PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini agar mahasiswa dapat mengetahui proses rigor
moris pada daging ternak.
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2
2.2 Proses Terbentuknya Rigor Moris
3
3. Fase post rigor
Semakin lamanya daging terpapar semakin banyak kontaminan mikrobia
didalamnya. Pada fase inidaging akan kembali lunak dikarenkan peranan enzim
katepsin yang membantu pemecahan protein aktomiosin menjadi protein
sederhana. Daging pada fase post rigor baik untuk diolah karena tekstur daging
sudah kembali melunak, namun pengolahan daging harus dilakukan sesegera
mungkin untuk menghindari kontaminasi mikrobia semakin banyak dan
terjadinya perubahan kea rah penurunan mutu terhindari.
Pemaparan daging lebih lanjut akan menjadikan daging semakin
mengalami penurunan mutu. Daging akan menjadilembek dan menghasilkan
aroma busuk. Kebusukan pada daging disebabkan oleh pemecahan protein
menjadi protein sederhana yang menyisakan gugus amino (alkali) dan sulfur
yang merupakan senyawa yang menyebabkan timbulnya bau busuk pada daging.
Aktomiosin
Aktomiosin adalah pertautan antara miofilamen tebal (myosin) dan
miofilamen tipis (aktin) pada organisasi miofibriler otot (Modul Struktur Otot)
4
dan mengakibatkan terjadinya kekakuan otot. Pada saat ternak masih hidup maka
pertautan kedua miofilamen ini (tebal dan tipis) berlangsung secara reversible
(ulang alik) yakni kontraksi dan relaksasi. Ketika kedua miofilamen bergesek
maka dikatakan terjadi kontraksi dan sarkomer (panjang serat) akan memenedek
sebaliknya pada saat kedua miofilamen saling melepas (tidak terjadi pergesekan)
maka disebut terjadi relaksasi ditnadai dengan sarkomer memanjang.Sesaat
setelah ternak mati maka kontraksi otot masih berlangsung sampai ATP habis
dan aktomiosin terkunci (irreversible). Otot menjadi kaku (kejang mayat) dan
tidak ekstensible; pada ssat ini tidak dibenarkan untuk memasak daging karena
akan sangat terasa alot.
5
pengolahan daging (bakso, sosis, nugget). Demikian pula pada saat prarigor,
dimana otot masih berkontraksi sangat baik digunakan dalam pengolahan. pH
asam akan mengakibatkan daya ikat air (water holding capacity) akan menurun,
sebaliknya ketika pH akhir tinggi akan memberikan daya ikat air yang tinggi.
Warna daging menjadi merah cerah pada saat pH mencapai pH akhir normal (5.5
5.8) pada saat terbentuknya rigor mortis.
1) Spesis; pada ternak babi waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor
mortis lebih singkat, beberapa jam malahan bisa beberapa menmeit pada
kasus PSE (pale soft exudative) dibanding dengan pada sapi yang
membutuhkan waktu 24 jam pada kondisi rigor mortis sempurna.
Dikatakan sempurna jika rigor mortis terjadi selama 24 jam pada ternak
dengan kondisi cukup istirahat dan full glikogen sebelum disembelih dan
suhu ruangan sekitar 15C.
2) Individu; terdapat perbedaan waktu terbentuk rigor mortis pada individu
berbeda dari jenis ternak yang sama. Sapi yang mengalami stress atau
tidak cukup istirahat sebelum disembelih akan memebutuhkan waktu yang
lebih cepat untuk instalasi rigor mortis dibanding dengan sapi yang cukup
istirahat dan tidak stress pada saat menjelang disembelih.
3) Macam serat; ada dua macam serat berdasarkan warena yang menyusun
otot yakni serat merah dan serat putih. Rigor mortis terbentuk lebih cepat
pada ternak yang tersusun oleh serat putih yang lebih banyak dibanding
6
dengan serat merah. Pada otot dengan serat merah yang lebih banyak
memperlihatkan pH awal lebih tinggi dengan aktivitas ATP ase yang lebih
rendah. Aktivitas ATP ase yang lemah akan membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk menghabiskan ATP. Dengan demikian pada otot merah
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbentuknya rigor mortis.
7
Terdapat tiga sel dalam jaringan ikat :
a) fibroblast, bertanggung jawab pada sintesa dan pembaharuan bahan-
bahan ekstra seluler
b) adiposit, bertanggung jawab pada penyimpanan dan metabolisme
lemak,
c) makrofak tissuler, bertanggung jawab pada proses pertahanan
immunisasi.
Cairan dasar, merupakan bahan organik dari mukopolisakarida dan terdiri
atas mukoprotein, tropokolagen dan tropoelastin (Fitton-Jackson, 1964). Mc
Intosh (1961) melaporkan bahwa 8 - 12 % nitrogen muskuler diantaranya berasal
dari mukoprotein. Ada tiga serat yang menyusun jaringan ikat : 1) kolagen, terdiri
dari gabungan dari sejumlah serabut-serabut dengan diameter 0,3 - 0,5 m dan
tebalnya 1 - 12 m, 2) retikulin, merupakan mukoprotein dimana bahan dan
ultrastrukturnya serupa dengan kolagen, sekalipun serabut-serabut retikulin lebih
pendek dan strukturnya lebih halus dibandingkan dengan kolagen (Asghar dan
Pearson, 1980), 3) elastin, serat-seratnya bercabang-cabang dan jumlahnya bisa
mencapai 1,9 - 37 % dari jaringan ikat otot sapi. Pada beberapa otot sapi, seperti
Semitendinosus, Latissimus dorsi dan Tensor fascia latae, menyajikan elastin
lebih dari 10 % dari jaringan ikat (Bendall, 1967) Dari ketiga serat yang
menyusun jaringan ikat, kolagen merupakan serat yang paling dominan (95 %)
dan paling besar peranannya dalam menentukan kekerasan/kealotan pada otot.
Dengan demikian bahasan tentang jaringan ikat lebih banyak ditujukan pada
kolagen.
Korelasi yang erat antara kandungan kolagen dengan kekerasan daging
yang dinilai dengan melakukan pemutusan paralel dengan arah serat daging,
koefisien korelasi (R) 0,82 antara kandungan kolagen dengan indeks kekerasan
daging yang diukur menggunakan Warner Bratzles shear force. koefisien relasi
antara daya putus daging dengan kandungan kolagen yang terdapat pada daging
mentah yang telah mengalami maturasi sebesar +0,87. Beberapa penilitian
menemukan korelasi antara daya putus dengan kandungan kolagen pada otot
Longissimus dorsi dan Semitendinosus yang cukup rendah. Kandungan dan
solubilitas kolagen hanya dapat menjelaskan variasi keempukan sebesar 15 20%
8
pada otot Longissimus dorsi dan Semitendinosus dari ternak dengan genotip yang
sama.
Metabolisme energetik jaringan muskular utamanya diorientasikan untuk
produksi energi, yang dimungkinkan oleh karena adanya alat kontraktil.
Dikarakterisasi melalui peranan yang mendalam dari karbohidrat, sekalipun otot
juga menggunakan asam lemak. Pada periode aktivitas kontraktil, glukosa
merupakan sumber yang utama. Degradasi lengkap secara oksidatif dari glukosa
ini memungkinkan untuk pembentukan ATP yang efektif.
Aktivitas Kontraktil
Berdasarkan atas kecepatan kontraksi, maka diantara serat-serat dapat
dibedakan atas serat dengan kecepatan kontraksi cepat dan serat dengan kecepatan
kontraksi lambat. Perbedaan kedua jenis kecepatan kontraksi ini ditentukan oleh
perbedaan pada tingkat peralatan pada kepala molekul miosin. Secara umum,
berdasarkan studi histokimia dapat diperlihatkan bahwa serat-serat tipe metabolik
merah dapat memiliki suatu sistim kontraktil dengan tipe lambat atau cepat.
Sebaliknya serat-serat tipe metabolik putih nampaknya hanya dapat memiliki
sistim kontraktil tipe cepat.
Variabilitas Dari Penyusun Otot
Pada ternak yang sama dari otot yang berbeda terdapat variabilitas tipe serat
muskuler. Variasi juga terjadi pada otot yang sama dari jenis ternak yang berbeda
terutama pada spesies yang berbeda.
9
kualitatif demikian juga perbedaan penyebaran jaringan ikat tersebut. Pada spesies
yang sama dan juga pada tipe otot yang sama, umur menjadi faktor yang penting
dari variasi kandungan mioglobin dan lipid, demikian juga dengan struktur
kolagen.
jaringan ikat dalam otot yang lebih banyak digerakkan selama ternak masih hidup
seperti otot Pectoralis profundus memiliki tekstur yang lebih kasar, sedangkan
otot yang kurang digerakkan seperti otot Semitendinosus dan Longissimus dorsi
memiliki tekstur yang lebih halus. Otot yang teksturnya kasar akan kurang empuk
dibandingkan dengan otot yang teksturnya halus. pada otot Longissimus dorsi
sensasi jus yang tinggi dan juga flavor yang baik sedangkan pada otot Pectoralis
propundus memiliki residu pengunyahan yang banyak (alot) dan juga sensasi
yang kering.
menentukan empuk tidaknya daging, selain itu jaringan ikat juga mempengaruhi
tekstur dari pada daging. Otot yang mengalami banyak aktifitas selama hidup
memiliki tekstur yang lebih kasar, seperti otot Pectoralis profundus. Sedangkan
otot Semitendinosus dan Longissimus dorsi memiliki tekstur yang lebih halus.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Sebagai seorang mahasiswa peternakan kita harus mengetahui bagaimana
kondisi daging ternak yang baik.
11