Anda di halaman 1dari 28

BAB I

LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN
IDENTITAS
Nama : Ny. M
Usia : 44 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Kp. Cilungkup RT 008/RW 010
Masuk RS : 27/10/2017
No rekam medik : 80-02-67
Dokter yang merawat : dr. H. Lukman Ali Husin, Sp. PD

ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Nyeri ulu hati 1 minggu SMRS

b. Keluhan Tambahan
Mual, Muntah, Demam

c. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RSIJ Cempaka Putih dengan keluhan nyeri ulu hati sejak 1 hari
SMRS. Nyeri ulu hati dirasakan seperti panas. Nyeri dirasakan menetap, tetapi kadang
berulang, disertai dengan nyeri dada yang tidak menjalar. Setelah makan, perut terasa
kembung, terasa penuh, dan terasa cepat kenyang.
Pasien juga mengeluh mual sampai muntah sejak 1 hari SMRS. Konsistensi cair
dengan isi makanan, muntah 2x. Os juga mengeluh mencret sejak 1 hari SMRS 2x
dalam sehari, berampas, tidak ada lendir maupun darah. Demam sejak 1 hari SMRS.
Keluhan BAK disangkal.

d. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat gastritis (+), Hipertensi (-), Diabetes mellitus (-), Asma (-)

e. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan sama pada keluarga disangkal.

1
f. Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat sebelumnya.

g. Riwayat Alergi
Alergi obat Amoxicillin dan Antalgin

h. Riwayat Pasikososial
Pasien mengaku sering telat makan
Riwayat kebiasaan memakan makanan pedas dan asam.
Merokok (-)
Alkohol (-)
Kopi (-)

PEMERIKSAAN FISIK
i. Pemeriksaan Umum
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Composmentis
3. Tanda vital
- Tekanan Darah: 110/70 mmHg
- Frekuensi nadi : 88 kali/menit kuat angkat, reguler
- Frekuensi nafas: 20 kali/menit teratur,torakal
- Suhu axilla : 37,0 O C axilla
4. Data antropometri
BB : 58 kg
TB : 160 cm
IMT : Normoweight

j. Status Generalisata
1. Kepala
Bentuk : Normocephal
Mata : konjunctiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor kanan
dan kiri, refleks cahaya (+/+).
Hidung : Septum Deviasi (-), nyeri tekan (-), sekret (-/-)

2
Mulut : Mukosa bibir kering, Sianosis (-), Lidah Kotor (-), Faring
Hiperemis (-)

2. Leher
Inspeksi : Bentuk normal
Palpasi : Pembesaran kelenjar tiroid dan KGB (-), JVP tidak meningkat

3. Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kiri dan kanan simetris
Palpasi : Vokal Fremitus kanan dan kiri normal
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing-/-
Jantung
Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas atas : sela iga IV garis sternalis kiri
Batas kanan : sela iga V garis sternalis kanan
Batas kiri : sela iga V garis midklavikula kiri
Auskultasi : BJ I,II reguler +, murmur (-), gallop (-)

4. Abdomen
Inspeksi : Perut tampak datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, Nyeri tekan epigastrium(+)
Perkusi : Seluruh lapang abdomen timpani

5. Ekstremitas
Atas : Hangat, edema (-/-), RCT <2 detik
Bawah : Hangat, edema (-/-), RCT <2 detik

PEMERIKSAAN PENUNJANG

3
Pemeriksaan Hasil Satuan NBorilai normal

Routine Hematology

Hemoglobin 12,8 g/dL 11,7-15,5

Leukosit 2,6 1000/uL 3,60-11,00

Hematokrit 37 % 35-47

Trombosit 219 1000/uL 150-440

Chemistry

Glucose Random 84 mg/dL 70-200

Glucose Urine negative Negative

Urea 16 mg/dL 10-50

Creatinin 0,8 mg/dL 0,51-0,95

Immunology

Tubex Skala 1 Negative : <2

RESUME
Ny. M, usia 44 tahun, datang dengan keluhan nyeri epigastrium (+) sejak 1 hari
SMRS, nausea (+), vomitus (+) 2x sehari, mencret (+) 2x sehari berampas, febris
sejak 1 hari SMRS, mendadak.
Tanda Vital : Dalam batas normal
Nyeri tekan epigastrium (+)

DAFTAR MASALAH
Dispepsia

ASSESMENT
S : nyeri ulu hati, mual, muntah, mencret, demam
O : TD : 110/70 mmHg, N : 80/mnt, R : 20x/m, S : 37,0oC
Nyeri tekan epigastrium (+)

4
A : Dispepsia
P:
IVFD RL /8 jam
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Inj. Cedancentron 8mg 2x1 amp
Loratadine 1x1 tab

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI

5
Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri

dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa

cepat kenyang, perut rasa penuh atau begah.

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (Dys-), berarti sulit, dan (Pepse),berarti

pencernaan. Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari

rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan.

Keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan

regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsia.

Ada berbagai macam definisi dispepsia. Salah satu definisi yang dikemukakan

oleh suatu kelompok kerja internasional adalah: Sindroma yang terdiri dari keluhan -

keluhan yang disebabkan karena kelainan traktus digestivus bagian proksimal yang

dapat berupa mual atau muntah, kembung, dysphagia, rasa penuh, nyeri epigastrium

atau nyeri retrosternal dan ruktus, yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Dengan

demikian dispepsia merupakan suatu sindrom klinik yang bersifat kronik.

Dalam klinik tidak jarang para dokter menyamakan dispepsia dengan gastritis.

Hal ini sebaiknya dihindari karena gastritis adalah suatu diagnosa patologik, dan tidak

semua dispepsia disebabkan oleh gastritis dan tidak semua kasus gastritis yang

terbukti secara patologi anatomik disertai gejala dispepsia. Karena dispepsia dapat

disebabkan oleh banyak keadaan maka dalam menghadapi sindrom klinik ini

penatalaksanaannya seharusnya tidak seragam.

Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :

1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai

penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap

6
organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari, radang pankreas,

radang empedu, dan lain-lain.

2. Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional, atau dispesia non ulkus, bila tidak

jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur

organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi setelah

3 bulan dengan gejala dispepsia.

Manifestasi Klinis

Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan,

membagi

dispepsia menjadi tiga tipe :

1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia), dengan gejala:


a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik

2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia), dengan


gejala:
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. e.Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan

3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas).

2. ETIOLOGI
Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau

duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.

Obat obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa

antibiotic, digitalis, teofilin dan sebagainya.

7
Penyakit pada hati, pankreas, system bilier, hepatitis, pancreatitis, kolesistetis

kronik. penyakit jantung koroner.

Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak

terbukti adanya kelainan atau gangguan organic atau structural biokimia, yaitu

dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus.

Klasifikasi Dispepsia Berdasarkan Etiologi

A. Organik

1. Obat-obatan

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), Antibiotik (makrolides,

metronidazole), Besi, KCl, Digitalis, Estrogen, Etanol (alkohol),

Kortikosteroid, Levodopa, Niacin, Gemfibrozil, Narkotik, Quinidine,

Theophiline.

2. Idiosinkrasi makanan (intoleransi makanan)


a. Alergi susu sapi, putih telur, kacang, makanan laut, beberapa jenis produk

kedelai dan beberapa jenis buah-buahan


b. Non-alergi

Produk alam : laktosa, sucrosa, galactosa, gluten, kafein.

Bahan kimia : monosodium glutamate (vetsin), asam benzoat, nitrit,

nitrat.

Perlu diingat beberapa intoleransi makanan diakibatkan oleh penyakit

dasarnya, misalnya pada penyakit pankreas dan empedu tidak bisa

mentoleransi makanan berlemak, jeruk dengan pH yang relatif rendah sering

memprovokasi gejala pada pasien ulkus peptikum atau esophagitis.

3. Kelainan struktural
a. Penyakit oesophagus

8
Refluks gastroesofageal dengan atau tanpa hernia

Akhalasia

Obstruksi esophagus

b. Penyakit gaster dan duodenum

Gastritis erosif dan hemorhagik; sering disebabkan oleh OAINS dan


sakit keras (stres fisik) seperti luka bakar, sepsis, pembedahan,
trauma, shock

Ulkus gaster dan duodenum

Karsinoma gaster

c. Penyakit saluran empedu

Kholelitiasis dan Kholedokolitiasis

Kholesistitis

d. Penyakit pankreas

Pankreatitis

Karsinoma pankreas

e. Penyakit usus

Malabsorbsi

Obstruksi intestinal intermiten

Sindrom kolon iritatif

Angina abdominal

Karsinoma kolon

9
4. Penyakit metabolik / sistemik

a. Tuberculosis

b. Gagal ginjal

c. Hepatitis, sirosis hepatis, tumor hepar

d. Diabetes melitius

e. Hipertiroid, hipotiroid, hiperparatiroid

f. Ketidakseimbangan elektrolit

g. Penyakit jantung kongestif

5. Lain-lain

a. Penyakit jantung iskemik

b. Penyakit kolagen

B. Idiopatik atau Dispepsia Non Ulkus


Dispepsia fungsional

Keluhan terjadi kronis, tanpa ditemukan adanya gangguan struktural atau

organik atau metabolik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran

makanan.Termasuk ini adalah dispepsia dismotilitas, yaitu adanya gangguan

motilitas diantaranya; waktu pengosongan lambung yang lambat, abnormalitas

kontraktil, abnormalitas mioelektrik lambung, refluks gastroduodenal. Penderita

dengan dispepsia fungsional biasanya sensitif terhadap produksi asam lambung yaitu

kenaikan asam lambung.

Kelainan psikis, stress dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan

dispepsia fungsional.

Kelainan non organik saluran cerna:

Gastralgia
Dispepsia karena asam lambung

10
Dispepsia flatulen
Dispepsia alergik
Dispepsia essensial
Pseudoobstruksi intestinal kronik
Kelainan susunan saraf pusat (CVD, epilepsi).
Psikogen : Histeria, psikosomatik

3. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dispepsia non ulkus masih sedikit diketahui, beberapa faktor berikut

mungkin berperan penting (multifaktorial):

Abnormalitas Motorik Gaster

Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50% pasien

dispepsia non ulkus mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam

gaster. Demikian pula pada studi monometrik didapatkan gangguan motilitas

antrum postprandial, tetapi hubungan antara kelainan tersebut dengan gejala-

gejala dispepsia tidak jelas. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus

gaster yang "kaku" bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada

keadaan normal seharusnya fundus relaksasi, baik saat mencerna makanan

maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari

corpus gaster menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur oleh refleks

vagal. Pada beberapa pasien dyspepsia non ulkus, refleks ini tidak berfungsi

dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat.

Perubahan sensifitas gaster

Lebih 50% pasien dispepsia non ulkus menunjukkan sensifitas terhadap

distensi gaster atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat: makanan yang

sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi

gaster intestinum atau distensi dini bagian Antrum postprandial dapat

menginduksi nyeri pada bagian ini.

11
Stres dan faktor psikososial

Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik dan morbiditas

psikiatri lebih tinggi secara bermakna pada pasien dispepsia non ulkus

daripada subyek kontrol yang sehat.Banyak pasien mengatakan bahwa stres

mencetuskan keluhan dispepsia. Beberapa studi mengatakan stres yang lama

menyebabkan perubahan aktifitas vagal, berakibat gangguan akomodasi dan

motilitas gaster.Kepribadian dispepsia non ulkus menyerupai pasien Sindrom

Kolon Iritatif dan dispepsia organik, tetapi disertai dengan tanda neurotik,

ansietas dan depresi yang lebih nyata dan sering disertai dengan keluhan non-

gastrointestinal ( GI ) seperti nyeri muskuloskletal, sakit kepala dan mudah

letih. Mereka cenderung tiba-tiba menghentikan kegiatan sehari-harinya akibat

nyeri dan mempunyai fungsi sosial lebih buruk dibanding pasien dispepsia

organik. Demikian pula bila dibandingkan orang normal. Gambaran

psikologik dispepsia non ulkus ditemukan lebih banyak ansietas, depresi dan

neurotik.

Gastritis Helicobacter pylori

Gambaran gastritis Helicobacter pylori secara histologik biasanya gastritis

non-erosif non-spesifik. Di sini ditambahkan non-spesifik karena gambaran

histologik yang ada tidak dapat meramalkan penyebabnya dan keadaan klinik

yang bersangkutan. Diagnosa endoskopik gastritis akibat infeksi Helicobacter

pylori sangat sulit karena sering kali gambarannya tidak khas. Tidak jarang

suatu gastritis secara histologik tampak berat tetapi gambaran endoskopik

yang tampak tidak jelas dan bahkan normal. Beberapa gambaran endoskopik

yang sering dihubungkan dengan adanya infeksi Helicobacter pylori adalah:

12
a. Erosi kronik di daerah antrum.

b. Nodularitas pada mukosa antrum.

c. Bercak-bercak eritema di antrum.

d. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema di daerah


korpus.

Peranan infeksi Helicobacter pylori pada gastritis dan ulkus peptikum sudah

diakui, tetapi apakah Helicobacter pylori dapat menyebabkan dispepsia non ulkus

masih kontroversi. Di negara maju, hanya 50% pasien dispepsia non ulkus menderita

infeksi Helicobacter pylori, sehingga penyebab dispepsia pada dispepsia non ulkus

dengan Helicobacter pylori negatif dapat juga menjadi penyebab dari beberapa

dispepsia non ulkus dengan Helicobacter pylori positif. Bukti terbaik peranan

Helicobacter pylori pada dispepsia non ulkus adalah gejala perbaikan yang nyata

setelah eradikasi kuman Helicobacter pylori tersebut, tetapi ini masih dalam taraf

pembuktian studi ilmiah. Banyak pasien mengalami perbaikan gejala dengan cepat

walaupun dengan pengobatan plasebo. Studi "follow up" jangka panjang sedang

dikerjakan, hanya beberapa saja yang tidak kambuh.

Kelainan gastrointestinal fungsional

Dispepsia non ulkus cenderung dimasukkan sebagai bagian kelainan

fungsional GI, termasuk di sini Sindrom Kolon Iritatif, nyeri dada non-kardiak

dan nyeri ulu hati fungsional. Lebih dari 80% dengan Sindrom Kolon Iritatif

menderita dispepsia dan lebih dari sepertiga pasien dengan dispepsia kronis

juga mempunyai gejala Sindrom Kolon Iritatif. Pasien dengan kelainan seperti

ini sering ada gejala extra GI seperti migrain, myalgia dan disfungsi kencing

dan ginekologi. Pada anamnesis dispepsia jangan lupa menanyakan gejala

13
Sindrom Kolon Iritatif seperti nyeri abdomen mereda setelah defikasi,

perubahan frekuensi buang air besar atau bentuknya mengalami perubahan,

perut tegang, tidak dapat menahan buang air besar dan perut kembung.

Beberapa pasien juga mengalami aerophagia, lingkaran setan dari perut

kembung diikuti oleh masuknya udara untuk menginduksi sendawa, diikuti

oleh kembung yang lebih darah. Ini memerlukan perbaikan tingkah

laku.Abnormalitas di atas belum semua diidentifikasi oleh semua peneliti dan

tidak selalu muncul pada semua penderita. Hasil yang kurang konsisten dari

bermacam terapi yang digunakan untuk terapi dispepsia non ulkus mendukung

keanekaragaman kelompok ini.

Ulkus gaster

Tukak gaster merupakan luka terbuka dengan pinggir edema disertai indurasi

dengan dasar tukak ditutupi debris.

Gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau pendarahan mukosa lambung.

Gastritis karena bakteri H. pylori dapat mengalami adaptasi pada linkungan dengan

pH yang sangat rendah dengan menghasilkan enzim urease yang sangat kuat. Enzim

urease tersebut akan mengubah urea dalam lambung menjadi ammonia sehingga

bakteri Helicobacter pylori yang diselubungi awan amoniak yang dapat melindungi

diri dari keasaman lambung. Kemudian dengan flagella Helicobacter pylori

menempel pada dinding lambung dan mengalami multiplikasi. Bagian yang

menempel pada epitel mukosa lambung disebut adheren pedestal. Melalui zat yang

disebut adhesin , Helicobacter pylori dapat berikatan dengan satu jenis gliserolipid

yang terdapat di dalam epitel.

Selain urease, bakteri juga mengeluarkan enzim lain misalnya katalase,

oksidase, alkaliposfatase, gamma glutamil transpeptidase, lipase, protease, dan

14
musinase. Enzim protease dan fosfolipase diduga merusak glikoprotein dan fosfolipid

yang menutup mukosa lambung. H. Pylori juga mengeluarkan toksin yang beperan

dalam peradangan dan reaksi imun local.

Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui beberapa

mekanisme. Obat-obat ini menghambat siklooksigenase mukosa lambung sebagai

pembentuk prostaglandin dari asam arakidonat yang merupakan salah satu faktor

defensif mukosa lambung yang sangat penting. Selain itu, obat ini juga dapat merusak

secara topikal. Kerusakan topikal ini terjadi karena kandungan asam dalam obat

tersebut bersifat korosif, sehingga merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin

juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mukus oleh lambung, sehingga

kemampuan faktor defensif terganggu.

Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa esophagus,

lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan

mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun seringkali

dianggap juga sebagai ulkus. Ulkus kronik berbeda dengan ulkus akut, karena

memiliki jaringan parut pada dasar ulkus. Menurut definisi, ulkus peptik dapat

ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu

esofagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroduodenal, juga jejunum.

Sawar mukosa lambung penting untuk perlindungan lambung dan duodenum.

Obat anti inflamasi non steroid termasuk aspirin menyebabkan perubahan kualitatif

mucus lambung yang dapat mempermudah terjadinya degradasi mucus oleh pepsin.

Prostaglandin yang terdapat dalam jumlah berlebihan dalam mucus gastric dan

tampaknya berperan penting dalam pertahanan mukosa lambung.

Aspirin, alkohol, garam empedu dan zat zat lain yang merosak mukosa

lambung mengubah permeabilitas sawar epitel, sehingga memungkinkan difusi balik

15
asam klorida yang mengakibatkan kerosakan jaringan, terutama pembuluh darah.

Histamin dikeluarkan, merangsang sekresi asam dan pepsin lebih lanjut dan

meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap protein. Mukosa menjadi edema dan

sejumlah besar protein plasma dapat hilang. Mukosa kapiler dapat rusak,

mengakibatkan terjadinya hemoragi interstitial dan perdarahan. Sawar mukosa tidak

dipengaruhi oleh penghambatan vagus atau atropine, tetapi difusi balik dihambat oleh

gastrin.

Destruksi sawar mukosa lambung diduga merupakan faktor penting dalam

patogenesis ulkus peptikum. Ulkus peptikum sering terletak di antrum karena mukosa

antrum lebih rentan terhadap difusi balik disbanding fundus. Selain itu, kadar asam

yang rendah dalam analisis lambung pada penderita ulkus peptikum diduga

disebabkan oleh meningkatnya difusi balik dan bukan disebabkan oleh produksi yang

berkurang.

Daya tahan duodenum yang kuat terhadap ulkus peptikum diduga akibat

fungsi kelenjar Brunner (kelenjar duodenum submukosa dalam dinding usus) yang

memproduksi sekret mukoid yang sangat alkali, pH 8 dan kental untuk menetralkan

kimus asam. Penderita ulkus peptikum sering mengalami sekresi asam berlebihan.

Faktor penurunan daya tahan jaringan juga terlibat dalam ulkus peptikum. Daya tahan

jaringan juga bergantung pada banyaknya suplai darah dan cepatnya regenerasi sel

epitel (dalam keadaan normal diganti setiap 3 hari). kegagalan mekanisme ini juga

berperan dalam patogenesis ulkus peptikum.

16
4. GEJALA KLINIK
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut

atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik

berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.

Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai

dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita,

makan dapat memperburuk nyeri; pada penderita yang lain, makan bisa mengurangi

17
nyerinya. Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan

flatulensi (perut kembung).

Dispepsia Organik

a. Dispepsia Ulkus

Dispepsia ulkus merupakan bagian penting dari dispepsia organik. Di

negara negara barat prevalensi ulkus lambung lebih rendah dibandingkan dengan

ulkus duodeni. Sedang di negara berkembang termasuk Indonesia frekuensi ulkus

lambung lebih tinggi. Ulkus lambung biasanya diderita pada usia yang lebih

tinggi dibandingkan ulkus duodeni.

Gejala utama dari ulkus peptikum adalah hunger pain food relief. Untuk

ulkus duodeni nyeri umumnya terjadi 1 sampai 3 jam setelah makan, dan

penderita sering terbangun di tengah malam karena nyeri. Tetapi banyak juga

kasus kasus yang gejalanya tidak jelas dan bahkan tanpa gejala. Pada ulkus

lambung seringkali gejala hunger pain food relief tidak jelas, bahkan kadang

kadang penderita justru merasa nyeri setelah makan.

Penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama ulkus duodenum adalah

infeksi H. pylori, dan ternyata sedikitnya 95% kasus ulkus duodeni adalah H.

pylori positif, sedang hanya 70% kasus ulkus lambung yang H. pylori positif.

b. GERD

Dahulu GERD dimasukkan dalam dispepsia fungsional tetapi setelah

ditemukan dasar-dasar organik maka GERD dimasukan kedalam dispepsia

organik. Penyakit ini disebabkan Inkompetensi/relaksasi sphincter cardia yang

menyebabkan regurgitasi asam lambung ke dalam esofagus.

18
Dulu sebelum penyebab GERD diketahui dengan jelas, GERD

dimasukkan ke dalam kelompok dispepsia fungsional. Setelah penyebabnya jelas

maka GERD dikeluarkan dari kelompok tersebut dan dimasukkan ke dalam

dispepsia organik.

Gejala GERD :

Gejala khas, terdiri dari :

o Heart Burn
o Rasa panas di epigastrium
o Rasa nyeri retrosternal
o Regurgitasi asam
o Pada kasus berat : ada gangguan menelan

Gejala tidak khas :

o Nafas pendek
o Wheezing
o Batuk-batuk

Gejala GERD lebih menonjol pada waktu penderita terbaring terlentang dan

berkurang bila penderita duduk.

Gambaran Endoskopi:

Didapatkan lesi berupa robekan pada daerah spinter esophagus yang dibagi menjadi 4

derajat (Pembagian Los Angeles) :

Grade A :

Robekan mukosa tidak lebih dari 5 mm

Grade B :

Ada robekan mukosa yang lebih dari 5 mm dan kalau ada robekan mukosa di tempat

lain tidak berhubungan dengan robekan mukosa yang pertama.

Grade C :

19
Robekan mukosa pada 1 lipatan mukosa berhubungan dengan lipatan mukosa yang

lain tetapi tidak difus.

Grade D :

Robekan mukosa difus.

Dispepsia Fungsional

Gejala dispepsia fungsional (menurut kriteria Roma) :

a. Gejala menetap selama 3 bulan dalam 1 tahun terakhir.


b. Nyeri epigastrium yang menetap atau sering kambuh (recurrent).
c. Tidak ada kelainan organik yang jelas (termasuk endoskopi)
d. Tidak ada tanda-tanda IBS (Irritable Bowel Syndrome)

5. DIAGNOSIS
Dispepsia melalui simptom-simptomnya saja tidak dapat membedakan antara

dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Diagnosis dispepsia fungsional adalah

diagnosis yang telah ditetapkan, dimana pertama sekali penyebab kelainan organik

atau struktural harus disingkirkan melalui pemeriksaan. Pemeriksaan yang pertama

dan banyak membantu adalah pemeriksaan endoskopi. Oleh karena dengan

pemeriksaan ini dapat terlihat kelainan di oesophagus, lambung dan duodenum.

Diikuti dengan USG (Ultrasonography) dapat mengungkapkan kelainan pada saluran

bilier, hepar, pankreas, dan penyebab lain yang dapat memberikan perubahan

anatomis. Pemeriksaan hematologi dan kimia darah akan dapat mengungkapkan

penyebab dispepsia seperti diabetes, penyakit tyroid dan gangguan saluran bilier. Pada

karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa pertanda tumor.

Kriteria Diagnostik Dispepsia Fungsional berdasarkan Kriteria Rome III yaitu:

1. berasa terganggu setelah makan

2. cepat kenyang

20
3. nyeri epigastrik

4. panas/ rasa terbakar di epigastrik

Terbukti tidak ada penyakit struktural termasuk endoskopi proksimal yang

dapat menjelaskan penyebab terjadinya gejala klinis tersebut.

Kriteria haruslah terjadi dalam masa 3 bulan terakhir dengan onset gejala

klinis sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum diagnosis.

6. DIFERENSIAL DIAGNOSIS

Dispepsia adalah merupakan suatu simptom atau kelompok keluhan atau

gejala dan bukan merupakan suatu diagnosis. Diferensial diagnosis dyspepsia adalah

seperti box 1. Sangat penting mencari clue atau penanda akan gejala dan keluhan yang

merupakan etiologi yang bisa ditemukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan

fisik. 50%60% kasus, didapati tidak ada penyebab yang terdeteksi di mana pasien

dikatakan merupakan dispepsia fungsional. Prevalensi ulkus peptikum adalah 15%-

25% dan prevalensi esofagitis adalah 5%-15%. Kanker digestif bagian atas < 2%.

Disebabkan kanker digestif bagian atas jarang pada umur <50 tahun, pemeriksaan

endoskopi direkomendasi pada pasien yang berusia > 50 tahun. Juga direkomendasi

pada pasien yang mangalami penurunan berat badan yang signifikan, terjadi

pendarahan, dan muntah yang terlalu teruk.

Box 1: Diagnosis banding dispepsia

Dispepsia non ulkus

Gastro-oesophageal reflux disease.

Ulkus peptikum.

Obat-obatan: obat anti inflamasi non-steroid, antibiotik, besi, suplemen


kalium, digoxin.

Malabsorbsi Karbohidrat (lactose, fructose, sorbitol).

21
Cholelithiasis or choledocholithiasis.

Pankreatitis Kronik.

Penyakit sistemik (diabetes, thyroid, parathyroid, hypoadrenalism, connective


tissue disease).

Parasit intestinal.

Keganasan abdomen (terutama kanser pancreas dan gastrik).

7.PENATALAKSANAAN
Tata laksana dispepsia dimulai dengan usaha untuk identifiasi patofisiologi

dan faktor penyebab sebanyak mungkin. Terapi dispepsia sudah dapat

dimulai berdasarkan sindroma klinis yang dominan (belum diinvestigasi) dan

dilanjutkan sesuai hasil investigasi.

Dispepsia belum diinvestigasi

Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi

empirik selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu pemeriksaan

adanya Hp. Untuk daerah dan etnis tertentu serta pasien dengan faktor

risiko tinggi, pemeriksaan Hp harus dilakukan lebih awal.

Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam

lambung (PPI misalnya omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atau

H2-Receptor Antagonist [H2RA]), prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya

rebamipide), di mana pilihan ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan

riwayat pengobatan pasien sebelumnya. Masih ditunggu pengembangan

obat baru yang bekerja melalui down-regulation proton pump yang diharapkan

memiliki mekanisme kerja yang lebih baik dari PPI, yaitu DLBS.

Terkait dengan prevalensi infeksi Hp yang tinggi, strategi test and treat

22
diterapkan pada pasien dengan keluhan dispepsia tanpa tanda bahaya.

Test and treat dilakukan pada:

Pasien dengan dispepsia tanpa komplikasi yang tidak berespon

terhadap perubahan gaya hidup, antasida, pemberian PPI tunggal

selama 2-4 minggu dan tanpa tanda bahaya.

Pasien dengan riwayat ulkus gaster atau ulkus duodenum yang belum

pernah diperiksa.

Pasien yang akan minum OAINS, terutama dengan riwayat ulkus

gastroduodenal.

Anemia defiiensi besi yang tidak dapat dijelaskan, purpura

trombositopenik idiopatik dan defiiensi vitamin B12.

Test and treat tidak dilakukan pada:

Penyakit reflks gastroesofageal (GERD).

Anak-anak dengan dispepsia fungsional.

Dispepsia yang telah diinvestigasi

Pasien-pasien dispepsia dengan tanda bahaya tidak diberikan terapi

empirik, melainkan harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan

endoskopi dengan atau tanpa pemeriksaan histopatologi sebelum ditangani

sebagai dispepsia fungsional.

Setelah investigasi, tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa pada

beberapa kasus dispepsia ditemukan GERD sebagai kelainannya.

Dispepsia organik

23
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil endoskopi,

terapi dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang

termasuk ke dalam kelompok dispepsia organik antara lain gastritis, gastritis

hemoragik, duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum, atau proses keganasan.

Pada ulkus peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus duodenum), obat yang

diberikan antara lain kombinasi PPI, misal rabeprazole 2x20 mg/ lanzoprazole

2x30 mg dengan mukoprotektor, misalnya rebamipide 3x100 mg.

Dispepsia fungsional

Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan mukosa,

terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada.

Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon, cisaprid,

itoprid dan lain sebagainya dapat memberikan perbaikan gejala pada beberapa

pasien dengan dispepsia fungsional. Hal ini terkait dengan perlambatan

pengosongan lambung sebagai salah satu patofiiologi dispepsia fungsional.

Kewaspadaan harus diterapkan pada penggunaan cisaprid oleh karena

potensi komplikasi kardiovaskular.

Data penggunaan obat-obatan antidepresan atau ansiolitik pada pasien

dengan dispepsia fungsional masih terbatas. Dalam sebuah studi di Jepang

baru-baru ini menunjukkan perbaikan gejala yang signifian pada pasien

dispepsia fungsional yang mendapatkan agonis 5-HT1 dibandingkan plasebo.

Di sisi lain venlafaxin, penghambat ambilan serotonin dan norepinerfrin tidak

menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding plasebo.

Gangguan psikologis, gangguan tidur, dan sensitivitas reseptor serotonin

sentral mungkin merupakan faktor penting dalam respon terhadap terapi

antidepresan pada pasien dispepsia fungsional.

24
Tata laksana dispepsia dengan infeksi Hp

Eradikasi Hp mampu memberikan kesembuhan jangka panjang terhadap

gejala dispepsia. Dalam salah satu studi cross-sectional pada 21 pasien di

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta (2010) didapatkan bahwa terapi

eradikasi memberikan perbaikan gejala pada mayoritas pasien dispepsia

dengan persentase perbaikan gejala sebesar 76% dan 81% penemuan Hp

negatif yang diperiksa dengan UBT.

Penelitian prospektif oleh Syam AF, dkk tahun 2010 menunjukkan bahwa

terapi eradikasi Hp dengan triple therapy (rabeprazole, amoksisilin, dan

klaritromisin) selama 7 hari lebih baik dari terapi selama 5 hari.

8. PENCEGAHAN

Makan secara benar. Hindari makanan yang dapat mengiritasi terutama

makanan yang pedas, asam, gorengan atau berlemak. Yang sama pentingnya

dengan pemilihan jenis makanan yang tepat bagi kesehatan adalah bagaimana

cara memakannya. Makanlah dengan jumlah yang cukup, pada waktunya dan

lakukan dengan santai.

Hindari alkohol. Penggunaan alkohol dapat mengiritasi dan mengikis lapisan

mukosa dalam lambung dan dapat mengakibatkan peradangan dan

pendarahan.

Jangan merokok. Merokok mengganggu kerja lapisan pelindung lambung,

membuat lambung lebih rentan terhadap gastritis dan borok. Merokok juga

meningkatkan asam lambung, sehingga menunda penyembuhan lambung dan

merupakan penyebab utama terjadinya kanker lambung. Tetapi, untuk dapat

berhenti merokok tidaklah mudah, terutama bagi perokok berat. Konsultasikan

25
dengan dokter mengenai metode yang dapat membantu untuk berhenti

merokok.

Lakukan olah raga secara teratur. Aerobik dapat meningkatkan kecepatan

pernapasan dan jantung, juga dapat menstimulasi aktifitas otot usus sehingga

membantu mengeluarkan limbah makanan dari usus secara lebih cepat.

Kendalikan stress. Stress meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke,

menurunkan sistem kekebalan tubuh dan dapat memicu terjadinya

permasalahan kulit. Stress juga meningkatkan produksi asam lambung dan

melambatkan kecepatan pencernaan. Karena stress bagi sebagian orang tidak

dapat dihindari, maka kuncinya adalah mengendalikannya secara effektif

dengan cara diet yang bernutrisi, istirahat yang cukup, olah raga teratur dan

relaksasi yang cukup.

Ganti obat penghilang nyeri. Jika dimungkinkan, hindari penggunaan OAINS,

obat-obat golongan ini akan menyebabkan terjadinya peradangan dan akan

membuat peradangan yang sudah ada menjadi lebih parah. Ganti dengan

penghilang nyeri yang mengandung acetaminophen.

Ikuti rekomendasi dokter.

13. PROGNOSIS

Statistik menunjukkan sebanyak 20% pasien dispepsia mempunyai ulkus

peptikum, 20% mengidap Irritable Bowel Syndrome, kurang daripada 1% pasien

terkena kanker, dan dispepsia fungsional dan dyspepsia non ulkus adalah 5-40%.

Terkadang dispepsia dapat menjadi tanda dari masalah serius, contohnya

penyakit ulkus lambung yang parah. Tak jarang, dispepsia disebabkan karena kanker

lambung, sehingga harus diatasi dengan serius. Ada beberapa hal penting yang harus

diperhatikan bila terdapat salah satu dari tanda ini, yaitu: Usia 50 tahun ke atas,

26
kehilangan berat badan tanpa disengaja, kesulitan menelan, terkadang mual-muntah,

buang air besar tidak lancar dan merasa penuh di daerah perut.

KESIMPULAN

Dispepsia merupakan keluhan yang sangat umum, terjadi pada lebih dari

seperempat populasi, tetapi hanya kurang lebih seperempatnya berkonsultasi ke

dokter. Terdapat banyak penyebab dispepsia, antaranya adalah gangguan atau

penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau duodenum, gastritis, tumor,

infeksi Helicobacter pylori. Obat obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS),

aspirin, beberapa antibiotik, digitalis, teofilin dan sebagainya. Penyakit pada hati,

pankreas, sistem bilier, hepatitis, pankreatitis, kolesistetis kronik. Penyakit sistemik:

diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner. Bersifat fungsional, yaitu

dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti adanya kelainan atau gangguan

organik atau struktural biokimia, yaitu dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus.

27
Dispepsia adalah merupakan suatu simptom atau kelompok keluhan atau gejala dan

bukan merupakan suatu diagnosis. Sangat penting mencari clue atau penanda akan

gejala dan keluhan yang merupakan etiologi yang bisa ditemukan berdasarkan

anamnesis dan pemeriksaan fisik. Disebabkan kanker digestif bagian atas jarang pada

umur <50 tahun, pemeriksaan endoskopi direkomendasi pada pasien yang berusia >

50 tahun. Juga direkomendasi pada pasien yang mangalami penurunan berat badan

yang signifikan, terjadi pendarahan, dan muntah yang terlalu teruk. Penatalaksanaan

dispepsia adalah meliputi pola hidup sehat, berpikiran positif dan pemakanan yang

sehat dan seimbang, selain daripada pengobatan. Pengobatan dispepsia adalah

antaranya seperti antasid, antikolinergik, antagonis reseptor histamin 2, Proton Pump

Inhibitor, sitoprotektif, golongan prokinetik, antibiotik untuk infeksi Helicobacter

pylori dan kadang kadang diperlukan psikoterapi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Sudoyo AW,


Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit
dalam, Ed. V, 2009. Indonesia; Balai Penerbit FKUI. H. 285
2. Jones MP. Evaluation and treatment of dyspepsia. Post Graduate Medical
Journal. 2003;79:25-29.
3. Tack J, Nicholas J, Talley, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, et al. Functional
Gastroduadenal. Gastroenterology. 2006;130:1466-1479.
4. Glenda NL. Gangguan lambung dan duodenum. Patofisiologi. Edisi ke-6.
EGC; 2006.h.417-19.
5. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helycobacter Pylori. 2014

28

Anda mungkin juga menyukai