Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Illahi Robbi, karena berkat limpahan rahmat dan
hidayah-Nya lah penyusun bisa menyelesaikan tugas laporan tutorial ini dengan baik tanpa
aral yang memberatkan.
Laporan ini disusun sebagai bentuk dari pemenuhan tugas laporan tutorial skenario B
yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) di
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, khususnya pada Blok Kegawatdaruratan. Terima
kasih tak lupa pula kami sampaikan kepada dr. Theresia Christin, Sps yang telah
membimbing dalam proses tutorial ini, beserta pihak-pihak lain yang terlibat, baik dalam
memberikan saran, arahan, dan dukungan materil maupun inmateril dalam penyusunan tugas
laporan ini.
Penyusun menyadari bahwa laporan ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik yang membangun sangat kami harapkan sebagai bahan pembelajaran yang baru bagi
penyusun dan perbaikan di masa yang akan datang.

Palembang, 23 September 2016


Penyusun

Kelompok Tutorial II

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
I.1. Latar Belakang................................................................................... 1
I.2. Maksud dan Tujuan............................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................... 2
I. Skenario B.............................................................................. 2
II. Klarifikasi Istilah............................................................................... 2
III. Identifikasi Masalah........................................................................... 3
IV. Analisis Masalah................................................................................ 4
V. Kerangka Konsep............................................................................... 29
VI. Learning Issue ................................................................................... 30
BAB III PENUTUP................................................................................................... 44
I. KESIMPULAN......................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 45

ii
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Blok Kegawatdaruratan adalah blok ke-28 semester VII dari Kurikulum Berbasis
Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang. Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan
pembelajaran untuk menghadapi kasus yang sebenarnya pada waktu yang akan
datang.

I.2. Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu:
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode
analisis pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.

1
BAB II
PEMBAHASAN
I. SKENARIO
Dr. Merdu telah berpraktek mandiri di kecamatan Ilalang yan berpenduduk
35.000 jiwa selama 5 hun. Dr. merdu mingguu lalu baru kemabli dari mengikuti
I nawacitaseminar tentang toopik menggapai SDGs melalui Nawacita dan
meraskan isi seminar tersebut sangat erat dengan tugasnya sebagai pelaku
kesehatan di desa. Dr merdu merasa berkewajiban untuk menjaga dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang berada di desanya dan sejak
itu dr. Merdu berpraktek dengan pendekatan pelayanan Dokter Keluarga.

Dua hari yan lalu dr. Merdu mendapatkan ibu Lili yang dirujuk balik oleh
RSUDKabupaten dengan diagnosis Stroke ec Hipetensi dan diminta untuk
melanjutkan pengobatan untuk pasien tersebut. Pasien sangat berharap untuk
tidak kembali dirawat di RSUD Kabupaten. Dengan berpegangan pada sistem
rujukan di era JKN dan bekal ilmu Kedokteran Keluarga, dr. Merdu melakukan
penatalaksaan terhadap ibu Lili dengan pendekatan pelayanan dokter keluarga.

Sebagai dokter yang berpraktek sebagai dokter keluarga, dr. Merdu menerapkan
prinsip-prinsip, karakteristik, standar dan kompetensi kedokteran keluarga sesuai
dengan WHO, WONCA, konsep dasar dan pendaktan pelayanan kedokteran
keluarga sebagai landasan dalam bertugas sebagai dokter yang berpraktek di
kecamatan ilalang. Dengan menggunakan koonsep-konsep genogram, Mandala
of Health, konsep Bloom, Konsep L Green, komunikasi individu dan keluarga
serta APGAR dr. Merdu bertekad untuk melakukan penatalaksanaan yang
bersofat promotive da preventif untuk penyakit ibu Lili di seluruh keluarga yang
ada dikecamatannya.

Dr. Merdu ingin berdiskusi dan meminta pendapat anda sebagai pelaku
kesehatan yang memiliki kewajiban yang sama, untuk melakukan

2
penatalaksanaan terhadap ibu Lili dengan penatalaksanaan pelayanan Dokter
keluarga.
II. KLARIFIKASI ISTILAH
1. SDGs : Sustainable development Goals atau tujuan
pembangunan berkelanjutan adalah 17 tuuan
dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat
yang telh ditentukan oleh PBB sebagai
agenda dunia, pembangunan untuk
kemaslahatan manusia dan planet bumi.
2. Nawacita : sembila program prioritas pada cabinet kerja
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden
Jusuf Kalla yang menargetkan pengentasan
kemiskinan, akses Pendidikandan kesehatan
untuk semua, ketahanna pangan, akses energi
untuk semua secara berkelanjutan,
pembangunan infrastruktur untuk efisiensi
dan kemandirian ekonomi.
3. Pelayanan Dokter keluarga : rasa tidak mengenakkan pada seluruh daerah
kepala dengan batas bawah dari dagu sampai
ke daerah belakang kepala
4. Stroke : infark di daerah vaskuler yang terjadi akibat
stenosis atau oklusi pada pembuluh darah yang memperdarahinya
5. Hipertensi : Tingginya tekanan darah arteri secara
persisten dengan sistol diatas sama dengan 140 atau diastole 90 pada dua
kali pengukuran dan dalam keadaan istirahat
6. Rujuk Balik : Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada
penderita dnegan kondisi kronik atau masih
stabil srta masih perlu pengobatan atau
asuhan keperawatan jangka panjang yang
dilaksanakan di faskes tingkat pertam a atas

3
rujukan dari dokter spesialis atau
subspesialis.
7. Sistem Rujukan : sistem yang dikelola secara strategis,
pragmatis, merata, proaktif, dan koordinatif
untuk menjamin pemerataan pelayanan
kesehatan. Pelimpahan tanggun jawab secara
timbal balik atas suatu kasus atau masalah
medik yang timbul baik secara vertical
maupun horizontal kepada yang lebih
berwenang dan mampu, terjangaku, dan
rasional.
8. JKN : Jaminan Kesehatan Nasional merupakan
bagian dari sistem jaminan nasional yang bertujuan agar seluruh penduduk
Indonesia terlindungi dari sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak. Diselenggarakan oleh
BPJS Kesehatan.
9. Ilmu kedokteran keluarga : merupakan ilmu kedokeran yang orientasinya
adalah pelayan tingkat pertama, berkesinambungan, menyeluruh bagi satu
kesatuan (individu, keluarga, dan masyarakat) memperhatikan faktor faktor
lingkungan, ekonomi, dan budaya.
10. Wonca :
the world organization of national collagues, academies and academic
association of general practitioner/family physicians merupakan organisasi
pofesional non profit yang membawahi dokter keluarag dan dokter umum
dari seluruh dunia
11. Genogram : peta atau riawyat keluarga yang
menggunnakan symbol symbol khusu untuk menjelaskan hubungan,
peristiwa penting, dan dinamika keluarga dalam beberapa generasi.
12. Konsep Mandala of health : konsep kesehatan yang terdiri dari tiga
komponen penting yaitu body, mind, spirit.

4
13. Konsep bloom : konsep yang diciptakan oleh Benjamin S
bloom untuk mengklasifikasian sasaran atau tjuan pedidikan menjadi 3
domain atau ranah kawasan yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor dan
setiap ranah tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci
berdasarkan hierarkinya.
14. Konsep L Green : konsep yang dikemukakan Lawrence Green
untuk menganalisis perilaku manusia dimana perilaku seseorang ditentukan
oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang
atau masyarakat yang bersangkutan
15. APGAR : skor yang digunakakn untuk menilai fungsi
keluarga ditinjau dari sudut pandang dari seiap anggota keluarga terhadap
hubungannya dengan anggota keluarg alain meliputi adaptation, partnership,
growth, affection, resolve.
16. Promotive : serangkaian upaya tau kegiatan pelayanan
kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi
kesehatan.
17. Prefentif : melkukan berbagai tindakan untuk
menghindari terjadinya berbagai masalah kesehatan yang mengancam diri
sendiri maupun orang lain di masa yang akan datang
III. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Dr. Merdu telah berpraktek mandiri di kecamatan Ilalang yan berpenduduk
35.000 jiwa selama 5 hun. Dr. merdu mingguu lalu baru kemabli dari
mengikuti I nawacitaseminar tentang toopik menggapai SDGs melalui
Nawacita dan meraskan isi seminar tersebut sangat erat dengan tugasnya
sebagai pelaku kesehatan di desa. Dr merdu merasa berkewajiban untuk
menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang berada di
desanya dan sejak itu dr. Merdu berpraktek dengan pendekatan pelayanan
Dokter Keluarga. (V)
2. Dua hari yan lalu dr. Merdu mendapatkan ibu Lili yang dirujuk balik oleh
RSUDKabupaten dengan diagnosis Stroke ec Hipetensi dan diminta untuk
melanjutkan pengobatan untuk pasien tersebut. Pasien sangat berharap untuk

5
tidak kembali dirawat di RSUD Kabupaten. Dengan berpegangan pada
sistem rujukan di era JKN dan bekal ilmu Kedokteran Keluarga, dr. Merdu
melakukan penatalaksaan terhadap ibu Lili dengan pendekatan pelayanan
dokter keluarga (VVV)
3. Sebagai dokter yang berpraktek sebagai dokter keluarga, dr. Merdu
menerapkan prinsip-prinsip, karakteristik, standar dan kompetensi
kedokteran keluarga sesuai dengan WHO, WONCA, konsep dasar dan
pendaktan pelayanan kedokteran keluarga sebagai landasan dalam bertugas
sebagai dokter yang berpraktek di kecamatan ilalang. Dengan menggunakan
koonsep-konsep genogram, Mandala of Health, konsep Bloom, Konsep L
Green, komunikasi individu dan keluarga serta APGAR dr. Merdu bertekad
untuk melakukan penatalaksanaan yang bersofat promotive da preventif
untuk penyakit ibu Lili di seluruh keluarga yang ada dikecamatannya. Dr.
Merdu ingin berdiskusi dan meminta pendapat anda sebagai pelaku
kesehatan yang memiliki kewajiban yang sama, untuk melakukan
penatalaksanaan terhadap ibu Lili dengan penatalaksanaan pelayanan Dokter
keluarga. (VV)

IV. ANALISIS MASALAH

1. Dr. Merdu telah berpraktek mandiri di kecamatan Ilalang yang


berpenduduk 35.000 jiwa selama 5 tahun. Dr. merdu minggu yang lalu
baru kembali dari mengikuti seminar tentang topik menggapai SDGs
melalui Nawacita dan merasakan isi seminar tersebut sangat erat
dengan tugasnya sebagai pelaku kesehatan di desa. Dr. Merdu merasa
berkewajiban untuk menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang berada di desanya dan sejak itu dr. Merdu berpraktek
dengan pendekatan pelayanan Dokter Keluarga.
a. Apa saja komponen SDGs? 1,6
b. Apa saja tugas dan pelayanan dokter keluarga? 2, 7
c. Bagaimana cara pendekatan pelayanan kedokteran keluarga? 3,8

6
2. Dua hari yan lalu dr. Merdu mendapatkan ibu Lili yang dirujuk balik
oleh RSUD Kabupaten dengan diagnosis Stroke ec Hipertensi dan
diminta untuk melanjutkan pengobatan untuk pasien tersebut. Pasien
sangat berharap untuk tidak kembali dirawat di RSUD Kabupaten.
Dengan berpegangan pada sistem rujukan di era JKN dan bekal Ilmu
Kedokteran Keluarga, dr. Merdu melakukan penatalaksaan terhadap
ibu Lili dengan pendekatan pelayanan dokter Keluarga.
a. Bagaimana sistem rujukan di era JKN? (termasuk rujuk balik) 4,
9,10
b. Bagaimana penatalaksanaan pengobatan stroke ec hipertensi
setelah di rujuk balik? 5, 10
3. Sebagai dokter yang berpraktek sebagai Dokter keluarga, dr. Merdu
menerapkan Prinsip-prinsip, Karakteristik, Standar dan Kompetensi
Kedokteran Keluarga (sesuai dengan WHO, WONCA), konsep dasar
dan pendekatan pelayanan kedokteran keluarga sebagai landasan dalam
bertugas sebagai dokter yang berpraktek di kecamatan ilalang. Dengan
menggunakan konsep-konsep genogram, Mandala of Health, konsep
Bloom, Konsep L Green, komunikasi individu dan keluarga serta
APGAR dr. Merdu bertekad untuk melakukan penatalaksanaan yang
bersofat promotive da preventif untuk penyakit ibu Lili di seluruh
keluarga yang ada dikecamatannya. Dr. Merdu ingin berdiskusi dan
meminta pendapat anda sebagai pelaku kesehatan yang memiliki
kewajiban yang sama, untuk melakukan penatalaksanaan terhadap ibu
Lili dengan penatalaksanaan pelayanan Dokter keluarga.
a. Bagaimana prinsip kedokteran keluarga menurut WHO dan WONCA? 6,
11
b. Apa saja karakteristik pelayanan dokter keluarga menurut WHO dan
WONCA? 7, 1
c. Bagaimana standar dan kompetensi kedokteran keluarga menurut WHO
dan WONCA? 8, 2
d. Apa saja konsep dasar dan pendekatan pelayanan kedokteran keluarga? 9

7
e. Apa isi konsep:
i. Genogram 10, 3
ii. mandala of health 11, 4
iii. bloom 1, 5
iv. L Green 2, 6
v. komunikasi individu dan keluarga 3, 7
vi. APGAR 4, 8
f. Bagaimana implementasi dari 5 level of prevention pada kasus? 5, 9, 11

LI
- Pelayanan dokter keluarga 1,4,7,10
- 5 level of prevention 2,5,8,11
- Sistem rujukan JKN (baca UU) 3,6,9

1. vinka
2. kamil
3. icop
4. ali
5. sikam
6. ezra
7. anty
8. ikke
9. fidy
10. eliz
11. ian

V. KERANGKA KONSEP

Cedera kepala

8
Fraktur os temporal

Robekan & perdarahan A. Meningeal media

Hematom epidural

Pingsan

Kompensasi (csf dan darah vena keluar


dari ruang intra kranial)

TIK normal

Pasien sadar kembali

Hematom terus berlanjut

TIK meningkat

Perfusi otak inadekuat Nyeri kepala Herniasi uncus MAP TD

Kompensasi Iskemik
Menekan Desak ARAS Tekan N.III
RR meningkat Mengeluarkan batang otak
bradikinin, serotonin, Kesadaran
fospolipid Refleks Pupil
pupil (-) anisokor

Muntah Pusat napas merangsang


pusat inhibisi
di jantung
RR meningkat
Bradikardi

VI. LEARNING ISSUE


1. Trauma Kapitis

9
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma)
yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan
struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat,
2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas,
2006).
Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :
1. Tekanan Intra Kranial
Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah,
dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume
tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intra kranial normal
sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam
keadaan normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh
aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat sementara waktu sampai
tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal.
Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh
sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu :
otak ( 1400 g), cairan serebrospinal ( sekitar 75 ml), dan darah
(sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga
unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh
unsur lainnya dan menaikkan tekanan intra kranial
(Lombardo,2003 ).
2. Hipotesa Monro-Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas
sehingga bila salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua
komponen lainnya harus mengkompensasi dengan mengurangi
volumenya ( bila TIK masih konstan ). Mekanisme kompensasi
intra kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural dapat

10
menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari
meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis
dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa
meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi yang berpotensi
mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak
dan pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin
meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada
fungsi saraf. Apabila peningkatan TIK berat dan menetap,
mekanisme kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan
dapat menyebabkan kematian neuronal (Lombardo, 2003).

Patofisiologi Trauma Kapitis


Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap
yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera
pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan
oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh
proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala (Gennarelli, 1996 dalam Israr
dkk, 2009).
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa
perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil,
tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio
di bawah area benturan disebut lesi kontusio coup, di seberang area
benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika
terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio countercoup.
Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang
sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik.
Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk
dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi
linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan
intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang

11
berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan Sidharta,
2008).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003
dalam Israr dkk,2009). Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh
siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek
kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa
menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf
mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat
diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.
Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan,
kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada
dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan
pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke
menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen,
dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera
mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume
darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah
tertentu dalam otak ( Lombardo, 2003 ).

Klasifikasi Trauma Kapitis


Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai
aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;
mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala

12
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau
pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak
ataupun tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua
matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai
nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan
otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak
bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS
sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat.
Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-
13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai
GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.
Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi
keparahan dari Traumatic Brain Injury yaitu :

2. Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural adalah sebuah bentuk cedera kepala yang mudah
ditangani yang selalu berhubungan dengan prognosa yang baik. Pada
beberapa kejadian yang jarang, perdarahan seperti itu bisa terjadi spontan.

13
Kemajuan dalam pencitraan CT kontemporer telah memberi konfirmasi
diagnosa perdarahan epidural dengan cepat dan akurat.
Perdarahan epidural muncul dalam ruang potensial diantara dura dan
kranium. Epi dalam bahasa Yunani berarti diatas. Sebuah perdarahan
epidural bisa juga merujuk pada ekstradural (diluar dura).
Perdarahan epidural akibat gangguan pembuluh darah dura, termasuk
cabang-cabang arteri dan vena meningea media, sinus venosus dura, dan
pembuluh darah kranium. Perdarahan dan pertumbuhan berkelanjutan bisa
mengakibatkan hipertensi intrakranial.
Sebanyak 10-20% dari semua pasien dengan cedera kepala
diperkirakan mendapat perdarahan epidural, insiden yang sebanding dengan
usia terdapat pada populasi pediatri. Kira-kira 17% pasien yang sebelumnya
sadar lalu memburuk menjadi koma setelah trauma diketahui mendapat
perdarahan epidural.

DEFINISI
Perdarahan epidural adalah perdarahan yang menghasilkan
sekumpulan darah diluar dura mater otak atau tulang belakang. Perdarahan
biasanya sebagai akibat dari robeknya arteri meningea media dan mungkin
dengan cepat mengancam jiwa. Juga disebut perdarahan ekstradural.

ETIOLOGI
Trauma merupakan penyebab khas perdarahan epidural, meskipun
perdarahan spontan bisa saja muncul. Trauma seringnya berupa benturan
tumpul pada kepala akibat serangan, terjatuh, atau kecelakan lain; trauma
akselerasi-deselerasi dan gaya melintang. Distosia, ektraksi forseps, dan
tekanan kranium berlebihan pada jalan lahir juga mencakup perdarahan
pada bayi baru lahir.

14
PATOFISIOLOGI
Tidak seperti perdarahan subdural, kontusio serebral, ataupun cedera
aksonal difusa otak, perdarahan epidural tidak diakibatkan sekunder dari
gerakan kepala atau akselerasi. Perdarahan epidural disebabkan gangguan
struktural pembuluh darah kranium dan dura umumnya dihubungkan
dengan fraktur calvaria. Laserasi arteri meningea media dan sinus dura yang
menyertainya adalah etiologi yang paling umum.
Pada fossa posterior, gangguan sinus venosus dura (misal, sinus
transversum atau sigmoid) oleh fraktur dapat menyebabkan perdarahan
epidural. Gangguan sinus sagitalis superior dapat menyebabkan perdarahan
epidural pada vertex. Sumber perdarahan epidural non-arterial lainnya
termasuk venous lakes, diploic veins, granulasi arachnoid, dan sinus
petrosus.

Sejumlah kecil perdarahan epidural telah dilaporkan tanpa adanya


trauma. Etiologinya termasuk penyakit infeksi kranium, malformasi
vaskuler dura mater, dan metastase ke kranium. Perdarahan epidural spontan
juga bisa berkembang pada pasien dengan koagulopati sehubungan dengan
masalah medis primer lainnya (misal, penyakit hati stadium akhir,
alkoholisme kronik, keadaan penyakit lain sehubungan dengan disfungsi
trombosit).

GAMBARAN KLINIS
Kebanyakan perdarahan epidural asalnya adalah trauma, seringnya
melibatkan benturan tumpul pada kepala. Pasien mungkin memiliki bukti
eksternal cedera kepala seperti laserasi kulit kepala, cephalohematoma, atau
kontusio. Cedera sistemik juga dapat muncul. Tergantung pada daya
benturan, pasien mungkin saja tidak kehilangan kesadaran, kehilangan
kesadaran singkat, atau kehilangan kesadaran berkepanjangan.
Interval lucid klasik muncul pada 20-50% pasien dengan perdarahan
epidural. Pada awalnya, tekanan mudah-lepas yang menyebabkan cedera
kepala mengakibatkan perubahan kesadaran. Setelah kesadaran pulih,

15
perdarahan epidural terus meluas sampai efek massa perdarahan itu sendiri
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, menurunnya tingkat
kesadaran, dan kemungkinan sindroma herniasi. Interval lucid yang
bergantung pada luasnya cedera, merupakan kunci untuk menegakkan
diagnosa perdarahan epidural.
Dengan hipertensi intrakranial berat, respon Cushing mungkin
muncul. Trias Cushing klasik melibatkan hipertensi sistemik, bradikardia,
dan depresi pernafasan. Respon ini biasanya muncul ketika perfusi serebral,
terutama sekali batang otak, dikompromi oleh peningkatan tekanan intra
kranial. Terapi anti hipertensi selama ini mungkin menyebabkan iskemia
serebral akut dan kematian sel. Evakuasi lesi massa mengurangi
respon Cushing.
Penilaian neurologis penting. Perhatian terutama diberikan pada
tingkat kesadaran, aktivitas motorik, pembukaan mata, respon verbal,
reaktivitas dan ukuran pupil, dan tanda-tanda lateralisasi seperti hemiparesis
atau hemiplegia. GCS penting dalam menilai kondisi klinis terkini. GCS
positif berhubungan dengan hasil akhir. Pada pasien yang sadar dengan lesi
massa, fenomena drift pronator mungkin membantu dalam menilai arti
klinis. Arah ekstremitas ketika pasien diminta menahan kedua lengan
teregang keluar dengan kedua telapak tangan menghadap keatas
mengindikasikan efek massa yang sulit dipisahkan namun penting.
Pada pencitraan yang dihasilkan oleh CT scan dan MRI, perdarahan
epidural biasanya tampak berbentuk konveks karena ekspansinya berhenti
pada sutura kranium, dimana dura mater sangat erat melekat ke kranium.
Perdarahan epidural dapat muncul dalam kombinasi dengan perdarahan
subdural, ataupun dapat muncul sendiri. CT-scan mengungkap perdarahan
subdural atau epidural pada 20% pasien yang kehilangan kesadaran.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

16
Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung
trombosit) penting dalam penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik
spontan maupun trauma.
Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin
jaringan, yang mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati
dibutuhkan jika pembedahan akan dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor
yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif.
Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan
penurunan yang signifikan pada level hematokrit dalam rongga kranium
kaku. Pada bayi, yang volume darahnya terbatas, perdarahan epidural dalam
kranium meluas dengan sutura terbuka yang menyebabkan kehilangan darah
yang berarti. Perdarahan yang demikian mengakibatkan ketidakstabilan
hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering
terhadap level hematokrit.

PENCITRAAN
Radiografi
o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang
bayangan vaskular cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital,
frontal atau vertex juga mungkin diamati.
o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya
perdarahan epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural
berhubungan dengan fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini
berkurang karena kecacatan kranium yang lebih besar.
CT-scan
o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam
mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang
yang ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura
ke skema bagian dalam kranium, khususnya pada garis sutura,
memberi tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus mungkin
muncul pada pasien dengan perdarahan epidural fossa posterior

17
yang besar mendesak efek massa dan menghambat ventrikel
keempat.
o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena
itu hematom kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas
hemoglobin dalam hematom menentukan jumlah radiasi yang
diserap.
o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan
parenkim otak dari waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut
memperlihatkan hiperdensitas (yaitu tanda terang pada CT-scan).
Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4 minggu, lalu
menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah
hiperakut mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-
rendah, yang mungkin mengindikasikan perdarahan yang sedang
berlangsung atau level hemoglobin serum yang rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area
dimana konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan
epidural vertex dapat disalahtafsirkan sebagai artefak dalam
potongan CT-scan aksial tradisional. Bahkan ketika terdeteksi
dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan mudah
disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan
sagital dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom pada
lempengan coronal.
o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan
lesi intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan
subdural, kontusio serebral, dan hematom intraserebral
MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara
ini kurang tepat untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek
massa, bagaimanapun, dapat diamati ketika meluas.

PENGOBATAN
Terapi Obat-obatan

18
Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor.
Efek yang kurang baik pada jaringan otak terutama dari efek massa yang
menyebabkan distorsi struktural, herniasi otak yang mengancam-jiwa, dan
peningkatan tekanan intrakranial.
Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah
segera dan (2) pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif
dengan evakuasi tertunda yang memungkinkan. Catatan bahwa perdarahan
epidural cenderung meluas dalam hal volume lebih cepat dibandingkan
dengan perdarahan subdural, dan pasien membutuhkan pengamatan yang
sangat ketat jika diambil rute konservatif.
Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi
bedah segera. Jika lesinya kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis
yang baik, mengamati pasien dengan pemeriksaan neurologis berkala cukup
masuk akal.
Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan
dengan penilaian klinis, publikasi terbaru Guidelines for the Surgical
Management of Traumatic Brain Injury merekomendasikan bahwa pasien
yang memperlihatkan perdarahan epidural < 30 ml, < 15 mm tebalnya, dan
< 5 mm midline shift, tanpa defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat
ditangani secara non-operatif. Scanning follow-up dini harus digunakan
untukmenilai meningkatnya ukuran hematom nantinya sebelum terjadi
perburukan. Terbentuknya perdarahan epidural terhambat telah dilaporkan.
Jika meningkatnya ukuran dengan cepat tercatat dan/atau pasien
memperlihatkan anisokoria atau defisit neurologis, maka pembedahan harus
diindikasikan. Embolisasi arteri meningea media telah diuraikan pada
stadium awal perdarahan epidural, khususnya ketika pewarnaan ekstravasasi
angiografis telah diamati.
Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses
penyakit primer yang mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan
prinsip fundamental yang telah didiskusikan diatas.

Terapi Bedah

19
Berdasarkan pada Guidelines for the Management of Traumatic
Brain Injury, perdarahan epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan
intervensi bedah, tanpa mempertimbangkan GCS. Kriteria ini menjadi
sangat penting ketika perdarahan epidural memperlihatkan ketebalan 15 mm
atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5 mm. Kebanyakan
pasien dengan perdarahan epidural seperti itu mengalami perburukan status
kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi.
Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan
pembedahan. Hematom temporal, jika cukup besar atau meluas, dapat
mengarah pada herniasi uncal dan perburukan lebih cepat. Perdarahan
epidural pada fossa posterior yang sering berhubungan dengan gangguan
sinus venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena
ruang yang tersedia terbatas dibandingkan dengan ruang supratentorial.
Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan
hal yang biasa, khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda
lateralisasi atau perburukan yang cepat. Saat ini, dengan teknik scan-cepat,
eksplorasi jenis ini jarang dibutuhkan.
Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien
berikut ini :
Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis
hipertensi intrakranial yang tidak mampu mentolerir CT-scan karena
instabilitas hemodinamik yang berat.
Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk cedera
sistemiknya.

KOMPLIKASI
Kebanyakan dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika
tekanan yang mereka kerahkan mengakibatkan pergeseran otak yang berarti.
Ketika otak menjadi subyek herniasi subfalcine, arteri serebral anterior dan
posterior mungkin tersumbat, menyebabkan infark serebral.

20
Herniasi kebawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam
batang otak, paling sering di pons.
Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis
ipsilateral, yang seringnya membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi
sekali tekanan dilepaskan. Palsy nervus III kranialis bermanifestasi sebagai
ptosis, dilatasi pupil, dan ketidakmampuan menggerakkan mata ke arah
medial, atas, dan bawah.
Pada anak-anak < 3 tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista
leptomeningeal atau fraktur bertumbuh. Kista ini diyakini muncul ketika
pulsasi dan pertumbuhan otak tidak mengijinkan fraktur untuk sembuh, lalu
menambah robek dura dan batas fraktur membesar. Pasien dengan kista
leptomeningeal biasanya memperlihatkan massa scalp pulsatil.

PROGNOSIS
Meksipun tujuan akhir adalah mencapai angka kematian 0% dan hasil
akhir fungsional baik sebesar 100%, angka kematian keseluruhan pada
kebanyakan seri pasien dengan perdarahan epidural berkisar antara 9,4-
33%, rata-rata sekitar 10%. Secara umum, pemeriksaan motorik pre-
operatif, skor GCS, dan reaktivitas pupil secara pasti berhubungan dengan
hasil akhir fungsional pasien dengan perdarahan epidural akut jika mereka
berhasil bertahan. Karena banyaknya perdarahan epidural yang terisolasi
tidak melibatkan kerusakan struktural otak yang mendasarinya, hasil akhir
secara keseluruhan akan menjadi sempurna jika evakuasi bedah yang tepat
dilakukan.
Pada pasien trauma cedera otak dengan perdarahan epidural,
prognosis lebih baik jika ada interval lucid (sebuah periode kesadaran
sebelum kembalinya koma) dibandingkan jika pasien koma sejak mendapat
cedera.

3. Herniasi Otak

21
Herniasi otak terjadi karena timbulnya perbedaan tekanan
antarkompartemen kraniospinal. Ada beberapa jenis herniasi yang dikenal,
yaitu herniasi trastentorial ke bawah (sentral dan unkal), herniasi
subfalksial, herniasi trans tentorial ke atas (upward) dam herniasi
trasforaminal. Lesi massa supratentorial dapat menyebabkan herniasi
subfalksial dan herniasi transtentorial, baik bilateral (sentral) atau unilateral
(unkal), tergantung dari distribusi elevasi tekananya.
Pada herniasi transtentorial sentral, pergeseran hemisfer otak dan
ganglia basalis ke bawah akan menekan dan mendorong diensefalon dan
otak tengah ke kaudal melalui insisura tentorial. Herniasi tipe ini
menimbulkan distorsi rostro-kaudal dan disfungsi progresif dari diensefalon,
otak tengah, pons, dan akhirnya medulla oblongata.
Sedangkan pada herniasi trasntentorial unkal, bagian unkus dan
hipokampus tergeser ke medial ke arah tentorial knotch, antara tepi
tentorium dan batang otak. Gejala klinis pada peristiwa ini disebabkan oleh
distorsi batang otak dan regangan pembuluh darah atau kompresi batang
otak oleh lobus temporal. Herniasi unkal menyebabkan kompresi N.III pada
level otak tengah dan kompresi batang otak ipsilateral oleh lobus temporal
medialis. Kompresi batang otak kontralateral dapat terjepit terhadap pinggir
bebas tentorial knotch. Gejala ini disebut sebagai Kernohan sign. Bila
proses ini berlanjut, gangguan batang otak sebagai disfungsi rostro-kaudal
dari pons dan medulla terjadi seperti pada peristiwa herniasi sentral.

22
Pada herniasi subflaksial, gyrus cinguli terdorong ke medial
menyebrang garis tengah dan terjepit di bawah falks serebri. Herniasi ini
akan menyebabkan kompresi dan obstruksi vena serebri interna dan juga
arteri serebria anterior ipsilateral. Lesi fosa posterior dapat menyebabkan
herniasi transtentorial ke atas atau herniasi transforaminal. Pada herniasi
transtentorial ke atas, serebelum dan batang otak terdorong ke atas,
sedangkan herniasi transforaminal akan berakibat penekanan pada medulla
oblongata dan terjadi gangguan respirasi yang progresif dan fatal.
Herniasi sentral dan unkal menimbulkan dua gambaran klinis yang
berbeda yaitu sindrom sentral dan sindrom unkal. Gejala klinis sindrom
herniasi senral diawali dari stadium diensefalik seperti perubahan perilaku
atau penurunan kesadaran sampai koma. Selanjutnya, tanda-tanda kelaian
neurologis ditentukan berdasarkan pola pernapasan Chyne-Stokes, pupil
mengecil dan hampir tidak bereaksi dengan refleks cahaya , hemiparesis
kontralateral. Pada stadium otak tengah, pola pernapasan berubah menjadi
takipnue, pupil cenderung terfiksasi ke tengah, refleks okulo-vestibuler
mulai terganggu. Stadium pons ditandai dengan pernapasan cepat dan
dangkal, pupil tetap terfiksasi di tengah, refleks okulo-vestibuler tidak lagi
di dapat, dan motorik menjadi flasid.

BAB III
PENUTUP

23
KESIMPULAN
Mr.X menderita cedera kepala sedang yang disertail lucid interval akibat
EpiduralHematom + fraktur basis cranii.

DAFTAR PUSTAKA

24
American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam: Advanced
Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia, penerjemah. Edisi
7. Komisi trauma IKABI; 2004. 168-193.
Andrews PJD. Traumatic brain injury. In: Neurological Emergencies. Hughes R (ed.). 3rd
ed. BMJ books, 2000.
Budiyanto, A., dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran
Forensik FKUI
Hafid A. 2004. Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D.
EGC, Jakarta, , hal. 818-819.
Hoediyanto. 2007. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Surabaya:
Bagian IKF dan Medikolegal FAkultas Kedokteran Unair.
Idries, AM. 2013. Sistematik Pemeriksaan Ilmu Kedokteran Forensik Khusus
Pemeriksaaan Mayat Dalam: Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses
Penyidikan. Edisi Revisi. Sagung Seto. Jakarta : 37-52.
Juliana Lubis, 2008.Peranan Dokter dalam Pembuktian Tindak Pidana. (online),
(http://www.scribd.com/doc/233741401/Autopsi-Klinik-Dan-Aspek-Medicolegal
diakses 22 September 2014)
Karjadi, M. 1981. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, lengkap disertai
lampiran-lampiran yang berkaitan dengan acara pidana di Indonesia : U.U. no. 8
tahun 1981. Indonesia: Politeia
Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. PERDOSSI, 2006.
Listiono L D. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi III; Cedera Kepala Bab 6. Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314
Ritonga, M.Visum et Repertum. 2013.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31194/4/Chapter%20II.pdf Diakses
pada tanggal 19 September 2016.
Satyanegara dkk (ed). 2010. Ilmu Bedah Saraf Edisi IV. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama
Soertidewi L. 2002. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranio Serebral, Updates In
Neuroemergencies, Tjokronegoro A., Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal. 80.
Sudoyo, A. W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed V. Jakarta: Interna
Publishing.
Sutton D. 1993. Neuroradiologi of The Spine, Textbook of Radiology and Imaging, fifth
edition, Churchill Living Stone, London, hal. 1423.

25
Teasdale G, Jennett B. Management of head injuries. Davis Co., Philadelphia, 1981.

26

Anda mungkin juga menyukai