Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

ACUTE KIDNEY INJURY

Pembimbing :

dr. H. Wasis Santoso, Sp. PD

Disusun Oleh :

Nama : Inez Hanindra Halim

NIM : 2013730055

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RS ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Acute Kidney Injury (AKI) atau Gangguan Ginjal Akut (GGA) sebelumnya dikenal
sebagai Acute Renal Failure atau Gagal Ginjal Akut yang ditandai dengan gangguan fungsi
ginjal yang menyimpan nitrogen dan produk lainnya yang biasanya dibersihkan oleh ginjal.
AKI bukan penyakit tunggal tapi sebaliknya, yaitu sebutan untuk kelompok berbagai kelainan
yang terbagi fitur diagnostiknya secara umum: secara khusus, peningkatan dalam konsentrasi
blood urea nitrogen (BUN) dan / atau peningkatan konsentrasi plasma atau serum kreatinin
(SCr), sering dikaitkan dengan pengurangan volume urin. Tingkat keparahan AKI dapat dilihat
dari asimtomatik dan perubahan pada parameter laboratorium laju filtrasi glomerular (GFR).1

Insidens di negara berkembang, khususnya di komunitas, sulit didapatkan karena tidak


semua pasien AKI datang ke rumah sakit. Diperkirakan bahwa insidens nyata pada komunitas
jauh melebihi angka yang tercatat. Peningkatan insidens AKI antara lain dikaitkan dengan
peningkatan sensitivitas kriteria diagnosis yang menyebabkan kasus yang lebih ringan dapat
terdiagnosis (Lameire, 2006; Waikar, 2006). Beberapa laporan dunia menunjukkan insidens
yang bervariasi antara 0,5-0,9% pada komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawat di rumah
sakit, hingga 20% pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU), dengan angka
kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia berkisar 25% hingga 80%.

AKI telah menarik perhatian dengan adanya pengakuan bahwa perubahan kecil dalam
fungsi ginjal mungkin memiliki efek yang serius dalam diagnosa akhir. Meskipun kemajuan
dalam diagnosis dan staging AKI dengan emergensi biomarker menginformasikan kepada kita
tentang mekanisme dan jalur dari AKI, tetapi kita belum bisa tahu bagaimana AKI
berkontribusi terhadap peningkatan mortalitas dan morbiditas pada pasien rawat inap.
Perkembangan deteksi dini dan manajemen AKI telah sangat ditingkatkan melalui
pengembangan definisi universal dan spektrum staging. Cedera AKI berubah dari bentuk
kurang parah menjadi staging severe injury, dimana gagal ginjal akut mungkin memerlukan
terapi pengganti ginjal.
Gangguan Ginjal Akut Berat (GGA Acute Kidney Injury AKI) yang memerlukan
dialisis, mempunyai mortalitas tinggi melebihi 50%. Nilai ini sangat tinggi apabila disertai
dengan kegagalan multi organ. Walaupun terdapat perbaikan yang nyata pada terapi penunjang,
angka mortalitas belum banyak berkurang karena penyakit dasar yang berat seperti trauma,
sepsis, usia pasien makin tua dan pasien tersebut juga menderita penyakit kronik lainnya.

Adanya pasien yang sembuh atau membaik dari penurunan fungsi ginjal yang
mendadak menunjukkan terdapat derajat dari GGA dari ringan sampai berat. GGA dapat terjadi
oleh bermacam sebab. Perbedaan geografis juga dapat menentukan sebab dari GGA misalnya
dinegara maju GGA terjadi pada orang tua terutama pada usia lanjut sedangkan di negara
berkembang lebih kerap timbul pada usia muda dan anak-anak misalnya karena karena malaria
dan gastroenteritis akut.

Perubahan istilah GGA AKI menyebabkan :

1. Makna perubahan nilai serum kreatinin yang sedikit meninggi dapat menyebabkan kondisi
yang lebih berat.
2. Istilah gangguan (injury) lebih tepat dalam memberikan pengertian patofisiologi penyakit
daripada istilah gagal (failure).
3. Dipahami adanya tahap-tahap dari GGA.

Tabel 1. Klasifikasi RIFLE


Kategori RIFLE Kriteria Kreatinin Serum Kriteria UO
(A) The Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) criteria for the definition and classification
of AKI (i.e RIFLE criteria)
Risk Kenaikan kreatinin serum < 0.5 mL/kg/jam for 6/jam
1.5x nilai dasar atau
penurunan GFR 25%
Injury Kenaikan kreatinin serum <0.5 mL/kg/ jam atau
2.0x 5x nilai daar atau 12/jam
penurunan GFR 50%
Failure 5x nilai dasar atau penurunan <0.3 mL/kg/ jam 24 jam
GFR 75% or an
Anuria 12 jam
Nilai absolut kreatinin serum
4 mg dengan peningkatan
mendadak minimal 0.5 mg
AKIN criteria Kriteria kreatinin serum Kriteria UO

Tabel 2. Klasifikasi AKIN


Tahap Kriteria Kreatinin Serum Kriteria Produksi Urin
1 Kenaikan kreatinin serum < 0.5 ml/kg/jam selama > 6
0.3 mg/dL [ 26.4 mol/l jam
atau kenaikan 150% -
200% (1.5-2 x lipat) dari nilai
dasar ]
2 Kenaikan kreatinin serum > < 0.5 ml/kg per jam selama >
200% - 300% (< 2 3x lipat) 12 jam
dari nilai dasar
3 Kenaikan kreatinin serum > < 0.3 ml/kg/jam selama > 24
300% (>3x lipat) dari nilai jam atau anuria 12 jam
dasar (or serum creatinine of
more than or equal to 4.0
mg/dL [354 mol/l] with an
acute increase of at least 0.5
mg/dL [44mol/l])

Klasifikasi ini menilai tahap GGA dari nilai kreatinin serum dan diureis. Kemudian ada
upaya dari kelompok Acute Kidney Injury Network (AKIN) untuk mempertajam kriteria
RIFLE sehingga pasien GGA dapat dikenali lebih awal. Klasifikasi ini lebih sederhana dan
memakai batasan waktu 48 jam. Disadari bahwa GGA merupakan kelainan yang kompleks,
sehingga perlu suatu standar baku untuk penegakan diagnosis dan klasifikasinya dengan
bedasarkan kriteria RIFLE. Atas sistem ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Kriteria AKIN dapat meningkatkan insidens GGA tahap awal, walaupun belum cukup
untuk perbaikan prognsis dibandingkan dengan kriteria RIFLE.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi GGA

Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan kadar kreatinin
serum > 0.3 mg/dl ( 26.4 mo/l), presentasi kenaikan kreatinin serum 50% (1.5 x kenaikan
nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria yang tercatat 0.5 ml/kg/jam dalam
waktu lebih dari 6 jam).

Kriteria diatas memasukan baik nilai absolut maupun nilai presentasi dari perubahan
kreatinin untuk menampung variasi yang berkaitan dengan umur, gender, indeks masa tubuh
dan mengurangi kebutuhan untuk pengukuran nilai basal kreatinin serum dan hanya diperlukan
2x pengukuran dalam 48 jam. Produksi air seni dimasukan sebagai kriteria karena mempunyai
prediktif dan mudah diukur. Kriteria di atas harus memperhatikan adanya obstruksi saluran
kemih dan sebab-sebab oliguria lain yang reversible. Kriteria diatas diterapkan berkaitan
dengan gejala klinik dan pasien sudah mendapat cairan cukup.

Perjalanan GGA dapat :

1. Sembuh sempurna
2. Penurunan faal ginjal sesuai dengan tahap-tahap GGK (CKD tahap 1-4)
3. Eksaserbasi berupa naik turunnya progresivitas GGK / CKD tahap 1-4
4. Kerusakan tetap dari ginjal (GGK, CKD tahap 5) hal ini dapat dilihat di gambar berikut.
II.2 EPIDEMIOLOGI

Acute Kidney Injury lebih sering terjadi tetapi insidennya tergantung dari defenisi yang
digunakan dan dalam penelitian populasi. Dalam suatu penelitian di Amerika, terdapat 172
kasus acute kidney injury (konsentrasi serum kreatinin lebih dari 500 mikromol/L) dalam per
juta orang dewasa setiap tahun, dengan 22 kasus per juta yang mendapat dialisis akut. AKI
lebih sering terjadi pada umur tua. AKI prerenal dan nekrosis tubular akut iskemik terjadi
bersamaan sekitar 75% pada kasus AKI.

II.3 ANATOMI

3.1 Makroskopis

Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium


(retroperitoneal), didepan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar (transversus abdominis,
kuadratus lumborum dan psoas mayor) di bawah hati dan limpa. Di bagian atas (superior)
ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga disebut kelenjar suprarenal). Kedua ginjal terletak di
sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal pada orang dewasa berukuran panjang 11-12 cm, lebar
5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, kira-kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat kedua ginjal
kurang dari 1% berat seluruh tubuh atau kurang lebih beratnya antara 120-150 gram.

Bentuknya seperti biji kacang, dengan lekukan yang menghadap ke dalam. Jumlahnya
ada 2 buah yaitu kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya
ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjal wanita. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit ke
bawah dibandingkan ginjal kiri untuk memberi tempat lobus hepatis dextra yang besar. Ginjal
dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kedua ginjal dibungkus
oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu meredam
guncangan.

Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat cortex
renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang
berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut yang
disebut pyramid renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang
kecil disebut papilla renalis.

Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya
pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis berbentuk corong yang
menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga kaliks renalis major yang
masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga kaliks renalis minor. Medulla terbagi
menjadi bagian segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh bagian
korteks dan tersusun dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila atau
apeks dari tiap piramid membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari kesatuan bagian
terminal dari banyak duktus pengumpul.

3.2 Mikroskopis

Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta buah pada
tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman,
tumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan tubulus kontortus
distal, yang mengosongkan diri keduktus pengumpul.

Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat sebagai saringan
disebut glomerulus. Darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan disaring sehingga
terbentuk filtrat (urin yang masih encer) yang berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian
dialirkan melalui pipa/saluran yang disebut tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran
ureter, kandung kencing, kemudian ke luar melalui uretra. Nefron berfungsi sebagai regulator
air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian
mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya
akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran
lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin.

3.3 Vaskularisasi ginjal

Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra lumbalis
II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena cava inferior yang terletak disebelah kanan
garis tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri
interlobaris yang berjalan diantara piramid selanjutnya membentuk arteri arkuata kemudian
membentuk arteriola interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteri interlobularis
ini kemudian membentuk arteriola aferen pada glomerulus.

Glomeruli bersatu membentuk arteriola aferen yang kemudian bercabang membentuk


sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan disebut kapiler peritubular. Darah yang
mengalir melalui sistem portal ini akan dialirkan kedalam jalinan vena selanjutnya menuju
vena interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris, dan vena renalis untuk akhirnya mencapai
vena cava inferior. Ginjal dilalui oleh sekitar 1200 ml darah permenit suatu volume yang sama
dengan 20-25% curah jantung (5000 ml/menit) lebih dari 90% darah yang masuk ke ginjal
berada pada korteks sedangkan sisanya dialirkan ke medulla. Sifat khusus aliran darah ginjal
adalah otoregulasi aliran darah melalui ginjal arteiol afferen mempunyai kapasitas intrinsik
yang dapat merubah resistensinya sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah arteri
dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus tetap konstan.

3.4 Persarafan pada ginjal

Menurut Price (1995) Ginjal mendapat persarafan dari nervus renalis (vasomotor),
saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk kedalam ginjal, saraf ini berjalan
bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal.

II.4 FISIOLOGI
Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak. Tugasnya
memang pada dasarnya adalah menyaring/membersihkan darah. Aliran darah ke ginjal
adalah 1,2 liter/menit atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring menjadi cairan filtrat
sebanyak 120 ml/menit (170 liter/hari) ke tubulus. Cairan filtrat ini diproses dalam tubulus
sehingga akhirnya keluar dari ke-2 ginjal menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari.

Fungsi ginjal adalah

a. Memegang peranan penting dalam pengeluran zat-zat toksin atau racun


b. Mempertahankan keseimbangan cairan tubuh
c. Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh
d. Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak
e. Mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang
f. Produksi hormon yang mengontrol tekanan darah
g. Produksi hormon erythropoietin yang membantu pembuatan sel darah merah

Tahap Pembentukan Urine :

1. Filtrasi Glomerular

Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti kapiler tubuh
lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat impermiabel terhadap protein plasma yang
besar dan cukup permabel terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam
amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar
25% dari curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar
125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi
glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk ke kapsula bowmans disebut
filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus
dan kapsula bowmans, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah
filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowmans serta
tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-
tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler.
2. Reabsorpsi
Zat-zat yabg difiltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit, elektrolit, dan air.
Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorbsi selektif zat-zat tersebut kembali lagi zat-
zat yang sudah di filtrasi.

3. Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfer aktif molekul-molekul dari aliran darah melalui tubulus
kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi secara alamiah dalam tubuh
(misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat
dan kalium serta ion-ion hidrogen. Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier
yang juga telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini,
setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi dan sebaliknya.
Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan ekstratubular (CES)
dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium).
II.5 Etiologi dan Klasifikasi Gagal Ginjal

Dahulu AKI dikategorikan sebagai anurik, oligurik, dan nonoligurik. Namun


penggolongan yang lebih praktis kini didasarkan pada lokasi yang menunjukkan lokasi
abnormalitas, yaitu pra-renal, renal/intrinsik, dan post-renal/ pasca renal. AKI pra-renal (gagal
ginjal sirkulatorik) disebabkan oleh sebab-sebab sistemik seperti dehidrasi berat, perdarahan
masif, dimana kedaan-keadaan ini sangat menurunkan aliran darah ke ginjal dan tekanan
perfusi kapiler glomerulus yang mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR). AKI
renal (gagal ginjal intrinsik) terjadi apabila ada jejas pada parenkim ginjal, sebagai contoh
glomerulonefritis akut (GNA) atau nekrosis tubular akut (ATN).
AKI pascarenal disebabkan oleh uropati obstruktif akut. Riwayat penyakit, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan laboratoris dapat mengklasifikasi serta mendiagnos AKI.

Penyebab pre-renal adalah hipoperfusi ginjal, ini disebabkan oleh :


1. Hipovolemia, penyebab hipovolemi misalnya pada perdarahan, luka bakar, diare,
asupan kurang, pemakaian diuretik yang berlebihan. Kurang lebih sekitar 3% neonatus
masuk di ICU akibat gagal ginjal prerenal.
2. Penurunan curah jantung pada gagal jantung kongestif, infark miokardium, tamponade
jantung, dan emboli paru.
3. Vasodilatasi perifer terjadi pada syok septic, anafilaksis dan cedera, dan pemberian obat
antihipertensi.
4. Gangguan pada pembuluh darah ginjal, terjadi pada proses pembedahan, penggunaan
obat anestesi, obat penghambat prostaglandin, sindrom hepato-renal, obstruksi
pembuluh darah ginjal, disebabkan karena adanya stenosis arteri ginjal,embolisme,
trombosis, dan vaskulitis.
5. Pada wanita hamil disebabkan oleh sindrom HELLP, perlengketan plasenta dan
perdarahan postpartum yang biasanya terjadi pada trimester 3.

Penyebab gagal ginjal pada renal (gagal ginjal intrinsik) dibagi antara lain :
1. Kelainan pembuluh darah ginjal, terjadi pada hipertensi maligna, emboli kolesterol,
vaskulitis, purpura, trombositopenia trombotik, sindrom uremia hemolitik, krisis ginjal,
scleroderma, dan toksemia kehamilan.
2. Penyakit pada glomerolus, terjadi pada pascainfeksi akut, glomerulonefritis, proliferatif
difus dan progresif, lupus eritematosus sistemik, endokarditis infektif, sindrom
Goodpasture, dan vaskulitis.
3. Nekrosis tubulus akut akibat iskemia, zat nefrotksik (aminoglikosida, sefalosporin,
siklosporin, amfoterisin B, aziklovir, pentamidin, obat kemoterapi, zat warna kontras
radiografik, logam berat, hidrokarbon, anaestetik), rabdomiolisis dengan
mioglobulinuria, hemolisis dengan hemoglobulinuria, hiperkalsemia, protein mieloma,
nefropati rantai ringan,
4. Penyakit interstisial pada nefritis interstisial alergi (antibiotika, diuretic, allopurinol,
rifampin, fenitoin, simetidin, NSAID), infeksi (stafilokokus, bakteri gram negatif,
leptospirosis, bruselosis, virus, jamur, basil tahan asam) dan penyakit infiltratif
(leukemia, limfoma, sarkoidosis).

Penyebab gagal ginjal post-renal dibagi menjadi dua yaitu terjadinya :


1. Sumbatan ureter yang terjadi pada fibrosis atau tumor retroperitoneal, striktura bilateral
pascaoperasi atau radiasi, batu ureter bilateral, nekrosis papiler lateral, dan bola jamur
bilateral.
2. Sumbatan uretra, hipertrofi prostate benigna, kanker prostat, striktura ureter, kanker
kandung kemih, kanker serviks, dan kandung kemih neurogenik.
Klasifikasi

Berdasarkan jumlah produksi urin, dibedakan 3 fase:


1. Fase anuria: produksi urin < 100 ml/24 jam.

2. Fase oliguria: produksi urin < 400 ml/24 jam

3. Fase poliuria: produksi urin > 3500 ml/24 jam.

Berdasarkan derajat beratnya penyakit yang timbul, diklasifikasikan menjadi: (8)


GGA simpel/tanpa komplikasi (uncomplicated ARF): Tidak dijumpai adanya penyakit
penyerta ( komorbiditas ) dan juga tidak terdapat komplikasi. Angka kematian pada tipe
ini berkisar antara 7- 23%.
GGA berat (complicated ARF): Pasien umumnya dirawat di unit perawatan intensif
karena mengalami penyulit seperti sepsis, perdarahan, penurunan kesadaran, dan gagal
napas. Angka kematian sangat tinggi, mencapai 5080% .
Tabel 3. Klasifikasi GGA menurut The Acute Dialysis Quality Initiations Group
Kriteria laju filtrasi glomerulus Kriteria jumlah urine
Risk Peningkatan serum kreatinin 1,5 kali < 0,5 ml/kg/jam selama 6
Injury Peningkatan serum kreatinin 2 kali jam
Failure Peningkatan serum kreatinin 3 kali atau
kreatinin 355 mol/l < 0,5 ml/kg/jam selama 12
Loss Gagal ginjal akut persisten, kerusakan total jam
fungsi ginjal selama lebih dari 4 minggu < 0,5 ml/kg/jam selama 24
ESRD Gagal ginjal terminal lebih dari 3 bulan jam
atau anuria selama 12 jam

Faktor Resiko

Gagal ginjal akut hampir selalu terjadi sehubungan dengan kondisi medis lain atau keadaan
lainnya. Kondisi yang dapat meningkatkan risiko gagal ginjal akut antara lain :

Dirawat di rumah sakit, terutama untuk kondisi serius yang memerlukan perawatan
intensif

usia lanjut

Penyumbatan pada pembuluh darah di lengan atau kaki (penyakit arteri perifer)

diabetes

Tekanan darah tinggi

gagal jantung

penyakit-penyakit ginjal

penyakit hati

II.6 Patofisiolgi
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Setiap nefron terdiri dari kapsula
Bowman yang mengitari kapiler glomerolus, tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, dan
tubulus kontortus distal yang mengosongkan diri ke duktus pengumpul.
Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus relatif konstan
yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. Dua mekanisme yang berperan
dalam autoregulasi ini adalah :
Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vascular arteriol aferen
Timbal balik tubuloglomerular
Selain itu norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat mempengaruhi
autoregulasi. Pada gagal ginjal pre-renal yang utama disebabkan oleh hipoperfusi ginjal. Pada
keadaan hipovolemi akan terjadi penurunan tekanan darah, yang akan mengaktivasi
baroreseptor kardiovaskular yang selanjutnya mengaktifasi sistim saraf simpatis, sistim rennin-
angiotensin serta merangsang pelepasan vasopressin dan endothelin-I (ET-1), yang merupakan
mekanisme tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta perfusi
serebral. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran darah
ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferent yang dipengaruhi
oleh reflek miogenik, prostaglandin dan nitric oxide (NO), serta vasokonstriksi arteriol afferent
yang terutama dipengaruhi oleh angiotensin-II dan ET-1.
Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta
berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu
dimana arteriol afferent mengalami vasokonstriksi, terjadi kontraksi mesangial dan penigkatan
reabsorbsi natrium dan air. Keadaan ini disebut prerenal atau gagal ginjal akut fungsional
dimana belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal.
Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis intrarenal menjadi
normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi oleh berbagai macam obat seperti ACEI,
NSAID terutama pada pasien pasien berusia di atas 60 tahun dengan kadar serum kreatinin 2
mg/dL sehingga dapat terjadi GGA pre-renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi
hiponatremi, hipotensi, penggunaan diuretic, sirosis hati dan gagal jantung. Perlu diingat
bahwa pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan keadaan yang merupakan resiko GGA
pre-renal seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit renovaskuler), penyakit ginjal
polikistik, dan nefrosklerosis intrarenal. Sebuah penelitian terhadap tikus yaitu gagal ginjal
ginjal akut prerenal akan terjadi 24 jam setelah ditutupnya arteri renalis.
Pada gagal ginjal renal terjadi kelainan vaskular yang sering menyebabkan nekrosis
tubular akut. Dimana pada NTA terjadi kelainan vascular dan tubular Pada kelainan vaskuler
terjadi :
1. peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriol afferent glomerolus yang menyebabkan
sensitifitas terhadap substansi-substansi vasokonstriktor dan gangguan otoregulasi.
2. terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel endotel vaskular
ginjal, yang mngakibatkan peningkatan A-II dan ET-1 serta penurunan prostaglandin dan
ketersediaan nitric oxide yang bearasal dari endotelial NO-sintase.
3. peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor dan interleukin-18, yang
selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari intraseluler adhesion molecule-1 dan P-
selectin dari sel endotel, sehingga peningkatan perlekatan sel radang terutama sel netrofil.
Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen. Kesuluruhan proses di
atas secara bersama-sama menyebabkan vasokonstriksi intrarenal yang akan menyebabkan
penurunan GFR.

Gambar 1. Patofisiologi gagal ginjal akut di renal

Pada kelainan tubular terjadi :


1) Peningkatan Ca2+, yang menyebabkan peningkatan calpain sitosolik phospholipase A2 serta
kerusakan actin, yang akan menyebabkan kerusakan sitoskeleton. Keadaan ini akan
mengakibatkan penurunan basolateral Na+/K+-ATP ase yang selanjutnya menyebabkan
penurunan reabsorbsi natrium di tubulus proximalis serta terjadi pelepasan NaCl ke
maculadensa. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan umpan tubuloglomeruler.
2) Peningkatan NO yang berasal dari inducible NO syntase, caspases dan metalloproteinase
serta defisiensi heat shock protein akan menyebabkan nekrosis dan apoptosis sel.
3) obstruksi tubulus, mikrofili tubulus proksimalis yang terlepas bersama debris seluler akan
membentuk substrat yang menyumbat tubulus, dalam hal ini pada thick assending limb
diproduksi Tamm-Horsfall protein (THP) yang disekresikan ke dalam tubulus dalam bentuk
monomer yang kemudian berubah menjadi polimer yang akan membentuk materi berupa gel
dengan adanya natrium yang konsentrasinya meningkat pada tubulus distalis. Gel polimerik
THP bersama sel epitel tubulus yang terlepas baik sel yang sehat, nekrotik maupun yang
apoptopik, mikrofili dan matriks ekstraseluler seperti fibronektin akan membentuk silinder-
silinder yang menyebabkan obstruksi tubulus ginjal.
4) kerusakan sel tubulus menyebabkan kebocoran kembali dari cairan intratubuler masuk ke
dalam sirkulasi peritubuler. Keseluruhan proses tersebut di atas secara bersama-sama yang
akan menyebabkan penurunan GFR.
Gagal ginjal post-renal, GGA post-renal merupakan 10% dari keseluruhan GGA. GGA
post-renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstrarenal. Obstruksi intrarenal terjadi
karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan protein ( mioglobin, hemoglobin).
Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi intrinsic (tumor, batu,
nekrosis papilla) dan ekstrinsik ( keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada
kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/ keganasan prostate) dan uretra (striktura). GGA post-
renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli buli dan ureter bilateral, atau obstruksi
pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi(12).
Pada fase awal dari obstruksi total ureter yang akut terjadi peningkatan aliran darah
ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal ini disebabkan oleh prostaglandin-E2.
Pada fase ke-2, setelah 1,5-2 jam, terjadi penurunan aliran darah ginjal dibawah normal akibat
pengaruh tromboxane-A2 dan A-II. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam
mulai menetap. Fase ke-3 atau fase kronik, ditandai oleh aliran ginjal yang makin menurun dan
penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu. Aliran darah ginjal setelah
24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2 minggu tinggal 20% dari normal. Pada fase ini
mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan faktorfaktor pertumbuhan yang
menyebabkan fibrosis interstisial ginjal(12,13).
Gambar 2. Batu pada ginjal
II.7 Gejala Klinis

Gejala klinis yang sering timbul pada gagal ginjal akut adalah jumlah volume urine
berkurang dalam bentuk oligouri bila produksi urine > 40 ml/hari, anuri bila produksi urin <
50 ml/hari, jumlah urine > 1000 ml/hari tetapi kemampuan konsentrasi terganggu, dalam
keadaan ini disebut high output renal failure. Gejala lain yang timbul adalah uremia dimana
BUN di atas 40 mmol/l, edema paru terjadi pada penderita yang mendapat terapi cairan,
asidosis metabolik dengan manifestasi takipnea dan gejala klinik lain tergantung dari faktor
penyebabnya(1,14).

II. 8 Diagnosis

Anamnesa

Pada AKI perlu diperhatikan banyaknya asupan cairan (input), kehilangan cairan (out
put) melalui urin, muntah, diare, keringat yang berlebihan serta pencatatan berat badan pasien.
Perlu diperhatikan kemungkinan kehilangan cairan ke ekstravaskuler (redistribusi) seperti pada
peritonitis, asites, ileus paralitik, edema anasarka atau trauma luas (kerusakan otot atau crush
syndrome). Riwayat penyakit jantung, gangguan hemodinamik, adanya penyakit sirosis hati,
hipoalbuminemia, alergi yang mengakibatkan penurunan volume efektif perlu selalu
ditanyakan.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan kesadaran menurun sampai koma bila AKI
telah berlangsung lama. Pasien umumnya menunjukkan pernafasan yang cepat dan dalam
(Kussmaul) karena adanya asidosis metabolik. Pada pasien AKI berat dapat ditemukan sesak
nafas yang hebat karena menderita gagal jantung atau edema paru. Hipertensi sering ditemukan
akibat adanya overload cairan. Tanda-tanda dehidrasi perlu dicari karena merupakan penyebab
AKI prarenal. Bila ada pasien ditemukan oliguria, takikardia, mulut kering, hipotensi ortostatik
kemungkinan menyebabkan AKI prarenal. Pada pemeriksaan fisik perlu dicari tanda-tanda
penyakit sistemik multiorgan seperti lupus eritematosus sistemik yaitu dengan memeriksa
kulit, sendi, kelenjar getah bening. Pembesaran ginjal dapat ditemukan bila penyebabnya ginjal
polikistik atau multikistik displastik atau hidronefrosis (uropati obstruktif). Retensi urin
dengan gejala vesika urinaria yang teraba membesar menunjukkan adanya sumbatan dibawah
vesika urinaria, pemasangan kateter untuk memonitor jumlah urine yang keluar selama
pemberian terapi cairan.

Ada 3 hal penting yang harus di dapatkan pada pemeriksaan fisik pasien dengan AKI:

1. penentuan status volume sirkulasi

2. apakah ada tanda-tanda obstruksi saluran kemih

3. adakah tanda-tanda penyakit sistemik yang mungkin menyebabkan gagal ginjal

Tanda Klinis Deplesi Cairan :

1. tekanan vena jugular rendah

2. hipotensi; tekanan darah turun lebih dari 10 mmHg pada perubahan posisi (baring-duduk)

3. vena perifer kolaps dan perifer teraba dingin (hidung, jari-jari tangan, kaki)

Tanda Klinis Kelebihan Cairan :

1. tekanan vena jugularis tinggi

2. terdengar suara gallop


3. hipertensi, edema perifer, pembengkakan hati, ronki di paru

Pada pemeriksaan fisik perlu di lakukan palpasi, perkusi daerah suprasifisis mencari adanya
pembesaran kandung kemih, yang kemudian konfirmasi dengan pemasangan kateter.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium harus mencakup elektrolit serum, BUN, kreatinin serum,


kalsium, fosfor, dan asam urat. Bila perlu lakukan biopsy ginjal sebelum terapi akut dilakukan
pada pasien dengan GGA yang etiologinya tidak diketahui. Angiografi (pemeriksaan rontgen
pada arteri dan vena) dilakukan jika diduga penyebabnya adalah penyumbatan pembuluh
darah. Pemeriksaan lainnya yang bisa membantu adalah CT scan dan MRI. Jika pemeriksaan
tersebut tidak dapat menunjukkan penyebab dari gagal ginjal akut, maka dilakukan biopsi
(pengambilan jaringan untuk pemeriksaan mikroskopis) misalnya pada nekrosis tubular akut.
Perlu diingat pada Angiografi,dengan menggunakan medium kontras dapat menimbulkan
komplikasi klinis yang ditandai dengan peningkatan absolute konsentrasi kreatinin serum
setidaknya 0,5 mg/dl (44,2 mol/l) atau dengan peningkatan relative setidaknya 25 % dari nilai
dasar.

1. Prerenal : Tanda vital, tanda perdarahan atau dehidrasi

2. Renal : Periksa urinalisis (silinder eritrosit, silinder leukosit, dismorfik eritrosit)

3. Postrenal : USG

II.9 Penatalaksanaan

Tujuan utama dari pengelolaan GGA adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal,
mempertahankan hemostasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan
infeksi, serta mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan.
Penatalaksanaan gagal ginjal meliputi, perbaikan faktor prerenal dan post renal, evaluasi
pengobatan yang telah doberikan pada pasien, mengoptimalkan curah jantung dan aliran darah
ke ginjal, mengevaluasi jumlah urin, mengobati komplikasi akut pada gagal ginjal, asupan
nutrisi yang kuat, atasi infeksi, perawatan menyeluruh yang baik, memulai terapi dialisis
sebelum timbul komplikasi, dan pemberian obat sesuai dengan GFR.
Menurut definisi, AKI prerenal adalah reversibel pada koreksi kelainan utama
hemodinamik, dan AKI postrenal dengan menghilangkan obstruksi. Sampai saat ini, tidak ada
terapi khusus untuk mendirikan AKI intrinsik renal karena iskemia atau nefrotoksisitas.
Manajemen gangguan ini harus fokus pada penghapusan hemodinamik kelainan penyebab atau
toksin, menghindari penghinaan tambahan, dan pencegahan dan pengobatan komplikasi.
Pengobatan khusus dari penyebab lain dari AKI renal tergantung pada patologi yang
mendasari.

1) AKI Prarenal
Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan GGA prerenal akibat hipovolemia harus
disesuaikan sesuai dengan komposisi cairan yang hilang. Hipovolemia berat akibat perdarahan
harus dikoreksi dengan packed red cells, sedangkan saline isotonik biasanya pengganti yang
sesuai untuk ringan sampai sedang perdarahan atau plasma loss (misalnya, luka bakar,
pankreatitis). Cairan kemih dan gastrointestinal dapat sangat bervariasi dalam komposisi
namun biasanya hipotonik. Solusi hipotonik (misalnya, saline 0,45%) biasanya
direkomendasikan sebagai pengganti awal pada pasien dengan GGA prerenal akibat
meningkatnya kehilangan cairan kemih atau gastrointestinal, walaupun salin isotonik mungkin
lebih tepat dalam kasus yang parah. Terapi berikutnya harus didasarkan pada pengukuran
volume dan isi ionik cairan yang diekskresikan. Kalium serum dan status asam-basa harus
dimonitor dengan hati-hati. Gagal jantung mungkin memerlukan manajemen yang agresif
dengan inotropik positif, preload dan afterload mengurangi agen, obat antiaritmia, dan alat
bantu mekanis seperti pompa balon intraaortic. Pemantauan hemodinamik invasif mungkin
diperlukan untuk memandu terapi untuk komplikasi pada pasien yang penilaian klinis fungsi
jantung dan volume intravaskular sulit.
2) AKI intrinsic renal
AKI akibat lain penyakit ginjal intrinsik seperti glomerulonefritis akut atau vaskulitis
dapat merespon glukokortikoid, alkylating agen, dan / atau plasmapheresis, tergantung pada
patologi primer. Glukokortikoid juga mempercepat remisi pada beberapa kasus interstitial
nefritis alergi. Kontrol agresif tekanan arteri sistemik adalah penting penting dalam membatasi
cedera ginjal pada hipertensi ganas nephrosclerosis, toxemia kehamilan, dan penyakit
pembuluh darah lainnya. Hipertensi dan AKI akibat scleroderma mungkin sensitif terhadap
pengobatan dengan inhibitor ACE
3) AKI postrenal
Manajemen AKI postrenal membutuhkan kerjasama erat antara nephrologist, urologi,
dan radiologi. Gangguan pada leher uretra atau kandung kemih biasanya dikelola awalnya oleh
penempatan transurethral atau suprapubik dari kateter kandung kemih, yang memberikan
bantuan sementara sedangkan lesi yang menghalangi diidentifikasi dan diobati secara definitif.
Demikian pula, obstruksi ureter dapat diobati awalnya oleh kateterisasi perkutan dari pelvis
ginjal. Memang, lesi yang menghalangi seringkali dapat diterapi perkutan (misalnya, kalkulus,
sloughed papilla) atau dilewati oleh penyisipan stent ureter (misalnya, karsinoma).
Kebanyakan pasien mengalami diuresis yang tepat selama beberapa hari setelah relief
obstruksi. Sekitar 5% dari pasien mengembangkan sindrom garam-wasting sementara yang
mungkin memerlukan pemberian natrium intravena untuk menjaga tekanan darah.

Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan pada tahap
apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi (kriteria RIFLE R dan I),
upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana opti- mal penyakit dasar untuk mencegah
pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah
prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal,
dan meng- hindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan
harus dilakukan secara rutin.4,17 Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan awal
perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti, sehingga
pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit harus dilakukan secara
cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat dengan pedoman volume urin yang diukur
secara serial, serta elektrolit urin dan serum.

1. Terapi Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya dan kondisi
komorbid yang dijumpai. Se- buah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status
katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005.

Tabel 3. Klasifikasi dan Kebutuhan Nutrisi pada pasien AKI


Manajemen nutrisi untuk AKI tidak jauh berbeda untuk pasien sakit kritis, tetapi lebih
rumit karena rejimen tersebut harus dirancang dengan tetap melihat perubahan kompleks dalam
sisa metabolisme dan nutrisi yang terjadi dengan hilangnya fungsi ginjal akut. Selain dukungan
nutrisi harus dikoordinasikan dengan terapi pengganti ginjal (RRT). Masalah utama dalam
pengelolaan AKI adalah retensi air dan produk dari Asam Amino karena gangguan fungsi
ekskresi yang membatasi pemberian cairan dan elektrolit.

Tujuan utama terapi nutrisi tidak semata-mata untuk menggantikan kebutuhan gizi
makro dan mikro, tetapi dukungan nutrisi adalah dukungan kualitatif dari intervensi metabolik
yang bertujuan untuk memodulasi keadaan inflamasi, memperbaiki kebutuhan oksigen sistem
radikal, dan memperbaiki Imunokompetensi. Tergantung pada tingkat keparahan penyakit,
kebutuhan nutrisi dapat bervariasi antara pasien dan fase penyakit kritis.

Tabel 4. Kebutuhan nutrisi pada pasien AKI


2. Terapi Farmakologis

Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama
berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial. Obat- obatan
tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat
Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa
Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih
baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi yang
berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai upaya
mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis.
Namun, penelitian dan meta-analisis yang ada tidak menunjukkan kegunaan diuretik untuk
pengobatan AKI (menurunkan mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah dialisis, proporsi pasien
oligouri, masa rawat inap), bahkan peng- gunaan dosis tinggi terkait dengan peningkatan risiko
ototoksisitas (RR=3,97; CI: 1,00-15,78). Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas
dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh.

Beberapa hal yang harus diperhatikan pada peng- gunaan diuretik sebagai bagian dari
tata laksana AKI adalah:

Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam
keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes
cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila
jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.
Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI
pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan
oligouria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat tidak terlihat,
dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau
tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat
dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan
ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus),
harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat
menyebabkan toksisitas.

Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler sehingga


dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun kegu- naan
manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena
bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah.
Efek negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam.
Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol
tidak memperbaiki prognosis pasien.

Dopamin dosis rendah (0,5-3 g/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata
laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis
rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase
dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis
tinggi dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang
diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap
pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan
kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara
umum yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti
hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat
sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada dopamin dosis renal seperti yang tertulis pada
literatur. Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti
bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia,
iskemia mukosa saluran cerna, gangren digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan,
pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat
perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas.
Dopamin tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai
indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal.17,24,25 Obat-obatan lain seperti
agonis selektif DA1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut dengan uji klinis
multisenter untuk penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis adenosin tidak
terbukti efektif pada tata laksana AKI.

Terapi Pengganti Ginjal ( RRT )

Dengan adanya komplikasi AKI seperti misalnya hipervolemia, edema paru akut atau
keseimbangan cairan besar kumulatif positif, hiperkalemia, asidosis metabolik (pH kurang dari
7,1) dan gejala uremik (mual dan muntah persisten, peri-karditis, neuropati, atau tidak jelas
penyebabnya penurunan status mental) dialisis harus dipertimbangkan sebagai terapi andalan.
Modalitas RRT termasuk hemodialisis intermiten (IHD), terapi pengganti ginjal berkelanjutan
(CRRTs), dan terapi hybrid, seperti berkelanjutan rendah efisiensi dialisis (SLED). Meskipun
teknik ini bervariasi, angka kematian pada pasien dengan AKI tetap lebih besar dari 50% pada
pasien sakit berat. Ada kemungkinan bahwa variasi dalam waktu inisiasi, modalitas, dan / atau
dosis dari RRT dapat mempengaruhi hasil klinis, khususnya kelangsungan hidup.

Beberapa indikasi utama untuk melakukan terapi pengganti Ginjal adalah sebagai
berikut :

Fluid overload
Metabolic acidosis
Oliguria (urine output <200 mL/12 h)
Anuria /extreme oliguria (urine output <50 mL/12 h)
Hyperkalemia ([K] >6.5 mEq/L)
Clinically significant organ (especially pulmonary) edema
Uremic encephalopathy
Uremic pericarditis
Uremic neuropathy/myopathy
Severe dysnatremia ([Na] <115 or >160 mEq/L)
Hyperthermia
Drug overdose with filterable toxin (lithium, vancomycin, procainamide, etc)
Imminent or ongoing massive blood product administration

Pertimbangan utama ketika memulai pasien dengan AKI pada dialisis adalah sebagai
berikut: 1) waktu inisiasi dialisis, 2) modalitas dialisis, dan 3) dosis dialisis.
1) Waktu Inisiasi Dialisi

Baru-baru ini, penelitian telah mengevaluasi hubungan antara waktu inisiasi CRRT dan
hasil klinis. Dalam sebuah penelitian retrospektif dari unit trauma tunggal, pasien dicirikan
sebagai "awal" atau "akhir" permulaan, berdasarkan BUN kurang dari atau lebih besar dari 60
mg / dL, sebelum memulai CRRT. Kelangsungan hidup adalah 39% pada permulaan awal
dibandingkan dengan 20% pada permulaan akhir (P = 0,041) . Dua analisis pasien AKI setelah
operasi jantung menunjukkan tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi pada pasien yang terus
menerus menggunakan hemofiltration venous - vena (CVVH) dimulai sebagai respon terhadap
urin output kurang dari 100 mL dalam waktu delapan jam berturut-turut setelah operasi
meskipun tanpa pemberian diuretik, dibandingkan dengan pasien dengan terapi ditahan dengan
kriteria laboratorium yang menggunakan serum kreatinin, BUN, dan kalium. 243 pasien dari
Program to Improve Care in Acute Renal Disease (Picard) studi, risiko kematian ditentukan
pada pasien dengan BUN lebih besar dari atau kurang dari 76 mg / dL pada inisiasi dialisis.
Setelah penyesuaian untuk usia, kegagalan hati, sepsis, trombositopenia, dan serum kreatinin.

2) Modalitas dialisis
Beberapa Penelitian retrospektif dan prospektif membandingkan hasil untuk modalitas
dari Continous dan Intermitent dialisis. Secara umum, penelitian sulit untuk melakukan seperti
saat sakit (misalnya, saat pasien hipotensi umumnya dimulai pada CVVH) dan kurang sakit
(misalnya, mobile, pasien non hipotensi umumnya dimulai pada IHD). Dalam sebuah
penelitian retrospektif terhadap 349 pasien, tingkat kematian lebih tinggi untuk cuci darah terus
menerus (continuous) dibandingkan intermiten (68% versus 41%, P, 0,001) .90 Namun, ketika
multivariat cox analisis digunakan untuk menyesuaikan alasan untuk penugasan pasien dalam
pengobatan terus menerus (continuous) (misalnya, tekanan darah sistolik kurang dari 90
mmHg, kegagalan hati dll) tidak ada peningkatan risiko kematian dengan pengobatan terus
menerus (continuous). Dalam studi prospektif yang lain, 225 pasien di ICU dibagi menjadi tiga
kelompok: kelompok I (kelompok kontrol): 156 pasien dengan AKI yang tidak menerima
dialisis, kelompok II: 21 pasien yang menerima dialisis peritoneal atau IHD, dan kelompok III:
43 pasien yang menerima hemodiafiltration terus menerus (contonous). Mortalitas lebih tinggi
pada pasien dengan gagal ginjal dimana terapi dialisis diperlukan. Tidak ada perbedaan angka
kematian antara pasien yang diperlukan IHD dibandingkan CRRT.

3) Dosis Dialisis
Tiga studi terbaru pada pusat penelitian telah menunjukkan bahwa dosis peningkatan
dialisis dikaitkan dengan kematian yang lebih rendah.

Tabel 5. Dosis Dialisi yang diperlukan pada pasien AKI (Ackay A, 2010)

Tata Laksana Komplikasi

Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara konservatif,


sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel 6. Pengelolaan komplikasi juga dapat
dilakukan dengan terapi pengganti ginjal yang diindikasikan pada keadaan oligouria, anuria,
hiperkalemia (K>6,5 mEq/l), asidosis berat (pH<7,1), azotemia (ureum>200 mg/dl), edema
paru, ensefalopati uremikum, perikarditis uremikum, neuropati atau miopati uremikum,
disnatremia berat (Na>160 mEq/l atau <115 mEq/l), hipertermia, kelebihan dosis obat yang
dapat didialisis.26 Tidak ada panduan pasti kapan waktu yang tepat untuk menghentikan terapi
pengganti ginjal. Secara umum, terapi dihentikan jika kondisi yang menjadi indikasi sudah
teratasi (Sinto R, 2010).

Tabel 2. Pengobatan suportif pada gagal ginjal akut


Komplikasi Pengobatan
Kelebihan volume intravaskuler Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (< 1L/hari)
Furosemid, ultrafiltrasi atau dialysis
Hiponatremia
Batasi asupan air (< 1 L/hari), hindari infuse
Hiperkalemia larutan hipotonik.
Batasi asupan diit K (<40 mmol/hari), hindari
Asidosis metabolic diuretic hemat kalium
Natrium bikarbonat ( upayakan bikarbonat
Hiperfosfatemia serum > 15 mmol/L, pH >7.2 )
Batasi asupan diit fosfat (<800 mg/hari)
Obat pengikat fosfat (kalsium asetat, kalsium
Hipokalsemia karbonat)
Kalsium karbonat; kalsium glukonat ( 10-20
Nutrisi ml larutan 10% )
Batasi asupan protein (0,8-1 g/kgBB/hari)
jika tidak dalam kondisi katabolic
Karbohidrat 100 g/hari
Nutrisi enteral atau parenteral, jika
perjalanan klinik lama atau katabolik

Indikasi hemodialisa pada gagal ginjal akut :


1. GGT ( klirens kreatinin < 5 ml/m)
2. GGA berkepanjangan ( > 5 hari)
3. GGA dengan :
a. keadaan umum yang buruk
b. K serum > 6 mEq/L
c. BUN > 200 mg%
d. pH darah < 7,1
e. Fluid overload
4. Intoksikasi obat yg gagal dengan terapi konservatif
II.10 Komplikasi
Komplikasi metabolik berupa kelebihan cairan, hiperkalemia, asidosis metabolik,
hipokalsemia, serta peningkatan ureum yang lebih cepat pada keadaan hiperkatabolik. Pada
oligurik dapat timbul edema kaki, hipertensi dan edema paru, yang dapat menimbulkan
keadaan gawat. Hiperkalemia terjadi karena beberapa hal seperti ekskresi melalui ginjal
terganggu, perpindahan kalium keluar sel, kerusakan sel akibat proses katabolik, trauma,
sepsis, infeksi, atau dapat juga disebabkan karena asupan kalium yang berlebih, keadaan ini
berbahaya karena bisa menyebabkan henti jantung dalam keadaan diastolik. Asidosis terjadi
karena bikarbonat darah menurun akibat ekskresi asam nonvolatile terganggu dimana juga
meningkatkan anion gap. Hipokalsemia sering terjadi pada awal GGA dan pada fase
penyembuhan GGA.
Komplikasi sistemik seperti :
1. Jantung
Edema paru, aritmia dan efusi pericardium.
2. Gangguan elektrolit
Hiperkalemia, hiponatremia, dan asidosis
3. Neurologi:
Iiritabilitas neuromuskular, tremor, dan koma,
4. Gangguan kesadaran dan kejang.
5. Gastrointestinal :
Nausea, muntah, gastritis, dan ulkus peptikum.
6. Perdarahan gastrointestinal
7. Hematologi
Anemia, dan diastesis hemoragik
8. Infeksi
Pneumonia, septikemia, dan infeksi nosokomial.
9. Hambatan penyembuhan luka

II.11 Prognosis

Mortalitas akibat GGA bergantung keadaan klinik dan derajat gagal ginjal. Perlu
diperhatikan faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya, adanya infeksi yang menyertai,
perdarahan gastrointestinal, penyebab yang berat akan memperburuk prognosa. Penyebab
kematian tersering adalah infeksi (30-50%), perdarahan terutama saluran cerna (10-20%),
jantung (10-20%), gagal nafas (15%), dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi,
septikemia, dan sebagainya. Pasien dengan GGA yang menjalani dialysis angka kematiannya
sebesar 50-60%, karena itu pencegahan, diagnosis dini, dan terapi dini perlu ditekankan.
BAB III
PENUTUP

Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya gangguan
fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) yang
menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen (urea/creatinin) dan non nitrogen, dengan atau
tanpa disertai oligouri. Penyebab gagal ginjal akut yang dibagi menjadi 3 besar yaitu :
a) Pre-renal (gagal ginjal sirkulatorik) yang disebabkan utama oleh hipoperfusi ginjal dimana
terjadi hipovolemia.
b) Renal (gagal ginjal initrinsik) yang disebabkan oleh kelainan pembuluh darah ginjal.
c) Post-renal (uropati obstruksi akut) yang disebabkan oleh obstruksi ureter dan obstrtuksi
uretra.
Gejala klinis dari gagal ginjal akut yang tampak adalah adanya oligouri, anuria, high
output renal failure BUN, dan kreatinin serum yang meningkat. Tujuan utama dari pengelolaan
GGA adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal, mempertahankan hemostasis, melakukan
resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan infeksi, serta mempertahankan pasien tetap
hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Annonymous. Renal failure 2009 : (online), (http://wikipedia.com, diakses 20 januari


2010).

2. Stein,Jay H. Kelainan ginjal dan elektrolit. panduan klinik ilmu penyakit dalam.edisi
ke-3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2001.

3. Dennis L. Kasper, Eugene Braunwald, Anthony Fauci. Harrison's Principles of Internal


Medicine 16th Edition. USA : McGraw-Hill, 2004.

4. Markum,M.H.S. Gagal Ginjal Akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, editors. Buku Ajar:
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke-VI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2014.

5. Nissenson. Epidemiology and pathogenesis of acute renal failure in the ICU. Kidney
International 1998; 53; 7-10.

6. Dong-Min Kim, 1 Dae Woong Kang, 1 Jong O Kim. Acute Renal Failure due to Acute
Tubular Necrosis caused by Direct Invasion of Orientia tsutsugamushi. J. Clin.
Microbiol 2007; 1128.

7. Stapleton FB, Jones DP, Green RS. Acute renal failure in neonates: Incidence, etiology
and outcome. Pediatr Nephrol 1987; 1; 314-320.

8. Altntepe, Gezgin, Tonbul. Etiology and prognosis in 36 acute renal failure cases
related to pregnancy in central anatolia. Eur J Gen Med 2005; 2(3): 110-113.

9. Boediwarsono.Gagal ginjal akut. segi praktis pengobatan penyakit dalam.Surabaya :


Penerbit PT Bina Indra Karya 1985.

10. Takaoka, Kuro, Matsumura. Role of endothelin in the pathogenesis of acute renal
failure. Drug News Perspect 2000, 13(3): 141.
11. Yagil, Myers, Jamison. Course and pathogenesis of postischemic acute renal failure
in the rat. Am J Physiol Renal Physiol 1988; 255.

12. Jacob. Acute renal failure. Indian J Anaesth 2003; 47(5):367-372.

13. Schrier, Wang, Poole, Amit Mitra. Acute renal failure: definitions, diagnosis,
pathogenesis, and therapy. The Journal of Clinical Investigation 2004;114.

14. Sukahatya. Gagal ginjal akut 2006 : (online), (http://www.medicastore.com, diakses 20


januari 2010.

15. Rahardjo, J.Pudji. Kegawatan pada Gagal Ginjal. Penatalaksanaan Kedaruratan di


bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat infomasi dan Penerbitan FKUI 2000.

16. Schlegel. Computed radionuclide urogram for assesing acute renal failure. AJR 1980;
134.

17. Esson, Robert W. Schrier. Diagnosis and treatment of acute tubular necrosis. Annals of
Internal Medicine 2002;137.

18. Cano, Fiaccadori E, P, Tesinsky. ESPEN guidelines on enteral nutrition: adult renal
failure. Clinical Nutrition 2006; 25:295310.

19. Aspelin P, Aubry P, Fransson sg. Efek nefrotoksik pada pasien risiko tinggi yang
menjalani angiografi. NEJM 2006; 348 (6): 491.

Anda mungkin juga menyukai