PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Metode kontrasepsi mantap terdiri dari dua macam yaitu Metode Operatif Wanita
(MOW) dan Metode Operatif Pria (MOP). Metode Operatif Wanita (MOW) atau
disebut dengan tubektomi adalah tindakan memotong tuba fallopii/tuba uterina.
Sedangkan Metode Operatif Pria (MOP) sering dikenal dengan vasektomi yaitu
tindakan memotong atau mengikat saluran vasdeferens (Meilani dkk, 2010).
Sterilisasi (tubektomi) merupakan salah satu cara KB modern yang paling efektif.
Keefektifan metode sterilisasi tidak perlu diragukan lagi (98,85%) asal dilakukan sesuai
dengan standar operasional prosedur yang telah ditetapkan. Di dalam pelaksanaan
program, animo masyarakat terhadap sterilisasi sangat kurang. Peserta sterilisasi sejak
program KB dicanangkan pada tahun 1970 hingga saat ini masih menunjukkan angka
yang sangat sedikit. Rendahnya proporsi peserta KB sterilisasi tentu saja tidak
memberikan kontribusi yang nyata terhadap penurunan angka kelahiran di Indonesia
(BKKBN, 2011).
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) memperlihatkan bahwa
pencapaian peserta KB mantap tubektomi hingga saat ini masih belum
menggembirakan. Hasil survei berskala nasional lain, yaitu Pemantauan PUS Melalui
Mini Survei Tahun 2010 menunjukan pencapaian peserta KB sterilisasi masih rendah
yaitu 2,2 % untuk tubektomi (BKKBN, 2011).
Peserta KB baru secara Nasional sampai dengan bulan Agustus 2012 sebanyak
6.152.231 peserta. Untuk peserta tubektomi hanya sekitar 1,42%. Mayoritas peserta KB
baru bulan Agustus 2012, didominasi oleh peserta KB yang menggunakan Non Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang (Non MKJP), yaitu sebesar 82,26% dari seluruh peserta
KB. Sedangkan peserta KB baru yang menggunakan metode jangka panjang seperti
IUD, MOW, MOP dan Implant hanya sebesar 17,74% (BKKBN, 2012).
Sekitar 180 juta wanita di seluruh dunia menggunakan tubektomi untuk mencegah
kehamilan yang tidak diinginkan, dengan lebih dari tiga-perempat akseptor tubektomi
berada di Cina dan India. Di Inggris pada tahun 2001, prevalensi tubektomi sebagai
metode kontrasepsi tinggi pada wanita yang lebih tua, diperkirakan 44% dari mereka
berusia antara 45-49 tahun. Namun, sekarang tampaknya mulai menurun sampai 30%
sejak tahun 1996, prevalensi vasektomi pada pria telah melampaui tubektomi di Inggris
secara keseluruhan (Glasier, Gebbie, 2008).
B. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari tubektomi
2. Mengetahui kekurangan dan kelebihan dari metode tubektomi
3. Mengetahui pelayanan yang harus diberikan kepada akseptor tubektomi
1
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian
Tubektomi adalah tindakan oklusi atau pengambilan sebagian saluran telur wanita
untuk mencegah proses fertilisasi. Setelah tubektomi fertilitas dari pasangan tersebut
akan terhenti secara permanen. Waktu yang terbaik untuk melakukan tubektomi pasca
persalinan yaitu tidak lebih dari 48 jam sesudah melahirkan karena posisi tuba mudah
dicapai oleh sub umbilicus dan rendahnya resiko infeksi. Bila masa 48 jam pasca
persalinan telah terlampaui maka pilihan untuk memillih tetap tubektomi, dilakukan
setelah 6-8 minggu persalinan atau pada masa interval (Saifuddin, 2007)
Tubektomi adalah setiap tindakan pada kedua saluran telur yang mengakibatkan
orang atau pasangan yang bersangkutan tidak akan mendapat keturunan lagi.
Kontrasepsi ini untuk jangka panjang dan sering disebut tubektomi atau sterilisasi
(Handayani, 2010).
Tubektomi adalah prosedur bedah sukarela untuk menghentikan fertilitas
(kesuburan) seorang perempuan yang dilakukan dengan cara eksisi atau menghambat
tuba fallopi yang membawa ovum dari ovarium ke uterus. Tindakan ini mencegah ovum
dibuahi oleh sperma di tuba falopii (Everett, 2008)
Tubektomi atau juga dapat disebut dengan sterilisasi merupakan tindakan penutupan
terhadap kedua saluran telur kanan dan kiri yang menyebabkan sel telur tidak dapat
melewati saluran telur, dengan demikian sel telur tidak dapat bertemu dengan sperma
laki laki sehingga tidak terjadi kehamilan, oleh karena itu gairah seks wania tidak akan
turun (BKKBN, 2008)
2. Kekurangan
Berdasarkan Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, kekurangan dari
tubektomi antara lain:
a. Metode ini merupakan metode kontrasepsi permanen yang tidak dapat
dipulihkan kembali, kecuali dengan operasi rekanalisasi
2
b. Anda mungkin akan menyesal di kemudian hari karena memilih metode ini.
Ini bisa terjadi jika anda belum memiliki keyakinan yang benar-benar mantap
memilih metode ini.
c. Akan mengalami rasa sakit dan ketidaknyamanan jangka pendek setelah
dilakukan pembedahan
d. Risiko komplikasi dapat meningkat jika dilakukan anestesi umum
e. Dibutuhkan dokter spesialis ginekologi atau dokter spesialis bedah jika yang
dilakukan adalah proses laparoskopi
f. Tidak dapat melindungi anda dari infeksi menular seksual, termasuk
HIV/AIDS.
C. Sasaran Tubektomi
1. Yang dapat Menjalani Tubektomi
a. Usia >26 tahun
b. Memiliki keturunan > 2
c. Yakin telah mempunyai besar keluarga yang sesuai dengan kehendaknya
d. Pada kehamilannya akan menimbulkan risiko kesehatan yang serius
e. Pasca persalinan
f. Pasca keguguran
g. Paham dan secara sukarela setuju dengan prosedur ini
3
E. Penapisan Klien Metode Operasi Tubektomi
Operasi abdomen
Riwayat operasi Bekas secsio sesaria (tanpa lainya,perlekatan atau
abdomen/panggul. perlekatan). terdapat kelaianan pada
pemerikaan panggul.
Riwayat radang
Pemeriksaan dalam ada
panggul, hamil Pemeriksaan dalam normal
kelainan.
ektopik, apendisitis.
Anemia HB 8g% HB < 8g%
Sumber: (Buku Panduan Pelayanan Kontrasepsi, 2006)
4
komplikasi). Laparoskopi dapat digunakan dengan anastesi lokal dan
diperlakukan sebagai klien rawat jalansetelah pelayanan.
G. Prosedur Tubektomi
1. Minilaparotomi
a. Konseling prabedah
1) Kenalkan diri anda dan sapa klien dengan hangat.
2) Tanyakan klien tentang jumlah anak dan riwayat obstetrinya
3) Telaah cataan medik untuk kemungkinan kontraindikasi.
4) Jelaskan tentang teknik operasi yang akan dilakukan
5) Jelaskan bahwa operasi akan berjalan singkat.
Langkah 2 : suntikkan secara infiltrasi -4 cc anestesii lokal (lignokain 1%) pada tempat
insisi, lapis demi lapis sampai fasia, tunggu 2 menit dan nilai efek anestessi .
Langkah 3 : lakukan insisi melintang pada kult dan jaringan subkutan sepanjang 2-3 cm
tepat di bawag pusat.
Langkah 4 : insisi lapis demi lapis sampai hampir menembut peritoneum kemudian
peritoneum dijepit dengan 2 klem, transiluminasi untuk identifikasi dengan
gunting selebar jari sehingga bisa di masukki jari telunjuk dan sebuah tampon
tang
Bila fundus uteri di bawah pusat, insisi membujur setnggi 2 jari di bawah fundus
sepanjang 2-3 cm sampai mencapai fasia. Setelah fasia diinsisi kemudian muskular rektus
abdominis dilakukan dengan jari telunjuk atau kleam arteri sehingga tampak peritoneum.
Jepit peritoneum dengan 2 buah klem, transiluminasi untukidentifikasi dengan gunting
peritoneum secara membujur
Mencapai tuba
Langkah 5 : masukkan retraktor ke dalam rongga abdomen, tarik retraktor ke arah tuba
,yang akan di capai
Langkag 6 : jepit dengan pingset atau klem dan tarik perlahan-lahankeluar melalui lubang
insisi sampai terlihat fimbriae.
5
Langkah 7 : bila tuba tertutup omentum atau usu, sisihkan dengan menggukan kasa bulat
yang di jepit klem arteri dan posisi klien trendelenbred.
Langkah 9 : tusukkan jarum bulat dengan benang catgut no 0 jarak 2 cm dari puncak
lengkungan dan ikat salah satu pangkal lengkungan.
Langkah 10 : ikat kedua pangkal lengkungan tuba secara bersamaan menggunakan benang
yang sama.
Langkah 11 : potong tuba tepat diatas ikatan benang.
Langkah 12 : periksa pendarahan pada tunggul tuba dan pariksa lumen tuba untuk
meyakinkan tuba telah terpotong.
Langkah 13 : potong benang 1 cm dari tuba dab masukkan kembali tuba ke dalam rongga
perut.
Langkah 14 : lakukan tindakkan yang sama pada tuba sisi yang lain.
Langkah 16 : jahit fasia dengan jahitan simpul atau angka 8 memakai benang kromik catgut
no 1.
Langkah 17 : jahit subkutis dengan jahitan sipul memakai plain catgut no 0
Langkah 18 : jahit kulit dengan jahitan simpul memakai benang sutera no 0
Langkah 20 : periksa tekanan darah, nadi dan pernafasan dan tanyakan pada klien tentang
keluah subjektif.
Langkah 21 : pindahkan klien dari ruang operasi ke ruang pulih untuk mengamati1 jam
Langkah 22 : intruksikan perawat unruk mengamati tanda-tanda vital klien.
Dekontaminasi
Langkah 23 : bersihkan sarung tangan dalam larutan klorin 0,5 %, biarkan terendam dalam
larutan tersebut selama 10 menit.
Langkah 24 : lepaskan gaun operasi, topi serta masker dan taruh pada tempat yang tersedia.
Langkah 25 : cuci lengan dengan air mengalir
6
Langkah 26 : periksm seluruh peralatan operasi yang telah dipakai dan direndam dalam
larutan klorin 0,5% selama 10 menit
Langkah 27 : periksa tabungdan jarum suntik yang telaah di pakai di rendam dalam larutan
klorin 0,5% dan ditempatkan terpisah dari peralatan.
Langkah 28 : pariksa kasa dan lain-lain sudah terkontaminasi dari darah pasien.
2. Laparoskopi
Pneumoperitoneum
Langkah 1 : Instruksikan teknisi untuk menempatkan klien dalam posisi kepala ke bawah
(trendelenberg)dengansudut 60 % .
Langkah : Dengan menggunakan ujung pisau bedah (skapel) buatsayatan kecil, sekitar
1,5 cm, pda kulit di sepanjang pinggiran margin umbilikal inferior.
Langkah 4 : Ambil batang jarum varres dan insersikan melalui sayatan tersebut pada
sudut 45 menujupelvis. Dua bagian merupakan bagian lepas yang berbeda
akan terasa pada saat fasia terpenetrasi dan tonium dengan gas CO2 dialirkan.
Langkah 5 : Hubungkan selang insuflator pada stop cock jarumverres. Minta teknisi
untuk menyambungkan ujung yang lain ke unit insuflator .
Langkah 6 : Periksa apakah abdomen telah dimasuki dengan benar dengan menggunakan
alat ukur tekanan pada unit insuflator untuk memeriksa tekanan negatif intra
abdomen (cara lain, tempatkan setetes anastesi pada bukaan luer-lok jarum
verres dan perhatikan perembesannya ketika dinding abdomen diangkat
secara maual).
Langkah 7 : Gunakan tombol aliran tinggi dari unit insuflator untuk memasukkan gas
CO2 pada kecepatan 1 liter per menit.
7
Langkah 8 : Mulailah insuflati abdomen.
Langkah 9 : Ketuk-ketuk abdomen bagian bawah dan dengarkan apakah terdapat suara
seperti drum yang mengindikasi terbentuknya pneumoperitoneum dengan
sempurna.
Langkah 10 : Lepas jarum verres setelah memasukkan 1,5 2,0 liter CO2 ata setalah
abdomen bagian bawah mencapai ukuran seperti hamil 20 minggu.
Langkah 11 : Minta perawat untuk mengisi cincin fallopii
Akses Abdomen
Langkah 1 : periksa katup terompet dan seal karet dari lengan trokar untuk memastikan
bahwa alat tersebut hampa udara.
Langkah2 : perluas sayatan awal hingga mencapai lebar sekitar 2 cm.
Langkah : rakit unit trokar dengan memasukkan trokar ke dalam lengan trokar
Langkah 4 : ambil dinding abdomen anterior yang langsung berda di bawah umbilikus
dan angkat.
Langkah 5 : tahan trokar yangtelahdi rakit pada tangan yang dominan, pastikan bahwa
thenar eminence berada di ujung atas trokar.
Langkah 6 : miringkan pegangan trokar menuju kepla dengan sudut 60-70 dengan
mengarahkan ujung trokar ke sebuah titik khayalan di tempat kantung
douglas berada. Aplikasikan gaya ke bawah dan memelintir untuk
membaikkan fasia dan peritoneum. Hentikan setelah melepas perotoneum.
Langkah 7 : tarik trokar sedikit dan majukan lengan trokatr 1-2 cm ke dalam rongga
abdomen. Lepas tanpa melepas lengan trokar.
Langkah 8 : hubungkan selang insuflator ke stop cock trokar dan buka. Masukkan udara
sesuai dengan kebutuhan.
Langkah 9 : hubungkan kabel cahaya fiber optic ke laprokator dan minta teknisi untuk
menyalakan sumber cahaya.
Langkah 10 : tahan mekanisme katup terompet trokardi antara jari tengan dan thenar
eminence dari tangan yang tidak dominan dengan posisi telapan tangan
menghadap ke bawah.
Langkah 11 : tahan bagian hand grip laprokator dengan menggunakan ibu jari tengah dan
jari manis dari tangan yang dominan, biarkan telunjuk bebas.
Langkah 12 : masukkan ujung laprokator ke dalam lengan trokar. Buka katup terompet dan
masukkan laprokator perlahan-lahan secara dilihat langsung, lakukan
manuver unit laprokator trokar menuju ronggapelvis.
Langkah 13 : periksa dan identifikasi struktur rongga pelvis
8
Oklusi Tuba
Langkah 1 : Pastikan lokasi dan lakukan konfirmasi saluran tuba fallopi dengan melacak
saluran tuba dari kornu sampai ujungfimbria
Langkah 2 : Buka ujung forsep secara penuh dengan menekan trigger operating side
(pemici/pelatuk) menjauhi hand grip
Langkah 3 : Tempatkan ujung posterior di bawah aspek inferior tuba sekitar 3 cm dari
kornu. Perlahan-lahan tarik ujung forsep dengan menarik operating side
(pemici/pelatuk) menuju hand grip. Gerakkan laprokator ke depan selama
penarikan ujung forsep untuk mengurangi resiko laserasi atau cedera pada
tuba. Lanjutkan penarikan sampai tegangan pegas terasa
Langkah 4 : Dengan menggunakan telunjuk periksa bahwa adaptor cincin (ring) berada
dalam posisi #1 tanpa melepas pandangan dari teropong laprokator. Berikan
tekanan tambahan operating slide untuk mengatasi tegangan pegas dan untuk
melepas cincin falopi(falope ring). Perlahan-lahan dorong operating slide
untuk membuka ujung-ujung forsep dan lepas saluran tuba falopi yang telah
di tutupi tersebut.
Langkah 7 : Tempatkan dua adaptor cincin (ring adaptor) di posisi #2. Ulangi langkah 2-
5 untuk menyumbat saluran tuba.
Langkah 8 : Periksa rongga pelvis untuk melihat adanya perdarahan dan cedera organ
lain.
Langkah 9 : Lepas laprokator dari rongga perut dan matikan sumber cahaya eksternal.
Biarkan kantup terompet (trumpet valve) tokar ujung terbuka untuk
mengempiskan abdomen. Lepas trokar, goyangkan sesuai dengan kebutuhan
untuk membantu omentum jauh. Kembalikan posisi meja operasi dari posisi
trendelenberh ke posisi horizontal.
Langkah 10 : Tutup sayatan dengan jahitan tunggal, sederhana dengan menggunakan catgur
kromik. Beri antiseptic dan balut luka tersebut
9
Langkah 2 : Pastikan bahwa klien dipindahkan dengan aman ke ruang
pascabedah(pemulihan)
Langkah 3 : Pastikan bahwa jarum ditangani dengan seharusnya. Jika jarum akan
digunakan kembali, pastikan bahwa perawat mengisi spuit (dengan jarum
masih terpasang) dengan larutan klorin 0,5% dan rendam spuit dan jarum
tersebut selama 10 menit. Jika jarum dan spuit akan dibuang, pastikan bahwa
perawat telah membilasnya dengan larutan klorin tiga kali dan
menyimpannya di wadah yang tahan bocor atau tusukan jarum. Cara lain
adalah dengan membuang jarum dan spuit dalam wadah yang tidak dapat
tertusuk oleh jarum. Tempatkan semua instrument dalam larutan klorin 0,5%
untuk dekontaminasi dan rendam selama 10 menit.
Langkah 4 : Jika mata pisau scalpel akan dibuang maka ambil scalpel dari larutan klorin.
Kemudian lepas mata pisau dengan menggunakan forsep dan simpan dalam
wadah yang tidak dapat ditembus benda tajam. Buang bahan-bahan limbah
dengan cara menempatkannya dalam wadah tahan bocor atau kantung
plastic.
Langkah 5 : Rendam sebentar sarung tangan yang masih melekat pada tangan dalam
larutan klorin 0,5%. Lepaskan sarung tangan dalam keadaan terbalik. Jika
sarung tangan akan dibuang, tempatkan dalam wadahtahan bocor atau
kantung plastic. Jika sarung tangan akan di gunakan kembali, rendam dalam
klorin selama 10 menit.
Langkah 6 : Cuci tangan dengan seksama menggunakan sabun dan air lalu keringkan
dengan handuk kering dan bersih atau biarkan kering oleh udara
Langkah 7 : Pastikan bahwa klien dimonitor pada interval yang teratur dan tanda tanda
vital diukur.
Langkah 8 : Tentukan kapan klien siap untuk pulang (setidaknya 1-2 jam setelah
pemberian obat-obatan IV)
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tubektomi adalah tindakan oklusi atau pengambilan sebagian saluran telur wanita
untuk mencegah proses fertilisasi. Setelah tubektomi fertilitas dari pasangan tersebut
akan terhenti secara permanen. Waktu yang terbaik untuk melakukan tubektomi pasca
persalinan yaitu tidak lebih dari 48 jam sesudah melahirkan karena posisi tuba mudah
dicapai oleh sub umbilicus dan rendahnya resiko infeksi. Bila masa 48 jam pasca
persalinan telah terlampaui maka pilihan untuk memillih tetap tubektomi, dilakukan
setelah 6-8 minggu persalinan atau pada masa interval (Saifuddin, 2007)
Pelaksanaan pelayanan tubektomi dilakukan dengan tindakan operasi, yang mana
terdapat 2 teknik operasi yang dikenal dan sering digunakan dalam pelayanan
tubektomi, aitu minilaparotomi dan laparoskopi. Teknik ini menggunakan anestesi lokal
dan ila dilakukan secara benar, kedua teknik tersebut tidak banyak menimbulkan
komplikasi pasca-bedah (Buku Panduan Pelayanan Kontrasepsi, 2006)
11