Anda di halaman 1dari 4

EFEK FARMAKOTERAPI DIKOMBINASI DENGAN TERAPI BICARA UNTUK

PEMULIHAN FUNGSIONAL DARI AFASIA

Abstrak
Biasanya, afasia merupakan gabungan gangguan bahasa dan bicara setelah stroke. Kasus
pada penelitian ini adalah pria dewasa dengan afasia global yang disebabkan oleh infark
serebral trombo-embolik. Ia masuk ke dalam penelitian 7 bulan pasca stroke. Pada awalnya,
untuk mengetahui adanya afasia, sebuah tes skrining, dilakukanlah MASTp (Persian
Mississippi Afasia Screening Test). Selain itu, kemampuan penamaannya dinilai dengan 30
gambar. Dia diterapi dengan Piracetam selama 3 minggu dan kemudian setelah satu minggu
diterapi dengan Citicoline selama 3 minggu. Seiring dengan terapi, terapi bicara dan bahasa
juga dilakukan. Uji MASTp dan penamaan dilakukan setelah 3 minggu di akhir tiap terapi.
Temuan utamanya menunjukkan bahwa Citicoline adalah obat yang lebih berguna untuk
meningkatkan kemampuan berbicara dan bahasa daripada Piracetam. Perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut untuk mengamati efek obat ini terhadap afasia.

Kata kunci: Afasia global; Terapi bicara dan bahasa; Farmakoterapi; Piracetam; Citicoline

Pendahuluan
Afasia merupakan gangguan bahasa akibat kerusakan pada area otak yang
bertanggung jawab atas fungsi bicara dan bahasa. Kelainan ini bisa menimbulkan masalah
dalam fungsi bahasa mencakup pemahaman, produksi, membaca dan menulis. Karena cacat
ini, individu tersebut terisolasi dari dunia yang menyenangkan sebelum terkena stroke.
Prevalensi afasia setelah stroke pertama dilaporkan 30-38% pada fase akut. Sepertiga
penderita stroke menunjukkan afasia global. Orang dengan jenis afasia ini akan menunjukkan
masalah dalam semua aspek fungsi bahasa dan oleh karena itu, perawatan pada kelompok ini
diperlukan sesegera mungkin dan rehabilitasi wajib dilakukan pada pasien ini[1].
Umumnya, terapi bicara untuk afasia mencakup terapi linguistik dan bicara. Selain
itu, terapi obat digunakan bersamaan dengan metode rehabilitasi.
Piracetam dan Citicoline merupakan dua obat pilihan yang telah diteliti dalam
penelitian ini.
Piracetam merupakan turunan dari GABA (turunan asam aminobutirat gamma). Obat
ini memiliki efek kolinergik langsung melalui pelepasan asetilkolin dan efek farmakologisnya
berbeda. Piracetam meningkatkan fleksibilitas membran sel saraf untuk memperbaiki
transmisi saraf, yang nantinya meningkatkan metabolisme sel untuk melindungi sel dari
hipoksia. Selain itu, efek multilateral pada mikrosirkulasi memperbaiki aktivitas saraf. Injeksi
piracetam menghasilkan penurunan plasma dan memperbaiki aliran darah serebral [2,3].
Penelitian yang meneliti efek obat ini terhadap afasia telah menunjukkan perbaikan dalam
kemampuan bahasa [4].
Citicoline merupakan mediator dalam biosintesis fosfatidilkolin yang memiliki efek
menguntungkan pada kondisi patologis otak dan kerusakan sistem saraf pusat seperti stroke
[5].
Efek terapeutik dari Citicoline ditimbulkan oleh stimulasi sintesis fosfatidilkolin
dengan menghambat proses destruktif, seperti aktivasi fosfolipase di otak yang rusak [6].
Citicoline meningkatkan metabolisme otak dan mengurangi ukuran lesi dengan
meningkatkan kadar norepinefrin dan dopamin di sistem saraf pusat. Obat ini juga mencegah
apoptosis bersamaan dengan iskemia serebral dan memperkuat mekanisme plastisitas saraf
[7].
Karena kedua obat ini merupakan obat yang paling banyak digunakan setelah stroke
untuk memperbaiki fungsi bahasa, dan tidak ada penelitian yang meneliti perbandingan efek
terapeutik kedua obat ini pada orang dengan afasia, jadi penelitian ini bertujuan untuk
menguji efek masing-masing obat ini bersama dengan intervensi bahasa pada orang yang
menderita afasia global.

Presentasi Kasus
Pasien, H.j, 56 tahun, dengan kerusakan pada hemisfer kiri, area fronto-parieto
temporal, area insular opercular, menderita afasia global.
Terapi bicara dimulai dua bulan setelah stroke. Menurut terapis bicara, kerja sama
pasien sangat lemah. Tujuan terapi diantaranya memperbaiki gejala apraksia oral dengan
meniru terapis di depan cermin dan repetisi purposif. Penelitian ini dilakukan tujuh bulan
setelah stroke dan bersamaan dengan terapi bicara. Penelitian ini merupakan suatu metode
Alternatif-Terapi. Kriteria inklusinya adalah pasien harus menderita afasia akibat infark
tromboembolik, yang ditentukan dengan menggunakan skrining afasia MASTp. Lebih
tepatnya, tes yang disebutkan merupakan sebuah alat skrining yang valid dan dapat
diandalkan untuk mengevaluasi kemampuan bahasa setelah stroke pada pasien Persia [8]. Tes
ini terdiri dari 46 pertanyaan mencakup dua indeks reseptif dan ekspresif, masing-masing
indeks memiliki skor 50. Pasien harus mencapai status stabil secara neurologis, dan telah
dirawat di program terapi 6 bulan hingga satu tahun setelah stroke. Kriteria eksklusinya
mencakup stroke kedua selama penelitian, penyalahgunaan obat-obatan atau alkohol, situasi
yang tidak stabil seperti disritmia jantung atau tekanan darah yang tidak terkontrol (100/160),
dan terapi dengan obat penenang atau antagonis atau agonis.
Pada tahap pertama, MASTp digunakan untuk mendiagnosis afasia dan menentukan
gangguan bicara dan bahasa. Pertama-tama, Piracetam diresepkan oleh ahli saraf. Durasi
proses ini adalah tiga minggu dan pasien menerima pil Piracetam 800 mg setiap 12 jam.
Kemampuan bahasa pasien dengan menggunakan MASTp dievaluasi setelah tiga minggu.
Satu minggu dianggap pembersihan untuk obat pertama. Sebelum memulai obat kedua,
MASTp dilakukan pada pasien dan pasien tersebut menerima Citicoline setiap malam selama
tiga minggu dalam bentuk vial. Kemudian, pada akhir tiga minggu, pasien kembali dinilai
dengan MASTp. Seiring dengan terapi obat, terapi bicara dan bahasa dilakukan tiga kali
seminggu dan masing-masing sesi memakan waktu 15 hingga 20 menit.
Pada akhir terapi, hasil yang diperoleh dianalisis dan hasilnya secara umum
menunjukkan bahwa Citicoline menghasilkan perbaikan yang lebih besar dibandingkan
Piracetam di kedua indeks MASTp.
Menurut terapis bicara, secara informal, setelah mengonsumsi Citicoline, repetisi dan
keterampilan gerakan yang disengaja mengalami perbaikan yang berarti bahwa terjadi
penurunan gejala apraksia.

Diskusi
Menurut hasil penelitian saat ini, penggunaan Piracetam tidak berpengaruh terhadap
fungsi bahasa pasien. Namun, beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan efek positif
Piracetam terhadap kemampuan bahasa secara keseluruhan [1,3]. Alasan hasil yang
kontradiktif semacam itu bisa disebabkan oleh durasi terapi dan program terapi bahasa yang
spesifik. Misalnya, Huber, et al. meneliti efek Piracetam yang bermanfaat terhadap orang
dengan afasia dan melakukan terapi bahasa enam minggu kepada pasien mereka. Hasil
mereka menunjukkan bahwa Piracetam bermanfaat untuk pemulihan afasia pada pasien yang
mendapat intervensi bahasa intensif [9]. Pada penelitian ini, terapi bahasa diberikan selama
tiga minggu. Maka,ada kemungkinan durasi terapi bahasa bersamaan dengan Piracetam
merupakan komponen yang efektif.
Alasan penting lainnya adalah karena dosis Piracetam. Beberapa penelitian, misalnya
Huber, et al (1997), Beiersdorf (2007) dan Gungor (2011) meresepkan konsumsi harian 8,4g
Piracetam, yang menunjukkan perbedaan yang signifikan dari dosis yang diberikan dalam
penelitian ini (6,1 g sehari) [4,9,10].
Alasan yang lain bisa disebabkan oleh durasi terapi medis dan terapi bahasa. Durasi
terapi dalam penelitian ini adalah tiga minggu untuk masing-masing obat Piracetam dan
Citicoline; terapi bahasa dimulai dua bulan setelah stroke dan dilanjutkan selama tiga minggu
bersamaan dengan pelaksanaan penelitian. Dalam penelitian Gungor (2011) terhadap orang-
orang dengan afasia global, dilakukan terapi bahasa selama enam bulan; hasil yang diperoleh
secara signifikan lebih baik daripada keterampilan lainnya pada akhir proses terapi [10].
Salah satu alasan yang lain bisa berasal dari keparahan afasia. Penelitian Klein, et al.
(2004) menunjukkan efek perbaikan dari Piracetam yang lebih signifikan pada pasien dengan
afasia Wernicke dan afasia broca dibandingkan pasien afasia Global [2].
Waktunya yang berlalu sejak dimulainya afasia bisa menjadi alasan lain untuk
penelitian kita. Satu penelitian memulai intervensi farmasi beberapa hari atau beberapa
minggu setelah dimulainya afasia dan melaporkan efek perbaikannya [4].
Menurut hasil penelitian ini, efek terapi Citicoline lebih baik daripada Piracetam,
yang konsisten dengan penelitian Secedes, et al (2006) yang menyatakan bahwa Citicoline
sebagai obat yang cocok untuk berbagai jenis dan tingkat keparahan gangguan otak [7].
Menurut penelitian yang dilakukan, Citicoline efektif dalam memperbaiki defek kesadaran,
motorik dan kognitif pada orang dengan afasia yang konsisten dengan penelitian ini
[6,7,11,12].
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Citicoline merupakan obat pilihan yang lebih
baik untuk mengobati orang dengan afasia global.
Secara umum, tinjauan pustaka ini menunjukkan bahwa waktu yang berlalu semenjak
stroke, tingkat keparahan dan jenis afasia dan durasi terapi bahasa merupakan variabel yang
berpengaruh terhadap efek terapi obat. Selain itu, penelitian kami menyatakan bahwa
Citicoline bersama dengan terapi bicara dapat menjadi pengobatan terbaik dalam waktu
singkat untuk mencapai kemampuan bahasa.
Jadi, penelitian lebih lanjut harus dilakukan untuk mengamati efek obat ini pada orang
dengan tingkat keparahan afasia yang berbeda-beda, serta efek jangka panjang kedua obat ini
dikombinasikan dengan terapi bahasa intensif.

Anda mungkin juga menyukai