Anda di halaman 1dari 19

KARAKTERISTIK PENDERITA LIMFOMA NON HODGKIN

FOKUS T CELL LYMPHOMA

DI POLI HEMATOLOGI ONKOLOGI MEDIK RSUD DR.SOETOMO SURABAYA

Iskandar, Akhmad Faris N, Hernycane S

I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Keganasan limfoma merupakan keganasan primer dari jaringan limfe dan sekitarnya.
Insiden keganasan ini cenderung meningkat (Reksodiputro, 1984; De Vita, 1987; Bonadona,
1988; Soebandiri, 1990). Dua kelompok besar dari keganasan limfoma sudah dikenal lama
yaitu Hodgkin Lymphoma (HL) dan Non Hodgkin Lymphoma (NHL).
Perbandingan rasio insiden NHL : HL di Indonesia dalam 24 tahun ini tampaknya
berfluktuasi antara 3.7 - 8.6 : 1. Insiden NHL lebih tinggi dibandingkan HL, yang berbeda
dengan studi di Negara Barat yang menunjukkan insiden HL lebih tinggi dibanding NHL. Hal
ini terjadi mungkin disebabkan karena perbedaan ras dan kondisi sosial ekonomi.
(Monfartini, 1981; Budhi Hadiwibowo, 1985; lsmanoe, 1985).
Penatalaksanaan penyakit dan prognosis tergantung pada stadium, tipe histologi, usia,
ukuran tumor, jenis kelamin dan kelainan ekstranodal (Reksodiputro, 1984; Budhi
Hadiwibowo, 19f 5; Bonnadonna, 1988).
Limfoma Non-Hodgkin adalah istilah non spesifik yang meliputi beberapa penyakit
keganasan lymphoproliferative dengan klinis dan histologis yang berbeda-beda (Evans LS,
Hancock BW, 2003). NHL termasuk kelompok keganasan lymphoproliferative yang
heterogen dengan respon terhadap terapi yang bervariasi (National Cancer Institute, 2010).
NHL terdiri dari beberapa kelompok tumor ganas yang bervariasi dari sel B progenitors, sel T
progenitors, sel mature B, sel mature T, atau sel natural killer meskipun jarang
(www.uptodate.com, 2013). NHL biasanya terjadi pada jaringan limfoid dan dapat menyebar
ke organ lain. Meskipun begitu, NHL sukar diprediksi dan bisamenyebar jauh ke
ekstranodal. Prognosis tergantung pada tipe histologi, stadium dan terapi yang diberikan
(National Cancer Institute,2010).
Pada tanggal 1 januari 2010 di Amerika Serikat terdapat sekitar 509,065 penduduk
yang masih hidup dengan riwayat non-Hodgkin lymphoma diantaranya 266,478 laki-laki dan
242,587 perempuan. Diperkirakan sekitar 69,740 (37,600 pria dan 32,140 wanita) yang baru

1
akan ditegakkan diagnosa dan 19,020 pria dan wanita yang akan meninggal (sakit berat)
dengan non-Hodgkin lymphoma pada tahun 2013. Informasi di atas bersumber dari National
Cancer Institute Surveillance Epidemiology and End Results (NCIs SEER) Cancer Statistics
Review, tahun 2010. Insiden terjadi pada usia rata-rata 19.7 per 100,000 dari pria maupun
wanita per tahun. Dari tahun 2006-2010, usia median saat didiagnosa non-Hodgkin
lymphoma sekitar 66 tahun pada tahun 2006-2010, usia median saat terjadi kematian sekitar
76 tahun. Usia harapan hidup 5 tahun sekitar 69% pada tahun 2003-2009. Untuk angka usia
harapan hidup 5 tahun berdasarkan ras dan jenis kelamin yaitu 68.5% pria kulit putih, 70.8%
wanita kulit putih, 57.9% pria kulit hitam dan 66.6% wanita berkulit hitam. (National Cancer
Institute Surveillance Epidemiology and End Results, 2010).
Non-Hodgkin lymphomas (NHLs) sel T merupakan keganasan yang jarang yang
terjadi sekitar 12% dari semua jenis limfoma. NHL sel T biasanya muncul dengan massa
ekstranodal dan sering didapatkan jumlah yang bervariasi dari sel yang apoptosis pada bahan
biopsy, yang menjadi pembeda antara proses yang reaktif dan limfoma yang masih tahap
awal. Imonufenotipe, sitogenetik, dan analisa molekuler membantu menegakkan diagnosa
dan menentukan prognosa pada NHL sel T (Rizvi MA, Evens AM, 2006). NHL sel T terjadi
sekitar 10% sampai 15% dari semua penyakit limfoma yang terjadi di Negara Barat (Evens
AM, Gartenhaus RB, 2004).
Pasien dengan NHL sel T sering mendapat terapi yang sama seperti cell NHL
stadium grade sel B, meskipun banyak dilaporkan tingkat survival yang lebih rendah pada
kasus NHL sel T dibandingkan dengan sel B (Evens AM, Gartenhaus RB, 2004).
Penyakit limfoma dapat muncul dalam berbagai kondisi dan sulit untuk mendiagnosis,
sekitar seperempat kasus muncul sebagai ekstranodal dan dapat menimbulkan masalah
khusus. Kemajuan dalam kemoterapi sitostatika memperbaiki survival jangka panjang pada
limfoma yang agresif, penemuan terbaru termasuk diantaranya terapi antibody monoclonal
meningkatkan hasil terapi yang lebih baik pada limfoma indolent, dan lebih lanjut
memperbaiki prognosis pada tumor yang agresif (Evans LS, Hancock BW, 2003).

I.2 Rumusan Masalah


Bagaimana karakteristik klinis penderita limfoma non hodgkin dengan fokus T-cell
lymphoma yang berobat ke Poli Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu
Penyakit Dalam RSUD Dr.Soetomo Surabaya?

I.3 Tujuan Penelitian

2
1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui karakteristik klinis penderita limfoma non hodgkin dengan fokus T-cell
lymphoma yang berobat ke Poli Hematologi Onkologi Medik RSUD Dr.Soetomo
Surabaya.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui karakteristik klinis penderita yang menderita limfoma non hodgkin di
Poli Hematologi Onkologi Medik RS. Dr. Soetomo Surabaya sehingga mampu
memberikan pelayanan yang holistik
2. Mengetahui karakteristik klinis penderita yang menderita T-cell lymphoma di Poli
Hematologi Onkologi Medik RS. Dr. Soetomo Surabaya sehingga mampu
memberikan terapi yang tepat.
3. Mengetahui modalitas dan respons terapi penderita limfoma non hodgkin yang
berobat di Poli Hematologi Onkologi Medik RS. Dr. Soetomo Surabaya.
4. Mengetahui modalitas dan respons terapi penderita T-cell lymphoma yang berobat di
Poli Hematologi Onkologi Medik RS. Dr. Soetomo Surabaya.

II. TINJAUAN PUSTAKA


II.1 Definisi
Non-hodgkin lymphoma (NHL) merupakan suatu kelompok keganasan
lymphoproliferative yang heterogen dengan pola dan respon yang berbeda-beda terhadap
terapi. seperti Hodgkin lymphoma, NHL biasanya berasal dari jaringan lymphoid dan dapat
menyebar ke organ lain. Namun NHL lebih sulit untuk diprediksi dibandingkan Hodgkin
lymphoma dan kemnungkinan untuk menyebar ke organ ekstranodal lebih besar. Prognosis
tergantung pada tipe histologi, stadium dan terapi (National Cancer Institute, 2010).
T-cell (NHLs) merupakan keganasan yang jarang dan terjadi sekitar 12% dari semua
penyakit limfoma. T-cell NHL sering muncul sebagai penyakit ekstranodal (Rizvi MA, Evens
AM, 2006).

3
Gambar 1. Anatomi sistem kelenjar limfa. (American Cancer Society, 2012)

Diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL) merupakan jenis NHL yang sering terjadi
dan terdiagnosis sekitar 30% pada kasus baru. Kebanyakan pasien datang dengan masa yang
membesar cepat, sering disertai gejala lokal dan sistemik ( demam, keringat malam,
penurunan berat badan). Beberapa kasus large B-cell lymphoma memiliki riwayat berasal dari
reactive T-cells dan dari sel histiocytes, jadi dinamakan T-cell/histiocyte-rich large B-cell
lymphoma. Subtipe large cell lymphoma ini sering melibatkan liver, spleen, dan sumsusm
tulang, namun keluarannya sama seperti pasien dengan diffuse large B-cell lymphoma.
Beberapa pasien dengan diffuse large B-cell lymphoma saat terdiagnosis terjadi bersama
komponen indolen small B-cell, sementara overall survival (OS) sama setelah mendapat
kemoterapi, namun terdapat resiko yang lebih tinggi terjadi relaps (National Cancer Institute,
2010).

II.2 Etiologi
Telah dilaporkan frekuensi geografi yang bervariasi dari kasus T-cell NHL, sekitar
18.3% dari kasus NHL di Hong Kong dan 1.5% kasus NHL di Vancouver, British Columbia,
Canada. (Rizvi MA, Evens AM, 2006).
Faktor Risiko non-Hodgkin lymphoma pada dewasa diantaranya:
Pertambahan usia, kelamin pria, atau kulit putih.
Mempunyai riwayat penyakit sebagai berikut:
o Penyakit imun bawaan (hypogammaglobulinemia, sindroma Wiskott Aldrich ).
o Penyakit autoimun ( rheumatoid arthritis, psoriasis, atau sindroma Sjgren ).
o HIV /AIDS.
o Human T-lymphotrophic virus type I atau Epstein-Barr virus.
o Riwayat infeksi Helicobacter pylori.
4
Konsumsi obat imunosupresan setelah menjalani transplantasi organ.
Terkontaminasi oleh pestisida tertentu.
Diet tinggi lemak dan daging merah.
Riwayat terapi Hodgkin lymphoma
2.3. Gambaran klinis
Menurut The American Cancer Society. Terdapat beberapa tipe T-cell lymphoma yang
dapat memberikan gejala yang sedikit berbeda.

Pembesaran kelenjar limfe T-cells diproduksi di jaringan nodal limfoid, organ kecil yang
didaptkan pada beberapa tempat termasuk leher, lipat paha dan ketiak. Saat T-cell lymphoma
mulai berkembang, T-cells mulai diproduksi diluar kontrol dan tidak mengalami apoptosis.
Produksi berlebih dari T-cells sering menyebabkan lymph nodes membengkak, menyebabkan
terbentuknya benjolan. lymph node yang membengkak biasanya tidak menyebabkan nyeri
(American Cancer Society, 2012).

Demam Karena T-cells merupakan bagian dari sistem imun, ketika menjadi kanker dan mulai
berkembang di luar kontrol menjadi T-cell lymphoma, maka dapat terjadi demam. Demam ini
dapat terjadi tanpa disertai gejala yang lain, dan tanpa penyebab lain. Pada beberapa pasien
hal ini menyebabkan keringat malam hari, keringat banyak pada malam hari yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya sampai membasahi alas kasur (American Cancer Society, 2012).

Penurunan berat badan dan Fatigue Selama proses T-cell lymphoma berlangsung, dapat
terjadi penurunan berat badan yang tidak ada penyebabnya, tanpa adanya perubahan porsi
makan maupiun tanpa disertai olahraga rutin. Pasien dapat juga mengalami kelelahan,
keletihan dan kelemahan. Pada beberapa kasus T-cell lymphoma, pasien mungkin mengalami
pembesaran dan nyeri daerah abdomen, disertai rasa penuh di perut tanpa konsumsi makanan
(American Cancer Society, 2012).

Gangguan bernafas T-cell lymphomas juga dapat terjadi di thymus, organ yang terletak
dibawah tulang dada yang juga mempproduksi T-cells, jika If T-cells mulai bermultiplikasi
dengan cepat di thymus, maka dapat menyebabkan tumor yang besar di bawah tulang dada.
Jika tumor tumbuh cukup besar untuk menekan saluran nafas maka dapat menyebabkan
kesulitan bernafas dan batuk kronis (American Cancer Society, 2012).

5
Lesi dan Ruam Kulit T-cell lymphomas juga dapat terjadi di kulit, suatu kondisi yang
disebut cutaneous T-cell lymphoma. Pada kasus ini dapat terjadi ruam kulit yang kemerahan
dan bersisik, baik pada area yang terbatas ataupun pada seluruh tubuh. Ruam dapat disertai
gatal yang berat dan kulit yang mengelupas. Jika penyakit berkembang, ruam dapat menjadi
keras dan dapat menjadi tumor atau luka terbuka pada kulit. Pada kondisi ini kulit mudah
terjadi infeksi (American Cancer Society, 2012).

2.4. Klasifikasi
Pada suatu studi yang dipublikasikan sebagai Working Formulation di tahun 1982,
Working Formulation mengkombinasikan hasil dari6 sistem klasifikasi menjadi 1
klasifikasi. Klasifikasi Rappaport tidak lagi umum digunakan (National Cancer Institute,
2010).
Tabel Historical Classification Systems NHL

Working Formulation Rappaport Classification

Low grade

A. Small lymphocytic, consistent with chronic lymphocytic leukemia Diffuse lymphocytic, well-differentiated

B. Follicular, predominantly small-cleaved cell Nodular lymphocytic, poorly differentiated

C. Follicular, mixed small-cleaved, and large cell Nodular mixed, lymphocytic, and histiocytic

Intermediate grade

D. Follicular, predominantly large cell Nodular histiocytic

E. Diffuse, small-cleaved cell Diffuse lymphocytic, poorly differentiated

F. Diffuse mixed, small and large cell Diffuse mixed, lymphocytic, and histiocytic

G. Diffuse, large cell, cleaved, or noncleaved cell Diffuse histiocytic

High grade

H. Immunoblastic, large cell Diffuse histiocytic

I. Lymphoblastic, convoluted, or nonconvoluted cell Diffuse lymphoblastic

J. Small noncleaved-cell, Burkitt, or non-Burkitt Diffuse undifferentiated Burkitt or non-Burkitt

Sistem Klasifikasi Saat Ini


6
Modifikasi klasifikasi REAL oleh WHO menyebutkan 3 kategori mayor keganasan
lymphoid berdasar morfologi dan sel-selnya: B-cell neoplasm, T-cell/natural killer (NK)-cell
neoplasm, dan Hodgkin lymphoma. Baik lymphoma dan lymphoid leukemia termasuk dalam
klasifikasi ini karena keduanya merupakan tumor solid dan fase sirkulasinya didapatkan pada
kebanyakan lymphoid neoplasm perbedaan antara keduanya sangat tipis. Seperti contoh B-
cell chronic lymphocytic leukemia dan B-cell small lymphocytic lymphoma merupakan
manifestasi yang berbeda dari sel neoplasma yang sama, sama seperti lymphoblastic
lymphoma dan acute lymphocytic leukemia. Antara kategori B-cell dan T-cell, terdapat dua
subdivisi: precursor neoplasm, yang sesuai dengan stadium diferensiasi sebelumnya dan sel
neoplasma dengan diferensiasi yang lebih matang/matur (National Cancer Institute, 2010).
Updated REAL/WHO classification

B-cell neoplasm
1. Precursor B-cell neoplasm: precursor B-acute lymphoblastic leukemia/lymphoblastic lymphoma
(LBL).
2. Peripheral B-cell neoplasms.
1. B-cell chronic lymphocytic leukemia/small lymphocytic lymphoma.
2. B-cell prolymphocytic leukemia.
3. Lymphoplasmacytic lymphoma/immunocytoma.
4. Mantle cell lymphoma.
5. Follicular lymphoma.
6. Extranodal marginal zone B-cell lymphoma of mucosa-associated lymphatic tissue (MALT)
type.
7. Nodal marginal zone B-cell lymphoma ( monocytoid B-cells).
8. Splenic marginal zone lymphoma ( villous lymphocytes).
9. Hairy cell leukemia.
10. Plasmacytoma/plasma cell myeloma.
11. Diffuse large B-cell lymphoma.
12. Burkitt lymphoma.

T-cell and putative NK-cell neoplasm


1. Precursor T-cell neoplasm: precursor T-acute lymphoblastic leukemia/LBL.
2. Peripheral T-cell and NK-cell neoplasms.
1. T-cell chronic lymphocytic leukemia/prolymphocytic leukemia.
2. T-cell granular lymphocytic leukemia.
3. Mycosis fungoides/Szary syndrome.
4. Peripheral T-cell lymphoma, not otherwise characterized.
5. Hepatosplenic gamma/delta T-cell lymphoma.
6. Subcutaneous panniculitis-like T-cell lymphoma.
7. Angioimmunoblastic T-cell lymphoma.
8. Extranodal T-/NK-cell lymphoma, nasal type.
9. Enteropathy-type intestinal T-cell lymphoma.
10. Adult T-cell lymphoma/leukemia (human T-lymphotrophic virus [HTLV] 1+).
11. Anaplastic large cell lymphoma, primary systemic type.
12. Anaplastic large cell lymphoma, primary cutaneous type.
13. Aggressive NK-cell leukemia.

7
2.5. Diagnosis banding Limfoma Non-Hodgkin:
Keganasan tumor solid: metastasis kelenjar getah bening yang tidak diketahui
primernya, melanoma, sarkoma dan leukemia.

Keganasan hematologi lainnya atau gangguan limfoproliferatif.

Infiltarsi benigna kelenjar getah bening atau folikular hiperflasia sekunder terhadap
infeksi seperti tuberkulosis, infeksi bakteri, jamur atau penyakit kolagen vaskular.

Hodgkin lymphoma.

Penyakit infeksi: Cat Scratch Disease, citomegalovirus, HIV dan mononucleosis


Miscellaneous: Sarcoidosis, Kawasaki's Disease
(Vinjamaram S, Besa EC, 2010; Greer S, Haynes JW, 2012)

2.6. Diagnosis
Anamnesis:
Umum:
1. Pembesaran kelenjar getah bening/pembesaran organ seperti hepatomegali dan
splenomegali dan malaise umum
Gejala sistemik yaitu: berat badan menurun 10 % dalam waktu 6 bulan, demam
tinggi 38 C satu minggu tanpa sebab dan keringat malam
2. Keluhan anemia
3. Keluhan organ
4. Pengguanaan obat (Diphantoine)
Khusus:
1. Penyakit autoimun (SLE,Sjogren, Reuma)
2. Kelainan darah
3. Penyakit infeksi (toksoplasma, mononukleosis, tuberkulosis lues, penyakit cakat
kucing).
Pemeriksaan fisik:
- Pembesaran kelenjar getah bening
- Kelainan/pembesaran organ
- Performance status: ECOG atau WHO/Karnofsky
Pemeriksaan Diagnostik:
a. Laboratorium
1. Rutin
- Hematologi: darah perifer lengkap dan gambaran darah tepi.
8
2. Urinalisis: urin lengkap.
3. Kimia klinik: SGOT,SGPT, LDH, Protein total, albumin, asam urat, alkali
fosfatase, gula darah puasa dan 2 jam PP, natrium, kalium, klorida, kalsium dan
fosfor.
4. Khusus: Gamma GT, Kolinesterase, LDH, protein elektroforesis, tes coomb dan
B2 mikroglobulin.
b. Biopsi
1. Biopsi kelenjar getab bening dilakukan hanya satu kelenjar yang paling
representatif, superfisial dan perifer. Jika terdapat kelenjar perifer/superfisial yang
representatif maka tidak perlu biopsi intra abdominal atau intra torakal.
Spesimen kelenjar diperiksa:
- Rutin yaitu histopatologi: Real WHO dan working formulation
- Khusus: immunoglobulin permukaan dan histo/sitokimia.
Akurasi dari biopsi jarum halus (FNAB) sangat bervariasi sangat bervariasi.
Disamping mempunyai beberapa keuntungan seperti teknik yang mudah dan
lebih dapat diterima oleh penderita, FNAB juga mempunyai beberapa
keterbatasan, antara lain sampel yang duhasilkan terlalu kecil, pengenalan jenis
limfoma terbatas dan tidak dapat menyediakan arsitektur jaringan. Dengan biopsi
kelenjar dapat dilakukan pemeriksaan immunophenotyping: paraffin panel
(CD20, CD3) Diagnostik ditegakkan berdasarkan histopatologi dan sitologi.
FNAB dilakukan atas indikasi tertentu (Sedana MP, 2013).
2. Tidak diperlukan penentuan stadium laparotomi
c. Aspirasi sumsum tulang (BMA dan biopsi sumsum tulang dari 2 sisi spina iliaca
dengan hasil spesimen sepanjang 2 cm.
d. Radiologi
- Rutin: Toraks foro PA dan lateral dan CT scan seluruh abdomen.
- Khusus: Ct scan toraks, USG abdomen, limfografi dan limfosintigrafi.
e. Konsultasi THT: Bila cincin waldeyer terkena, dilakukan gastroskopi atau foto
saluran cerna atas dengan kontras.
f. Cairan tubuh lain: cairan pleura, asites, cairan serebrospinal jika dilakukan
punksi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin disamping pemeriksaan rutin
lainnya.
g. Immunophenotyping: parafin panel: CD20 dan CD3.
STADIUM PENYAKIT
Penetapan stadium penyakit harus selalu dilakukan sebelum pengobatan dan setiap likasi
jangkitan harus didata dengan cermat, digambar secara skematik dan didata tidak hanya
jumlah namun juga ukurannya. Hal ini sangat penting dalam menilai hasil pengobatan.
(Reksodiputro AH, Irawan C, 2009). Berikut adalah ilustrasi stadium LNH sesuai klasifikasi
Ann Arbor .
9
Berikut adalah stadium penyakit Cutaneus T-cell Lymphoma :
Stadium I (tanpa limfadenopati)
IA : plak terlokalisasi
IB : plak generalisata
Stadium II (tanpa keterlibatan histologi kelenjar getah bening)
IIA : plak terlokalisasi/generalisata dengan limfadenopati
IIB : tumor kutaneus dengan/tanpa limfadenopati
Stadium III : eritroderma generalisata dengan/tanpa limfadenopati tetapi tanpa
keterlibatan histologis kelenjar getah bening atau visera
Stadium IV : ada keterlibatan histologis kelenjar getah bening atau visera

2.7. Penatalaksanaan

10
Patients with T-cell NHL sering mendapat terapi sama seperti pasien dengan stadium
intermediate B-cell NHL, meskipun banyak dilaporkan lebih rendahnya tingkat overall
survival pada pasien T-cell NHL dibandingkan B-cell NHL (Evens AM, Gartenhaus RB,
2004). Menurut National Lympho Core Study, regimen yang paling sering diresepkan untuk
LNH yaitu RCHOP (Rituximab, Cyclophosphamide, Doxorubicin, Vincristine, Prednosine).
Untuk Agresif LNH (intermediate/high grade), terapi yang direkomendasi untuk
stadium IA, IIA non bulky (< 10 cm), termasuk E adalah 3-4 siklus CHOP diikuti Involved
field radiotherapy (3000cG dalam 10 fraksi) atau 6-8 siklus CHOP radioterapi. Sedangkan
untuk I-II (bulky), III, dan IV adalah 6-8 siklus CHOP. Pada daerah bulky dapat diberi
radioterapi.
Untuk indolen LNH, stadium I dan II diberikan radioterapi 3500-4000 cGy, stadium
III dan IV : indikasi terapi adanya gejala sistemik, pertumbuhan tumor yag cepat, adanya
komplikasi tumor (obstruksi, efusi). Modalitas kemoterapi tunggal yang dapat diberikan yaitu
: chlorambucil 4-6 mg/m2 /hari po, fludarabine 25 mg/m2 IV/hari selama 5 hari setiap 4
minggu, Cladribine 0,14mg/kg IV drip 2 jam/hari selama 5 hari setiap 4 minggu. Kemoterapi
kombinasi dapat digunakan bila diperlukan respon terapi cepat. Monoclonal antibody : anti
CD 20 monoclonal antobody : Rituximab, diindikasikan untuk penderita low grade LNH atau
folicular CD20 (+) LNH yang relaps atau refrakter, dengan dosis 375mg/m2 IV, 4-8 dosis.

Berikut adalah beberapa modalitas terapi yang dapat diberikan untuk pasien dengan T-
cell lymphoma :
Kemoterapi Konvensional
Pengobatan non- Anaplastic Large-Cell Lymphomas (ALCL) T-cell lymphoma
dengan kemoterapi konvensional disamakan dengan terapi B-cell lymphoma namun sampai
saat ini tingkat keberhasilannya rendah. Regimen yang mengandung anthracycline hanya
memberikan nilai respon yang rendah dan durasi remisi yang sebentar, dan sebagian besar
pasen berlanjut menjadi penyakit yang resistant. Contohnya pada penelitian yang dilakukan
Armitage dkk. yang mengevluasi 134 kasus Peripheral T-Cell Lymphomas (PTCL) yang
didiagnosa di 3 center RS dari tahun 1973 sampai 1986: 80 pasien sudah mendapat terapi
degan regimen seperti CHOP [cyclophosphamide, hydroxydaunorubicin (doxorubicin),
Oncovin (vincristine), and prednisone] dengan atau tanpa bleomycin, CAP-BOP
(cyclophosphamide, doxorubicin, procarbazine, bleomycin, vincristine, and prednisone),
COMLA (cyclophosphamide, vincristine, methotrexate, and cytosine arabinoside), dan

11
MACOP-B (methotrexate, doxorubicin, cyclophosphamide, vincristine, prednisone, dan
bleomycin).21 sementara nilai survival mediannya 17 bulan dan nilai 4 tahun survivalnya
sebesar 28% dari semua pasien, sebanyak 80 pasienyang mendapat kombinasi kemoterapi,
50% mengalami CR, dengan remisi selama 4 tahun sekitar 41% dan overall survival pada
kelompok ini menjadi sekitar 45%. Namun nilai 4 tahun free survival pada pasien dengan
stadium IV dari 50% pasien hanya sebanyak 10%. Rudiger dkk.meneliti 96 kasus non-ALCL
PTCL yang dievaluasi dengan Non-Hodgkins Lymphoma Classification Project, sebanyak
70% pasien mendapat regimen doxorubicin. Nilai 5-tahun overall survival sebesar 26%, dan
kegagalan free survival sebesar 20%.2 Dokter-dokter dari RS di Prancis dan Belgia meneliti
288 pasien PTCL (60 kasus T-ALCL dan 228 kasus non-ALCL PTCL) yang mendapat terapi
regimen anthracycline, termasuk m-BACOD (methotrexate, bleomycin, doxorubicin,
cyclophosphamide, vincristine, dan dexamethasone), ACVB (doxorubicin,
cyclophosphamide, vindesine, bleomycin, dan prednisone), dan NCVB (mitoxantrone,
cyclophosphamide, vindesine, bleomycin, dan prednisone), diikuti dengan terapi konsolidasi
dan maintenance atau tarnsplantasi autologous pada beberapa kasus. Nilai CR sekitar 54%
dari semua pasien, 72% dengan ALCL, dan 49% dengan non-ALCL T-cell lymphoma, dan
nilai 5-tahun survival rates masing-masing sekitar 41, 64, dan 35%. Terdapat 5 faktor yang
memperburuk nilai survival, antara lain : usia lebih dari 60 tahun, stadium lanjut, LDH yang
meningkat, performance status, dan tipe non-ALCL T-cell lymphoma.22 Dari RS MD
Anderson Cancer Center, Melnyk dkk. meneliti sebanyak 68 pasein T-cell lymphoma yang
diterapi antara tahun 1984 sampai 1995dengan regimen yang mengandung anthracycline
seperti CHOPbleomycin dilanjutkan dengan DHAP (dexamethasone, cisplatin, dan
cytarabine), CHOPbleomycin dilanjutkan dengan CMED (cyclophosphamide, etoposide,
methotrexate, dan dexamethasone), CHOPbleomycin dilanjutkan dengan OPEN (vincristine,
etoposide, mitoxantrone, dan prednisone), atau pemberian terapi rangkap tiga dengan ASHAP
(cytarabine, doxorubicin, cisplatin, dan methylprednisolone), MBACOS (doxorubicin,
cyclophosphamide, vincristine, bleomycin, methylprednisolone, dan methotrexate), dan
MINE (mesna, ifosfamide, mitoxantrone, dan etoposide).23 Serupa dengan laporan lainnya
nilai CR sekitar 65%, kegagalan nilai 5-tahun free survival sekitar 38%, dan nilai overall
survival sekitar 38%, dan pada pasien dengan ALCL mempunyai hasil yang lebih baik.
Menariknya, terdapat jumlah yang signifikan terjadi kematian pada pasien dengan non-ALCL
T-cell lymphoma yang terjadi 3 tahun setelah terapi, kebanyakan meninggal akibat late relaps
(Nam H. Dang, Fredrick Hagemeister, 2007).

12
Studi-studi lainnya yang meneliti terapi untuk subtype lain dari T-cell lymphoma yang
non-ALCL sebagian besar menunjukkan respon yang mengecewakan, baik pada durasi
respon maupun lama survivalnya. T-prolymphocytic leukemia (T-PLL) relatif resisten dengan
kemoterapi konvensional. Terapi standar untuk nasal NK/T-cell lymphoma tidak memuaskan.
Pada penelitian retrospektif, pasien dengan LNH primer pada hidung dan nasofaring yang
diterapi dengan CHOP, CEOP (cyclophosphamide, epirubicin, vincristine, dan prednisone)
atau ProMACE-CytaBOM, dengan atau tanpa radiasi, pasien dengan NK/T-cell lymphoma
memiliki prognosis sangan jelek (Nam H. Dang, Fredrick Hagemeister, 2007).
Kemoterapi dosis tinggi / Transplantasi Stem Cell
Beberapa kelompok telah memeriksa dampak kemoterapi dosis tinggi pada T- cell
lymphoma. Analisa retrospektif yang dilakukan di MD Anderson Cancer Center, pada 36
pasien dengan relaps atau refrakter PTCL, yang mendapatkan kemoterapi dosis tinggi dan
transplatasi autologous (29 pasien) dan allogenic (7 pasien). Rata-rata OS selam 3 tahun
mencapai 36% dan rata-rata PFS sebesar 28%. Kadar serum LDH sebelum transplantasi
merupakan faktor prognostik baik untuk OS maupun PFS. Setelah median follow up selama
43 bulan, 13 pasien (36%) masih hidup, tanpa adanya gejala.
Pada penelitian yang mengikutsertakan 40 pasien dengan T-cell lymphoma relaps,
dari Norwegia dan Swedia, juga meneliti peran terapi dosis tinggi dengan transplantasi stem
cell autologous. Semua pasien termasuk kemosensitif dan mendapat regimen berbasis
antrasiklin, terutama CHOP, VACOP-B (etoposide, doxorubicin, cyclosphophamide,
vincristine, prednisone, and bleomycin), atau MACOP-B (methotrexate, doxorubicin,
cyclophosphamide, vincristine, prednisone, and bleomycin), sebelum transplantasi. Saat
dilakukan transplantasi, 17 pasien telah PR atau CR pada siklus pertama, dan 23 pasien CR
atau PR dengan siklus kedua atau ketiga. Regimen Conditioning, termasuk BEAM
(carmustine, etoposide, cytarabine, and melphalan) pada 15 pasien, BEAC (carmustine,
etoposide, cytarabine, and cyclophosphamide) pada 14 pasien, BEAC tanpa etoposide and
total body irradiation (TBI) pada 1 pasien, cyclophosphamide dan TBI pada 8 pasien, serta
melphalan dan mitoxantrone pada 2 pasien. Ada 3 (7.5%) kematian yang berkaitan dengan
terapi, namun 32 pasien (80%) mencapai atau mempertahankan CR setelah transplantasi stem
sel, dengan relaps terjadi pada 16 pasien, semuanya terjadi pada waktu 2 tahun setelah
transplantasi. Rata-rata 3-year overall, event-free, and relapse-free survival adalah 58, 48,
and 56% (Nam H. Dang, Fredrick Hagemeister, 2007).
PURINE ANALOGS

13
Purin analog, pentostatin (deoxycoformycin) fludarabine , cladribine (2-
chlorodeoxyadenosine 2-CdA) adalah kelompok obat dengan struktur yang sama, dan
merupakan agen yang baik untuk terapi T-cell lymphomas, karena T-cells memiliki kadar
adenosine deaminase (ADA) yang tinggi. Obat tersebut menyebabkan kerusakan DNA dan
gangguan repair DNA. Sebagai agen tunggal, analog purin dapat ditoleransi dengan baik,
dengan efek mielosupresi rinan, walaupun cebderung lebih berat pada cladribine
dibandingkan pentostatin (Nam H. Dang, Fredrick Hagemeister, 2007).
GEMCITABINE
Gemcitabine adalah pirimidin antimetabolit dengan aktivitas klinik dan toksisitas rendah
untuk tumor solid dan keganasan hematologi sel T. Terapi secara umum dapat ditoleransi dan
toksisitas hematologi jarang didapatkan. Gemcitabine juga efektif dan ditoleransi dengan baik
untuk keganasan sel T refrakter atau relaps. Sebuah penelitian acak, pada pasien yang
diberikan denileukin diftitox dosis 9 g/kg/hari selama 5 hari tiap 3 minggu atau 18 g/kg/
selama 5 hari setiap 3 minggu, pada pasien CD25, CTCL tanpa premedikasi steroid. Secara
keseluruhan, 20% pasien PR sedangkan10% CR, dengan rata-rata durasi respon 6,9 bulan.
Efek samping yang dapat muncul : hipersensitivitas akut seperti sesak, nyeri punggung,
hipotensi, dada berat, gatal, dan flusing. Peningkatan enzim hati juga dapat terjadi, sama
seperti kemerahan dan gejala seperti flu. Premedikasi steroid dikatakan meningkatkan
kepatuhan pasien dan respons terhadap obat ini (Nam H. Dang, Fredrick Hagemeister, 2007).
CAMPATH-1H/ANTI-CD52 ANTIBODY
CD52 adalah suatu nonmodulating glycosylphosphatidylinositol- linked protein yang
banyak diekspresikan pada sel normal, keganasan sel limfosit B dan T, monosit, makrofag,
dan eosinofil. Pada penelitian fase 2, yang menikutsertakan 39 pasien dengan T-PLL,
didapatkan overall response rate sebesar 76%, dengan 60% CR dan 16% PR. Konsisten
dengan baerbagai penelitian sebelumnya bahwa efek anti tumor CAMPATH-1H/ANTI-CD52
ANTIBODY terlihat pad darah, sumsum tulang, dan kulit, dan respon rendah pada kelenjar
getah bening bulky dan splenomegali (Nam H. Dang, Fredrick Hagemeister, 2007).
Pada pasien Cutaneus T-cell lymphoma, dengan keterlibatan kulit, dapat diberikan
terapi dengan kemoterapi topikal : nitrogen mustard, electron beam radiotherapy, psoralen
with ultraviolet light (PUVA), dan retinoid. Kemoterapi sistemik direkomendasikan pada
penderita yang disertai manifestasi ekstra kulit, yaitu kemoterapi tunggal (doxorubicin,
cyclophosphamide, methotrexate, atau bleomycin) atau kombinasi. Modalitas terapi yang lain
yaitu : purine analogues : 2-deoxycoformycin (pentostastin), cladibrine, fludarabine,

14
Interferon-, Denilukin diftitox, dan terapi antibodi (Nam H. Dang, Fredrick Hagemeister,
2007).

2.8. Prognosis
Sebagian besar pasien dengan NHL yang lokal dapat disembuhkan dengan modalitas
kombinasi kemoterapi. Pada pasien dengan stadium lanjut, sekitar 50% pasien dapat
disembuhkan dengankombinasi kemoterapi doxorubicin dan rituximab.
Suatu penelitian International Prognostic Index (IPI) untuk NHL agresif (diffuse large cell
lymphoma) mengidentifikasi 5 faktor resiko yang signifikan terhadap prognosis OS:
1. Usia (60 tahun vs. >60 tahun).
2. Serum lactate dehydrogenase (LDH) (normal vs. meningkat).
3. Performance status (0 atau 1 vs. 24).
4. stadium (stadium I atau II vs. stadium III atau IV).
5. Keterlibatan Extranodal (0 atau 1 vs. 24).

Pasien dengan 2 atau lebih faktor resiko terjadi 50% relapse-free survival dan OS sekitar
5 tahun. Penelitian ini juga mengidentifikasi pasien beresiko tinggi mengalami kekambuhan
pada keterlibatan lokasi yang spesifik seperti bone marrow, central nervous system (CNS),
liver, lung, dan spleen. Modifikasi dari IPI dengan dilakukan penyesuaian usia dan
penyesuaian stadium digunakan pada pasien usia lebih muda dengan lokasi lokal. Profil
molekul ekspresi gen dengan memakai DNA microarrays dapat membantu untuk
mengelompokan pasien di masa depan untuk pemberian terapi pada target reseptor spesifik
dan untuk memperbaiki perkiraan tingkat survival setelah mendapat kemoterapi standar
(National Cancer Institute, 2010).

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN


Metode : Studi deskriptif observasional
Materi : Sebagai bahan penelitian ini kami dapatkan dari rekam medik penderita
Limfoma non Hodgkin, fokus T-cell limfoma yang datang ke Poli Hematologi Onkologi
Medik RSUD Dr. Soetomo Surabaya dari bulan Januari 2012 hingga April 2013 .
Dengan total sampel adalah 35 kasus.

IV. HASIL PENELITIAN

15
Dari total 40 kasus limfoma non Hodgkin di Poli Hematologi Onkologi Medik RS.
Dr. Soetomo Surabaya periode Januari 2012 sampai dengan Januari 2013 didapatkan
sebagian besar dari kelompok usia 50-59 tahun (50%), selanjutnya kelompok usia 60-69
tahun (20%), dan kelompok usia 40-49 tahun (13,3%). Didapatkan seorang pasien usia 16
tahun. Proporsi perempuan (55%) sedangkan perempuan (45%). Hal ini kurang sesuai dengan
kepustakaan yang ada, dimana dikatakan bahwa insiden LNH pada laki-laki lebih tinggi dari
pada wanita, dan penderita rata-rata 60-65 tahun (Tabel 1 dan 2).

Keluhan yang paling sering didapatkan adalah benjolan di leher (55%) diikuti dengan
benjolan di aksila dan inguinal. Keluhan lain : demam, keringat malam, penurunan berat
badan, dan lemah badan, namun tidak tercatat dalam penelitian ini.
Jenis histopatologi yang terbanyak adalah folicular large cell (35%) diikuti diffuse
large cell (27,5%) dan malignant round cell (12,5%). Sesuai Working Formulation, Folicular
Large cell dan diffuse large cell merupakan intermediate grade.
Pada penelitian ini, dari hasil pemeriksaan Imunohistokimia (IHC) didapatkan 35
pasien B-cell lymphoma (87,5%) dan 5 pasien T-cell lymphoma (12,5%) (Tabel 3). Pada
pasien dengan T-cell lymphoma, 3 orang berusia diatas 60 tahun, dan 2 orang berusia 56
tahun, dengan persentase laki-laki : perempuan = 3 : 2.

16
Dari 5 pasien dengan T-cell lymphoma, didapatkan 3 pasien dengan cutaneus T-cell
lymphoma atau Mycosis fungoides. Cutaneus T-cell lymphoma merupakan kelainan
limfoproliferatif kulit maligna dari sel T helper/CD4, terutama dijumpai pada indolen LNH.
Presentasi kelainan dermatologis berupa plak terlokalisasi yang berkembang menjadi nodul
tumor. Apabila didapatkan eritroderma eksfoliatif difus disertai keterlibatan darah tepi,
disebut sebagai Sezary syndrome. Pada ke-3 pasien pada penelitian ini yang terdiagnosa
dengan Cutaneus T-cell Lymphoma, didapatkan keterlibatan kelenjar getah bening (KBG)
secara histologi, sesuai dengan stadium II A.
Pasien dengan T-cell lymphoma umumnya diterapi dengan regimen yang sama dengan
B-cell lymphoma. Pada penelitian ini, 2 orang pasien dengan Cutaneus T-cell lymphoma
mengalami Progressive Disease (PD) setelah pemberian regimen CHOP, MBCHOP, dan ICE.
Kemudian diberikan kemoterapi lini kedua atau salvage chemotherapy dengan regimen
ESHAP. Regimen ESHAP terdiri dari :
Etoposide 40mg/m2 diberikan selama 1 jam IV, hari ke-1 sampai ke-4
Methylprednisolone 250-500 mg, diberikan IV, hari ke-1 sampai ke-5
Cytarabine 2000 mg/m2 , diberikan IV selama 2 jam, hari ke-5
Cisplatin 25 mg/m2 ,diberikan infus IV kontinyu, hari 1-4
Kemoterapi diulang tiap 21 hari. Didapatkan hasil CR setelah pemberian 1x regimen ESHAP
pada kedua pasien pada penelitian ini. Namun disayangkan seorang pasien loss follow up
setelah pemberian ESHAP siklus ke-2.
Pada penelitian ini didapatkan 24 pasien (60%) mengalami Complete response (CR),
23 diantaranya adalah kelompok B-cell lymphoma dan 1 dari kelompok T-cell lymphoma. Hal
ini tentunya sesuai dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa prognosis pasien B-cell
lymphoma lebih baik daripada T-cell lymphoma (Tabel 4).

17
V. PEMBAHASAN
Limfoma maligna non-Hodgkin terdiri dari kelompok keganasan sel T limfosit, sel B
limfosit, atau Natural Killer Cell (NK-cell). B-cell lymphoma, kelompok limfoma dari
limfosit sel B, ditemukan pada 80-85% kasus LNH, sedangkan T-cell lymphoma, kelompok
limfoma dari sel limfosit T, ditemukan pada 15-20% pasien LNH. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian ini, dimana mayoritas pasien adalah kelompok B-cell lymphoma. Selain itu,
sebagian besar pasien Cutaneus T-cell lymphoma dikatakan sering mengalami misdiagnosis
sebagai kelainan kulit yang lain, seperti eczema. T-cell lymphoma memiliki prognosis yang
lebih buruk dibandingkan B-cell lymphoma. Sering pada pasien diperlukan terapi lini ke-2
atau salvage chemotherapy. Namun demikian berbagai terapi seperti purine analogues : 2-
deoxycoformycin (pentostastin), cladibrine, fludarabine, Interferon-, Denilukin diftitox, dan
terapi antibodi (Campath-1H/Anti-CD52 Antibody) dan transplantasi stem sel bail autogous
maupun allogenic merupakan modalitas terapi yang dapat diberikan untuk pasien dengan T-
cell lymphoma.

VI. DAFTAR PUSTAKA

1. American Cancer Society, 2012.


2. Dang NH, Hagemeister F, 2007. MATURE T-CELL NON-HODGKINS LYMPHOMA:
DIAGNOSIS
AND THERAPY. In : CLINICAL MALIGNANT HEMATOLOGY. New York McGraw-Hill
Companies
3. Evans LS, Hancock BW, 2003. Non-Hodgkin Lymphoma. The Lancet; 362: 149-67
4. Evens AM, Gartenhaus RB. Treatment of T-cell non-Hodgkin's lymphoma. Curr Treat
Options Oncol.
2004 Aug;5(4):289-303. Review)
5. Greer S, Haynes JW, 2012. Non-Hodgkin Lymphoma. Madigan Army Medical Center,
Tacoma
6. National Cancer Institute Surveillance Epidemiology and End Results, 2010

18
7. Reksodiputro AH, Irawan C, 2009). Limfoma Non-Hodgkin (LNH)dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Editor Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S; Internal
Publising, Jakarta.
8. Rizvi MA, Evens AM, Tallman MS, Nelson BP, 2006. T-cell non-Hodgki lymphoma.Blood
journal;107: 1255-1264
9. Sedana MP, 2013. Current Update Management Non Hodgkin Lymphoma dalam Buku
Surabaya Hematologi Onkologi Medik Update-XI editor Ashariati A, Boediwarsono,
Soebandiri, Sugianto, Sedana MP, Ugroseno, Surabaya HOM Update-IX, Surabaya
10. Vinjamaram S, Besa EC, 2010. Non-Hodgkin Lymphoma Differential Diagnoses

19

Anda mungkin juga menyukai