Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Derajat kesehatan sangat penting dalam menggambarkan profil
kesehatan masyarakat di suatu daerah. Dalam menilai derajat kesehatan
masyarakat, digunakan indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka
Kematian Ibu (AKI). Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat tidak hanya berasal dari sektor kesehatan melainkan juga
dipengaruhi oleh faktor ekonomi, pendidikan, lingkungan sosial, keturunan,
dan faktor lainnya.
Berdasarkan data dari The Fifty Sixth Session of Regional Committee
WHO pada Tahun 2003, kematian bayi terjadi pada usia neonatus dengan
penyebab infeksi (33%), asfiksia/trauma (28%), BBLR (24%), kelainan
bawaan (8%), ikterus (2%) dan lain-lain (5%). Salah satu penyebab mortalitas
pada bayi baru lahir adalah ensefalopati biliaris/kernikterus (Widyaningsih,
2012).
Menurut WHO (2007) banyak bayi terutama bayi kecil (yang kurang
dari 2,5 kg pada saat lahir atau lahir sebelum usia gestasi 37 minggu), dapat
mengalami ikterus selama minggu pertama kehidupan. Pada sebagian besar
kasus, kadar bilirubin yang menyebabkan ikterus yang tidak membahayakan
dan tidak membutuhkan terapi. Akan tetapi, setiap ikterus yang muncul dalam
24 jam pertama kehidupan harus dianggap serius.
Ikterus adalah diskolorisasi kuning pada kulit atau organ lain akibat
penumpukkan bilirubin. Pada bayi baru lahir terbagi menjadi ikterus
fisiologis dan patologis. Ikterus fisiologis timbul pada hari kedua dan ketiga
serta tidak mempunyai dasar patologis atau tidak ada potensi menjadi kern-
ikterus. Ikterus patologis adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin
serumnya bisa menjurus kearah terjadinya kern-ikterus bila kadar
1
bilirubinnya tidak terkendali atau mencapai hiperbilirubinemia (Muslihatun,
2010).
2

Hasil penelitian yang dilakukan Septiani, pada periode April 2010


sampai dengan Maret 2011 terdapat 12,3% atau 357 bayi yang mengalami
hiperbilirubinemia dari 2.897 bayi yang dirawat diruang perinatologi Rumah
Sakit Umum Daerah Kota Bandung. Berdasarkan berat badan lahir angka
kejadian bayi hiperbilirubinemia terbanyak adalah kelompok berat badan
lahir > 4000 gram yaitu 17,5%. Sementara angka kejadian hiperbilirubinemia
pada bayi terbanyak adalah kelompok umur kehamilan < 37 minggu yaitu
12,5% (Septiani, 2013)
Data dari medical record di Rumah Sakit Muhammadiyah, jumlah
neonatus dengan diagnosis hiperbilirubinemia pada Tahun 2012 berjumlah 40
neonatus (1,53%) sementara pada tahun 2013 berjumlah 31 neonatus
(1,28%), dan pada tahun 2014 terjadi peningkatan berjumlah 95 neonatus
(3,65%) (Rekam Medik RS Muhammadiyan Palembang, 2011).
Berdasarkan data diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul Hubungan Berat Badan lahir bayi dan Umur Kehamilan
Ibu dengan Kejadian Hiperbilirubinemia pada Bayi di Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang Tahun 2014.

B. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan berat badan lahir bayi dan umur kehamilan ibu
dengan kejadian hiperbilirubinemia pada bayi di Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang Tahun 2014

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Hubungan Berat Badan Lahir Bayi dan Umur
Kehamilan Ibu dengan Kejadian Hiperbilirubinemia pada Bayi di Rumah
Sakit Muhammadiyah Palembang Tahun 2014
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian hiperbilirubinemia
pada bayi di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Tahun 2014
3

b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi berat badan lahir bayi di


Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Tahun 2014
c. Untuk mengetahui frekuensi umur kehamilan ibu di Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang Tahun 2014
d. Untuk mengetahui hubungan berat badan lahir bayi dengan kejadian
hiperbilirubinemia pada bayi di Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang Tahun 2014
e. Untuk mengetahui hubungan umur kehamilan ibu dengan kejadian
hiperbilirubinemia pada bayi di Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang tahun 2014

D. Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian ini yaitu asuhan neonatus, bayi, balita dan
anak prasekolah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan berat
badan lahir bayi dan umur kehamilan ibu dengan kejadian hiperbilirubinemia
pada bayi di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Tahun 2014. Dimana
jenis penelitian ini menggunakan metode survey analitik dengan pendekatan
case control dimana variabel independen (Berat badan lahir bayi dan umur
kehamilan ibu) dan variabel dependen (hiperbilirubinemia pada bayi). Data
yang digunakan adalah data sekunder dengan melihat data dari rekam medik
dan register bayi menggunakan master tabel dan check list. Populasinya
adalah semua bayi yang dirawat dan terdata dalam rekam medik di Rumah
Sakit Muhammadiyah Palembang Tahun 2014. Sedangkan sampel penelitian
adalah sebagian bayi yang tercatat direkam medik dari registrasi bayi.
Pengambilan data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
dilaksanakan pada bulan JanuariApril Tahun 2015 di Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi institusi pendidikan
4

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan


perbandingan dan wacana informasi dalam proses pembelajaran serta
bahan referensi bagi mahasiswa STIKes Muhammadiyah Palembang,
sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan.
2. Bagi Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
masukan dalam meningkatkan kualitas pelayanan diruang perinatal dan
neonatus Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang yang dapat
bermanfaat untuk mengetahui kejadian hiperbilirubinemia sehingga dapat
lebih fokus pada upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
3. Bagi peneliti
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan,
pengalaman dan memperluas wawasan penelitian dalam menerapkan mata
kuliah metodelogi penelitian dan dapat dijadikan bahan perbandingan
selanjutnya.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hiperbilirubinemia
1. Pengertian
Ikterus adalah diskolorisasi kuning pada kulit atau organ lain
akibat penumpukkan bilirubin. Pada bayi baru lahir terbagi menjadi
ikterus fisiologis dan patologis. Ikterus fisiologis timbul pada hari kedua
dan ketiga serta tidak mempunyai dasar patologis atau tidak ada potensi
menjadi kern-ikterus. Ikterus patologis adalah ikterus dengan konsentrasi
bilirubin serumnya bisa menjurus kearah terjadinya kern-ikterus bila
kadar bilirubinnya tidak terkendali atau mencapai hiperbilirubinemia
(Muslihatun, 2010).
Menurut Wulandari (2011), hiperbilirubinemia adalah suatu
insiden kern-ikterus yang tinggi berhubungan dengan kadar bilirubin
bebas yang lebih dari 18-20 mg/dl pada bayi aterm, sedangkan pada bayi
berat badan lebih rendah akan memperlihatkan kern-ikterus pada kadar
yang lebih rendah 10-15 mg/dl.
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin
mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan kern-ikterik
bila tidak ditanggulangi dengan baik (Prawirohardjo, 2009).
Hiperbilirubinemia merupakan suatu keadaan pada bayi baru lahir
dimana kadar bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu
pertama dengan ditandai ikterus (Hidayat, 2011).

2. Klasifikasi
Klasifikasi ikterus menurut Kristiyanasari (2009) adalah sebagai berikut:
a. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) Timbul pada hari kedua-ketiga

5
6

2) Kadar bilirubin indirek (larut dalam lemak) tidak melewati 12 mg/dl


pada neonatus cukup bulan dan 10 mg/dl pada kurang bulan.
3) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tak melebihi 5 mg/dl per hari
4) Kadar bilirubin direk (larut dalam air) kurang dari 1 mg/dl
5) Ikterus hilang pada 10 hari pertama
6) Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis
tertentu.
b. Ikterus patologis/hiperbilirubinemia
Ikterus yang kemungkinan besar menjadi patologis yaitu:
1) Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama kehidupan
2) Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12 mg/dl pada neonatus
cukup bulan dan 10 mg/dl pada neonatus kurang bulan.
3) Ikterus dengan peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg/dl per hari
4) Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama
5) Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik,
infeksi atau keadaan patologis lain yang telah diketahui
6) Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg/dl
c. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek
pada otak terutama pada korpus stratum, thalamus, nucleus
subtalamus, hipokorpus, nucleus merah dan nucleus pada dasar
ventrikulus IV.
3. Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa
keadaan. Keadaan yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan.
Hiperbilirubinemia karena berat badan lahir rendah atau bayi dengan berat
badan lahir < 2500 gram sering mengalami hiperbilirubin disebabkan
karena organ tubuhnya yang masih lemah karena fungsi hepar yang belum
matang atau terdapat gangguan dalam fungsi hepar seperti hipoksia,
hipoglikemi, asidosis, dan lain-lain sehingga mengakibatkan kadar
7

bilirubin meningkat dan bilirubin indirek akan mudah melewati darah


otak (Trionika, 2009).

4. Etiologi
Menurut Fraser (2012), etiologi yang mendasari terjadinya ikterus
patologis adalah beberapa tipe gangguan pada produksi,
transpor/pengangkutan, konjugasi, atau sekresi bilirubin. Adanya penyakit
atau gangguan yang meningkatkan produksi bilirubin atau yang
mengganggu pengangkutan atau metabolism bilirubin tersamarkan oleh
ikterus fisiologis normal.
Faktor-faktor yang bisa menyebabkan terjadinya
hiperbilirubinemia, secara garis besar adalah: produksi bilirubin
berlebihan, gangguan proses uptake dan konjugasi hepar, gangguan
transportasi dalam metabolisme dan gangguan dalam ekskresi
(Muslihatun, 2010).
Faktor penyebab terjadinya ikterus adalah produksi bilirubin,
gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar, gangguan dalam
transportasi bilirubin dalam darah, dan gangguan ekskresi (Winkjosastro,
2007).
Menurut para staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Indonesia (2007), ada beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya hiperbilirubinemia diantaranya:
a. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebih, misalnya pada hemolisis
yang meningkat pada inkompatibilitas darah rhesus, ABO, defisiensi
enzim G6PD (Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase), perdarahan
tertutup dan sepsis
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar, yang dapat
disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan fungsi hati, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi.
c. Gangguan transportasi bilirubin dalam darah terikat pada albumin
kemudian diangkut ke hepar. Defisiensi albumin menyebabkan lebih
8

banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang


mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam sekresi dapat terjadi akibat kelainan bawaan atau
akibat infeksi/kerusakan hepar oleh penyebab lain.

5. Faktor Risiko
Menurut Fraser (2012), beberapa faktor-faktor yang menyebabkan
timbulnya ikterus patologis/hiperbilirubinemia, antara lain:
a. Meningkatkan bilirubin (produksi). Faktor-faktor yang meningkatkan
penghancuran hemoglobin juga meningkatkan kadar bilirubin.
Penyebab peningkatan hemolisi, antara lain:
1) Inkompatibilitas rhesus dan golongan darah ABO
2) Hemoglobinopati, penyakit sel sabit dan talasemia
3) Sferositosis, membran sel darah merah putih
4) Darah terekstravasasi, sefalhematoma dan memar
5) Sepsis, dapat menyebabkan peningkatan pemecahan hemoglobin
6) Polisitemia, darah mengandung terlalu banyak sel darah merah,
seperti pada transfuse maternofetal atau transfusi kembar ke
kembar
b. Mengganggu pengangkutan (transport). Faktor-faktor yang
mengurangi kadar albumin darah atau mengurangi kemampuan
mengikat albumin, antara lain:
1) Hipotermia, asidosis atau hipoksia (dapat mengganggu
kemampuan mengikat albumin)
2) Obat-obatan yang bersaing dengan bilirubin untuk mendapatkan
tempat pengikatan albumin, misalnya aspirin, sulfonamide dan
ampisilin.
c. Mengganggu metabolisme bilirubin (konjugasi bilirubin)
1) Dehidrasi, kelaparan, hipoksia dan sepsis (oksigen dan glukosa
dibutuhkan untuk konjugasi)
2) Infeksi TORCH dan virus lain, misalnya hepatitis virus neonatus
9

3) Infeksi bakteri lain, terutama yang disebabkan E. Coli


4) Gangguan metabolik dan endokrin yang mengubah aktivitas enzim
UDP-GT, misalnya penyakit Crigler-Najjar dan sindrom Gilbert
5) Gangguan metabolisme lain, seperti hipertiroidisme dan
galaktosemia.
d. Mengganggu pengeluaran bilirubin (ekskresi bilirubin)
1) Obstruksi hepatik yang disebabkan oleh anomali kongenital
2) Obstruksi akibat peningkatan viskositas/kepekaan empedu
3) Saturasi pembawa protein yang dibutuhkan untuk
mengekskresikan bilirubin terkonjugasi ke sistem empedu
4) Infeksi, gangguan kongenital lain, dan hepatitis neonatus idiopatik
(dapat juga menyebabkan kelebihan bilirubin terkonjugasi).
Ada beberapa faktro resiko untuk timbulnya ikterus neonatorum
berdasarkan Widyaningsih (2012) sebagai berikut:
a. Faktor maternal
1) Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American, dan
Yunani)
2) Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
3) Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik
4) ASI
b. Faktor perinatal
1) Trauma lahir/jenis persalinan (sefalhematom, ekimosis)
2) Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
c. Faktor noenatus
1) Prematuritas
2) Faktor genetik
3) Polisitemia
4) Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
5) Rendahnya asupan ASI
6) Hipoglikemia
7) Hipoalbuminemia
10

6. Tanda dan Gejala


Beberapa tanda dan gejala antara lain:
a. Menurut Kristiyanasari (2009), terdapat beberapa perbedaan tanda dan
gejala antara ikterus fisiologis dan ikterus patologis.
1) Adapun tanda-tanda ikterus fisiologis:
a) Timbul pada hari kedua dan ketiga
b) Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada bayi baru
lahir cukup bulan dan 12,5 mg% untuk bayi kurang bulan
c) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg%
perhari
d) Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%
e) Ikterus menghilang pada hari ke-10 hari pertama
f) Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan
patologis
2) Tanda-tanda hiperbilirubinemia atau ikterus patologis sebagai
berikut:
a) Ikterus terjadi 24 jam pertama menetap sesudah 2 minggu
pertama
b) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 12,5 mg% pada bayi
cukup bulan atau 10 mg% pada bayi kurang bulan.
c) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24
jam
d) Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%
e) Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama
f) Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik
(inkompabilitas darah, defisiensi G6PD dan sepsis)
b. Menurut Manuaba (2010), gambaran klinis hiperbilirubinemia, antara
lain:
1) Mata berputar-putar
2) Tertidur-kesadaran turun
11

3) Sukar menghisap
4) Tonus otot meninggi
5) Leher kaku
6) Akhirnya kaku seluruh tubuh
7) Tuli
8) Kejang-kejang
9) Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut kemungkinan terjadi
spasme otot dan kekakuan otot seluruhnya
10) Kemunduran mental
c. Menurut Muslihatun (2010), gejala hiperbilirubinemia antara lain:
warna kulit tubuh tampak kuning, paling baik pengamatan dengan
cahaya matahari dan menekan sedikit kulit untuk menghilangkan
warna karena pengaruh sirkulasi darah. Derajat ikterus ditentukan
dengan melihat kadar bilirubin direk dan indirek, atau secara klinis
menurut Kraemer dibawah sinar biasa (daylight).

7. Metabolisme Bilirubin
Sebagian besar (70-80%) produksi bilirubin berasal dari eritrosit
yang rusak. Heme dikonversi menjadi bilirubin indirek (tak terkonjugasi)
kemudian berkaitan dengan albumin dibawa ke hepar. Didalam hepar
dikonjugasikan oleh asam glukuronat pada reaksi yang dikatalisasi oleh
glukuronal transferase. Bilirubin direk (terkonjugasi) disekresikan ke
traktus gastrointestinal. Pada bayi baru lahir yang ususnya bebas dari
bakteri, pembentukan sterkobilin tidak terjadi. Sebagai gantinya, usus
bayi banyak mengandung beta glakuronidase yang menghidrolisis
bilirubin glukuronid menjadi bilirubin indirek dan akan diabsorbsi
kembali melalui sirkulasi enterohepatik ke aliran darah (Mansjoer, 2009).

8. Komplikasi
Ada beberapa komplikasi hiperbilirubinemia berdasarkan Davies (2011)
yakni:
12

a. Ensefalopati bilirubin akut


b. Kerusakan neurologis
c. Kern-ikterus
d. Sindrom empedu pekat
e. Hepatitis neonatorum akibat infeksi
f. Galaktosemia
g. Asfiksia
h. Hipoglikemia
i. Retardasi mental
j. Gangguan metabolisme lipid
k. Hiperosmolaritas darah

9. Diagnosis/Masalah
Diagnosis atau masalah yang terjadi pada bayi dengan
hiperbilirubinemia antara lain: risiko tinggi injuri, risiko tinggi kurangnya
volume cairan, gangguan integritas kulit, risiko tinggi perubahan menjadi
orang tua dan kurangnya pengetahuan keluarga (Hidayat, 2011).
Menurut Reeder (2011), berikut ini adalah bayi-bayi baru lahir
yang memerlukan evaluasi lebih lanjut apakah menderita
hiperbilirubinemia:
a. Bayi yang lahir dari ibu yang memiliki rhesus negatif
b. Bayi yang menunjukkan ikterus selama 24 jam pertama setelah lahir
c. Bayi yang menunjukkan ikterus dibawah umbilikus antara 24 jam dan
48 jam setelah lahir atau ikterus dibawah lutut atau ditangan dan kaki.
d. Ikterus yang tetap ada setelah usia 2 minggu

Menurut Maryunani (2009), penegakkan diagnosis dapat


dilakukan dengan cara sebagai berikut:
13

a. Anamnesis
1) Riwayat ibu hamil, yaitu adanya infeksi, golongan darah ibu
2) Riwayat anak terdahulu, yaitu adakah kuning pada masa ibu
3) Riwayat obat-obatan, yaitu oksitosin, jamu, memakai kamfer
4) Riwayat partus dengan tindakan, infeksi intrapartum
5) Riwayat kelahiran, yaitu adakah asfiksia
6) Riwayat penyakit, yaitu kapan mulai kuning, gejala infeksi seperti
muntah, mencret, malas minum, sesak dan kejang.
b. Pemeriksaan klinis
1) Periksa keadaan umum bayi, berat badan dan suhu
2) Adakah gejala iritabel, gelisah, kejang terutama meliuk-liuk.
3) Adakah gejala malas minum, tidur terus
4) Apakah berat bayi berkurang banyak, nilai turgor dan tonus
5) Adakah sefalhematoma, jejak vakum, bercak perdarahan
6) Selain kuning, apakah bayi tampak pucat, rabalah hepar dan
liem/limpa, periksa sejauh mana bayi tampak kuning
c. Laboratorium
1) Kadar bilirubin total pada minggu pertama kehidupan
2) Bila umur bayi diatas satu minggu, sebaiknya diperiksa juga
bilirubin direk untuk melihat gangguan fungsi ekskresi hati
3) Darah rutin untuk mengetahui adanya hemolisis/sepsis
4) Tergantung indikasi: tes Coomb, G6PD, kultur darah
5) Bila fasilitas tidak mengizinkan, pemeriksaan dapat dilakukan
secara klinis dengan ikterometer, yaitu alat sederhana dari bahan
tembus kaca dengan 5 skala menunjukkan dengan memakai sinar
bias biasa
6) Cara lain yaitu cara Kraemer (1969) yang dilakukan dengan
membagi tubuh bayi dalam 5 bagian, timbulnya ikterus dimulai
dari:
a) Kepala dan leher
b) Dada sampai pusat
14

c) Pusat bagian bawah sampai ke lutut


d) Lutut sampai pergelangan kaki dan bahu sampai pergelangan
tangan
e) Kaki dan tangan termasuk telapak tangan

Tabel 2.1
Rumus Kraemer
Kadar Bilirubin
Daerah Luas Ikterus
(mg%)
1 Kepala dan leher 5
Daerah 1 + badan bagian
2 9
atas
Daerah 1, 2 + badan bagian
3 11
bawah dan tungkai
Daerah 1, 2, 3 + lengan dan
4 12
kaki dibawah lutut
Daerah 1, 2, 3, 4 + tangan
5 16
dan kaki
Sumber: (Prawirohardjo,
2009)

10. Penanganan Hiperbilirubinemia


Menurut Maryunani (2008), bidan dan perawat dapat memberi
nasihat mengenai penanganan ikterus fisiologis dan memberitahu gejala
dini ikterus patologis pada para ibu sebelum memulangkan bayi. Hal ini
mengingat kemungkinan karena 60% bayi baru lahir menderita
kuning/ikterus. Hal-hal yang perlu dijelaskan pada ibu, diantaranya:
a. Pada saat ibu hamil, ibu jangan minum jamu atau ramuan yang sering
diketahui mengakibatkan kuning pada bayi
b. Bayi mendapatkan kalori dan cairan yang cukup
c. Ruang bayi mendapatkan sinar matahari yang cukup
15

d. Anjurkan pada ibu untuk menyusui bayi sesering mungkin


e. Jemur bayi dipagi hari tanpa baju antara pukul 07.30 09.00 selama
20 30 menit sampai bayi berumur 10 14 hari
f. Meskipun sudah banyak menyusu dan sudah dijemur, namun bayi
masih tampak kuning, apalagi bila disertai gejala malas minum atau
iritabel, anjurkan bayi segera dibawa ke dokter atau rumah sakit
g. Bayi yang kuning pada hari pertama, harus dirujuk ke rumah sakit
h. Terapi sinar biasanya diberikan bila kadar bilirubin diatas 12 mg%
i. Transfusi tukar biasanya dilakukan bila kadar bilirubin indirek diatas
20 mg%
Tujuan setiap terapi hiperbilirubinemia adalah mengurangi kadar
bilirubin dalam darah sehingga mencegah timbulnya ensefalopati akut dan
resiko kerusakan saraf jangka-panjang. Metode penanganan
hiperbilirubinemia menurut Davies (2011), antara lain:

a. Fototerapi
Merupakan penyinaran kulit bayi sebanyak mungkin oleh cahaya
berintensitas tinggi dalam kisaran biru, hijau dan hijau-biru memicu
terjadinya tiga perubahan cepat fotokimiawi pada struktur molekul
bilirubin.
b. Transfusi sulih
Adalah mengeluarkan sedikit darah bayi dan menggantinya dengan
darah yang cocok sehingga mengurangi kadar bilirubin dalam aliran
darah
c. Obat
Ada beberapa obat yang mungkin digunakan lebih lazim digunakan
dalam terapi bilirubinemia:
1) Obat yang menghambat degradasi heme sehingga mengurangi
kadar bilirubin antara lain metaloporfirin, D-penisilamin, dan
inhibitor peptida
16

2) Obat yang meningkatkan konjugasi bilirubin antara lain


fenobarbitol, klofibrat dan ramuan herbal cina
3) Peningkatan asupan oral bayi
4) Infus albumin memperbanyak lokasi peningkatan, mengurangi
risiko bilirubin bebas melewati sawar darah-otak dan dapat
digunakan bila orangtua menolak transfusi darah atau ketika tidak
ada produk darah yang cocok.

B. Berat Badan Lahir Bayi


Bayi baru lahir normal adalah berat badan lahir antara 2500 gram
sampai 4000 gram, cukup bulan, lahir langsung menangis dan tidak ada
kelainan congenital (cacat bawaan) yang berat (Kosim, 2007).
Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dari kehamilan 37
minggu sampai 42 minggu dan berat badan lahir 2500 gram sampai dengan
4000 gram (Arief, 2009).
1. Menurut Bobak (2005), cirri-ciri atau karakteristik bayi baru lahir normal
antara lain:
a. Berat badan lahir 2500 4000 gram
b. Panjang badan lahir 45 55 cm
c. Lingkar dada 32 36,8 cm
d. Lingkar kepala 30 33 cm
2. Menurut Winknjosastro (2007), karakteristik bayi baru lahir normal
sebagai berikut:
a. Denyut jantung dalam menit-menit pertama 180 x/menit, kemudian
menurun 120 140 x/menit
b. Respirasi pada menit pertama cepat 80 x/menit kemudian menurun
40 x/menit
c. Kulit kemerah-merahan dan licin karena jaringan subkutan cukup dan
terbentuk yang diliputi vernik caseosa
d. Rambut lanugo tidak terlihat, rambut kepala biasanya sudah sempurna
e. Kuku sudah agak panjang dan lemah
17

f. Genetalia labia mayora sudah menutupi labia minora dan testis sudah
turun
g. Reflek hisap dan menelan sudah terbentuk
h. Reflek moro sudah baik apabila bayi dikagetkan akan memperlihatkan
gerakan seperti memeluk
i. Eliminasi baik urin maupun mekonium berearna kuning kecoklatan

Berat badan lahir merupakan aspek penting yang perlu


dipertimbangkan ketika mengkaji bayi baru lahir karena keduanya
berhubungan dengan kesakitan dan kematian perinatal (Reeder, 2011).
Menurut Sukamti (2009), berat badan secara normal tetap dalam
persenti yang sama dari pengukuran ke pengukuran.
Berat badan lahir adalah berat badan pada saat bayi dilahirkan yang
dinyatakan dalam gram. Menurut Winkjosastro (2007), berat badan lahir bayi
diklasifikasikan menjadi:
1. Berat badan lahir besar (giant baby) dengan berat bayi lebih dari 4000
gram
2. Berat badan lahir normal dengan berat bayi lebih dari 2500 gram dan
kurang dari 4000 gram
3. Berat badan lahir rendah (BBLR) denganberat bayi 2500 gram atau
kurang pada saat lahir
4. Berat badan lahir sangat rendah dengan berat bayi 1500 gram atau kurang
saat lahir
Berdasarkan kriteria WHO tahun 1961, berat badan bayi saat
dilahirkan dibagi menjadi dua yaitu berat bayi lahir rendah atau BBLR (berat
bayi lahir 2500 gram) dan berat bayi lahir normal (berat bayi lahir> 2500
gram). Kondisi ibu secara langsung mempengaruhi berat bayi saat dilahirkan
(Dianiati dkk, 2012).
Menurut teori Keay, hiperbilirubin terjadi pada bayi dengan berat
badan lahir rendah yaitu: 34,5% dan 62,5% pada berat badan lahir normal.
Hal ini disebabkan neonatus dengan berat badan antara 2500 4000 gram
18

memiliki metabolism yang tinggi, selain itu juga produksi bilirubin relatif
lebih tinggi dibandingkan bayi-bayi dengan berat badan kurang dari 2500
gram. Sedangkan berat badan lahir rendah atau bayi dengan berat badan lahir
< 2500 gram juga sering mengalami mengalami hiperbilirubin disebabkan
karena organ tubuhnya yang masih lemah disebabkan karena fungsi hepar
yang belum matang atau terdapat gangguan dalam fungsi hepar seperti
hipoksia, hipoglikemi, asidosis, dll sehingga mengakibatkan kadar bilirubin
meningkat dan bilirubin direk akan mudah melewati darah otak (Trionika,
2009).

C. Umur Kehamilan Ibu


Umur kehamilan atau usia gestasi (gestational age) adalah ukuran
lama waktu seorang janin berada dalam rahim. Usia janin atau neonatus
dalamminggu yang dihitung dari hari pertama periode haid terakhir
(Wulandari, 2013).
Usia gestasi adalah lamanya waktu (dalam minggu) neonatus berada
didalam rahim (Reeder, 2011).
Usia kehamilan pada dasarnya adalah ukuran lama waktu seorang bayi
berada dalam rahim. Usia bayi dihitung dalam minggu dari Hari Pertama
Haid Terakhir (HPHT) ibu sampai hari kelahiran. Umur kehamilan atau
gestasi yang normal ialah 37 40 minggu. Pada bayi yang lahir premature
organ tubuhnya belum matur terutama organ hati sehingga belum bisa
melakukan metabolism dan fungsinya dengan baik (Dewi, 2010).
Menentukan usia kehamilan sangat penting untuk memperkirakan
persalinan. Rumus Naegle menggunakan usia kehamilan yang berlangsung
selama 288 hari. Perkiraan kelahiran dihitung dengan menentukan hari
pertama haid terakhir yang kemudian ditambah 288 hari (Manuaba, 2010).

Klasifikasi usia kehamilan menurut Rukiyah (2010), sebagai berikut:


a. Preterm
19

Partus prematurus adalah persalinan pada umur kehamilan kurang dari 37


minggu atau berat badan lahir antara 500 2499 gram.
Kejadian prematuritas pada sebuah kehamilan akan dipicu oleh
karakteriktisk pasien dengan: status sosial ekonomi yang rendah,
termasuk didalamnya penghasilan yang rendah, kehamilan pada usia 16
tahun dan primigravida > 30 tahun, riwayat pernah melahirkan premature,
pekerjaan fisik yang berat, tekanan mental (stress) atau kecemasan yang
tinggi dapat meningkatkan kejadian premature, merokok, dan penggunaan
obat bius/kokain.
b. Aterm
Kelahiran cukup bulan (full-term birth) adalah kelahiran hidup atau
kelahiran mati yang terjadi antara 37 dan 42 minggu usia kehamilan
dihitung dari hari pertama haid yang terakhir.
c. Postterm
Persalinan postterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan
yang berlangsung 42 minggu atau lebih (> 249 hari), istilah lainnya yaitu
serotinus. Menentukan kehamilan postterm dengan menggunakan rumus
Naegle dihitung dari HPHT dan berdasarkan tafsiran persalinan (280 haria
tau 40 minggu) dari HPHT.
Beberapa penyelidikan kematian neonatal dibeberapa rumah sakit di
Indonesia menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kematian
neonatal adalah faktor ibu yang mempertinggi kematian neonatal atau
perinatal (high risk mother) dan faktor bayi yang mempertinggi kematian
perinatal atau neonatal (high risk infant). Yang termasuk dalam high risk
infant antara lain BBLR, premature, asfiksia dan ikterus neonatorum. Kondisi
darurat neonatal yangs sering dijumpai dalam praktek sehari-hari, dari
beberapa rumah sakit pendidikan ditemukan bahwa salah satu penyebab
terjadinya kematian neonatus adalah peningkatan kadar bilirubin darah
(ikterus). Kejadian ikterus pada bayi baru lahir berkisar 50% pada bayi cukup
bulan dan 75% pada bayi kurang bulan (Winkjosastro, 2007).
20

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Kosim (2007), tentang


hubungan hiperbilirubinemia dengan kematian pasien yang dirawat di NICU
RSUP Dr. Kariadi Semarang menunjukkan dari 90 pasien yang diteliti
ditemukan kejadian hiperbilirubinemia terbanyak pada bayi preterm sebesar
55,6% (dengan rata-rata usia gestasi 38,1 3 minggu). Risiko
hiperbilirubinemia akan meningkat sesuai dengan menurunnya usia
kehamilan (0,6 kali perminggu dari usia kehamilan). Pada penelitian
prospektif, neonatus dengan usia kehamilan 35 37 minggu 2, 4 kali
mengalami hiperbilirubinemia dibandingkan neonatus dengan usia kehamilan
38 42 minggu.

D. Kerangka teori
Menurut Widyaningsih (2012), faktor risiko terjadinya
hiperbilirubinemia antara lain karena faktor maternal, faktor perinatal dan
faktor neonatus. Faktor maternal itu sendiri diakibatkan karena adanya
komplikasi kehamilan seperti DM, inkompatibilitas ABO dan Rh,
penggunaan obat (penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik dan
pengaruh obat-obat tertentu misalnya analgetik antipiretik (natrium salisilat,
genilbuta-on), antibiotic dengan golongan sulfa (sulfadiazine, sulfamoxazole),
cephalosporin (cefriaxon), penisilin (propicilin, cloxacilin), produksi ASI
yang kurang, dan ras/kelompok ternit tertentu seperti Asia, Native American,
dan Yunani.
Faktor perinatal karena adanya trauma persalinan pada bayi yang
diterima dalam atau karena proses kelahiran (trauma dapat terjadi sebagai
akibat keterampilan atau perhatian medik yang tidak pantas atau yang tidak
memadai sama sekali, atau dapat terjadi meskipun telah mendapat perawatan
kebidanan yang terampil dan kompeten dan sama sekali tidak ada kaitannya
dengan tindakan atau sikap orang tua yang acuh tak acuh sehingga
menimbulkan sefalhematoma) dan gangguan fungsi hati yang disebabkan
oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel
hati dan darah merah seperti infeksi bakteri, protozoa dan virus)
21

Sedangkan faktor neonatalnya terjadi karena berat badan lahir yakni


premature, adanya faktor genetic seperti gangguan pendengaran karena faktor
genetic pada umumnya berupa gangguan pendengaran bilateral tetapi dapat
pula asimetrik dan mungkin bersifat statis maupun progresif, adanya
polisitemia, terjadi hipoglikemia dan hipoalbiminemia (gangguan transportasi
akibat penurunan kapasitas pengangkutan) sehingga bisa mempengaruhi berat
badan bayi dan umur kehamilan ibu yang tidak normal pada bayi yang bisa
menimbulkan terjadinya hiperbilirubinemia. Kerangka teori tersebut
dimodifikasi dari Widyaningsih (2012) yang dapat dilihat sebagai berikut.
22

Faktor Risiko Ada beberapa komplikasi


Hiperbilirubinemia hiperbilirubinemia
(Widyaningsih, 2012) (Davies, 2011):
Faktor Maternal: a. Ensefalopati
Hiperbili bilirubin akut
1. Ras/kelompo
rubinemia b. Kerusakan
k etnik
neurologis
tertentu c. Kern-ikterus
2. Komplikasi d. Sindrom empedu
kehamilan pekat
3. Penggunaan e. Hepatitis
obat neonatorum akibat
4. ASI infeksi
Faktor Perinatal: f. Galaktosemia
1. Trauma jalan g. Asfiksia
lahir/jenis h. Hipoglikemia
persalinan i. Retardasi mental
j. Gangguan
2. Infeksi
metabolisme lipid
Faktor Neonatus: k. Hiperosmolaritas
1. Prematuritas darah
2. Faktor
genetik
3. Polisitemia
4. Obat
5. Hipoglikemia
6. Hipoalbumin
emia

Bagan 2.1
Kerangka Teori Kejadian Hiperbilirubinemia
Dimodifikasi dari Widyaningsih (2012) dan Davies (2011)
23

BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep
Konsep adalah suatu abstraksi yang dibentuk dengan
menggeneralisasikan suatu pengertian. Oleh sebab itu, konsep tidak dapat
diukur dan diamati secara langsung. Agar dapat diamati dan dapat diukur,
maka konsep tersebut harus dijabarkan ke dalam variable-variabel. Dari
variable itulah konsep dapat diamati dan diukur (Notoatmodjo, 2012).
Mengingat keterbatasan waktu serta dana, maka peneliti
mengembangkan suatu kerangka konsep penelitian yang hanya mengambil
dua variabel independen saja untuk diteliti yaitu berat badan lahir bayi dan
umur kehamilan ibu, sedangkan kejadian hiperbilirubinemia pada bayi
sebagai variabel dependen.
Adapun variabel penelitian ini secara skematis dapat digambarkan
pada kerangka konsep dibawah ini:
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Hubungan Berat Badan Lahir Bayi Dan Umur Kehamilan Ibu
Dengan Kejadian Hiperbilirubinemia Pada Bayi

Variabel Independen Variabel Dependen

Berat Badan Lahir


Kejadian Hiperbilirubinemia
pada Bayi
Umur Kehamilan
24

B. Definisi Operasional
No Definisi Cara Alat Skala
Variabel Hasil ukur
. Operasional ukur ukur ukur
1. Hiperbilirub Keadaan bayi Mencatat Checklist 1. Tidak Ordinal
inemia dengan kadar data hiperbilirubinemia
bilirubin rekam : jika bayi tidak
serum total medic terdiagnosa
>10 mg% hiperbilirubinemia
ditandai berdasarkan
ikterus rekam medik
2. Hiperbilirubinemi:
jika terdiagnosa
hiperbilirubinemia
berdasarkan
rekam medic
2. Berat badan Berat badan Mencatat Checklist 1. Normal : jika Ordinal
lahir bayi pada saat data berat badan lahir
bayi rekam bayi 2500-4000
dilahirkan medik gram
yang 2. Tidak normal: jika
dinyatakan berat badan lahir
dalam gram bayi <2500 dan
>4000 gram
(Arief, 2009)

3. Umur Ukuran lama Mencatat Checklist 1. Normal : jika Ordinal


kehamilan waktu data umur kehamilan
seorang janin rekam 37-42 minggu
berada dalam medik 2. Tidak normal: jika
25

rahim umur kehamilan <


37 minggu dan >
42 minggu
(Arief, 2009)

C. Hipotesis
1. Ada hubungan berat badan lahir bayi dengan kejadian hiperbilirubinemia
pada bayi di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Tahun 2014
2. Ada hubungan umur kehamilan ibu dengan kejadian hiperbilirubinemia
pada bayi di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Tahun 2014
26

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Menurut Notoatmodjo (2012), desain penelitian adalah susunan atau
rancangan yang dilakukan untuk perbandingan yang memenuhi syarat untuk
memperoleh hasil yang dapat dipercaya. Desain penelitian menggunakan
metode survey analitik dengan rancangan penelitian case control, yaitu suatu
penelitian (survey) analitik yang menyangkut bagaimana faktro risiko
dipelajari dengan menggunakan pendekatan retrospective. Dengan kata lain,
efek (penyakit atau status kesehatan) diidentifikasi pada saat ini, kemudian
faktor reisiko diidentifikasi ada atau terjadinya pada waktu yang lalu.
Variabel dependen penelitian ini adalah kejadian hiperbilirubinemia
pada bayi sedangkan variabel independen adalah berat badan lahir bayi dan
umur kehamilan ibu.

B. Populasi dan Sampel Penelitian


1) Populasi
Populasi penelitian adalah keseluruhan subjek penelitian atau
objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2012)
Populasi dalam penelitian ini adalah semua bayi yang dirawat di
Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Tahun 2014 sebanyak 2601
bayi
2) Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah objek yang diteliti dan dianggap
mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2012).
Sampel dalam penelitian ini adalah semua bayi yang mengalami
hiperbilirubinemia tercatat di rekam medik Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang Tahun 2014 yang berjumlah 95 responden dengan sebagian
bayi sehat yaitu sebanyak 95 responden (1:1).

26
27

Menurut Setiadi (2013) besar sampel untuk penelitian case control


adalah bertujuan mencari sampel minimal untuk masing-masing
kelompok kasus dan kelompok control, perbandingan jumlah kasus
terhadap kontrol pada sampel yang dikehendaki, apakah akan berbanding
1:1, 1:2, 1:3, 1:4, 1:5 atau angka lainnya. Pada penelitian ini membuat
perbandingan antara jumlah sampel kelompok kasus dan kelompok
control yaitu 1:1 dengan tujuan hasil yang lenih baik.
a. Kelompok kasus: bayi yang mengalami hiperbilirubinemia di Rumah
Sakit Muhammdiyah Palembang Tahun 2014
Kriteria inklusi kasus adalah: bayi yang mengalami hiperbilirubinemia
di Rumah Sakit Muhammdiyah Palembang Tahun 2014
b. Kelompok kontrol: bayi sehat yang berada di rekam medik Rumah
Sakit Muhammdiyah Palembang Tahun 2014
Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan Systematic
Random Sampling dengan cara membagi jumlah anggota populasi dengan
sampel untuk mendapatkan interval dalam penentuan sampel
(Notoatmodjo, 2012). Dengan rumus:

I=

Ket:
N (jumlah populasi)
n (sampel)
I (intervalnya)

I=

2601
I= = 27
95

Maka anggota populasi yang terkena sampel adalah setiap elemen


yang mempunyai nomor kelipatan 27 misalnya 1, 28, 55, 82, 109, 136,
163, 190, 217 dan seterusnya sampai mencapai 95 sampel
28

C. Lokasi dan Waktu Penelitian


1. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Muhammdiyah Palembang
2. Waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai pada

D. Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data ini dengan menggunakan data sekunder, yaitu: data
yang diperoleh dengan cara mencatat dan melihat data dari rekam medik di
Rumah sakit Muhammadiyah Palembang Tahun 2014 yang meliputi variabel
dependennya adalah kejadian hiperbilirubinemia pada bayi sedangkan
variabel independennya adalah berat badan lahir bayi dan umur kehamilan
ibu.

E. Instrumen Penelitian
Instrument pengumpulan data ini dengan menggunakan master tabel
dan daftar check list. Check list adalah suatu daftar untuk mencek yang
berisi nama subjek dan beberapa gejala serta indentitas lainnya dari sasaran
pengamatan (Notoatmodjo, 2012).
Instrument pengumpulan data penelitian ini menggunakan check list
dengan melihat data rekam medik Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang
F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan data
Menurut Notoatmodjo (2012) cara pengolahan data terdiri dari:
a. Editing (pengolahan data)
Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan dan perbaikan
isian pada formulir atau kuesioner apakah sudah lengkap, jelas,
relevan dan konsisten.
b. Coding (pengkodean data)
Yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data
angka atau bilangan
29

c. Entry data (memasukkan data)


Data, yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang
dalam bentuk kode (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam
program atau softwarare komputer.
d. Cleaning (pembersihan data)
Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai
dimasukkan, perlu di cek kembali.
2. Analisis data
a. Analisis univariat
Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat yang
dilakuakan untuk mengetahui distribusi, frekuensi (banyaknya sampel
yang terjadi) dan persentase dari tiap variabel independen (besrat
badan lahir bayi dan umur kehamilan ibu) dan variabel dependen
(hiperbilirubinemia pada bayi)
b. Analisis bivariat
Analisis yang digunakan untuk melihat hubungan antara dua variabel
dependen (hiperbilirubinemia pada bayi dengan variabel independen
(berat badan lahir bayi dan umur kahamilan ibu). Dengan uji chi
square (X2), menggunakan program komputer dengan = 0,1 dengan
batas kemaknaan value 0,1 ada hubungan bermakna antara
variabel dependen dengan variabel independen yang diuji, dan jika
value > 0,1 artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel
dependen dan variabel independen yang diuji.

G. Etika penelitian
Etika penelitian adalah harus memenuhi syarat administrasi atau izin
birokrasi untuk melakukan suatu penelitian, seperti mengurus surat izin
penelitian/pengambilan data dasar/perizinan yang dikeluarkan oleh suatu
instansi tertentu.
Pada penelitian, dimana peneliti hanya melakukan analisis terhadap
data yang telah tersedia atau data sekunder, peneliti tidak secara langsung
30

berhubungan dengan responden. Dalam hal ini tidak ada hubungan etika
antara peneliti dengan responden, sehingga tidak diperlukan inform concent
dari responden. Pengambilan data sekunder ini, dari aspek etika yang
diperlukan adalah surat izin dari institusi yang mempunyai data sekunder
tersebut (Notoatmodjo, 2012).
Penelitian ini dilakukan dengan perizinan dari Akademi Kebidanan
STIKes Muhammadiyah Palemabang dan Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang sebagai lokasi yang akan dijadikan tempat penelitian.

Anda mungkin juga menyukai