Anda di halaman 1dari 187

PERS MAHASISWA MELAWAN

KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

PERS MAHASISWA MELAWAN


KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

Wisnu Prasetya Utomo

Indie Book Corner


Pers Mahasiswa Melawan Komersialisasi Pendidikan
Copyright Wisnu Prasetya Utomo
Cetakan pertama, Maret 2013
Penyunting: Aghnea Adzkia
Tata Letak: Anne Shakka
Desain Sampul: Syauqi Fathullah

Diterbitkan oleh
Indie Book Corner
Perum Buana Asri Village D-4
Jl. Griya Taman Asri
Pendowoharjo, Sleman, Jogjakarta

www.bukuindie.com
facebook.com/inibukuku
@IndieBookCorner
redaksi@bukuindie.com
0274-9207841
Untuk ibuk, ibuk, ibuk, bapak...

Pengantar
Merumuskan Peran Baru Pers Mahasiswa
Oleh : Amir Effendi Siregar *

Buku ini melihat bagaimana strategi pers mahasiswa dalam


memberitakan wacana komersialisasi pendidikan. Isu ini
sendiri mendapatkan perhatian dari pers umum dan pers
mahasiswa. Perhatian yang begitu luas menunjukkan bahwa
komersialisasi pendidikan tidak hanya merupakan isu
kampus melainkan juga isu nasional. Meskipun demikian,
pers mahasiswa menunjukkan keberpihakan yang tegas.
Pers mahasiswa memosisikan diri anti komersialisasi
pendidikan.
Diskursus komersialisasi pendidikan memunculkan
perdebatan dan ketegangan berdasarkan perspektif ideologi
neoliberal dan sosial demokrat. Mereka yang mengusung
ide-ide neoliberalliberalisme ortodoksmenganggap
bahwa campur tangan negara dalam dunia pendidikan
tinggi mesti dihilangkan. Konsekuensinya, biaya kuliah
begitu mahal dan ditanggung oleh masyarakat.
Sementara di sisi yang berhadapan adalah mereka
yang menganut gagasan sosial demokrat. Komersialisasi
pendidikan dianggap sebagai bentuk pengingkaran terha-
dap demokratisasi seperti diamanatkan dalam konstitusi
Indonesia yaitu UU Dasar 45. Para penganut gagasan ini
meyakini konsep social market economy. Dalam sistem
vii
ekonomi pasar harus ada fungsi dan peran sosialnya.
Contoh paling tepat untuk hal ini adalah negara Skandinavia
yang secara tepat mempraktikkan social market economy. Di
negara-negara seperti Denmark, Finlandia, Norwegia, dan
Swedia, pendidikan itu gratis. Akses masyarakat terhadap
pendidikan dibuka seluas-luasnya. Bahkan di Amerika
Serikat yang sering dianggap paling liberal, pemerintah
mengusahakan warganya bisa mengakses pendidikan tinggi
terutama di state university. Dengan kata lain, komersialisasi
lebih banyak terjadi di private university.
Perlawanan terhadap komersialisasi pendidikan
tersebut muncul ketika pers mahasiswa masih dilanda
kegamangan sebagai konsekuensi dibukanya keran demo-
krasi pada 1998. Perubahan sistem politik secara drastis
memaksa pers mahasiswa menyesuaikan diri. Dalam sistem
otoritarian yang ditandai dengan pembungkaman terhadap
pers umum, pers mahasiswa menjadi alternatif. Berita-
beritanya dibaca oleh banyak orang. Namun, dalam sistem
demokrasi, pers mahasiswa merasakan kondisi yang serba
sulit. Di satu sisi, pers mahasiswa harus bersaing ketat
dengan pers umum jika ingin memberitakan isu-isu nasional.
Jaminan kebebasan pers membuat pers umum menjadi
lebih berani dalam memberitakan berbagai isu. Di sisi lain,
jika hanya mengangkat berita-berita seputar kampus sama
artinya dengan mengingkari idealisme kemahasiswaan.
Dilema tersebut muncul karena di negara berkembang
seperti Indonesia, mahasiswa memang dituntut sumbangan
pemikirannya terhadap problem sosial ekonomi politik
kemasyarakatan sejak ia masih duduk di bangku kuliah.
Secara naluriah mahasiswa akan terus mempertanyakan
apabila kondisi negeri tidak sesuai dengan harapan ideal
seperti yang ia pelajari di kelas. Maka, pers mahasiswa
yang dikelola oleh para mahasiswa juga secara otomatis
akan terdorong untuk menyajikan informasi yang berkaitan

viii
dengan problem kebangsaan. Ia terikat komitmen untuk
ikut menuntaskan berbagai permasalahan tersebut. Pada
titik ini, pers mahasiswa harus merumuskan kembali peran
dan posisi agar tetap bisa menunjukkan eksistensinya.
Di negara maju, pers mahasiswa secara jelas berorientasi
pada komunitasnya sendiri yaitu civitas academica. Ia
menjadi satu community news paper. Sebabnya, nyaris tidak
ada celah bagi pers mahasiswa untuk menulis berita-berita
nasional. Penetrasi pers umum begitu kuat dengan variasi
yang luar biasa banyak. Sebagai contoh di Amerika Serikat.
Oplah media cetak sekitar empat ratus juta eksemplar
dan jumlah stasiun televisi sebanyak 1750 dengan jumlah
penduduk sekitar 300 juta. Penetrasi internet pun mencapai
angka 70-80%. Kondisi ini membuat pers mahasiswa tidak
memiliki celah untuk ikut mengangkat isu nasional. Bila
dibandingkan dengan Indonesia, kondisinya berbeda jauh.
Oplah media cetak sebesar dua puluh juta dan 300 stasiun
televisi untuk dua ratus juta penduduk. Sementara penetrasi
internet hanya berkisar di angka 20%.
Celah ini yang bisa digunakan pers mahasiswa untuk
tetap menunjukkan eksistensinya. Konteks tersebut berguna
untuk memahami problem yang melanda pers mahasiswa.
Peranan ganda dalam mengangkat isu nasional sekaligus isu
lokal tetap harus diambil. Namun pendekatan dalam peran
ganda tersebut mesti diubah. Pers mahasiswa tidak perlu
takut mengangkat isu-isu nasional seperti korupsi, partai
politik, maupun persoalan kebangsaan lainnya. Catatannya,
berita-berita yang ditampilkan tidak boleh dangkal atau
hanya bersifat permukaan. Informasi yang dimunculkan
mesti based on research dan mengandung bobot akademis
yang tinggi. Model penulisannya menggunakan indepth
reporting dan atau interpretative reporting yang kaya data
atau yang lebih dikenal sebagai jurnalisme presisi. Dengan
demikian ia bisa dijadikan referensi oleh pers umum dan

ix
terutama masyarakat luas.
Penulisan berita yang kaya data memang merupakan
tuntutan pers mahasiswa saat ini. Ini jauh bertolak belakang
dengan kondisi di zaman sayaera Orde Baruketika
pers mahasiswa ketika itu seringkali bersifat partisan dan
menjadi pers pamflet. Kondisi di tengah otoritarianisme
memang membuat mahasiswa, mau tidak mau, memosisikan
diri menolak negara yang dianggap sebagai musuh bersama.
Sifat partisan yang agitatif dan provokatif adalah salah satu
ciri dan cara untuk melawan musuh bersama tersebut. Satu
situasi yang sudah tidak terlalu relevan jika diterapkan
pada zaman sekarang. Dalam sistem demokratis, informasi
yang ditampilkan mesti menampilkan sudut pandang
atau perspektif yang berbeda. Penerapan prinsip-prinsip
jurnalistik yang ketat menjadi pegangan dalam menyajikan
informasi tersebut.
Ketika sudah memutuskan bergerak di dunia pers,
pers mahasiswa mesti concern terhadap prinsip-prinsip
jurnalistik. Berita yang ditampilkan harus bisa diverifikasi
kebenarannya. Kecuali pers mahasiswa mau mengaku
dirinya sebagai pers pamflet atau media propaganda.
Dilema amatirisme dan profesionalisme yang merupakan
persoalan klise pers mahasiswa tidak akan pernah berakhir.
Profesionalisme menuntut keterampilan dalam mengelola
organisasi dari mulai rutinitas periode terbit sampai
pembiayaan penerbitan. Namun karena pengelolanya adalah
mahasiswa-mahasiswa yang dibatasi waktu aktif kuliah di
kampus, sifat amatirisme menjadi tak terhindarkan. Dilema
tersebut juga merupakan konsekuensi dari peran ganda
pers mahasiswa. Hal tersebut bisa menjadi kekurangan
sekaligus juga kelebihan. Geraknya yang bebas membuat
pers mahasiswa bisa memberitakan berbagai berita tanpa
takut diberedel, nothing to lose.

x
Gerak bebas inilah yang semestinya bisa dimanfaatkan.
Apalagi perkembangan teknologi internet membuat pers
mahasiswa memiliki banyak pilihan untuk menerbitkan
tulisan-tulisannya dengan mengabaikan keterbatasan dana.
Jaringan organisasi pers mahasiswa di tingkat nasional
juga tidak bisa dipinggirkan. Sebagai sebuah networking,
organisasi di tingkat nasional dibutuhkan sebagai ajang
tukar pikiran sesama pers mahasiswa. Misalnya saja sharing
tentang pengelolaan organisasi maupun penerbitan majalah.
Bahkan dalam isu tertentu misalnya, pers mahasiswa bisa
melakukan join research. Bahkan juga bisa membentuk
pusat informasi pers mahasiswa Indonesia. Dengan ling-
kup wilayah yang luas, kerjasama ini bisa membuat pers
mahasiswa mengimbangi dan menjadi alternatif pers
umum.
Tentang bagaimana bentuk organisasi tersebut
apakah organisasi tertutup atau hanya forum komunikasi
bisa diketahui setelah ada perumusan ulang problem
mendasar pers mahasiswa. Sebabnya, ketiadaan pembacaan
posisi membuat pers mahasiswa bersikap reaktif. Membuat
sebuah organisasi tapi tidak tahu apa yang akan dilakukan
karena tidak tahu apa yang sedang dihadapi.
Sampai di sini, kehadiran buku ini menjadi penting di
tengah minimnya literatur tentang pers mahasiswa. Studi
ini melengkapi kajian Amir Effendi Siregar (1983), Francois
Raillon (1985), Ana Nadhya Abrar (1992), Didik Supriyanto
(1998), serta Satrio Arismunandar (2005).
Selain melengkapi literatur tentang pers mahasiswa,
buku ini juga membantu para pegiat pers mahasiswa untuk
melihat gejala atau problem yang selama ini melanda.
Dengan pembacaan atas gejala, ia berguna untuk melihat
posisi dan peran pers mahasiswa Indonesia. Pada tahap
selanjutnya, pers mahasiswa bisa menjawab tantangan
barunya dalam hidup di alam demokrasi Indonesia yang
xi
masih bersifat prosedural, belum substansial. Selamat
membaca dan saya percaya sangat bermanfaat.

*Amir Effendi Siregar adalah Ketua Umum Ikatan Pers


Mahasiswa Indonesia (IPMI) Cabang Yogyakarta dan Wakil
Ketua Umum Pimpinan Pusat IPMI pada tahun 1970-an.
Anggota Dewan Pers tahun 2003-2006. Sekarang adalah Ketua
Dewan Pimpinan Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat dan
Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA)

xii
Pengantar
Pers Mahasiswa dan Naluri Perlawanan
Oleh : Eko Prasetyo*

Hidup tak hanya senyum, kembang dan kelam


Tapi juga
Keringat air mata dan laut
(Zawawi Imron: Hidup tak Hanya)

Duduk meriung dalam diskusi. Ada teh, pisang goreng dan


kacang. Raut wajah mereka masih sama: ingin tahu, sinis
dan mendebat. Sesekali muncul pendapat dengan kutipan
para ahli atau komentar konyol para pelawak. Suasana
informal dan segar selalu saja datang ketika saya menemui
mereka. Aktivis pers mahasiswa yang selalu punya ambisi
gila; membongkar tiap persoalan dengan tujuan heboh.
Menciptakan sebuah negeri yang bebas kezaliman. Sebuah
niat yang mirip dengan isi semua kitab suci: membuat dunia
yang bersih dari kejahatan. Kemustahilan yang sayangnya
selalu dinikmati dan diperjuangkan. Lewat tulisan, upaya
suci itu dihadirkan: tidak rutin dan mungkin juga tidak
banyak dibaca. Tapi pers mahasiswa berdiri dengan angkuh
sembari sadar kalau dirinya memang tak punya kekuasaan
tunggal opini.
Kini pers mahasiswa hadir dalam suasana yang amat
berbeda. Masa di mana jaminan kebebasan hadir. Tiap
xiii
media seperti juru bicara bagi yang memiliki kuasa. Tak
jarang para pemilik ini bertindak anarki: iklan atas figurnya
dipasang di tiap acara dan bahkan istrinya jadi bintang
untuk menemaninya. Liputan berita kemudian mengikuti
arus kepentingan para pemilik. Akurasi dan objektivitas lalu
disangsikan. Tapi itu bukan berarti media lalu kehilangan
kekuatanya. Terdapat banyak kasus yang terungkap karena
penciuman dahsyat media. Korupsi dan terorisme salah
satu prestasi hebatnya. Lalu di mana posisi pers mahasiswa?
Dengan modal cekak, tim yang disibukkan oleh kuliah dan
kepemimpinan yang cepat berganti maka ruang kuasanya
kian terbatas. Tapi kenekatan dan kecerdikan mengalahkan
semua kelemahan itu: pers mahasiswa membuktikan diri
sebagai kekuatan yang andal. Buku ini mengisahkanya
dengan jitu.
Pemberitaan tentang kampus. Persisnya tentang
komersialisasi perguruan tinggi. Urusannya tak jauh dari
mahalnya biaya kuliah hingga kian sulitnya akses masuk
untuk orang miskin. Pada kasus itulah pers mahasiswa
mengambil sikap berontak: kampus tak bisa dikuasai oleh
segelintir pecandu duit. Kampus tak bisa lagi mengelola
managemen dengan logika pemerasan. Pers mahasiswa
lalu berdiri dengan penuh martabat melawan situasi itu.
Maka bermunculan banyak tulisan yang dipilih oleh penulis
dalam beberapa kategori.
Duel untuk melawan komersialisasi kampus itu
diwujudkan dengan banyak taktik. Secara wacana
dikembangkan opini yang melucuti kelemahan komersiali-
sasi. Tampil pula para pengamat dan korban langsung dari
kebijakan sadis ini. Tak jarang para aktivis pers mahasiswa
itu turun ke jalan lalu melakukan demo besar-besaran.
Sikap tunggal mereka jelas: komersialisasi bukan solusi.
Akhir dari pertarungan ini terang: UU BHP dinyatakan batal
oleh Mahkamah Konstitusi. Pesan yang jelas dari mereka

xiv
adalah: pendidikan tinggi bukan ladang untuk mencari laba.
Tapi ini bukan pertarungan heboh. Serangan itu
diarahkan pada kebijakan. Sasaran kutukan itu ada pada
peraturan. Tulisan yang menyengat memang diperlukan
tapi itu tak selamanya bisa memacu gerakan. Sejak UU BHP
dicabut maka mandat tulisan untuk melawan komersialisasi
itu berubah strategi. Kini bukan soal mahal biaya pendidikan
tapi tradisi burjouis yang ada di lingkungan kampus.
Seperti mobil mewah yang dikendarai oleh mahasiswa,
konsumerisme yang jadi status sosial dan lebih berbahaya
lagi, sikap pragmatis sebagian dosen. Aliran perubahan itu
dibawa bukan karena komersialisasi semata melainkan
kampus yang mulai unjuk peran: tidak didasarkan pada
kualitas hasil riset melainkan bagaimana kampus merias
bangunan. Saksikan saja tubuh bangunan fisik kampus yang
makin mirip dengan pusat perbelanjaan: fasilitas AC pada
ruangan, wi fi di tiap teras halaman dan kursi nyaman untuk
duduk mahasiswa. Tak lupa kantin disediakan dengan menu
komplit. Maka mahasiswa bukan lagi kumpulan anak-anak
muda yang gelisah, kritis dan nekat: tapi pemuda yang
rapi, gaya dan penuh canda. Lukisan paling norak tampak
dalam iklan-iklan kampus yang dipasang pada baliho.
Sekelompok mahasiswa dan mahasiswi membaca buku
sambil tersenyum.
Pers kampus lalu meluncur bukan dalam bahasa
propaganda tapi berita yang penuh data, argumentasi yang
ilmiah dan penjelasan yang lurus. Pers kampus kehilangan
gigi taringnya ketika berita yang diungkap tak lagi dalam
bahasa emosional, provokatif dan menyerang. Terlebih
elemen investigasi tak lagi jadi senjata yang bisa diandalkan:
bisa karena pelatihan yang minim atau beban kuliah yang
membelit. Efeknya seperti yang ditulis di buku ini, pers
kampus mulai mendesakkan tersangka modal sebagai
biang keladi komersialisasi. Kutipan kapitalisme modal,

xv
neoliberalisme hingga kaki tangan uang berhamburan di
mana-mana. Sebagai sebuah agitasi itu tetap diperlukan,
tapi kesadaran kritis tidak tumbuh hanya dengan bualan.
Pers kampus kehilangan penciuman untuk melihat jejak-
jejak modal yang paling dekat di sekitarnya: rektor yang
bergonta-ganti mobil, dosen yang rumahnya mewah hingga
paceklik karya di lingkungan para pengajar. Padahal itu
adalah lukisan langsung serta menyentuh bagaimana modal
itu memenjarakan kecerdasan intelektual dosen. Terjadi
apa yang biasa berlangsung: dosen seperti pekerja yang
diperas kemampuannya untuk melayani modal.
Itu sebabnya perlawanan pada komersialisasi pendidik-
an kehilangan visi utopisnya. Soalnya perlawanan itu hanya
beringsut dari wacana menuju wacana. Aliran dukungan
massa pada setiap demo hanya mengulang apa yang jadi
keluhan: kampus kian mahal. Tapi bentrok tak terjadi dan
emosi tidak jadi gumpalan aksi yang keras. Maka ketika UU
BHP dibatalkan oleh MK itu dianggap sebagai proklamasi
kemenangan. Tiap-tiap orang lalu merasa sudah berjuang
total: padahal perseteruan diawali dari situ. Saat di mana
hukum diacuhkan dan ketika peraturan tak bisa memegang
kendali sepenuhnya. Aroma itu menyala ketika banyak
dosen memilih jadi pejabat dan kuliah tinggal jadi obrolan
gosip sana-sini. Runyamnya lagi, gerakan mahasiswa
dilumpuhkan melalui prosedur dan intervensi. Maka wujud
komersialisasi itu berubah rupa bukan sekadar pintu
masuk yang bertarif mahal melainkan juga mata kuliah yang
memusatkan diri pada perolehan uang. Secara sederhana
itu punya arti yang luas: materi kuliah yang tak beringsut
dari kepentingan praktis, kegiatan yang bertumpu pada
kerja sama dengan badan usaha lalu upaya kampus untuk
mengembangkan bisnis. Pernak-pernik itu yang kadang
masih tumpul dibaca oleh pers mahasiswa.

xvi
Buku ini memberi penjelasan yang unik dan pas:
kekuatan pers mahasiswa bukan terletak pada wacana
tapi keterlibatan langsung dalam gejolak. Iramanya bukan
ditambang dari tulisan melainkan keterlibatan. Soalnya
memang ada batas yang kini memagari keinginan itu:
absensi, ketentuan kuliah hingga jeratan situasi politik. Tak
dipungkiri gejolak partai politik di luar sana memengaruhi
dinamika gerakan. Di sisi ini, buku yang anda baca amat
relevan: mempertimbangkan kembali peran oposisi pers
mahasiswa. Dalam wadah isu komersialisasi kampus, pers
mahasiswa membuka kubu perseteruan dengan pihak
pemegang kendali kampus: rektor hingga mengerucut pada
menteri pendidikan. Ruang pertarungan yang dihuni oleh
wacana itu kini saling bergesek dan melibatkan diri secara
aktif. Pada arus itulah sesungguhnya konflik kepentingannya
komplit: manajemen tata kelola kampus, borjuasi dalam
diri mahasiswa, konfrontasi kelas hingga tata ruang. Sayang
memang pers kampus tidak mengitari itu semua. Hingga
hegemoni berita hanya dipadati oleh isu yang beraroma
ketimpangan ekonomi.
Buku ini menunjukkan dengan sungguh-sungguh betapa
wacana perlawanan itu tak menyentuh semua mahasiswa.
Seolah menantang: buku ini menunjukkan peta penjelasan
betapa masih banyak soal dihadapi pers mahasiswa ketika
bertarung dengan isu komersialisasi pendidikan. Peta itu
tak merujuk semata aktor-aktor yang terlibat melainkan
juga struktur yang bekerja mengoperasikannya. Struktur
itu saling jalinberkelindan dengan negara dan imperium
modal. Pada tengah gejolak itu sebuah tulisan bukan lagi
senapan tapi peluru yang bisa menyambar siapa pun. Jika
peluru itu ingin tepat sasaran tentu yang diasah bukan
sekadar senapan tapi bagaimana membidikkanya dengan
jitu. Pers mahasiswa memiliki kemampuan itu semua:
tulisan sebagai luapan provokasi sekaligus tulisan sebagai

xvii
bagian dari agen propaganda. Nyali, kegigihan dan kerangka
pikir struktural dapat jadi landasan untuk menemukan
kembali roh pers mahasiswa: perlawanan. Wisnu telah
membantu untuk melihat segala pernak-pernik dunia pers
mahasiswa yang memang punya semangat untuk melakukan
pemberontakan dan perlawanan. Seperti sebuah kesaksian,
buku ini ingin mengajak kita untuk tetap punya harapan
pada pers mahasiswa dan pada gerakan mahasiswa. Sebuah
harapan yang secara indah diantarkan oleh buku ini.

*Eko Prasetyo adalah penulis buku trilogi Orang Miskin


Dilarang Sakit, Orang Miskin Dilarang Sekolah, dan Orang
Miskin Tanpa Subsidi. Saat ini merupakan Direktur Pusat Studi
Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia

xviii
Pengantar Penulis

If there's a book that you want to read, but it hasn't been


written yet, then you must write it
-Toni Morrison-

Pada mulanya adalah keresahan. Minimnya literatur tentang


pers mahasiswa sungguh menyulitkan proses identifikasi
atas apa yang sebenarnya sedang melanda pers mahasiswa
terutama pasca 1998. Ceceran artikel maupun makalah
dari berbagai media tidak mampu memberikan penjelasan
yang utuh. Sementara episode-episode menegangkan
terus melanda nyaris seluruh pers mahasiswa di Indonesia,
termasuk di pers mahasiswa yang saya ikuti. Diskusi-diskusi
internal yang kerap dilakukan hanya menambah ketegangan
baru. Ketegangan yang tetap gagal menjawab tentang
persoalan disorientasi-reorientasi pers mahasiswa. Karena
itu, buku ini merupakan ikhtiar sederhana untuk mengisi
celah kekosongan literatur sekaligus menjadi pemantik
untuk memunculkan jawaban atas persoalan tersebut.
Buku ini adalah pengembangan dari skripsi saya di
Jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Ia hanya mencukupkan diri
pada pembahasan tentang dinamika dan pola pemberitaan
pers mahasiswa tentang komersialisasi pendidikan pasca
1998. Tema ini barangkali bisa sedikit menjelaskan proses
pergulatan dengan isu pers mahasiswa dan komersialisasi
xix
pendidikan yang saya geluti nyaris sepanjang era menjadi
mahasiswa. Pemilihan objek penelitian di Balairung, Catatan
Kaki, dan Suara USU menjadi kacamata untuk melihat
simpul-simpul keresahan dan respon pers mahasiswa
di masing-masing daerah. Namun, apakah buku ini
menunjukkan kemampuan untuk menjawab dua persoalan
di atas, tentu hanya pembaca yang berhak menghakiminya.
Buku ini, adalah kristalisasi kegalauan beberapa tahun
belakangan. Proses kristalisasi ini bertambah cepat dengan
bantuan langsung maupun tak langsung dari banyak
orang. Untuk itu, saya mesti mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Bang Amir Effendi Siregar
dan Mas Eko Prasetyo yang bersedia memberikan kata
pengantar dalam buku ini. Bang Ana Nadhya Abrar sebagai
dosen pembimbing yang menemani saya menuntaskan
skripsi. Mas Wisnu Martha Adiputra dan Mas Kuskridho
Ambardi yang di ruang ujian memberikan banyak tambahan
perspektif untuk saya kembangkan dalam buku ini. Mbak
Hermin Indah Wahyuni, Mas Widodo Agus Setianto, Mas
Syafrizal, Mas Nyarwi, dan dosen-dosen lain di Jurusan
Ilmu Komunikasi UGM yang memberikan kompas bagi
pengembaraan intelektual saya.
Terima kasih juga kepada kawan-kawan BPPM
Balairung UGM, organisasi ini adalah tempat pemikiran-
pemikiran saya tumbuh dan dibesarkan. Komunitas
Cinta Gadjah Mada, Fariz, Mas Unggul, Aini, Mita, Gilang,
Kurniawan, Ratna, Angga, Acil yang telah membersamai
sejak awal perjalanah kuliah dan menjadi saksi bagi jatuh
bangun saya. Kawan-kawan Komunitas Kembang Merak,
Aghnia, Ofa, Niam, Udin, Rifqi, Farid, Mbak Kirana, Wawan,
Laras, Azhar, Ghofur yang menjadi teman diskusi dan
menjalani kehidupan sehari-hari. Ahmad Fariz Viali dan
Inovanti menjadi tempat mencurahkan kegalauan saya
melalui surat-surat elektronik yang panjang dan barangkali

xx
membuat mereka berdua kelelahan membaca.
Secara khusus, ucapan terima kasih saya sampaikan
kepada kawan-kawan Catatan Kaki Makassar dan Suara
USU Medan yang telah mengizinkan saya untuk meneliti
organisasinya dan membantu menyediakan data-data yang
saya butuhkan. Perjalanan ke Makassar dan Medan tentu tak
akan terlaksana tanpa bantuan teman-teman di sana. Suplai
motivasi saya peroleh dari Arya Budi, Wildan Mahendra,
dan Adi Suharyanto yang kerap mengingatkan saya untuk
konsisten berdoa dan bekerja. Semangat perlawanan saya
dapatkan dari kawan-kawan seperjuangan di Gerakan Tolak
Komersialisasi Kampus UGM, BEM Universitas dan Fakultas,
Asrama PPSDMS serta segenap penulis baik dosen, ilmuwan,
jurnalis, maupun aktivis yang tulisan-tulisannya saya kutip
dalam buku ini. Sementara dua saudara kandung, Mas Furry
dan Dhenok, adalah alasan untuk tetap tersenyum di tengah
hari-hari yang berat.
Akhirul kalam, semoga ikhtiar yang penuh dengan
bopeng di sana-sini ini mampu memberi sumbangan
terhadap kajian pers mahasiswa di tanah air dan menjadi
pemantik untuk menuntaskan kegalauan yang tengah
dihadapi pers mahasiswa sampai saat ini. Semoga.

Yogyakarta, Februari 2013

xxi
DAFTAR ISI

Pengantar Amir Effendi Siregar vii


Pengantar Eko Prasetyo xiii
Pengantar Penulis xix
Daftar Isi xxiii
Pendahuluan 1
Jenis Penelitian 4
Kerangka Pemikiran 5
1. Pers Mahasiswa 5
2. Berita dan Konstruksi Realitas 10
3. Bahasa sebagai Alat Perlawanan 12
Objek Penelitian 14
Pengumpulan Data
Analisis Data 16
Sistematika Penulisan 19
Pers Mahasiswa Dalam Lipatan Sejarah 21
Di Bawah Represi Orde Lama 21
Berkolaborasi dengan Orde Baru 29
1. Era Pemberedelan Kembali 32
2. Bangkit Kembali 42
Pers Mahasiswa Pasca 1998 51
Quo Vadis Pers Mahasiswa? 51
xxiii
PPMI Pecah 51
Hambatan Klise 58
Migrasi ke Dunia Maya 66
Profil Pers Mahasiswa 73
Balairung 73
1. Sejarah dan Perkembangan 73
2. Kebijakan Redaksional 79
Catatan Kaki 81
1. Sejarah dan Perkembangan 81
2. Kebijakan Redaksional 84
Suara USU 85
1. Sejarah dan Perkembangan 85
2. Kebijakan Redaksional 88
Sistem Pendidikan di Indonesia dari Otonomi
Menuju Komersialisasi 91
Pendidikan dan Penetrasi Neoliberalisme 91
Perubahan Status Menjadi BHMN 97
Berganti Wajah Menjadi BHP 102
Komersialisasi Pendidikan,
Agenda Neoliberal? 107
Pengantar 107
Teks 109
1. Tematik 110
2. Skematik 115
3. Semantik 117
4. Sintaksis 125
5. Stilistik 131
6. Retoris 132

xxiv
Kognisi Sosial 135
Konteks Sosial 137
Epilog 143
Daftar Pustaka 149
Tentang Penulis 161

xxv
Pendahuluan

Lengsernya Soeharto pada 1998 yang menandai era


demokratisasi di Indonesia membawa pers mahasiswa tiba
pada postcriptum yang menggelisahkan. Bonanza kebebasan
pers membuat jumlah pers umum melonjak drastis. Arus
informasi yang pernah disumbat rezim militeristik mulai
membanjiri masyarakat. Pers umum mendapatkan kembali
keberaniannya untuk menyiarkan berita-berita sensitif.
Tidak ada ketakutan lagi terhadap pemberedelan. Sementara
pers mahasiswa yang selama era Orde Baru menjadi wakil
suara alternatif masyarakat pelan-pelan tersudut ke tepian
sejarah. Organisasi nasional pers mahasiswa seluruh
IndonesiaPPMImengalami kegalauan identitas yang
berujung perpecahan. Pada akhirnya, gagasan kembali
ke kampus menjadi conditio sine qua non. Gagasan yang
berakibat pada pergeseran orientasi pemberitaan dari state
centric menjadi campus centric.
Gagasan tersebut berada dalam kerangka kewajiban
pers mahasiswa untuk memenuhi kebutuhan informasi
komunitas tempat ia berasal, civitas academica. Komunitas
yang sempat diabaikan sebagai konsekuensi orientasi
pemberitaan yang menentang negara. Tak mengherankan
jika pasca 1998 informasi semacam pernikahan massal di
lingkungan kampus, minimnya fasilitas toilet, pembukaan
program studi baru, bahkan sampai kasus penemuan
kondom di lingkungan kampus mendominasi pemberitaan.
Dengan fungsi pers yang melekat, pers mahasiswa menjadi

1
Komersialisasi Pendidikan

watchdog dalam relasi kuasa ekonomi politik di kampus.


Ia juga menjalani peran sebagai penyambung sekat-sekat
keilmuan antar fakultas yang menjadi kecenderungan
umum dalam kehidupan akademik di Indonesia.
Ikhtiar kembali ke kampus hadir tersebut tepat
bersamaan dengan kedatangan gelombang liberalisasi
ekonomi politik yang merambah ke berbagai bidang
termasuk pendidikan. Tanggung jawab negara dalam
memenuhi anggaran pendidikan dipangkas sedemikian
rupa. Berbagai regulasi dikeluarkan untuk menghilangkan
tanggung jawab tersebut. Pendidikan dijadikan komoditas
dan menjadi sektor yang terbuka bagi penanaman modal
asing bahkan hingga 49%. Berbagai proses pendidikan
dari mulai subsidi sampai aksesibilitas diserahkan kepada
mekanisme pasar. Masyarakat harus menanggung beban
pembiayaan yang besar agar dapat mengakses pendidikan
berkualitas. Wajah pendidikan di tanah air menjadi
kapitalistik seiring dengan komersialisasi dan swastanisasi
yang merajalela.
Dalam konteks pendidikan tinggi, gejala ini tampak
dari hilangnya subsidi pemerintah terkait operasionalisasi
pendidikan. Akibatnya pengelolaan pendidikan tinggi
berorientasi pada profit. Kampus tidak lagi menjadi kawah
candradimuka yang menghasilkan manusia-manusia
humanis dan berkebudayaan. Mahasiswa, alih-alih menjadi
subjek dalam dunia pendidikan, kemudian dilihat sebagai
konsumen. Mahasiswa dilihat sebagai human capital
yang akan mengisi dunia kerja. Karenanya, mekanisme
pengajaran, susunan kurikulum, sampai aktivitas ekstra-
kurikuler dirancang untuk melatih ketrampilan mahasiswa
agar sesuai dengan tuntutan pekerjaan. Tekanan untuk lulus
cepat menjadi satu hal yang tak terhindarkan. Tentu, efek
komersialisasi secara langsung dirasakan oleh para aktivis
pers mahasiswa.
Persinggungan antara situasi internal (disorientasi)
dan kondisi eksternal (komersialisasi pendidikan)
menjadi bahan bakar yang menggerakan naluri dasar

2
Wisnu Prasetyo Utomo

pers mahasiswa untuk melawan kekuasaan. Seperti


diungkapkan Daniel Dhakidae (1977), segenap tingkah
laku jurnalistik mahasiswa, pada dasarnya adalah sebuah
upaya memperjuangkan dirinya. Bahasa sebagai arena
kontestasi kekuasaan menjadi medium perjuangan. Teks
yang diproduksi dalam terbitan-terbitannya menunjukkan
bagaimana mekanisme perlawanan itu bekerja. Ekspresi
perlawanan terhadap komersialisasi pendidikan ini ter-
lokalisir di masing-masing kampus. Sasaran tidak langsung
diarahkan kepada negara (state) melainkan kepada pe-
ngelola kampus yang dianggap sebagai aparatus negara
sehingga memiliki tanggung jawab yang sama dalam arus
komersialisasi ini.
Berita-berita yang ditampilkan pers mahasiswa
menunjukkan gugatan-gugatan mahasiswa atas praktik
komersialisasi. Penelitian yang dilakukan Lubabun Niam dan
Achmad Choirudin (2009) misalnya, menunjukkan bahwa
tema-tema seputar liberalisasi dan kapitalisasi kampus
mendominasi pemberitaan Balairung, pers mahasiswa di
UGM Yogyakarta. Kuantitas tema seputar praktik tersebut
mencapai angka 41,6%. Bandingkan dengan tema lainnya
seperti kesadaran politik civitas academica dengan angka
22,2% dan sistem perkuliahan di kampus 19,4%. Resistensi
di tengah kegalauan identitas yang masih melanda menjadi
fenomena yang menarik. Studi ini akan melihat bagaimana
strategi wacana anti komersialisasi kampus yang dilakukan
oleh pers mahasiswa melalui terbitan-terbitannya. Pers
mahasiswa selama ini
Secara lebih spesifik, pers mahasiswa yang dianalisis
adalah Balairung (UGM), Catatan Kaki (Universitas
Hasanuddin), dan Suara USU (USU). Ketiganya dipilih
sebagai wakil pers mahasiswa di kampus terbesar di
masing-masing pulau. Ini untuk menunjukkan bagaimana
perlawanan terhadap komersialisasi kampus terjadi
secara merata di berbagai daerah di Indonesia. Sekaligus
menunjukkan perbedaan ekspresi perlawanan yang serupa
tapi tak sama. Penyebabnya tentu dikarenakan karakteristik

3
Komersialisasi Pendidikan

unik yang dimiliki masing-masing pers mahasiswa. Karena


itu, pertanyaan yang diajukan dan berusaha dijawab dalam
studi ini adalah: Apa dan bagaimana strategi wacana
pers mahasiswa dalam memberitakan komersialisasi
pendidikan?

Jenis Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan metode analisis wacana
(discourse analysis). Jika analisis isi (content analysis) hanya
bisa melihat makna yang terlihat (manifest), analisis wacana
melihat makna yang tidak terlihat (laten). Analisis wacana
merupakan perangkat analisis yang memiliki kemampuan
untuk melihat makna yang tersembunyi di balik sebuah
teks. Analisis wacana juga bisa menjawab persoalan
mengenai ideologi dan konteks yang memproduksi sebuah
teks tertentu. Dalam penelitian ini, analisis wacana yang
digunakan akan mengacu pada definisi yang diberikan
oleh Teun van Dijk. Definisi atau model yang diajukan oleh
van Dijk biasa disebut sebagai model kognisi sosial (social
cognition). Model ini melihat bahwa wacana terdiri dari tiga
dimensi yaitu teks, konteks, dan kognisi sosial.
Sebagai sebuah interface kognisi sosial adalah peng-
hubung antara teks dan konteks, antara wacana dan
masyarakat. Asumsi yang dikemukakan oleh van Dijk,
wacana tidak hanya merupakan persoalan struktur wacana.
Lebih dari itu, wacana juga melibatkan proses produksi
serta pemahaman yang dihayati bersama. Karena itu sebuah
wacana berarti juga melibatkan proses mental atau kognisi
sosial masyarakat. Seperti diungkapkan oleh Van Dijk dalam
Crowley dan Mitchell (1993);
(1) discourse is actually produced/interpreted by individuals,
but they are able to do so only on the basis of socially shared
knowledge and beliefs; (2) discourse can only affect social
structures through the social minds of discourse participants,
and conversely (3) social structures can only affect discourse
structures through social cognition.

4
Wisnu Prasetyo Utomo

Tiga dimensi seperti yang disebutkan oleh van Dijk


akan menjadi objek yang diteliti dalam penelitian ini.
Ketiganya saling berkaitan dalam membentuk satu wacana
tertentu. Sebuah teks, tidak lahir dalam ruang kosong. Ia
senantiasa berada dalam bangunan sosiohistoris yang
panjang. Sehingga teks menjadi bagian yang tak terpisahkan
dalam melihat bangunan tersebut. Dinamika sosial akan
menentukan pengalaman-pengalaman sosial yang pada
tahap selanjutnya akan melahirkan teks. Seperti diutarakan
van Dijk, teks terbentuk tidak dapat dilepaskan dari berbagai
dimensi seperti fungsi, maksud, rencana, tujuan, termasuk
juga waktu. Bahkan, berbagai dimensi ini tidak memberikan
pengaruh kepada wacana secara langsung. Pengaruh justru
muncul dari konstruksi mental individu yang membuat
individu mendefinisikan wacana dengan arti tertentu.

Kerangka Pemikiran
1. Pers Mahasiswa
Pers mahasiswa adalah penerbitan yang dikelola dan
diterbitkan oleh mahasiswa dengan dicirikan oleh
idealisme kemahasiswaan. Seperti dinyatakan Abrar
(1992:7) dan Subaharianto (1995), pers mahasiswa
adalah penerbitan di kampus yang pengelolanya murni
dilakukan oleh mahasiswa. Aktivitas dari mulai keredak-
sian sampai pencarian dana dilakukan oleh mahasiswa
yang masih aktif di kampus. Kelangsungan penerbitannya
bergantung pada kerelaan mahasiswa itu sendiri baik
tenaga, dana, dan juga konsumennya. Salah satu ciri khas
yang melekat dalam pers mahasiswa adalah idealisme
kemahasiswaan yang dimiliki oleh para aktivisnya. Dalam
tulisannya di majalah Prisma yang berjudul Penerbitan
Kampus: Cagar Alam Kebebasan Pers (1977), Dhakidae
mengatakan bahwa etos pers mahasiswa di Indonesia
adalah adversary journalism (jurnalisme menantang).
Etos ini melekat dalam citra diri pers mahasiswa.
Dalam konteks adversary journalism misalnya, pers

5
Komersialisasi Pendidikan

mahasiswa senantiasa menempatkan diri sebagai oposi-


si kepada kekuasaan. Etos ini bisa dipahami karena
pers mahasiswa secara langsung masih dikelola oleh
mahasiswa. Sehingga pada dasarnya, apa yang dilakukan
oleh pers mahasiswa adalah sikap memperjuangkan
dirinya sendiri. Sikap oposisi ini yang membuat Dhakidae
menyebut bahwa pers mahasiswa lebih mirip sebagai
journal of opinion. Alih-alih menunjukkan prinsip-prinsip
jurnalistik secara ketat, berita-berita yang ditampilkan
lebih menunjukkan pandangan dan sikap politik peng-
urusnya. Etos pers mahasiswa tersebut adalah karakter
pers mahasiswa dari masa ke masa dalam sejarah di
Indonesia. Hal ini rupanya menyimpan potensi kekuatan
yang membahayakan kekuasaan negara.
Di era awal konsolidasi Orde Baru, seperti dicatat
Francois Raillon (1984), pers mahasiswa memiliki peran
penting dalam mendukung ide-ide modernisasi yang
dibawa oleh rezim baru. Pengakuan akan potensi pers
mahasiswa ini pun semakin terlihat jelas selama era
Orde Baru, bahkan menjelang runtuhnya rezim tersebut.1
Pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan.
Dengan berbagai cara, rezim berusaha mereduksi arti
kehadiran pers mahasiswa dengan cara membatasi
istilah-istilah yang boleh dan tidak boleh digunakan.
Definisi pers mahasiswa sendiri bahkan ditentukan.
Seperti dinyatakan Dirjen PPG, Sukarno dalam Didik
Supriyanto (1998:81), definisi dibedakan menjadi:
Penerbitan Kampus adalah semua bentuk penerbitan
yang diselenggarakan oleh kampus dan untuk kepentingan
kampus. Pers-kampus mahasiswa adalah semua bentuk
penerbitan berkala yang diselenggarakan oleh mahasiswa
dalam di dalam kampus dan untuk kepentingan kampus.
Pers mahasiswa adalah semua bentuk penerbitan yang
dikelola mahasiswa di luar kaitan kampus.

1 Untuk melihat potensi kekuatan pers mahasiswa menjelang runtuhnya Orde


Baru, simak Arismunandar, Satrio. 2004. Bergerak! Peran Pers Mahasiswa dalam
Pengumbangan Rezim Soeharto. Jakarta: Genta Press

6
Wisnu Prasetyo Utomo

Barangkali, ketakutan pemerintah ini didasarkan


pada perjalanan historis pers mahasiswa semasa era Orde
Lama. Sejarah yang dicatat sebagai salah satu puncak
prestasi pers mahasiswa di Indonesia. Arifin (2000:84),
misalnya, mengatakan bahwa pers mahasiswa adalah
entitas-sintesis dari dua subjek yang sama-sama potensial
dan berat yaitu pers dan mahasiswa. Dalam konteks
ini, pers mahasiswa memanggul beban berat karena
sebagai pers ia dituntut menjalankan fungsi-fungsi pers
secara konsekuen dan independen. Sedangkan sebagai
mahasiswa ia dituntut menjadi pelopor perubahan dan
pemecah kebekuan. Eka Suryana Saputra (2009:197)
mengatakan bahwa dengan identitas sederhana tersebut,
pers mahasiswa mengemban harapan yang tidak sedikit.
Ada banyak pengandaian, cita, pun imaji yang telah, dan
perlu terus, digeluti.
Abrar (1992:7), menegaskan aspek kemahasiswaan
ini dibandingkan dengan aspek persnya. Menurutnya,
pers mahasiswa adalah pers yang dikelola oleh ma-
hasiswa. Informasi yang ditampilkan merupakan
cerminan dari realitas mahasiswa itu sendiri. Karena itu
informasinya berkaitan dengan kepentingan mahasiswa,
menarik perhatian mahasiswa, dan memenuhi hasrat
keingintahuan mahasiswa. Tujuannya adalah agar maha-
siswa memiliki orientasi kemasyarakatan. Apa yang di-
sampaikan Abrar ini paralel dengan peta sederhana yang
digambarkan oleh Hasan Bachtiar (2001:177) berikut:

Situasi Sosial-Politik-Ekonomi-Budaya Global


Aktivisme
Mahasiswa
Pers Pers Kegiatan
Umum Mahasiswa Akademis
Kehendak
Masa Muda
,

7
Komersialisasi Pendidikan

Melalui peta sederhana di atas, Hasan mengatakan


bahwa pers mahasiswa mengalami apa yang ia sebut
sebagai split personality. Pers mahasiswa berada dalam
persilangan yang kompleks. Seperti yang diungkapkan
Arifin di atas, di satu sisi pers mahasiswa bersinggungan
dengan pers umum. Ada fungsi-fungsi pers yang ia jalankan
seperti mendidik, menginformasikan, menghibur, dan
kontrol sosial. Sementara dalam sisi yang berlainan, ada
semangat aktivisme yang didasari rasa keingintahuan.
Mahasiswa, seperti layaknya kaum muda sedang berada
dalam masa pencarian jati diri. Ada kelabilan, keinginan
untuk diakui lingkungan, dan hasrat bersenang-senang.
Dalam ikhtiar pencarian jati diri, wajar jika muncul
paradoks dengan analogi dua sisi mata uang seperti yang
diungkapkan oleh Jones dalam Azca (2012:70). Mahasiswa
di satu sisi dipuja sebagai generasi pemimpin masa depan
yang akan mewarisi bangsa ini. Sementara di sisi lain,
dianggap sebagai biang kericuhan yang meruntuhkan
bangunan moralitas bangsa. Naluri eksistensial ini
bertemu dengan kewajiban-kewajiban akademik yang
menjadi konsekuensi belajar di Perguruan Tinggi.
Beban akademik ini membawa pers mahasiswa pada
dilema yang sulit dipecahkan dari masa ke masa. Amir
Effendi Siregar (1983:66) menyebut dilema tersebut
sebagai pertentangan antara profesionalisme dan
amatirisme. Nono Anwar Makarim, ketua Ikatan Pers
Mahasiswa Indonesia periode 1969 dengan nada sendu
bahkan mengatakan dilema ini sungguh pedih. Dalam
laporan pertanggungjawaban kepada kongres luar biasa
IPMI tahun 1969 seperti dikutip Amir Effendi Siregar
(1983:48), Nono mengatakan:
Akan tetapi kalau sudah menjadi professionil hati nurani
kita terganggu karena kita mengakui di dalam sudut
terpencil hati nurani tersebut bahwa sebenarnya kita
bukan mahasiswa lagi. Ach... Saudara-saudara, betapa
pedihnya dilema ini...

8
Wisnu Prasetyo Utomo

Setidaknya ada dua ciri khas yang membuat pers


mahasiswa bersifat amatir dan sekaligus membedakannya
dengan pers umum. Pertama, status kemahasiswaan
yang temporer. Berdasarkan pada kebijakan pemerintah
yang terbaru, jumlah presensi mahasiswa masuk di kelas
adalah 75% dari total pertemuan dalam satu semester.
Batas maksimal menjadi mahasiwa S1 sendiri sejak tahun
2005 adalah tujuh tahun. Mereka yang masa studinya
lebih dari tujuh tahun akan di-dropout oleh kampus.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Hasan
Bachtiar (2006:20) mengatakan bahwa sistem kaderisasi
pers mahasiswa merupakan optimum contribution yang
seharusnya bisa dilakukan oleh pers mahasiswa. Sistem
kaderisasi harus diperkuat dengan memaksimalkan
competency market. Ia menjadi semacam jaring laba-
laba yang kuat dalam menjaga kesolidan organisasi pers
mahasiswa. Hasan menyebutkan setidaknya ada 5 faktor
yang penting untuk diperhatikan.
Sistem pendidikan (skill/educational upgrading);
Sistem penjenjangan posisi dan pengembangan
karier (positional hierarchy and carrier
development path);
Penghargaan dan penghukuman (reward and
penalty);
Pengelolaan konflik (conflict management);
Kepemimpinan yang demokratis (democratic
leadership).
Kedua, pers mahasiswa adalah organisasi mahasiswa
berbasis idealisme. Pers mahasiswa bukanlah organisasi
yang bekerja dengan rasionalitas ekonomi. Ini berbeda
dengan pers umum yang sudah menjadi industri.
Dalam institusi pers umum, laba finansial menjadi
tujuan utama karena mereka harus menghidupi para
pekerjanya. Sementara dalam dunia pers mahasiswa,
tidak sepenuhnya bisa menghidupi roda keorganisasian
dengan mengandalkan iklan. Keadaan seperti ini

9
Komersialisasi Pendidikan

membuat bayaran yang didapatkan oleh pengurusnya


adalah pengalaman. Pengalaman bisa berupa proses
belajar jurnalistik, jaringan, dan juga pertemanan.
Prinsip kesetiakawanan dan kesukarelaan menjadi
tulang punggung karena pers mahasiswa tidak
dimiliki oleh pemilik modal layaknya pers umum.
Seperti diungkapkan Amir Husin Daulay (1989:8-9),
independensi dari pemilik modal membuat tulisan-
tulisan yang diterbitkan pers mahasiswa memiliki ciri
khas kritis, inovatif, analitis, objektif dan kaya ide. Pers
mahasiswa menjadi semacam intelectual exercise bagi
para mahasiswa. M. Thoriq dalam Didik Supriyanto
(1998:122) menjelaskan bagaimana aktivis-aktivis
pers mahasiswa memiliki andil yang tinggi dalam
meningkatkan eskalasi kritisisme mahasiswa. Menurut
Thoriq, tugas pers mahasiswa adalah membangkitkan
kesadaran kritis dan keberanian untuk bersikap kritis.

2. Berita dan Konstruksi Realitas


Stephen W. Littlejohn (1999) menjelaskan bahwa realitas
sosial yang ada dalam masyarakat sebenarnya tidak
lebih dari hasil konstruksi sosial dalam satu proses
komunikasi tertentu. Setiap individu menafsirkan setiap
perjumpaan dengan fakta atau fenomena. Littlejohn
sendiri menggunakan istilah constructivism untuk
menjelaskan pemaknaan individu yang berbeda-beda ini.
Sementara itu Peter Berger dalam Eriyanto (2002:13)
juga memberikan pendapat mengenai konstruksi sosial.
Menurutnya, kenyataan bersifat plural, dialektis, dan
dinamis. Plural berarti adanya tafsir berbeda-beda
yang dilakukan oleh individu seperti yang diungkapkan
Littlejohn tadi. Dialektis bermakna bahwa dalam level
individu terjadi benturan antara realitas objektif yang
hadir, dengan realitas subjektif. Realitas objektif, adalah
sesuatu yang berada pada wilayah, meminjam istilah
Berger, apa adanya. Sementara realitas subjektif hadir
dalam diri manusia.
10
Wisnu Prasetyo Utomo

Benturan dua realitas inilah yang membuat


kenyataan bersifat dinamis dan tidak ajeg dari waktu ke
waktu. Untuk memahami benturan realitas ini, kita tidak
dapat melepaskannya dari pemahaman kebahasaan.
Bahasa yang memiliki peran signifikan dalam melakukan
konstruksi sosial. Peter L. Berger dan Thomas Luckman
(dalam Ibnu Hamad, 2004: 12) juga menyebutkan bahwa
dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur
utama. Bahasa membentuk dunia melalui kata-kata.
Bahasa yang dimaksud di sini tidak hanya berupa teks,
melainkan juga struktur dan makna. Seperti diungkapkan
Muridan (2004:6), di dalamnya terdapat dua fakta yang
tidak dapat dipisahkan, fakta wacana (facts of discourse)
dan fakta bahasa (facts of language). Fakta wacana tidak
dapat dilepaskan dari posisi pembicara dan topik yang
dibicarakan. Sementara fakta bahasa, berkaitan dengan
sintaksi, semantik, dan tata bahasa.
Keduanya berinteraksi dan kemudian memainkan
peran dalam konstruksi sosial. Inilah kait mengaitnya
dengan media. Media, menampilkan berita tentang
sebuah fakta atau peristiwa melalui medium bahasa.
Dengan demikian, berita adalah sebuah laku konstruksi
realitas. Dalam istilah yang sederhana, berita bukanlah
refleksi atas realitas melainkan realitas itu sendiri. Laku
ini dilakukan melalui satu mekanisme framing berita.
Abrar (2005) menyebutkan bahwa sekurangnya ada tiga
bagian dalam berita yang bisa dijadikan objek framing
wartawan. Ketiganya yaitu: judul berita, fokus berita, dan
penutup berita. Ashadi Siregar (1987) mendistingsikan
secara tegas antara realitas sosiologis dan realitas
psikologis dalam berita yang muncul di media.
Realitas sosiologis berarti realitas yang sungguh-
sungguh terjadi dalam sebuah masyarakat. Artinya,
realitas ini adalah realitas empirik sebagaimana adanya.
Sedangkan realitas psikologis merupakan realitas yang
dimunculkan melalui ucapan seorang individu maupun
kelompok masyarakat. Realitas psikologis berada

11
Komersialisasi Pendidikan

pada wilayah kesadaran subjektif individu. Realitas


ini misalnya, hadir dalam pendapat yang diucapkan
seseorang mengenai kasus tertentu. Ketika kedua
realitas tersebut saling tumpang tindih dalam berita,
pada gilirannya nanti akan menciptakan realitas dalam
realitas. Realitas tersebut akan menjadi hiperrealitas
setelah menghadapi penafsiran subjektif individu seperti
sempat disebut oleh Littlejohn di atas.

3. Bahasa Sebagai Alat Perlawanan


Setiap wacana, tidak dapat dilepaskan dari praktik
penggunaan bahasa. Bahasa menjadi medan kekuasaan
yang memiliki tujuan untuk memengaruhi cara berpikir
tertentu. Bahasa menunjukkan perspektif individu
dalam memaknai sesuatu, menentukan nalar berpikir,
termasuk juga struktur kesadaran. Dari sana, kita
bisa melihat relasi kuasa yang saling berkelindan
untuk memperoleh penerimaan nalar umum. Strategi
kekuasaan ini berlangsung melalui akumulasi wacana
dalam ilmu pengetahuan. Secara lugas filsuf-aktivis asal
Prancis, Michel Foucault, merumuskannya dalam kalimat
knowledge is power. Tidak ada pengetahuan yang tidak
memiliki efek kuasa, dan tidak ada kekuasaan tanpa
pengetahuan. Istilah wacana seperti yang diuraikan
Foucault harus dibedakan dari bahasa karena posisinya
memang tidak setara. Seperti diungkapkan Donny Gahral
Ardian (2011:142), wacana menerjemahkan realitas
ke dalam bahasa dan membentuk cara kita dalam
memandang realitas.
Maxwell McCombs dan Donal Shaw dalam Saqib
Riaz (2008) mengatakan bahwa, mass media have
the ability to transfer the salience of items on their new
agendas to public... Asumsinya, media massa (termasuk
pers mahasiswa) melakukan proses menyaring berita
yang akan disiarkan. Penyaringan ini dilakukan secara
selektif oleh gatekeepers yang menentukan mana yang
pantas diberitakan dan mana yang harus disembunyikan.
12
Wisnu Prasetyo Utomo

Proses seleksi ini menjelaskan bahwa media menjadi


arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi
(the battle ground for competing ideologies). Karena itu,
Antonio Gramsci dalam Nezar Patria (1999) mengatakan
bahwa media tidak hanya menjadi sarana melanggengkan
kekuasaan melainkan juga menjadi alat resistensi
terhadap kekuasaan.
Pada titik ini pers mahasiswa menjadi instrumen
perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun
kultur dan ideologi tandingan. Pelanggengan kekuasaan
maupun resistensi terhadap kekuasaan ini menjadi
landasan awal proses seleksi berita. Proses seleksi berita
adalah awal dari berita-berita yang dianggap layak dan
bisa diterbitkan untuk dikonsumsi khalayak. Meminjam
istilah Muridan Widjojo (2004:130), pers mahasiswa
menggunakan bahasa sebagai kontra semiotik terhadap
politik semiotik narasi besar arus komersialisasi
pendidikan yang melanda republik. Apalagi media
arus utama tidak menjadikan ini sebagai arus utama
pemberitaannya. Melalui bahasa, ekspresi-ekspresi
penolakan dilakukan dari mulai tingkatan konseptual
sampai pada ranah praktis.
Berita-berita yang dianalisis dalam penelitian ini
menunjukkan bagaimana wacana otonomi kampus
itu diletakkan. Pers mahasiswa menganggap otonomi
sebagai pintu masuk bagi komersialisasi pendidikan.
Efek negatif yang muncul dari komersialisasi pendidikan
seperti kenaikan biaya dan diskriminasi akses terhadap
masyarakat miskin adalah sedikit alasan yang membuat
penolakan ini berlangsung dengan masif. Teks-teks
berita pers mahasiswa dalam konteks ini, bisa dipahami
sebagai sebuah perlawanan wacana atas narasi besar
komersialisasi pendidikan yang dibalut dengan istilah
otonomi kampus. Ardi Nuswantoro (2008:103) menyebut
bahwa perlawanan ini berada dalam kerangka besar
pertarungan ideologi pendidikan.
Dengan mengutip William ONeil, Ardi mengatakan

13
Komersialisasi Pendidikan

bahwa ideologi pendidikan yang bertarung di Indonesia


adalah ideologi liberal dan konservatif. Ideologi liberal
secara gamblang terlihat pada posisi pemerintah.
Ideologi ini memahami bahwa tujuan pendidikan adalah
menyiapkan tenaga kerja yang memiliki kemampuan
profesional dan praktis untuk memenuhi kebutuhan
pasar kerja. Pendidikan dianggap sebagai subsistem dari
ekonomi. Ideologi ini bisa dilihat dalam alur penyusunan
serangkaian regulasi mengenai pendidikan yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Sementara itu, berhadapan
dengan ideologi liberal, adalah ideologi konservatif yang
diwakili oleh para penolak kebijakan ini termasuk pers
mahasiswa. Penganut ideologi ini meyakini bahwa fungsi
pendidikan adalah menjadi penjaga nilai budaya dan
moral.
Karena itu negara tetap bertanggung jawab terutama
untuk membiayai pendidikan. Sebab, jika pendidikan
dijadikan komoditas dan hanya menyediakan tenaga
kerja bagi pasar, maka nilai-nilai budaya yang dikandung
dalam pendidikan akan menghilang. Dan dalam skala
yang lebih besar juga akan menghilangkan identitas
kebangsaan. Dengan landasan ideologis yang jelas,
pers mahasiswa menggunakan berbagai cara untuk
memenangkan pertarungan wacana tersebut. Termasuk
menabrak rambu-rambu jurnalistik dalam berita yang
idealnya menunjukkan objektivitas informasi. Narasi
berita pers mahasiswa menggunakan logika diametral di
mana ada dua pihak yang dipertentangkan secara vis a vis
sesuai dengan ideologi liberal dan konservatif.

Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah tiga pers mahasiswa
yaitu Balairung (UGM), Catatan Kaki (Unhas), dan Suara
USU (USU). Ketiga pers mahasiswa mewakili ekspresi
penolakan terhadap komersialiasi kampus yang serupa
tapi tak sama di tiga pulau besar di Indonesia. Turbulensi
ketiga kampus tersebut dalam isu ini begitu tinggi.
14
Wisnu Prasetyo Utomo

Balairung menjadi pers mahasiswa generasi pertama yang


merasakan secara langsung dampak komersialisasi kampus
seiring perubahan status UGM menjadi BHMN. Catatan
Kaki menunjukkan radikalisasi mahasiswa Unhas dan
Makassar dalam menghadapi komersialisasi. Dan Suara USU
merepresentasikan wajah mahasiswa USU yang kampusnya
merupakan kampus terbesar di Sumatera sekaligus masuk
dalam BHMN generasi kedua.

1. Pengumpulan Data
a. Penelusuran Dokumen
Dokumen yang dimaksud adalah berita utama
mengenai komersialisasi pendidikan yang dimuat
di Balairung, Catatan Kaki, dan Suara USU dalam
rentang waktu dari tahun 2000 sampai 2004. Tahun-
tahun ini adalah era awal komersialisasi pendidikan
yang ditandai dengan perubahan status beberapa
perguruan tinggi negeri. Dokumen diperoleh dari arsip
yang dimiliki oleh masing-masing pers mahasiswa
tersebut. Namun tidak semua edisi dalam rentang
waktu tersebut akan dianalisis, data yang dibutuhkan
adalah edisi yang memuat berita utama mengenai
komersialisasi pendidikan. Pemilihan berita dilakukan
dengan beberapa alasan. Pertama, berita yang dipilih
adalah berita utama yang secara langsung memiliki
kaitan dengan kebijakan otonomi kampus yang
selanjutnya menjadi komersialisasi pendidikan sebagai
konsekuensi dari perubahan status.
Berita-berita yang meliput efek lanjutan dari
kebijakan perubahan status, seperti persoalan
organisasi mahasiswa dan sistem akademik, tidak
dimasukkan dalam objek penelitian. Kedua, banyaknya
dokumentasi teks berita yang sudah hilang. Kondisi
ini terjadi karena pers mahasiswa yang bersangkutan
tidak memiliki naskah salinan mengenai berita-berita
yang pernah diterbitkan. Sehingga berita yang diteliti

15
Komersialisasi Pendidikan

terbatas pada naskah berita yang masih ada. Ketiga,


keterbatasan peneliti untuk menelusuri ratusan teks
berita yang diterbitkan ketiga pers mahasiswa dalam
kurun waktu tersebut.
b. Wawancara
Wawancara akan digunakan untuk memperoleh
keterangan lebih dalam mengenai berita-berita yang
ditampilkan oleh Balairung Koran, Catatan Kaki, dan
Suara USU. Untuk itu, wawancara akan dilakukan
dengan pengurus ketiga pers mahasiswa tersebut.
Wawancara difokuskan kepada mereka yang pernah
atau masih aktif sebagai pemimpin redaksi atau
pemimpin umum antara tahun 2000 sampai 2010.
c. Studi Pustaka
Studi Pustaka digunakan untuk menelusuri berbagai
bahan dan ulasan mengenai objek yang akan diteliti.
Dalam kajian tentang pers mahasiswa di Indonesia,
studi yang dilakukan Daniel Dhakidae (1977), Francois
Raillon (1985), Amir Effendi Siregar (1984), Didik
Supriyanto (1998), Satrio Arismunandar (2005),
dan Moh. Fathoni (2012) akan dielaborasi untuk
memberikan konteks terkait eksistensi pers mahasiswa
dari masa ke masa. Data tersebut akan menjadi
perbandingan terhadap penelitian dan diharapkan
mampu melengkapi analisis yang diperoleh dalam
penelitian ini. Selanjutnya, fokus pembahasan akan
berpusat pada tulisan-tulisan mengenai tiga pers
mahasiswa tersebut baik dalam bentuk artikel di media
massa, jurnal, maupun buku.

Analisis Data
Analisis data merupakan proses mengatur urut-urutan
data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori,
dan satuan uraian dasar. Dari pengertian tersebut pertama
yang harus dilakukan adalah mengorganisasikan data
yang terkumpul dari lapangan. Dalam hal ini, tahapan

16
Wisnu Prasetyo Utomo

mengorganisasikan data berupa mengatur, mengurutkan,


memberikan kode, dan mengategorikannya. Karena
penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis
berdasarkan dimensi wacana seperti yang dijelaskan oleh
Teun van Dijk, ada tiga jenis data berdasarkan dimensi
yang ia tentukan. Ketiganya meliputi teks, kognisi sosial,
dan konteks. Struktur teks berita akan menegaskan sebuah
wacana atau tema tertentu. Karena itu teknik analisisnya
menggunakan critical linguistic. Kemudian setelah data
didapatkan, berikutnya adalah mengurai berita tersebut
dengan 6 struktur wacana seperti disebutkan van Dijk yang
meliputi tematik, skematik, semantik, sintaksis, stilistik,
retoris. Secara sederhana, uraian 6 struktur wacana bisa
dilihat dalam tabel berikut:

Struktur Elemen Wacana Unit


Wacana Analisis
Tematik Tema Teks

Skematik Summary Judul, teras (lead) Teks,


Kalimat
Story Episode Main Event
Konsekuensi
Latar Konteks
Sejarah
Komentar Harapan
Evaluasi
Semantik Legitimasi Teks,
Maksud Delegitimasi Kalimat
Detail Implisit, Eksplisit Teks,
Kalimat
Nominalisasi Kata
Pengandaian Kalimat
Sintaksis Koherensi Lokal Kalimat
Global Teks
Stilistik Bentuk Kalimat dan Kutipan Kata
Retoris Metafora Genre Wacana Lain Kata,
Leksikon Kalimat

17
Komersialisasi Pendidikan

Kemudian, struktur wacana tersebut digunakan


untuk menganalisis teks berita yang dipilah-pilah menjadi
kategori yang berdasarkan level analisis wacana disebut
sebagai korpus. Korpus merupakan suatu himpunan terbatas
dari unsur yang memiliki sifat bersama atau tunduk pada
aturan yang sama, dan karena itu dapat dianalisis secara
keseluruhan. Korpus posisinya menjadi penting karena ia
adalah data utama dalam penelitian ini. Sedangkan untuk
data wawancara, langkah pertama yang akan dilakukan
sebelum melakukan analisis data adalah membuat transkrip
wawancara. Transkrip adalah proses mengubah hasil
wawancara dari bentuk rekaman menjadi bentuk tertulis
berupa teks. Setelah itu transkrip dibaca beberapa kali
agar bisa mendapatkan meaning categorization. Meaning
categorization adalah proses untuk menemukan dan
mengelompokkan makna pernyataan yang dirasakan oleh
responden dengan melakukan horizonaliting yaitu setiap
pernyataan pada awalnya diperlakukan memiliki nilai yang
sama.
Selanjutnya, pernyataan yang tidak relevan dengan
topik dan pertanyaan maupun pernyataan yang bersifat
repetitif atau tumpang tindih dihilangkan, sehingga yang
tersisa hanya horizon atau arti tesktural. Pernyataan
tersebut kemudian dikumpulkan ke dalam unit makna lalu
ditulis gambaran tentang bagaimana pengalaman tersebut
terjadi. Selanjutnya adalah mengembangkan uraian secara
keseluruhan dari fenomena tersebut sehingga menemukan
esensi dari fenomena tersebut. Kemudian mengembangkan
textural description (mengenai fenomena yang terjadi pada
responden) dan structural description (yang menjelaskan
bagaimana fenomena itu terjadi). Setelah itu adalah
memberikan penjelasan secara naratif mengenai esensi
dari fenomena yang diteliti dan mendapatkan makna
pengalaman responden mengenai fenomena tersebut. Hal
ini dilakukan dengan data yang diperoleh dari penelusuran
literatur untuk mendapatkan pemahaman yang utuh atas
teks, kognisi sosial, dan konteks. Data yang diperoleh dari

18
Wisnu Prasetyo Utomo

literatur pada dasarnya merupakan data yang sudah jadi


sehingga data tersebut langsung bisa digunakan untuk
melengkapi data teks dan wawancara untuk menemukan
jawaban dari pertanyaan penelitian.

Sistematika Penulisan
Penulisan buku ini akan didasarkan pada tujuh bab
pokok. Bab pertama akan menguraikan latar belakang
yang membuat penelitian ini layak untuk dikaji, metode
pengumpulan data dan pendekatan yang digunakan untuk
menganalisis temuan data. Bagian selanjutnya berisi ten-
tang kerangka pemikiran penelitian yang dibagi dalam
dua bab. Bab dua akan melakukan elaborasi atas studi-
studi yang pernah dilakukan mengenai pers mahasiswa.
Secara lebih spesifik akan memperlihatkan karakteristik
menentang kekuasaan yang dimiliki oleh pers mahasiswa.
Karakteristik yang juga terbawa sampai saat ini. Sementara
bab tiga melihat situasi pers mahasiswa pasca 1998. Efek
disorientasi, dilema profesionalisme-amatirisme, perpecah-
an PPMI, juga migrasi ke dunia maya menandai masa transisi
pers mahasiswa menghadapi era masyarakat informasi. Bab
empat kemudian akan memaparkan tiga pers mahasiswa
yang diteliti dalam studi ini. Ketiga pers mahasiswa ini
lahir di era Orde Baru sehingga konteks historis kehadiran
Balairung, Catatan Kaki, dan Suara USU penting dilihat
untuk membaca perkembangan saat ini.
Bab lima akan mendeksripsikan konteks komersialisasi
pendidikan dalam alur kronologis. Arus komersialisasi
pendidikan dimulai dari ratifikasi perjanjian WTO oleh
pemerintah Indonesia yang kemudian diikuti dengan
serangkaian paket kebijakan untuk memutus tanggung jawab
pemerintah atas dunia pendidikan. Kebijakan ini kemudian
memicu respon masyarakat (termasuk pers mahasiswa)
yang menolaknya. Bab enam menjadi pembahasan inti
dari penelitian ini. Bab ini akan berisi analisis atas struktur
wacana anti komersialisasi pendidikan yang dilakukan oleh
ketiga pers mahasiswa. Sedangkan bab tujuh akan menjadi
19
Komersialisasi Pendidikan

penutup berisi kesimpulan dan saran terhadap penelitian-


penelitian yang mungkin dilakukan selanjutnya.

20
Pers Mahasiswa dalam Lipatan Sejarah

Dalam bentangan sejarah di Indonesia pascakemerdekaan,


pers mahasiswa merupakan salah satu kekuatan sosial-
politik dari berbagai kekuatan dalam masyarakat yang
berinteraksi dengan rezim politik tertentu (Raillon, 1985).
Seperti yang dijelaskan oleh Abar (1995) interaksi tersebut
mewujud dalam dua hal, konvergensi dan divergensi.
Konvergensi terjadi ketika konsolidasi kekuasaan negara
sedang terjadi. Posisi negara lemah dan posisi masyarakat
yang terpecah ke dalam berbagai kelompok kepentingan
masih kuat. Negara melakukan proses identifikasi berbagai
kelompok yang bisa diajak dalam sebuah partnership.
Ketika proses identifikasi sudah selesai dan stabilitas
ekonomi politik didapatkan, di titik itulah terjadi divergensi.
Negara menunjukkan kekuasaanya dan cenderung menjadi
otoriter. Kekuatan-kekuatan sosial-politik lain dalam
masyarakat yang dianggap memiliki potensi mengganggu
kekuasaan, geraknya dihambat bahkan dihancurkan.
Hal itu jugalah yang dilakukan oleh negara terhadap
pers mahasiswa. Relasi keduanya selalu dimulai dengan
konvergensi dan diakhiri dengan divergensi.

Di Bawah Represi Orde Lama


Pascaperjuangan fisik memperjuangkan kemerdekaan
1945-1949, dunia pers di Indonesia mendapatkan momen-
tum untuk tumbuh dan berkembang. Edward Smith (1983)
mencatat bahwa pada periode 1950-1953, pers berkembang

21
Komersialisasi Pendidikan

dari 75 harian dengan peredaran kira-kira 400.000 menjadi


104 harian dengan peredaran sebanyak 630.000 eksemplar.
Pers mahasiswa juga muncul dengan segala hiruk-
pikuknya. David Hill (2011:138) menyatakan setidaknya
35 penerbitan yang dikelola oleh mahasiswa dari beraneka
fakultas, universitas, serta kelompok politik dan agama.
Banyaknya penerbitan tersebut juga mencerminkan warna-
warni politik sebagai konsekuensi dari Demokrasi Liberal
yang dipraktikan pemerintahan Soekarno. Pers mahasiswa
mendapatkan prestasi tinggi yang menjadi patokan bagi pers
mahasiswa di Indonesia tahun-tahun selanjutnya. Selain itu,
banyak juga tokoh-tokoh pers mahasiswa yang lahir dalam
periode ini seperti Teuku Jacob, Koesnadi Hardjasoemantri,
dan Nugroho Notosusanto.
Pada tahun 1955, sepuluh pers mahasiswa dari
beberapa daerah di Indonesia mengadakan konferensi pers
mahasiswa di Kaliurang, Yogyakarta. Konferensi ini adalah
konferensi tingkat nasional pertama pers mahasiswa dalam
sejarah republik. Beberapa hal yang patut dicatat dalam
konferensi adalah terbentuknya organisasi pers mahasiswa
yang berupa IWMI (Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia)
dan SPMI (Serikat Pers Mahasiswa Indonesia). Selain
itu Kode Jurnalistik Mahasiswa juga berhasil disusun
sebagai panduan operasional bagi aktivis pers mahasiswa
di Indonesia. Dua orang perwakilan dari organisasi
tersebut juga ikut serta dalam konferensi internasional
pers mahasiswa di Manila. Konferensi ini menyepakati
bahwa peran pers mahasiswa di negara berkembang harus
diarahkan pada pembentukan nation building (Satrio
Arismunandar, 2005:86). Konferensi juga menyepakati
diadakannya konferensi lanjutan yang lebih sempurna.
Era ini merupakan puncak romantisme antara pers
mahasiswa dengan pemerintah. Wisaksono Noeradi
(2008:42-43) mencatat:

22
Wisnu Prasetyo Utomo

Pemerintah c.q Kementerian Penerangan selalu meng-


anjurkan toleransi antara mereka yang bertentangan
paham dan berupaya mempertinggi critische zin rakyat.
Tumbuhnya pers mahasiswa yang zakelijk-objectief dan
wetenschappelijk sungguh menguntungkan bagi usaha
penerangan pemerintah.

Sikap tersebut memang dibuktikan Kementerian


Penerangan yang memberi bantuan tanpa syarat
kepada pers mahasiswa. Untuk mencetak Buku Pers
Mahasiswa Indonesia misalnya, SPMI dan IWMI diberi izin
memanfaatkan Percetakan Negara tanpa ada keinginan
untuk meneliti apalagi menyensor isi buku terlebih dahulu.
Romantisme ini bahkan membuat pers mahasiswa berani
bersuara keras kepada pemerintah. Meskipun sikap keras
ini pada akhirnya berbalik menjadi bumerang. Selama
tahun 1958 para pegiat pers mahasiswa terutama Jakarta
dan Yogyakarta sering bertemu dan membahas situasi
politik nasional. Dinamika pergolakan berbagai daerah
di Indonesia diikuti melalui Radio Australia dan menjalin
jaringan dengan berbagai diplomat negara sahabat yang
ada di Indonesia. Isu mengenai Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) tak urung menjadi bahan diskusi.
Aktivitas ini dipantau oleh Komando Militer Kota
Besar Djakarta Raya (KMKBDR). Nama-nama aktivis pers
mahasiswa yang sering terlibat dalam diskusi mendapat
black list oleh KMKBDR. Hampir setiap minggu ada yang
dijemput atau disimpan (Wisaksono Noeradi, 2008:42).
Ancaman ini sendiri tidak membuat aktivis pers mahasiswa
turun nyalinya. Mereka tetap memberitakan berita-berita
dengan kritis. Majalah Forum misalnya. Majalah mahasiswa
yang terbit di Jakarta ini berani memberitakan aksi Appeal
Mahasiswa pada 14 Februari 1958. Aksi ini adalah bentuk
protes mahasiswa agar pemerintah pusat tidak akan
melakukan tindak kekerasan kepada PRRI yang melakukan
pemberontakan. Keberanian memberitakan ini tidak
main-main sebab tidak ada satu pun yang memberitakan

23
Komersialisasi Pendidikan

unjuk rasa ini. Sebuah koran terkemuka bahkan tidak jadi


menurunkan peristiwa ini sebagai berita utama karena
ketakutan akan ditindak oleh aparat keamanan (Wisaksono
Noeradi, 2008:41).
Sementara itu setelah konferensi internasional, IWMI
dan SPMI sepakat untuk melebur menjadi satu organisasi.
Kesepakatan ini diambil oleh perwakilan pers mahasiswa
yang hadir pada kongres pers mahasiswa Indonesia II
pada tahun 1958. Nama Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia
(IPMI) diambil sebagai wadah tunggal yang representatif
dalam mewakili kepentingan pers mahasiswa di Indonesia.
Sayang, kelahiran IPMI ini datang dalam konteks waktu
yang tidak tepat. Pertengahan tahun 1958 adalah titik balik
bagi bangsa Indonesia termasuk juga relasi antara negara
dan pers mahasiswa yang berubah dari konvergensi menjadi
divergensi. Herberth Feith (2007) mencatat titik balik ini:
...tahap masa peralihan struktural berakhir. Keadaan amat
sulit diramalkan selama dua tahun sejak pertengahan
1956 telah beralih kepada interaksi yang berpola lebih
jelas, kepada apa yang disebut sebagai suatu sistem.
Lalu, apa determinan-determinan untuk sistem sesudah
pertengahan 1958: demi kemudahan, kita hendaknya
mengacu kepada sistem baru ini sebagai demokrasi
terpimpin...

Demokrasi liberal memasuki tahap akhir ketika


Soekarno menjadi titik sentral kekuasaan dengan mengebiri
kekuatan parlemen, konstituante, dan beberapa partai
politik. Sentralisasi kekuasaan ini semakin ditegaskan
dengan keluarnya dekrit presiden pada 5 Juli 1959 yang
berisi pembubaran konstituante dan amanat untuk kembali
kepada UUD 1945. Feith menyebut bahwa Indonesia mulai
memasuki masa otoriter di mana politik telah kehilangan
ciri keterbukaannya. Di era Demokrasi Terpimpin, Soekarno
menginstruksikan semua organisasi kemasyarakatan
harus berafiliasi kepada partai politik untuk mendukung
revolusi. Instruksi ini juga menyentuh organisasi pers, tidak

24
Wisnu Prasetyo Utomo

terkecuali pers mahasiswa.


Afiliasi ini, menurut Hill (2011), harus diumumkan
secara terbuka kepada khalayak. Tidak boleh ada pers
mahasiswa yang mengambil sikap netral. Mereka yang
tidak mau mengumumkan afiliasi ini atau mencoba
tetap berada pada posisi netral mendapat tudingan
sebagai pendukung kekuatan-kekuatan konservatif yang
antikomunis dan Soekarno. Keharusan untuk berafiliasi
ini diteguhkan melalui serangkaian peraturan yang
dikeluarkan pemerintah. Pada 12 Oktober 1960, Soekarno
mengeluarkan Pedoman Penguasa Perang Tertinggi untuk
Pers Indonesia yang mewajibkan semua pers Indonesia
untuk menjadi pendukung, pembela, dan alat penyebar
Manifesto Politik Soekarno.2 Ashadi Siregar dalam Abar
(1995:61) mencatat pedoman ini sebagai awal dimulainya
tradisi regulasi terhadap pers. Sejak saat itu, penguasa selalu
melakukan kooptasi terhadap pers melalui praktik regulasi
yang represif dan menindas. Secara otomatis, kebebasan
pers dibatasi dengan ketat. Soekarno sendiri mengakui
pembatasan ini karena kebebasan pers yang kebablasan
hanya akan menggerogoti revolusi yang belum selesai.
Seperti yang ia ungkapkan dalam Cindy Adams (2011:338);

Karena kami masih dalam tahap revolusi ekonomi,


aku tidak mengizinkan kritik-kritik yang merusak
kepemimpinanku, begitu juga aku tidak mengizinkan
kemerdekaan pers yang sangat bebas. Kami negara yang
terlalu muda, sehingga kemerdekaan pers yang sangat
bebas bisa membuat lebih kacau dari sebelumnya.

Pembatasan terhadap kebebasan pers ini juga ditandai


dengan ancaman yang diberikan oleh Soekarno. Presiden
pertama di republik ini mengatakan bahwa ia akan
menjewer kuping kepada pers yang melewati batas;

2 Pedoman ini berisi delapan hal yang dengan detail mengatur apa saja yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh pers. Selengkapnya baca Abdurrahman
Surjomiharjo dalam Akhmad Zaini Abar (1995:61-62)

25
Komersialisasi Pendidikan

Aku jewer kupingnya. Ini berarti, aku melarang terbit


koran yang bersalah itu selama seminggu. Kadang-
kadang dua minggu. Kalau terjadi lagi, aku cabut izin
terbitnya selama tiga minggu. Sebagai tindakan terakhir,
aku menutup korannya sampai waktu yang tidak tertentu.
(Cindy Adams, 2011:339)

Situasi politik seperti ini telah memukul pers mahasiswa


di berbagai daerah yang menyatakan dirinya independen.
Satrio Arismunandar (2005:86) mencatat di Yogyakarta,
Majalah Gadjah Mada dan GAMA mati. Sedangkan di Jakarta,
majalah Forum dan Mahasiswa berhenti terbit. Padahal, tiga
dari empat pers mahasiswa tersebut adalah aktor utama
yang menginisiasi konferensi pertama pers mahasiswa
di tingkat nasional. Meskipun demikian, Ikatan Pers
Mahasiswa Indonesia (IPMI) tidak menunjukkan rasa takut.
Induk organisasi pers mahasiswa se-Indonesia ini bahkan
melakukan perlawanan. IPMI menolak mencantumkan
Manipol Usdek dalam anggaran dasar organisasi. Organisasi
massa kiri menuduh IPMI tidak mendukung jalannya
revolusi karena tidak mencantumkan Manipol Usdek dalam
anggaran dasar organisasi. Bahkan seperti dituturkan
Amir Effendi Siregar (1983:45), mereka secara langsung
menuduh bahwa IPMI menjadi underbouw dari Partai Islam
Masyumi yang ketika itu dilarang oleh Soekarno.
Perlawanan IPMI ditunjukkan dalam surat pernyataan
bersama yang mereka siarkan. Menurut Sekjen IPMI saat
itu, Nono Anwar Makarim, pers mahasiswa membawa
kepentingan seluruh mahasiswa di Indonesia. Karena
itu ia tidak boleh berpihak kepada sebuah golongan
mahasiswa tertentu saja. Nono juga menambahkan bahwa
revolusioner tidaknya sebuah organisasi bisa dilihat dari
tindakan yang dilakukannya dalam memperjuangkan
masyarakat tertindas. Ketika hendak meneguhkan sikap
IPMI dalam kongres yang akan digelar akhir tahun 1965,
tiba-tiba peristiwa 30 September meletus. Peristiwa ini
secara dramatis mengubah iklim politik di Indonesia dan
secara otomatis juga peran IPMI. IPMI dan pers mahasiswa

26
Wisnu Prasetyo Utomo

antikomunis lolos dari gelombang bredel yang dilakukan


pemerintah terhadap organisasi pers kiri. Secara otomatis,
mereka yang lolos dari gelombang ini kemudian terlibat
dalam gerakan untuk menumbangkan Orde Lama dan
Soekarno.
Sementara itu, situasi perekenomian semakin mem-
buruk. Sebagaimana yang dicatat oleh Arief Budiman (1983),
inflasi semakin merajalela (untuk Jakarta, indeks konsumsi
berkisar pada titik 100 pada tahun 1958 dan mencapai 267
pada tahun 1965). Neraca pembayaran menipis, utang luar
negeri meningkat, sedangkan tabungan nasional hampir
kosong. Bahan-bahan pokok seperti tekstil dan beras juga
semakin langka dan susah diakses oleh masyarakat karena
harganya yang melambung tinggi. Keadaan inilah yang
membuat radikalisasi pers mahasiswa berlangsung dengan
demikian cepat dan progresif. IPMI kemudian membentuk
surat kabar mahasiswa yang bernama Harian KAMI. Nama
ini memang disamakan dengan nama Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI) karena Harian KAMI menjadi
biro penerangan dari organisasi tersebut. Nono Anwar
Makarim menjadi pemimpin redaksi pertamanya.
Langkah ini juga diikuti oleh kelahiran banyak pers
mahasiswa yang menyatakan diri sebagai anggota IPMI.
Seperti yang dicatat oleh Satrio Arismunandar (2005:87)
di Jakarta terbit Mahasiswa Indonesia dan Harian Kami.
Di Bandung: Mahasiswa Indonesia (edisi Jawa Barat) dan
Mimbar Demokrasi. Di Yogyakarta: Mahasiswa Indonesia
(edisi Jawa Tengah) dan Muhibbah. Di Banjarmasin: Mimbar
Mahasiswa. Di Pontianak: Mingguan KAMI (edisi Kalimantan
Barat). Di Surabaya: Mingguan KAMI (edisi Jawa Timur).
Di Malang: Gelora Mahasiswa Indonesia. Di Makassar:
Mingguan KAMI, serta di beberapa daerah lain di Indonesia.
Mahasiswa Indonesia dan Harian KAMI menjadi pemimpin
terdepan dalam aksi-aksi protes yang dilakukan mahasiswa.
Kedua pers mahasiswa tersebut lahir pada pertengahan
1966 sebagai respon terhadap kondisi pers umum yang
tidak memiliki keberanian bersuara. Para pendiri kedua

27
Komersialisasi Pendidikan

harian ini sebagian besar merupakan aktivis Kesatuan Aksi


Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Dengan sinis mereka mengatakan bahwa pers Indo-
nesia adalah pers yang tidak mampu, tidak berdaya,
dan hanya mengabdi pada kepentingan penguasa. Ketidak-
berdayaan warisan otoritarianisme Demokrasi Terpimpin
yang membatasi gerak pers dan menjadikannya bersikap
konformis, malas secara intelektual, dan pasif (Francois
Raillon, 1985:339). Kritikan ini dilanjutkan dengan
gaya jurnalisme yang meledak-ledak dan serangan yang
gencar terhadap Soekarno dengan membongkar mitos
pengkultusan individu terhadap Soekarno. Rangkaian seri
artikel yang dimuat dalam enam terbitan No. 35 sampai
dengan 40 bulan Februari-Maret 1967 ini diberi judul
Desoekarnoisasi: Mengakhiri Kultus Individu. Mahasiswa
Indonesia membongkar mitos mengenai Soekarno yang
berhubungan dengan pribadi langsungnya, dan yang
berhubungan dengan peranan dirinya sebagai tokoh politik
(Francois Raillon, 1985:135).
Serangan gencar yang dilakukan terhadap Soekarno
tersebut menandai sikap pers mahasiswa untuk masuk
dalam medan pertarungan kekuatan-kekuatan politik di
Indonesia. Tidak hanya mengincar Soekarno, IPMI juga
mulai membersihkan pers mahasiswa anggotanya yang
dianggap sudah kemasukan unsur komunis. Keberanian
untuk masuk ke medan konflik juga dikarenakan
dukunganpartnershipmiliter dalam aksi-aksi yang
dilakukan mahasiswa. Saat itu memang ada irisan
kepentingan antara mahasiswa antikomunis dan Soekarno
dengan militer yang mencoba menguasai tampuk
kepemimpinan nasional secara total tanpa mengotori diri.
Era konvergensi antara negara dan pers mahasiswa dimulai
kembali.

28
Wisnu Prasetyo Utomo

Berkolaborasi dengan Orde Baru


Setelah represi politik berkepanjangan selama periode
Demokrasi Terpimpin, bisa dibilang periode ini menjadi era
keemasan pers mahasiswa Indonesia. Perlu diperhatikan
juga bahwa pers mahasiswa memberikan dukungannya
kepada kekuatan-kekuatan politik Orde Baru untuk meleng-
serkan Soekarno dan membentuk tatanan kehidupan ber-
bangsa yang baru. Dukungan ini semakin mutlak setelah
Soekarno resmi lengser dan digantikan Soeharto. Raillon
(1985) menyebutkan bahwa mereka percaya bahwa mo-
dernisasi, reformasi, dan keberhasilan pelaksanaannya
hanya mungkin dilaksanakan dalam rezim Orde Baru. Harian
KAMI edisi 25 Juli 1966 bahkan secara tegas mendukung
Orde Baru dengan membandingkannya dengan Orde Lama.
Caranya dilakukan dengan memberikan penilaian-penilaian
positif yang bertolak belakang dengan berbagai kebusukan
Orde Lama. Ini adalah upaya identifikasi konseptual-
teoretis yang menyumbangkan ide bagi tegaknya ideologi
Orde Baru3.
Dengan perbandingan tersebut, bisa dibilang bahwa
Orde Lama adalah raison detre Orde Baru. Semua hal
yang salah ditimpakan kepada Orde Lama dan Orde Baru
adalah antitesis hal-hal tersebut. Sikap untuk terlibat lebih
jauh dalam pertarungan politik anti Orde Lama ini juga
bisa dilihat dari penelitian Siregar (1983) terhadap tiga
pers mahasiswa terbesar saat itu. Mahasiswa Indonesia,
Harian KAMI, dan Mimbar Demokrasi memberi porsi yang
sangat besar untuk berita-berita politik. Persentasenya
selalu lebih dari 60%. Berita politik Mahasiswa Indonesia
bahkan mencapai angka 94,62%. Hanya 5,38% untuk berita
kebudayaan.
Dengan persentase yang demikian besar, wajar
jika saat itu banyak intelektual dan tokoh politik yang
3 Beberapa perbandingan misalnya menyebut Orde Baru sebagai sistem yang
mementingkan rakyat, mengembang amanat penderitaan rakyat, dan berpikir
realistis. Berbeda dengan Orde Lama yang hanya mementingkan diri sendiri,
tidak terharu penderitaan rakyat dan tak berpikir riil. Selengkapnya baca di Abar
(1995:86-87)

29
Komersialisasi Pendidikan

menyumbangkan ide-ide dan pemikirannya melalui harian


tersebut. Sebagai ceruk pemikiran intelektual, ide-ide
modernisasi dan pembangunan Orde Baru didiskusikan di
sini. Mahasiswa Indonesia bahkan memiliki peran signifikan
dalam menyumbangkan pemikiran mengenai doktrin dan
strategi Orde Baru. Dukungan ini diperlihatkan di tahun-
tahun berikutnya dan mencapai puncak ketika pemilihan
umum yang pertama pasca Orde Lama akan digelar tahun
1971.
Raillon (1985:332) mengatakan ada tiga tingkat peran
Mahasiswa Indonesia dalam pembentukan Orde Baru yaitu
politik, ideologi dan kritik. Seperti yang disebutkan di
atas, pers mahasiswa memutuskan untuk masuk ke dalam
gelanggang konflik kekuasaan dan menjadi satu kekuatan
politik tersendiri. Aktivis yang tergabung di Mahasiswa
Indonesia bahkan sering kali lebih radikal dibandingkan
dengan mahasiswa-mahasiswa Jakarta. Pemimpin-
pemimpinnya seperti Rahman Tolleng dan Awan Karmawan
Burhan memimpin dengan amat gencar kampanye negatif
terhadap Soekarno yang saat itu masih menjabat sebagai
kepala negara. Kampanye opini berlangsung sampai sang
Pemimpin Besar Revolusi lengser dari jabatannya pada
bulan Februari 1967. Sikap politik benar-benar diarahkan
kepada Orde Baru yang mereka beri kepercayaan untuk
memodernisasi Indonesia.
Selain sikap politik dengan keberpihakan yang te-
gas tersebut, Mahasiswa Indonesia telah memberikan
sumbangan yang cukup besar bagi tegaknya ideologi Orde
Baru. Mingguan ini dengan konsisten mengemukakan ide-ide
modernisasi dan pembangunan di Indonesia selama hampir
delapan tahun dengan 400 edisi terbitan. Tahun-tahun
tersebut adalah periode ketika rezim sedang mulai mencari
legitimasi dan keabsahan ideologisnya. Dan tanpa ragu-ragu
Mahasiswa Indonesia mencoba mengindonesiasikan idelogi
pembangunanisme yang terpengaruh dari ilmu-ilmu sosial
positivistik ala Amerika. Sementara aksi politik Mahasiswa
Indonesia mendapat dukungan dari elite militer, ideologi

30
Wisnu Prasetyo Utomo

pembangunan yang mereka dukung juga sudah disusun


dengan detail oleh para teknokrat sipil loyalis Soeharto.
Dua peran tersebut dilengkapi dengan peran kritik-
kritiknya yang terkadang keras dan tajam. Inilah hubungan
cinta dan benci antara Orde Baru dan Mahasiswa Indonesia.
Mahasiswa Indonesia menyerang siapa pun pihak yang
tidak sepakat dengan ide-ide mereka dalam menegakkan
Orde Baru. Mereka bahkan mencap pihak-pihak yang tidak
sepakat tersebut sebagai penghambat pelaksanaan program
pembangunan ekonomi. Ketika pihak-pihak tersebut bera-
sal dari sisa-sisa Orde Lama, kritikan sekeras apapun
yang diberikan Mahasiswa Indonesia tetap mendapatkan
dukungan dari militer. Namun, ketika kritik diarahkan
kepada internal Orde Baru sendiri, mereka mengambil
resiko merusak hubungan partnership yang telah lama
dibangun. Dilema ini muncul sekitar tahun 1973-1974
ketika Orde Baru dianggap telah mengkhianati misi awal
keberadaannya. Konsekuensi kritik ini sungguh telak. Pada
15 Januari 1974, Mahasiswa Indonesia dibredel oleh rezim
yang mati-matian mereka bela.
Akhir yang tragis tersebut begitu kontras dengan
dukungan yang diberikan Mahasiswa Indonesia menjelang
pemilu 1971. Seperti yang diungkapkan oleh Raillon
(1985:87), Mahasiswa Indonesia menjelang pemilu 1971
memperbanyak serangan terhadap partai politik yang
mere-ka tuduh telah melakukan aksi-aksi intimidasi terha-
dap Golkar dan Orde Baru. Dukungan terhadap Golkar
bahkan dilipatgandakan dengan mengampanyekan bahwa
tidak ada pilihan lain selain Golkar. Beberapa pengamat
memberikan kritik atas sikap Mahasiswa Indonesia
yang berlebihan dan subjektif tersebut. Arief Budiman
salah satunya. Arief menganggap bahwa koran ini telah
mengkhianati misinya. Mahasiswa Indonesia dianggap sudah
berpihak dan melupakan tugas sebagai alat kontrol sosial.
Ia bahkan mengatakan bahwa koran ini sudah sepenuhnya
menjadi pamflet. Seperti yang ditulis Arief:

31
Komersialisasi Pendidikan

Dia tak kritis lagi terhadap hal-hal yang tak benar yang
dilakukan Golkar, dan dia terlalu kritis terhadap apa saja
yang dilakukan oleh Parpol-Parpol. Mahasiswa Indonesia
sudah menjadi pamflet (Francois Raillo, 1985:87).

Menanggapi tulisan Arief ini, Mahasiswa Indonesia justru


membela diri dan mengatakan bahwa mingguan ini tidak
bisa disamakan dengan penerbitan biasa. Sebab, Mahasiswa
Indonesia adalah journal of ideas yang tidak pernah berdiri
netral dan senantiasa berpihak. Arogansi tersebut semakin
menjadi semakin berlebihan pascakemenangan Golkar di
Pemilu 1971. Padahal, sejarah mencatat bahwa kemenangan
mutlak Golkar ini menjadi tanda konsolidasi kekuasaan
Orde Baru mulai memasuki fase akhir. Koalisi kekuasaan
yang solid telah tercipta dengan melibatkan militer,
teknokrat liberal, pengusaha domestik besar, dan modal
asing. Penetrasi militer merasuk begitu dalam birokrasi
negara dari pusat sampai daerah.

1. Era Pemberedelan Kembali (1971-1980)


Dengan kekuasaan mutlak yang sudah berada di tangan,
Orde Baru mulai menjinakkan kekuatan-kekuatan
yang dianggap bisa merongrong kekuasaannya. Pers
mahasiswa yang dianggap sebagai bahaya laten mulai
didesak untuk back to campus. Upaya-upaya korporatis
juga mulai dilakukan. Pada tahun 1969, pemerintah
mendirikan Badan Kerjasama Pers Mahasiswa Indonesia
(BKSPMI) yang membawahi penerbitan-penerbitan
kampus di bawah struktur Dewan Mahasiswa.
Pembentukan organisasi ini bisa dikatakan menger-
dilkan peran IPMI yang sebelumnya menjadi representasi
suara pers mahasiswa di Indonesia. IPMI sendiri tak kuasa
melawan tekanan pemerintah ini. Pada kongres tahun
1971, IPMI melakukan regenerasi kepemimpinan di
mana Fahmi Alatas terpilih sebagai ketua menggantikan
Nono Anwar Makarim. Di kongres yang sama juga IPMI
mengambil keputusan dan menginstruksikan kepada

32
Wisnu Prasetyo Utomo

seluruh anggotanya untuk kembali ke kampus.


Argumentasi ini, selain didasarkan pada tekanan dan
upaya pengerdilan pemerintah, juga dilandasi dilema
yang mengganggu pers mahasiswa. Seperti diungkapkan
oleh Ismid Hadad, wakil ketua IPMI Pusat saat itu dalam
Majalah Tempo 5 Juni 1971:

Jika IPMI lebih menekankan garis kemahasiswaan,


menurut pengalaman-pengalaman yang lalu kegiatannya
jadi serba amatir, dan yang lebih penting pengaruhnya
kurang. Tapi kalau sebaliknya garis profesionalisme
yang dipertahankan, maka IPMI akan kehilangan tempat
berpijak di dunia mahasiswa.

Dilema yang tak akan pernah tuntas itu kemudian


disudahi dengan jalan kembali ke kampus yang artinya
pers mahasiswa sepenuhnya bersifat amatir. Meskipun
demikian IPMI masih mencoba memberikan kesempatan
kepada senior-senior pers mahasiswa untuk mengajari
profesionalisme kepada adik-adiknya. Berdasarkan
kesepakatan kongres 1971, kesempatan ini dilakukan
dengan cara membagi status keanggotaan menjadi
anggota biasa dan anggota luar biasa. Nono Anwar
Makarim menjelaskan bahwa:
Keputusan berkata: anggota biasa ialah semua aktivis
dan penerbitan serta pemancar radio di dalam kampus,
sedang anggota luar biasa ialah semuanya yang masih
pakai predikat mahasiswa secara sah, tapi berpangkalan
di luar kampus. Jika keterangan itu masih kurang terang,
barangkali sejarah pers mahasiswa sedikit bisa membantu
menjelaskan (Majalah Tempo, 8 Januari 1972).

Fenomena back to campus menandai babak baru


kehidupan pers mahasiswa di tanah air. Peristiwa ini
nanti akan terulang lagi pascareformasi 1998. Namun
secara lebih spesifik akan dijelaskan di bagian lain
dalam bab ini. Keputusan kongres IPMI membuat pers
mahasiswa dipaksa untuk tunduk dan berada di bawah

33
Komersialisasi Pendidikan

struktur birokrasi universitas. Ruang geraknya dibatasi,


dan orientasi pemberitaannya kemudian lebih banyak
mengenai isu-isu di dalam kampus. Wajar jika pers
mahasiswa kemudian melemah dan tidak memiliki daya
dobrak seperti yang pernah terjadi beberapa tahun
sebelumnya. Beberapa yang masih bersuara nyaring
adalah Harian Kami, Mahasiswa Indonesia, Mimbar
Demokrasi, dan Sendi yang kemudian dibredel setelah
terbit selama 13 edisi.
Sementara itu, Orde Baru dengan kekuasaan
yang hampir mutlak berada dalam genggaman mulai
menunjukkan arogansinya. Salah satu bentuk arogansi
Orde Baru bisa dilihat ketika Ibu Negara, Tien Soeharto,
menginisiasi proyek pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah (TMII). Ketika berkunjung ke Thailand,
ibu negara terkesan dengan Thailand in Miniature yang
lebih dikenal sebagai Tim Land. Gagasan Ibu Tien ini
disampaikan dalam pertemuan Gubernur se-Indonesia
pada Desember 1971 yang diselenggarakan di Istana
Negara. Untuk membangun megaproyek ini, dibutuhkan
dana yang mencapai Rp10,5 Miliar. Karena itu ia meminta
para gubernur daerah memberikan sumbangan sukarela
yang jumlahnya sudah ditetapkan sebesar Rp50.000.000
per provinsi. Ironisnya adalah, pada pertemuan yang
sama sehari sebelumnya, Soeharto meminta kepada
para gubernur untuk melakukan gerakan penghematan
dan lebih memberikan prioritas keuangan pada agenda
pembangunan.
Protes-protes dari pers mahasiswa kemudian
juga bermunculan menanggapi proyek mercusuar
tersebut. Mahasiswa Indonesia misalnya, juga mulai
melakukan kritik karena melihat tanda-tanda Orde Baru
akan menyimpang. Dalam salah satu beritanya untuk
menanggapi pembangunan proyek ini mereka menulis:
...Kalau kepada rakyat kita menganjurkan untuk
sedikit menekan konsumsinyayang sudah di bawah
ukuran yang layak ituuntuk ditabungkan, maka

34
Wisnu Prasetyo Utomo

tidaklah sepantasnya, apabila masih ada proyek-proyek


pembangunan yang bersifat mercusuar, dengan biaya
nonbudgeter sekali pun (Francois Raillon, 1985:95).

Kritik pedas lainnya diberikan oleh Sendi. Seperti


dicatat Daniel Dhakidae dalam Candra Gautama
(2010:153) ketika protes-protes mahasiswa memuncak,
Sendi menulis artikel Mukaddimah yang isinya:

Bahwa sesungguhnya hasil kemerdekaan itu ialah hak


segelintir orang dan oleh sebab itu, maka penindasan
dan kesewenang-wenangan layak terjadi karena sesuai
dengan kediktatoran dan militerisme.
Dan perjuangan sementara penguasa dan istrinya telah
sampai kepada saat yang berbahagia sebab mumpung
hidup dapat mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya.
Atas berkat rahmat setan dan dengan didorongkan
oleh keinginan untuk dipatuhi, maka penguasa rakyat
Indonesia dengan ini menyatakan kekuasaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
penguasa yang kuat, yang memerintah segenap bangsa
Indonesia dan dan seluruh kekayaan Indonesia, dan untuk
menegakkan gengsi-gengsi pribadi, ikut memelaratkan
bangsa, maka disusunlah ketetapan Indonesia Mini yang
terbentuk dalam sebuah Yayasan Harapan Kita. Sekian.

Saat itu, Sendi menjadi pers mahasiswa yang nyaring


bersuara keras terhadap Orde Baru yang dirasakan
mulai berlaku sewenang-wenang. Max Lane (2008)
mencatat bahwa koran ini menulis kritik yang tajam
mengenai berbagai hal. Di antaranya adalah lemahnya
riset kritis serius di universitas-universitas, dagelan
pemilu 1971, pemerintah mengabaikan pembiayaan
pendidikan, pembangunan hanyalah slogan kosong
yang digunakan pemerintah. Kritik mengenai arogansi
kekuasaan terhadap warga sipil juga tak luput menjadi
perhatian. Kritikan-kritikan menunjukkan keberanian
dalam menghadapi kekuasaan Orde Baru yang semakin
mapat. Keberanian ini mesti dibayar dengan harga yang
teramat mahal. Beberapa saat setelah memberitakan

35
Komersialisasi Pendidikan

Mukaddimah di atas, pemerintah Orde Baru melalui


Departemen Penerangan mencabut izin Sendi melalui
telegram. Pencabutan izin ini dituangkan dalam Surat
Keputusan Dirjen Pers & Grafika nomor 04/SK/Dirjen/
PG/K/lg72 tertanggal 7 Februari 1972.
Panglima Kodam Diponegoro menyatakan bahwa
Sendi telah menghina negara dan Pancasila dengan
mendemonstrasikan moral jurnalistiknya yang teramat
rendah. Karenanya akan dilakukan tindakan tegas.
Tindakan ini memang akhirnya dibuktikan dengan
mengajukan para pengurusnya ke pengadilan. Jaksa
menggunakan haatzaai artikelen (pasal-pasal kebencian)
dan menyatakan bahwa Sendi bersalah menghina
kepala negara. Ashadi Siregar, pemimpin redaksi Sendi,
divonis dengan hukuman tiga bulan dengan enam bulan
masa percobaan. Pengadilan ini bahkan mengundang
perhatian internasional di mana perwakilan dari Amnesty
Internasional datang mengikuti pengadilan. Dengan
vonis pengadilan ini, Sendi resmi mati. Koran ini dicabut
tepat setelah terbit 13 edisi (Majalah Tempo, 26 Februari
1972). Dan peristiwa ini menjadi pembredelan pertama
yang dilakukan Orde Baru terhadap pers mahasiswa.
Peristiwa yang pada tahun selanjutnya akan diikuti
pembredelan besar-besaran.
Yang menarik, aksi pembredelan pertama yang
dilakukan pemerintah ini justru mendapatkan dukungan
dari Mahasiswa Indonesia meski mereka juga menolak
proyek TMII. Alih-alih memberikan dukungan kepada
sesama pers mahasiswa, Mahasiswa Indonesia justru
bisa memahami sikap pemerintah karena Sendi
dianggap sudah kebablasan. Kebablasan dalam arti tidak
menghormati lagi kepada pemimpin yang merupakan
sesepuh bangsa. Padahal, wajah pemimpin adalah wajah
masyarakatnya juga. Artinya, pemimpin tetap harus
dipatuhi karena ia duduk dalam kursi kepemimpinan.
Seperti yang mereka tulis:

36
Wisnu Prasetyo Utomo

Dan apa yang justru dilakukan oleh Mingguan Sendi?


Banyak orang berkatadan kuatir sejak mulabahwa
Sendi ini terlalu berani dalam melancarkan kritik, terlalu
to the point... Mereka seolah-olah meninggalkan nilai-nilai
budaya lama bangsa yang agung dan mulia yang masih
berlaku. Dan salah satu unsur budaya lama yang luhur itu
adalah ketenteraman (Francois Raillo, 1985:254).

Protes-protes menolak proyek TMII ini mereda


seiring sikap DPR yang memutuskan bahwa proyek itu
boleh diteruskan dengan catatan tidak menggunakan
fasilitas negara dan tidak ada sumbangan wajib. Apa
yang bisa diperhatikan dari sini? Protes-protes boleh
mereda tetapi isu TMII dan pembredelan Sendi ini
menjadi titik balik dramatis yang menunjukkan bahwa
Orde Baru mulai berani melakukan cara-cara represif
dalam menghadapi aksi-aksi protes yang dilakukan oleh
mahasiswa. Sementara itu mahasiswa juga semakin yakin
bahwa Orde Baru mulai menunjukkan kecenderungan
otoritarianismenya. Indikasi otoritarianisme ini
setidaknya bisa dilihat dari pernyataan Soeharto dalam
Ramadan KH (1989:315) untuk menanggapi aksi-aksi
anti TMII tersebut.
Saya akan menindak jika mereka terus melakukan
tindakan mereka yang dapat mengganggu stabilitas
nasional. Kalau mereka tidak mengerti akan kalimat tidak
akan saya biarkan, terus terang saja akan saya tindak demi
kepentingan negara dan bangsa. Supersemar bisa saya
pergunakan untuk mengatakan keadaan dalam darurat.

Meminjam istilah Arbi Sanit, ini adalah masa-


masa pecahnya bulan madu politik antara mahasiswa
dan pemerintah. Tanda-tanda menunjukkan bahwa
partnership yang pernah bersama-sama menghadapi
Soekarno akan segera berakhir. Selain karena represi yang
mulai ditunjukkan pemerintah, pecahnya bulan madu ini
juga dikarenakan agenda pembangunan Orde Baru yang
mulai menyimpang. Politik pembangunan yang salah arah
menyebabkan ketimpangan sosial semakin menjadi-jadi.

37
Komersialisasi Pendidikan

Kemiskinan semakin parah sementara utang luar negeri


semakin menumpuk. Hal ini masih diperparah dengan
korupsi birokrasi yang semakin menggurita. Penetrasi
modal asing semakin mencengkeram republik.
Dalam konteks yang demikian pecahlah huru-hara
Anti Tionghoa di Bandung pada tanggal 5 Agustus 1973.4
Sejak saat itu, kecaman dan protes-protes menolak modal
asing dilontarkan oleh Mahasiswa Indonesia. Prakondisi
yang kemudian memuncak pada tanggal 15 Januari
1974. Memanfaatkan momentum kedatangan Perdana
Menteri Tanaka ke Indonesia, demonstrasi besar-besaran
terjadi di Jakarta. Demonstrasi yang mengikutsertakan
mahasiswa dalam jumlah ribuan ini kemudian berubah
menjadi kerusuhan massal di Jakarta. Peristiwa hari itu
sendiri mengakibatkan 9 orang meninggal dan 23 orang
luka parah maupun ringan, 269 mobil terbakar, 253 mobil
rusak, 94 sepeda motor terbakar dan 43 rusak, 5 gedung
dibakar, 113 dirusak, dan 5 bangunan industri rusak berat
(Francois Raillon, 1985:369). Penerbitan pers termasuk
pers mahasiswa yang melaporkan peristiwa ini diberedel.
Ada 8 penerbitan termasuk Mahasiswa Indonesia dan
Harian KAMI yang diberedel oleh pemerintah.
Menteri Penerangan melalui Surat Keputusan No.
146/KEP/MENPEN/1975 mengatakan bahwa pers
mahasiswa tidak diperkenankan sebagai sarana dalam
bentuk apapun untuk melakukan kegiatan-kegiatan
politik praktis. Pers mahasiswa yang berada di kampus
dan memenuhi syarat tersebut lolos dari badai pemberelan
(David Hill, 2011:141). Pembredelan ini menandai babak
baru pers mahasiswa di bawah Orde Baru. Tidak ada lagi
suara-suara kritis menentang pemerintah seperti yang
4 Kerusuhan ini berawal dari insiden tabrakan antara penduduk lokal di Bandung
yang mengendarai pedati dengan warga keturunan Tionghoa yang mengendarai
mobil. Berawal dari tabrakan ini, kesalahpahaman tak terhindarkan dan memicu
pertengkaran. Pertengkaran kemudian menjadi kerusuhan yang melibatkan
berbagai elemen masyarakat. Kemarahan masyarakat pada awalnya diarahkan
kepada penduduk Tionghoa yang tinggal di Bandung. Karena itu sweeping
sekota dilakukan. Kerusuhan yang tak terkendali kemudian membuat terjadinya
penjarahan di mana-mana. Selengkapnya baca Rum Aly (2004:249-250).

38
Wisnu Prasetyo Utomo

pernah dilakukan oleh Mahasiswa Indonesia maupun


Harian KAMI. Pers mahasiswa mulai terlokalisir di kampus
dan keberadaannya begitu menjamur. Di UI Jakarta terbit
Salemba, Aspirasi di Unpad Bandung, Scientiae di ITB
Bandung, Derap Mahasiswa di IKIP Yogyakarta, Gelora
Mahasiswa di UGM, dan juga Airlangga di Unair Surabaya.
Beberapa pers mahasiswa tersebut pada awalnya
lebih banyak mengupas berita-berita mengenai kampus
dan pendidikan. Kita bisa merujuk pada penelitian
Daniel Dhakidae (1977) yang meneliti Salemba, Gelora
Mahasiswa, dan Derap Mahasiswa. Penelitian Dhakidae
menunjukkan bahwa hal-hal yang sifatnya kebijakan
akademis kampus dan dekat dengan mahasiswa menjadi
titik perhatian. Meskipun demikian, ada hal menarik yang
bisa dibaca dari penelitian tersebut. Perbedaan orientasi
pemberitaan barangkali sudah menjadi fitrah gerakan
bahwa mahasiswa akan selalu resah melihat situasi yang
tidak seideal yang diharapkan. Inilah penjelasan yang
tepat untuk pemberitaan pers mahasiswa. Menjelang
pemilihan umum 1977 dan Sidang Umum MPR 1978, pers
mahasiswa mulai bersikap kritis. Sikap kritis ini muncul
karena pers umum tidak berani memberitakan berita-
berita yang memuat kesalahan-kesalahan pemerintah.
Keberanian untuk bersikap kritis ini bisa dilihat
dalam penelitian yang dilakukan oleh Siregar (1983:96)
dan menunjukkan bahwa berita-berita tentang politik
menempati porsi terbesar dalam setiap pemberitaannya.
Pada titik ini kita tidak perlu mempertanyakan lagi rasa
keterlibatan pers mahasiswa dalam masalah-masalah
sosial politik yang dihadapi oleh masyarakat. Dalam
melihat ini, Dhaniel Dhakidae mengatakan bahwa
dalam diri pers mahasiswa Indonesia pasca Malari 1974
telah berkembang apa yang ia sebut sebagai adversary
journalism (jurnalisme penantang). Pers mahasiswa
telah memosisikan diri sebagai oposisi politik bagi
pemerintah karena itu mereka secara langsung bersikap
partisan. Tak heran jika Dhakidae lantas melanjutkan

39
Komersialisasi Pendidikan

bahwa pers mahasiswa periode ini adalah journal of


opinion. Apa yang ditampilkan dalam berita-beritanya
adalah biasa pandangan ideologinya. Bahkan merupakan
sikap politik yang diyakini. Sikap politik ini tercermin
dari performance bahasa jurnalistik pers mahasiswa
yang banyak menggunakan konsepsi-konsepsi abstrak,
pernyataan keharusan, dan pertanyaan-pertanyaan
kepada otoritas kekuasaan.
Memiliki sikap politik dan menjadi partisan ini
dianggap penting oleh pers mahasiswa. Seperti Gelora
Mahasiswa pada edisi Februari 1977 yang mengatakan
bahwa bersikap politik seperti ini perlu bila mahasiswa
masih diharapkan hadir dalam gerak pembangunan
yang semakin berderak tapi kering bagi gagasan-
gagasan yang sehat dan opini politik yang sehat pula.
Terutama dari generasi mudanya, mahasiswa, yang
katanya bakal mewarisi kepemimpinan negeri ini. Bisa
dipahami ketika protes-protes kembali marak menjelang
Sidang Umum 1978 dengan tuntutan utama adalah
menginginkan Soeharto mundur. Namun protes-protes
keras ini membentur tembok tebal. Aksi protes yang juga
dibarengi dengan demonstrasi mahasiswa-mahasiswa
yang menolak pencalonan Soeharto sebagai presiden lagi
dijawab dengan aksi represif. Semua Dewan Mahasiswa
seluruh Indonesia dibubarkan dan aktivis-aktivisnya
dipenjarakan. Pers mahasiswa dibredel.
Kebijakan Normalisasi Kehidupan/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan (NKK/BKK) diberlakukan oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef. Pembredelan
ini bahkan disebut oleh Siregar (1983:56), baru pertama
kalinya terjadi dalam sejarah di Indonesia karena semua
pers mahasiswa dibredel dalam waktu yang bersamaan
pada 1978. Hampir seluruh pers mahasiswa mati atau
dihentikan terbit oleh pemerintah secara serentak meski
enam bulan sampai setahun kemudian diperbolehkan
terbit kembali dengan perizinan yang ketat. Ketika ter-
bit kembali ternyata pers mahasiswa masih lantang

40
Wisnu Prasetyo Utomo

menyuarakan kritiknya. Misalnya Gelora Mahasiswa


yang mempertanyakan konsep NKK/BKK. Dalam berita
utama berjudul Terdapat Kegagalan dalam Pelaksanaan
Normalisasi Kampus Tahap I, edisi 21 Juni 1979 Gelora
Mahasiswa mengatakan bahwa kebijakan ini mengekang
dan membatasi mahasiswa.
Keberanian pers mahasiswa untuk bersikap kri-
tis kembali mendapatkan respon yang reaktif dari
pemerintah. Pers mahasiswa kembali dibredel. Pada
akhir 1979, Gelora Mahasiswa dibredel oleh rektornya
sendiri, Sukadji. Pengurus Gelora Mahasiswa yang hen-
dak mengadakan aksi duka cita sebagai protes terhadap
pembredelan dan NKK/BKK ini mendapat larangan
dari rektornya. Berdasarkan pengakuan Slamet Riyadi,
Sukadji mengaku mendapat ancaman dari aparat ke-
amanan apabila mahasiswa akan melakukan aksi. Dua
hari sebelum aksi dilakukan, pengurus Gelora Mahasiswa
diundang ke rumah pribadinya. Seperti yang dituturkan
Pemimpin Redaksi Gelora Mahasiswa 1978-1979 dalam
Hafid Furqoni (2009:53):

(Sukadji itu berkata sambil menangis, pokoknya


tolong saya, karena sudah diultimatum oleh Korem,
pokoknya jangan sampai ada kegiatan di Balairung untuk
memperingati itu, karena akan diserbu. Jadi kalau ada
korban, yang bertanggung jawab itu rektornya, dan tolong
kalau bisa bagaimana caranya dibubarkan). Jadi begitu
hari H, kami para panitia dan peserta aksi yang sudah
datang terpaksa mengusir semua teman-teman yang
datang.

Seperti dicatat Didik Supriyanto (1998:79),


berturut-turut kemudian pembredelan menimpa Derap
Mahasiswa (IKIP Yogyakarta), Alma Mater (IPB), Media
(ITS), Airlangga (Unair), Kampus (ITB), dan Salemba
(UI). Pemerintah sendiri selain melakukan pembredelan
juga membentuk Tim Pembina Pers Kampus Mahasiswa
Tingkat Nasional. Pada periode ini sendiri, IPMI gagal
menunjukkan kembali perannya karena sudah semakin

41
Komersialisasi Pendidikan

banyak ditinggalkan oleh anggotanya. Ia tampak terbentur


pada kenyataan bahwa pemerintah menginginkan agar
pers mahasiswa memusatkan perhatian pada penulisan
yang berkaitan dengan kegiatan kampus. Secara
kelembagaan praktis IPMI sudah mandul, tidak memiliki
kekuatan apa-apa. Organisasi ini tidak bubar, tetapi juga
tidak menjalankan aktivitas-aktivitas penerbitan dan
penyiaran terutama pascakongres V yang diadakan di
Jakarta tahun 1980. Kongres periode VI yang seharusnya
berlangsung tahun 1982 juga urung terlaksana karena
dilarang oleh pemerintah. IPMI menjadi organisasi yang
hidup segan mati tak mau. Praktis, aktivitas-aktivitas
pers mahasiswa pada periode ini lumpuh total. Tidak ada
lagi kritik-kritik ala pers mahasiswa di era Orde Lama dan
awal periode Orde Baru. Mahasiswa sibuk dihadapkan
pada hiruk pikuk akademik sebagai konsekuensi
kebijakan NKK/BKK.

2. Bangkit Kembali (1985-1998)


Represi politik dan pengerdilan yang dilakukan Orde
Baru sungguh efektif. Pembredelan pasca NKK/BKK telah
mematikan pers mahasiswa secara dramatis. Bertahun-
tahun setelah itu bisa dibilang bahwa pers mahasiswa
vacuum of publication. Beberapa pers mahasiswa yang
masih bertahan sama sekali tidak menyentuh berita-
berita politik nasional. Namun, bukan mahasiswa bila
tidak memiliki keresahan.
Dilandasi dengan kegalauan sistem politik yang
menekan, beberapa aktivis mahasiswa di berbagai
daerah bergerak dan mendirikan pers mahasiswa di
kampusnya masing-masing. Pada tahun 1983 di Unud
Bali berdiri Akademika, tahun 1985 terbit Balairung
(UGM Yogyakarta), tahun 1986 Solidaritas (Unas Jakarta),
serta tahun 1988 terbit Sketsa (Unsoed Purwokerto)
dan Pendapa (Universitas Sarjana Wiyata Yogyakarta).
Di Yogyakarta sendiri setidaknya terbit 69 publikasi
mahasiswa di berbagai kampus (Hafid Furqoni, 2009:56).
42
Wisnu Prasetyo Utomo

Beberapa pers mahasiswa yang terbit saat itu


memang tidak langsung menyasar berita-berita politik
sebagai orientasi pemberitaan utamanya. Mereka
justru menjadikan medianya bersifat akademis dengan
nuansa intelektualitas yang kuat. Dengan kata lain, pers
mahasiswa ingin memberikan sumbangsih pemikiran
kritis-konseptual. Sifat ilmiah pers mahasiswa pada
waktu ini memang bisa dipahami. Ancaman represi
politik dari rezim senantiasa membayangi sehingga
strategi mesti digunakan supaya pers mahasiswa tetap
bisa terbit tetapi tidak berkonfrontasi langsung dengan
penguasa. Artinya, pilihan tersebut merupakan semacam
strategi politik mahasiswa. Meskipun masih malu-malu
untuk menyiarkan berita-berita politik, langkah untuk
melakukan konsolidasi pers mahasiswa di tingkat
nasional justru progresif. Beberapa langkah progresif ini
bisa dilihat dari tabel berikut:

Tempat/Waktu Penyelenggara Acara Hasil Pertemuan


Jakarta, 21-28 Majalah Pendidikan Pembentukan
Oktober 1985 Mahasiswa pers tim kecil untuk
Politika Unas mahasiswa menjajaki
tingkat terbentuknya
nasional. badan permanen
pengembangan
pers mahasiswa
Jakarta, 11-21 Surat Kabar Pekan Membentuk
Agustus 1986 Mahasiswa jurnalistik Kelompok Studi
Solidaritas Unas mahasiswa se- Jurnalistik
Jakarta Relata yang
mengembangkan
media penerbitan
mahasiswa di
Jakarta

43
Komersialisasi Pendidikan

Jakarta, 5-8 Depdikbud dan Latihan Kesepakatan


Oktober 1986 FISIP UI Ketrampilan perlunya
Pers Kampus membentuk
Mahasiswa satu wadah
pers mahasiswa
tingkat nasional

Yogyakarta, 27-29 Majalah Balairung Pendidikan Membentuk


Agustus 1987 UGM Pers panitia Ad-
Mahasiswa se- Hoc yang
Indonesia mempersiapkan
wadah nasional
pers mahasiswa
Indonesia

Jakarta, 18-20 Panitia Ad-Hoc Sarasehan


September 1987 Konsolidasi pers Aktivis Pers
mahasiswa Mahasiswa

Yogyakarta, 11-13 Panitia Ad-Hoc Pertemuan


Oktober 1987 Konsolidasi pers Pengelola Pers
mahasiswa Mahasiswa se-
Indonesia

Jakarta, 17- 27 Panitia Ad-Hoc Pekan Perlunya


Oktober 1987 Konsolidasi pers Orientasi pertemuan
mahasiswa Jurnalistik nasional pasca
Mahasiswa II Mei 1988 setelah
Sidang Umum
MPR RI

Majalah Balairung No 7 tahun 1988 halaman 41

Rangkaian acara tersebut kemudian berpuncak pada


rencana mengadakan kongres IPMI pada tahun 1989 di
Lampung. Inilah ikhtiar untuk menghidupkan kembali
organisasi pers mahasiswa tingkat nasional yang mati suri
sejak kongres 1980. Sayangnya kongres ke VI ini urung
dilaksanakan karena terlanjur meletus peristiwa GPK
Warsidi di Lampung. Selain itu, persoalan keruwetan biaya
dan perizinan dari pemerintah yang susah juga menjadi
alasan lain. Pemerintah nampak masih trauma dengan
44
Wisnu Prasetyo Utomo

pers mahasiswa yang memiliki sejarah selalu melawan


penguasa. Sebagaimana dijelaskan Didik Supriyanto
(1998), BAKIN dan Mabes ABRI menekan Dirjen PPG dan
Dirjen Dikti agar tidak memberikan rekomendasi kongres
IPMI. Pertimbangannya, berdasarkan data yang dimiliki
oleh BAKIN dan Mabes ABRI, protes-protes mahasiswa
yang mulai marak sejak awal tahun 1988 ternyata banyak
dimotori oleh aktivis pers mahasiswa. Karena itu apabila
para pengacau ini diberi ruang dalam organisasi yang
bersifat nasional, dikhawatirkan organisasi ini akan
dimanfaatkan untuk menggalang aksi-aksi protes dalam
skala yang lebih luas. Kongres gagal digelar.
Pada waktu ini terjadi pembredelan pers mahasiswa
di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan di UKSW Salatiga.
Di IAIN Sunan Kalijaga, rektor memaksa pengelola
majalah mahasiswa Arena untuk tidak menayangkan
tulisan Arief Budiman yang berjudul Regenerasi Orde
Baru. Sementara di UKSW, rektor membredel tujuh pers
mahasiswa di fakultas menyusul berita yang mereka
turunkan terkait kebobrokan pejabat di universitas.
Ketujuh pers mahasiswa tersebut adalah Sketsa (FKIP),
Dian Ekonomi (FE), Rekayasa (FH), Biota (F.Biologi),
Agronomi (F.Pertanian), dan Imbas (F.Teknik).
Ini menimbulkan kegelisahan yang membuncah.
Generasi pengurus pers mahasiswa yang menyiapkan
berbagai pertemuan prakongres di atas mengalami
kekecewaan. Sementara generasi penerusnya mengalami
pengerasan ideologi di mana keinginan untuk mendirikan
wadah nasional untuk pers mahasiswa semakin
menguat. Yang patut dicatat, generasi pers mahasiswa
pascakegagalan kongres ini menolak nama IPMI dan
mengusulkan membentuk organisasi yang sama sekali
baru. Ide ini misalnya saja disampaikan oleh Agung
Suprihanto (1988) yang mengatakan sebagai berikut:
Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia, mengapa nama dan
organisasi itu yang dipilih? Tidak bisakah para aktivis
sekarang ini membuat organisasi lain? Dan bukankah

45
Komersialisasi Pendidikan

ia hanyalah organisasi yang sudah kuno? Karena lahir


sejak tahun 1958, sejak zaman orla, zaman yang seolah-
olah paling buruk jika kita bandingkan dengan sekarang,
zaman yang seolah-olah najis bagi kita untuk kita alami.

Pengerasan ideologi yang ditandai dengan penolakan


terhadap IPMI dan keinginan untuk membentuk
organisasi baru ini ditindaklanjuti dengan pertemuan
di Wanagama Yogyakarta pada 1991. Pertemuan yang
bertajuk Temu Aktivis Pers Mahasiswa ini diadakan oleh
majalah Balairung. Ada kesepakatan utama yang dicapai
yaitu mengenai kebulatan tekad untuk membentuk
wadah tunggal bagi pers mahasiswa yang baru. Karena
itu Steering Commite National (SCN) dibentuk untuk
mempersiapkan pertemuan-pertemuan selanjutnya dan
menggodok konsep wadah baru tersebut. Pertemuan
selanjutnya diadakan di IKIP Bandung. Belum ada
kesepakatan lebih jauh karena Dirjen Kemahasiswaan
pada pertemuan ini menyampaikan surat yang
menyebutkan rasa tidak simpati kepada pertemuan di
Wanagama. Meskipun begitu, para peserta forum sempat
menghasilkan keputusan mengenai nama yang akan
diberikan kepada organisasi baru tersebut, Perhimpunan
Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).
Beberapa pertemuan lanjutan kemudian dilakukan
dengan puncaknya pada pertemuan di Universitas
Brawijaya Malang pada bulan Oktober 1992. Pertemuan
yang diikuti 72 peserta dari 28 perguruan tinggi di seluruh
Indonesia menyepakati berdirinya PPMI. Sementara
kongres pertamanya diadakan satu tahun kemudian.
Organisasi baru pengganti IPMI telah lahir. Kelahiran
PPMI bertujuan memperkuat bargaining position pers
mahasiswa secara internal dan eksternal. Di level
internal akan dibuat kurikulum diklat jurnalistik dan
kode etik pers mahasiswa. Sementara pada konteks
eksternal, memperkuat posisi tawar menawar dengan
penguasa, baik itu birokrat kampus maupun pemerintah.

46
Wisnu Prasetyo Utomo

Maksudnya adalah memengaruhi jalannya pembuatan


kebijakan dengan membentuk opini publik. Apalagi
saat itu ada 200 lebih penerbitan mahasiswa yang jika
dimanfaatkan dengan baik tentu menjadi sebuah potensi
yang luar biasa.
Bisa dikatakan bahwa berdirinya PPMI ini menandai
kebangkitan pers mahasiswa untuk menyoal negara
lagi pasca NKK/BKK. Persoalan menyoal negara ini
datang melalui respon yang berbeda dan tidak hanya
mengandalkan penerbitan-penerbitan saja. Ini yang
membedakan peran pers mahasiswa saat ini sudah
jauh berbeda dengan pers mahasiswa di era Orde Lama
maupun awal Orde Baru. Pers mahasiswa saat ini lebih
sibuk menjalani aktivitas-aktivis nonpenerbitan dengan
melakukan konsolidasi dengan pers mahasiswa di
berbagai daerah. M. Thoriq (1990) menyebut ini sebagai
konsekuensi dari gaya jurnalisme struktural yang
dipraktikan oleh pers mahasiswa.
Melihat semangat jurnalisme struktural ini, relevan
bagi kita untuk mengutip kembali apa yang pernah
disampaikan oleh Daniel Dhakidae. Dhakidae mengatakan
bahwa pers mahasiswa merupakan journal of opinion.
Asip Agus Hasani dalam Muridan (1999:85) bahkan
dengan nada satire mengatakan bahwa pers mahasiswa
menerapkan jurnalisme caci maki. Pers mahasiswa
menggunakan gaya jurnalisme yang meledak-ledak
dan resmi menjadi media gerakan dalam perlawanan
terhadap rezim Orde Baru. Objektifitas jurnalistik
diabaikan dengan lebih menitikberatkan pada keberanian
melakukan kritik-kritik sosial. Salah satu keberanian
misalnya muncul ketika pada 1993, tabloid mahasiswa
FISIP Unair Dialogue memberitakan dan bahkan
mendesak Gubernur Jawa Timur untuk mengundurkan
diri. Setelah majalah ini terbit, polisi menginterogasi
pengurusnya. Semua tabloid yang belum diedarkan disita
oleh aparat. Sedangkan rektor Unair saat itu mengatakan
akan mendisiplinkan mahasiswanya dengan tegas.

47
Komersialisasi Pendidikan

Represi dari negara baik secara langsung maupun


tidak langsung melalui pejabat kampus juga bisa dilihat
dari pembredelan yang menimpa Arena (UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta), Opini (FISIP Undip Semarang),
dan Vokal (IKIP PGRI Semarang). Aksi pembredelan
ini mendapatkan solidaritas dari pers mahasiswa di
beberapa daerah. Pada 26 Juni 1993 misalnya, Forum
Komunikasi Pers Mahasiswa Semarang (FKPMS)
menggelar aksi bertema Aksi Keprihatinan Pembredelan
Pers Mahasiswa dalam bentuk kemah keprihatinan
di lapangan basket Undip, sebagai wujud solidaritas
terhadap pembredelan Arena. Satrio Arismunandar
(2005:92) dan Muridan Widjojo (1999:83-84) mencatat
aksi ini diikuti perwakilan lembaga pers mahasiswa dari
sejumlah PTN dan PTS di Semarang. Ini merupakan aksi
solidaritas kelima sepanjang Juni 1993. Aksi menolak
pembredelan Tempo, Detik, dan Editor juga sempat
dilakukan ketika ketiga media itu dibredel oleh Orde Baru
pada 1994. Aksi ini merupakan aksi protes terpanjang
dalam sejarah pembredelan pers di Indonesia. Aksi-
aksi solidaritas ini terus menggelinding dan menjadi
ruang konsolidasi bagi aktivis-aktivis mahasiswa untuk
semakin meningkatkan perlawanan terhadap Orde Baru.
Selain melalui konsolidasi-konsolidasi lintas daerah,
perlawanan pers mahasiswa juga tetap dilakukan melalui
penerbitan. Perlawanan bahkan tidak hanya diarahkan
kepada kebijakan-kebijakan Orde Baru melainkan
terhadap rezim itu sendiri. Terutama mengenai
manipulasi yang dilakukan rezim dalam menggunakan
Pancasila untuk melegitimasi tindakannya. Balairung
dalam edisi 18/TH/VII/1993 yang mengadakan polling
mengenai Pancasila menulis:
56,78% responden setuju bahwa sekarang ini Pancasila
telah dikeramatkan untuk melegitimasi perilaku pihak-
pihak tertentu. Pola pengeramatan dan pemitosan
Pancasila bisa dilihat dari masih disosialisasikannya
rasa takut terhadap bahaya laten komunis, seperti
membedakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi warga

48
Wisnu Prasetyo Utomo

yang punya kaitan baik historis maupun genetis dengan


G 30 S/PKI yang membuat warga tersebut terisolir
dari masyarakat umum dan menyebabkan perbedaan
perlakuan di berbagai bidang kehidupan.

Majalah Himmah UII Yogyakarta pada tahun


1995 bahkan dengan berani menulis tentang suksesi
kepemimpinan nasional pada pemilu 1998. Persoalan
politik nasional mengenai hegemoni Soeharto dan
keluarga Cendana menjadi laporan khusus. Salah satu
tulisan dengan cukup provokatif bahkan diberi judul
Menanti Lahirnya Presiden Baru (Muridan Widjojo,
1999:99). Tulisan ini menyoroti bahwa suksesi
kepemimpinan adalah hal yang wajar di negara demokrasi.
Diskusi mengenai suksesi kepemimpinan juga akan lebih
sehat karena masyarakat bisa menentukan sendiri arah
bangsa ke depan mau dibawa ke mana. Sebagaimana
disebutkan oleh David Hill (2011:143), penerbitan pers
mahasiswa telah menjadi penerbitan bawah tanah yang
menjadi alternatif. Pers mahasiswa menyuplai informasi-
informasi yang berharga bagi kaum oposisi. Informasi
yang tidak akan mungkin didapatkan di pers umum.
Puncak perlawanan pers mahasiswa tentu bisa
dilihat menjelang kejatuhan Soeharto pada Mei 1998.
Pada masa genting ini, terbitan pers mahasiswa yang
sifatnya temporer dan berbentuk newsletter dengan
periode terbit yang lebih cepat seperti Bergerak! UI
Jakarta, Gugat UGM Yogyakarta, dan Suga Alternatif dan
Cangkruk Retorika Unair Surabaya, Kobar Kobari UII
Yogyakarta, dan Mini Ekspresi IKIP Yogyakarta. Gugat,
misalnya, terbit untuk menampung ketidakpuasan para
aktivis mahasiswa tentang pemuatan media massa
umum (mengenai aksi menuntut reformasi) yang dinilai
sangat singkat atau kecil porsinya (Harian Kompas, 3
Mei 1998). Pada posisi ini, pers mahasiswa memang
sudah memosisikan diri sebagai media yang berpihak.
Secara lebih spesifik, keberpihakan diarahkan kepada
gerakan mahasiswa dalam melawan rezim Orde Baru.
49
Komersialisasi Pendidikan

Menurut Satrio Arismunandar (2005:30), setidaknya ada


tiga peran pers mahasiswa dalam gerakan mahasiswa
menentang Soeharto ini.
Ketiga hal tersebut yaitu: Pertama, peran pemberi
informasi, sosialiasi, dan edukator. Di sini hubungan
saling memengaruhi antara pers mahasiswa dan gerakan
mahasiswa relatif dalam posisi setara, namun hubungan
antara keduanya kurang akrab, agak berjarak, datar,
dan lebih formal. Kedua, peran inspirator, motivator,
provokator, dan korektor. Di sini hubungan saling-
pengaruh antara pers mahasiswa dan gerakan mahasiswa
relatif tidak setara. Pers mahasiswa memengaruhi
gerakan mahasiswa dengan kadar yang cukup kuat dan
jauh lebih kuat pengaruhnya dari penerbitan pers umum.
Ketiga, peran mediator, wahana debat dan diskusi dan
integrasi. Di sini hubungan saling-pengaruh antara pers
mahasiswa dan gerakan mahasiswa relatif berbeda
dengan peran pertama dan kedua. Hubungan pada titik
ini jauh lebih akrab dan informal.
Peran pers mahasiswa sebagai penyedia informasi
semakin masif menjelang hari-hari terakhir kejatuhan
Soeharto. Gugat misalnya, menampilkan liputan-liputan
demonstrasi di Yogyakarta. Di terbitan ini pula pertama
kali dimuat aksi demonstrasi pembakaran foto Soeharto.
Puncaknya, 21 Mei 1998, Soeharto resmi mengundurkan
diri. Pada titik ini pers mahasiswa bisa dikatakan telah
menunaikan tugasnya. Penguasa despotik telah runtuh.
Mingguan Time menyebut pers mahasiswa sebagai
pendukung yang tidak terduga bagi gerakan-gerakan
prodemokrasi. Pers mahasiswa menjadi aktor behind the
scenes. Tidak banyak yang menyadari bahwa keruntuhan
Orde Baru ini menjadi titik balik pers mahasiswa di
Indonesia.

50
Pers Mahasiswa Pasca 1998

Quo Vadis Pers Mahasiswa?


Perubahan cuaca politik yang memberikan kebebasan
pers memaksa pers mahasiswa untuk menjawab
pertanyaan mendasar yang sungguh mengganggu: quo vadis
pers mahasiswa? Pertanyaan yang seolah juga menjadi
beban sejarah bagi pers mahasiswa. Irfan Afifi (2006:10)
mengakui hal ini. Menurutnya, pers mahasiswa selama ini
masih dihinggapi mitos-mitos romantisnya. Sebab, pers
mahasiswa selalu dianggap sebagai pionir dalam peristiwa-
peristiwa penting dalam kronik sejarah Indonesia modern.
Mitos-mitos tersebut semakin menjadi beban berat
karena perbandingan dengan kondisi kekinian akan
memperlihatkan situasi yang berbeda secara drastis. Bisa
dilihat pada kondisi pers mahasiswa pasca 1998. Sudah
kesusahan menerbitkan media, ditinggalkan pembaca, pers
mahasiswa juga dihadapkan pada kesulitan mengangkat
berita-berita kondisi politik aktual yang sudah diambil alih
oleh pers umum.
Tidak hanya itu, organisasi pers mahasiswa tingkat
nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI)
yang sebelumnya menjadi penghubung antar aktivis pers
mahasiswa, kini eksistensinya pun kembang kempis.
Pers mahasiswa kemudian teralienasi, tak aktual, bahkan
tak diakui atau dibutuhkan komunitasnya. Era transisi
demokrasi ini ditandai dengan disorientasi yang melanda
pers mahasiswa secara keseluruhan, dan fragmentasi di
tingkat nasional organisasi pers mahasiswa. Eka Suryana

51
Komersialisasi Pendidikan

Saputra (2009:197) mengatakan bahwa kebebasan pers


yang melaju bersama arus demokratisasi telah membuat
pers mahasiswa kehilangan kesadaran eksistensial yang
selama ini menjadi landasan bergerak pers mahasiswa.
Seperti yang ia ungkapkan,

Peran kritis pers mahasiswa mengalami mistifikasi


narsisme tanpa pernah kita tahu mengapa, bagaimana,
dan untuk apa. Kata-kata kritis mengalami korupsi
makna. Sehingga kita (pers mahasiswa) membutuhkan
sebuah ruang jeda yang bebas dari desakan kepentingan,
membendung arus deras informasi, serta menyediakan
momen-momen untuk mengundurkan waktu ke hari esok
apa yang tidak kita peroleh hari ini.

Untuk menjawab pertanyaan yang menggalaukan


tersebut, pers mahasiswa memberikan responnya. Salah
satunya adalah Balairung yang menginisiasi pertemuan pers
mahasiswa dalam acara Saresehan Pers Mahasiswa se-Jawa-
Bali pada 2 November 1998. Acara yang mengambil tema
Mencari Ruang di Era Keterbukaan ini mencoba membaca
sejarah pers mahasiswa, situasi politik nasional, serta posisi
alternatif yang bisa ditempati oleh pers mahasiswa dalam
era transisi demokrasi.
Ada dua tawaran ide yang muncul dalam sarasehan ini.
Pertama, kembali menghidupi kampus dengan community
press (pers komunitas). Selama periode NKK/BKK dan
menjelang kejatuhan Soeharto, pers mahasiswa lebih sibuk
menggarap isu-isu yang sifatnya politik nasional. Orientasi
pemberitaannya begitu state centric. Bhayu Mahendra
dalam tulisannya Pers Mahasiswa Era Reformasi (1999:90-
92), mengatakan bahwa orientasi state centric ini terlihat
jelas menjelang reformasi 1998. Orientasi yang setidaknya
ditunjukkan dalam dua hal.
Pertama, pers mahasiswa menjadi pendukung gerakan
kemahasiswaan secara keseluruhan di masing-masing
kampus. Apalagi, muncul kesadaran untuk berperan
dalam proses sejarah di Indonesia. Akhirnya muncul sikap

52
Wisnu Prasetyo Utomo

untuk mengambil pola rangkap predikat, sebagai aktivis


pers mahasiswa sekaligus sebagai penggerak aksi-aksi
mahasiswa melawan Orde Baru. Pers mahasiswa juga
menjadi organisasi yang mengorganisir jaringan aktivis
mahasiswa antar kampus.
Kedua, pers mahasiswa menjadi media yang dipakai
untuk menyalurkan ide gerakan kemahasiswaan secara
intelektual. Perlawanan yang dilakukan oleh gerakan
mahasiswa kepada rezim tidak hanya ditunjukkan dengan
demonstrasi tetapi juga merupakan perlawanan gagasan.
Ide-ide progresif mahasiswa dan intelektual banyak
didiskusikan di dalam pers mahasiswa. Ruang untuk
mendiskusikan problem-problem bangsa ini menjadi relatif
terbuka karena polarisasi ideologi dan kepentingan dalam
tubuh pers mahasiswa berjalan dengan lebih dinamis.
Berbeda dengan organisasi kemahasiswaan lain yang sudah
bersifat partisan dan monolitik karena hanya dikuasai satu
golongan saja.
Fokus perhatian kepada negara yang demikian besar
membuat pers mahasiswa melupakan komunitasnya
sendiri, secara khusus mahasiswa dan secara umum civitas
academica. Berita-berita mengenai berbagai problem
kemahasiswaan tidak menjadi perhatian utama. Secara
terang-terangan bahkan menjadi isu pinggiran. Karena itu
ketika situasi berubah total karena sudah terjadi regenerasi
kepemimpinan negara, pilihan menjadi pers komunitas
adalah pilihan rasional untuk dilakukan. Mengutip istilah
Bhayu, zaman tidak normal sudah berangsur-angsur
pulih menuju zaman normal. Pers mahasiswa mesti
kembali ke kampus untuk merefleksikan apa yang terjadi
di komunitasnya, dunia kemahasiswaan. Didik Supriyanto
(1998) juga mengatakan hal yang sama bahwa pers
mahasiswa harus kembali kepada komunitas pembacanya,
yakni melayani kebutuhan lalu lintas informasi di
kampusnya masing-masing.
Ide kedua yang muncul dari saresehan tersebut adalah,
pers mahasiswa makin serius sebagai press of discourse (pers

53
Komersialisasi Pendidikan

wacana) yang menempatkan paradigma jurnalisme wacana


sebagai acuan. Dengan kerangka ini, ulasan tema dalam pers
mahasiswa diperlakukan sebagai wacana: sesuatu yang
diusung, dibantah, dipertandingkan, diperbarui, kemudian
disodorkan pada pembaca untuk kembali mendapat kritik,
sanggah, atau sekadar tanggapan. Seperti dituturkan oleh
Tarli Nugroho (2003: 136-137);

Jika selama ini tekanan akan identitas pers mahasiswa


adalah pada kata pers, maka sekarang sudah saatnya
kita mengubah paradigma. Sudah sepatutnya mahasiswa
sebagai entitas intelektual tak lagi melulu bergelut
dengan jurnalisme an sich. Melainkan mencoba menggali
pemikiran/kajian yang lebih serius.

Lebih jauh, Tarli hendak mengatakan bahwa pilihan


untuk menjadi pers wacana juga strategis dalam mewadahi
pemikiran-pemikiran kritis mahasiswa. Ia menjadi tantangan
bagi mahasiswa untuk mengasah kematangan dalam
menulis, mengasah nalar, dan intelektualitas. Sederhananya
pilihan ini ingin mengatakan bahwa mahasiswa sudah
cukup menunjukkan peran politiknya saat menumbangkan
Soeharto, kini waktunya menunjukkan peran intelektualnya
untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Pilihan tersebut juga diambil karena keprihatinan
melihat mahasiswa Indonesia yang lebih banyak
menjalani aktivitas politiknya, alih-alih menjadi agen
ilmu pengetahuan. Hasan Bachtiar (2001:177) dengan
sinis mengatakan bahwa masyarakat Indonesia tengah
mengalami kemiskinan intelektual. Mahasiswa sebagai
sedikit dari elemen masyarakat yang mampu mengecap
ilmu pengetahuan di universitas memiliki andil yang cukup
banyak dalam kemiskinan tersebut.
Kritik kepada mahasiswa ini juga diberikan oleh
Daoed Joesoef (2011:308). Mantan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan yang menerapkan kebijakan NKK/BKK
ini mengatakan bahwa mahasiswa Indonesia masih berada
pada tahap intelektual konsumen. Intelektual konsumen

54
Wisnu Prasetyo Utomo

adalah sosok yang baru berada pada taraf belajar untuk


bisa menjadi produktif dan otoritatif untuk menjelaskan
ilmu pengetahuan. Seperti diungkapkan Joesoef, intelektual
konsumen adalah lapisan terbawah dari tiga tahapan
intelektual. Tahapan di atasnya adalah intelektual
reproduktif. Intelektual pada tahap ini berada pada posisi
untuk menginterpretasi dan melakukan transmisi karya-
karya ilmu pengetahuan yang mapan. Sementara di tahap
paling tinggi adalah intelektual produktif. Intelektual ini
merupakan sosok yang sudah jadi bagi ilmu pengetahuan.
Ia sudah menghasilkan karya-karya yang ilmiah sekaligus
praktis. Karya-karya yang otoritatif. Pada titik ini, mahasiswa
yang kadar intelektualitasnya masih rapuh bisa dengan
mudah akan terpengaruh intelektual produktif. Ironisnya,
para intelektual produktif ini adalahmeminjam istilah
Julien Benda (1999)para pengkhianat-pengkhianat yang
telah menggadaikan ilmu pengetahuan untuk tujuan politik.
Mengikuti kritik Daoed Joesoef ini, pilihan menjadi
press of discourse menjadi alternatif cara supaya mahasiswa
Indonesia tidak melulu terjebak pada persoalan politik
praktis. Selain menyuburkan ide-ide dengan dialektika, press
of discourse juga menjadi intelectual exercise bagi mahasiswa
untuk berpikir detail serta tidak memisahkan antara
teori dengan praktik. Selain ide reorientasi yang muncul
dalam sarasehan tersebut, beberapa pers mahasiswa juga
memiliki respon masing-masing. Balairung (1998:32-34)
mencatatnya. Di Yogyakarta misalnya. Majalah Himmah (UII)
menggunakan cara pandang baru dalam mendekati sebuah
tema yang akan diangkat menjadi berita. Menolak untuk
terjebak pada persoalan-persoalan elitis, mereka lebih
banyak memberikan perhatian kepada permasalahan yang
berada di kalangan akar rumput. Kalau sebelumnya fokus
diberikan kepada persoalan ekonomi politik, titik perhatian
kemudian kemudian diarahkan pada isu-isu kebudayaan.
Majalah Ekspresi (UNY) hampir senada. Dalam laporannya
banyak bertabur kata-kata asing, kutipan-kutipan asing, dan
bahasa-bahasa filsafati. Majalah Arena (UIN Sunan Kalijaga)

55
Komersialisasi Pendidikan

juga menyikapi era keterbukaan dengan cara lain. Majalah


ini mencoba menggunakan investigative reporting untuk
menyajikan tema-tema tertentu yang diangkat.
Senada dengan Arena, tabloid Catatan Kaki (Unhas
Makassar) pun menawarkan jurnalisme investigasi sebagai
tawaran konsep baru. Seperti yang dituturkan salah satu
pegiat Catatan Kaki, Dedy Ahmad Hermansyah (2009:4),
jurnalisme investigasi menyaratkan penulisan analisis serta
ulasan mendalam pada pemberitaannya. Konsep ini dibuat
karena kondisi politik yang perlahan berubah.
Setelah tumbangnya Orde Baru 1998, lembaga pers
sudah mulai berani memberitakan hal-hal yang selama
ini dianggap berbahaya jika ditulis. Maka, Catatan Kaki
mencoba konsep baru dalam jurnalismenya. Akan tetapi,
unsur advokasi selalu diikutsertakan sebagai komitmen anti
penindasan. Untuk itulah, cara memperlakukan data dan
fakta dalam penulisan jurnalisme pers mahasiswa adalah
pilihan ideologis sebagai upaya memberikan informasi
yang sering ditutup-tutupi pers umum sebagai konsekuensi
ketatnya sensor yang dijalankan pemerintah. Catatan Kaki
menuliskan laporan berita dengan memberikan unsur
propaganda di dalamnya.
Menurut Bachtiar (2006:13-14), berbagai pilihan
yang coba diambil oleh pers mahasiswa sebagai bentuk
reposisi ini terjadi karena perbedaan pemaknaan mengenai
pers mahasiswa. Setidaknya terdapat empat pemaknaan
terhadap pers mahasiswa. Pertama, pers mahasiswa
dianggap sebagai komoditas. Sebagai komoditas, mahasiswa
menganggap bahwa mulanya apa yang harus dihasilkan
oleh pers mahasiswa adalah produknya terlebih dahulu.
Dengan asumsi semacam itu, semua aktivitas di dalam pers
mahasiswa diarahkan untuk menghasilkan produk yang
diharapkan laku di pasaran. Eksistensi pers mahasiswa
diukur dari seberapa jauh produk yang mereka hasilkan
mampu berpengaruh atau meraih sukses di pasaran. Kedua,
pers mahasiswa sebagai organisasi. Mereka yang memaknai
pers mahasiswa sebagai organisasi adalah kelompok

56
Wisnu Prasetyo Utomo

yang mementingkan kinerja dengan standar operasional,


hierarki, dan otoritas yang sudah ditentukan sebelumnya.
Rasio formal-prosedural menjadi ciri utama.
Ketiga, pers mahasiswa dimaknai sebagai komunitas.
Mahasiswa yang menggunakan pemaknaan ini adalah
kelompok yang menggunakan pers mahasiswa sebagai
medium untuk bersosialisasi, mencari peer-group, dan
mendapatkan hubungan yang lebih bersifat psikologis
karena mementingkan kenyamanan personal. Praktik
kolektivisme dan komunalisme menjadi basis utama
kelompok mahasiswa yang berada pada pemaknaan ini.
Keempat adalah mahasiswa yang memaknai pers mahasiswa
sebagai alat perjuangan. Kelompok ini adalah faksi yang
paling ideologis jika dibandingkan dengan tiga kelompok
pertama. Mereka menjadikan pers mahasiswa sebagai alat
perjuangan untuk memperjuangkan keyakinan yang mereka
miliki. Inilah kelompok yang mengklaim bahwa aktivitas di
pers mahasiswa adalah sebuah perjuangan politik. Pers
mahasiswa mereka maknai sebagai alat perjuangan yang
memiliki beban sejarah.
Semangat aktivisme tersebut juga muncul sebagai
konsekuensi logis dari status Indonesia yang masih menjadi
under-developed countries. Seperti diungkapkan Nugroho
Notosusanto dalam Amir Effendi Siregar (1983:2), kondisi
di negeri ini berbeda dengan kondisi di negara maju. Di sana
pers mahasiswa murni menjadi community paper yang tidak
perlu mengurusi persoalan-persoalan kemasyarakatan
dan bangsa. Sedangkan mahasiswa di Indonesia sebagai
kaum intelegensia sejak masih menuntut ilmu sudah
dituntut sumbangan pikiran, kepandaian, pengetahuan
dan pertimbangannya. Sumbangsih pemikiran lantas
dimanifestasikan dalam tulisan-tulisan yang diedarkan
tidak hanya kepada komunitas civitas academica tetapi juga
masyarakat secara umum. Aktivisme yang juga berkelindan
dengan kehendak masa muda yang masih menyala-nyala.

57
Komersialisasi Pendidikan

PPMI Pecah
PPMI, induk pers mahasiswa se-Indonesia ini mengalami
perpecahan yang kemudian menimbulkan polarisasi pers
mahasiswa. Perpecahan yang mengingatkan kita pada
organisasi pers mahasiswa tingkat nasional tahun 1950-an
seperti IWMI (Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia) dan
SPMI (Serikat Pers Mahasiswa Indonesia). Persoalannya,
perpecahan ini tidak berujung pada hal yang sifatnya
produktif. Perpecahan yang menghapuskan niatan awal
mula keberadaannya.
PPMI didirikan dalam pertemuan di Universitas
Brawijaya Malang pada bulan Oktober 1992 yang diikuti
72 peserta dari 28 perguruan tinggi di seluruh Indonesia
menyepakati berdirinya PPMI. Sementara kongres per-
tamanya diadakan satu tahun kemudian. Kelahiran PPMI
bertujuan memperkuat bargaining position pers mahasiswa
secara internal dan eksternal. Di level internal akan dibuat
kurikulum diklat jurnalistik dan kode etik pers mahasiswa.
Sementara pada konteks eksternal, memperkuat posisi
tawar menawar dengan penguasa, baik itu birokrat kampus
maupun pemerintah. Maksudnya adalah memengaruhi
jalannya pembuatan kebijakan dengan membentuk opini
publik. Apalagi saat itu ada 200 lebih penerbitan mahasiswa
yang jika dimanfaatkan dengan baik tentu menjadi sebuah
potensi yang luar biasa.
Bisa dikatakan bahwa berdirinya PPMI ini menandai
kebangkitan pers mahasiswa untuk menyoal negara lagi
pasca NKK/BKK. Persoalan menyoal negara ini datang
melalui respon yang berbeda dan tidak hanya mengandalkan
penerbitan-penerbitan saja. Ini yang membedakan peran
pers mahasiswa saat ini sudah jauh berbeda dengan pers
mahasiswa di era Orde Lama maupun awal Orde Baru. Pers
mahasiswa era ini lebih sibuk menjalani aktivitas-aktivitas
nonpenerbitan dengan melakukan konsolidasi dengan pers
mahasiswa di berbagai daerah. M. Thoriq (1990) menyebut
ini sebagai konsekuensi dari gaya jurnalisme struktural

58
Wisnu Prasetyo Utomo

yang dipraktikan oleh pers mahasiswa.5 Aktivitas dengan


pola jurnalisme struktural ini berlanjut sampai tahun-tahun
menjelang kejatuhan Soeharto. PPMI menjadi lembaga
advokasi yang membela pers mahasiswa yang mendapatkan
ancaman pembredelan dan represi politik baik dari negara
maupun pimpinan kampus. Namun ternyata, kejatuhan
rezim Soeharto pada 1998 justru menjadi arus balik
bagi eksistensi PPMI. Hal ini bisa dilihat pada Kongres V
yang diadakan di Mataram, Lombok, 24-29 Mei 2000. Ini
adalah kongres pertama yang diadakan pascareformasi.
Sebenarnya, sempat diadakan kongres pada akhir 1998.
Namun, kongres ini merupakan Kongres Luar Biasa untuk
membahas mundurnya Sekretaris Jenderal PPMI yang baru
satu tahun menjabat.6
Luqman Hakim Arifin (2000:83-86) mengatakan bahwa
organisasi pers mahasiswa ini telah menjadi semu. Banyak
kelemahan yang tidak bisa diperbaiki dan hanya semakin
membuat organisasi ini kehilangan jati dirinya. Seperti
yang disebutkan Luqman, ada tiga kelemahan yang dimiliki
oleh PPMI ketika itu. Pertama, mekanisme kerja yang tidak
memiliki kejelasan mengenai fungsi koordinasi, instruksi,
dan sanksi. Manajemen kerja yang buruk ini membuat PPMI
gagap mengatasi berbagai persoalan yang melanda pers
mahasiwa se-Indonesia. Seperti ada tapi tak ada. Organisasi
ini juga tidak mampu memberikan kontribusi nyata bagi
pers mahasiswa. Malah muncul anggapan bahwa organisasi
ini hanya menjadi ajang temu kangen pengurusnya. Kedua,
minimnya dana dan sarana. PPMI sebagai organisasi tingkat
nasional ternyata tidak memiliki kantor pusat yang jelas dan
5 Thoriq menyebutkan bahwa konsep jurnalisme struktural adalah ide yang
diambil dari konsep Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Mengambil konsep
LBH, jurnalisme struktural berarti aktivitas pers mahasiswa tidak sekadar
menerbitkan majalah atau koran an sich. Tetapi lebih dari itu, semua aktivitas
yang berhulu pada usaha untuk merealisasikan idealisme mahasiswa bisa
dianggap aktivitas pers mahasiswa.
6 Kongres Luar Biasa ini diadakan di Jombang, Jawa Timur. Penyebab utama KLB
ini adalah mundurnya Sekjen PPMI yang baru saja terpilih setahun sebelumnya
di kongres keempat yang diadakan di Surabaya. Untuk lebih lengkap mengenai
kronik pers mahasiswa di Indonesia ini baca Fathoni, Mohammad. 2012.
Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia. Depok: Komodo Books

59
Komersialisasi Pendidikan

permanen. Kerja-kerja keorganisasian dilakukan berpindah-


pindah di beberapa daerah. Ini tentu membutuhkan biaya
besar dan sangat merepotkan. Ketiga, kualitas sumber daya
manusia PPMI dan sistem keanggotaannya terlalu lemah.
Kondisi tersebut membuat anggota PPMI di kongres
terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah
mereka yang masih menginginkan organisasi ini bertahan
seperti format lama dengan beberapa penyesuaian kerja.
Sebagian besar pers mahasiswa dari Jawa Timur keukeuh
dengan format ini. Dan kelompok kedua adalah mereka yang
memiliki ide bahwa format organisasi sudah tidak layak.
Kelompok ini sebagian besar berasal dari Jawa Tengah,
Yogyakarta, dan Bali. Beberapa pers mahasiswa yang berada
dalam kelompok ini antara lain Balairung, Bulaksumur,
Pijar (UGM), Investor (STIE Widya Wiwaha), Pendapa
(UST), Nuansa (UMY), dan Gema (STIPER). Kelompok
yang berpendapat bahwa format organisasi sudah tidak
layak ini mengusulkan bahwa lebih baik PPMI berubah
bentuk dengan memakai format forum komunikasi.7 Ide ini
didasari rasionalisasi bahwa situasi politik nasional sudah
berubah sehingga bentuk penyikapan pers mahasiswa
tingkat nasional seharusnya juga berubah. Tidak perlu lagi
menggunakan bentuk organisasi.
Jalannya kongres kemudian menjadi panas. Seperti
yang dijelaskan Luqman Hakim Arifin (2000:83-86),
Perdebatan bertele-tele tentang pemahaman terhadap
makna organisasi dan forum pun tak terhindarkan.
Beberapa orang sangat khawatir dan bereaksi keras
seakan menuduh teman-teman Yogya berusaha meme-
cah, bahkan membubarkan PPMI. Dan setelah melalui
7 Berdasarkan daftar hadir, konggres ini diikuti oleh 127 orang dari 87 lembaga
pers mahasiswa dari berbagai daerah. Perpecahan dalam kongres ini tidak bisa
terdamaikan karena yang terjadi sebenarnya adalah perubahan paradigmatik
yang membelah anggota PPMI secara diametral. Mereka yang bersepakat
mendukung FKPMI mayoritas berasal dari Yogyakarta, Jawa Tengah, Bali,
Sumatera, serta Sulawesi. Sementara yang keukeuh mempertahankan PPMI
konsep lama sebagian besar berasal dari pers mahasiswa di Jawa Timur. Tentang
kronologi kongres dan perpecahan ini penulis dapatkan dari Dokumen Internal
Balairung berjudul Sekelumit Cerita dari Lombok dan PPMI (2000)

60
Wisnu Prasetyo Utomo

perdebatan panjang-lebar, yang sebenarnya lebih me-


nampakkan ketidakmampuan memetakan persoalan dan
menertibkan pikiran, akhirnya sidang di-pending.

Perbedaan pandangan kedua kelompok ini ternyata


justru semakin mengeras dan tidak menemukan titik temu.
PPMI akhirnya terpecah. Mereka yang tidak sepakat dengan
ide PPMI sebagai wadah tunggal memilih mendirikan Forum
Komunikasi Pers Mahasiswa Indonesia (FKPMI). FKPMI ini
bersifat sukarela, cair, dan tidak mengikat. Perpecahan ini
sendiri bisa dimaklumi ketika melihat sebelumnya juga
sudah banyak organisasi pers mahasiswa yang berbasis
regional. Di Jakarta, terbentuk Forum Komunikasi Pers
Mahasiswa Jabodetabek (FKPMJ), di Bandung terbentuk
Forum Pers Mahasiswa Bandung (FPMB), di Surakarta
terbentuk Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Surakarta
(FKPMS), di Yogyakarta terbentuk Perhimpunan Pers
Mahasiswa Yogyakarta (PPMY) yang selanjutnya menjadi
Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Yogyakarta (Formayo),
di Makassar muncul Perhimpunan Pers Mahasiswa Makassar
(PPMM), di Medan muncul Aliansi Pers Mahasiswa (APM).
Polarisasi ini pada tahap selanjutnya bisa dikatakan
tidak memberikan dampak apa-apa bagi perkembangan pers
mahasiswa di Indonesia, yang muncul justru ketegangan
antara anggota PPMI dan FKPMI. Sementara PPMI masih
gagal mereformasi dirinya, FKPMI pun sama saja. Forum
ini gagal meletakkan fondasi yang kokoh dalam mewadahi
komunikasi antar pers mahasiswa. Buktinya bisa dilihat
dari ketiadaan regenerasi di forum ini. Maka tak heran jika
forum ini tidak berlangsung lama. Timbul tenggelam seperti
dinamika pers mahasiswa.
Pada pertengahan tahun 2009 misalnya, Balairung
mengadakan sarasehan pers mahasiswa tingkat nasional
bertajuk Cagar Alam Kebebasan Akademik. Sarasehan
yang digelar di Kaliurang, Yogyakarta ini menyepakati
terbentuknya kembali FKPMI. Seperti diungkapkan Pe-
mimpin Umum Arena, Erick Tanjung, forum ini bisa

61
Komersialisasi Pendidikan

menjembatani komunikasi antara pers mahasiswa yang


tergabung dengan PPMI dan yang tidak. Kemunculan
kembali FKPMI ini dilandasi kritik atas ketegangan pers
mahasiswa dalam menentukan pilihan untuk bergabung
atau tidak dalam PPMI. Forum ini bertujuan sebagai media
komunikasi antar pers mahasiswa tanpa ikatan struktural.
Jalinanannya diharapkan bisa lebih cair, tanpa menegasikan
antara jajaran pers mahasiswa anggota PPMI maupun non-
PPMI.8
Selanjutnya, forum ini semakin ditegaskan pada
pertemuan Pekan Nasional Pers Mahasiswa yang diadakan
Catatan Kaki Unhas Makassar pada akhir 2009. Perdebatan
antara FKPMI dan PPMI sempat mengemuka kembali. Arman
Dhani mengatakan bahwa forum-forum seperti FKPMI
banyak bermunculan tetapi tidak pernah ada tindak lanjut
yang jelas. Forum baru justru bisa saling menghancurkan
hubungan antar pers mahasiswa.9 Pada akhirnya, pertemuan
ini memang menyepakati FKPMI sebagai ruang bersama
pers mahasiswa seluruh Indonesia. Sayangnya, hasil
pertemuan-pertemuan tersebut tidak bisa dijalani dengan
konsisten. Sampai saat penelitian ini dilakukan, tidak ada
organisasi yang bisa dianggap representatif mewakili pers
mahasiswa di tingkat nasional.

Hambatan Klise
Selain persoalan disorientasi dan pecahnya organisasi
induk di tingkat nasional, pers mahasiswa pasca Orde Baru
juga dihadapkan pada beberapa persoalan yang menghantui
keberadaannya. Persoalan yang bisa dikatakan klise karena
menjadi identik dalam eksistensi pers mahasiswa. Di
antaranya adalah represi yang dilakukan oleh birokrasi
kampus, hambatan dana, periodisasi terbit yang tidak rutin,
dan kaderisasi organisasi.
8 Forum Komunikasi untuk Pers Mahasiswa dalam Balkon edisi 123, 15 Juni 2009
halaman 5
9 Menggagas Jalan Baru Pers Mahasiswa dalam Balkon edisi spesial 2010
halaman 78-81

62
Wisnu Prasetyo Utomo

Mengenai represi oleh birokrasi kampus, hal ini


menjadi konsekuensi dari keadaan yang memaksa untuk
back to campus. Objek pemberitaan pers mahasiswa kini
secara vertikal adalah pejabat di lingkungan kampus, dan
horizontal adalah mahasiswa sendiri. Secara otomatis,
konflik akan tercipta jika ada objek pemberitaan yang
merasa terganggu. Ancaman berupa kekerasan fisik,
pembredelan, bahkan sampai sanksi akademik menjadi
sesuatu yang wajar diterima oleh aktivis pers mahasiswa.
Bulan Juni tahun 2000 di Medan, Suara USU sempat
dibredel oleh rektoratnya sendiri. Pembredelan ini terjadi
karena berita-berita yang ditampilkan oleh Suara USU
telah menyebabkan keberatan rektor dan para guru besar.
Berita yang menyebabkan keberatan ini adalah berita-
berita kritis seputar kampus. Pembredelan dilakukan
dengan menghentikan aliran dana kepada Suara USU.
Padahal, dana dari rektorat begitu penting karena praktis
itu adalah sumber utama untuk produksi. Apalagi, mencari
iklan untuk pers mahasiswa saat itu masih susah. Tidak
hanya itu, rektorat USU juga mengancam akan menerbitkan
media baru yang menggantikan Suara USU. Sebagai catatan,
Suara USU diizinkan untuk terbit kembali asalkan rektorat
memiliki hak untuk menyunting berita-berita sebelum
diterbitkan.10
Di Makassar, Catatan Kaki bahkan dilaporkan oleh
petinggi kampus ke kepolisian. Catatan Kaki dianggap telah
melakukan fitnah dan mencemarkan nama baik si petinggi
dalam berita Unhas Penuh KKN, Rektorat Pusatnya yang
terbit pada 11 September 2001. Tidak cukup dengan
pelaporan ini, Catatan Kaki juga dituduh sebagai media
yang mengabarkan berita bohong dan aktivisnya adalah
antek-antek PKI.11 Di Semarang, Hayam Wuruk (Undip)
pernah mendapatkan ancaman serupa. Dalam salah satu
10 Suara USU. 2000. Pembreidelan Tabloid Mahasiswa Suara USU terarsip dalam
http://groups.yahoo.com/group/kampusonline/message/346 diakses 18 Juni
2012
11 Suardi, Sulviyani.2001. Catatan Kaki diadukan ke Polisi terarsip dalam http://
groups.yahoo.com/group/kampusonline/message/1093 diakses 18 Juni 2012

63
Komersialisasi Pendidikan

beritanya pada tahun 2002, mereka mengangkat isu korupsi


di koperasi mahasiswa Undip. Hasilnya, menggemparkan.
Hayam Wuruk berhasil menemukan skandal pengurus
yang menggelapkan dana organisasi. Setelah berita itu
keluar, kantor redaksi mereka didatangi sejumlah preman.
Beberapa hari kemudian bahkan muncul surat somasi yang
berisi gugatan atas pemberitaan tersebut. Tidak main-main,
Hayam Wuruk digugat sebesar seratus juta rupiah!12 Situasi
seperti contoh-contoh tersebut dialami kebanyakan pers
mahasiswa.
Problem selanjutnya yang menghambat adalah kaderi-
sasi organisasi yang tidak berjalan lancar. Sistem pendidikan
tanah air yang menuntut mahasiswa untuk lulus cepat bisa
menjadi kambing hitam utama. Jika sebelum tahun 1990-
an masih banyak mahasiswa yang aktif lebih dari lima
tahun di pers mahasiswa, kondisi pasca 1998 berubah.
Masa kepengurusan pers mahasiswa berkisar di sekitar 3-4
tahun. Regenerasi yang semakin cepat ini membuat pers
mahasiswa tidak bisa banyak berkembang. Pengurus hanya
memiliki sedikit waktu untuk mengenal organisasinya
dan belajar praktik jurnalistik. Setelah mencapai tahap
kematangan tertentu, ia harus lengser karena dibatasi
waktu. Begitu seterusnya. Sehingga pers mahasiswa tidak
pernah benar-benar berada dalam keadaan yang stabil.
Dengan tantangan zaman yang berbeda-beda sementara
regenerasi kadang terhambat, guncangan bisa saja menjadi
semakin keras.
Misalnya saja seperti yang terjadi di Gelora Sriwijaya
Universitas Sriwijaya. Nova Lianti (2009:113) menyebutkan
bahwa persoalan manajerial yang menonjol adalah sulitnya
memperoleh kader-kader yang berkualitas. Pada awalnya,
ketika penerimaan anggota baru, tersedia cukup banyak
mahasiswa yang mendaftar untuk menjadi anggota. Namun
seiring berjalannya waktu, tinggal segelintir orang saja dari
generasi baru ini yang mampu bertahan hingga puncak
12 LPM Hayam Wuruk.2005. Profil LMP Hayam Wuruk terarsip dalam http://
www.lpmhayamwuruk.org/2005/08/profil-lpm-hayamwuruk.html diakses 18 Juni
2012

64
Wisnu Prasetyo Utomo

karier. Nova mengatakan minimnya mahasiswa yang mampu


bertahan sampai akhir ini terjadi karena kebanyakan
mahasiswa Unsri sekarang begitu study oriented.
Hal senada terjadi di Teropong (UMSU). Pers mahasiswa
yang lahir pada tahun 2001 ini menghadapi krisis Sumber
Daya Manusia (SDM) setiap periode kepengurusan. Elfa
Suharti (2009:73) mengatakan bahwa mereka berkali-kali
kehilangan anggotanya yang mengundurkan diri karena
alasan kesibukan, diberhentikan karena tidak menjalankan
tugas, dan menghilang begitu saja tanpa penjelasan
kepada pengurus. Dalam satu pertemuan Pekan Nasional
Pers Mahasiswa di Makassar pada 2009, mayoritas pers
mahasiswa yang hadir juga mengeluhkan hal yang sama.13
Gagalnya kaderisasi ini secara langsung memberikan
pengaruh kepada periodisasi terbit yang tidak tepat
waktu. Jumlah pengurus yang ada tidak memadai untuk
mengerjakan berita-berita dalam waktu yang cepat.
Apalagi, problem ini masih ditambah dengan hambatan
keuangan yang menjadi masalah klasik. Rata-rata pers
mahasiswa masih mengandalkan subsidi dari rektorat
sebagai sumber dana utama. Pemasukan dari iklan relatif
kecil karena pemasang iklan lebih melirik pers umum
untuk mempromosikan produknya. Upaya untuk menjual
terbitannya sendiri pun pada akhirnya mentok karena
pembaca lebih memilih membeli media-media umum.
Patut dicatat, hal tersebut menjadi ciri yang menandai pers
mahasiswa era ini di mana terbitannya tidak lagi dijual,
melainkan dibagikan secara gratis. Hanya ada beberapa pers
mahasiswa yang masih menjual terbitannya meski profit
yang didapatkan tidak memiliki dampak yang signifikan.
Kompas dalam laporannya yang berjudul Pers Kampus
dan Bayang-Bayang Idealisme (2010:33) menyebutkan
bahwa pers mahasiswa sampai harus berjuang berdarah-
darah untuk melakukan apa saja demi melihat produknya
13 Utomo, Wisnu Prasetya. 2010. Jalan Baru Pers Mahasiswa terarsip dalam
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/07/03/115431/Jalan-
Baru-Pers-Mahasiswa diakses pada 18 Juni 2012

65
Komersialisasi Pendidikan

bisa terbit. Seperti diungkapkan Asdiansyah (2009:14-


15), contoh di Universitas Syiah Kuala Aceh bisa menjadi
gambaran kecil. Detak hanya mengandalkan pendanaan
dari rektorat. Pintu dana dari iklan belum terbuka. Ketika
dana dari rektorat seret, anggota Detak sampai bersepakat
untuk patungan agar produk mereka bisa terbit.
Berbagai persoalan yang disebut tadi menjadi tantangan
utama pers mahasiswa. Kondisi subjektif di internal pers
mahasiswa yang penuh masalah bertemu dengan kondisi
objektif lingkungan sosial politik yang menekan. Pers
mahasiswa yang tidak mampu beradaptasi pada akhirnya
bergerak tertatih-tatih. Sementara mereka yang mampu
menangkap tanda-tanda zaman mulai memanfaatkan
peluang yang ada. Migrasi ke dunia maya, adalah salah satu
peluang potensial yang dimiliki oleh pers mahasiswa untuk
terus mempertahankan kesadaran eksistensialnya.

Migrasi ke Dunia Maya


Pilihan back to campus pada dasarnya bahkan merupakan
conditio sine qua non. Dengan konteks sosial politik yang
menjadi latar belakangnya, pers mahasiswa memang tidak
memiliki alternatif lain selain back to campus. Tidak hanya
karena kebebasan pers telah membuat pers umum berani
bersuara keras, tetapi juga munculnya konglomerasi media
yang superpower dengan kekuatan modal yang besar.
Pilihan back to campus ini sebenarnya didukung
perkembangan zaman yanga telah membuka ruang
baru alternatif bagi pers mahasiswa. Didik Supriyanto
(2000), misalnya, menyarankan pers mahasiswa untuk
memanfaatkan media baru ini. Menurutnya, internet
menjadi pilihan strategis bagi aktivis pers mahasiswa untuk
memproduksi karya-karya jurnalistik. Sebab, selama ini
pers mahasiswa seringkali terhambat persoalan dana yang
membuat karya-karya jurnalistik mereka tidak mampu
diterbitkan. Melalui internet, karya jurnalistik ini bisa
semakin masif dibaca orang, tanpa memikirkan sekat-sekat

66
Wisnu Prasetyo Utomo

geografis. Berita yang dihasilkan bahkan bisa ditampilkan


sebanyak-banyaknya tanpa ada batasan jumlah halaman.
Dalam abad informasi seperti ini, peran tersebut
semakin penting untuk melawan apa yang disebut Ashadi
Siregar (2001:160) sebagai kooptasi dan komodifikasi
informasi yang dilakukan pers umum. Hermin Indah
Wahyuni (2000:212) menyebutkan bahwa pemilik modallah
yang saat ini menentukan konstruksi realitas melalui seleksi
informasi dalam media yang dimilikinya. Sedangkan Yasraf
Amir Piliang (2005) dengan lebih tegas mengatakan bahwa
proses ini telah menyebabkan apa yang ia sebut sebagai
kolonialisasi informasi dan pelipatan kesadaran manusia.
Sebagaimana yang ia ungkapkan:
Informasi yang pada awalnya adalah cara pengetahuan
tentang duniayang dikemas dan disampaikan di
dalam berbagai media sebagai bentuk representasi
kini mengingkari dunia yang direpresentasikannya, oleh
karena ia kini cenderung menjadi sebuah dunia otonom,
yang terlepas dari dunia yang direpresentasikannya.

Selanjutnya, informasi yang monolitik pelan-pelan akan


menghegemoni ruang publik. Hegemoni ini berlangsung
melalui serangkaian stimulus, retorika, bahkan juga
provokasi halus. Yasraf menjelaskan bahwa ketika pikiran
seseorang sudah masuk dalam jaringan pemaknaan nilai
atau gaya hidup yang terbentuk oleh komoditi informasi,
maka pikiran orang itu akan selamanya dikendalikan
oleh sistem tersebut. Mc Chesney (1998:27) sudah meng-
ingatkan bahwa rasionalitas modal yang mengambil alih
dan mendominasi fungsi, sistem kerja, dan orientasi
produk media akan menenggelamkan ruang publik sebagai
potensi demokratis media. Apa yang disampaikan Didik di
atas selanjutnya ditegaskan oleh Achmad Choiruddin dan
Lubabun Niam (2010:84-86). Kehadiran internet yang
semakin masif digunakan masyarakat adalah peluang
potensial bagi pers mahasiswa. Menurut mereka:
Kehadiran internet mengonstruksi dan lantas memenuhi

67
Komersialisasi Pendidikan

kebutuhan masyarakat informasi. Dalam konteks pasang-


surut penerbitan pers mahasiswa, media online tentu
dapat dimanfaatkan tak hanya sebagai media alternatif
(penghematan produksi cetak), tetapi juga pewartaan
gagasan-gagasan kontekstual secara masif.

Migrasi ke dunia maya ini adalah salah satu karakteristik


utama pers mahasiswa masa kini. Barangkali juga tidak
merupakan sebuah kebetulan jika jatuhnya rezim Orde
Baru salah satunya diakibatkan penggunaan internet ini.
David Hill dan Krishna Sen dalam bukunya Media, Budaya
dan Politik di Indonesia (2001:227) mengatakan begini:
Pada hari-hari terakhir, beberapa mahasiswa yang
menduduki gedung parlemen memakai komputer laptop
untuk mengirimkan berita secara online sementara
tentara dengan ketat menjaga di sekeliling mereka.

Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa migrasi ke


dunia maya adalah sebuah keniscayaan sejarah. Dengan
media yang peka zaman tersebut, pers mahasiswa bisa
kembali menemukan jati dirinya. Konsekuensi teknologi ini
menjadi keunggulan yang lebih jika mampu dimanfaatkan.
Happy Ary Satyani dengan mengutip Anton Muhajir (2011)
mengatakan bahwa internet ditandai dengan digitalisasi
(dari koran, radio, TV), model berita yang realtime (aktual,
breaking news), adanya interaksi dengan konsumen
(kontribusi, kontrol), reader driven (pembaca punya
kuasa karena banyak pilihan), dan kebiasaan membaca
sambil bergerak (mobile readership). Keunggulan-
keunggulan tersebut bisa membuka peluang bagi pers
mahasiswa untuk menguatkan civil society. Apalagi seperti
sempat disampaikan di atas, civil society di Indonesia
masih rapuh jika dihadapkan pada kekuasaan negara.
Sunarto (2000) menjelaskan bahwa pers mahasiswa
adalah ruang persemaian public sphere civil society. Ia
mengatakan, dengan kebebasan yang tetap melekat, pers

68
Wisnu Prasetyo Utomo

mahasiswa bisa secara optimal melakukan berbagai fungsi


sosiologis maupun ideologisnya. Apalagi pers mahasiswa
mempunyai peran penting dalam mensosialisasikan nilai-
nilai tertentu. Hal ini disadari oleh para aktivis pers mahasiswa.
Banyak lembaga pers mahasiswa yang kemudian
melakukan migrasi ke dunia maya. Balairung misalnya,
mengembangkan secara serius media online dengan
memberikan prioritas yang sama seperti dalam penggarapan
produk cetak. Pilihan Balairung ini ditegaskan dalam
musyawarah besar organisasi yang dilakukan pada 3-4
Juni 2000. Balairung memiliki laman www.balairungnews.
com. Laman ini digunakan untuk menyiarkan berita-
berita seputar kampus di UGM. Di tahun 2000, rata-rata
laman ini dikunjungi oleh 20 pengunjung dalam sehari.14
Selain itu, Balairung juga bekerjasama dengan portal
berita detik.com untuk membentuk jaringan internet
pers mahasiswa se-Indonesia. Untuk mempersiapkan
kerjasama ini, Balairung mengadakan seminar bertajuk
Cybermedia: Menuju Pers Kampus Online pada 24 Februari
2000. Seminar ini menyepakati laman yang akan digunakan
sebagai ruang bersama pers mahasiswa. Laman tersebut
beralamat di www.detik.com/kampus. Meskipun pada
akhirnya, seperti pengakuan Bachtiar (2000), laman ini
tidak dapat digunakan secara maksimal karena detikcom
tidak serius menggarapnya. Meskipun demikian, jaringan
pers mahasiswa di tingkat nasional melalui internet tidak
berarti mengendap begitu saja. Untuk mempersiapkan
laman tersebut, pers mahasiswa sempat membentuk
milis di alamat kampusonline@egroups.com. Milis ini
pada awalnya digunakan untuk sarana bertukar pikiran
berbagai persoalan yang dihadapi oleh pers mahasiswa.
14 Setelah itu, Balairung beberapa kali berganti alamat laman. Sejak tahun 2001,
mereka menggunakan laman www.balairung.org yang pada tahun 2005 berganti
lagi menjadi www.balairung.web.id. Pada 2008, alamat laman kembali diubah dan
ditetapkan menjadi www.balairungpress.com hingga kini.

69
Komersialisasi Pendidikan

Setelah itu, milis ini menjadi ajang pertukaran berita-


berita yang diliput oleh masing-masing pers mahasiswa.
Milis ini digunakan untuk menyuarakan dan mem-
beritakan kejadian yang terjadi di kampus masing-masing
pers mahasiswa. Seperti diungkapkan Sunarto (2000), ada
dua model yang digunakan dalam milis ini. Pertama, setiap
pers mahasiswa diberi ruang untuk menampilkan berita-
beritanya di milis kampus online. Syarat yang mesti dimiliki
oleh pers mahasiswa yang ingin menampilkan beritanya
di milis ini adalah melakukan update berita secara rutin.
Update berita dilakukan minimal selama seminggu sekali
karena waktu seminggu adalah batas psikologis kebosanan
pengunjung. Batas tersebut tentu harus diperhatikan jika
pers mahasiswa tidak ingin ditinggalkan pembacanya. Kedua,
membentuk jaringan antar lembaga pers mahasiswa untuk
membuat berita tentang dunia kampus. Masing-masing
pers mahasiswa mengirimkan berita tentang peristiwa, ide,
dan opini sebagai laporan kepada pengelola kampus online
di Jakarta. Redaktur memiliki hak untuk menyeleksi dan
menyunting berita-berita tersebut. Semisal ada berita sama
yang diliput oleh lebih dari satu pers mahasiswa, maka berita
yang ditampikan adalah kompilasi dari laporan tersebut.
Milis kampus online awalnya memang cukup efektif untuk
menampung beragam berita-berita sekaligus menyambung
hubungan antar pers mahasiswa. Namun, perkembangan
zaman yang memiliki konsekuensi pada kemajuan teknologi
kemudian membuat masing-masing pers mahasiswa
memiliki laman sendiri-sendiri. Milis ini menjadi terabaikan.
Laman-laman pers mahasiswa berkembang pesat. Di
Yogyakarta, sebagian besar pers mahasiswa sudah memiliki
laman sendiri. Beberapa di antaranya adalah Balairung,
Ekspresi, Arena, Journal, Pendapa, Bulaksumur, Equilibrium,
Himmah. Di UKSW Salatiga, Scientiarum membangun
www.scientiarum.com sebagai portal berita online-nya.

70
Wisnu Prasetyo Utomo

Seperti diungkapkan Nonoputra (2009:61), versi


online adalah sebuah kebutuhan. Berita pers mahasiswa
versi online memberi fleksibilitas dan kemungkinan un-
tuk terbit harian. Para redaktur mahasiswa tak perlu
lagi pusing mengatur tata letak (layout), mencetak ko-
ran, dan membagikannya tiap hari. Dengan format
cetak, Scientiarum baru sanggup terbit empat bulan
sekali. Tapi dengan situs web, mau terbit kapan saja tak
masalah karena semua serba otomatis dan terprogram.
Di Medan, Suara USU juga memutuskan untuk
masuk ke dunia maya. Suara USU memiliki laman di
alamat www.suarausu-online.com. Di laman ini, beragam
berita mengenai kampus USU dan kota Medan serta
berbagai informasi dan hiburan disajikan. Berita-
berita yang ditampilkan diperbarui seminggu dua kali.
Kehadiran laman ini sendiri diminati oleh mahasiswa
USU pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Di UNP Padang, Ganto juga masuk ke dunia maya
dengan laman yang beralamat di www.ganto.web.id.
Teknokra (Unila Lampung) memelopori media online
bagi pers mahasiswa di Lampung. Laman www.teknokra.
com digunakan untuk meliput berita-berita seputar Unila
dan Lampung. Di Sulawesi, baru dua pers mahasiswa
yang melakukan migrasi ke dunia maya yaitu Identitas
(Unhas) yang memiliki laman www.identitasonline.net dan
Catatan Kaki (Unhas) di www.catatankaki.org. Meskipun
banyak pers mahasiswa yang sudah masuk ke dunia maya,
sayangnya hal tersebut belum diimbangi dengan perubahan
pola pemberitaan. Di sini pun muncul persoalan kembali.
Sunarto (2000) mengungkapkan, perubahan ke dunia
maya tidak disikapi juga dengan mengubah tradisi media cetak
ke media cyber, yang terjadi kemudian hanyalah pemindahan
media cetak versi online. Padahal keduanya memiliki
karakteristik yang berbeda. Masalah paling mendasar

71
Komersialisasi Pendidikan

adalah berita-berita yang jarang update. Tidak hanya itu,


berita yang muncul pun biasanya sudah out of date. Padahal
keunggulan internet adalah ketika berita-berita sering
diperbarui. Semakin cepat berita itu diperbarui, semakin
berita yang muncul akan dibaca. Jika hal mendasar ini tidak
dilakukan, internet hanya akan menjadi sebuah kesia-siaan.
Sampai di sini, disorientasi, pecahnya organisasi
pers mahasiswa di tingkat nasional, dan kebimbangan
menghadapi tantangan zaman memperlihatkan bahwa
pers mahasiswa masih tergagap. Relevan untuk mengutip
Abrar (1992:41) yang mengatakan bahwa pers mahasiswa
harus melakukan refleksi dan mengkaji ulang posisinya
agar tidak terjebak dalam situasi yang ahistoris. Kritik
sosial perlu dilakukan, tetapi tidak menjadi tujuan utama
pers mahasiswa. Sebab yang lebih utama terletak pada
kemampuan pers mahasiswa merefleksikan segala
dinamika sosial yang ada di lingkungan mahasiswa dan
mendorong kehidupan mahasiswa yang dinamis. Laku
refleksi juga mesti berjalan seiring antara kondisi subjektif
aktivis pers mahasiswa dan keadaan objektif sehingga dapat
menemukan kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan.

72
Profil Balairung, Catatan Kaki,
dan Suara USU

Balairung
1. Sejarah dan Perkembangan
Setelah Gelora Mahasiswa dibredel oleh rektor UGM,
usaha untuk membentuk lembaga pers mahasiswa di
tingkat universitas selalu gagal. Kebijakan NKK/BKK yang
dikeluarkan oleh pemerintah telah membuat organisasi
mahasiswa seperti pers mahasiswa tidak mendapatkan
ruang. Larangan yang bermula dari ketakutan dengan
aktivitas-aktivitas kritis yang dilakukan pers mahasiswa
di masa lalu. Penerbitan yang dibolehkan hanya berskala
fakultas.
Didik Supriyanto (1998:32) mencatat pada tahun
1986 ada 47 penerbitan fakultas dan jurusan dengan 25
di antaranya yang masih aktif terbit. Angin segar bagi
pers mahasiswa di UGM kemudian datang di pertengahan
tahun 1985. Sekelompok aktivis pers mahasiswa tingkat
fakultas di Universitas Gadjah Mada merasa membutuhkan
penerbitan mahasiswa di tingkat universitas.
Keresahan ini yang kemudian menjadi dasar bagi
sekelompok mahasiswa tersebut untuk bertemu, ber-
tukar pikiran dan akhirnya sepakat untuk mengadakan
seminar mengenai pers mahasiswa di tingkat univer-
sitas. Pascaseminar, dibentuklah tim untuk merumuskan
konsep dan format penerbitan mahasiswa tingkat uni-
versitas. Tim perumus yang mewakili para peserta

73
Komersialisasi Pendidikan

mengabstraksikan hasil seminar itu: Abdul Hamid


Dipopramono (ketua), Agus Aman Santoso, Ana Nadya
Abrar, M. Thoriq, Mohamad Alfaris, Laksono T. Sulaiman,
Agus Ibar Santosa, Bambang Suhadjanto, Anwar Muhadi,
Hendro Saptono. Setelah menyelesaikan pertemuan,
rekomendasi dihasilkan dan diajukan kepada Teuku
Jacob, rektor UGM kala itu. Tepat akhir tahun 1985,
Majalah Balairung resmi berdiri dan terbit untuk pertama
kali. UGM memiliki penerbitan di tingkat universitas.
Nama Balairung digunakan untuk mengabadikan
ruangan utama gedung pusat UGM. Lebih dari itu
Balairung sendiri mempunyai makna kebesaran, sebuah
ruangan utama tempat berkomunikasi civitas academica
dari berbagai fakultas di UGM. Makna sesungguhnya
adalah tempat berinteraksi kualitatif dan kuantitatif
semua warga. Dengan niat seperti itulah Balairung
kemudian terbit dalam bentuk majalah dan orientasi
intelektualitas yang kuat.
Majalah perdana terbit dengan mengangkat isu
industrialisasi dan pembangunan. Dengan mengangkat
tema tersebut, Balairung sekaligus memberikan perhatian
pada kajian ilmiah tidak hanya di UGM tetapi juga di dunia
akademik Indonesia. Edisi perdana ini juga menegaskan
bahwa Balairung ingin menyediakan wahana bagi kaum
muda untuk mengisi ruang kekhalifahan dengan meniti
jalan intelektual.
Orientasi intelektual yang demikian kuat ini bisa
dipahami karena pegiatnya berasal dari para aktivis
kelompok studi yang sedang menjamur. Kelompok diskusi
merupakan diaspora gerakan mahasiswa di era itu. Dalam
diaspora ini, diskusi-diskusi rutin dilakukan dengan
jumlah mahasiswa yang semakin bertambah. Ini adalah
ciri khas yang melekat dalam aktivitas kemahasiswaan.
Dengan latar belakang pengurusnya yang berasal dari
kelompok studi, tak mengherankan jika diskusi-diskusi
juga sering diselenggarakan oleh Balairung. Untuk
mempertegas orientasi intelektual Balairung, pengurus

74
Wisnu Prasetyo Utomo

merumuskan orientasi keredaksiannya seperti tercantum


dalam Majalah Balairung No 17/Tahun VIII/1993 hal. 36:

Mereka ingin membawa aroma orisinalitas dan


kemurnian, entah diterima segera oleh orang lain atau
tidak. Racikan filsafati sudah mereka kaji dengan daya
yang maksimal. Lewat paradigma yang diangkat dari
keprihatinan panjang, yang begitu membosankan. Dari
sini mereka berharap kearifan yang progresif. Bukan
sebuah kelembekan, kesembronoan emosional yang
egoistis.

Balairung terbit dengan periode tiga bulanan.


Periode terbit ini kadang tidak bisa dipenuhi ketika
berbagai masalah terutama seputar dana menjadi
ganjalan utama. Praktis Balairung harus mencari dana
sendiri untuk membiayai terbitannya sebab universitas
hanya membantu seperlunya saja. Seperti dicatat Didik
Supriyanto (1998:93), sejak edisi pertama pada tahun
1985, subsidi universitas sebesar Rp500.000. Baru
kemudian pada tahun 1988 universitas menambah
subsidi menjadi Rp2.5000.000 setiap edisi. Jumlah ini
merupakan 40% dari biaya cetak yang kadang mencapai
angka Rp6.000.000.
Subsidi yang demikian tentu tidak mencukupi
pengeluaran yang ada. Karena itu Balairung dijual
dengan harapan bisa menutupi biaya produksi. Sisanya,
mengandalkan pemasukan dari iklan dan bantuan dari
Keluarga Alumni Gadjah Mada (KAGAMA). Persoalan ini
yang mengganggu periode terbit. Kadang kerja redaksi
yang menghasilkan tulisan liputan tidak bisa diterbitkan
karena ketiadaan dana. Ini persoalan yang menghantui
Balairung sampai saat penelitian ini dilakukan.
Sekalipun terkendala masalah ekonomi, beberapa
kali Balairung sempat terbit dalam edisi yang mewah.
Misalnya saja ketika memperingati ulang tahun sewindu
pada tahun 1994. Seperti dicatat oleh David Hill
(2011:142), Balairung edisi khusus dicetak mengilap

75
Komersialisasi Pendidikan

berisi 128 halaman dengan desain cantik yang dikerjakan


sungguh-sungguh. Dijual dengan harga Rp3.000,
distribusinya disalurkan melalui jaringan toko buku
besar di Indonesia seperti Gramedia. Balairung edisi ini
menampilkan tujuh belas esai penelitian mahasiswa yang
berisi tentang visi besar mengenai masa depan Indonesia.
Dalam edisi ini pula Balairung menulis artikel dan
wawancara dengan sastrawan kiri Indonesia, Pramoedya
Ananta Toer.
Dalam perkembangannya sampai tahun 1998,
Balairung terbit selama 90 edisi. Tahun 1998 menjadi
salah satu tahun yang menjadi tonggak sejarah Balairung.
Pergolakan politik di Indonesia memaksa Balairung
untuk menghentikkan terbitan rutinnya dan terlibat aktif
dalam aksi-aksi anti pemerintahan. Bersama elemen
mahasiswa lainnya termasuk pers mahasiswa di tingkat
fakultas, Balairung menerbitkan selebaran Gugat! yang
terbit setiap hari dan memberitakan aksi-aksi menuntut
mundur pemerintahan Soeharto. Gugat! juga yang
pertama kali menampilan foto pembakaran replika
patung Soeharto di Gedung Pusat UGM.
Seperti yang terjadi di hampir seluruh pers
mahasiswa di Indonesia pasca jatuhnya Soeharto,
Balairung mengalami disorientasi. Balairung memilih
untuk menjadi press of discourse dan press of community.
Press of discourse berarti Balairung ingin menegaskan
diri sebagai wahana intelektual mahasiswa seperti niat
awal ketika berdiri. Secara spesifik, format dari majalah
menjadi bentuk jurnal dilakukan. Pilihan berubah
bentuk menjadi jurnal diambil karena Balairung ingin
menyediakan ruang khusus bagi pemikiran-pemikiran
mahasiswa Indonesia.
Hasan Bachtiar (2001:177) menjelaskan bahwa
dalam jurnal, perubahan terjadi dalam dua arah: secara
teknis terjadi perubahan kerja dari kerja majalah menjadi
jurnal, kemudian secara konseptual melembagakan
kerangka pendekatan ilmiah dan pendekatan jurnalistik

76
Wisnu Prasetyo Utomo

ke dalam kerja-kerja jurnal. Perubahan bentuk dari


majalah ke jurnal ini sekaligus mempertegas orientasi
isi Balairung yang sebelumnya political-state oriented
menjadi social-science oriented. Terutama karena jurnal
lebih sering membahas problematika sosial yang sedang
terjadi di masyarakat.
Sementara itu, ide press of community diejawantahkan
dalam format terbitan newsletter. Pilihan ini mulanya
hendak mengamini pernyataan Didik Supriyanto
(1998) yang mengatakan bahwa pers mahasiswa harus
kembali kepada komunitas pembacanya, yakni melayani
kebutuhan lalu lintas informasi di kampusnya masing-
masing. Dengan kondisi tersebut, Balairung mesti
back to campus. Komunitas utama pembaca Balairung
awalnya adalah mahasiswa UGM dan kini saatnya untuk
memberitakan lalu lintas informasi yang ada dalam
lingkup kampus.
Pilihan menjadi press of community dirumuskan
dalam tujuan sebagai berikut: (1) Menyajikan beragam
berita serta fakta yang terjadi di seluruh belantara
UGM; (2) Menjadi media untuk mengungkapkan seluruh
gagasan apapun tentang UGM dan hasil penelitian
yang dilakukan seluruh civitas academica UGM; (3)
Membeberkan paparan kritis terhadap peristiwa, fakta,
dan fenomena yang berada di seputaran kampus UGM;
(4) Sebagai media kontrol bagi proses demokrasi kampus;
(5) Menjadi sarana komunikasi dan informasi bagi civitas
academica Kampus Biru. Eksperimen awal kemudian
dikerjakan, Balairung menerbitkan Balairung Koran. Bisa
kita simak dalam editorial Balairung Koran edisi perdana
yang terbit pada 25 April 2000 di halaman 1:

Fakultas adalah fakultasnya sendiri yang tidak (merasa)


perlu tahu apa yang terjadi di fakultas lain. Kampus lalu
menjadi begitu sempit. Padahal seharusnya bisa saling
bersinergi melewati batas spesialisasi ilmu yang telah
terbentuk. Dan sekali lagi, hal itu butuh sebuah media
komunikasi. Oleh alasan itulah Balairung Koran hadir

77
Komersialisasi Pendidikan

menggarap kembali lahan yang ditinggalkan.

Dari editorial yang ditulis oleh redaksi tersebut


kita bisa menyaksikan bahwa pilihan menjadi press of
community juga berasal dari situasi lingkungan kampus
yang ketika itu tersekat-sekat disiplin keilmuan masing-
masing. Sekat-sekat ini menghambat komunikasi yang
seharusnya bisa dijalin untuk kemajuan ilmu pengetahuan
itu sendiri. Dalam kondisi seperti itu yang dibutuhkan
adalah sebuah media komunikasi yang mampu menjadi
penghubung berbagai kepentingan di dalam kampus.
Menyikapi perkembangan zaman, Balairung juga
memutuskan untuk melakukan migrasi ke dunia maya.
Pada Musyawarah Besar 2008, pilihan ini ditegaskan.
Laman Balairung beralamat di www.balairungpress.com.
Tidak hanya itu, Balairung juga memiliki akun media
sosial di Facebook dan Twitter.
Laman ini menjadi media untuk menyiasati
keterbatasan halaman dan periode terbit dalam versi
cetak. Dengan hanya menerbitkan 2000 eksemplar sekali
terbit memang susah menjangkau seluruh mahasiswa
UGM yang jumlahnya mencapai 50.000 mahasiswa.
Migrasi ke dunia maya menjadi masuk akal. Kondisi ini
juga semakin strategis karena kebanyakan mahasiswa
saat ini menggunakan media sosial dan koneksi internet
yang mengubah platform dalam interaksi sosial. Dengan
demikian Balairung menegaskan diri untuk menjadi
community press online. Dalam laman ini, pengurus
Balairung dibagi berdasarkan wilayah-wilayah di
kampus. Setiap pengurus memiliki tanggung jawab
untuk mencari berita-berita terbaru di wilayahnya
tersebut. Pembagian ini digunakan untuk memudahkan
akses berita sehingga bisa cepat disajikan secara online.

78
Wisnu Prasetyo Utomo

2. Kebijakan Redaksional
Sebagai lembaga pers mahasiswa, kebijakan redaksional
Balairung ditentukan secara kolektif kolegial. Tidak
ada dominasi yang dilakukan oleh pemimpinnya. Untuk
penentuan isu yang akan diangkat sebagai tema khusus,
rapat tema diadakan dua kali. Rapat tema episode
pertama merupakan brainstorming berbagai isu di
seputar kampus atau pun Yogyakarta. Di rapat ini semua
pengurus diperbolehkan untuk hadir. Setiap pengurus
bisa mengusulkan tema apapun selama memiliki basis
data dan tidak sekadar asumsi. Dengan beragamnya latar
belakang disiplin keilmuan pengurus, tema-tema yang
masuk menjadi lebih berwarna. Di rapat ini ditentukan
beberapa tema yang dianggap layak. Setelah itu, pengurus
diberikan waktu selama beberapa hari untuk mendalami
masing-masing tema tersebut. Data-data awal dicari untuk
menguatkan tema-tema yang ada. Selanjutnya diadakan
rapat tema kedua. Di sini, data-data yang ditemukan tadi
akan diadu untuk menemukan tema mana yang memiliki
basis data paling kuat. Hal ini dilakukan agar tema yang
diambil tidak semata hanya merupakan asumsi. Sebuah
tema yang memiliki data awal cukup kuat biasanya
akan terpilih. Namun, tema tersebut harus melewati uji
kelayakan terlebih dahulu.
Ada beberapa kriteria yang dijadikan parameter
untuk menentukan kelayakan sebuah tema.15
Pertama, relevansi intelektual. Sebuah tema juga harus
mencerminkan sisi kritis, analitis konstruktif dan
ilmiah dengan perspektif keilmuan yang lebih luas.
Kedua, relevansi sosial. Relevansi sosial yang harus ada
dalam tema paling tidak membawa gambaran tentang
persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat,
baik terkait dengan negara, dunia bahkan kelokalan.
Ketiga, relevansi waktu. Relevansi waktu diupayakan
mampu membidik fenomena secara lebih tepat. Meski
15 Paramater-parameter yang diulas di sini disarikan dari Buku Putih Majalah
Balairung 2012

79
Komersialisasi Pendidikan

tidak menjadi pertimbangan yang mendasar. Relevansi


ini menjadi penting untuk merumuskan tema yang
tidak cepat basi untuk menyiasati periode terbit yang
tidak tepat waktu. Keempat, kapabilitas eksternal
dan intenal. Kapabilitas eksternal berkaitan dengan
adakah kemungkinan tema yang diangkat ini untuk
menemukan partner dalam pengerjaannya. Lebih ada
kemungkinan pengerjaan tema ini hubungannya dengan
pihak luar. Misalnya penggarapan isu korupsi, bisakah
reporter menembus rumitnya birokrasi di Indonesia,
dan lain-lain. Kapabilitas internal, lebih pada kapasitas
awak untuk menelusuri isu ini lebih dalam. Termasuk
persoalan-persoalan teknis yang meliputi awak. Kapabel
atau tidak.
Di rapat tema kedua ini ditentukan tema terpilih.
Selanjutnya, tema yang terpilih akan di-break down
sesuai divisi masing-masing. Di tahap inilah angle sebuah
tema akan ditentukan. Penentuannya merupakan hasil
kesepakatan bersama. Di sini juga ditentukan pengurus
yang akan menulis rubrik-rubrik tertentu. Pemimpin
redaksi hanya bertugas untuk memastikan bahwa
tema dan angle yang dipilih bersama itu realistis untuk
dikerjakan di lapangan. Pada tahap selanjutnya setelah
pengumpulan data, tulisan yang masuk akan melalui
tahapan penyuntingan isi dan bahasa. Penyuntingan ini
dilakukan oleh pengurus yang sudah memasuki masa
aktif di tahun kedua. Setelah melewati rangkaian ini,
tulisan dibaca oleh pemimpin redaksi dan selanjutnya
diserahkan ke divisi produksi dan artistik untuk didesain.
Setelah majalah terbit dan sampai ke tangan pembaca,
pengurus akan mengadakan evaluasi untuk mengurai
kelemahan yang terjadi selama proses pengerjaan
majalah edisi tersebut.

80
Wisnu Prasetyo Utomo

Catatan Kaki
1. Sejarah dan Perkembangan
Catatan Kaki adalah media yang diterbitkan oleh Unit
Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Unhas. Ia lahir dari
pergulatan mahasiswa Unhas yang ingin memiliki media
independen sebagai ruang bagi ide-ide kritis mereka.
Meskipun secara resmi baru lahir pertengahan dekade
1990-an, ide untuk membentuk pers mahasiswa sudah
ada jauh sebelum itu. Pada awal dekade 1980-an ketika
era NKK/BKK, telah bertebaran media mahasiswa di
beberapa fakultas di Unhas. Kehadiran media-media
di fakultas ini harus berhadapan dengan birokrasi
kampus yang saat itu masih melarang adanya penerbitan
mahasiswa. Larangan muncul lebih karena trauma
dengan nama besar pers mahasiswa di era sebelumnya.
Hal ini terutama yang membuat keinginan para aktivis
pers mahasiswa di tingkat fakultas itu gagal untuk
membentuk pers mahasiswa di tingkat universitas.
Hermansyah (2008:1) mengatakan bahwa keinginan
yang terpendam bertahun-tahun akhirnya menemui
kenyataan di tahun 1994. Rektor Unhas kala itu, Basri
Hasanuddin, memberikan lampu hijau bagi keinginan
sejumlah aktivis pers mahasiswa Unhas. Di tahun
tersebut, mahasiswa dari berbagai fakultas sepakat untuk
membentuk sebuah komunike bersama yang nanti akan
menjadi cikal bakal penerbitan di tingkat universitas.
Komunike yang memiliki semangat untuk menampung
potensi jurnalistik mahasiswa Unhas.
Komunike kemudian melakukan pembahasan konsep
mengenai pers mahasiswa tingkat universitas yang akan
dibentuk dengan rutin. Pers mahasiswa yang sudah ada
di fakultas dan jurusan dilibatkan. Di antaranya yang
sempat tercatat, majalah Agrovisi dari Senat Pertanian,
majalah Baruga dari Komunikasi Fisip, majalah Nurani
dari MPM, Channel 9 dari Teknik dan SKK Identitas. Ulang
tahun SKK Identitas di Puskadik P5 juga dimanfaatkan
untuk membahas lebih jauh rencana pembentukan wadah
81
Komersialisasi Pendidikan

lembaga penerbitan pers mahasiswa tersebut. Dari


diskusi itu, disepakati membentuk tim 7 yang diketuai
Muh. Syaiful Bahri dan bertugas melakukan lobi serta
negosiasi dengan para petinggi Unhas agar menyetujui
niat mahasiswa tersebut.
Setelah itu penerbitan mahasiswa di tingkat
universitas bernama UKM Pers bisa dibentuk. Namun,
hambatan selanjutnya muncul, pejabat di rektorat
tidak menyetujui penggunaan nama pers mahasiswa.
Akhirnya pada 2 Februari 1995, UKM Pers berganti
nama menjadi UKM Media. Perubahan nama dari
UKM Pers (UKMP) menjadi UKM Media (UKMM) juga
diiringi dengan pembentukan struktur pengurus baru.
Nakhoda kepengurusan UKMM untuk pertama kalinya
dipercayakan kepada Nasrul Tanjung, wakil ketua
Syaiful Bahri dan sekretaris umum Marhamah Nadir.
Mereka diangkat melalui SK Rektor nomor 1065/PT/04.
H3/0/1995 dan dilantik pada tanggal 9 Februari. Tanggal
9 inilah yang kemudian diperingati sebagai hari ulang
tahun Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Unhas. Dalam
kepengurusan periode ini untuk pertama kali terbit
tabloid mahasiswa Unhas, Catatan Kaki. Nama Catatan
Kaki diusulkan oleh dua orang yaitu Nasrul Tanjung,
Ketua Umum periode 1995-1996, dan Agung Yusuf, Ketua
Umum periode 1996-1997.
Filosofi Catatan Kaki mengambil pengertian dari
sebuah sistematisasi penulisan dalam karya ilmiah.
Dalam penulisan karya ilmiah, Catatan Kaki adalah
keterangan yang dicantumkan pada margin bawah pada
halaman buku (biasanya dicetak dengan huruf yang lebih
kecil daripada huruf di dalam teks guna menambahkan
rujukan uraian di dalam naskah pokok). Ostaf Al-
Mustafa, anggota dan aktivis pers mahasiswa Catatan
Kaki, mengatakan pemberian nama Catatan Kaki adalah
inspirasi dari tulisan yang pernah dipublikasikan dalam
Koran kampus Identitas tahun 1995 Catatan Kaki Hak-
hak Sepatu Mahasiswa. Kalimat Kaki Tangan Demokrasi

82
Wisnu Prasetyo Utomo

dan Keadilan menjadi semboyan yang digunakan oleh


Catatan Kaki (Hermansyah, 2008:2). Dengan filosofi
semacam ini, pengelola atau kru redaksi Catatan Kaki
diharapkan untuk menuliskan isu-isu yang bagi pers
umum dianggap tak penting. Tak penting di sini mesti
digarisbawahi karena pers umum di era Orde Baru berada
dalam ancaman pembredelan jika memberitakan berita-
berita tersebut.
Setelah periode ini, ide untuk mengubah nama UKM
Media dengan UKM Pers kembali muncul. Rektorat Unhas
ternyata tetap tidak menyetujuinya. Karena tidak boleh
mengenakan nama pers mahasiswa, nama UKPPM
(Unit Kegiatan Penerbitan dan Penyiaran Mahasiswa)
menjadi gantinya. Nama inilah yang bisa bertahan sampai
reformasi. Salah satu program kerja yang besar dalam
periode ini adalah digelarnya kegiatan PENA EMAS 96
(Pekan Nasional Penerbitan Mahasiswa). Tak kurang 20
lembaga penerbitan kampus se-Indonesia menghadiri
acara tersebut. Juwendra Asdiansyah (2009:44) mencatat
dalam kegiatan ini dilaksanakan sarasehan aktivis pers
mahasiswa se-Indonesia.
Reformasi 1998 memberikan dampak yang signifikan
terhadap Catatan Kaki. Kebebasan pers dan keterbatasan
dana yang dimiliki telah membuat mereka sulit bergerak.
Karena itu, format penerbitan diubah. Pada 10 Oktober
1998 dicapai kesepakatan untuk mengubah format
penerbitan. Untuk pertama kalinya Catatan Kaki terbit
dalam bentuk tabloid pada edisi 11 Januari 1999.
Setelah ini, para pengurus juga berhasil mengubah asas
dan nama organisasi. Asas organisasi yang sebelumnya
Pancasila, kini berubah menjadi Sosialis Demokrat. Nama
Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) resmi digunakan
sampai sekarang.
Pascareformasi, Catatan Kaki banyak disibukkan
dengan persoalan internal organisasi. Kondisi ini mem-
buat program kerja penerbitan tidak berjalan dengan

83
Komersialisasi Pendidikan

maksimal. Para pengurusnya disibukkan dengan agen-


da advokasi di luar organisasi. Beberapa advokasi
yang dilakukan misalnya terkait Undang-Undang Ba-
dan Hukum Pendidikan (UU BHP), dan persoalan
tanah di daerah Takalar. Selain itu, konflik internal
yang merupakan benturan ideologis sesama pengurus
juga terjadi. Pada tahun 2011 misalnya, Ketua Umum
kala itu, M.Reza Taqiudin Putra diberhentikan oleh
pengurus dalam sebuah Musyawarah Luar Biasa. Reza
kemudian digantikan oleh Haidir. Terlepas dari konflik
tersebut, Catatan Kaki juga memutuskan untuk masuk
ke dunia maya. Pada tahun 2011, Catatan Kaki memiliki
laman sendiri yang beralamat di www.catatankaki.org.

2. Kebijakan Redaksional
Catatan Kaki menuliskan laporan berita dengan
memberikan unsur propaganda di dalamnya. Ini
adalah pilihan ideologis sebagai upaya memberikan
informasi yang tidak dikabarkan pers umum. Mereka
menyebutnya dengan nama jurnalisme advokasi. Pakem
ini berbeda dengan jurnalisme yang dipraktikan oleh
pers umum. Catatan Kaki memiliki panduan sendiri
dalam menjalankan laku jurnalistik mereka. Panduan ini
tercantum dalam buku Vademekumenulis Jurnalistikritis
Caka. Beberapa hal yang tercantum di dalamnya dan
menjadi panduan untuk menentukan angle tulisan di
antaranya; Negative thinking criticism, ini adalah cara
berpikir ke arah berlawanan dengan kondisi normal
yang berlangsung di lingkungan sekitar. One stop next
crisis, krisis yang terjadi di dalam komunitas tempat
media berada harus mampu diungkapkan meskipun
hanya berupa data-data yang minimum.
Selanjutnya adalah intel inside, kerjasama dengan
orang-orang di kalangan pejabat kampus harus dilakukan.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki akses informasi

84
Wisnu Prasetyo Utomo

sampai ke dalam. Karena itu, relasi dengan informan ini


mesti dijaga dengan baik agar bisa mendapatkan data-
data yang biasanya ditutupi oleh rektorat. Witness safety
procedure, ini adalah perlindungan kepada informan atau
narasumber yang memiliki bukti kunci atas persoalan-
persoalan yang sedang diberitakan oleh Catatan Kaki.
More than just issues, semua tema yang diangkat sebagai
berita, harus mengalami eksplorasi in depth reporting
dan in depth interview. Apapun isu yang terdengar, bila
masuk ke ruang Caka haruslah menjadi berita dari
sumber-sumber terpercaya. Apa yang tercantum dalam
buku tersebut menjadi panduan bagi pengurus Catatan
Kaki.
Kebijakan redaksional diputuskan bersama melalui
rapat-rapat formal maupun diskusi informal pengurus.
Meskipun memiliki pandangan yang berbeda-beda,
kebijakan akan diambil jika sudah didahului dengan
diskusi dan penemuan data di lapangan. Yang menjadi
kesepakatan pengurus, tulisan-tulisan dalam Catatan
Kaki juga dimaksudkan untuk mengagitasi pembaca dan
mengadvokasi kasus-kasus yang dianggap perlu untuk
diangkat. Catatan Kaki menuliskan laporan berita dengan
memberikan unsur propaganda di dalamnya.

Suara USU
1. Sejarah dan Perkembangan
Pada awalnya, Suara USU adalah nama media yang
dimiliki dan dikelola Humas USU. Sesuai dengan namanya,
media ini menyiarkan berbagai berita-berita yang ada di
kampus USU. Namun, beberapa mahasiswa anggota Senat
Mahasiswa yang salah satunya diwakili Rusli Harahap,
meminta izin ke rektorat agar mahasiswa bisa mengelola
media itu. Alasannya, di USU tidak ada media untuk
mahasiswa. Padahal mahasiswa membutuhkan ruang
untuk mewadahi berbagai aspirasi yang mereka miliki.

85
Komersialisasi Pendidikan

Akhirnya, izin didapatkan. Pada tahun 1994 rektorat


memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk
mengelolanya. Rusli yang merupakan Ketua Bidang Minat
dan Bakat Senat Mahasiswa kala itu segera bergerak
mencari teman-teman di pers mahasiswa tingkat fakultas
dan pegiat kelompok studi untuk membantunya. Di
antaranya adalah Yulhasni, Muhammad Yasin, Rudi
Hartono Pulungan, Nuraihan Lubis, dan Chairul Azmi.16
Pengerjaan tabloid segera dilakukan. Saat itu
pengerjaan dikerjakan secara manual mulai dari
menulis dan menyunting berita, sampai menggunting
dan menempel potongan-potongan berita yang sudah
jadi pada kertas tabloid. Aktivitas ini dilakukan
dengan belajar sendiri karena ketika itu belum
banyak pers mahasiswa tingkat universitas di Medan.
Akhirnya, para pegiat Suara USU menimba ilmu ini
dari para wartawan yang sebagian besar merupakan
anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan.
Setelah mendapatkan SK Rektor, Suara USU lepas
dari Senat Mahasiswa dan secara independen menjadi
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). 1 Juli 1995, tabloid
Suara USU terbit. Tanggal ini juga yang diperingati
sebagai tanggal berdirinya Suara USU. Setelah itu, tabloid
kemudian diedarkan secara gratis ke lingkungan kampus.
Di edisi selanjutnya, persoalan mulai muncul dengan
ditunjukkan adanya ancaman penghentian dana dari
rektorat. Suara USU mengangkat berita tentang problem
antara mahasiswa dan dosen yang saat itu sedang marak-
maraknya. Jamak beredar isu bahwa mahasiswa harus
membeli nilai ke dosen agar mendapatkan nilai yang
bagus. Setelah itu, rektorat meminta pengurus Suara
USU untuk menyerahkan draft tulisan sebelum dicetak,
16 Sejarah Suara USU ini disarikan dari wawancara dengan salah satu pendiri
Suara USU, Yulhasni, pada 1 Februari 2012

86
Wisnu Prasetyo Utomo

meskipun akhirnya ditolak oleh pengurus. Puncaknya


adalah ketika mereka menerbitkan tabloid dengan tema
Benarkah USU Dilanda Suap? Tabloid ini yang pada awalnya
akan diikusertakan dalam pameran universitas di Jakarta,
akhirnya tidak jadi diikutsertakan. Suara USU dianggap
menjelek-jelekkan universitas dan mencemarkan nama
baik kampus. Pegawai BNI cabang USU yang menjadi
narasumber terancam dipecat. Sementara semua
pengurus Suara USU dipanggil menghadap rektorat.
Ancaman penghentian dana kembali dimunculkan
oleh rektorat. Ancaman ini sendiri seringkali hanya
menjadi gertakan yang muncul selama Suara USU ada,
bahkan sampai saat ini. Awal kemunculan Suara USU
ditunjukkan dengan keaktifannya menjalin komuni-
kasi dengan berbagai elemen masyarakat dalam
aksi-aksi perlawanan terhadap Soeharto. Mereka
sering mengadakan diskusi dengan tokoh-tokoh AJI
yang membawa ide-ide perlawanan ini. Beberapa
pengurus juga sering mengedarkan fotokopian buku
Pramoedya Ananta Toer yang saat itu masih menjadi
buku terlarang. Selain itu, koordinasi dengan beberapa
kampus di Medan juga dilakukan. Suara USU membidani
kelahiran beberapa lembaga pers mahasiswa di
kota ini. Dengan posisi strategis tersebut, Suara USU
menjadi pilar oposisi yang memberikan perlawanan
terhadap Soeharto, Rektorat dengan isu korupsi di
dalamnya, dan Senat Mahasiswa yang rectorate minded.
Pasca 1998, Suara USU mulai menggunakan
dunia maya untuk mengedarkan gagasan-gagasannya.
Pilihan ini diambil tidak hanya karena kesulitan dana
yang dialami tetapi juga karena migrasi ke internet
adalah sebuah keniscayaan. Dengan adanya internet,
penyebaran informasi bisa lebih cepat dilakukan.
Setelah beralamat di www.suarausu.tk alamat laman

87
Komersialisasi Pendidikan

kemudian pindah ke www.suarausu-online.com. Media


ini tidak hanya memberitakan hal-hal yang berkaitan
dengan kampus tetapi juga berita-berita seputar Medan.
Tentang pemberitaan ini, ancaman pembredelan
beberapa kali sempat diterima oleh Suara USU. Salah
satunya terjadi pada 2004 ketika sekretariat Suara USU
dirusak dan pengurus mendapatkan ancaman dari orang
yang tidak dikenal. Represi ini muncul setelah mereka
menerbitkan tabloid Ternyata USU Minim Fasilitas
(Sitepu, 2009:68). Di tahun 2010, teror mental juga
sering didapatkan oleh para pengurusnya terutama
ketika meliput persoalan-persoalan yang melanda
organisasi eksekutif mahasiswa di kampus. Teror ini
biasanya datang dalam bentuk telepon dari orang tak
dikenal maupun ancaman-ancaman melalui pesan
pendek.17 Rektorat sendiri hampir setiap tahun juga
selalu berkeinginan untuk menyensor Suara USU. Setiap
pemberitaan harus masuk dan dibaca pihak rektorat dulu
sebelum naik cetak. Ancaman tidak akan mengeluarkan
SK Kepengurusan bahkan dikeluarkan. Meskipun
ancaman itu berkali-kali juga diabaikan oleh pengurus.

2. Kebijakan Redaksional
Untuk menentukan tema berita yang akan diangkat
dalam satu edisi, Suara USU mengadakan dua kali rapat
tema. Rapat tema pertama dinamakan proyeksi besar.
Di proyeksi besar ini semua pengurus hadir untuk
mengusulkan tema-tema yang kemudian akan dieksekusi
menjadi sebuah berita. Khusus di rapat tema ini yang
dibahas adalah tema untuk rubrik laporan utama dan
laporan khusus. Di sini pula ditentukan nama-nama
pengurus yang akan terlibat dalam pengerjaan laporan
utama dan laporan khusus. Angle penulisan juga
ditentukan dalam proyeksi besar. Angle ini kemudian
dituangkan dalam sebuah term of reference. Sementara
17 Wawancara dengan Pemimpin Redaksi Suara USU 2010, Khairil Hanan Lubis,
pada 4 Februari 2012

88
Wisnu Prasetyo Utomo

itu rubrik-rubrik lain ditentukan dalam rapat tema


selanjutnya yaitu yang disebut sebagai proyeksi kecil.
Setelah ditentukan apa yang akan ditulis sebagai
berita, liputan ke lapangan kemudian dilakukan.
Reporter yang sudah dianggap layak akan menulis untuk
laporan utama, sementara reporter pemula diberikan
rubrik-rubrik kecil. Metode ini digunakan untuk melatih
kepekaan reporter. Setelah liputan ke lapangan dan
tulisan jadi, tahap selanjutnya adalah penyuntingan. Jika
editor merasa laporan tersebut kurang lengkap maka
akan dikembalikan lagi kepada reporter. Baru setelah
dianggap lengkap sampai menjelang deadline, tulisan
kemudian masuk ke tahap layout.
Sebelum naik cetak, diadakan pracetak yang
melibatkan dewan redaksi (terdiri dari pemimpin
redaksi, redaktur pelaksana, dan redaktur lain). Di tahap
ini tulisan dicek ulang jika ada kesalahan-kesalahan di
dalamnya. Baru setelah itu tulisan kemudian naik cetak
dan menjadi tanggung jawab dari divisi perusahaan.
Di Suara USU, pada dasarnya tidak ada dominasi yang
dilakukan oleh satu pihak saja untuk menentukan isi
berita. Tema dan angle berita dirumuskan dalam sebuah
forum bersama. Setidaknya ada dua rapat harian di hari
Rabu dan Sabtu yang diikuti oleh semua pengurus. Di
Redaksi juga ada rapat mingguan. Di rapat-rapat inilah
Suara USU menentukan berbagai hal strategis mengenai
organisasinya dan tema berita yang akan disajikan kepada
pembaca. Pemimpin umum dan pemimpin redaksi
hanya bertugas untuk menjaga mutu jurnalismenya. Di
sini, peran keduanya adalah memberikan penekanan
berulang-ulang tentang prinsip-prinsip jurnalisme
seperti independensi, verifikasi, etika, dan lain-lain.18

18 Wawancara via surat elektronik dengan Pemimpin Umum Suara USU 2011,
Wan Ulfa Nur Zuhra 6 Februari 2012

89
Sistem Pendidikan Indonesia:
dari Otonomi Menuju Komersialiasi

Pendidikan dan Penetrasi Neoliberalisme


Ketika mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922, Ki Hajar
Dewantara mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah
memerdekakan manusia sebagai anggota masyarakat.
Dalam pendidikan yang ditegaskan Ki Hajar, kemerdekaan
bersifat tiga macam: berdiri sendiri (zelfstandig), tidak
tergantung orang lain (onafhankelijk), serta dapat mengatur
diri sendiri (vrijheid, zelfbeschikking). Pesan bapak pendidik-
an nasional ini sebenarnya sederhana. Ketika masyarakat
mampu berpikir mandiri serta mendidik dirinya sendiri,
bangsa ini akan menjadi bangsa yang bermartabat dan
lepas dari belenggu penindasan bangsa lain. Pendidikan
adalah upaya untuk menumbuhkan kemandirian tersebut.
Artinya, pendidikan tidak boleh memisahkan antara teori di
kelas dengan praksis di lapangan. Praksis pendidikan harus
berbasis realitas sosial. Dengan demikian, harapan untuk
melahirkan manusia-manusia merdeka bisa tercapai.
Sayangnya, pendidikan nasional selama ini justru
membuat manusia Indonesia terbelenggu. Pendidikan te-
lah membangun tembok yang terlalu tinggi dan menjadi
menara gading yang angkuh terhadap kondisi di sekitarnya.
Narasi dunia pendidikan tinggi di era Orde Baru ditandai
dengan pengaruh negara yang begitu besar terhadap opera-
sionalisasi proses pendidikan. Pengaruh negara muncul dari
persoalan kurikulum sampai pendanaan. Pada titik tertentu,
korporatisme negara menjadi satu hal yang berperan dalam
centang perenang dunia pendidikan tanah air.
91
Komersialisasi Pendidikan

Azyumardi Azra (2002:xiii) misalnya, mengatakan


bahwa enam permasalahan mendasar yang mengakibatkan
karut-marutnya sistem pendidikan di era Orde Baru.
Enam permasalahan ini membuat cita-cita mencerdaskan
masyarakat menjadi jauh panggang daripada api. Pertama,
keterbatasan akses terhadap pendidikan. Kedua, kebijakan
pendidikan yang sentralistik. Ketiga, pendanaan yang minim.
Keempat, akuntabilitas yang timpang. Kelima, rendahnya
profesionalisme tenaga pendidikan. Dan keenam, missing
link antara dunia pendidikan dan dunia kerja.
Persoalan-persoalan yang semakin bertambah
rumit pasca runtuhnya Orde Baru. Kejatuhan Soeharto
menunjukkan bagaimana pendulum ekonomi di negeri
ini berayun. Neoliberalisme dipupuk selama era Orde
Baru dan tumbuh besar pasca rezim ini runtuh. Oleh
para pengusungnya, neoliberalisme dirumuskan dalam
agenda The Neoliberal Washington Consensus19. Ada
sepuluh ketentuan dalam Washington Consensus ini yang
menjadi dasar untuk membebaskan pasar dengan sebebas-
bebasnya. Seperti diungkapkan Herry Priyono (2006),
sepuluh ketentuan tersebut bisa diekstraksikan dalam
prinsip deregulasi-liberalisasi-privatisasi yang kemudian
merasuk ke berbagai bidang kehidupan. Mula-mula ia
bergerak dengan menggunakan prinsip pasar bebas dalam
logika ekonomi, dan kemudian melakukan penetrasi.
Prinsip pasar bebas menjelaskan bahwa selalu akan
ada invisible hand yang mengatur mekanisme pasar. Karena
itu, campur tangan dari otoritas (baca: pemerintah) tidak
diperlukan. Pasar akan bergerak secara otomatis untuk
mencapai titik keseimbangannya sehingga intervensi
pemerintah melalui regulasi-regulasi yang ditetapkan justru
19 Sepuluh ketentuan tersebut adalah (1) disiplin fiskal untuk memerangi defisit
perdagangan, (2) public expenditure dengan pemotongan subsidi pemerintah,
(3) pembaharuan pajak, (4) liberalisasi keuangan, (5) nilai tukar uang yang
kompetitif, (6) trade liberalisation barrier, (7) foreign direct investment yang
berupa deregulasi peraturan pemerintah yang menghambat investasi, (8)
privatisasi, kebijakan untuk memberikan pengelolaan perusahaan negara ke
swasta, (9) deregulasi kompetisi, dan (10) Intelectual Property Rights. Lebih
lanjut baca Rais, Amien. 2008. Selamatkan Indonesia. Yogyakarta: PPSK

92
Wisnu Prasetyo Utomo

akan mengganggu keseimbangan tersebut. Praktik agenda


neoliberalisme ini terlihat ketika Indonesia menandatangani
perjanjian dengan IMF untuk mengucurkan dana talangan
krisis moneter yang terjadi tahun 1997. Vedi Hadiz
dengan mengutip ketua IMF saat itu, Michael Camdessus,
mengatakan bahwa krisis pasar modal global seperti yang
melanda Indonesia terjadi karena disiplin pasar tidak
dipegang teguh oleh pemerintah. Karena itu, tak ada pilihan
lain. Jalan keluar dari krisis, seperti diungkap Vedi Hadiz
(2005:107) adalah merangkul efisiensi sistem pasar.
Kemudian, perjanjian ini secara otomatis memaksa
Indonesia harus tunduk pada aturan IMF dan Washington
Consensus sebagai solusi untuk mengatasi krisis yang
terjadi. Washington Consensus ini yang menyebutkan
prinsip deregulasi-liberalisasi-privatisasi di berbagai
bidang termasuk pendidikan. Dengan demikian, pendidikan
dikelola dengan menggunakan logika pasar bebas.
Pemerintah mengurangi tanggung jawab pengelolaan
pendidikan termasuk mengurangi subsidi biaya. Besarnya
utang pemerintah sampai tahun 1997 seperti terlihat dalam
tabel (halaman 94) membuat pelepasan subsidi ini semakin
dilakukan dengan ringan hati.
Tanggung jawab ini kemudian dialihkan kepada masya-
rakat yang akan mengakses pendidikan. Tak mengherankan
jika kemudian pendidikan menjadi barang mahal di negeri ini
terutama pascareformasi 1998. Darmaningtyas (2009:35)
menjelaskan bahwa paradigma pendidikan telah bergeser
ke arah komersialisasi yang kapitalistik. Pendidikan dan
ilmu pengetahuan dianggap sekadar komoditas yang bebas
diperjualbelikan. Hukum yang berlaku kemudian pun
dirumuskan dalam kalimat Barang siapa yang memiliki
uang, maka ia yang akan memperoleh pendidikan yang
memadai.
Inilah logika pasar bebas. Apa yang didapatkan akan
sesuai dengan apa yang dibayarkan. Oleh Sheila Slaughter
dan Larry L. Leslie dalam bukuAcademic Capitalism:
Politics, Policies, and the Enterpreneurial University(1997),

93
94
Beban Utang Luar Negeri Pemerintah 1990-1997
Komersialisasi Pendidikan

Dikutip dari Majalah Balairung Edisi Khusus/Tahun XV/1999 halaman 13


Wisnu Prasetyo Utomo

kondisi tersebut disebut kapitalisme akademik. Istilah


ini mengacu pada institusi pendidikan yang kemudian
menganut sistem ekonomi pasar di mana setiap keputusan
yang dilakukan para pimpinan perguruan tinggi didasarkan
pada mekanisme pasar. Satu per satu fasilitas yang ada di
kampus kemudian diberi harga, ditawarkan kepada calon
konsumen. Siapa yang memiliki uang, boleh mengakses
berbagai fasilitas, sementara yang tidak punya uang
dipinggirkan pelan-pelan.
Dengan arah pengembangan perguruan tinggi yang kini
diarahkan pada orientasi bisnis, perguruan tinggi kini telah
mengalami pergeseran paradigma. Agus Suwignyo (2007:38-
44), menyebutkan ada empat pergeseran paradigma terse-
but. Pertama, penyelenggaraan perguruan tinggi yang
semula menaruh perhatian pada pertanyaan reflektif,
eksploratif dan humanis kini berubah menjadi utilitarian.
Kedua, perguruan tinggi kemudian kehilangan tanggung
jawab atas perkembangan dan perubahan masyarakat
menyangkut aspek, sosial, politik dan peradaban manusia.
Fokus yang diambil saat ini hanya sebatas padagraduate
employabilityatau keterserapan lulusan perguruan tinggi
dalam dunia kerja. Berbagai program penelitian yang
seharusnya memiliki manfaat bagi masyarakat sekitar
justru terkadang digunakan untuk mencari keuntungan
semata.
Karena otonomi direduksi hanya pada persoalan
pendanaan dan dilegitimasi oleh berbagai kebijakan
pemerintah, tak mengherankan jika kampus hanya memu-
satkan perhatian untuk mencari dana. Dalam konteks
ini, rasionalitas ekonomi bekerja dan mendominasi nalar
pengelolaan pendidikan. Heru Nugroho (2002) mempertegas
fenomena tersebut dengan istilah McDonaldisasi Pendidik-
an Tinggi. Heru meminjam istilah McDonaldisasi dari
George Ritzer. McDonaldisasi Pendidikan Tinggi pada
dasarnya ingin menunjukkan bahwa rasionalitas otonomi
kampus yang berkembang pada dasarnya menghasilkan
irasionalitas. Irasionalitas ini bekerja menggunakan logika

95
Komersialisasi Pendidikan

restoran cepat saji ala McDonald dengan empat prinsip yaitu


kuantifikasi, efisiensi, keterprediksian, dan teknologisasi.
Inilah logika yang juga akan digunakan untuk melihat
otonomi kampus.
Pertama, prinsip kuantifikasi bisa dilihat dari orientasi
pendidikan tinggi yang kini hanya memusatkan perhatian
pada kuantitas hasil. Keberhasilan sebuah perguruan
tinggi kemudian diukur hanya berdasarkan pada jumlah
sarjana yang dihasilkan. Semakin banyak sarjana, master,
maupun doktor, semakin bagus juga mutu perguruan tinggi
yang bersangkutan. Tinggi rendah nilai akademik yaitu
Indeks Prestasi (IP) pun menjadi parameter utama tingkat
kesuksesan. Padahal seringkali kita bisa melihat bahwa
IP kadang tidak berkorelasi positif dengan kemampuan
akademik mahasiswa. Ketika orientasi kuantitas dipriori-
taskan, kualitas karya termasuk penelitian-penelitian yang
dihasilkan menjadi terpinggirkan.
Kedua, prinsip efisiensi dilakukan oleh perguruan
tinggi. Efisiensi ini dilakukan dalam dua hal yaitu
mengenai produk lulusannya dan produk hasil penelitian.
Efisiensi merupakan turunan dari logika ekonomi yang
menyebutkan bahwa apabila sebuah tindakan ekonomi
dianggap tidak menguntungkan maka lebih baik ditiadakan.
Untuk melakukan efisiensi ini, program studi dibatasi.
Prioritas utama diberikan kepada jurusan-jurusan yang
memiliki kemampuan teknis aplikatif yang mendukung
dunia pekerjaan. Beberapa di antaranya adalah program
studi Kedokteran, Teknik, Ekonomi, maupun MIPA.
Dalam program studi ini, kursi dibuka sebanyak-banyak
dan dengan biaya pendidikan yang mahal. Kerjasama
internasional dalam program studi ini juga dibuka. Tak
heran jika peminat program studi ini semakin bertambah
setiap tahun. Sementara itu program studi pinggiran seperti
ilmu budaya maupun filsafat ditepikan. Program studi ini
dianggap tidak profitable sehingga tidak menghasilkan
keuntungan material yang diharapkan.
Ketiga, prinsip keterprediksian dikaitkan dalam logika

96
Wisnu Prasetyo Utomo

link and match antara dunia pendidikan dengan dunia kerja.


Persoalannya, pendidikan semacam ini hanya menghasilkan
lulusan-lulusan ala robot siap kerja. Kurikulum disusun
sedemikian rupa sehingga lulusan harus bisa menyesuaikan
diri dengan lapangan pekerjaan. Yang patut mendapat
perhatian adalah lapangan pekerjaan di sini diartikan
sebagai kerja teknis dan bukan kerja intelektual maupun
filosofis.
Keempat, prinsip teknologisasi menjelma melalui
kebijakan pendidikan. Pendidikan saat ini harus meng-
gunakan perkembangan teknologi terbaru atau hi-tech.
Teknologi tidak mendapat perhatian secara kritis oleh
dunia pendidikan melainkan hanya dilihat sebagai sebuah
keharusan sejarah yang tidak dapat dihindari.

Perubahan Status Menjadi BHMN


Serangkaian aturan yang dikeluarkan pemerintah di
era transisi menuju demokrasi menjelaskan bagaimana
pelepasan tanggung jawab dan perubahan dalam sistem
pendidikan itu terjadi. Pada mulanya adalah Peraturan
Pemerintah (PP) No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan
Pendidikan Tinggi sebagai Badan Hukum. Pasca PP ini
keluar, semua Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia
kemudian harus berubah status menjadi Badan Hukum.
Konsekuensinya, kampus memiliki otonomi di wilayah
akademik sampai pendanaan.
Jika dibaca lebih jauh sebenarnya, persoalan otonomi
di wilayah pendanaan operasionalisasi pendidikan
memunculkan problem baru. Negara tidak sepenuhnya
memberikan subsidi pembiayaan pendidikan. Dengan kata
lain, negara melepaskan tanggung jawab terhadap dunia
pendidikan di tanah air. Perguruan tinggi dipaksa untuk
mencari dana secara mandiri. Inilah yang menjadi pintu
masuk bagi komersialisasi. Apalagi, untuk mencapai mutu
pendidikan tinggi diperlukan dana yang cukup besar. Simak
tabel besaran Biaya Satuan Pendidikan Tinggi berikut yang

97
Komersialisasi Pendidikan

dibutuhkan mahasiswa di BHMN generasi pertama ini:

Sub Belanja Faktual PT (juta rupiah)


Komponen ITB IPB UGM UI
BSPT
Personil 107.919,1 71.824,7 55.043,0 31.087,9
Fasilitas 6.607,6 9.342,1 1.932,2 8.669,1
Pendidikan
Manajemen 9.109,7 14.057,7 781,1 3.708,9
Struktural
Tugas 14.547,7 13.241,8 3.172,9 1.714,1
Pembelajaran
Tugas 13.677,2 17.454,7 19.070,2 316,2
Penelitian
Tugas Jasa 14.930,7 2.240,7 2.203,0 2.869,0
Layanan
Total 166.252 128.161,7 2.203,0 2.869,0
Jumlah rerata 10.521 13.892 26.770 7.325
mahasiswa
BSPT per 801 9.128 3.128 6.218
mahasiswa
per tahun
Dikutip dari Darmaningtyas (2005:154)

Sementara itu Sofian Effendi dalam Rekomendasi


untuk Mendiknas (2007) mengatakan bahwa diperlukan
biaya pendidikan sebesar 19,9 triliun rupiah, dengan
catatan biaya pendidikan 18.1 juta rupiah per mahasiswa
per tahun seperti rencana Ditjen Dikti. Jumlah tersebut
hanya untuk membiaya lebih kurang satu juta mahasiswa
di seluruh Perguruan Tinggi Negeri. Untuk membiayai 5,6
juta mahasiswa di seluruh Perguruan Tinggi diperlukan
biaya sebesar 69,4 triliun rupiah per tahun. Bila standar
mutu yang hendak dicapai adalah standar mutu di PT
Malaysia, diperlukananggaran sebesar 154 triliun rupiah
per tahun untuk 1 juta mahasiswa PTN. Untuk menyediakan
pendidikan tinggi berstandar mutu regional Asean bagi 5,6
juta mahasiswa diperlukan biaya sebesar 662,4 triliun.

98
Wisnu Prasetyo Utomo

Sebenarnya lebih tepat jika dikatakan perubahan status


ini adalah bentuk pelepasan tanggung jawab negara dan
tidak murni otonomi. Otonomi dalam konteks ini hanya
diandaikan dalam konteks pendanaan. Sementara dalam
hal lainnya terutama persoalan kebebasan akademik tetap
berada dalam kontrol pemerintah.
Bukti sederhana, seperti ditunjukkan Darmaningtyas
(2009:101), bisa dilihat dari kewenangan Menteri Pendidik-
an Nasional (Mendiknas) yang terlalu besar dalam pemilihan
pimpinan di semua perguruan tinggi di Indonesia. Pada
bab X Pasal 14 (3), dijelaskan bahwa rektor diangkat dan
diberhentikan oleh Majelis Wali Amanat (MWA) yang
terdiri dari unsur-unsur yaitu menteri, senat akademik,
masyarakat, dan rektor. Sementara seluruh dosen dan
mahasiswa justru tidak memiliki hak pilih.
Bandingkan dengan Mendiknas yang memiliki hak
suara sebesar 35%, jauh lebih besar bila dibandingkan
para pemilik hak suara yang lain. Ini membuat pemerintah
memiliki kuasa yang besar untuk memutuskan siapa yang
berhak menjadi pimpinan kampus.
Tidak dilibatkannya mahasiswa dalam pemilihan
tersebut menjadi petunjuk yang gamblang bahwa elemen
terbesar dalam kampus ini hanya ditempatkan sebagai
objek yang dipersiapkan menempati dunia kerja semata.
Artinya, logika antara kampus dan mahasiswa berada dalam
ranah untung rugi. Apalagi, dalam PP ini, perubahan status
Perguruan Tinggi menjadi Badan Hukum membuatnya
memiliki hak-hak yang sama untuk melakukan hal-hal
selayaknya badan hukum lainnya. Salah satunya ada-lah
menyelenggarakan kegiatan dan mendirikan unit usa-
ha yang hasilnya akan digunakan untuk mendukung
penyelenggaraan proses fungsi-fungsi Perguruan Tinggi.
Perubahan status sebagai konsekuensi peraturan ini men-
jadi faktor utama yang menyebabkan biaya kuliah yang
makin melambung.
Indikasinya dapat dilihat dari biaya masuk (admission
fee) yang rata-rata di atas Rp10.000.000 per mahasiswa.
99
Komersialisasi Pendidikan

Uang itu ditarik setelah mahasiswa baru diterima melalui


ujian masuk. Kenaikan biaya semakin menjadi-jadi setelah
keluarnya PP tersebut yang diikuti dengan PP No. 152, 153,
154, dan 155 tahun 2000 yang menetapkan UI, UGM, IPB,
dan ITBmenjadi Badan Hukum Milik Negara. Inilah BHMN
generasi pertama yang kemudian menjadi role model bagi
banyak PTN lain. Ujian masuk dilaksanakan secara mandiri
oleh setiap BHMN.
Seperti diungkapkan Ari Sudjito dalam majalah Balairung
Edisi Khusus/Tahun XV/1999, kesibukan mengejar proyek
ini membuat kampus akhirnya menjadi sebuah perusahaan
pendidikan. Sebagai sebuah perusahaan atau korporasi,
orientasinya adalah mengeruk keuntungan. Rasionalitas
ekonomi meminggirkan rasionalitas pendidikan. Karena itu,
reaksi penolakan muncul dari mahasiswa. Tidak hanya di
UGM reaksi penolakan juga muncul di UI, ITB, dan IPB. Di UI
misalnya, mahasiswa bahkan sampai trauma dan kemudian
tak acuh mengenai masalah ini. Ketika dimulai transisi
otonomi kampus di UI, terjadi kenaikan biaya pendidikan
(SPP) yang mencapai angka 300% kenaikan dari biaya
sebelumnya.
Merespon kebijakan itu, mahasiswa habis-habisan
menggelar aksi perlawanan sebagai wujud keprihatinan.
Tapi tidak dicapai kata kompromi dengan rektorat. Akhirnya
mahasiswa yang sudah jenuh pelan-pelan mengendurkan
perlawanan. Bahkan tidak melakukannya sama sekali. Ini,
seperti dituturkan Fahmy Ibrahim dalam Majalah Balairung
(1999:29), membuat mereka trauma dan menjadi apatis
ketika membicarakan persoalan otonomi kampus.
Wisnu Prasetya Utomo (2010) mencatat, setiap BHMN
juga membuat mal di dalam kampus. IPB membangun
Ekalokasari Plaza atau E-Plaza. Di kampus UI Depok tumbuh
berbagai outlet bisnis, seperti restoran Korea, Alfamart,
sampai kantor bank. ITB bekerja sama dengan PT. Niaga
Aset Manajemen membentuk reksadana yang merupakan
produk jasa keuangan. Yang paling ironis, pembangunan
mal di UGM terhambat. Bahkan UGM harus menanggung

100
Wisnu Prasetyo Utomo

malu karena harus membayar ganti rugi sebesar 44


miliar rupiah, setelah dituntut oleh kontraktor mal yang
merasa dibohongi. Kampus sibuk mengejar proyek-proyek
kerjasama untuk pendanaan operasional pendidikan.
Selain kenaikan biaya kuliah dan pembangunan
beberapa unit usaha seperti mal, efek perubahan status
yang pekat terasa adalah obsesi internasionalisasi. Obsesi
ini dirumuskan dalam nomenklatur yang jamak terdengar,
world class research university. Satu persoalan yang
mengemuka kemudian adalah nomenklatur ini tinggal
menjadi slo-gan. Cita-cita untuk menjadi universitas
riset bertaraf internasional kemudian memunculkan
kecendurungan di mana riset-riset menjadi ajang untuk
mengakumulasi keuntungan ekonomi politik, alih-alih
menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan.
Heru Nugroho (2006:172) menyebut hal itu sebagai
arena perebutan kekuasaan. Sebagaimana dipaparkan
Heru, kegiatan penelitian universitas memiliki sisi lain yang
memberi keuntungan ekonomi bagi sang peneliti. Kalangan
civitas academica, baik dosen maupun mahasiswa, yang
memiliki akses luas ke penelitian akhirnya akan memiliki
jejaring patronase yang memiliki keuntungan politik.
Achmad Choirudin (2010:60-61) menjelaskan bahwa riset
yang dilakukan mahasiswa terkadang bisa membentuk
jejaring perkoncoan. Jejaring yang menetap ini kemudian
mengelompok sendiri untuk bisa mengakses dana penelitian.
Tidak hanya horizontal, Achmad juga menjelaskan bahwa
jejaring ini bergerak secara vertikal.
Sebagai contoh, keuntungan itu diperoleh dari dana
penelitian yang diberikan kampus atau lembaga donor. Tak
jarang peneliti lebih sibuk mencari penelitian yang basah
dengan dana melimpah. Meskipun untuk itu integritas
sebagai ilmuwan mesti dikorbankan. Beberapa penelitian
yang dilakukan oleh kampus negeri tertua di Indonesia,
UGM, menunjukkan kecenderungan tersebut. Seperti
dicatat Wisnu Prasetya Utomo (2010:53) tahun 2008, ada
dua penelitian UGM yang memicu kontroversi publik.

101
Komersialisasi Pendidikan

Pertama, penelitian pesanan yang melibatkan Jurusan


Ilmu Komunikasi (JIK). JIK mengerjakan penelitian dengan
dana dari PT. Asian Agri. Penelitian itu sendiri merupakan
riset tentang pemberitaan yang dilakukan Majalah Tempo
dan Koran Tempo tentang penggelapan pajak senilai 1,3
triliun rupiah yang melibatkan Asian Agri. Kontroversi ini
bergerak liar karena banyak pihak menuding JIK sebagai
institusi akademik hanya membela koruptor tanpa melihat
kepentingan umum (Majalah Tempo, 6 Januari 2008).
Belakangan di tahun 2012, Mahkamah Agung (MA) memutus
Asian Agri bersalah atas penggelapan pajak tersebut.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Fakultas
Kehutanan (FKT) bekerjasama dengan PT. Jogja Magasa
Minning mengenai penambangan pasir besi di Kulon Progo.
Penelitian ini memicu konflik dengan petani Kulon Progo
yang merasa dirugikan. Ribuan petani ini bahkan sampai
melakukan aksi demonstrasi di halaman Grha Sabha
Pramana UGM (21 Juni 2008).
Dua contoh tersebut menjadi ilustrasi sederhana
dari gejala umum perselingkuhan antara kampus dengan
korporat-korporat yang menjadi donor atas penelitian-
penelitian yang dilakukan. Heru Nugroho (2006:159)
menjelaskan bahwa perubahan status sebagai konsekuensi
otonomi kampus membuat perguruan tinggi jatuh ke
cengkeraman tangan rezim pasar. Kampus diuntungkan
dengan melimpahnya bisnis pendidikan dan penelitian
sehingga gagal memunculkan sikap kritis terhadap akar
persoalan yang muncul dari kebijakan pemerintah tersebut.

Berganti Wajah Menjadi BHP


Disahkannya Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidik-
an Nasional menjadi UU No 20/2003 adalah penanda
utama corak pendidikan di Indonesia yang semakin
kapitalistik. Keberadaanya semakin menegaskan PT.
BHMN yang sebelumnya hanya berada di bawah payung
hukum berupa Peraturan Pemerintah, dengan peraturan

102
Wisnu Prasetyo Utomo

ini, BHMN-BHMN serta Perguruan Tinggi yang masih


berada dalam masa transisi perubahan status memiliki
wewenang yang besar untuk mengeksplorasi berbagai
sumber pendanaan pendidikan dengan kreativitasnya.
Faktanya, undang-undang ini melempangkan privatisasi
pendidikan melalui pelepasan tanggung jawab pembiayaan
oleh pemerintah untuk kemudian dibebankan kepada
masyarakat (Darmaningtyas, 2005:159). Hal ini tidak hanya
terjadi di level pendidikan tinggi tetapi juga menyeluruh
sampai di pendidikan dasar dan menengah. Di sini pertama
kali muncul nomenklatur Rintisan Sekolah Berstandar
Internasional (RSBI).
Selain memberikan legitimasi yang kokoh kepada
BHMN, undang-undang ini selanjutnya mengamanatkan
pembentukan satu Badan Hukum Pendidikan (BHP). BHMN
akan malih rupa dan berganti wajah menjadi BHP. Amanat
ini muncul dalam pasal 53 UU Sisdiknas yang isinya:
1. Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal
yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat
berbentuk badan hukum pendidikan.
2. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan
pendidikan kepada peserta didik.
3. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat
mengelola dana secara mandiri untuk memajukan
satuan pendidikan.
4. Ketentuan tentang badan hukum pendidikan
diatur dengan Undang-undang tersendiri.
Latar belakang kemunculan BHP dilandasi keinginan
pemerintah untuk mewujudkan kemandirian dalam
penyelenggaraan pendidikan dengan menerapkan manaje-
men berbasis sekolah pada pendidikan dasar dan menengah.
Serta memberikan otonomi bagi pendidikan tinggi. BHP
sendiri diharapkan memberikan pelayanan pendidikan
formal sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidik-an

103
Komersialisasi Pendidikan

nasional. Dalam hal ini pendidikan dikelola dengan prinsip


1) Nirlaba, 2) Otonom, 3) Akuntabel, 4) Transparan,
5) Penjaminan mutu, 6) Layanan prima, 7) Akses yang
berkeadilan, 8) Keberagaman, 9) Keberlanjutan, dan 10)
Partisipasi atas tanggung jawab negara (Darmaningtyas,
2009:43-44). Bunga kata-kata yang berada dalam sekujur
tubuh BHP tidak dapat menutupi fakta bahwa kemunculan
RUU BHP membuat dunia pendidikan di Indonesia semakin
menyesatkan. Darmaningtyas (2005:162) menjelaskan
bahwa keberadaannya akan mengaburkan peran negara
dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, sedangkan
secara teknis menyulitkan masyarakat untuk mengakses
pendidikan yang diselenggarakan oleh negara.
Diskursus tentang RUU BHP ini pernah memuncak
sampai pada titik ekstrem antara mereka yang mendukung
dan menolaknya. Ardi Nuswantoro (2008:103) menyebut
bahwa diskursus ini berada dalam kerangka besar
pertarungan ideologi pendidikan. Dengan mengutip
William ONeil, Ardi mengatakan bahwa ideologi
pendidikan yang bertarung di Indonesia adalah ideologi
liberal dan konservatif. Ideologi liberal secara gamblang
terlihat pada posisi pemerintah. Ideologi ini memahami
bahwa tujuan pendidikan adalah menyiapkan tenaga kerja
yang memiliki kemampuan profesional dan praktis untuk
memenuhi kebutuhan pasar kerja. Pendidikan dianggap
sebagai subsistem dari ekonomi. Ideologi ini bisa dilihat
dalam alur penyusunan serangkaian regulasi mengenai
pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sementara
itu, berhadapan dengan ideologi liberal, adalah ideologi
konservatif yang diwakili oleh para penolak kebijakan ini
termasuk pers mahasiswa. Penganut ideologi ini meyakini
bahwa fungsi pendidikan adalah menjadi penjaga nilai
budaya dan moral. Karena itu mestinya pemerintah
memegang penuh tanggung jawab untuk membiayai proses
pendidikan dari level pendidikan dasar sampai pendidikan
tinggi.
Pertentangan ini mengemuka dalam pemberitaan

104
Wisnu Prasetyo Utomo

media massa selama tahun 2007 hingga 2008 serta di ruang


persidangan dalam judicial review yang dilakukan terhadap
UU Sisdiknas yang mengamanatkan pembentukan BHP.20
Rentang waktu ini merupakan waktu di mana intensitas
diskursus pendidikan tengah meningkat drastis. Mereka
yang menerima mengajukan alasan bahwa BHP memberikan:
1) otonomi serta peningkatan pelayanan pendidikan tinggi,
dan 2) merupakan amanat atas demokratisasi pendidikan
dan perlunya partisipasi masyarakat. Sementara yang
berada pada titik berseberangan memberi argumen bahwa
1) muncul kesenjangan empiris RUU BHP dengan fakta
di lapangan, 2) kekhawatiran munculnya komersialisasi
pendidikan dan lepasnya tanggung jawab pemerintah,
serta 3) sulitnya implementasi RUU BHP (Ardi Nuswantoro,
2008:65-68).
Daoed Joesoef dalam Departemen Perdagangan
Pendidikan (Kompas, 29/8/2007, halaman 7) menyebut
bahwa RUU BHP membawa semangat dagang yang kental.
Semangat yang seperti terlihat dalam pasal 2, membenarkan
pihak asing bekerjasama menyelenggarakan pendidikan di
Indonesia dengan modal mencapai 49 persen. Ini muncul
setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No.
76 dan 77 tahun 2007 yang membuka luas investasi bagi
modal asing tersebut.21 Sedangkan Agus Suwignyo dalam
Alasan Keberadaan BHP (Kompas, 28/5/2007, halaman 6)
menyebut bahwa kelemahan BHP terletak pada absennya
rekonseptualisasi makna dan peran lembaga pendidikan
formal dalam dinamika kekinian masyarakat. Seperti
yang disebutkan dalam konsideran, BHP sebagai amanat
20 Tahun 2007, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI), Yayasan
Pembina Lembaga Pendidikan PGRI, dan Pendidikan Wali Gereja Indonesia
mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait pasal 53 UU
Sisdiknas yang mengamanatkan adanya BHP. Ketiganya mengajukan uji materi
karena menilai pembentukan BHP adalah bentuk pelanggaran terhadap UUD
1945. MK sendiri yang saat itu diketuai Jimly Asshiddiqie kemudian menolak uji
materi tersebut dan dengan demikian, penyusunan Ruu BHP sebagai turunan
dari UU Sisdiknas tetap bisa berjalan.
21 Peraturan Presiden ini muncul sebagai konsekuensi diratifikasinya General
Agreement on Trade in Services (GATS) pada tahun 2005. Di dalam GATS ini
dibahas segenap transaksi perdagangan dunia termasuk pendidikan.

105
Komersialisasi Pendidikan

UU Sisdiknas akan memberikan pelayanan prima kepada


peserta didik sesuai otonomi. Namun justru tidak diurai
otonomi pengelolaan organisasi pendidikan semacam
apa yang diperlukan untuk merespon perkembangan
masyarakat yang ada. Tidak muncul raison detre BHP
yang substansial. Wajar jika kesan yang muncul kemudian
adalah konsep ini lahir dari pemikiran yang instan, tidak
mendalam, dan kejar setoran.
Meskipun muncul penolakan yang meluas dari
masyarakat, faktanya RUU BHP resmi disahkan menjadi
Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan. masa transisi perubahan status bagi Perguruan
Tinggi maupun BHMN berlanjut. Perlawanan dari segenap
elemen masyarakat juga tak kunjung surut. Mekanisme
judicial review diajukan ke MK oleh elemen masyarakat
sipil. Satu ikhtiar yang berhasil karena pada 30 Maret
2010 Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU BHP
sepenuhnya. Ini untuk pertama kali MK membatalkan
sebuah undang-undang seluruhnya melalui sebuah judicial
review. Sebelumnya, pembatalan keseluruhan materi
undang-undang selalu melalui satu legislative review.
Indikasi yang cukup jelas untuk memperlihatkan betapa
undang-undang BHP bertentangan dengan UUD 1945.

106
Komersialisasi Pendidikan,
Agenda Neoliberal?

Pengantar
Setiap wacana, tidak dapat dilepaskan dari praktik
penggunaan bahasa. Bahasa menjadi medan kekuasaan yang
memiliki tujuan untuk memengaruhi cara berpikir tertentu.
Bahasa menunjukkan perspektif individu dalam memaknai
sesuatu, menentukan nalar berpikir, termasuk juga struktur
kesadaran. Dari sana, kita bisa melihat relasi kuasa yang
saling berkelin dan untuk memperoleh penerimaan nalar
umum.
Strategi kekuasaan ini berlangsung melalui akumulasi
wacana dalam ilmu pengetahuan. Secara lugas filsuf-aktivis
asal Prancis, Michael Foucault, merumuskannya dalam
kalimat knowledge is power. Tidak ada pengetahuan yang
tidak memiliki efek kuasa, dan tidak ada kekuasaan tanpa
pengetahuan. Istilah wacana seperti yang diuraikan Foucault
harus dibedakan dari bahasa karena posisinya memang
tidak setara. Seperti diungkapkan Donny Gahral Ardian
(2011:142), wacana menerjemahkan realitas ke dalam
bahasa dan mengonstitusi cara kita dalam memandang
realitas.
Berita-berita yang dianalisis dalam penelitian ini
menunjukkan bagaimana wacana otonomi kampus itu
diletakkan. Pers mahasiswa menganggap otonomi sebagai
pintu masuk bagi komersialisasi pendidikan. Efek negatif
yang muncul dari komersialisasi pendidikan seperti
kenaikan biaya dan diskriminasi akses terhadap masyarakat
107
Komersialisasi Pendidikan

miskin adalah sedikit alasan yang membuat penolakan ini


berlangsung dengan masif.
Teks-teks berita pers mahasiswa dalam konteks ini,
bisa dipahami sebagai sebuah perlawanan wacana atas
narasi besar komersialisasi pendidikan yang dibalut dengan
istilah otonomi kampus. Perlawanan ini merupakan bentuk
perlawanan ideologis antara penganut ideologi konservatif
dengan liberal dalam dunia pendidikan. Penganut ideologi
konservatiftermasuk pers mahasiswameyakini bahwa
fungsi pendidikan adalah menjadi penjaga nilai budaya dan
moral. Karena itu negara tetap bertanggung jawab terutama
untuk membiayai pendidikan. Sebab, jika pendidikan
dijadikan komoditas dan hanya menyediakan tenaga kerja
bagi pasar, maka nilai-nilai budaya yang dikandung dalam
pendidikan akan menghilang. Dalam skala yang lebih besar
juga akan menghilangkan identitas kebangsaan.
Dengan landasan ideologis yang jelas, pers mahasiswa
menggunakan berbagai cara untuk memenangkan perta-
rungan wacana tersebut. Termasuk menabrak rambu-
rambu jurnalistik dalam berita yang idealnya menunjukkan
objektivitas informasi. Narasi berita pers mahasiswa
menggunakan logika diametral di mana ada dua pihak yang
dipertentangkan secara vis a vis sesuai dengan ideologi
liberal dan konservatif. Pemerintah, bersama subsistemnya
sampai di level birokrasi perguruan tinggi, diletakkan
sebagai penganut ideologi liberal. Pers mahasiswa
menganggap mereka sebagai aktor yang bersalah telah
mengeluarkan kebijakan otonomi kampus. Tuduhan terse-
but bahkan ditarik lebih jauh dengan mengatakan bahwa
kebijakan pendidikan ini merupakan agenda neoliberal
yang mesti diwaspadai. Jika tidak, perguruan tinggi akan
menjadi ladang baru kapitalisme. Sementara dalam sisi
yang berhadapan, adalah sosok mahasiswa dan rakyat yang
dirugikan karena kebijakan ini diskriminatif terutama bagi
mereka yang berada pada golongan ekonomi menengah ke
bawah.
Analisis terhadap berita-berita yang dibingkai dalam

108
Wisnu Prasetyo Utomo

narasi perlawanan pers mahasiswa terhadap komersialisasi


pendidikan berikut akan dimulai dari dimensi teks, kognisi
sosial, dan terakhir konteks sosial.

Teks
Pers Edisi Judul
Mahasiswa
Balairung 16/Rabu 5 Selamat Datang di
September 2001 Kampus UGM Inc.
58/Jumat 19 BHMN, Agenda
Desember 2003 Tersembunyi di Balik
Status yang Tidak Jelas
69/Senin 13 Ketika Ruang-ruang
Desember 2004 Akademik Mulai
Terinfeksi Iklan
Catatan Kaki 10/Thn VIII/Agustus Sistem Kemitraan :
2002 Sumber Dana Terbaru
Unhas
12/Thn VIII/ Unhas Ladang Baru
November 2002 Kapitalisme
III/Thn IX/ Kembali, SPP Unhas Naik
September 2003
Suara USU 22/September 2000 Mengurai Benang Kusut
Sistem Pendidikan
34/XVI/Oktober BHMN: SPP Naik?
2002
41/Mei 2004 Pembangunan Salah
Sasaran

Dalam rentang waktu tahun 2000-2004, total ada 9 berita


yang dianalisis dalam penelitian ini. Seperti disebutkan
dalam bab 1, pemilihan 9 berita ini didasari pertimbangan
bahwa berita yang dipilih adalah berita utama yang secara
langsung memiliki kaitan dengan kebijakan otonomi kam-
pus. Kebijakan yang selanjutnya menjadi komersialisasi
pendidikan sebagai konsekuensi dari perubahan status.

109
Komersialisasi Pendidikan

Hanya berita tentang efek pendanaan yang semakin mahal


saja yang diambil dalam penelitian ini. Sementara berita-
berita yang meliput efek lanjutan dari kebijakan perubahan
status, seperti persoalan organisasi mahasiswa dan sistem
akademik, tidak dimasukkan dalam objek penelitian.
1. Tematik: Narasi Besar Perlawanan
Dengan menunjuk pada gagasan umum dari suatu teks,
elemen tematik merupakan informasi utama yang
memiliki peran penting dalam membentuk makna
tertentu atas teks tersebut. Karena itu elemen ini juga
disebut sebagai topik karena sifatnya yang sentral
dan merupakan inti utama dari sebuah teks. Van Dijk
mengatakan bahwa topik ini dipengaruhi oleh struktur
kesadaran wartawan atau penulis. Bahkan secara spesifik
ia jelaskan bahwa topik merupakan cerminan atau refleksi
dari sikap mental atau kognisi. Elemen ini adalah struktur
makro dari sebuah wacana. Dari sini kita bisa mengetahui
sikap dan tindakan yang diambil komunikatordalam
konteks ini misalnya wartawandalam melihat sebuah
permasalahan. Misalnya, dalam sebuah berita, elemen ini
dapat dilihat dari berita penolakan maupun dukungan
terhadap kebijakan pemerintah. Topik ini nanti akan
didukung oleh subtopik-subtopik yang lain.
Sembilan berita dalam penelitian ini mewakili dua
narasi besar yang coba dibangun oleh pers mahasiswa
dalam kerangka perlawanan terhadap komersialisasi
pendidikan. Pertama, gugatan terhadap landasan
konseptual-filosofis yang mendasari munculnya kebijakan
BHMN. Kedua, kritik terhadap praktik implementasi
kebijakan yang dilakukan oleh masing-masing kampus.
Dalam narasi yang pertama, PP No. 61 Tahun 1999 yang
menjadi dasar awal bagi perubahan status menjadi
BHMN dianggap sebagai peraturan yang menunjukkan
keberpihakan pemerintah kepada kepentingan asing.
Dan dengan demikian secara diametral diartikan bahwa
pemerintah tidak berpihak kepada rakyat Indonesia.
Mengenai gugatan ini bisa kita lihat dalam teks berikut:

110
Wisnu Prasetyo Utomo

BHMN menyimpan banyak maksud tersembunyi di


dalamnya. Ketakberdayaan pemerintah dalam menjamin
pendidikan rakyat membuatnya terjebak dengan pene-
rapan agenda-agenda neoliberal. Belum lagi masalah
konsep BHMN yang dinilai masih mentah dan hasilnya
pun masih disangsikan.
(Balairung Edisi 16/Rabu 5 September 2001)

Teks tersebut mencoba membangun argumen bahwa


pemberlakuan Badan Hukum Milik Negara di UGM
dan universitas lainnya sebagai sebuah ketidakjelasan.
Ketidakjelasan ini meliputi konsep dan implementasi
kebijakan. Dari ketidakjelasan tersebut juga publik
termasuk mahasiswa harus mencermati skenario yang
lebih luas dari pemberlakuan BHMN ini. Skenario yang
dimaksud adalah tekanan dari asing untuk melaksanakan
agenda-agenda neoliberal di mana salah satunya adalah
melakukan privatisasi pendidikan. Bangunan argumen
yang senada bisa kita perhatikan dalam teks berita
Catatan Kaki berikut:

Dalam UUD 1945 telah diatur bahwa setiap warga negara


berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
Ini berarti hak tersebut melingkupi semua unsur
masyarakat baik bagi yang miskin terlebih yang kaya. Tapi
itu hanya tinggal gombal dalam kata-kata. Kenyataannya
saat ini terjadi pengingkaran dengan adanya usaha
swastanisasi kampus yang menghantui banyak perguruan
tinggi di Indonesia. Bahkan beberapa di antaranya yakni
UI, UGM, IPB, ITB telah dicekam, dan mungkin tak lama
lagi kampus merah kita, Universitas Hasanuddin.
(Catatan Kaki Edisi 12 Tahun VIII November 2002)

Dalam teks berita tersebut, Catatan Kaki membe-


ritakan tentang kondisi Unhas saat ini yang sudah
mengarah kepada swastanisasi kampus. Swastanisasi
kampus disinyalir selain sebagai konsekuensi perubahan
status yang dicanangkan pemerintah juga karena
Unhas dianggap ingin menaikkan gengsi agar sama
dengan universitas-universitas di Pulau Jawa. Indikasi

111
Komersialisasi Pendidikan

swastanisasi ini setidaknya bisa dilihat dari kenaikan


biaya kuliah dan semakin banyaknya jalur masuk Unhas
yang berbasis swadaya. Meskipun istilah swastanisasi ini
ditolak oleh pejabat di kampus Unhas, tetapi kenaikan
biaya pendidikan tidak dapat dipungkiri merupakan
akibat dari pemerintah yang lepas tangan dengan
mencabut subsidi pendidikan. Kritik atas pelepasan
tanggung jawab ini juga diajukan oleh Suara USU
yang menyatakan bahwa pemerintah Indonesia lebih
memberikan prioritas pada pembangunan ekonomi alih-
alih pada penciptaan manusia-manusia yang unggul. Bisa
kita lihat dalam teks berikut:
Sesunggguhnya konsep BHMN diharapkan sebagai solusi
dari minimnya budget pendidikan yang dialokasikan
pemerintah Indonesia, dalam rangkaian kebijakan
pembangunannya lebih tertarik untuk memperkuat
struktur ekonomi ketimbang mencetak barisan
manusia-manusia Indonesia yang well-educated. Artinya,
pendidikan menempati prioritas yang ke sekian. Padahal,
di dunia maju prioritas pendidikan adalah nomor satu.
(Suara USU Edisi 34/XVI/Oktober 2002)

Suara USU mengungkap tentang rencana perubahan


status kampus USU menjadi BHMN yang belum jelas.
Ketidakjelasan ini berawal dari minimnya informasi
dan sosialisasi yang diterima oleh mahasiswa. Banyak
yang menganggap bahwa BHMN merupakan sejenis
kapitalisme pendidikan yang akan mendiskriminasi
masyarakat dari golongan menengah ke bawah. Apalagi,
pendirian BHMN dilatarbelakangi ketidakmampuan
pemerintah dalam memberikan subsidi pendidikan.
Karena tidak ada subsidi pendidikan, universitas harus
kreatif untuk mencari sumber dana. Frame BHMN
adalah berorientasi bisnis. Wajar jika rencana perubahan
status menjadi BHMN ini diiringi dengan kenaikan biaya
pendidikan (SPP) di USU.
Tematik seperti di atas disajikan ketiga pers
mahasiswa untuk menunjukkan bahwa kebijakan

112
Wisnu Prasetyo Utomo

perubahan status menjadi BHMN adalah kebijakan


yang tidak mengindahkan rakyat kecil. Dalam titik
tertentu bahkan mengkhianati Pancasila sebagai falsafah
hidup kebangsaan. Neoliberalisme dianggap sebagai
kepentingan asing dan akan mencengkeram dunia
pendidikan di Indonesia. Cengkeraman ini kemudian
akan membuat dunia pendidikan tidak menghasilkan
manusia-manusia yang humanis dan menjadi solusi
bagi segenap persoalan bangsa. Yang muncul kemudian
adalah manusia-manusia yang menjadi buruh dari dunia
kerja sesuai agenda neoliberalisme.
Narasi kedua yang selanjutnya dimunculkan oleh pers
mahasiswa adalah kritik terhadap praktik implementasi
kebijakan yang dilakukan oleh masing-masing kampus.
Ketidakjelasan perubahan status membuat praktik
implementasi atas kebijakan tersebut oleh kampus pun
menjadi semrawut. Ini yang menjadi titik pijak bagi pers
mahasiswa untuk mengajukan kritikan-kritikannya.
Misalnya saja seperti bisa dilihat dalam teks berikut:
Agaknya, mahasiswa baru memang perlu ditarik untuk
peduli terhadap persoalan klasik semacam ini. Jika tidak,
mereka kelak yang akan terkena imbasnya. Apalagi
sejak dikeluarkannya PP No 153 Tahun 2000 tentang
pemberlakuan otonomi kampus, makin banyak hal
yang mesti dicermati mahasiswa. Otonomi membuat
universitas bisa melakukan berbagai kegiatan usaha,
baik usaha untuk mengisi kocek maupun meningkatkan
kualitas. Untuk mengail rupiah, UGM bahkan tak segan
membuka banyak program diploma dan ekstensi.
Maraknya pembangunan dan kerjasama dengan pihak
luar juga tak lepas dari adanya otonomi.
(Balairung, Edisi 16 Rabu, 5 September 2001)

Tematik berita ini menjelaskan tentang fenomena


kebanggaan mahasiswa baru UGM yang hanya bersifat
semu. Kebanggaan menjadi mahasiswa baru hanya
akan muncul di awal-awal kuliah saja. Sebab, banyak
persoalan di kampus yang akan melibatkan mahasiswa
baru. Karut marut persoalan di kampus UGM ini berawal
113
Komersialisasi Pendidikan

dari perubahan status menjadi BHMN pasca keluarnya PP


153 Tahun 2000 tentang pemberlakuan otonomi kampus,
makin banyak hal yang mesti dicermati mahasiswa.
Otonomi membuat universitas bisa melakukan berbagai
kegiatan usaha, baik usaha untuk mengisi kocek maupun
meningkatkan kualitas. Untuk mengail rupiah, UGM
bahkan tak segan membuka banyak program diploma
dan ekstensi. Balairung menulis bahwa UGM membuka
berbagai program yang tidak jelas dan melegitimasinya
dengan keberadaan BHMN. Catatan Kaki mengajukan
kritik yang sama berikut:
Mengingat kenaikan SPP yang nyaris tiap tahun ternyata
tidak membawa perubahan yang berarti terhadap
kondisi sarana dan prasarana di Unhas. Misalnya kondisi
laboratorium yang kian mengkhawatirkan tiap tahunnya.
Mahasiswa yang seharusnya melakukan praktikum hanya
bisa pasrah menyaksikan demonstrasi yang dilakukan
dosen ataupun asisten karena bahan dan alat praktikum
yang tidak cukup.
(Catatan Kaki, Edisi III Tahun IX September 2003)

Sedangkan Suara USU memotret banyaknya pem-


bangunan di fakultas-fakultas di USU yang salah sasaran.
Pembangunan lebih diarahkan untuk memoles gedung-
gedung daripada untuk memenuhi kebutuhan fasilitas
yang mendukung Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).
Selain itu, terdapat perbedaan sarana dan prasarana
penunjang KBM yang sangat mencolok antara fakultas
satu dengan fakultas lain.
Di beberapa laboratorium yang ada pada setiap
fakultas jarang sekali terlihat barang-barang atau alat-
alat yang baru, hampir semua peralatan lama dengan
kondisi yang sebenarnya kurang layak untuk digunakan.
Ini berbanding terbalik dengan gedung yang semakin
diperindah dan direnovasi. Ironisnya, permasalahan ini
bukanlah permasalahan baru yang mungkin saja luput
dari perhatian para pemimpin fakultas tetapi merupakan
permasalahan klasik yang hampir setiap tahunnya

114
Wisnu Prasetyo Utomo

menjadi polemik. Pembangunan yang salah sasaran ini


bisa diartikan bahwa kampus USU lebih mementingkan
citra ketimbang substansi. Bisa kita lihat dalam teks:

Yang mengherankan secara kasat mata kita dapat melihat


gencarnya pembangunan yang sedang dilakukan di FK
seperti perluasan parkir, perluasan kantin, pembangunan
koridor jalan penghubung menuju ke gedung ildrem,
perbaikan ruang seminar, ternyata fakultas yang selama
ini menjadi kiblatnya pertumbuhan pembangunan
sarana prasarana yang memadai untuk Kegiatan Belajar
Mengajar, juga menomorduakan kelengkapan peralatan
laboratorium.
(Suara USU, Edisi 41/Mei 2004)

Dengan memperhatikan tematik yang yang


dimunculkan Balairung, Catatan Kaki, dan Suara USU kita
bisa segera melihat bahwa kritik terhadap komersialisasi
pendidikan muncul dari hulu ke hilir. Keberpihakan
pemerintah pada kepentingan asing dengan melepas
subsidi pendidikan membuat pihak perguruan tinggi
pada posisi yang terdesak. Karena itu serangkaian usaha
untuk menggali dana dilakukan meskipun tanpa konsep
yang jelas. Meskipun terdesak, perguruan tinggi juga
memiliki andil dalam pembuatan kebijakan turunan
yang tidak tepat sasaran dan menjadikan masyarakat dan
mahasiswa baru sebagai sasaran tembak untuk mengeruk
dana sebanyak-banyaknya.

2. Skematik
Berita-berita dalam penelitian ini memiliki variasi
panjang antara satu sampai dua halaman. Balairung
memberikan ruang pendek dalam satu halaman
sementara Suara USU mengalokasikan ruang yang paling
panjang dalam dua halaman. Meskipun demikian, ada
skema identik yang muncul dalam pemberitaan. Berita-
berita tersebut setidaknya memiliki tiga struktur pokok
yang terbagi dalam teras berita, tubuh berita, dan
penutup berita.

115
Komersialisasi Pendidikan

Pertama, dalam teras berita menunjukkan idealisasi


atas kebijakan pendidikan yang membebaskan dan
berpihak kepada masyarakat. Pada titik ini pendidikan
yang dianggap membebaskan merujuk pada Ki Hajar
Dewantara, bapak pendidikan nasional. Seperti yang
ditegaskan Ki Hajar, kemerdekaan bersifat tiga macam:
berdiri sendiri (zelfstandig), tidak tergantung orang
lain (onafhankelijk), serta dapat mengatur diri sendiri
(vrijheid, zelfbeschikking). Pesan bapak pendidikan
nasional ini sebenarnya sederhana.
Ketika masyarakat mampu berpikir mandiri serta
mendidik dirinya sendiri, bangsa ini akan menjadi
bangsa yang bermartabat dan lepas dari belenggu
penindasan bangsa lain. Pendidikan adalah upaya
untuk menumbuhkan kemandirian tersebut. Artinya,
pendidikan tidak boleh memisahkan antara teori di kelas
dengan praksis di lapangan. Praksis pendidikan harus
berbasis realitas sosial. Dengan demikian harapan untuk
melahirkan manusia-manusia merdeka bisa tercapai.
Untuk itu, pemerintah mesti memegang tanggung
jawab penuh untuk membiayai pendidikan sehingga
masyarakat bisa mengakses pendidikan tanpa adanya
diskriminasi ekonomi. Sebab, jika dilepaskan ke dalam
cengkeraman rezim pasar, hanya golongan tertentu saja
yang mampu mengaksesnya. Dengan tanggung jawab
ini, setiap warga memiliki kesempatan yang sama untuk
bisa sampai pendidikan tinggi. Persis seperti bunyi
Pasal 31 ayat 1 UUD 1945: Setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan.
Struktur kedua yaitu tubuh berita mengelaborasi
problematisasi antara idealitas dengan realitas yang
muncul sebagai konsekuensi kebijakan perubahan status
Perguruan Tinggi menjadi BHMN. Setelah mendeskrip-
sikan bagaimana pendidikan yang ideal selanjutnya,
struktur yang muncul dalam teks kemudian beralih
ke fakta-fakta atau realitas yang jauh dari idealitas
tersebut. Serpihan fakta yang meresahkan tersebut

116
Wisnu Prasetyo Utomo

digambarkan sebagai diskursus antara kondisi objektif


konteks globalisasi dengan situasi subjektif pemerintah
dan pengelola pendidikan tinggi sebagai bagian dari
aparatus negara. Otonomi kampus yang kemudian
menjadi komersialisasi atau swastanisasi merupakan
satu kebijakan yang tidak berdiri sendiri. Paket program
yang berupaya mengurangi kewajiban negara dalam
memenuhi hak warga terhadap pendidikan serta hak-hak
dasar lainnya.
Problematisasi ini ditunjukkan melalui fakta-fakta
yang muncul dalam pelaksanaan kebijakan di kampus.
Kenaikan biaya kuliah, pembukaan berbagai jalur baru
untuk masuk universitas, sampai kebijakan pembangunan
di kampus yang tidak tepat sasaran karena hanya menjadi
proyek mercusuar semata. Sedangkan struktur ketiga
atau penutup berita, menunjukkan kritik, tuntutan serta
harapan tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk
membuat pendidikan lebih merakyat dan manusiawi.
Tuntutan mengenai tanggung jawab pemerintah
dan partisipasi mahasiswa atau masyarakat menjadi hal
utama yang mengemuka. Tanggung jawab pemerintah
terutama dikaitkan dengan pembiayaan pendidikan. Ini
berarti bahwa otonomi tetap diberikan kepada perguruan
tinggi namun diletakkan dalam satu bingkai kebijakan
akademik. Sedangkan partisipasi masyarakat dibutuhkan
dalam merumuskan sebuah kebijakan karena mereka
adalah stakeholder utama yang mestinya menjadi subjek
dalam dunia pendidikan.

3. Semantik
Semantik berada pada level mikro dalam struktur wacana.
Apa yang dimaksud oleh van Dijk mengenai semantik di
sini adalah tentang adanya makna lokal (local meaning)
yang dimiliki sebuah teks. Makna lokal ini dibentuk dari
hubungan antar kalimat yang pada tahap selanjutnya
akan membangun makna tertentu secara utuh.

117
Komersialisasi Pendidikan

Ada beberapa elemen semantik yang menyusun


bangunan makna itu dengan utuh yaitu latar, detail,
ilustrasi, maksud, pengandaian, dan penalaran. Elemen-
elemen ini secara bersama-sama akan mendefinisikan
bagian mana yang penting dalam sebuah wacana. Selain
itudan ini yang terpentingstrategi semantik ini ber-
tujuan untuk menggiring wacana ke arah tertentu sesuai
yang diinginkan. Bagian berikut akan menguraikan ten-
tang makna yang dikonstruksi oleh pers mahasiswa.
a. Latar
Latar adalah elemen semantik yang berperan penting
dalam bangunan logika yang disusun dalam satu berita
tertentu. Pola pikir yang ingin dibentuk bisa dilihat
dari sini. Perubahan status menjadi BHMN dianggap
sebagai konsekuensi tak terhindarkan sebagai efek
globalisasi dan harapan untuk dapat meningkatkan
kualitas mutu pendidikan tinggi. Ini misalnya bisa kita
lihat dalam teks berikut:
Globalisasi dan keinginan peningkatan mutu
pendidikan melalui kebebasan dalam penyusunan
kurikulumlah yang melatarbelakangi penentuan status
UGM menjadi BHMN, jelas Sudjarwadi, Wakil Rektor
Bagian Pendidikan dan Pengendalian Mutu.
(Balairung Edisi 58/Jumat 19 Desember 2003)
(cetak tebal dalam teks ini dan selanjutnya dari penulis)

Karena dianggap sebagai efek dari globalisasi yang


melanda seluruh negara di dunia maka kehadirannya
pun menjadi satu hal yang tidak dapat dielakkan.
Pemerintah melepaskan tanggung jawabnya dan
Perguruan Tinggi mesti mencari cara sendiri untuk
membiayai operasionalisasinya. Seperti terlihat dalam
teks berikut:
Untuk dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi,
penerapan kebijakan dalam bentuk pengurangan
subsidi untuk sektor pendidikan sebagai akibat
ketidakberdayaan negara dalam menghadapi gejala
global tersebut menyebabkan perguruan-perguruan

118
Wisnu Prasetyo Utomo

tinggi harus mencari biaya di luar subsidi negara


untuk menutupi kekurangan biaya penyelenggaraan
pendidikannya.
(Suara USU edisi 34/XVI/Oktober 2002)

Dengan keharusan untuk mencari biaya sendiri


tersebut maka Perguruan tinggi mulai membuka
berbagai jalur masuk dengan berbagai variasi tarif
pendaftaran berdasarkan jalurnya. Catatan Kaki dalam
teks berikut memotret bagaimana Unhas kemudian
membuka berbagai jalur masuk dengan angka
pembayaran yang besar:

Hal itu diindikasikan dengan makin tingginya tarif


pendidikan serta bermunculannya pembayaran yang
sebelumnya tak disangka-sangka seperti POMD, DPKP,
serta adanya jalur kemitraanjalur masuk baruyang
konon katanya merupakan kerjasama Unhas dengan
Pemerintah Daerah yang ingin memajukan putra-
putrinya demi kemajuan daerah bersangkutan.
(Catatan Kaki edisi 10/Thn VIII/Agustus 2002)

Latar tersebut menunjukkan bahwa negara


dianggap tidak berdaya dalam menghadapi arus
globalisasi dan memaksanya untuk mengeluarkan
kebijakan perubahan status. Pada akhirnya pelepasan
tanggung jawab terjadi. Dan ini memaksa para
pengelola Perguruan Tinggi untuk mencari biaya di
luar subsidi pemerintah.
b. Detail
Detail adalah elemen wacana yang berkaitan dengan
kontrol informasi. Informasi yang menguntungkan
komunikator akan diberi ruang luas dan sebaliknya,
informasi yang merugikan akan dipersempit. Detail
ditunjukkan dengan memberikan data-data untuk
mendukung argumen seperti sudah disebutkan dalam
latar di atas. Suara USU memberikan deskripsi detail
berupa langkah-langkah yang dilakukan oleh USU
dalam menghadapi masa transisi setelah muncul

119
Komersialisasi Pendidikan

peraturan dari pemerintah yang mengamanatkan


perubahan status:
Langkah pun disusun, bahkan sejak peluncuran PP
No. 61/1999 tersebut. Bermula dari pembentukan Tim
Pemikir USU oleh Rektor untuk mengejawantahkan
keuntungan dan kerugian dari perubahan status
tersebut dan kemudian dibawa hasilnya ke pertemuan
Senat USU. Setelah Senat USU menyatakan oke,
disusunlah proposal yang akan disampaikan kepada
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti).
(Suara USU edisi 34/XVI/Oktober 2002)

Sementara itu, meski BHMN adalah bentuk


pelepasan tanggung jawab negara, namun campur
tangan itu tidak hilang sepenuhnya. Pemerintah masih
mencampuri pendanaan biaya yang menunjukkan
bahwa negara sendiri tidak paham dengan konsep
BHMN. Kegagapan pemerintah dalam menjalankan
kebijakan tersebut bisa kita lihat dalam detail berikut:
Tapi, kenyataannya masih ada campur tangan
pemerintah dalam penggunaan dana tersebut dengan
diberlakukannya sistem line item, yaitu pengalokasian
dana pada pos-pos yang disesuaikan dengan keinginan
negara.
(Balairung edisi 58/Jumat 19 Desember 2003)

Padahal, kampus sudah menaikkan biaya


untuk merespon minimnya subsidi pendidikan dari
pemerintah. Catatan Kaki menunjukkan dampak
yang paling nyata dari transisi perubahan status.
Biaya kuliah melambung drastis dengan membebani
mahasiswa. Dalam teks berikut dideskripsikan dengan
gamblang kenaikan biaya kuliah tersebut:
Upaya ini pulalah yang dilakukan oleh Unhas. Bila tahun
ajaran 2002/2003 mahasiswa baru Unhas diharuskan
menyetor SPP sebesar Rp500.000,- untuk eksak dan
Rp400.000,- untuk noneksak maka di tahun ajaran
2003/2004 ini mahasiswa baru diharuskan menyetor
SPP sebesar Rp750.000,- untuk eksak dan Rp680.000,-

120
Wisnu Prasetyo Utomo

untuk noneksak.
(Catatan Kaki edisi III/Thn IX/September 2003)

Melalui detail, pers mahasiswa menjalin sikap


yang dimiliki dengan fakta-fakta yang muncul. Jalinan
tersebut kemudian memperlihatkan kontradiksi
dan dampak nyata yang segera bisa dirasakan begitu
kebijakan perubahan status dikeluarkan. Campur
tangan negara tetap muncul dengan keikutsertaan
pemerintah mengatur penggunaan dana block grant.
Perbandingan biaya kuliah yang baru dengan yang
lama juga menunjukkan kontras seberapa besar
kenaikan itu terjadi. Satu hal yang digunakan untuk
menunjukkan bahwa yang dirugikan dalam kenaikan
biaya ini adalah mahasiswa (baca: masyarakat).
c. Ilustrasi
Jika detail merupakan strategi komunikator untuk
menampilkan banyak informasi yang menguntungkan
dirinya seperti di atas, ilustrasi menjadi bentuk kontrol
informasi yang ditunjukkan melalui ilustrasi sederhana.
Tujuannya, pembaca bisa memiliki bayangan seperti
pesan yang hendak diberitakan satu berita tertentu.
Dalam teks berikut BHMN dianggap sebagai bentuk
pelaksanaan bahwa pemerintah memang akan lepas
tangan dalam pembiayaan pendidikan.
Pemberlakuan status BHMN adalah bagian dari
pelaksanaan agenda lepas tangan pemerintah.
(Balairung edisi 58/Jumat 19 Desember 2003)

Lepasnya campur tangan pemerintah tersebut


membuat Perguruan Tinggi berada dalam posisi yang
sulit. Apalagi sebelumnya tingkat ketergantungan
Perguruan Tinggi terhadap subsidi pendidikan dari
pemerintah cukup besar. Karenanya Suara USU dalam
teks berikut menjelaskan bahwa Perguruan Tinggi
berada pada dilema yang tak mudah dicari jalan
keluarnya:

121
Komersialisasi Pendidikan

Alhasil, dana pendidikan pun terbatas. Ini menjadi


buah simalakama bagi sebuah institusi pendidikan,
khususnya Perguruan Tinggi.
(Suara USU edisi 34/XVI/Oktober 2002)

Mau tak mau, langkah-langkah untuk mengeruk


uang agar roda pendidikan tetap berjalan mesti
dilakukan. Hanya dengan membuka berbagai unit
usaha, membuka variasi jalur masuk, dan berbagai
proyek kerja sama lainnya yang mampu membuat
kampus survive. Konsekuensinya, rasionalitas ekonomi
kemudian menentukan mekanisme sistem kerja di
lingkungan pendidikan tinggi, seperti ditunjukkan
Catatan Kaki dalam teks berikut:
Unhas akan ambil bagian dalam dunia bisnis di mana
segala sesuatunya dilihat dari kacamata hijau, UANG.
(Catatan Kaki edisi 12/Thn VIII/November 2002)
d. Maksud
Elemen maksud hampir serupa dengan detail. Ia
menunjukkan bagaimana sebuah pesan dikonstruksi
dengan banyak data serta ditunjukkan dengan eksplisit
dan tegas. Dalam berita-berita tentang komersialisasi
pendidikan, pers mahasiswa menunjukkan bahwa cara
untuk menutupi minimnya subsidi pendidikan dari
pemerintah adalah dengan cara memperbanyak jumlah
kuota mahasiswa baru yang masuk dan meningkatkan
jumlah biaya kuliah yang harus dibayarkan oleh
mahasiswa. Ini misalnya bisa kita lihat dalam dua teks
berikut:
Berdasarkan laporan dari PR II diketahui bahwa
anggaran pendidikan selama ini belum bisa menutupi
biaya pendidikan Unhas, oleh karena itu diharapkan
biaya penyelenggaraan pendidikan utamanya sarana
dan prasarana dapat tertutupi oleh kenaikan SPP tahun
ini, ungkapnya.
(Catatan Kaki III/Thn IX/September 2003)

... untuk menutupi dan meningkatkan cost pendidikan

122
Wisnu Prasetyo Utomo

yang membengkak pada masa transisi PTN menuju


BHMN, langkah yang mungkin dilakukan adalah melalui
penambahan jumlah mahasiswa yang menuntut ilmu
di USU dan peningkatan kontribusi biaya pendidikan
untuk mahasiswa baru.
(Suara USU 34/XVI/Oktober 2002)

Kekurangan dana sebagai konsekuensi hilangnya


subsidi dari pemerintah bahkan membuat Perguruan
Tinggi juga tidak mampu mendanai kegiatan-kegiatan
ekstrakurikuler yang dilakukan oleh mahasiswa.
Ketidakmampuan itu kemudian membuat pihak
kampus memberikan izin kepada perusahaan rokok
untuk mensponsori kegiatan mahasiswa yang
dilakukan di dalam kampus. Kampus akhirnya menjadi
ruang etalase bagi iklan-iklan yang masuk. Padahal
sebagai institusi akademik, kampus semestinya steril
dari iklan-iklan komersial yang tidak berhubungan
langsung dengan kegiatan akademik. Ini bisa kita lihat
dalam teks berikut:

Jadi khusus untuk sponsor rokok kemudian diizinkan


untuk dipasang kembali. Hal itu dilakukan mengingat
event yang diselenggarakan oleh mahasiswa mem-
butuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya dan hanya
perusahaan rokoklah yang berani mensponsori event
tersebut.
(Balairung 69/Senin 13 Desember 2004)
e. Pengandaian
Pengandaian menjadi salah satu cara untuk mendu-
kung bangunan argumen tertentu. Ia menjadi bentuk
dukungan terhadap data-data yang sudah dijelaskan di
latar maupun detail. Dengan pengandaian, diharapkan
khalayak bisa memahami dengan lebih ringkas karena
kalimat pengandaian ini mengasosiasikan makna
kepada hal-hal yang mudah dipahami tanpa harus
ditanyakan lagi. Perhatikan ke dalam frasa yang diberi
cetak tebal dalam dua teks berikut:

123
Komersialisasi Pendidikan

Dekan Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Syawal Saloko


saja misalnya mengatakan bahwa dunia pendidikan
ke depannya bagaikan sebuah pasar, di mana hanya
orang-orang berduit yang bisa memasukinya.
(Catatan Kaki 12/Thn VIII/November 2002)

BHMN adalah bungkus dari kebobrokan yang merupakan


penjajahan gaya baru, kita harus sadar! ujar aktivis
kelompok studi Gerakan Mahasiswa Pro Demokrasi
(Gema Prodem) ini bersemangat.
(Suara USU 34/XVI/Oktober 2002)

BHMN dituduh membuat pendidikan di Indonesia


akan menjadi sebuah pasar. Analogi pasar tidak dapat
dipungkiri muncul karena mengasumsikan hanya
orang berduit saja yang mampu membeli barang-
barang di pasar. Semakin banyak uang yang dimiliki,
semakin banyak barang yang bisa didapatkan di pasar.
Demikian juga sebaliknya, sedikit uang berbanding
lurus dengan terbatasanya barang yang bisa dibeli.
Dalam dunia pendidikan ini bisa dipahami bahwa hanya
orang berduit saja yang bisa mengakses pendidikan
yang berkualitas. Sementara rakyat miskin hanya boleh
dan bisa mengakes pendidikan dengan mutu yang jauh
lebih rendah.
Selanjutnya, BHMN dianggap sebagai bentuk
penjajah-an gaya baru. Tentu penjajahan yang
dimaksud adalah penjajahan pikiran. Dengan
investasi modal asing yang demikian besar, kurikulum
pendidikan kemudian akan diarahkan dan dibentuk
untuk mencetak buruh-buruh yang melayani
kepentingan asing. Bukan menjadi bagian dari solusi
yang memecahkan problem kemasyarakatan.
f. Penalaran
Mirip dengan pengandaian, elemen penalaran
juga mendukung argumen yang dibangun dengan
menggiring khalayak untuk menyimpulkan satu
kesimpulan tertentu. Dalam dua teks berikut terlihat

124
Wisnu Prasetyo Utomo

bagaimana subsidi dari pemerintah yang semakin


menipis secara logis berdampak pada kenaikan biaya
kuliah. Menipisnya anggaran subsidi terjadi karena
situasi perekonomian yang tengah memburuk. Artinya,
dengan atau tanpa BHMN kenaikan akan terjadi. Dan
BHMN semakin menekan Perguruan Tinggi:

Bagi Sayid, kondisi perekonomian yang tidak


memungkinkan serta alokasi dana pendidikan yang
rendah, toh mau tidak mau berdampak juga terhadap
kenaikan jumlah nominal SPP. Dengan kata lain,
dengan atau tanpa BHMN pun toh ada juga kenaikan SPP.
(Suara USU 34/XVI/Oktober 2002)

Sedangkan di Unhas, BHMN berkembang menjadi


isu swastanisasi yang ditandai dengan kenaikan biaya
pendidikan. Sebagai pihak yang paling merasakan
dampak langsung, mahasiswa merasakan gejolak
dan membuat gerakan-gerakan untuk menentang
kebijakan ini:
Isu swastanisasi ini akhirnya banyak melahirkan gejolak
di kalangan mahasiswa yang sangat menentang privatisasi
Unhas.
(Catatan Kaki 12/Thn VIII/November 2002)

4. Sintaksis
Elemen ini menjelaskan strategi penggunaan kali-
mat (sintaksis) untuk menampilkan wacana yang
diinginkan. Strategi ini berjalan dalam pemilihan diksi,
penggunaan kata ganti, aturan tata kata, pemakaian
kalimat aktif atau pasif, pelekatan anak kalimat,
dan sebagainya. Jika dikerucutkan, strategi sintaksis
berlangsung dalam pemakaian koherensi, nominalisasi,
abstraksi, bentuk kalimat, kata ganti. Karena berada
pada level mikro, strategi ini memang berlaku untuk
melakukan bentuk-bentuk manipulasi bahasa. Mani-
pulasi bahasa dilakukan untuk menempatkan salah

125
Komersialisasi Pendidikan

satu pihak dalam citra yang positif, sementara pihak


lain dalam pihak yang negatif.
a. Koherensi
Koherensi Sebab Akibat. Koherensi adalah penghu-
bungan antar kata, proposisi, atau kalimat. Dengan
penghubungan, dua fakta yang sebenarnya tidak saling
berhubungan bisa berhubungan. Secara sederhana,
koherensi melihat apakah sebuah fakta dipandang
memiliki relasi dengan fakta lain atau tidak. Ini penting
untuk membentuk kerangka argumen dalam rangka
memengaruhi khalayak. Hubungan ini bisa diketahui
dengan melihat penggunaan kata hubung terhadap dua
kalimat atau proposisi. Teks di bawah menunjukkan
koherensi sebab akibat:

Karena masih dalam tahap percobaan, ada asumsi bahwa


konsep BHMN mentah, sehingga hasilnya disangsikan.
(Balairung edisi 58/Jumat 19 Desember 2003)

Karena dana pendidikan kurang, maka Unhas mencari


dana lain dengan menaikkan SPP sehingga proses belajar
mengajar dapat maksimal sehingga tercipta lingkungan
kampus yang kondusif.
(Catatan Kaki edisi III/Thn IX/September 2003)

Dalam koherensi di atas, disebutkan bahwa dalam


tahap percobaan konsep BHMN masih lemah. Karena
itu hasilnya pun disangsikan. Yang lebih terlihat jelas
adalah kenaikan biaya pendidikan yang mesti dilakukan
karena dana pendidikan kurang. Sementara untuk
koherensi pembeda berhubungan dengan pertanyaan
mengenai bagaimana sebuah fakta atau peristiwa itu
hendak dibedakan. Jenis ini misalnya bisa kita lihat
dalam teks berikut:

SPP yang membengkak dalam realitasnya akan


menghilangkan kesempatan putra-putri bangsa ini
mengecap pendidikan. Dalam konstitusi Indonesia
termaktub dengan jelas bahwa fungsi dari negara adalah

126
Wisnu Prasetyo Utomo

memberikan hak hidup warga negaranya. Bagaimana


sekiranya jika seorang calon mahasiswa atau pun
mahasiswa USU tidak mampu melanjutkan studinya?
(Suara USU edisi 34/XVI/Oktober 2002)

Dampak uji coba BHMN yang paling bisa dirasakan


kemudian adalah kenaikan biaya pendidikan (SPP).
Pada faktanya, kenaikan ini secara otomatis akan
menutup kesempatan masyarakat dari kalangan
menengah ke bawah untuk mengakses pendidikan.
Padahal, fungsi negara seperti terdapat dalam
konstitusi Indonesia adalah memberikan kesempatan
kepada warganya untuk mengakses pendidikan tanpa
diskriminasi.
b. Nominalisasi
Nominalisasi berhubungan dua hal. Pertama, efek
generalisasi. Kedua, menghilangkan subjek atau pelaku.
Ia memiliki kekuatan untuk mengubah kata kerja atau
sifat menjadi bentuk kata benda. Efek yang ditimbulkan
adalah menutupi satu tindakan atau kelompok tertentu
dalam sebuah peristiwa. Nominalisasi ini misalnya,
kita bisa melihat dalam teks:

Revrisond mengutarakan gagasannya bahwa seharusnya


publik, termasuk mahasiswa, harus mencermati skena-
rio yang lebih luas. Yaitu adanya tekanan untuk melak-
sanakan agenda-agenda neoliberal.
(Balairung edisi 58/Jumat 19 Desember 2003)

Contoh kecil, ketika kebijakan-kebijakan global


diterapkan maka negara-negara dunia ketiga termasuk
Indonesia pun dipaksa untuk menerapkan kebijakan yang
dapat menunjang kebijakan global tersebut.
(Catatan Kaki edisi III/Thn IX/September 2003)
Dalam frasa yang dicetak tebal, kita bisa melihat
bahwa pangkal persoalan komersialisasi pendidikan
dalam BHMN ini adalah tekanan-tekanan yang
diberikan oleh kepentingan asing. Asing ini tidak
dijelaskan secara detail apakah berarti negara tertentu,

127
Komersialisasi Pendidikan

perusahaan tertentu, kelompok, atau yang lainnya. Pun


dengan kebijakan-kebijakan global seperti dimaksud
Catatan Kaki. Kita tidak tahu apakah kebijakan global
ini seperti kebijakan PBB, atau hanya kebijakan dua
orang lintas negara yang juga bisa disebut sebagai
kebijakan global. Yang pasti, asing diletakkan sebagai
pihak yang paling bersalah dalam silang sengkarut
pendidikan di Indonesia ini.
c. Abstraksi
Abstraksi berkaitan dengan apakah komunikator
memandang objek sebagai sesuatu yang tunggal
ataukah sebagai suatu kelompok. Hal ini misalnya bisa
dilihat dalam teks:
Mahasiswa harus ingat, yang berperan penting dalam
proklamasi kemerdekaan bangsa adalah pemuda dan
mahasiswa. Sekarang bagaimana mahasiswa, ingin
tetap merdeka atau jatuh dalam pelukan penjajahan?
(Balairung 58/Jumat 19 Desember 2003)

Bukan karena SPP jelas bakalan naik empat berlipat


tapi dunia kampus bakal diintervensi oleh para pemilik
modal.
(Catatan Kaki 12/Thn VIII/November 2002)

Dalam dua kutipan tersebut, bisa dilihat bahwa


objek dilihat sebagai satu kelompok yang utuh. Kata
mahasiswa misalnya, menunjukkan generalisasi
bahwa semua mahasiswa harus menjadi ujung
tombak dalam perlawanan terhadap komersialisasi
pendidikan. Artinya tidak hanya menyebut satu
kelompok mahasiswa misalnya organisasi intrakampus
seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan pers
mahasiswa atau organisasi ekstrakampus. Dengan
menggeneralisasi maka diasumsikan bahwa semua
mahasiswa tanpa terkecuali harus menolak BHMN.
BHMN dianggap sebagai bentuk penjajahan gaya baru
sehingga jika mahasiswa tidak melawannya maka
Indonesia akan kembali ke dalam pelukan penjajahan.

128
Wisnu Prasetyo Utomo

Sementara dalam kutipan kedua, frasa pemilik modal


yang dituding akan melakukan intervensi di kampus
seiring dengan kenaikan biaya pendidikan juga
menunjukkan generalisasi satu kelompok. Di sini
misalnya, tidak disebutkan siapakah pemilik modal itu
dan bagaimana intervensi yang akan dilakukannya.
d. Kata Ganti
Elemen wacana ini menunjukkan di mana posisi
seseorang dalam sebuah wacana. Kita bisa melihat
dalam teks ini bagaimana keberpihakan sebuah pers
mahasiswa ditunjukkan. Alur logika komersialisasi
pendidikan bermula ketika kampus menggunakan
orientasi profit dalam pengelolaan pendidikan.
Orientasi pada keuntungan akan membuat kampus
tidak lagi menjadi sarana pendidikan manusia-
manusia yang humanis dan memiliki kapasitas untuk
memecahkan berbagai problem kebangsaan. Kampus
yang berorientasi pada profit hanya akan menyiapkan
mahasiswa-mahasiswa menjadi kapitalis. Dan pada
akhirnya, manusia-manusia yang dilahirkan oleh
kampus komersial akan menjadi koruptor di masa
depan. Tentu logika yang digunakan dalam teks ini
adalah perhitungan bahwa orang yang mengeluarkan
banyak uang selama masa pendidikan nantinya akan
menggunakan berbagai cara untuk mengembalikan
uang tersebut dengan tujuan balik modal setelah
memasuki dunia pascakampus. Bisa kita lihat dalam
teks berikut:

...Unhas ke depannya akan lebih berorientasi pada


perhitungan profit dan tidak lagi menjadi sarana
pendidikan. Tidak lagi menjadi sarana untuk menyiapkan
manusia-manusia berkualitas dan manusiawi tapi
kapitalis-kapitalis baru yang bukan tak mungkin akan
menjadi koruptor-koruptor baru Indonesia.
(Catatan Kaki edisi 12/Thn VIII/November 2002)
e. Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat berkaitan dengan cara berpikir logis.
129
Komersialisasi Pendidikan

Bentuk ini menjelaskan prinsip kausalitas yaitu


bagaimana sesuatu dijelaskan oleh sesuatu yang
lain. Logika ini kemudian kalau diterjemahkan dalam
bahasa kemudian menjadi susunan Subjek yang
menerangkan, dan Predikat yang diterangkan. Susunan
kalimat aktif atau pasif dan bagaimana subjek atau
objek ditempatkan akan memengaruhi makna yang
dimunculkan kemudian. Misalnya bisa kita lihat dalam
teks berikut:

Dia mengungkapkan, sebenarnya tanpa status BHMN


pun universitas mampu menyusun kurikulum dan
mengembangkan dirinya di bawah status otonomi
kampus.
(Balairung edisi 58/Jumat 19 Desember 2003)

Balairung mencoba membangun pesan bahwa


perubahan status menjadi BHMN tidak berbanding
lurus dengan kebebasan mengembangkan kurikulum.
Sebabnya, pengembangan kurikulum secara otomatis
akan berjalan jika ada otonomi kampus yang diberikan.
Ini berarti otonomi kampus harus dimaknai dalam
konteks kebebasan kampus untuk mengeksplorasi
ilmu pengetahuan.
Persoalannya menjadi berbeda ketika otonomi
kampus juga memberi kebebasan kepada Perguruan
Tinggi untuk mencari dana sendiri. Ini menjadi celah
bagi masuknya komersialisasi kampus. Di kutipan
berikut kita melihat bagaimana pencarian dana
mandiri yang salah satunya diimplementasikan
melalui kenaikan biaya pendidikan atau SPP telah
menyempitkan akses masyarakat miskin. Perkara akses
ini menjadi dampak paling nyata terhadap kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Selain tidak adanya transparansi alokasi penggunaan


SPP, adalah bahwa besarnya SPP yang sudah ada pun
telah mengeliminasi kesempatan untuk rakyat miskin

130
Wisnu Prasetyo Utomo

memperoleh pendidikan tinggi.


(Catatan Kaki edisi III/Thn IX/September 2003)

5. Stilistik
Dalam sebuah paragraf, kalimat bisa memiliki makna
lokal sendiri. Jika diturunkan lagi, kata yang menjadi
unsur pembentuk kalimat akan menentukan makna lokal
tersebut. Dengan demikian, kata juga memiliki makna
lokal tersendiri. Pemilihan kata-kata yang dipakai akan
menunjukkan sikap dan ideologi yang dimiliki. Ada dua
unsur stilistik yang bisa dilihat dari sebuah teks berita
yaitu kata kunci dan pemilihan kata.
a. Kata Kunci
Elemen ini berhubungan dengan kata-kata yang sering
digunakan oleh komunikator dalam mengungkapkan
gagasannya. Kata kunci ini merupakan semacam
ideologi yang diyakini komunikator. Dengan kata
kunci, komunikator membentuk imaji khalayak agar
sesuai dengan orientasi, isi, dan tujuannya. Balairung
(edisi 58/Jumat 19 Desember 2003) menggunakan
istilah agenda tersembunyi neoliberal untuk
menjelaskan bahwa dalam BHMN terdapat kerancuan
dari sisi konseptual maupun pada praktiknya.
Catatan Kaki (edisi 12/Thn VIII/November 2002)
menggunakan istilah swastanisasi kampus untuk
menyebut kebijakan-kebijakan komersial yang dilaku-
kan oleh Unhas dalam masa transisi perubahan status.
Sedangkan Suara USU (edisi 34/XVI/Oktober 2002)
memilih kata kapitalisme pendidikan untuk
menyebut perubahan status USU menjadi BHMN akan
semakin mendiskriminasi rakyat miskin.
b. Pemilihan Kata
Pemilihan kata berkaitan dengan maksud dan tujuan
informasi yang disampaikan. Dengan pemilihan kata
atau diksi tertentu, maksud dari penulis berita bisa
terlihat. Dalam produksi sebuah teks, wartawan atau

131
Komersialisasi Pendidikan

penulis memilih satu kata dan tidak menggunakan


padanan kata yang lain. Cara pemilihan kata juga
melingkupi kalimat yang dikutip dari orang yang
dijadikan narasumber berita. Narasumber dalam berita
ini yang menolak kebijakan BHMN menilai ada agenda
asing yang bermain. Konsekuensi pemakaian istilah
ini adalah kesan bahwa intervensi asing atau agenda
neoliberal akan membuat kebijakan pendidikan di
Indonesia menjadi diskriminatif.

Revrisond mengutarakan gagasannya bahwa seharusnya


publik, termasuk mahasiswa, harus mencermati skenario
yang lebih luas. yaitu adanya tekanan untuk melaksanakan
agenda-agenda neoliberal.
(Balairung edisi 58/Jumat 19 Desember 2003)

Sementara dalam kutipan di bawah, Catatan Kaki


menggunakan frasa para pemilik modal. Konsekuensi
dari pemilihan kata ini adalah kepentingan asing atau
neoliberalisme masuk ke dalam dunia pendidikan
di Indonesia melalui para pemilik modal. Tidak
dideskripsikannya pemilik modal ini membuat
bentukan makna bahwa pihak yang bersalah dalam
kenaikan biaya pendidikan di Indonesia adalah semua
pemilik modal, baik pemerintah maupun swasta.

Bukan karena SPP jelas bakalan naik empat berlipat tapi


dunia kampus bakal diintervensi oleh para pemilik
modal. Tidak hanya pada sistem ataupun kurikulum tapi
pada semua sendi kehidupan berkampus.
(Catatan Kaki 12/Thn VIII/November 2002)

6. Retoris
Strategi pada elemen ini adalah gaya bahasa yang
diungkapkan dalam proses komunikasi yang dilakukan.
Dalam teks misalnya, gaya bahasa yang digunakan
bisa berupa hiperbolik dengan pemakaian kata yang
berlebihan, atau yang langsung (straight to the point)

132
Wisnu Prasetyo Utomo

dengan penggunaan kata yang tegas dan jelas. Pemilihan


gaya bahasa ini berhubungan erat dengan retorika yang
ingin mempersuasi khalayak. Retorika ini dibangun
dengan gaya dan interaksi yang berkelindan menyusun
sebuah teks.
a. Gaya
Gaya merupakan strategi komunikator dalam
menyampaikan pendapatnya sesuai sasaran pesan
yang diinginkan. Dengan menyesuaikan terhadap
sasaran pesan yaitu khalayak, diharapkan pesan dapat
diterima. Artinya gaya menjadi bentuk pelibatan
partisipasi khalayak terhadap teks berita yang
dibentuk. Semakin tinggi dan berat struktur bahasa
yang digunakan komunikator, maka semakin sempit
juga tingkat partisipasi dalam sebuah teks. Sebaliknya,
semakin rendah dan membumi sebuah bahasa, berarti
komunikator mengharapkan bahwa teks tersebut
mendapatkan tingkat partisipasi khalayak yang luas.
Dalam teks berikut, pers mahasiswa melalui
komunikator menggunakan istilah sederhana agar
pesan yang dibentuk bisa sampai ke masyarakat
luas. Misalnya tentang analogi pasar yang digunakan
untuk mengibaratkan situasi pendidikan di tanah
air. Pendidikan diibaratkan seperti pasar di mana
mekanismenya dijalankan dengan logika tawar-
menawar dan yang pasti, membutuhkan uang:

Dekan Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Syawal Saloko


saja misalnya mengatakan bahwa dunia pendidikan
ke depannya bagaikan sebuah pasar, di mana hanya
orang-orang berduit yang bisa memasukinya. Anda
tak mungkin bisa membeli sesuatu kalau Anda tak
memiliki uang, tambahnya.
(Catatan Kaki 12/Thn VIII/November 2002)

Demikian pula dalam teks berita Suara USU, ketika


kecendurungan mahasiswa yang bisa mengakses USU
adalah anak orang-orang kaya, maka kesempatan

133
Komersialisasi Pendidikan

untuk warga miskin mengecil. Hal ini ditunjukkan


dengan mengajukan pertanyaan yang sederhana
namun mengajak khalayak untuk berpikir reflektif: ke
mana orang miskin harus kuliah jika Perguruan Tinggi
hanya menjadi tempat belajar orang-orang kaya?
Simak teks berikut.

Dengarlah keresahan Laetta, mahasiswa jurusan


Matematika, Di USU yang kuliah nantinya anak orang
kaya, orang miskin ke mana? ujarnya penuh tanya.
(Suara USU 34/XVI/Oktober 2002)
b. Interaksi
Interaksi merupakan elemen yang berhubungan dengan
bagaimana komunikator ingin mencitrakan dirinya
sendiri. Citra ini dibentuk dengan cara menautkan
emosi dengan khalayak. Pertautan emosi dengan
khalayak menjadi penting sebagai bentuk persuasi.
Tujuannya tentu agar khalayak bisa menempatkan diri
pada posisi yang sama dengan komunikator.
Pada teks berikut, Catatan Kaki mengutip seorang
mahasiswa yang kecewa dengan biaya pendidikan
di Unhas yang mahal dan memberatkan. Kondisi ini
berbeda jauh bila dibandingkan bayangan awal yang ia
kira murah dengan fasilitas yang lengkap. Dan ia sampai
pada kesimpulan bahwa Unhas saat ini sudah menjadi
universitas negeri namun dengan rasa swasta.

Saya pilih Unhas karena berpikir Unhas pembayarannya


murah tapi ternyata mahal dan memberatkan,
walaupun sedang diperbaiki fasilitas kurang memadai.
Unhas sekarang setengah negeri setengah swasta,
ungkapnya.
(Catatan Kaki III/Thn IX/September 2003)

Proses swastanisasi tersebut kemudian membuat


perubahan status diterima dengan setengah-setengah.
Bahkan dalam ambiguitas yang begitu terlihat. Misalnya
saja ketika Suara USU melakukan wawancara dengan

134
Wisnu Prasetyo Utomo

Pembantu Rektor USU. Pembantu Rektor mengatakan


bahwa sebagai dosen ia tidak menerima konsep BHMN,
namun sebagai pejabat di lingkungan birokrasi kampus,
peraturan dari pemerintah tetap harus dijalankan. Dari
sini bisa dilihat bahwa sebenarnya dari unsur dosen
pun banyak yang melakukan penolakan meski pada
akhirnya tidak mampu berbuat apa-apa.

...dalam konteks dirinya sebagai dosen, Saya tidak ingin


BHMN ada, ujarnya. Sebab dalam konsep BHMN, lanjut
Jhon, disebutkan bahwa dosen adalah pegawai universitas
yang tidak diperbolehkan mencari ladang penghasilan di
luar pagar USU.
(Suara USU 34/XVI/Oktober 2002)

Kognisi Sosial
Kognisi sosial merupakan dimensi wacana yang melihat
bagaimana seorang individu atau kelompok melakukan
produksi atas sebuah teks. Seperti dituturkan van Dijk,
kelahiran sebuah teks sangat dipengaruhi oleh struktur
mental seorang wartawan. Kognisi sosial menjelaskan
bagaimana struktur mental wartawan melakukan penafsiran
dan pemaknaan atas isu tertentu yang berimplikasi pada
penulisan teks berita.
Van Dijk dalam News as Discourse (1988) mengatakan
bahwa analisis kognisi sosial dalam kajian media memang
sangat jarang karena sifatnya yang lokal, spesifik, dan
psikologis. Pembacaan kognisi sosial dalam penelitian ini
tidak akan melihat struktur mental wartawan satu per
satu. Namun, pembacaan berikut akan memberikan satu
sketsa kecenderungan wartawan pers mahasiswa dalam
memandang pers mahasiswa dan posisi ideologisnya
terhadap otonomi kampus maupun komersialisasi
pendidikan.
Ada dua gagasan besar yang menjadi ekstraksi atas
berbagai ide pegiat pers mahasiswa dalam melakukan
penulisan berita terkait komersialisasi pendidikan.
Pertama, dengan menyandang nama pers sekaligus
135
Komersialisasi Pendidikan

mahasiswa, keberpihakan pers mahasiswa harus jelas


dengan memegang teguh prinsip-prinsip jurnalistik. Berita
tetap harus lebih mendahulukan fakta-fakta daripada
opini wartawan. Sebab jika hanya banyak berupa opini,
yang terjadi kemudian adalah pers mahasiswa hanya
menjadi pers propaganda yang tidak bisa objektif dalam
memberitakan sebuah peristiwa. Gagasan semacam ini
bisa kita lihat dalam pendapat Pratama (2012, wawancara
pribadi), Fitria Nurhayati (2012, wawancara pribadi) dan
Wan Ulfa Nur Zuhra (2012, wawancara pribadi). Wan Ulfa
misalnya, secara tegas mengatakan bahwa:

Keberpihakan pers mahasiswa, jika kita merujuk pada


buku Elemen-Elemen Jurnalisme Bill Kovach dan Tom
Rosensteil, adalah kepada kepentingan masyarakat.
Namun, pers mahasiswa juga harus menjaga independensi,
baik secara organisasi, maupun secara personal
anggotanya. Memang tak ada berita yang objektif. Setiap
manusia pasti punya bias juga punya maksud, tujuan, dan
kepentingan tertentu ketika menulis suatu berita. Beda
kepala, beda pemikiran, beda sudut pandang. Karena
itu seorang wartawan harus bisa menanggalkan seluruh
atributnya ketika liputan, untuk menghindari bias. Ia
harus banyak baca buku dan diskusi untuk mengasah
pemikiran. Agar maksud dan tujuan utamanya menulis
berita adalah untuk kepentingan masyarakat.

Sementara gagasan kedua, dalam menunjukkan


keberpihakannya, pers mahasiswa tidak perlu mengikuti
kaidah-kaidah jurnalistik. Seperti diungkapkan oleh
Chairuddin (2012, wawancara pribadi), tidak merupakan
suatu masalah besar jika banyak unsur propaganda di dalam
berita pers mahasiswa. Karena memang tujuannya adalah
untuk membentuk opini publik dan menyampaikan apa yang
diyakini oleh mahasiswa. Narasumber-narasumber yang
diwawancarai adalah mereka yang anti terhadap otonomi
kampus. Narasumber yang berasal rektorat diambil sebagai
formalitas belaka. Asri Abdullah (2012, wawancara pribadi)
juga menegaskan:

136
Wisnu Prasetyo Utomo

Tidak ada berita yang netral. Tidak ada yang bebas


nilai. Persoalan prinsip-prinsip jurnalistik seperti cover
both sides, menurutnya itu hanya persoalan teknis saja.
Yang lebih penting adalah bagaimana pers mahasiswa
mempraktikkan jurnalisme advokasi. Jurnalisme
advokasi ini adalah konsep di mana pers mahasiswa tidak
hanya melakukan penulisan-penulisan berita tetapi juga
melakukan kegiatan advokasi kepada masyarakat.

Meskipun ada dua perbedaan mendasar dalam


memandang pers mahasiswa yang berimplikasi pada gaya
dan metode penulisan berita, ada kesamaan sikap bahwa
komersialisasi pendidikan membawa dampak negatif
bagi sebuah bangsa. Akses pendidikan bagi masyarakat
kecil yang menyempit menjadi penanda yang cukup jelas
ke mana keberpihakan pers mahasiswa harus diarahkan.
Meriam kata-kata ditujukan kepada pemerintah dan
pejabat birokrasi lingkungan kampus. Mereka dianggap
sebagai aktor yang bersalah telah mengeluarkan kebijakan
otonomi kampus. Tuduhan tersebut bahkan ditarik lebih
jauh dengan mengatakan bahwa kebijakan pendidikan
ini merupakan agenda neoliberal yang mesti diwaspadai.
Jika tidak, perguruan tinggi akan menjadi ladang baru
kapitalisme.

Konteks Sosial
Berita-berita pers mahasiswa terkait perubahan status
Perguruan Tinggi menjadi BHMN di atas dibingkai dalam
narasi besar perlawanan mahasiswa terhadap kebijakan
yang dianggap sebagai pintu masuk bagi komersialisasi
pendidikan tersebut. Aksi-aksi demonstrasi terjadi dalam
skala yang meluas di berbagai daerah.
Balairung Edisi Khusus/XV/1999 memberitakan
bahwa beberapa organisasi yang merupakan representasi
dari mahasiswa memberikan respon penolakannya dengan
membentuk tim khusus untuk membahas masalah otonomi
kampus. Di antaranya adalah Dewan Mahasiswa UGM
yang menaruh perhatian untuk isu ini. Mereka bahkan
137
Komersialisasi Pendidikan

mengirimkan perwakilan anggotanya untuk melakukan


survei ke UI, ITB, dan IPB agar bisa mendapatkan pemahaman
yang komprehensif mengenai otonomi kampus. Dalam
majalah Suluh Edisi 5/Th I/1999, Dewan Mahasiswa UGM
mengangkat tema Awas Otonomi Kampus Versi Rektorat,
Membawa Kita ke Tiang Gantungan.
Penolakan ini seperti diungkapkan Luqman Hakim Arifin
(1999:10), dilandasi alasan bahwa otonomi kampus adalah
bentuk akal-akalan negara untuk melepaskan tanggung
jawabnya atas pendidikan yang murah dan merata untuk
rakyat. Akal-akalan ini ditunjukkan dengan pengurangan
subsidi negara dari 65% menjadi 35%. Luqman juga
menjelaskan bahwa dengan dikuranginya subsidi negara,
sisa biaya pendidikan dibebankan kepada masing-masing
perguruan tinggi. Kampus dapat menambal kekurangannya
dengan tiga cara. Pertama, menaikkan SPP, jumlah pastinya
belum jelas. Kedua, mencari dana ke pemodal asing atau
institusi swasta. Ketiga, mendirikan unit-unit usaha, seperti
pom bensin, supermarket, wartel, dan lain-lain. Dengan
pemahaman demikian, reaksi penolakan juga meluas dan
tidak hanya dilakukan oleh organisasi intra kampus saja.
Reaksi penolakan lain ditunjukkan oleh Komite
Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP) yang merupa-
kan wadah organisasi mahasiswa ekstrakampus. KPRP
menolak otonomi kampus yang digulirkan pemerintah
karena kebijakan ini tidak melibatkan mahasiswa dalam
perumusan kebijakannya. Disinyalir bahkan kebijakan
ini hanya akan menempatkan mahasiswa sebagai objek
pendidikan. Karena hanya menjadi objek, mahasiswa tidak
bisa bersikap kritis dan hanya akan menjadi individualis-
individualis yang terlepas dari fungsi sosialnya.
Berbagai elemen yang setidaknya terdiri dari 28
organisasi mahasiswa ini kemudian bergabung dan
membentuk Komite Aksi Pendidikan Kerakyatan (Komite
Apik). Mereka menyatakan menolak otonomi kampus dan
menyebarkan penolakan ini kepada mahasiswa melalui
beragam metode. Seperti melalui poster, selebaran, siaran

138
Wisnu Prasetyo Utomo

pers, dan lain-lain. Aksi-aksi demonstrasi kemudian juga


menjadi metode perlawanan yang digunakan. Perlawanan
Komite Apik ini tidak hanya dilakukan dengan menolak
otonomi kampus semata. Tetapi lebih dari itu, perlawanan
juga ditunjukkan dengan melakukan upaya-upaya perbaikan
sistem pendidikan.
Di Makassar, aksi-aksi demonstrasi juga dilakukan
oleh mahasiswa. Darmaningtyas dalam bukunya Tirani
Kapital Dalam Dunia Pendidikan (2009:291) menyebutkan
bahwa mahasiswa di Makassar adalah salah satu elemen
mahasiswa yang paling sering menyuarakan penolakan
terkait isu otonomi kampus ini. Aksi demonstrasi secara
rutin dilakukan oleh gabungan mahasiswa Unhas,
Universitas Negeri Makassar (UNM), Universitas Muslim
Indonesia (UMI), Sekolah Tinggi Manajemen Informatika
dan Komputer (STIMIK) Dipanegara, Universitas 45, dan
Politeknik. Aksi ini dilakukan dengan demonstrasi di
dalam kampus, menyebarkan selebaran, berdialog dengan
birokrasi kampus, bahkan ke kantor DPRD Sulawesi Selatan
untuk menyampaikan aspirasi kepada para wakil rakyat.
Di kampus, aksi-aksi ini ditanggapi dengan represif oleh
pejabat universitas. Rektorat tidak mau menanggapi aksi
demonstrasi dan pemasangan spanduk penolakan terhadap
otonomi kampus.
Rektorat justru mencopot spanduk penolakan otonomi
kampus tersebut dan mengancam para mahasiswa yang
melakukan aksi demonstrasi dengan memanggil preman.
Ernaeda Naharudin dalam tabloid Catatan Kaki (2003:6)
mengatakan aksi represif yang dilakukan menunjukkan
bahwa otonomi kampus memang menyimpan sesuatu di
baliknya.
Sebagai contoh, aksi represif ini dialami oleh
mahasiswa-mahasiswa Fakultas Sastra Unhas. Seperti
diberitakan Catatan Kaki Edisi 10 Tahun VIII Agustus 2002,
ketika melakukan protes terkait kenaikan biaya pendidikan,
mahasiswa mendapatkan ancaman dari Dekan. Aksi
demonstrasi yang berkali-kali dilakukan, seperti dicatat

139
Komersialisasi Pendidikan

Darmaningtyas, seringkali berakhir dengan kericuhan dan


bentrokan dengan aparat kepolisian. Tak jarang mahasiswa
yang ditangkap oleh polisi setelah melakukan aksi
demonstrasi ini.
Menurut I Ngurah Suryawan dalam Catatan Kaki
(2002:9), radikalisasi penolakan mahasiswa ini berlangsung
cepat karena kesadaran kritis mahasiswa telah tumbuh.
Kesadaran yang mewujud dalam pembentukan komunitas-
komunitas yang merupakan transformasi warisan
perlawanan dari senior-senior angkatan sebelumnya.
Kesadaran kritis dalam melakukan proses pembebasan
dan mengkritisi segala bentuk doktrinasi dan pembodohan
untuk melawan kekuasaan pendidikan. Aksi demonstrasi
dan penolakan yang dilakukan oleh mahasiswa ini juga
berakar dari kekhawatiran bahwa otonomi kampus hanya
akan mencabut mahasiswa dari realitas sosialnya.
Di USU Medan, wacana tentang otonomi kampus ini
hanya terdengar samar-samar. Tidak banyak mahasiswa
yang mengetahui isu ini karena sosialisasi dari pihak
yang berwenang sangat minim. BHMN hanya menjadi isu
di tingkat elite. Suara USU edisi Oktober 2002, misalnya,
memberitakan bahwa tidak hanya mahasiswa, dosen pun
masih tergagap menanggapi isu otonomi kampus ini.
Danan Djaja dalam Suara USU (2002:7) menjelaskan
bahwa sosialisasi BHMN kepada mahasiswa belum
maksimal. Padahal, suasana PT BHMN nanti akan mengubah
sistem yang selama ini telah mapan. Karena sosialisasi tidak
jelas ditambah dengan informasi yang hanya beredar di level
pimpinan universitas, terjadi disinformasi yang berujung
ketidaktahuan terhadap konsep otonomi kampus ini. Tentu
wajar jika ketidaktahuan akan konsep otonomi kampus dan
BHMN ini melahirkan kegalauan.
Kompas edisi 30 Oktober 2002 mencatat kegalauan
yang dirasakan oleh staf administrasi maupun dosen. Isu
yang beredar menjelaskan bahwa staf administrasi dan
dan dosen akan berubah menjadi pegawai universitas.
Konsekuensinya, status kontrak akan berdasarkan perjanji-
140
Wisnu Prasetyo Utomo

an kerja dengan universitas. Staf dan dosen yang merasa


terancam dengan kondisi ini kemudian bersama mahasiswa
melakukan penolakan dan perlawanan terhadap BHMN ini.
Persoalan-persoalan ini semakin bertambah rumit.
Otonomi kampus membuat problem menjadi terlokalisir
ke fakultas-fakultas di USU. Contohnya saja adalah masih
banyaknya dosen amplop dan pegawai telepon koin,
mahasiswa yang gagap dengan realitas masyarakat di
sekitarnya, dan rendahnya kultur penelitian di lingkungan
civitas academica USU. Penelitian Suara USU pada tahun
2004 bahkan menunjukkan bahwa transparansi dana di
USU masih gelap. Dari 2.400 mahasiswa yang dijadikan
responden survei, tercatat 87,30% mahasiswa tidak tahu
tentang dana pembangunan fakultas. Hanya 8,38% yang
tidak tahu, dan sisanya menjawab tidak peduli. Sementara
mahasiswa yang merasa pembangunan di USU belum
menyentuh kebutuhan mahasiswa mencapai angka 79,54%,
16,25% menjawab sudah dan sisanya menjawab tidak
tahu. Tidak hanya diam, mahasiswa mempertanyakan
transparansi keuangan yang dilakukan untuk pembangunan
di USU.
Dengan kenaikan biaya pendidikan dan pemasukan
dari sumber-sumber baru lainnya, USU memiliki kas
yang lumayan besar untuk anggaran kemahasiswaan.
Jumlahnya sekitar 600 juta per tahun. Persoalannya dana
ini tidak dibuka secara transparan dan akuntabel. Apalagi
ada kontradiksi yang terlihat jelas dari pembangunan
sarana yang muncul. Dengan kondisi yang masih demikian
samar-samar, masih ada sekelompok mahasiswa USU yang
melakukan penolakan. Mereka menamakan diri Kelompok
Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS). Penolakan ini dilakukan
karena BHMN dianggap sebagai bentuk penjajahan gaya
baru. Kampus juga kemudian hanya lebih peduli pada
pencitraan di luar. Sementara kualitas pendidikan yang
terwujud dari kapasitas dan prestasi mahasiswa seolah
diabaikan. KDAS menganggap BHMN sebagai biang keladi
berbagai pembangunan yang salah sasaran ini. Mereka

141
Komersialisasi Pendidikan

menolak otonomi kampus ini juga melakukan sosialisasi


kepada mahasiswa lainnya. Hal ini dilakukan baik dengan
cara demonstrasi, tempel poster, dan bagi-bagi selebaran.

142
Epilog

Perubahan politik 1998 yang menandai berakhirnya masa


pemerintahan otoriter 32 tahun telah dengan dramatis juga
meminggirkan eksistensi pers mahasiswa. Perubahan secara
drastis di berbagai lini. Organisasi nasional pers mahasiswa
(PPMI) yang mengalami perpecahan bahkan sampai kini
eksistensinya terus menerus dipertanyakan; Orientasi
pemberitaan yang partisan; Pembiayaan organisasi yang
kembang-kempis sampai debat memosisikan diri sebagai
jurnalis atau aktivis. Semuanya jalin-menjalin tepat ketika
situasi pendidikan di Indonesia juga sedang berada dalam
masa-masa krisisnya. Perubahan status Perguruan Tinggi
pasca keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 61 Tahun
1999 tentang Penetapan Pendidikan Tinggi sebagai Badan
Hukum membuat pemerintah dituding telah melakukan
komersialisasi pendidikan.
Dengan kondisi yang menekan pendidikan tinggi dan
berimplikasi langsung kepada para mahasiswa, perlawanan
terhadap komersialisasi pendidikan adalah conditio sine qua
non. Mengutip Eka Suryana Saputra (2009), ini adalah ikhtiar
pers mahasiswa menyambangi tanah yang tak bertuan.
Pers mahasiswa menjadi salah satu elemen penting dalam
barisan terdepan perlawanan terhadap komersialisasi
pendidikan yang memicu protes yang meluas dari berbagai
elemen masyarakat. Protes-protes baik di ruang publik
maupun pengadilan menggelinding bak bola salju.
Darmaningtyas (2009:291), menjelaskan bahwa ada
4 strategi yang dilakukan oleh masyarakat untuk menolak

143
Komersialisasi Pendidikan

otonomi kampus ini. Pertama, mengadakan pewacanaan


secara meluas. Kedua, membangun pusat pengaduan
masyarakat yang merasa dirugikan terkait dengan kebijakan
ini. Ketiga melakukan pembangkangan sipil dengan
demonstrasi maupun aksi lainnya. Dan langkah keempat
yang dilakukan oleh masyarakat adalah mengajukan judicial
review ke Mahkamah Konstitusi.
Langkah terakhir ini penting untuk menguji apakah
kebijakan ini bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pers mahasiswa
memosisikan diri menolak otonomi kampus karena
menganggap kebijakan ini diskriminatif. Dari tiga pers
mahasiswa yang menjadi objek penelitian ini yaitu
Balairung, Catatan Kaki, dan Suara USU, masing-masing
memberikan respon penolakan terhadap otonomi kampus
dengan cara yang berbeda-beda. Serupa tapi tak sama.
Pertama, Balairung menempatkan wacana otonomi
kampus dalam konteks yang negatif. Artinya, otonomi
kampus dianggap menjadi sumber masalah dari berbagai
persoalan yang muncul di kampus. Persoalan-persoalan
ini seperti kenaikan biaya pendidikan, penetrasi iklan ke
dalam lingkungan kampus, dan problem akademik lainnya.
Dari analisis teks terlihat bagaimana Balairung menolak
konsep otonomi kampus. Ini ditunjukkan dalam data-data
yang muncul pada berita. Narasumber-narasumber yang
bersikap kontra terhadap otonomi kampus mendapatkan
ruang yang lebih luas. Percampuran fakta dan opini dalam
berita juga menunjukkan keberpihakan pemberitaan
Balairung. Kecendurungan memandang otonomi kampus
secara negatif ini bisa dipahami ketika beranjak melihat
hasil analisis dari dimensi kognisi sosial dan konteks sosial.
Wartawan Balairung yang menulis berita memiliki sikap
menolak otonomi kampus bahkan terlibat secara langsung
dalam aksi-aksi perlawanan terhadap otonomi kampus.
Sementara wacana penolakan mengenai otonomi kampus
ini juga marak dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa UGM
saat itu.

144
Wisnu Prasetyo Utomo

Kedua, berita-berita yang ditampilkan Catatan Kaki


menunjukkan wacana penolakan terhadap otonomi
kampus. Dalam analisis teks, terlihat diksi atau pilihan kata
yang digunakan dalam berita juga memojokkan pihak yang
mereka anggap bersalah seperti rektorat dan terutama
pemerintah. Contohnya antara lain bisa dilihat dalam istilah-
istilah seperti ladang kapitalisme, Unhas Universitas
Swasta, dan swastanisasi kampus.
Dalam menyusun argumentasi penolakan dalam sebuah
berita, Catatan Kaki lebih banyak menggunakan opini
wartawan alih-alih data dan fakta. Atau, opini narasumber
dikutip dengan panjang di akhir berita sebagai bentuk negasi
terhadap pihak-pihak yang pro terhadap otonomi kampus.
Ini menunjukkan bahwa Catatan Kaki lebih menonjolkan
realitas psikologis dibandingkan dengan realitas sosiologis.
Ketiga, wacana yang ditunjukkan oleh Suara USU
mengenai otonomi kampus adalah bentuk kritisisme
mahasiswa dalam menghadapi transisi perubahan status
di USU yang tidak transparan, bahkan terkesan diam-
diam. Bentuk kritik ini terlihat dari bagaimana Suara USU
melakukan framing terhadap berita seperti terlihat dalam
dimensi teks. Wacana yang coba dibangun adalah tentang
pemberlakuan otonomi kampus sebagai konsekuensi
perubahan status USU menjadi BHMN. Transisi perubahan
status ini tidak jelas, mengakibatkan kenaikan biaya
pendidikan, pembangunan yang salah sasaran, dan
membuat USU hanya seperti pabrik.
Dari analisis teks, Suara USU banyak menggunakan
realitas psikologis daripada realitas sosiologis untuk
menunjukkan bahwa kebijakan otonomi kampus di USU
ini bermasalah. Secara kuantitas, wawancara dengan
narasumber yang kontra dengan kebijakan rektorat
mendapat ruang yang lebih banyak. Sementara yang pro
dengan kebijakan sebaliknya, mendapatkan ruang sedikit.
Jika diringkas, analisis teks terhadap berita-berita pers
mahasiswa tentang komersialisasi pendidikan tersebut
akan nampak seperti dalam tabel berikut:

145
Komersialisasi Pendidikan

Elemen Wacana Teks


Tematik Menggugat landasan konseptual-filosofis
yang mendasari munculnya kebijakan
BHMN
Skematik Teras berita, tubuh berita, dan penutup
berita
Semantik:
Latar Ketidakberdayaan negara dalam
menghadapi gejala global tersebut
menyebabkan perguruan-perguruan
tinggi harus mencari biaya di luar subsidi
negara untuk menutupi kekurangan biaya
penyelenggaraan pendidikannya
Detail Rektor membentuk tim untuk
mengejawantahkan keuntungan dan
kerugian dari perubahan status
Ilustrasi Pemberlakuan status BHMN adalah bagian
dari pelaksanaan agenda lepas tangan
pemerintah
Maksud Untuk menutupi dan meningkatkan cost
pendidikan yang membengkak pada masa
transisi PTN menuju BHMN, langkah
yang mungkin dilakukan adalah melalui
penambahan jumlah mahasiswa yang
menuntut ilmu di USU dan peningkatan
kontribusi biaya pendidikan untuk
mahasiswa baru
Pengandaian BHMN adalah bungkus dari kebobrokan
yang merupakan penjajahan gaya baru
Penalaran Isu swastanisasi ini akhirnya banyak
melahirkan gejolak di kalangan
mahasiswa yang sangat menentang
privatisasi
Sintaksis :

146
Wisnu Prasetyo Utomo

Koherensi Karena masih dalam tahap percobaan,


ada asumsi bahwa konsep BHMN mentah,
sehingga hasilnya disangsikan
Nominalisasi Revrisond mengutarakan gagasannya
bahwa seharusnya publik, termasuk
mahasiswa, harus mencermati skenario
yang lebih luas. Yaitu adanya tekanan
untuk melaksanakan agenda-agenda
neoliberal.
Abstraksi Bukan karena SPP jelas bakalan naik
empat berlipat tapi dunia kampus bakal
diintervensi oleh para pemilik modal
Bentuk Kalimat Tanpa status BHMN pun universitas
mampu menyusun kurikulum dan
mengembangkan dirinya di bawah status
otonomi kampus.
Kata Ganti Unhas kedepannya akan lebih berorientasi
pada perhitungan profit dan tidak lagi
menjadi sarana pendidikan
Stilistik :
Kata Kunci agenda tersembunyi neoliberal,
swastanisasi kampus, kapitalisme
pendidikan
Retoris :
Gaya Anda tak mungkin bisa membeli sesuatu
kalau anda tak memiliki uang
Interaksi Saya pilih Unhas karena berpikir Unhas
pembayarannya murah tapi ternyata
mahal dan memberatkan

Berita-berita tentang komersialisasi pendidikan


mewarnai pers mahasiswa selama lebih dari satu
dekade pasca reformasi. Sebagai sebuah kontra wacana,
berita-berita pers mahasiswa memang tidak secara
langsung berimplikasi kepada kebijakan. Apalagi, tingkat
keterjangkauan bacaan pun menyempit hanya sebatas
kalangan civitas academica. Namun, pengguliran wacana ini
147
Komersialisasi Pendidikan

menjadi demikian penting karena kemudian segenap elemen


yang ada di dalam kampus seperti dosen dan mahasiswa
banyak yang bersuara lantang dan berperan serta dalam
barisan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Meski
demikian, kebebalan pemerintah seolah ingin mengabaikan
reaksi penolakan yang meluas tersebut.
Pemerintah terus mengeluarkan serangkaian kebijakan
yang melegitimasi diskriminasi akses terhadap masyarakat
kecil. Tahun 2009, pemerintah resmi mensahkan RUU BHP
menjadi Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan
Hukum Pendidikan. BHP merupakan amanat dari UU
Sisdiknas. Disahkannya BHP yang menegaskan kehadiran
BHMN sebelumnya menjadi bukti nyata komersialisasi
pendidikan semakin menancapkan cengkeramannya di
Indonesia. Bahkan, putusan MK yang membatalkan UU
BHP pun tidak menjadi penanda akhir. Rancangan Undang-
Undang Pendidikan Tinggi yang sampai buku ini ditulis
masih berada dalam tahap pembahasan pun menunjukkan
napas liberalisasi dan komersialisasi pendidikan yang
kental. Jalan perjuangan pers mahasiswa dan masyarakat
Indonesia untuk memperjuangkan pendidikan yang adil
dan terjangkau bagi rakyat masih panjang dan berliku.

148
Daftar Pustaka

Abar, Ahmad Zaini. 1995. Kisah Pers Indonesia 1966-1974.


Yogyakarta : LKiS
Abrar, Ana Nadhya. 1992. Pers Mahasiswa dan Permasalahan
Operasionalisasinya. Yogyakarta: Liberty
Abrar, Ana Nadhya. 2005. Penulisan Berita.Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya
Adams, Cindy. 2011. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia. Jakarta: Yayasan Bung Karno
Afifi, Irfan. 2006. Pengantar Pers Mahasiswa dan Reorientasi
Pascareformasi 1998 dalam Wijaya, Angga (ed).
Kaum Muda dan Pers Mahasiswa. Yogyakarta:
BPPM Balairung
Aly, Rum. 2004. Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter.
Jakarta: Kompas
Ardian, Doni Gahral. 2011. Setelah Marxisme: Sejumlah Teori
Ideologi Kontemporer. Depok: Koekoesan
Arismunandar, Satrio. 2004. Bergerak! Peran Pers Mahasiswa
dalam Pengumbangan Rezim Soeharto. Jakarta:
Genta Press
Asdiansyah, Juwendra. 2009. Kumpulan Profil Pers
Mahasiswa Indonesia. Lampung: UKPM
Teknokra

149
Komersialisasi Pendidikan

Azizah, Nur. Rumah Cahaya Bernama Pers Mahasiswa


Suara USU dalam Asdianysah, Juwendra. 2009.
Kumpulan Profil Pers Mahasiswa Indonesia.
Lampung: UKPM Teknokra
Azca, Najib (ed). 2011. Pemuda Pasca Orde Baru. Yogyakarta:
Yousure
Azra, Azyumardi. 2002. Paradigma Baru Pendidikan
Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi.
Jakarta: Kompas
Bachtiar, Hasan. 2006. Memperkuat Competence Market
Belajar Menjadi Jurnalis Profesional Melalui Pers
Mahasiswa dalam Wijaya, Angga (ed).
Kaum Muda dan Pers Mahasiswa.Yogyakarta:
BPPM Balairung
Benda, Julien.1999. Pengkhianatan Kaum Cendekiawan.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Darmaningtyas. 2009. Tirani Kapital dalam Pendidikan:
Menolak UU BHP. Yogyakarta: Damar Press
Eriyanto. 2002. Analisis Framing. Yogyakarta: LKiS
Eriyanto. 2000. Kekuasaan Otoriter: Dari Gerakan Penindasan
Menuju Politik Hegemoni. Yogyakarta: Insist
Eriyanto. 2003. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS
Fathoni, Mohammad. 2012. Menapak Jejak Perhimpunan
Pers Mahasiswa Indonesia. Depok: Komodo Books
Feith, Herberth. 2006. The Decline of Constitutional
Democracy in Indonesia. Jakarta: Equinox
Publishing
Gautama, Candra (ed). 2010. Ashadi Siregar: Penjaga Akal
Sehat dari Kampus Biru. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia

150
Wisnu Prasetyo Utomo

Hadiz, Vedi. 2005. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Indonesia


Pasca Soeharto. Jakarta: LP3ES
Hadiz, Vedi (ed). 2006. Ilmu Sosial dan Kekuasaan di
Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing
Hamad, Ibnu.2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media
Massa. Jakarta: Yayasan Obor
Hill, David dan Krishna Sen. 2001. Media, Budaya, dan Politik
di Indonesia. Jakarta: ISAI
Hill, David.2011. Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia
Joesoef, Daoed. 2011. 10 Wacana tentang Aneka Masalah
Kehidupan Bersama. Jakarta: Kompas
K.H, Ramadhan. 1989. Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan
Tindakan Saya. Jakarta: Citra Lamtoro Gung
Persada
Kovach, Bill dan Tom Rosensteil. 2006. Sembilan Elemen
Jurnalisme. Jakarta: Yayasan Pantau
Lane, Max. 2008. Unfinished Nation: Indonesia Before and
After Soeharto. London: Verso
Lianti, Nova.2009. Menggelorakan Suara Mahasiswa dalam
Asdiansyah, Juwendra (ed). Kumpulan Profil Pers
Mahasiswa Indonesia. Lampung: UKPM Teknokra
Littlejohn, Stephen W.1999. Theories of Human
Communication. California: Wadswort Publishing
Company
Mc Chesney, Robert. 1998. Konglomerasi Media Massa dan
Ancaman Terhadap Demokrasi. Jakarta: AJI

151
Komersialisasi Pendidikan

Nonoputra, Satria.2009. Satu Lilin Kecil dalam Asdiansyah,


Juwendra (ed). Kumpulan Profil Pers Mahasiswa
Indonesia. Lampung:UKPM Teknokra
Noeradi, Wisaksono (ed). 2008. Manusia Komunikasi,
Komunikasi Manusia. Jakarta: Kompas
Nugroho, Heru. 2002. McDonalisasi Perguruan Tinggi.
Yogyakarta: Kanisius
Patria, Nezar dan Andi Arief. 1999. Antonio Gramsci: Negara
dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Piliang, Yasraf Amir. 2005. Dunia yang Dilipat: Tamasya
Melampaui Batas-batas Kebudayaan.Yogyakarta:
Jalasutra
Raillon, Francois. 1984. Politik dan Ideologi Mahasiswa
Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde
Baru 1966-1974. Jakarta: LP3ES
Siregar, Amir Effendi.1983. Pers Mahasiswa Patah Tumbuh
Hilang Berganti. Jakarta: Karya Unipress
Siregar, Ashadi. 2001. Mosaik Pers Indonesia: Dari Kepingan
Kooptasi dan Komodifikasi dalam Sularto (ed).
Humanisme dan Kebebasan Pers. Jakarta: Kompas.
Sitepu, Vinsensius (ed). 2009. Berawal dari Suara USU.
Medan: USU Press
Siregar, Ashadi. 1998. Bagaimana Meliput dan Menulis Berita
untuk Media Massa. Yogyakarta: LP3Y
Slaughter, Sheila dan Larry L. Leslie. 1997. Academic
Capitalism: Politics, Policies, and The
Enterpreneurial University. Baltimore: John
Hopkins University Press
Smith, Edward. 1983. Sejarah Pemberedelan Pers di
Indonesia. Jakarta: Grafitti

152
Wisnu Prasetyo Utomo

Sudibyo, Agus. 1999. Citra Bung Karno: Analisis Berita Pers


Orde Baru. Yogyakarta:Bigraf
Suharti, Elfa. 2009. Di balik Lensa Teropong dalam
Asdiansyah, Juwendra (ed). Kumpulan Profil Pers
Mahasiswa Indonesia.Lampung: UKPM Teknokra
Supriyanto, Didik. 1998. Perlawanan Pers Mahasiswa Protes
Sepanjang NKK/BKK. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan
Suwignyo, Agus. 2007. Dasar-Dasar Intelektualitas.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suyono, Seno Joko. 2008. Tubuh yang Rasis.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
UKPM Caka. 2009. Dari Demonstrasi Ke Pers Mahasiswa
dalam Asdianysah, Juwendra. Kumpulan Profil
Pers Mahasiswa Indonesia. Lampung: UKPM
Teknokra
Van Dijk, Teun. 1993. Discourse and Cognition in Society
dalam D. Crowley & D. Mitchell, Communication
Theory Today. Oxford: Pergamon Press
Van Dijk, Teun. 1988. News as Discourse. New Jersey:
Lawrence Arlbraum Associates
Widjojo, Muridan S (ed). 2004. Bahasa Negara vs Bahasa
Gerakan Mahasiswa. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Widjojo, Muridan S (et al). 1999. Penakluk Rezim Orde Baru:
Gerakan Mahasiswa 1998. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan
Zen, Fathurin. 2004. NU Politik: Analisis Wacana Media.
Yogyakarta: LKiS

153
Komersialisasi Pendidikan

Jurnal, Skripsi, Makalah


Bachtiar, Hasan. 2000. Pers Mahasiswa Pasca 21 Mei 1998:
Menuntaskan Romantisme Sejarah Makalah
disampaikan dalam Sarasehan Nasional Pers
Mahasiswa yang diadakan Direktorat Pendidikan
Tinggi, 18-19 September 2000
Bachtiar, Hasan. 2001. Bekerja dengan Detail, Mengapa
Jurnal Balairung? Dalam Jurnal Balairung, Nomor
34/XVI
Darmaningtyas. 2005. Privatisasi Pendidikan: Dari BHMN Ke
BHP dalam Jurnal Wacana Edisi 19 tahun VI
Dhakidae, Daniel. 1977. Penerbitan Kampus: Cagar Alam
Kebebasan Pers dalam Prisma Edisi 10/Oktober
Hermansyah, Dedy Ahmad. 2009. Gerakan Pers Mahasiswa
Catatan Kaki Universitas Hasanuddin 1995-
1999. Skripsi pada Jurusan Sejarah Universitas
Hasanuddin Makassar, tidak diterbitkan
Nuswantoro, Ardi. 2008. Pertarungan Wacana Pendidikan
dalam Media. Skripsi pada Jurusan Ilmu
Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, tidak diterbitkan
Nugroho, Tarli. 2003. Karikatur Majalah Kecil dalam Jurnal
Balairung Edisi 36/XVII
Saputra, Eka Suryana. 2009. Menyambangi Tanah Tak
Bertuan dalam Jurnal Balairung Edisi 43/XXIV
Sekelumit Cerita dari Lombok dan PPMI. 2000. Dokumen
Balairung. Tidak diterbitkan

154
Wisnu Prasetyo Utomo

Siregar, Ashadi. 1987. Kebebasan Pers: Ruang Gerak atau


Ideologi?, makalah pada Pembukaan Sekolah
Sosial Yayasan Padi dan Kapas, Jakarta 2
Desember 1987
Subaharianti, Agung. 1995. Pers (Kampus) Mahasiswa
Makalah tidak diterbitkan
Sunarto.2000. Pers Mahasiswa :Persemaian Public Sphere
Civil Society Makalah disampaikan dalam
seminar nasional Quo Vadis Pers Mahasiswa
di Universitas Diponegoro Semarang 21 Oktober
2000
Wahyuni, Hermin Indah. 2000. Relasi Media-Negara-
Masyarakat dan Pasar dalam Era Reformasi
dalam Jurnal Sospol UGM Volume 4/Nomor 2/
November

Majalah dan Surat Kabar


Arifin, Luqman Hakim. 2000. Catatan Panjang dari Lombok
dalam Majalah Balairung Edisi 32/XV
Choirudin, Achmad dan Lubabun Niam. 2010. Memancang
Tonggak Community Press Online dalam Majalah
Balkon Edisi Spesial 2010
Choirudin, Achmad. 2010. Orientasi Hipokrit Mahasiswa
Peneliti dalam Majalah Balkon Edisi Spesial 2010
Fahmy, Ibrahim. 1999. Mengapa Harus Ditutup-Tutupi?
dalam Majalah Balairung Edisi Khusus/ XV
Joesoef, Daoed. 2007. Departemen Perdagangan Pendidikan
dalam Kompas, 29 Agustus
Mahendra, Bhayu. 2000. Pers Mahasiswa Era Reformasi
dalam Majalah Balairung Edisi 30/XV

155
Komersialisasi Pendidikan

Suprihanto, Agung. 1988. Kronologi Menuju Kongres: Sebuah


Kesaksian dalam Majalah Balairung No. 9/Tahun
II
Supriyanto, Didik. 2000. Reorientasi Pers Mahasiswa dalam
Majalah Balairung Edisi 29/Tahun XIV
Suryawan, I Ngurah. 2002. Menghadapai Industrialisasi
Pendidikan dalam Catatan Kaki Edisi 12 Tahun
VIII November
Suwignyo, Agus. 2007. Alasan Keberadaan BHP dalam
Kompas 28 Mei 2007
Utomo, Wisnu Prasetya. 2010. Wajah Buram Universitas
Riset dalam Majalah Balkon Edisi Spesial 2010
Forum Komunikasi untuk Pers Mahasiswa dalam Balkon
Edisi 123/ 15 Juni 2009
Geliat Baru Pers Mahasiswa dalam Kompas 3 Mei 1998
Ikhtisar Pers M dalam Majalah Tempo 5 Juni 1971
Kampus Luar Dalam dalam Majalah Tempo 8 Januari 1972
Menggagas Jalan Baru Pers Mahasiswa dalam Balkon Edisi
Spesial 2010
Pada Angka Yang Ke-13 dalam Majalah Tempo 26 Februari
1972
Pers Kampus dan Bayang-Bayang Idealisme dalam Kompas
10 Agustus 2010
Persma Usai 21 Mei dalam Balairung Edisi 29/Tahun
XIV/1998
Pendidikan dan Korelasi Penindasan Oleh Negara dalam
Catatan Kaki Edisi 2/2008

156
Wisnu Prasetyo Utomo

Terdapat Kegagalan dalam Pelaksanaan Normalisasi


Kampus Tahap I dalam Gelora Mahasiswa edisi
21 Juni 1979
Balairung edisi 18/TH/VII/1993
Gelora Mahasiswa edisi Februari 1977
Kompas Edisi 30 Oktober 2002
Kompas Edisi 18 Agustus 2007
Kompas Edisi 12 Desember 2007
Majalah Tempo 6 Januari 2008
Suluh Edisi 5/ Tahun I/1999

Internet
Effendi, Sofyan. 2004. Rekomendasi Untuk Mendiknas
terarsip dalam http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/
REKOMENDASI\-UNTUK-MENDIKNAS.pdf
LPM Hayam Wuruk.2005. Profil LMP Hayam Wuruk terarsip
dalam http://www.lpmhayamwuruk.org/2005/08/profil-
lpm-hayamwuruk.html diakses 18 Juni 2012
Priyono, Herry B. 2006. Neoliberalisme dan Sifat Ilusif
Kebebasan terarsip dalam http://www.unisosdem.org/
kumtul_detail.php?aid=6953&coid=1&caid=4&auid=3
diakses 4 Oktober 2012
Riqab, Saiz. 2008. Agenda Setting Role of Mass Media terarsip
di http://www.aiou.edu.pk/gmj/artical4(b).asp diakses 11
Agustus 2012
Suara USU. 2000. Pembreidelan Tabloid Mahasiswa Suara
USU terarsip dalam http://groups.yahoo.com/group/
kampusonline/message/346 diakses 18 Juni 2012

157
Komersialisasi Pendidikan

Suardi, Sulviyani.2001. Catatan Kaki Diadukan ke


Polisi terarsip dalam http://groups.yahoo.com/group/
kampusonline/message/1093 diakses 18 Juni 2012
Satyani, Happy Ary. 2011. Sosial Media Jawaban Bagi
Pers Mahasiswa terarsip dalam http://iynd.blogspot.
com/2011/10/sosial-media-jawaban-bagi pers.html diakses
18 Juni 2012
Utomo, Wisnu Prasetya. 2010. Jalan Baru Pers Mahasiswa
terarsip dalam http://suaramerdeka.com/v1/index.
php/read/cetak/2010/07/03/115431/Jalan Baru Pers-
Mahasiswa diakses pada 18 Juni 2012
Utomo, Wisnu Prasetya. 2010. Setelah BHP, Lantas Apa?
terarsip dalam http://suaramerdeka.com/v1/index.php/
read/cetak/2010/05/01/107777/Setelah-BHP-Lantas-Apa
diakses pada 18 Juni 2012

Wawancara
Aman Wijaya (Koordinator Litbang Catatan Kaki 2012), 27
Januari 2012
Asri Abdullah (Pemimpin Umum Catatan Kaki 2009), 25
Januari 2012
Chairuddin (Pemimpin Umum Catatan Kaki 2003), 25 Januari
2012
Fitria Nurhayati (Pemimpin Redaksi Balairung 2012), 5
Agustus 2012
Khairil Hanan Lubis (Pemimpin Redaksi Suara USU 2010), 4
Februari 2012
Pratama Adhi (Pemimpin Umum Balairung 2012), 26 Juli
2012

158
Wisnu Prasetyo Utomo

Vinsensius Sitepu (Pemimpin Redaksi Suara USU 2003), 2


Februari 2012
Wan Ulfa Nur Zuhra (Pemimpin Umum Suara USU 2011), 2
Maret 2012
Yulhasni (Pemimpin Redaksi Suara USU 1995), 1 Februari
2012

159
Tentang Penulis

Wisnu Prasetya Utomo lahir di


Semarang 21 Maret 1989 dan baru
saja menuntaskan studinya di Jurusan
Ilmu Komunikasi UGM akhir tahun
2012. Selama kuliah, pernah menjadi
Pemimpin Redaksi Balairung 2010
dan menjadi koordinator Gerakan
Tolak Komersialisasi Kampus (Gertak)
UGM. Tahun 2009, menjadi salah satu
inisiator pembentukan Forum
Komunikasi Pers Mahasiswa Indone-
sia di Makassar. Salah satu tulisan tentang komersialisasi
pendidikan dimuat dalam buku Menjinakkan Komersialisasi
Pendidikan (2012). Saat ini aktif di Komunitas Kembang
Merak yang bergerak dalam kajian ekonomi-politik
kebudayaan. Penulis bisa dihubungi di utama4@gmail.com
atau melalui akun twitter @wisnu_prasetya.

161
Indie Book Corner adalah sebuah proyek yang didirikan
sebagai upaya membantu penulis-penulis pemula ataupun
penulis yang sudah mapan untuk memublikasikan karyanya
dalam bentuk buku. IBC memiliki cita-cita agar produksi
buku semakin mudah demi memperkaya khasanah
perbukuan Indonesia, meningkatkan minat menulis dan
membaca.

www.bukuindie.com
facebook.com/inibukuku
twitter: @indiebookcorner

Anda mungkin juga menyukai