antara lain: risiko tinggi injuri, risiko tinggi kurangnya
volume cairan, gangguan integritas kulit, risiko tinggi perubahan menjadi
orang tua dan kurangnya pengetahuan keluarga (Hidayat, 2011).
Menurut Reeder (2011), berikut ini adalah bayi-bayi baru lahir
yang memerlukan evaluasi lebih lanjut apakah menderita
hiperbilirubinemia:
a. Bayi yang lahir dari ibu yang memiliki rhesus negatif
b. Bayi yang menunjukkan ikterus selama 24 jam pertama setelah lahir
c. Bayi yang menunjukkan ikterus dibawah umbilikus antara 24 jam dan
48 jam setelah lahir atau ikterus dibawah lutut atau ditangan dan kaki.
d. Ikterus yang tetap ada setelah usia 2 minggu
a. Anamnesis
1) Riwayat ibu hamil, yaitu adanya infeksi, golongan darah ibu
2) Riwayat anak terdahulu, yaitu adakah kuning pada masa ibu
3) Riwayat obat-obatan, yaitu oksitosin, jamu, memakai kamfer
4) Riwayat partus dengan tindakan, infeksi intrapartum
5) Riwayat kelahiran, yaitu adakah asfiksia
6) Riwayat penyakit, yaitu kapan mulai kuning, gejala infeksi seperti
muntah, mencret, malas minum, sesak dan kejang.
b. Pemeriksaan klinis
1) Periksa keadaan umum bayi, berat badan dan suhu
2) Adakah gejala iritabel, gelisah, kejang terutama meliuk-liuk.
3) Adakah gejala malas minum, tidur terus
4) Apakah berat bayi berkurang banyak, nilai turgor dan tonus
5) Adakah sefalhematoma, jejak vakum, bercak perdarahan
6) Selain kuning, apakah bayi tampak pucat, rabalah hepar dan
liem/limpa, periksa sejauh mana bayi tampak kuning
c. Laboratorium
1) Kadar bilirubin total pada minggu pertama kehidupan
2) Bila umur bayi diatas satu minggu, sebaiknya diperiksa juga
bilirubin direk untuk melihat gangguan fungsi ekskresi hati
3) Darah rutin untuk mengetahui adanya hemolisis/sepsis
4) Tergantung indikasi: tes Coomb, G6PD, kultur darah
5) Bila fasilitas tidak mengizinkan, pemeriksaan dapat dilakukan
secara klinis dengan ikterometer, yaitu alat sederhana dari bahan
tembus kaca dengan 5 skala menunjukkan dengan memakai sinar
bias biasa
6) Cara lain yaitu cara Kraemer (1969) yang dilakukan dengan
membagi tubuh bayi dalam 5 bagian, timbulnya ikterus dimulai
dari:
a) Kepala dan leher
b) Dada sampai pusat
14
Tabel 2.1
Rumus Kraemer
Kadar Bilirubin
Daerah Luas Ikterus
(mg%)
1 Kepala dan leher 5
Daerah 1 + badan bagian
2 9
atas
Daerah 1, 2 + badan bagian
3 11
bawah dan tungkai
Daerah 1, 2, 3 + lengan dan
4 12
kaki dibawah lutut
Daerah 1, 2, 3, 4 + tangan
5 16
dan kaki
Sumber: (Prawirohardjo,
2009)
a. Fototerapi
Merupakan penyinaran kulit bayi sebanyak mungkin oleh cahaya
berintensitas tinggi dalam kisaran biru, hijau dan hijau-biru memicu
terjadinya tiga perubahan cepat fotokimiawi pada struktur molekul
bilirubin.
b. Transfusi sulih
Adalah mengeluarkan sedikit darah bayi dan menggantinya dengan
darah yang cocok sehingga mengurangi kadar bilirubin dalam aliran
darah
c. Obat
Ada beberapa obat yang mungkin digunakan lebih lazim digunakan
dalam terapi bilirubinemia:
1) Obat yang menghambat degradasi heme sehingga mengurangi
kadar bilirubin antara lain metaloporfirin, D-penisilamin, dan
inhibitor peptida
16
f. Genetalia labia mayora sudah menutupi labia minora dan testis sudah
turun
g. Reflek hisap dan menelan sudah terbentuk
h. Reflek moro sudah baik apabila bayi dikagetkan akan memperlihatkan
gerakan seperti memeluk
i. Eliminasi baik urin maupun mekonium berearna kuning kecoklatan
memiliki metabolism yang tinggi, selain itu juga produksi bilirubin relatif
lebih tinggi dibandingkan bayi-bayi dengan berat badan kurang dari 2500
gram. Sedangkan berat badan lahir rendah atau bayi dengan berat badan lahir
< 2500 gram juga sering mengalami mengalami hiperbilirubin disebabkan
karena organ tubuhnya yang masih lemah disebabkan karena fungsi hepar
yang belum matang atau terdapat gangguan dalam fungsi hepar seperti
hipoksia, hipoglikemi, asidosis, dll sehingga mengakibatkan kadar bilirubin
meningkat dan bilirubin direk akan mudah melewati darah otak (Trionika,
2009).
D. Kerangka teori
Menurut Widyaningsih (2012), faktor risiko terjadinya
hiperbilirubinemia antara lain karena faktor maternal, faktor perinatal dan
faktor neonatus. Faktor maternal itu sendiri diakibatkan karena adanya
komplikasi kehamilan seperti DM, inkompatibilitas ABO dan Rh,
penggunaan obat (penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik dan
pengaruh obat-obat tertentu misalnya analgetik antipiretik (natrium salisilat,
genilbuta-on), antibiotic dengan golongan sulfa (sulfadiazine, sulfamoxazole),
cephalosporin (cefriaxon), penisilin (propicilin, cloxacilin), produksi ASI
yang kurang, dan ras/kelompok ternit tertentu seperti Asia, Native American,
dan Yunani.
Faktor perinatal karena adanya trauma persalinan pada bayi yang
diterima dalam atau karena proses kelahiran (trauma dapat terjadi sebagai
akibat keterampilan atau perhatian medik yang tidak pantas atau yang tidak
memadai sama sekali, atau dapat terjadi meskipun telah mendapat perawatan
kebidanan yang terampil dan kompeten dan sama sekali tidak ada kaitannya
dengan tindakan atau sikap orang tua yang acuh tak acuh sehingga
menimbulkan sefalhematoma) dan gangguan fungsi hati yang disebabkan
oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel
hati dan darah merah seperti infeksi bakteri, protozoa dan virus)
21
Bagan 2.1
Kerangka Teori Kejadian Hiperbilirubinemia
Dimodifikasi dari Widyaningsih (2012) dan Davies (2011)
23
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep
Konsep adalah suatu abstraksi yang dibentuk dengan
menggeneralisasikan suatu pengertian. Oleh sebab itu, konsep tidak dapat
diukur dan diamati secara langsung. Agar dapat diamati dan dapat diukur,
maka konsep tersebut harus dijabarkan ke dalam variable-variabel. Dari
variable itulah konsep dapat diamati dan diukur (Notoatmodjo, 2012).
Mengingat keterbatasan waktu serta dana, maka peneliti
mengembangkan suatu kerangka konsep penelitian yang hanya mengambil
dua variabel independen saja untuk diteliti yaitu berat badan lahir bayi dan
umur kehamilan ibu, sedangkan kejadian hiperbilirubinemia pada bayi
sebagai variabel dependen.
Adapun variabel penelitian ini secara skematis dapat digambarkan
pada kerangka konsep dibawah ini:
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Hubungan Berat Badan Lahir Bayi Dan Umur Kehamilan Ibu
Dengan Kejadian Hiperbilirubinemia Pada Bayi
B. Definisi Operasional
No Definisi Cara Alat Skala
Variabel Hasil ukur
. Operasional ukur ukur ukur
1. Hiperbilirub Keadaan bayi Mencatat Checklist 1. Tidak Ordinal
inemia dengan kadar data hiperbilirubinemia
bilirubin rekam : jika bayi tidak
serum total medic terdiagnosa
>10 mg% hiperbilirubinemia
ditandai berdasarkan
ikterus rekam medik
2. Hiperbilirubinemi:
jika terdiagnosa
hiperbilirubinemia
berdasarkan
rekam medic
2. Berat badan Berat badan Mencatat Checklist 1. Normal : jika Ordinal
lahir bayi pada saat data berat badan lahir
bayi rekam bayi 2500-4000
dilahirkan medik gram
yang 2. Tidak normal: jika
dinyatakan berat badan lahir
dalam gram bayi <2500 dan
>4000 gram
(Arief, 2009)
C. Hipotesis
1. Ada hubungan berat badan lahir bayi dengan kejadian hiperbilirubinemia
pada bayi di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Tahun 2014
2. Ada hubungan umur kehamilan ibu dengan kejadian hiperbilirubinemia
pada bayi di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Tahun 2014
26
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Menurut Notoatmodjo (2012), desain penelitian adalah susunan atau
rancangan yang dilakukan untuk perbandingan yang memenuhi syarat untuk
memperoleh hasil yang dapat dipercaya. Desain penelitian menggunakan
metode survey analitik dengan rancangan penelitian case control, yaitu suatu
penelitian (survey) analitik yang menyangkut bagaimana faktro risiko
dipelajari dengan menggunakan pendekatan retrospective. Dengan kata lain,
efek (penyakit atau status kesehatan) diidentifikasi pada saat ini, kemudian
faktor reisiko diidentifikasi ada atau terjadinya pada waktu yang lalu.
Variabel dependen penelitian ini adalah kejadian hiperbilirubinemia
pada bayi sedangkan variabel independen adalah berat badan lahir bayi dan
umur kehamilan ibu.
26
27
Ket:
N (jumlah populasi)
n (sampel)
I (intervalnya)
I=
2601
I= = 27
95
E. Instrumen Penelitian
Instrument pengumpulan data ini dengan menggunakan master tabel
dan daftar check list. Check list adalah suatu daftar untuk mencek yang
berisi nama subjek dan beberapa gejala serta indentitas lainnya dari sasaran
pengamatan (Notoatmodjo, 2012).
Instrument pengumpulan data penelitian ini menggunakan check list
dengan melihat data rekam medik Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang
F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan data
Menurut Notoatmodjo (2012) cara pengolahan data terdiri dari:
a. Editing (pengolahan data)
Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan dan perbaikan
isian pada formulir atau kuesioner apakah sudah lengkap, jelas,
relevan dan konsisten.
b. Coding (pengkodean data)
Yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data
angka atau bilangan
29
G. Etika penelitian
Etika penelitian adalah harus memenuhi syarat administrasi atau izin
birokrasi untuk melakukan suatu penelitian, seperti mengurus surat izin
penelitian/pengambilan data dasar/perizinan yang dikeluarkan oleh suatu
instansi tertentu.
Pada penelitian, dimana peneliti hanya melakukan analisis terhadap
data yang telah tersedia atau data sekunder, peneliti tidak secara langsung
30
berhubungan dengan responden. Dalam hal ini tidak ada hubungan etika
antara peneliti dengan responden, sehingga tidak diperlukan inform concent
dari responden. Pengambilan data sekunder ini, dari aspek etika yang
diperlukan adalah surat izin dari institusi yang mempunyai data sekunder
tersebut (Notoatmodjo, 2012).
Penelitian ini dilakukan dengan perizinan dari Akademi Kebidanan
STIKes Muhammadiyah Palemabang dan Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang sebagai lokasi yang akan dijadikan tempat penelitian.