KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
Diterbitkan oleh
Indie Book Corner
Perum Buana Asri Village D-4
Jl. Griya Taman Asri
Pendowoharjo, Sleman, Jogjakarta
www.bukuindie.com
facebook.com/inibukuku
@IndieBookCorner
redaksi@bukuindie.com
0274-9207841
Untuk ibuk, ibuk, ibuk, bapak...
Pengantar
Merumuskan Peran Baru Pers Mahasiswa
Oleh : Amir Effendi Siregar *
viii
dengan problem kebangsaan. Ia terikat komitmen untuk
ikut menuntaskan berbagai permasalahan tersebut. Pada
titik ini, pers mahasiswa harus merumuskan kembali peran
dan posisi agar tetap bisa menunjukkan eksistensinya.
Di negara maju, pers mahasiswa secara jelas berorientasi
pada komunitasnya sendiri yaitu civitas academica. Ia
menjadi satu community news paper. Sebabnya, nyaris tidak
ada celah bagi pers mahasiswa untuk menulis berita-berita
nasional. Penetrasi pers umum begitu kuat dengan variasi
yang luar biasa banyak. Sebagai contoh di Amerika Serikat.
Oplah media cetak sekitar empat ratus juta eksemplar
dan jumlah stasiun televisi sebanyak 1750 dengan jumlah
penduduk sekitar 300 juta. Penetrasi internet pun mencapai
angka 70-80%. Kondisi ini membuat pers mahasiswa tidak
memiliki celah untuk ikut mengangkat isu nasional. Bila
dibandingkan dengan Indonesia, kondisinya berbeda jauh.
Oplah media cetak sebesar dua puluh juta dan 300 stasiun
televisi untuk dua ratus juta penduduk. Sementara penetrasi
internet hanya berkisar di angka 20%.
Celah ini yang bisa digunakan pers mahasiswa untuk
tetap menunjukkan eksistensinya. Konteks tersebut berguna
untuk memahami problem yang melanda pers mahasiswa.
Peranan ganda dalam mengangkat isu nasional sekaligus isu
lokal tetap harus diambil. Namun pendekatan dalam peran
ganda tersebut mesti diubah. Pers mahasiswa tidak perlu
takut mengangkat isu-isu nasional seperti korupsi, partai
politik, maupun persoalan kebangsaan lainnya. Catatannya,
berita-berita yang ditampilkan tidak boleh dangkal atau
hanya bersifat permukaan. Informasi yang dimunculkan
mesti based on research dan mengandung bobot akademis
yang tinggi. Model penulisannya menggunakan indepth
reporting dan atau interpretative reporting yang kaya data
atau yang lebih dikenal sebagai jurnalisme presisi. Dengan
demikian ia bisa dijadikan referensi oleh pers umum dan
ix
terutama masyarakat luas.
Penulisan berita yang kaya data memang merupakan
tuntutan pers mahasiswa saat ini. Ini jauh bertolak belakang
dengan kondisi di zaman sayaera Orde Baruketika
pers mahasiswa ketika itu seringkali bersifat partisan dan
menjadi pers pamflet. Kondisi di tengah otoritarianisme
memang membuat mahasiswa, mau tidak mau, memosisikan
diri menolak negara yang dianggap sebagai musuh bersama.
Sifat partisan yang agitatif dan provokatif adalah salah satu
ciri dan cara untuk melawan musuh bersama tersebut. Satu
situasi yang sudah tidak terlalu relevan jika diterapkan
pada zaman sekarang. Dalam sistem demokratis, informasi
yang ditampilkan mesti menampilkan sudut pandang
atau perspektif yang berbeda. Penerapan prinsip-prinsip
jurnalistik yang ketat menjadi pegangan dalam menyajikan
informasi tersebut.
Ketika sudah memutuskan bergerak di dunia pers,
pers mahasiswa mesti concern terhadap prinsip-prinsip
jurnalistik. Berita yang ditampilkan harus bisa diverifikasi
kebenarannya. Kecuali pers mahasiswa mau mengaku
dirinya sebagai pers pamflet atau media propaganda.
Dilema amatirisme dan profesionalisme yang merupakan
persoalan klise pers mahasiswa tidak akan pernah berakhir.
Profesionalisme menuntut keterampilan dalam mengelola
organisasi dari mulai rutinitas periode terbit sampai
pembiayaan penerbitan. Namun karena pengelolanya adalah
mahasiswa-mahasiswa yang dibatasi waktu aktif kuliah di
kampus, sifat amatirisme menjadi tak terhindarkan. Dilema
tersebut juga merupakan konsekuensi dari peran ganda
pers mahasiswa. Hal tersebut bisa menjadi kekurangan
sekaligus juga kelebihan. Geraknya yang bebas membuat
pers mahasiswa bisa memberitakan berbagai berita tanpa
takut diberedel, nothing to lose.
x
Gerak bebas inilah yang semestinya bisa dimanfaatkan.
Apalagi perkembangan teknologi internet membuat pers
mahasiswa memiliki banyak pilihan untuk menerbitkan
tulisan-tulisannya dengan mengabaikan keterbatasan dana.
Jaringan organisasi pers mahasiswa di tingkat nasional
juga tidak bisa dipinggirkan. Sebagai sebuah networking,
organisasi di tingkat nasional dibutuhkan sebagai ajang
tukar pikiran sesama pers mahasiswa. Misalnya saja sharing
tentang pengelolaan organisasi maupun penerbitan majalah.
Bahkan dalam isu tertentu misalnya, pers mahasiswa bisa
melakukan join research. Bahkan juga bisa membentuk
pusat informasi pers mahasiswa Indonesia. Dengan ling-
kup wilayah yang luas, kerjasama ini bisa membuat pers
mahasiswa mengimbangi dan menjadi alternatif pers
umum.
Tentang bagaimana bentuk organisasi tersebut
apakah organisasi tertutup atau hanya forum komunikasi
bisa diketahui setelah ada perumusan ulang problem
mendasar pers mahasiswa. Sebabnya, ketiadaan pembacaan
posisi membuat pers mahasiswa bersikap reaktif. Membuat
sebuah organisasi tapi tidak tahu apa yang akan dilakukan
karena tidak tahu apa yang sedang dihadapi.
Sampai di sini, kehadiran buku ini menjadi penting di
tengah minimnya literatur tentang pers mahasiswa. Studi
ini melengkapi kajian Amir Effendi Siregar (1983), Francois
Raillon (1985), Ana Nadhya Abrar (1992), Didik Supriyanto
(1998), serta Satrio Arismunandar (2005).
Selain melengkapi literatur tentang pers mahasiswa,
buku ini juga membantu para pegiat pers mahasiswa untuk
melihat gejala atau problem yang selama ini melanda.
Dengan pembacaan atas gejala, ia berguna untuk melihat
posisi dan peran pers mahasiswa Indonesia. Pada tahap
selanjutnya, pers mahasiswa bisa menjawab tantangan
barunya dalam hidup di alam demokrasi Indonesia yang
xi
masih bersifat prosedural, belum substansial. Selamat
membaca dan saya percaya sangat bermanfaat.
xii
Pengantar
Pers Mahasiswa dan Naluri Perlawanan
Oleh : Eko Prasetyo*
xiv
adalah: pendidikan tinggi bukan ladang untuk mencari laba.
Tapi ini bukan pertarungan heboh. Serangan itu
diarahkan pada kebijakan. Sasaran kutukan itu ada pada
peraturan. Tulisan yang menyengat memang diperlukan
tapi itu tak selamanya bisa memacu gerakan. Sejak UU BHP
dicabut maka mandat tulisan untuk melawan komersialisasi
itu berubah strategi. Kini bukan soal mahal biaya pendidikan
tapi tradisi burjouis yang ada di lingkungan kampus.
Seperti mobil mewah yang dikendarai oleh mahasiswa,
konsumerisme yang jadi status sosial dan lebih berbahaya
lagi, sikap pragmatis sebagian dosen. Aliran perubahan itu
dibawa bukan karena komersialisasi semata melainkan
kampus yang mulai unjuk peran: tidak didasarkan pada
kualitas hasil riset melainkan bagaimana kampus merias
bangunan. Saksikan saja tubuh bangunan fisik kampus yang
makin mirip dengan pusat perbelanjaan: fasilitas AC pada
ruangan, wi fi di tiap teras halaman dan kursi nyaman untuk
duduk mahasiswa. Tak lupa kantin disediakan dengan menu
komplit. Maka mahasiswa bukan lagi kumpulan anak-anak
muda yang gelisah, kritis dan nekat: tapi pemuda yang
rapi, gaya dan penuh canda. Lukisan paling norak tampak
dalam iklan-iklan kampus yang dipasang pada baliho.
Sekelompok mahasiswa dan mahasiswi membaca buku
sambil tersenyum.
Pers kampus lalu meluncur bukan dalam bahasa
propaganda tapi berita yang penuh data, argumentasi yang
ilmiah dan penjelasan yang lurus. Pers kampus kehilangan
gigi taringnya ketika berita yang diungkap tak lagi dalam
bahasa emosional, provokatif dan menyerang. Terlebih
elemen investigasi tak lagi jadi senjata yang bisa diandalkan:
bisa karena pelatihan yang minim atau beban kuliah yang
membelit. Efeknya seperti yang ditulis di buku ini, pers
kampus mulai mendesakkan tersangka modal sebagai
biang keladi komersialisasi. Kutipan kapitalisme modal,
xv
neoliberalisme hingga kaki tangan uang berhamburan di
mana-mana. Sebagai sebuah agitasi itu tetap diperlukan,
tapi kesadaran kritis tidak tumbuh hanya dengan bualan.
Pers kampus kehilangan penciuman untuk melihat jejak-
jejak modal yang paling dekat di sekitarnya: rektor yang
bergonta-ganti mobil, dosen yang rumahnya mewah hingga
paceklik karya di lingkungan para pengajar. Padahal itu
adalah lukisan langsung serta menyentuh bagaimana modal
itu memenjarakan kecerdasan intelektual dosen. Terjadi
apa yang biasa berlangsung: dosen seperti pekerja yang
diperas kemampuannya untuk melayani modal.
Itu sebabnya perlawanan pada komersialisasi pendidik-
an kehilangan visi utopisnya. Soalnya perlawanan itu hanya
beringsut dari wacana menuju wacana. Aliran dukungan
massa pada setiap demo hanya mengulang apa yang jadi
keluhan: kampus kian mahal. Tapi bentrok tak terjadi dan
emosi tidak jadi gumpalan aksi yang keras. Maka ketika UU
BHP dibatalkan oleh MK itu dianggap sebagai proklamasi
kemenangan. Tiap-tiap orang lalu merasa sudah berjuang
total: padahal perseteruan diawali dari situ. Saat di mana
hukum diacuhkan dan ketika peraturan tak bisa memegang
kendali sepenuhnya. Aroma itu menyala ketika banyak
dosen memilih jadi pejabat dan kuliah tinggal jadi obrolan
gosip sana-sini. Runyamnya lagi, gerakan mahasiswa
dilumpuhkan melalui prosedur dan intervensi. Maka wujud
komersialisasi itu berubah rupa bukan sekadar pintu
masuk yang bertarif mahal melainkan juga mata kuliah yang
memusatkan diri pada perolehan uang. Secara sederhana
itu punya arti yang luas: materi kuliah yang tak beringsut
dari kepentingan praktis, kegiatan yang bertumpu pada
kerja sama dengan badan usaha lalu upaya kampus untuk
mengembangkan bisnis. Pernak-pernik itu yang kadang
masih tumpul dibaca oleh pers mahasiswa.
xvi
Buku ini memberi penjelasan yang unik dan pas:
kekuatan pers mahasiswa bukan terletak pada wacana
tapi keterlibatan langsung dalam gejolak. Iramanya bukan
ditambang dari tulisan melainkan keterlibatan. Soalnya
memang ada batas yang kini memagari keinginan itu:
absensi, ketentuan kuliah hingga jeratan situasi politik. Tak
dipungkiri gejolak partai politik di luar sana memengaruhi
dinamika gerakan. Di sisi ini, buku yang anda baca amat
relevan: mempertimbangkan kembali peran oposisi pers
mahasiswa. Dalam wadah isu komersialisasi kampus, pers
mahasiswa membuka kubu perseteruan dengan pihak
pemegang kendali kampus: rektor hingga mengerucut pada
menteri pendidikan. Ruang pertarungan yang dihuni oleh
wacana itu kini saling bergesek dan melibatkan diri secara
aktif. Pada arus itulah sesungguhnya konflik kepentingannya
komplit: manajemen tata kelola kampus, borjuasi dalam
diri mahasiswa, konfrontasi kelas hingga tata ruang. Sayang
memang pers kampus tidak mengitari itu semua. Hingga
hegemoni berita hanya dipadati oleh isu yang beraroma
ketimpangan ekonomi.
Buku ini menunjukkan dengan sungguh-sungguh betapa
wacana perlawanan itu tak menyentuh semua mahasiswa.
Seolah menantang: buku ini menunjukkan peta penjelasan
betapa masih banyak soal dihadapi pers mahasiswa ketika
bertarung dengan isu komersialisasi pendidikan. Peta itu
tak merujuk semata aktor-aktor yang terlibat melainkan
juga struktur yang bekerja mengoperasikannya. Struktur
itu saling jalinberkelindan dengan negara dan imperium
modal. Pada tengah gejolak itu sebuah tulisan bukan lagi
senapan tapi peluru yang bisa menyambar siapa pun. Jika
peluru itu ingin tepat sasaran tentu yang diasah bukan
sekadar senapan tapi bagaimana membidikkanya dengan
jitu. Pers mahasiswa memiliki kemampuan itu semua:
tulisan sebagai luapan provokasi sekaligus tulisan sebagai
xvii
bagian dari agen propaganda. Nyali, kegigihan dan kerangka
pikir struktural dapat jadi landasan untuk menemukan
kembali roh pers mahasiswa: perlawanan. Wisnu telah
membantu untuk melihat segala pernak-pernik dunia pers
mahasiswa yang memang punya semangat untuk melakukan
pemberontakan dan perlawanan. Seperti sebuah kesaksian,
buku ini ingin mengajak kita untuk tetap punya harapan
pada pers mahasiswa dan pada gerakan mahasiswa. Sebuah
harapan yang secara indah diantarkan oleh buku ini.
xviii
Pengantar Penulis
xx
membuat mereka berdua kelelahan membaca.
Secara khusus, ucapan terima kasih saya sampaikan
kepada kawan-kawan Catatan Kaki Makassar dan Suara
USU Medan yang telah mengizinkan saya untuk meneliti
organisasinya dan membantu menyediakan data-data yang
saya butuhkan. Perjalanan ke Makassar dan Medan tentu tak
akan terlaksana tanpa bantuan teman-teman di sana. Suplai
motivasi saya peroleh dari Arya Budi, Wildan Mahendra,
dan Adi Suharyanto yang kerap mengingatkan saya untuk
konsisten berdoa dan bekerja. Semangat perlawanan saya
dapatkan dari kawan-kawan seperjuangan di Gerakan Tolak
Komersialisasi Kampus UGM, BEM Universitas dan Fakultas,
Asrama PPSDMS serta segenap penulis baik dosen, ilmuwan,
jurnalis, maupun aktivis yang tulisan-tulisannya saya kutip
dalam buku ini. Sementara dua saudara kandung, Mas Furry
dan Dhenok, adalah alasan untuk tetap tersenyum di tengah
hari-hari yang berat.
Akhirul kalam, semoga ikhtiar yang penuh dengan
bopeng di sana-sini ini mampu memberi sumbangan
terhadap kajian pers mahasiswa di tanah air dan menjadi
pemantik untuk menuntaskan kegalauan yang tengah
dihadapi pers mahasiswa sampai saat ini. Semoga.
xxi
DAFTAR ISI
xxiv
Kognisi Sosial 135
Konteks Sosial 137
Epilog 143
Daftar Pustaka 149
Tentang Penulis 161
xxv
Pendahuluan
1
Komersialisasi Pendidikan
2
Wisnu Prasetyo Utomo
3
Komersialisasi Pendidikan
Jenis Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan metode analisis wacana
(discourse analysis). Jika analisis isi (content analysis) hanya
bisa melihat makna yang terlihat (manifest), analisis wacana
melihat makna yang tidak terlihat (laten). Analisis wacana
merupakan perangkat analisis yang memiliki kemampuan
untuk melihat makna yang tersembunyi di balik sebuah
teks. Analisis wacana juga bisa menjawab persoalan
mengenai ideologi dan konteks yang memproduksi sebuah
teks tertentu. Dalam penelitian ini, analisis wacana yang
digunakan akan mengacu pada definisi yang diberikan
oleh Teun van Dijk. Definisi atau model yang diajukan oleh
van Dijk biasa disebut sebagai model kognisi sosial (social
cognition). Model ini melihat bahwa wacana terdiri dari tiga
dimensi yaitu teks, konteks, dan kognisi sosial.
Sebagai sebuah interface kognisi sosial adalah peng-
hubung antara teks dan konteks, antara wacana dan
masyarakat. Asumsi yang dikemukakan oleh van Dijk,
wacana tidak hanya merupakan persoalan struktur wacana.
Lebih dari itu, wacana juga melibatkan proses produksi
serta pemahaman yang dihayati bersama. Karena itu sebuah
wacana berarti juga melibatkan proses mental atau kognisi
sosial masyarakat. Seperti diungkapkan oleh Van Dijk dalam
Crowley dan Mitchell (1993);
(1) discourse is actually produced/interpreted by individuals,
but they are able to do so only on the basis of socially shared
knowledge and beliefs; (2) discourse can only affect social
structures through the social minds of discourse participants,
and conversely (3) social structures can only affect discourse
structures through social cognition.
4
Wisnu Prasetyo Utomo
Kerangka Pemikiran
1. Pers Mahasiswa
Pers mahasiswa adalah penerbitan yang dikelola dan
diterbitkan oleh mahasiswa dengan dicirikan oleh
idealisme kemahasiswaan. Seperti dinyatakan Abrar
(1992:7) dan Subaharianto (1995), pers mahasiswa
adalah penerbitan di kampus yang pengelolanya murni
dilakukan oleh mahasiswa. Aktivitas dari mulai keredak-
sian sampai pencarian dana dilakukan oleh mahasiswa
yang masih aktif di kampus. Kelangsungan penerbitannya
bergantung pada kerelaan mahasiswa itu sendiri baik
tenaga, dana, dan juga konsumennya. Salah satu ciri khas
yang melekat dalam pers mahasiswa adalah idealisme
kemahasiswaan yang dimiliki oleh para aktivisnya. Dalam
tulisannya di majalah Prisma yang berjudul Penerbitan
Kampus: Cagar Alam Kebebasan Pers (1977), Dhakidae
mengatakan bahwa etos pers mahasiswa di Indonesia
adalah adversary journalism (jurnalisme menantang).
Etos ini melekat dalam citra diri pers mahasiswa.
Dalam konteks adversary journalism misalnya, pers
5
Komersialisasi Pendidikan
6
Wisnu Prasetyo Utomo
7
Komersialisasi Pendidikan
8
Wisnu Prasetyo Utomo
9
Komersialisasi Pendidikan
11
Komersialisasi Pendidikan
13
Komersialisasi Pendidikan
Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah tiga pers mahasiswa
yaitu Balairung (UGM), Catatan Kaki (Unhas), dan Suara
USU (USU). Ketiga pers mahasiswa mewakili ekspresi
penolakan terhadap komersialiasi kampus yang serupa
tapi tak sama di tiga pulau besar di Indonesia. Turbulensi
ketiga kampus tersebut dalam isu ini begitu tinggi.
14
Wisnu Prasetyo Utomo
1. Pengumpulan Data
a. Penelusuran Dokumen
Dokumen yang dimaksud adalah berita utama
mengenai komersialisasi pendidikan yang dimuat
di Balairung, Catatan Kaki, dan Suara USU dalam
rentang waktu dari tahun 2000 sampai 2004. Tahun-
tahun ini adalah era awal komersialisasi pendidikan
yang ditandai dengan perubahan status beberapa
perguruan tinggi negeri. Dokumen diperoleh dari arsip
yang dimiliki oleh masing-masing pers mahasiswa
tersebut. Namun tidak semua edisi dalam rentang
waktu tersebut akan dianalisis, data yang dibutuhkan
adalah edisi yang memuat berita utama mengenai
komersialisasi pendidikan. Pemilihan berita dilakukan
dengan beberapa alasan. Pertama, berita yang dipilih
adalah berita utama yang secara langsung memiliki
kaitan dengan kebijakan otonomi kampus yang
selanjutnya menjadi komersialisasi pendidikan sebagai
konsekuensi dari perubahan status.
Berita-berita yang meliput efek lanjutan dari
kebijakan perubahan status, seperti persoalan
organisasi mahasiswa dan sistem akademik, tidak
dimasukkan dalam objek penelitian. Kedua, banyaknya
dokumentasi teks berita yang sudah hilang. Kondisi
ini terjadi karena pers mahasiswa yang bersangkutan
tidak memiliki naskah salinan mengenai berita-berita
yang pernah diterbitkan. Sehingga berita yang diteliti
15
Komersialisasi Pendidikan
Analisis Data
Analisis data merupakan proses mengatur urut-urutan
data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori,
dan satuan uraian dasar. Dari pengertian tersebut pertama
yang harus dilakukan adalah mengorganisasikan data
yang terkumpul dari lapangan. Dalam hal ini, tahapan
16
Wisnu Prasetyo Utomo
17
Komersialisasi Pendidikan
18
Wisnu Prasetyo Utomo
Sistematika Penulisan
Penulisan buku ini akan didasarkan pada tujuh bab
pokok. Bab pertama akan menguraikan latar belakang
yang membuat penelitian ini layak untuk dikaji, metode
pengumpulan data dan pendekatan yang digunakan untuk
menganalisis temuan data. Bagian selanjutnya berisi ten-
tang kerangka pemikiran penelitian yang dibagi dalam
dua bab. Bab dua akan melakukan elaborasi atas studi-
studi yang pernah dilakukan mengenai pers mahasiswa.
Secara lebih spesifik akan memperlihatkan karakteristik
menentang kekuasaan yang dimiliki oleh pers mahasiswa.
Karakteristik yang juga terbawa sampai saat ini. Sementara
bab tiga melihat situasi pers mahasiswa pasca 1998. Efek
disorientasi, dilema profesionalisme-amatirisme, perpecah-
an PPMI, juga migrasi ke dunia maya menandai masa transisi
pers mahasiswa menghadapi era masyarakat informasi. Bab
empat kemudian akan memaparkan tiga pers mahasiswa
yang diteliti dalam studi ini. Ketiga pers mahasiswa ini
lahir di era Orde Baru sehingga konteks historis kehadiran
Balairung, Catatan Kaki, dan Suara USU penting dilihat
untuk membaca perkembangan saat ini.
Bab lima akan mendeksripsikan konteks komersialisasi
pendidikan dalam alur kronologis. Arus komersialisasi
pendidikan dimulai dari ratifikasi perjanjian WTO oleh
pemerintah Indonesia yang kemudian diikuti dengan
serangkaian paket kebijakan untuk memutus tanggung jawab
pemerintah atas dunia pendidikan. Kebijakan ini kemudian
memicu respon masyarakat (termasuk pers mahasiswa)
yang menolaknya. Bab enam menjadi pembahasan inti
dari penelitian ini. Bab ini akan berisi analisis atas struktur
wacana anti komersialisasi pendidikan yang dilakukan oleh
ketiga pers mahasiswa. Sedangkan bab tujuh akan menjadi
19
Komersialisasi Pendidikan
20
Pers Mahasiswa dalam Lipatan Sejarah
21
Komersialisasi Pendidikan
22
Wisnu Prasetyo Utomo
23
Komersialisasi Pendidikan
24
Wisnu Prasetyo Utomo
2 Pedoman ini berisi delapan hal yang dengan detail mengatur apa saja yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh pers. Selengkapnya baca Abdurrahman
Surjomiharjo dalam Akhmad Zaini Abar (1995:61-62)
25
Komersialisasi Pendidikan
26
Wisnu Prasetyo Utomo
27
Komersialisasi Pendidikan
28
Wisnu Prasetyo Utomo
29
Komersialisasi Pendidikan
30
Wisnu Prasetyo Utomo
31
Komersialisasi Pendidikan
Dia tak kritis lagi terhadap hal-hal yang tak benar yang
dilakukan Golkar, dan dia terlalu kritis terhadap apa saja
yang dilakukan oleh Parpol-Parpol. Mahasiswa Indonesia
sudah menjadi pamflet (Francois Raillo, 1985:87).
32
Wisnu Prasetyo Utomo
33
Komersialisasi Pendidikan
34
Wisnu Prasetyo Utomo
35
Komersialisasi Pendidikan
36
Wisnu Prasetyo Utomo
37
Komersialisasi Pendidikan
38
Wisnu Prasetyo Utomo
39
Komersialisasi Pendidikan
40
Wisnu Prasetyo Utomo
41
Komersialisasi Pendidikan
43
Komersialisasi Pendidikan
45
Komersialisasi Pendidikan
46
Wisnu Prasetyo Utomo
47
Komersialisasi Pendidikan
48
Wisnu Prasetyo Utomo
50
Pers Mahasiswa Pasca 1998
51
Komersialisasi Pendidikan
52
Wisnu Prasetyo Utomo
53
Komersialisasi Pendidikan
54
Wisnu Prasetyo Utomo
55
Komersialisasi Pendidikan
56
Wisnu Prasetyo Utomo
57
Komersialisasi Pendidikan
PPMI Pecah
PPMI, induk pers mahasiswa se-Indonesia ini mengalami
perpecahan yang kemudian menimbulkan polarisasi pers
mahasiswa. Perpecahan yang mengingatkan kita pada
organisasi pers mahasiswa tingkat nasional tahun 1950-an
seperti IWMI (Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia) dan
SPMI (Serikat Pers Mahasiswa Indonesia). Persoalannya,
perpecahan ini tidak berujung pada hal yang sifatnya
produktif. Perpecahan yang menghapuskan niatan awal
mula keberadaannya.
PPMI didirikan dalam pertemuan di Universitas
Brawijaya Malang pada bulan Oktober 1992 yang diikuti
72 peserta dari 28 perguruan tinggi di seluruh Indonesia
menyepakati berdirinya PPMI. Sementara kongres per-
tamanya diadakan satu tahun kemudian. Kelahiran PPMI
bertujuan memperkuat bargaining position pers mahasiswa
secara internal dan eksternal. Di level internal akan dibuat
kurikulum diklat jurnalistik dan kode etik pers mahasiswa.
Sementara pada konteks eksternal, memperkuat posisi
tawar menawar dengan penguasa, baik itu birokrat kampus
maupun pemerintah. Maksudnya adalah memengaruhi
jalannya pembuatan kebijakan dengan membentuk opini
publik. Apalagi saat itu ada 200 lebih penerbitan mahasiswa
yang jika dimanfaatkan dengan baik tentu menjadi sebuah
potensi yang luar biasa.
Bisa dikatakan bahwa berdirinya PPMI ini menandai
kebangkitan pers mahasiswa untuk menyoal negara lagi
pasca NKK/BKK. Persoalan menyoal negara ini datang
melalui respon yang berbeda dan tidak hanya mengandalkan
penerbitan-penerbitan saja. Ini yang membedakan peran
pers mahasiswa saat ini sudah jauh berbeda dengan pers
mahasiswa di era Orde Lama maupun awal Orde Baru. Pers
mahasiswa era ini lebih sibuk menjalani aktivitas-aktivitas
nonpenerbitan dengan melakukan konsolidasi dengan pers
mahasiswa di berbagai daerah. M. Thoriq (1990) menyebut
ini sebagai konsekuensi dari gaya jurnalisme struktural
58
Wisnu Prasetyo Utomo
59
Komersialisasi Pendidikan
60
Wisnu Prasetyo Utomo
61
Komersialisasi Pendidikan
Hambatan Klise
Selain persoalan disorientasi dan pecahnya organisasi
induk di tingkat nasional, pers mahasiswa pasca Orde Baru
juga dihadapkan pada beberapa persoalan yang menghantui
keberadaannya. Persoalan yang bisa dikatakan klise karena
menjadi identik dalam eksistensi pers mahasiswa. Di
antaranya adalah represi yang dilakukan oleh birokrasi
kampus, hambatan dana, periodisasi terbit yang tidak rutin,
dan kaderisasi organisasi.
8 Forum Komunikasi untuk Pers Mahasiswa dalam Balkon edisi 123, 15 Juni 2009
halaman 5
9 Menggagas Jalan Baru Pers Mahasiswa dalam Balkon edisi spesial 2010
halaman 78-81
62
Wisnu Prasetyo Utomo
63
Komersialisasi Pendidikan
64
Wisnu Prasetyo Utomo
65
Komersialisasi Pendidikan
66
Wisnu Prasetyo Utomo
67
Komersialisasi Pendidikan
68
Wisnu Prasetyo Utomo
69
Komersialisasi Pendidikan
70
Wisnu Prasetyo Utomo
71
Komersialisasi Pendidikan
72
Profil Balairung, Catatan Kaki,
dan Suara USU
Balairung
1. Sejarah dan Perkembangan
Setelah Gelora Mahasiswa dibredel oleh rektor UGM,
usaha untuk membentuk lembaga pers mahasiswa di
tingkat universitas selalu gagal. Kebijakan NKK/BKK yang
dikeluarkan oleh pemerintah telah membuat organisasi
mahasiswa seperti pers mahasiswa tidak mendapatkan
ruang. Larangan yang bermula dari ketakutan dengan
aktivitas-aktivitas kritis yang dilakukan pers mahasiswa
di masa lalu. Penerbitan yang dibolehkan hanya berskala
fakultas.
Didik Supriyanto (1998:32) mencatat pada tahun
1986 ada 47 penerbitan fakultas dan jurusan dengan 25
di antaranya yang masih aktif terbit. Angin segar bagi
pers mahasiswa di UGM kemudian datang di pertengahan
tahun 1985. Sekelompok aktivis pers mahasiswa tingkat
fakultas di Universitas Gadjah Mada merasa membutuhkan
penerbitan mahasiswa di tingkat universitas.
Keresahan ini yang kemudian menjadi dasar bagi
sekelompok mahasiswa tersebut untuk bertemu, ber-
tukar pikiran dan akhirnya sepakat untuk mengadakan
seminar mengenai pers mahasiswa di tingkat univer-
sitas. Pascaseminar, dibentuklah tim untuk merumuskan
konsep dan format penerbitan mahasiswa tingkat uni-
versitas. Tim perumus yang mewakili para peserta
73
Komersialisasi Pendidikan
74
Wisnu Prasetyo Utomo
75
Komersialisasi Pendidikan
76
Wisnu Prasetyo Utomo
77
Komersialisasi Pendidikan
78
Wisnu Prasetyo Utomo
2. Kebijakan Redaksional
Sebagai lembaga pers mahasiswa, kebijakan redaksional
Balairung ditentukan secara kolektif kolegial. Tidak
ada dominasi yang dilakukan oleh pemimpinnya. Untuk
penentuan isu yang akan diangkat sebagai tema khusus,
rapat tema diadakan dua kali. Rapat tema episode
pertama merupakan brainstorming berbagai isu di
seputar kampus atau pun Yogyakarta. Di rapat ini semua
pengurus diperbolehkan untuk hadir. Setiap pengurus
bisa mengusulkan tema apapun selama memiliki basis
data dan tidak sekadar asumsi. Dengan beragamnya latar
belakang disiplin keilmuan pengurus, tema-tema yang
masuk menjadi lebih berwarna. Di rapat ini ditentukan
beberapa tema yang dianggap layak. Setelah itu, pengurus
diberikan waktu selama beberapa hari untuk mendalami
masing-masing tema tersebut. Data-data awal dicari untuk
menguatkan tema-tema yang ada. Selanjutnya diadakan
rapat tema kedua. Di sini, data-data yang ditemukan tadi
akan diadu untuk menemukan tema mana yang memiliki
basis data paling kuat. Hal ini dilakukan agar tema yang
diambil tidak semata hanya merupakan asumsi. Sebuah
tema yang memiliki data awal cukup kuat biasanya
akan terpilih. Namun, tema tersebut harus melewati uji
kelayakan terlebih dahulu.
Ada beberapa kriteria yang dijadikan parameter
untuk menentukan kelayakan sebuah tema.15
Pertama, relevansi intelektual. Sebuah tema juga harus
mencerminkan sisi kritis, analitis konstruktif dan
ilmiah dengan perspektif keilmuan yang lebih luas.
Kedua, relevansi sosial. Relevansi sosial yang harus ada
dalam tema paling tidak membawa gambaran tentang
persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat,
baik terkait dengan negara, dunia bahkan kelokalan.
Ketiga, relevansi waktu. Relevansi waktu diupayakan
mampu membidik fenomena secara lebih tepat. Meski
15 Paramater-parameter yang diulas di sini disarikan dari Buku Putih Majalah
Balairung 2012
79
Komersialisasi Pendidikan
80
Wisnu Prasetyo Utomo
Catatan Kaki
1. Sejarah dan Perkembangan
Catatan Kaki adalah media yang diterbitkan oleh Unit
Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Unhas. Ia lahir dari
pergulatan mahasiswa Unhas yang ingin memiliki media
independen sebagai ruang bagi ide-ide kritis mereka.
Meskipun secara resmi baru lahir pertengahan dekade
1990-an, ide untuk membentuk pers mahasiswa sudah
ada jauh sebelum itu. Pada awal dekade 1980-an ketika
era NKK/BKK, telah bertebaran media mahasiswa di
beberapa fakultas di Unhas. Kehadiran media-media
di fakultas ini harus berhadapan dengan birokrasi
kampus yang saat itu masih melarang adanya penerbitan
mahasiswa. Larangan muncul lebih karena trauma
dengan nama besar pers mahasiswa di era sebelumnya.
Hal ini terutama yang membuat keinginan para aktivis
pers mahasiswa di tingkat fakultas itu gagal untuk
membentuk pers mahasiswa di tingkat universitas.
Hermansyah (2008:1) mengatakan bahwa keinginan
yang terpendam bertahun-tahun akhirnya menemui
kenyataan di tahun 1994. Rektor Unhas kala itu, Basri
Hasanuddin, memberikan lampu hijau bagi keinginan
sejumlah aktivis pers mahasiswa Unhas. Di tahun
tersebut, mahasiswa dari berbagai fakultas sepakat untuk
membentuk sebuah komunike bersama yang nanti akan
menjadi cikal bakal penerbitan di tingkat universitas.
Komunike yang memiliki semangat untuk menampung
potensi jurnalistik mahasiswa Unhas.
Komunike kemudian melakukan pembahasan konsep
mengenai pers mahasiswa tingkat universitas yang akan
dibentuk dengan rutin. Pers mahasiswa yang sudah ada
di fakultas dan jurusan dilibatkan. Di antaranya yang
sempat tercatat, majalah Agrovisi dari Senat Pertanian,
majalah Baruga dari Komunikasi Fisip, majalah Nurani
dari MPM, Channel 9 dari Teknik dan SKK Identitas. Ulang
tahun SKK Identitas di Puskadik P5 juga dimanfaatkan
untuk membahas lebih jauh rencana pembentukan wadah
81
Komersialisasi Pendidikan
82
Wisnu Prasetyo Utomo
83
Komersialisasi Pendidikan
2. Kebijakan Redaksional
Catatan Kaki menuliskan laporan berita dengan
memberikan unsur propaganda di dalamnya. Ini
adalah pilihan ideologis sebagai upaya memberikan
informasi yang tidak dikabarkan pers umum. Mereka
menyebutnya dengan nama jurnalisme advokasi. Pakem
ini berbeda dengan jurnalisme yang dipraktikan oleh
pers umum. Catatan Kaki memiliki panduan sendiri
dalam menjalankan laku jurnalistik mereka. Panduan ini
tercantum dalam buku Vademekumenulis Jurnalistikritis
Caka. Beberapa hal yang tercantum di dalamnya dan
menjadi panduan untuk menentukan angle tulisan di
antaranya; Negative thinking criticism, ini adalah cara
berpikir ke arah berlawanan dengan kondisi normal
yang berlangsung di lingkungan sekitar. One stop next
crisis, krisis yang terjadi di dalam komunitas tempat
media berada harus mampu diungkapkan meskipun
hanya berupa data-data yang minimum.
Selanjutnya adalah intel inside, kerjasama dengan
orang-orang di kalangan pejabat kampus harus dilakukan.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki akses informasi
84
Wisnu Prasetyo Utomo
Suara USU
1. Sejarah dan Perkembangan
Pada awalnya, Suara USU adalah nama media yang
dimiliki dan dikelola Humas USU. Sesuai dengan namanya,
media ini menyiarkan berbagai berita-berita yang ada di
kampus USU. Namun, beberapa mahasiswa anggota Senat
Mahasiswa yang salah satunya diwakili Rusli Harahap,
meminta izin ke rektorat agar mahasiswa bisa mengelola
media itu. Alasannya, di USU tidak ada media untuk
mahasiswa. Padahal mahasiswa membutuhkan ruang
untuk mewadahi berbagai aspirasi yang mereka miliki.
85
Komersialisasi Pendidikan
86
Wisnu Prasetyo Utomo
87
Komersialisasi Pendidikan
2. Kebijakan Redaksional
Untuk menentukan tema berita yang akan diangkat
dalam satu edisi, Suara USU mengadakan dua kali rapat
tema. Rapat tema pertama dinamakan proyeksi besar.
Di proyeksi besar ini semua pengurus hadir untuk
mengusulkan tema-tema yang kemudian akan dieksekusi
menjadi sebuah berita. Khusus di rapat tema ini yang
dibahas adalah tema untuk rubrik laporan utama dan
laporan khusus. Di sini pula ditentukan nama-nama
pengurus yang akan terlibat dalam pengerjaan laporan
utama dan laporan khusus. Angle penulisan juga
ditentukan dalam proyeksi besar. Angle ini kemudian
dituangkan dalam sebuah term of reference. Sementara
17 Wawancara dengan Pemimpin Redaksi Suara USU 2010, Khairil Hanan Lubis,
pada 4 Februari 2012
88
Wisnu Prasetyo Utomo
18 Wawancara via surat elektronik dengan Pemimpin Umum Suara USU 2011,
Wan Ulfa Nur Zuhra 6 Februari 2012
89
Sistem Pendidikan Indonesia:
dari Otonomi Menuju Komersialiasi
92
Wisnu Prasetyo Utomo
93
94
Beban Utang Luar Negeri Pemerintah 1990-1997
Komersialisasi Pendidikan
95
Komersialisasi Pendidikan
96
Wisnu Prasetyo Utomo
97
Komersialisasi Pendidikan
98
Wisnu Prasetyo Utomo
100
Wisnu Prasetyo Utomo
101
Komersialisasi Pendidikan
102
Wisnu Prasetyo Utomo
103
Komersialisasi Pendidikan
104
Wisnu Prasetyo Utomo
105
Komersialisasi Pendidikan
106
Komersialisasi Pendidikan,
Agenda Neoliberal?
Pengantar
Setiap wacana, tidak dapat dilepaskan dari praktik
penggunaan bahasa. Bahasa menjadi medan kekuasaan yang
memiliki tujuan untuk memengaruhi cara berpikir tertentu.
Bahasa menunjukkan perspektif individu dalam memaknai
sesuatu, menentukan nalar berpikir, termasuk juga struktur
kesadaran. Dari sana, kita bisa melihat relasi kuasa yang
saling berkelin dan untuk memperoleh penerimaan nalar
umum.
Strategi kekuasaan ini berlangsung melalui akumulasi
wacana dalam ilmu pengetahuan. Secara lugas filsuf-aktivis
asal Prancis, Michael Foucault, merumuskannya dalam
kalimat knowledge is power. Tidak ada pengetahuan yang
tidak memiliki efek kuasa, dan tidak ada kekuasaan tanpa
pengetahuan. Istilah wacana seperti yang diuraikan Foucault
harus dibedakan dari bahasa karena posisinya memang
tidak setara. Seperti diungkapkan Donny Gahral Ardian
(2011:142), wacana menerjemahkan realitas ke dalam
bahasa dan mengonstitusi cara kita dalam memandang
realitas.
Berita-berita yang dianalisis dalam penelitian ini
menunjukkan bagaimana wacana otonomi kampus itu
diletakkan. Pers mahasiswa menganggap otonomi sebagai
pintu masuk bagi komersialisasi pendidikan. Efek negatif
yang muncul dari komersialisasi pendidikan seperti
kenaikan biaya dan diskriminasi akses terhadap masyarakat
107
Komersialisasi Pendidikan
108
Wisnu Prasetyo Utomo
Teks
Pers Edisi Judul
Mahasiswa
Balairung 16/Rabu 5 Selamat Datang di
September 2001 Kampus UGM Inc.
58/Jumat 19 BHMN, Agenda
Desember 2003 Tersembunyi di Balik
Status yang Tidak Jelas
69/Senin 13 Ketika Ruang-ruang
Desember 2004 Akademik Mulai
Terinfeksi Iklan
Catatan Kaki 10/Thn VIII/Agustus Sistem Kemitraan :
2002 Sumber Dana Terbaru
Unhas
12/Thn VIII/ Unhas Ladang Baru
November 2002 Kapitalisme
III/Thn IX/ Kembali, SPP Unhas Naik
September 2003
Suara USU 22/September 2000 Mengurai Benang Kusut
Sistem Pendidikan
34/XVI/Oktober BHMN: SPP Naik?
2002
41/Mei 2004 Pembangunan Salah
Sasaran
109
Komersialisasi Pendidikan
110
Wisnu Prasetyo Utomo
111
Komersialisasi Pendidikan
112
Wisnu Prasetyo Utomo
114
Wisnu Prasetyo Utomo
2. Skematik
Berita-berita dalam penelitian ini memiliki variasi
panjang antara satu sampai dua halaman. Balairung
memberikan ruang pendek dalam satu halaman
sementara Suara USU mengalokasikan ruang yang paling
panjang dalam dua halaman. Meskipun demikian, ada
skema identik yang muncul dalam pemberitaan. Berita-
berita tersebut setidaknya memiliki tiga struktur pokok
yang terbagi dalam teras berita, tubuh berita, dan
penutup berita.
115
Komersialisasi Pendidikan
116
Wisnu Prasetyo Utomo
3. Semantik
Semantik berada pada level mikro dalam struktur wacana.
Apa yang dimaksud oleh van Dijk mengenai semantik di
sini adalah tentang adanya makna lokal (local meaning)
yang dimiliki sebuah teks. Makna lokal ini dibentuk dari
hubungan antar kalimat yang pada tahap selanjutnya
akan membangun makna tertentu secara utuh.
117
Komersialisasi Pendidikan
118
Wisnu Prasetyo Utomo
119
Komersialisasi Pendidikan
120
Wisnu Prasetyo Utomo
untuk noneksak.
(Catatan Kaki edisi III/Thn IX/September 2003)
121
Komersialisasi Pendidikan
122
Wisnu Prasetyo Utomo
123
Komersialisasi Pendidikan
124
Wisnu Prasetyo Utomo
4. Sintaksis
Elemen ini menjelaskan strategi penggunaan kali-
mat (sintaksis) untuk menampilkan wacana yang
diinginkan. Strategi ini berjalan dalam pemilihan diksi,
penggunaan kata ganti, aturan tata kata, pemakaian
kalimat aktif atau pasif, pelekatan anak kalimat,
dan sebagainya. Jika dikerucutkan, strategi sintaksis
berlangsung dalam pemakaian koherensi, nominalisasi,
abstraksi, bentuk kalimat, kata ganti. Karena berada
pada level mikro, strategi ini memang berlaku untuk
melakukan bentuk-bentuk manipulasi bahasa. Mani-
pulasi bahasa dilakukan untuk menempatkan salah
125
Komersialisasi Pendidikan
126
Wisnu Prasetyo Utomo
127
Komersialisasi Pendidikan
128
Wisnu Prasetyo Utomo
130
Wisnu Prasetyo Utomo
5. Stilistik
Dalam sebuah paragraf, kalimat bisa memiliki makna
lokal sendiri. Jika diturunkan lagi, kata yang menjadi
unsur pembentuk kalimat akan menentukan makna lokal
tersebut. Dengan demikian, kata juga memiliki makna
lokal tersendiri. Pemilihan kata-kata yang dipakai akan
menunjukkan sikap dan ideologi yang dimiliki. Ada dua
unsur stilistik yang bisa dilihat dari sebuah teks berita
yaitu kata kunci dan pemilihan kata.
a. Kata Kunci
Elemen ini berhubungan dengan kata-kata yang sering
digunakan oleh komunikator dalam mengungkapkan
gagasannya. Kata kunci ini merupakan semacam
ideologi yang diyakini komunikator. Dengan kata
kunci, komunikator membentuk imaji khalayak agar
sesuai dengan orientasi, isi, dan tujuannya. Balairung
(edisi 58/Jumat 19 Desember 2003) menggunakan
istilah agenda tersembunyi neoliberal untuk
menjelaskan bahwa dalam BHMN terdapat kerancuan
dari sisi konseptual maupun pada praktiknya.
Catatan Kaki (edisi 12/Thn VIII/November 2002)
menggunakan istilah swastanisasi kampus untuk
menyebut kebijakan-kebijakan komersial yang dilaku-
kan oleh Unhas dalam masa transisi perubahan status.
Sedangkan Suara USU (edisi 34/XVI/Oktober 2002)
memilih kata kapitalisme pendidikan untuk
menyebut perubahan status USU menjadi BHMN akan
semakin mendiskriminasi rakyat miskin.
b. Pemilihan Kata
Pemilihan kata berkaitan dengan maksud dan tujuan
informasi yang disampaikan. Dengan pemilihan kata
atau diksi tertentu, maksud dari penulis berita bisa
terlihat. Dalam produksi sebuah teks, wartawan atau
131
Komersialisasi Pendidikan
6. Retoris
Strategi pada elemen ini adalah gaya bahasa yang
diungkapkan dalam proses komunikasi yang dilakukan.
Dalam teks misalnya, gaya bahasa yang digunakan
bisa berupa hiperbolik dengan pemakaian kata yang
berlebihan, atau yang langsung (straight to the point)
132
Wisnu Prasetyo Utomo
133
Komersialisasi Pendidikan
134
Wisnu Prasetyo Utomo
Kognisi Sosial
Kognisi sosial merupakan dimensi wacana yang melihat
bagaimana seorang individu atau kelompok melakukan
produksi atas sebuah teks. Seperti dituturkan van Dijk,
kelahiran sebuah teks sangat dipengaruhi oleh struktur
mental seorang wartawan. Kognisi sosial menjelaskan
bagaimana struktur mental wartawan melakukan penafsiran
dan pemaknaan atas isu tertentu yang berimplikasi pada
penulisan teks berita.
Van Dijk dalam News as Discourse (1988) mengatakan
bahwa analisis kognisi sosial dalam kajian media memang
sangat jarang karena sifatnya yang lokal, spesifik, dan
psikologis. Pembacaan kognisi sosial dalam penelitian ini
tidak akan melihat struktur mental wartawan satu per
satu. Namun, pembacaan berikut akan memberikan satu
sketsa kecenderungan wartawan pers mahasiswa dalam
memandang pers mahasiswa dan posisi ideologisnya
terhadap otonomi kampus maupun komersialisasi
pendidikan.
Ada dua gagasan besar yang menjadi ekstraksi atas
berbagai ide pegiat pers mahasiswa dalam melakukan
penulisan berita terkait komersialisasi pendidikan.
Pertama, dengan menyandang nama pers sekaligus
135
Komersialisasi Pendidikan
136
Wisnu Prasetyo Utomo
Konteks Sosial
Berita-berita pers mahasiswa terkait perubahan status
Perguruan Tinggi menjadi BHMN di atas dibingkai dalam
narasi besar perlawanan mahasiswa terhadap kebijakan
yang dianggap sebagai pintu masuk bagi komersialisasi
pendidikan tersebut. Aksi-aksi demonstrasi terjadi dalam
skala yang meluas di berbagai daerah.
Balairung Edisi Khusus/XV/1999 memberitakan
bahwa beberapa organisasi yang merupakan representasi
dari mahasiswa memberikan respon penolakannya dengan
membentuk tim khusus untuk membahas masalah otonomi
kampus. Di antaranya adalah Dewan Mahasiswa UGM
yang menaruh perhatian untuk isu ini. Mereka bahkan
137
Komersialisasi Pendidikan
138
Wisnu Prasetyo Utomo
139
Komersialisasi Pendidikan
141
Komersialisasi Pendidikan
142
Epilog
143
Komersialisasi Pendidikan
144
Wisnu Prasetyo Utomo
145
Komersialisasi Pendidikan
146
Wisnu Prasetyo Utomo
148
Daftar Pustaka
149
Komersialisasi Pendidikan
150
Wisnu Prasetyo Utomo
151
Komersialisasi Pendidikan
152
Wisnu Prasetyo Utomo
153
Komersialisasi Pendidikan
154
Wisnu Prasetyo Utomo
155
Komersialisasi Pendidikan
156
Wisnu Prasetyo Utomo
Internet
Effendi, Sofyan. 2004. Rekomendasi Untuk Mendiknas
terarsip dalam http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/
REKOMENDASI\-UNTUK-MENDIKNAS.pdf
LPM Hayam Wuruk.2005. Profil LMP Hayam Wuruk terarsip
dalam http://www.lpmhayamwuruk.org/2005/08/profil-
lpm-hayamwuruk.html diakses 18 Juni 2012
Priyono, Herry B. 2006. Neoliberalisme dan Sifat Ilusif
Kebebasan terarsip dalam http://www.unisosdem.org/
kumtul_detail.php?aid=6953&coid=1&caid=4&auid=3
diakses 4 Oktober 2012
Riqab, Saiz. 2008. Agenda Setting Role of Mass Media terarsip
di http://www.aiou.edu.pk/gmj/artical4(b).asp diakses 11
Agustus 2012
Suara USU. 2000. Pembreidelan Tabloid Mahasiswa Suara
USU terarsip dalam http://groups.yahoo.com/group/
kampusonline/message/346 diakses 18 Juni 2012
157
Komersialisasi Pendidikan
Wawancara
Aman Wijaya (Koordinator Litbang Catatan Kaki 2012), 27
Januari 2012
Asri Abdullah (Pemimpin Umum Catatan Kaki 2009), 25
Januari 2012
Chairuddin (Pemimpin Umum Catatan Kaki 2003), 25 Januari
2012
Fitria Nurhayati (Pemimpin Redaksi Balairung 2012), 5
Agustus 2012
Khairil Hanan Lubis (Pemimpin Redaksi Suara USU 2010), 4
Februari 2012
Pratama Adhi (Pemimpin Umum Balairung 2012), 26 Juli
2012
158
Wisnu Prasetyo Utomo
159
Tentang Penulis
161
Indie Book Corner adalah sebuah proyek yang didirikan
sebagai upaya membantu penulis-penulis pemula ataupun
penulis yang sudah mapan untuk memublikasikan karyanya
dalam bentuk buku. IBC memiliki cita-cita agar produksi
buku semakin mudah demi memperkaya khasanah
perbukuan Indonesia, meningkatkan minat menulis dan
membaca.
www.bukuindie.com
facebook.com/inibukuku
twitter: @indiebookcorner