Anda di halaman 1dari 27

IDEOLOGI DAN AKSI PENDIDIKAN TAN MALAKA

Mewujudkan Pendidikan Berkarakter Keindonesiaan


Oleh: Fridiyanto

ABSTRACT
Tan Malaka is not only a founding father but also an educator. According to Tan
Malaka education is a foundation for Indonesia Liberation. Therefore in many
aspects of education must be designed nationalistic. Sarekat Islam School is one of
manifestations Tan Malakas education concept.

Kata Kunci: Tan Malaka, Pendidikan, Keindonesiaan

A. PENDAHULUAN
Tan Malaka, seorang bapak bangsa yang menghabiskan hidupnya untuk menuju
Republik Indonesia. Republik yang dimaksud Tan Malaka adalah sebuah negara
yang seratus persen mengatur diri sendiri, mengatur perekonomian sendiri, politik
yang bebas menegakkan demokrasi, serta martabat bangsa sejajar dengan negara-
negara lain.
Tan Malaka sebagai ahli propaganda, politikus, dan sebagai seorang pendidik
rakyat sangat ditakuti oleh pemerintah Hindia Belanda, dikarenakan proses
penyadaran progresif revolusioner dilakukan terus menerus untuk memperkuat
kesadaran rakyat.
Tan Malaka merupakan ancaman berbahaya bagi pemerintahan kolonial, karena
Tan Malaka dianggap menganggu ketertiban umum dengan berbagai kegiatan politik
dan kegiatan pendidikan untuk rakyat. Pendidikan harus sebagai proses
mewujudkan peserta didik menjadi orang baik dan bajik yang akan memberi
kekuatan kepada peserta didik. Karena itulah pendidikan akhlak harus menjadi
tujuan utama selain pendidikan keterampilan hidup, pergaulan sosial, dan tanggung
jawab sosial. Rakyat Indonesia belajar memberi nilai yang tepat pada moral mereka
dan bersumbangsih bagi peradaban bangsa Indonesia.
Jauh sebelum pendidikan keterampilan belum dikembangkan di Nusantara, Tan
Malaka sangat menekankan bahwa pendidikan anak-anak tidak hanya sebatas
kognitif, seperti mempelajari Sejarah, Ilmu bumi, dan Ilmu hitung yang sangat
ditekankan di sekolah-sekolah Eropa pada masa itu. Tan Malaka memandang bahwa
sebuah kewajiban untuk menanamkan etos kerja, dan keterampilan praktis yang
akan menimbulkan rasa mencintai kerja kepada pribumi, dan seharusnyalah
pendidikan memberikan nilai tambah.
Berbicara konsep pendidikan kritis, emansipatoris, dan praksis biasanya lebih
dikenal sosok Paulo Freire. Pendidikan Kaum Tertindas dan Gerakan
Kebudayaan untuk Kemerdekaan, Politik Pendidikan, adalah buku karangan
Paulo Freire yang terus dipelajari peminat dan penggerak pendidikan emansipatoris.
Ketika berbicara tentang sejarah pendidikan di Indonesia, Ki Hajar Dewantara selalu
menjadi tokoh utama. Namun, tidak banyak yang mengetahui bahwa Tan Malaka
juga aktif dalam memperjuangkan pendidikan di Indonesia, dan telah lebih dulu
memiliki konsep pendidikan kritis, emansipatoris, dan praksis. Tan Malaka tidak
hanya terjebak dalam filsafat dan teori-teori pendidikannya, tetapi terlibat aktif
dalam memperjuangkan pendidikan rakyat sebagai media penyadaran pembebasan
dari penindasan kolonialisme.
Tan Malaka lebih dikenal dari sisi aktifitas politik, sebenarnya Tan Malaka
memiliki latar belakang pendidikan seorang guru di kweekschool di Bukit Tinggi
dan melanjutkan pendidikan guru di Haarlem Belanda. Tan Malaka masuk ke
pergerakan perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia melalui jalur pendidikan.
Bagi Tan Malaka, pendidikan akan dapat mewujudkan karakter bangsa Indonesia
yang kokoh dan mandiri. Olehkarena itu penulis membahas pemikiran dan aksi
pendidikan Tan Malaka yang dapat menambah khasanah sejarah pendidikan di
Indonesia dan sebagai upaya restorasi nilai-nilai keindonesiaan.
BIOGRAFI SINGKAT
Tan Malaka, atau Ibrahim Datuk Tan Malaka1 memiliki pertalian keluarga dengan
dua pemimpin desa Pandan Gadang: Datuk Tan Malaka dan Datuk Mahurun Basa.
Tanggal kelahiran Tan Malaka tidak tercatat pasti karena pada masa itu belum ada
pencatatan bagi penduduk Indonesia. Namun Harry A. Poeze menyampaikan
beberapa kemungkinan tahun kelahiran Tan Malaka: 1893, 1894, 1895, 2 Juni 1896,
2 Juni 1897, dan 1899. Poeze lebih cendrung memilih kelahiran Tan Malaka pada
tahun 1894 dengan fakta bahwa pada tahun 1903 Tan Malaka mengikuti pendidikan
di sekolah rendah. Maka dapat ditarik kesimpulan pada masa itu Tan Malaka
berumur lebih kurang 6 tahun. Tan Malaka dalam bukunya dari Penjara ke Penjara
menjelaskan bahwa dia mempunyai adik bernama Kamaruddin enam tahun lebih
muda, dan tidak memiliki adik atau kakak perempuan.
Tan Malaka dilahirkan dalam sebuah keluarga pemeluk Islam yang taat, ayah
dan ibu Tan Malaka sangat alim dan menjalankan perintah agama Islam. Dalam
buku Madilog Tan Malaka menulis bagaimana ibunya ketika menjelang ajal
membaca Surat Yasin berkali-kali karena ibunya hampir sebagian hafal Al-Quran.
Tan Malaka ketika kecil sering diceritakan tentang nabi-nabi, seperti kisah Adam
dan Hawa, Nabi Yusuf, dan Nabi Muhammad. Ayah dan Ibu Tan Malaka sangat
peduli tehadap akhlak anaknya, sehingga tidak hanya menyekolahkan anaknya di
Sekolah Rakyat, tetapi juga menyuruhnya belajar ngaji di surau. Ayah Tan Malaka
adalah penganut tarekat. Menurut Tan Malaka ketika masih kecil dia sudah bisa
menafsirkan Al-Quran dan sudah dijadikan sebagai Guru Muda. Tan Malaka
menguasai bahasa Belanda, Jerman, Perancis, Inggris, China, dan Bahasa Arab. Tan
Malaka sangat mengagumi Bahasa Arab yang indah dan mulia.

1
Nama lengkap yang merupakan sekaligus gelar adat yang diperoleh Tan Malaka untuk melanjutkan
kepemimpinan Adat di Minang kabau. Sesuai adat masa itu, setiap anak yang dilahirkan akan diberi
nama kecil dengan nama Islam, baru kemudian mendapat nama atau gelar menurut adat, maka
Ibrahim adalah nama Islam yang melekat pada Tan Malaka
Masa kecilnya, Tan Malaka adalah seorang anak yang pemberani, nakal dan
keras kepala. Alam Minang kabau yang asri penuh pemandangan alam; gunung
bebukitan dan sungai, menjadi guru bagi Tan Malaka untuk menempa mental dan
fisiknya. Alam takambang jadi guru merupakan ungkapan filosofis Minang kabau
yang bermakna dialektis bahwa seseorang harus dapat membaca alam sekitar, orang
sekitar,dan belajar dari apa yang mereka tampakkan, dimanapun berada kita dapat
menjadikannya pelajaran dalam memaknai dan mejalankan kehidupan.
Menurut Rudolf Mrazek, falsafah Minangkabau pada dasarnya telah membentuk
cara berpikir Barat rasional, logis, dan dialektis. Tan Malaka yang dibesarkan dalam
budaya Minang kabau telah membentuk struktur pengalaman dan visinya. 2 Struktur
pengalaman menurut Mrazek yaitu totalitas pola-pola kebudayaan yang terkumpul
dalam diri seseorang, melalui mana ia menghayati atau memahami apa-apa yang
terjadi disekitarnya. Struktur pengalaman tersebut akan mempengaruhi visi tertentu
bagi seseorang dalam mengartikan apa-apa yang berlaku. Struktur pengalaman Tan
Malaka menurut Mrazek tidak terlepas dari budaya masyakat Minang yang memiliki
dinamisme yang tinggi.3
Peni Chalid menjelaskan Tiga Epistemologi Tan malaka (petani, pedagang,
pejuang) yang merupakan manifestasi dari tanah lahirnya Minang kabau.
Epistemologi masyarakat agraris, kehidupan manusia sangat tergantung pada
dialektika alam. Epistemologi pedagang lebih bersifat rasional dan memakai pola
transaksional dengan berbagai kepentingan. Sedangkan epistemologi pejuang,
merupakan pola pikir ideologis dan visioner seseorang untuk kepentingan bangsa,
berjuang demi keyakinan yang dianggapnya kebenaran. Menurut Peni Chalid Tan
Malaka mengalami proses pengembangan pemikiran terhadap masyarakat dengan
2
Alfian. Tan Malaka Ideolog Kesepian. Dalam buku Manusia dalam Kemelut Sejarah. Editor
Syafii Maarif
3
Dinamisme yang dimaksud Mrazek adalah masyarakat memandang konflik dengan kacamata
dialektika merupakan esensi untuk mencapai integrasi masyarakat, sehingga masyarakat Minang
kabau terbuka terhadap nilai-nilai baru yang masuk yang dianggap memperkuat dan memperkaya,
alam atau adat Minang kabau mempunyai sistem nilai sendiri untuk meyeleksi hal-hal baru
transisi epistemologi pedagang ke epistemologi pejuang (dari real-materialistik ke
kritis-revolusioner). Keyakinan Tan Malaka tersebut termanifestasi dalam dua
bukunya yang tergolong sebagai filsafat, yaitu Pandangan Hidup, dan Madilog.
Pemikiran dan tindakan Tan Malaka yang selalu berseberangan, tidak hanya
membuat gerah pemerintah kolonial tetapi juga para penguasa ketika Indonesia
telah mencapai kemerdekaan, yang membuat Bapak Republik Indonesia ini wafat
tragis ditembak anak bangsa sendiri di Sungai Brantas di Kediri.4
PENDIDIKAN ALAT MENUJU REPUBLIK INDONESIA
Tan Malaka sangat mencintai dunia pendidikan, karena dia sangat menyadari bahwa
untuk menjadi bangsa merdeka, pendidikan adalah modal utama. Kecintaan Tan
Malaka terhadap pengajaran digambarkan Hary Poeze, ketika Tan Malaka harus
menjalani praktek mengajar di sekolah ekstern dia menampakkan bakat luar biasa
dalam pedagogi, anak-anak sangat merasa sedih ketika Tan malaka harus
meninggalkan mereka. Ketika mengajar Tan Malaka selalu meluangkan waktu untuk
melatih baris berbaris yang sangat disukai mereka.
Bagi Tan Malaka untuk masa depan bangsa Indonesia yang maju, harus dicapai
melalui pendidikan. Karena pendidikan merupakan perkakas membebaskan rakyat
dari keterbelakangan dan kebodohan, karena itu sekolah-sekolah harus didirikan
untuk rakyat. Pendidikan untuk rakyat Indonesia harus berakar kepada budaya
Indonesia yang terus digali dan disampaikan dengan bahasa Indonesia.5

Prinsip kerakyatan adalah landasan filosofis dalam praksis pendidikan.


Pendidikan tidak dapat terpisah dalam mempelajari hakekat realita yang merupakan
4
Berdasarkan hasil penelitian Harry A. Poeze, ditemukan makam Tan Malaka di Selo Panggung,
Kediri dan makam tersebut telah dibongkar untuk dites DNA. Namun sampai saat ini belum
dilaporkan hasil tes DNA apakah benar jenasah Tan Malaka yang diperiksa tersebut.
5
Pada masa pra kemerdekaan tentulah bahasa Indonesia sangat diperlukan sebagai pemersatu dan
identitas diri, karena Belanda mewajibkan dalam proses belajar mengajar menggunakan bahasa
Belanda. Olehkarena itu Tan Malaka memprioritaskan penggunaan bahasa Indonesia, namun bahasa
Belanda dan Inggris tetap diajarkan.
pusat dari setiap konsep pendidikan. Pentingnya hal tersebut mengingat program
pendidikan sekolah didasarkan atas fakta dan realita, bukan atas keinginan menjadi
kaum pemodal dengan proses pendidikan yang didasarkan kemodalan. Berikut
adalah Tiga tujuan pendidikan Tan Malaka yang menjadi dasar perjuangan
pendidikanya:

1. Memberi senjata cukup, buat pencarian penghidupan dalam dunia kemodalan


(berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu).
2. Memberi hak murid-murid dalam kehidupan sosial, dengan jalan pergaulan
(verenigging).
3. Menunjukkan kewajiban kelak, terhadap berjuta-juta Kaum Kromo (rakyat
kecil).6
Pemikiran pembangunan bangsa melalui pendidikan telah dipikirkan dan akan
dilaksanakan Tan Malaka dalam Tujuh Minimum Program. Pendidikan yang harus
dibangun menurut Tan Malaka, yaitu:
1. Wajib belajar bagi anak-anak semua warga negara Indonesia dengan
Cuma-Cuma sampai umur 17 tahun dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar dan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang terutama.
2. Menghapuskan sistem pelajaran sekarang dan menyusun sistem yang
langsung berdasarkan atas kepentingan-kepentingan Indonesia yang sudah
ada dan yang akan dibangun.

3. Memperbaiki dan memperbanyak jumlah sekolah-sekolah kejuruan,


pertanian, perdagangan. Memperbaiki dan memperbanyak jumlah sekolah-
sekolah bagi pegawai-pegawai tinggi di lapangan teknik dan administrasi.7

6
Tan Malaka. SI semarang dan Onderwijs, 1987
7
Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia, 1925 hal.17
Menghapuskan pembelajaran berbau feodalis merupakan langkah revolusioner
Tan Malaka untuk memutus keterbelakangan dan mental kuli bagi pribumi. Jika
masa penjajahan mendidik pribumi hanya didasarkan kepentingan imprealis sendiri,
dalam artian dipekerjakan sebagai pegawai rendahan mereka. Tan Malaka ingin
pendidikan semestinya mendahulukan kearifan lokal, agar masyarakat memperoleh
bekal bagi penghidupannya. Oleh karena itu pendidikan kejuruan seperti: pertanian,
perdagangan, teknik, dan administrasi harus dibenahi kualitasnya.

Pendidikan praxis Tan Malaka diwujudkannya di sekolah Sarekat Islam.


Sekolah SI berprinsip bahwa hawa (geest) harus lebih sehat dan memiliki karakter
keindonesiaan yang membedakan dengan sekolah Eropa. Anak-anak didik dituntut
keras mencari kepandaian membaca, menulis dan berhitung sebagai modal
penghidupan. Konsep pendidikan Tan Malaka yang sangat sederhana tersebut
merupakan hal luar biasa pada masa Tan Malaka merintis sekolah SI.

KAUM INTELEKTUAL DAN KEMERDEKAAN

Kaum intelektual menurut pandangan Tan Malaka pada masa itu jauh dari
kehidupan dan penderitaan rakyat. Tidak adanya semangat pengorbanan dan
pengabdian dikarenakan kebingungan posisinya antara rakyat dan pemerintah
kolonial. Kaum ientelektual yang terasing dari kehidupan rakyat tersebut
dikarenakan exclusivisme Budi Utomo dan National Indische Party yang pada
masa itu dianggap Tan Malaka masih sangat lambat dan masih berdiri jauh dari
kehidupan rakyat serta keaktifan politik. Permasalahan intelektualisme yang ibarat
menara gading tidak akan banyak berdampak bagi rakyat tetapi butuh perbuatan dan
bukti-bukti, salah satunya adalah keaktifan dalam pergerakan dan politik.

Pandangan Tan malaka, apabila kaum intelek tidak terlibat revolusi mereka
tidak akan terlepas dari penderitaan pada masa berikutnya, dimana pemikiran dan
tenaga mereka akan dipakai oleh penjajah yang selanjutnya akan dicampakkan
seperti kaum proletar, hal ini terjadi di India, Inggris, dan Jepang. Kaum intelektual
harus tanggap terhadap gerakan perubahan, dimana barisan rakyat sedang merebut
kemerdekaan, jangan tutup mata dan tidak perduli terhadap keadaan.

Kaum intelektual tidak bisa hanya menjadi penonton yang berpangku tangan,
sementara mereka juga akan menikmati perjuangan kemerdekaan. Kaum intelektual
harus berbesar hati melepaskan baju intelektual yang dirasanya lebih terhormat, dan
harus ikut berkeringat bersama rakyat. Dengan terlibat dalam revolusi, kaum
intelektual dapat mengabdikan moral dan intelektualitas mereka guna memperlancar
revolusi, disitulah mereka akan rasakan manisnya kerja sosial. Sangat berbeda
apabila mereka menjadi kaum individualis, mereka akan terperangkap dalam
kesunyian kapitalisme. Dengan keterlibatan kaum intelektual dalam barisan rakyat,
makin kokohlah barisan perjuangan. Ilmu pengetahuan akan lebih baik jika
digunakan bangsa sendiri, bukan untuk membantu raksasa imperialis dalam
eksploitasi. Keterlibatan kaum intelektual akan membantu proses perwujudan
kebangkitan ekonomi, sosial, intelektual dan kebudayaan.

Sekolah yang menciptakan kaum intelektual, harus tidak terpisah terhadap cita-
cita politik bangsa. Kaum terdidik dari berbagai bidang keahlian harus terlibat
menjadi tenaga perjuangan kemerdekaan. Karena intelektualitas dan kemampuan
organisasinya memang terlatih. Sebuah surat terbuka yang dimuat De Tribune di
Moskow tanggal 19 Agustus 1923, Tan Malaka menyampaikan pemandangan
tentang mahasiswa dan cendikiawan Indonesia yang masih terbelenggu dan terpisah
tembok dengan kaum proletar, hingga sedikit sekali kaum intelektual yang terlibat
aktif dalam pergerakan kemerdekaan.8 Seruan Tan Malaka kepada kaum intelektual
8
Tan Malaka, Een Open Brief, Tan Malaka aan de Indonesische studenten en intellectueelen (Surat
terbuka. Dari Tan Malaka kepada mahasiswa dan cendikiawan Indonesia), De Tribune, 29-8- dan 31-
8-1923, dalam Poeze, Menuju Repuplik Indonesia, hal. 340
tidak menjanjikan imbalan apa-apa kecuali satu, kemerdekaan bagi Indonesia. Bagi
Tan Malaka perjuangan bangsa-bangsa yang tertindas di Timur hanya akan berhasil
menggempur imperialisme apabila kaum buruh, kaum tani dan cendikiawan bersatu
padu.
Sikap Tan Malaka sangat tegas, kemerdekaan harus direbut, jangan pernah
mengharap belas kasihan dari pihak penguasa kolonial. Kaum terpelajar harus
bergabung memperkuat revolusi, dan merasakan perjuangan bersama rakyat. Tan
Malaka merupakan sosok cerdas yang tegas menyatakan Hindia terlepas dari
Belanda. Tan Malaka bergerak dari segala sudut kehidupan masyarakat, yang
membuat dia terus mendapat tekanan dan pembuangan.
IMPERIALIS ANTI PENDIDIKAN
Soal pendidikan dengan sengaja diabaikan oleh Belanda, sehingga kaum intelektual
menjadi terbatas.9 Kalau penjajahan Belanda selama 300 tahun itu tidak membatasi
pendidikan bagi pribumi, tentunya pada masa pejajahan derajat kaum intelektual
Indonesia jauh berbeda. Akan banyak posisi strategis yang akan diisi oleh pribumi,
seperti saudagar, tuan tanah, dan pegawai bumiputera.
Indonesia tidak mempunyai faktor-faktor ekonomi, sosial ataupun intelektual
buat melepaskan diri dari perbudakan ekonomi dan politik di dalam lingkungan
imperialisme Belanda. Indonesia dapat menaikkan ekonominya jika kekuasaan
politik ada ditangan rakyat. Indonesia akan mendapat kekuasaan politik tidak
dengan apapun, kecuali dengan aksi politik yang revolusioner lagi teratur, dan tidak
mau tunduk. Tentulah perangkat revolusi tersebut adalah pendidikan rakyat.
Belanda ingin memformat pedidikan yang ada harus meniru pendidikan di
Belanda secara utuh, karena bagi Belanda, lembaga pendidikan khususnya
universitas yang ada di Belanda adalah yang terbaik dari universitas manapun. Hal
ini tanpa memperhatikan karakter dan budaya Indonesia. Akibat politik pendidikan

9
Tan Malaka, Aksi Massa . Jakarta: Narasi, 2008. hal 7
Belanda tersebut, Perguruan Rendah, Menengah, dan Tinggi masa penjajahan tidak
cukup untuk rakyat yang berjumlah 55 juta.10
Tahun 1921 kaum revolusioner memperbaiki keteledoran pemerintah kolonial
dalam pendidikan dengan mendirikan sekolah. Walau menempuh berbagai
kesulitan: teknis, kepegawaian, keuangan, dan politik. Namun akhirnya di seluruh
Jawa dapat didirikan 52 buah sekolah dengan kira-kira 50.000 murid.
Pemerintah kolonial menekan perkembangan pendidikan kaum revolusioner
tersebut dengan kekerasan. Guru-guru dilarang mengajar, dan orangtua murid
ditakut-takuti. Peran penting pemberangusan gerakan pendidikan rakyat tersebut
dimainkan oleh organisasi Serikat Hijau11 mereka diperintah untuk membakar
sekolah, menakut-nakuti, menganiaya murid dan guru.
Politik pendidikan pemerintah kolonial dalam soal pengajaran dapat
diungkapkan dengan: Bangsa Indonesia, harus tetap bodoh supaya ketentraman dan
keamanan umum terpelihara. Pergerakan pendidikan dan pemimpin rakyat yang
dipercayai rakyat dicap dan diperlakukan seperti penghasut dan bandit, mereka
dimasukkan ke penjara.
Petani kebanyakan buta huruf dan bodoh, mereka ditekan dalam satu kontrak
yang diakui oleh pemerintah. Dalam kontrak disebutkan mereka tidak boleh
berorganisasi dan mogok. Agar dapat mengadakan pemerasan atas kelas buruh yang
jumlahnya lebih besar, kelas kapitalis yang jumlahnya lebih kecil mempergunakan
pendidikan untuk melemahkan perjuangan buruh.
Kalaupun pendidikan diberikan kepada rakyat, Belanda tetap menanam
kepentingan kapitalistis. Rakyat diajar melupakan pertentangan kebangsaan,
melupakan adat budaya, dan jati diri sebagai bangsa. Sehingga menyerahkan hidup
nya kepada kemodalan kolonialis. Bangsa Hindia yang terpelajar telah berdamai
dengan Belanda dan melupakan bangsanya sendiri. Inilah politik etis Belanda,
10
Ibid. Hal. 61
11
Sebuah kumpulan penyamun yang dikerahkan, diupah dan dipimpin oleh pemerintah kolonial
memberikan pendidikan kepada kaum tertindas tetapi tetap berimbas kepada
penindas dengan menjadi alat industri.

PENDIDIKAN BARAT
Menurut Tan Malaka apabila mempelajari dunia Barat, Eropa dan Amerika, maka
terdapat tiga garis pokok kebudayaan yaitu agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan
empirik. Sementara cabang kebudayaan yang lain akan bersandar pada tiga garis
kebudayaan tersebut.12 Dari tahun 500 SM sampai 1500 M, agama memperoleh
kedudukan tertinggi, filsafat masih mengabdi kepada agama. Dari 1500 sampai 1850
M, filsafat mendapat kedudukan tertinggi dalam masyarakat Barat. Tahun 1850
sampai sekarang ilmu empiris memperoleh nilai dan kedudukan tertinggi di Eropa
dan Amerika.
Pandangan Tan Malaka, Indonesia yang maju harus terlepas dari logika mistis,
lepas dari kekuatan-kekuatan gaib dan mulai mempergunakan ilmu pengetahuan.
13
Sebagai patokan sains dan teknik maka Barat adalah acuan. Menurut Franz
Magnis Suseno, Tan Malaka tidak malu mengakui bahwa dia adalah murid Barat,
karena di zaman modern Baratlah dirintis pemikiran materialistis, dialektik, dan
logika.
Indonesia harus merdeka berpikir dan berikhtiar, sudah saatnya berdiri atau
berubah dengan mengerahkan daya upaya dengan kecakapan, perasaan dan
kemauan. Manusia sebagai individu atau bangsa harus mempergunakan pemikiran
dan tenaga buat memajukan kebudayaan manusia. Tan Malaka secara keras
menyatakan bahwa manusia ataupun bangsa yang tidak menggunakan pemikiran
dan tenaga bagi kemanusiaan maka tidak layak menjadi seorang manusia atau
bangsa dan pada hakikatnya tidak ada perbedaan dengan binatang.

12
Tan Malaka. Pandangan Hidup
13
Frans Magnis Suseno. Op.Cit., 212
Tan Malaka menganjurkan untuk mempelajari pengetahuan Barat. Rakyat
pribumi jangan terjebak romantisme sejarah bahwa kebudayaan dan pengetahuan
Timur lebih tua dan lebih mulia daripada Barat. Kondisi yang masih percaya kepada
mitos dan mistis sungguh tidak layak untuk dianggap lebih agung dan pintar
daripada Barat. Budaya tahayul harus dihapus dan diganti dengan pemikiran ilmiah,
setidaknya ini adalah langkah awal bagi pribumi untuk menjadi murid bagi Barat.
Tidak perlu malu dan bimbang dalam upaya merampas kemerdekaan dengan
menjadi murid Barat. Kekuatan keinginan untuk merdeka dan belajar sendiri adalah
modal utama dalam rangka menjadi murid Barat tersebut. Pribumi tidak boleh kalah
oleh orang Barat dalam hal pemikiran, penyelidikan, kejujuran, kegembiraan,
kerelaan dalam segala rupa pengorbanan. Mengakui dengan tulus, bahwa kita
sanggup dan harus belajar dari orang Barat, tentunya tanpa harus menjadi peniru
total dari Barat melainkan harus cerdas, suka mengikuti dialektika alam, dan harus
melampaui kelebihan Barat.
Pengagungan Tan Malaka terhadap ilmu pengetahuan Barat dalam konteks masa
kolonial, tentu tidak dapat disalahkan. Karena kondisi masa itu, pribumi nusantara
benar-benar dalam kondisi kritis, jauh dari sikap ilmiah dan rasional. Sehingga
belajar ke Barat menjadi solusi untuk membangun kesadaran merdeka dan bangsa
bermartabat, bukan bangsa yang terjebak tahayul. Kritik Tan Malaka terhadap tidak
berkembangnya sikap ilmiah dikalangan pribumi, ditulisnya secara detail dalam
buku Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika).
PERAN NEGARA DALAM PENDIDIKAN
Konsep pendidikan gratis dan subsidi, sudah pernah dipikirkan dan
diimplementasikan oleh Tan Malaka. Bagi Tan Malaka pendidikan harus diberikan
kepada seluruh rakyat Indonesia sampai berumur 17 tahun secara gratis. Konsep
tersebut menjadi bahan perdebatan Tan Malaka di Belanda dengan seorang tokoh
Belanda bernama Fabius yang berperan penting dalam kebijakan pendidikan.
Menurut Tan Malaka pendidikan tidak hanya berada di bawah negara tetapi negara
juga harus membiayai pendidikan rakyat.
Pemikiran Tan Malaka tentang peran negara dalam pendidikan mendapat
tentangan keras dari Fabius. Menurut Fabius, politik pendidikan yang dianjurkan
Tan Malaka akan menambah banyak lulusan pendidikan namun akan mengurangi
nilai intelektual. Kebijakan pendidikan yang memberi akses luas kepada rakyat akan
menambah banyak jumlah pengangguran dikalangan intelek.
Namun argumentasi Fabius tersebut mendapat pertentangan dari Tan Malaka,
pandangannya di suatu masyarakat dimana produksi dijalankan menurut rencana,
bersamaan dengan itu adanya pendidikan yang terencana, pengangguran tidak
mungkin ada. Kalaupun tetap ada pengangguran, hal itu tidak akan berlangsung
lama, karena pendidikan telah dicocokkan dengan kebutuhan produksi masyarakat.
Pada masa perdebatan Tan Malaka dan Fabius ini terjadi, kebijakan pendidikan
masih berdasarkan supply and demand dimana kaum kapitalis berbuat semaunya.
Sementara untuk menentang tentang intelektualitas yang akan berkurang, menurut
Tan Malaka kecerdasan tidak akan menurun, karena murid yang melanjutkan studi
tidak lagi didasarkan finansial keluarga, melainkan kecerdasan otak. Kondisi saat
itu, banyak anak cerdas tidak dapat melanjutkan studi karena ketidakmampuan
finansial. Sementara anak yang mempunyai uang namun tidak memiliki kemampuan
bisa memperoleh titel.
AKTIFITAS PENDIDIKAN TAN MALAKA
Foreign Language School di Tiongkok. Selama di Tiongkok, Tan Malaka tidak
ingin menyia-nyiakan waktu, dia memanfaatkannya dengan mendirikan sebuah
sekolah bahasa asing. Pada perkembangannya foreign language school tidak hanya
semata-mata belajar bahasa asing tapi berkembang pada diskusi tentang Politik,
Ekonomi, dan Filsafat. Pelajaran tambahan tersebut menjadi daya tarik tersendiri
bagi pemuda Tiongkok untuk belajar disana. Tan Malaka juga menambahkan materi
pelajaran dengan jurnalisme, book keeping, untuk itu dia membutuhkan guru
pembantu sehingga dibukalah penerimaan guru. Karena Tan Malaka memiliki misi
politik, maka foreign language school pun harus ditinggalkan. Menurut Tan Malaka
ketika foreign language school ditinggalkannya untuk melawat ke Singapura,
sekolah tersebut tetap diminati para murid.
Menjadi Guru di Singapura. Di Singapura, Tan Malaka menjadi guru bahasa
Inggris sekaligus sebagai kepala sekolah. Selama di Singapura proses belajar
mengajar terganggu karena serangan pesawat tempur Jepang. Membuat para guru
mempunyai tugas ekstra, yaitu melindungi murid dari serangan bom. Tentara
sukarela dibentuk di sekolah Tionghoa tempat Tan Malaka mengajar, dan banyak
murid yang terlibat, terutama dalam penyadaran politik. Sekolah ditutup dan beralih
fungsi menjadi tempat pelatihan tentara sukarela dan sebagai asrama. Tan Malaka
tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang sekolah di Singapura tersebut.
Menjadi Guru Kaum Kuli di Medan. Tan Malaka Menjadi guru kaum kuli di
Tanah Deli Medan, dikarenakan tawaran Dr. Jansen.14 Kesepakatan Tan Malaka
dengan Dr. Jansen adalah memberikan pendidikan yang dibutuhkan anak-anak kuli.
Tugas yang akan diembannya adalah sebagai pembantu pengawas semua sekolah
bagi kaum kuli di Senembah Mij.15 Perkembangan berikutnya, penindasan,
penderitaan, dan pembodohan sistematis yang diamati dan dirasakan Tan Malaka,
membuat Tan Malaka banyak bertentangan dengan pemerintah kolonial.
Pengalaman selama menjadi guru kaum kuli di Tanah Deli sangat mempengaruhi
corak pemikirannya dalam berbagai bidang. Visi pendidikan Tan Malaka tentang
kaum kuli menjadi landasan setiap aktifitas pendidikannya, mulai dari menjadi guru
di Deli sampai ketika dia mendirikan sekolah Sarekat Islam.
Menurut Harry A.Poeze, Dr. Jansen sebelumnya telah merumuskan pendidikan
kaum kuli dengan tetap mengikat mereka kepada perkebunan, karena kurikulum dan

14
Dr. Jansen telah terlebih dahulu merintis dan meletakan prinsip dasar di sekolah kaum kuli di
Tanah Deli. Dr. Jansen mendapatkan gelar Dr nya di sebuah universitas di Jerman, dengan disertasi
tentang adat istiadat di Tanah Batak, dia seorang peminat budaya Batak
15
Tan Malaka. Dari Penjara ke Penjara I. hal. 43
kegiatan di sekolah selalu berorientasi perkebunan. Dalam aktifitas sekolah, pada
pagi hari waktu satu jam dihabiskan untuk bekerja di kebun sekolah, anak-anak
diajar merawat kebun dengan rapi, dan di sore hari anak-anak bekerja di perkebunan
dengan mendapat bayaran sekaligus meningkatkan keahlian mereka dalam
berkebun. Strategi ini dibuat agar kelak anak-anak mempunyai cita-cita bekerja di
perkebunan. Fokus pembelajaran yang dirancang Dr. Jansen adalah adat, tertib,
disiplin, dan kerapian. Guru juga dituntut untuk mengurangi kebiasaan buruk kaum
kuli, seperti berjudi, sehingga pembelajaran moral juga menjadi perhatian. Rumusan
pendidikan kaum kuli Dr. Jansen dan Tan Malaka tidak jauh berbeda dengan
rumusan awal, yaitu membiasakan pekerjaan tangan kepada murid.
Kekhawatiran Tan Malaka tentang kaum kuli yang akan meninggalkan kegiatan
fisiknya, setelah merasakan nikmatnya kegiatan otak ini terus disampaikannya
dalam setiap kesempatan. Bahwa antara kognitif dan motorik harus diseimbangkan,
pribumi yang mengenyam pendidikan jangan sampai memandang rendah kegiatan
fisik orang tua mereka, kaum tani, kaum buruh. Tan Malaka juga menjelaskan
bahwa disekolahnya pekerjaan tangan sangat diberi penghargaan, karena pekerjaan
tangan sama mulianya dengan kerja otak, atau orang yang bekerja dengan pena. 16
Tan Malaka mengkritik keras orang Barat ataupun orang pribumi yang kebarat-
baratan yang merasa lebih dihormati dan disegani karena intelektualitas mereka
serta menghina orang yang bekerja tangan.17
Pada tahun 1921 mulai didirikan sekolah untuk guru pembantu, 10 murid
terbaik dari 15 murid, dilatih di sebuah asrama di Tanjung Morawa. Tahun 1922
sudah berdiri dua belas sekolah perkebunan dengan jumlah murid 581.18 Perjuangan
Tan Malaka untuk pendidikan kaum kuli sangatlah berat, dia harus berhadapan

16
Poeze., Op.Cit., hal. 216
17
Pidato Tan Malaka dalam rapat Buruh di semarang tanggal 22 Januari dimuat Sinar hindia, 23-31-
1-1922, di IPO 1922, no.5. sebagaimana dikutip oleh Poeze, Ibid., hal. 216)
18
Data ini dikutip Harry A. Poeze dari sekolah Senembah, Medan, Rencana Pelajaran untuk sekolah-
sekolah perusahaan senembah Medan, 1921
dengan orang-orang Belanda yang sangat anti pendidikan diberikan kepada kaum
kuli. Bagi mereka pendidikan yang diberikan kepada anak-anak kuli selain
membuang uang dan waktu, juga akan membuat mereka menjadi liar, dan brutal.
Tentu keliaran dan kebrutalan yang dimaksudkan orang Belanda disini bukanlah
anarkisme fisik, tapi kecerdasan dan kesadaran mereka akan arti kemerdekaan dan
kemanusiaanlah yang paling ditakuti. Untuk itulah orang Belanda yang anti
pendidikan selalu menganjurkan bahwa tidak perlu pendidikan rendah selama 5
tahun.
Dr. Jansen adalah mitra sejati Tan Malaka dalam menjalankan pendidikan untuk
anak-anak kuli, sehingga ketika Dr. Jansen kembali ke Nederland, Tan Malaka
sangat terguncang, karena dia harus berjuang sendiri menghadapi orang Belanda
yang sangat anti dengan dia dikarenakan haluan politik, dan pekerjaannya sebagai
guru. Kebimbangan Tan Malaka tersebut memunculkan sebuah keputusan
pengunduran diri dari sekolah tersebut.
Namun pengunduran diri Tan Malaka di sekolah kuli bukan semata-mata
perginya Dr. Jansen, tetapi juga karena alasan politis orang Belada masa itu. Karena
di Deli Tan Malaka tidak hanya aktif kegiatan pendidikan tetapi juga aktif dalam
pergerakan kaum proletar. Bahkan Tan Malaka berada di balik pemogokan-
pemogokan kaum buruh dan juga aktif menulis yang dipublikasikan melalui surat
kabar sehingga membangkitkan kesadaran dan sikap kritis masyarakat. Aktifitas
politik Tan Malaka tersebut mengkhawatirkan pihak Belanda, sehingga ancaman
terus ditujukan kepada Tan Malaka. Kondisi politik yang tidak kondusif tersebut
membuat Tan Malaka harus merubah strategi perjuanganjuang, salah satunya dia
memilih hijrah ke Jawa, tujuannya adalah Semarang.
SEKOLAH SAREKAT ISLAM
Di Yogyakarta Tan Malaka menemui Sutopo mantan pemimpin Surat Kabar Budi
Utomo. Sutopo mengajak Tan Malaka berkeliling dalam usaha mendirikan sekolah
yang akan Tan Malaka pimpin. Salah satu tokoh yang dikenalnya adalah
Tjokroaminoto, dalam pertemuan tersebut Tojkroaminoto berkata pada Tan Malaka
Pintu Sarekat Islam terbuka untuk saudara. Pertemuan dengan tokoh-tokoh politik
terus bergulir, Tan Malaka berkenalan dengan Darsono, dan Semaun.
Pertemuan Tan Malaka dengan semaun telah membuat kesepakatan bahwa dia
akan mengajak Tan Malaka ke Semarang guna memimpin sebuah perguruan.
Kepergian Tan Malaka ke Semarang membuat harus berpisah dengan Sutopo yang
sedang berusaha mendirikan sekolah untuk Tan Malaka di Yogyakarta. Semaun
mengadakan rapat istimewa buat anggota Sarekat Islam yang membahas agenda
rapat utama mendirikan perguruan.
Usul pendirian sekolah Sarekat Islam mendapat sambutan dan dukungan sangat
baik, pada hari itu juga sidang menyetujui didirikan Sekolah Sarekat Islam.
Permasalahan fasilitas tidak begitu menjadi masalah, karena Sarekat Islam memiliki
gedung yang bisa dijadikan tempat sementara untuk belajar. Sedangkan perangkat
tulis menulis dengan cepat bisa diperoleh, hanya dalam waktu dua hari saja, Tan
Malaka sudah memperoleh murid sebanyak 50 orang. Pemikiran dan visi misi
sekolah Sarekat Islam dijabarkan Tan Malaka dalam sebuah brosur kecil berjudul
S.I. Semarang dan Oderwijs. Prinsip sekolah sarekat Islam, sebenarnya
merupakan kelanjutan gagasan Tan Malaka, Dr, Jansen, dan De Way ketika masih di
sekolah kuli di Deli Sumatera Utara.
Sekolah Sarekat Islam didirikan bukan untuk mencetak juru tulis bagi
kepentingan pemerintah kolonial, tetapi sebagai bekal hidup mereka dan keterlibatan
aktif bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dasar yang dipakai Tan Malaka
adalah dasar kerakyatan dalam masa penjajahan. Sekolah Sarekat Islam yang
didirikan Tan Malaka bukan bermaksud mencari keuntungan, seperti sekolah-
sekolah partikulir. Program sekolah rakyat ini memungut biaya ringan bahkan gratis.
Prinsip yang dianut dan diterapkan si sekolah sarekat Islam yaitu:
1. Memberi senjata cukup, buat pencarian penghidupan dalam dunia kemodalan
(berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dan
sebagainya)
2. Memberi hak murid dalam kehidupannya dengan jalan pergaulan
(verenniging).
3. Menunjukkan kewajibannya kelak terhadap berjuta-juta kaum kromo (rakyat
jelata).
Pemikiran anti kolonialisme dan anti kapitalisme menjadi landasan pemikiran
Tan Malaka yang mewarnai sekolah SI. Anak-anak memang didik menjadi manusia
merdeka. Pengalaman selama 2 tahun di Tanah Deli, menjadi bekal utama bagi Tan
Malaka dalam mengintegrasikan kurikulum pembebasan nasional, kecakapan hidup,
dan intelektualisme. Pemikiran politik Tan Malaka sangat kental terasa di sekolah
SI, bahwa kaum terdidik setelah melewati bangku pendidikan mereka jangan lupa
terhadap perjuangan rakyat tertindas yang hidup dalam kemelaratan. Banyak
pribumi yang melupakan rakyat kecil setelah mereka selesai pendidikan di sekolah
pemerintah kolonial.
Disekolah SI budaya Timur menjadi geest (hawa) yang dirasakan peserta didik,
tidak seperti yang diterapkan di sekolah partikulir atau HIS Gouvernment. Peserta
didik di sekolah SI dituntut suka bekerja keras mencari ilmu, karena itulah bekal
bagi kehidupan mereka. Tan Malaka yang memang mendalami ilmu pendidikan
sadar betul bahwa anak-anak didik tidak boleh tercerabut dalam masa yang
seharusnya mereka alami, yaitu kesukaan bergaul sebagai anak-anak.
Belanda sangat khawatir dengan perkembangan sekolah yang mereka sebut
sebagai Sekolah Model Tan Malaka yang dianggap Belanda menganut komunis
internasional, akan membahayakan pemerintah kolonial karena melahirkan kader
pergerakan kemerdekaan. Pada saat itu permintaan pendirian sekolah SI datang dari
pelosok Malang, namun tetap Semarang sebagai pusat.
Menurut R. Kern, seorang penasehat pemerintah kolonial dalam masalah-
masalah pribumi, Kesuksesan sekolah Sarekat Islam tersebut dikarenakan hal
berikut: (1) Kurangnya tempat bagi pribumi untuk belajar di HIS. (2) Bakat Tan
Malaka dalam mengorganisir. (3) Penguasaan Tan Malaka dalam bidang pendidikan.
(4) Bakat improvisasi Tan Malaka dalam mengatasi permasalahan penyelenggaraan
pendidikan. (5) Biaya pendidikan rendah bahkan gratis. (6) Berideologi anti
kolonialisme.

Pada perkembangan sekolah SI, Bandung adalah daerah kedua berdirinya


Sekolah Sarekat Islam. Pada masa ini terdapat 300 orang murid, yang membuat Tan
Malaka mengerahkan tenaga guru baru ke Bandung. Setelah Tan Malaka ditangkap
dan dibuang ke Eropa, sekolah SI tidak hanya mendapat pemboikotan dari
pemerintah kolonial, tetapi juga perpecahan internal. Kepentingan politik kelompok
ideologis secara perlahan menghacurkan sekolah yang didirikan Tan malaka
tersebut.

PENDIDIKAN BERKARAKTER KEINDONESIAAN

Belanda, Inggris, dan Jepang, mengatakan bahwa Tan Malaka adalah seorang
pengacau besar karena gerakan penyadaran makna kemerdekaan bagi Bangsa
Indonesia melalui pendidikan. Pemikiran pendidikan kritis emansipatoris yang
digagas dan diimplementasikan Tan Malaka pada masa pra kemerdekaan
selayaknya menjadi inspirasi dan landasan pembangunan pendidikan nasional yang
berkarakter keindonesiaan.

Sekolah adalah tempat mendidik anak-anak bangsa agar berjiwa merdeka.


Peserta didik tidak bisa dianggap sebagai robot dalam proses pendidikan dan
menjadi mesin kapitalis ketika menyelesaikan pendidikan. Pendidik harus
internalisasikan nilai-nilai perjuangan dan kemandirian kepada peserta didik yang
akan berdampak kepada kemandirian bangsa sehingga tidak bergantung kepada
negara lain. Di abad kapitalisme, out put pendidikan cendrung hanya dijadikan alat
produktifitas kapitalisme. Keadaan ketergantungan kepada pemodal dan bermental
sebagai tenaga kerja ini menjadikan mental budak di dalam masyarakat yang tingkat
ketergantungan sangat tinggi kepada pemodal.
Guna mencapai tujuan pendidikan maka seorang guru haruslah menguasai
prinsip-prinsip pengajaran. Proses pembelajaran di sekolah seharusnya tidak
mencerabut siswa dari akar budaya. Olehkarena itu guru harus menggali kearifan
lokal dimana dia memberikan pengajaran. Sehingga proses internalisasi informasi
memang benar berdasarkan kondisi kehidupan masyarakat, tentunya tanpa
mengabaikan perkembangan dunia.
Bagaimana nilai-nilai pergaulan sosial ditanamkan kepada anak-anak di sekolah-
sekolah di Indonesia sekarang? Perlu penelitian untuk menjawab pertanyaan
sederhana tersebut. Namun sistem pendidikan telah memerangkap peserta didik
dalam tekanan hanya fokus pada pelajaran. Banyak kebijakan pendidikan nasional
yang tidak memperhatikan peserta didik sebagai mahluk sosial. Kelas akselerasi,
kelas standar internasional, kelas excellent dan berbagai istilah lainnya membuat
siswa sibuk dari pagi sampai sore dengan pelajaran-pelajaran. Tidak hanya sampai
disitu, beban belajar berbentuk tugas-tugas masih mereka bawa ke rumah, hingga
malamnya mereka disibukan lagi dengan materi pelajaran. Tidak hanya itu,
program-program sekolah unggulan dengan memakai konsep sekolah terintegrasi,
dengan waktu yang padat sampai sore telah merampas waktu anak-anak untuk
sekedar bersantai, bermain, dan memperluas pergaulan mereka. Sehingga mereka
tidak memilki kecerdasan sosial dan menjadi sosok individualis.
Aspek tanggung jawab sosial mendapat perhatian penting dalam pemikiran
pendidikan Tan Malaka. Kekhawatiran eksklusivisme kaum intelektual, yang seakan
menjadi kasta tersendiri telah diantisipasi oleh Tan Malaka. Pada masanya
superioritas kaum terpelajar memang terasa mencolok, terutama yang memperoleh
pendidikan Eropa. Dalam ceramah dan tulisan, Tan Malaka tidak henti-henti
mengkritisi kaum intelektual yang hidup dalam menara gading. Tentang alienasi
kaum intelektual tersebut masih terasa saat ini. Kaum intelektual masih banyak
terpenjara di kampus dalam idealisme dan teori-teori. Kehidupan kaum intelektual
yang seakan bertembok dengan rakyat tersebut masih tetap terasa walaupun
sebenarnya perguruan tinggi memiliki prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Perguruan tinggi sebagai wadah kaum intelektual belum bisa diandalkan sebagai
agen perubahan ketika secara individu mereka masih berpikir bahwa kelas mereka
lebih tinggi daripada masyarakat banyak yang bergelut dengan kerasnya kehidupan
sekedar mempertahankan hidup.
Kaum intelektual dan kaum teknokrat selayaknya tidak terasing dalam
pergulatan kehidupan masyarakat, karena pekerjaan fisik masyarakat tidaklah lebih
rendah dari kerja intelektual. Kerja tangan dan fisik merekalah yang membangun
bangsa ini. Tan Malaka pernah ingin menguji mana yang lebih penting pekerjaan
kaum proletar atau kaum intelektual, dengan mengajak mogok kerja kaum buruh
dimana segala produksi akan terhenti, disinilah disadari bahwa antara intelektual dan
kaum pekerja adalah suatu kesatuan yang bergerak menuju satu tujuan bangsa
berdaulat, dan masyarakat sejahtera.
Pendidikan di Indonesia diselenggarakan bukan untuk mempersiapkan sumber
daya manusia handal yang dipergunakan bagi Neo Imperialisme global. Para
stakeholder harus menyadari bahwa pendidikan yang diselenggarakan untuk rakyat
adalah sebagai pondasi untuk menjadi bangsa merdeka dalam berbagai bidang:
Politik, Budaya, Ekonomi, Militer, Teknologi. Globalisasi sebagai realitas
seharusnya menjadi tantangan agar Indonesia tidak menjadi bangsa yang
membebek, dan terjebak dalam pendidikan untuk menciptakan tenaga ahli dan
intelektual yang hanya menghamba kepada kepentingan kapitalisme, dengan apologi
globalisasi dan kepentingan ekonomi.
Anthony Giddens mendefinisikan globalisasi sebagai peningkatan
interdependensi masyarakat dunia, dimana tidak ada lagi batas sosial politik di
antara negara. Ada enam komponen globalisasi yang disampaikan oleh Cohen dan
Kennedy: pertama, perubahan konsep ruang dan waktu. Kedua, peningkatan
interaksi budaya. Ketiga, permasalahan sama yang dihadapi masyarakat. Keempat,
pertumbuhan interkoneksi dan interdependensi. Kelima, meningkatnya jaringan
kekuatan transnasional aktor-aktor dan organisasi-organisasi. Keenam, sinkronisasi
seluruh dimensi yang meliputi globalisasi. Sedangkan Gunawan Wiradi memahami
globalisasi sebagai gerakan internasional yang dilandasi neo liberalisme, yang
meyakini prinsip pasar bebas, sebebas-bebasnya, mencakup perdagangan bebas,
gerak tenaga kerja bebas, investasi bebas, dan gerak modal bebas. Guna
melanggengkan liberalisasi tersebut menurut Wiradi maka peran negara harus
diminimalkan sekecil mungkin dalam berbagai aspek demi kepentingan kapitalisme.
Globalisasi sebagai keniscayaan dengan motif utamanya adalah pasar bebas
bukan berarti bangsa Indonesia tidak memiliki karakter bangsa karena terbawa
godaan mimpi-mimpi indah yang ditawarkan kapitalisme. Neo kolonial dengan
muka barunya Globalisasi tidak lagi dengan membawa armada perang. Senjata
modal neo kolonial dari negara-negara maju perlahan merampas kekayaan
Indonesia, sehingga negara ini ada hanya di atas kertas. Secara fakta, modal-modal
dan lahan telah dikuasai kapitalisme. Korporasi-korporasi besar menancapkan
kukunya ditanah air mencari tenaga kerja ahli namun murah. Kaum buruh yang
semakin tergilas teknologi dan peraturan pabrik yang menindas dihantui kehilangan
pekerjaan. Kaum tani tidak lagi memiliki lahan, penyerobotan-penyerobotan tanah
perusahaan asing semakin menyengsarakan. Lapangan kerja semakin sempit, impor
tenaga kerja ahli dari luar telah menyingkirkan tenaga-tenaga domestik. Para sarjana
berebut menjadi tenaga kerja dengan sistem outsourcing dimana tidak ada jaminan
kesejahteraan, asuransi kesehatan, namun dengan tuntutan kerja di bawah tekanan
dan dibawah ancaman pemecatan yang tanpa uang tolak karena tidak mencapai
target.
Globalisasi dengan senjata kapital semakin mengancam kehidupan masyarakat
Indonesia. Selama masih ditemukan penindasan layaknya kerja rodi yang penulis
gambarkan tersebut, wajarlah kalau muncul pertanyaan, apakah Indonesia sudah
merdeka. Dengan wajah barunya, neo kolonial mengeksplorasi kekayaan alam
maupun memanfaatkan tenaga rakyat demi kepentingan industri dan berbagai
bidang bisnis mereka. Bangsa Indonesia tidak dapat berbuat banyak selain menjadi
penonton.
Apabila pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia hanya berdasarkan
pemenuhan kebutuhan industrialisme Barat, lalu apa bedanya kondisi saat ini
dengan masa penjajahan Belanda. Pemerintah kolonial hanya memberikan akses
pendidikan kepada pribumi sebagai strategi memenuhi kebutuhan mereka terhadap
kerja-kerja klerikal, buruh, dan mandor-mandor perkebunan. Masa kolonial akses
pendidikan yang dibatasi dan selalu dipersulit, semata-mata untuk terus
memerangkap Indonesia dalam jurang kebodohan. Dengan kebodohan abadi
tersebut, Imperialisme semakin mencengkramkan kekuasaan mengeksploitasi
Indonesia.
Kebodohan yang masih menjajah Indonesia tersebut dapat dilihat dari data
bahwa kekayaan Indonesia hanya dikuasai 0,2% oleh penduduk.17 Fakta kemiskinan
dalam aspek penguasan kekayaan Indonesia ini mencerminkan bahwa bangsa
Indonesia belum merdeka, karena masih dikuasai oleh pihak asing. Pertanyaan yang
muncul, mengapa ini bisa terjadi? Apakah pendidikan yang dibangun selama ini
tidak cukup membangun bangsa yang mandiri dan berdaulat dinegeri sendiri?
Apakah sedemikian bodohnya bangsa Indonesia sehingga tidak dapat
mengeksplorasi kekayaan dan mengelola kekayaannya sendiri?

17
Kompas, 13 Oktober 2010
Pendidikan sebagai social capital yang akan menggerakkan roda pembangunan
harus dipandang sebagai kebutuhan pokok. Namun pendidikan yang diberikan
jangan mengabaikan prinsip-prinsip nasionalisme dan humanisme. Fenomena
melunturnya nasionalisme dapat dijadikan sebuah premis bahwa penanaman
pemikiran kebangsaan, keindonesiaan belum terselenggara dengan baik. Betapa
mengerikan kondisi Indonesia di masa beberapa tahun mendatang, ditengah arus
informasi teknologi dan budaya pop hedonisme, generasi muda terjebak dalam
perangkap ketidakpastian.
Sehingga kalaupun muncul ilmuwan handal, teknokrat ahli, birokrat, maupun
pekerja yang tidak menyadari posisinya sebagai warga dunia namun merupakan
entitas bangsa Indonesia. Ketika arus dunia tanpa batas ini menghilangkan jati diri
dan karakter nasionalisme dan keindonesiaan, tidaklah aneh apabila dalam berbagai
sendi kehidupan masyarakat Indonesia akan menjadi chaos. Korupsi akan semakin
merajalela karena nilai-nilai dasar sebagai warga negera yang baik tidak
terinternalisasi. Ketika konsep nilai-nilai adi luhung pada masa pergerakan
kemerdekaan terus digali, diinternalisasi dalam level pendidikan tertinggi, minimal
perilaku bobrok dalam pengelolaan negara akan dapat dikurangi.
Guru merupakan agen pembebasan terpenting untuk menuju Indonesia
merdeka seratus persen. Sebagaimana yang telah diterapkan Tan Malaka dalam
berbagai kegiatan pendidikannya. Tan Malaka selalu menekankan bahwa guru yang
dilatih dan dilibatkan dalam proyek pendidikannya selalu dituntut memiliki
kompetensi. Bisa dikatakan empat kompetensi (pedagogik, profesional, sosial, dan
kepribadian) yang termaktub dalam Undang-undang Guru dan Dosen No 15 tahun
2005 yang menjadi acuan perbaikan kualitas pendidikan saat ini sebenarnya telah
diterapkan Tan Malaka. Bahkan empat kompetensi tersebut pada masa Tan Malaka
sebenarnya bisa ditambahkan dengan kompetensi ketabahan dan keikhlasan demi
bangsa dan negara. Nilai patriotisme inilah yang luntur dalam proses pendidikan
saat ini.
Jika direfleksikan pengabdian guru pada masa Tan Malaka, disatu sisi mereka
dituntut memiliki kompetensi yang diperoleh melalui proses pendidikan guru yang
berat dengan standar pemerintah kolonial. Ketika mereka mengaplikasikan ilmu,
ternyata bukan hanya bermotif kesejahteraan. Jika dilihat dari penghasilan yang
diperoleh sangatlah tidak berimbang. Seperti yang diperoleh Tan Malaka ketika
mengajar di Deli, maupun ketika di sekolah Sarekat Islam, yang bisa dikatakan tidak
dibayar. Motif utama mereka adalah pengabdian kepada negara dengan
memanusiakan anak bangsa agar dapat melihat dunia, merenungkan posisi mereka
yang tertindas, dengan mengajarkan mereka aksara, berhitung, dan keterampilan
tangan.
Guru sebagai penjaga karakter bangsa Indonesia merupakan profesi yang
memiliki peran sosial tinggi sebagai model manusia ideal. Pendidikan karakter yang
digaungkan akhir-akhir ini tidak akan mencapai hasil maksimal jika guru sebagai
pionir perubahan tidak menginternalisasikan karakter ideal kepada peserta didik.

KESIMPULAN
Pemikiran dan aksi pendidikan Tan Malaka meliputi: Pedagogi, Manajemen dan
Kebijakan Pendidikan, Kurikulum. Tinjauan pedagogi, seorang guru harus
menyadari perannya sebagai pendidik dan pelatih masyarakat yang terperangkap
dalam kebodohan. Melalui pendidikan yang diberikan dengan memperhatikan aspek
psikologis, sosial, maupun budaya peserta didik maka seorang guru telah berusaha
untuk memanusiakan manusia dan memerdekakan bangsa dari ketergantungan
terhadap kapitalisme.
Tentang kurikulum, terdapat tiga poin penting, yaitu: Pendidikan sebagai bekal
hidup, Pendidikan dan pergaulan sosial, Pendidikan dan tanggung jawab sosial.
Pendidikan nasional masih memandang ilmu dan budaya yang datang dari luar
selalu dianggap baik dan terbaik. Seharusnya pendidikan dapat menggali khasanah
ilmu, dan budaya bangsa Indonesia. Bangsa yang berkarakter unggul adalah ketika
mampu berdiri sama tinggi dengan peradaban luar, barat khususnya, dengan
memperlihatkan keunggulan pengetahuan, teknologi dan budaya yang digali dan
diciptakan sendiri.
Masyarakat dididik bukan untuk menjadi kelompok intelektual ataupun
teknokrat yang ekslusif. Kaum intelektual dan teknokrat dengan senjata pikiran dan
teknologi bukan berarti membangun tembok dari kehidupan masyarakat banyak.
Sebaliknya kaum terdidik harus melebur dalam sebuah interaksi yang saling
mendukung.
Fridiyanto. Alumni PPs IAIN Sulthan Thaha Syaifuddin Jambi. Dosen
Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara.

KEPUSTAKAAN
Alfian. Tan Malaka Ideolog Kesepian. Dalam buku Manusia dalam Kemelut
Sejarah. Editor Syafii Maarif, Jakarta: LP3ES
Giddens, Anthony. Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan
Kita, Jakarta: Gramedia, 2003
Kompas, 13 Oktober 2010
Malaka, Tan . SI semarang dan Onderwijs, 1987
_________, Naar de Republiek Indonesia, 1925
_________, Aksi Massa, Jakarta: Narasi, 2008
_________, Madilog: Materialsme, Dialektika, Logika, Jakarta: LPPM, 2000
Poeze, A. Harry. Pergulatan Menuju Republik 1897-1925. Jakarta: Grafiti, 2000

Anda mungkin juga menyukai