Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengatakan bahwa harusnya pengerjaan bendungan
tersebut sudah hampir rampung sehingga bisa dinikmati oleh masyarakat dan mereka
terbebas dari kekeringan.
"Dari sini saja sudah terlihat bahwa ada hajat hidup orang banyak yang jadi korban.
Tentu ini layak untuk diinvestigasi, kenapa bisa terjadi," kata Fadli di Gedung DPR RI,
Senayan, Jakarta, Jum'at (5/5).
Bagaimana tidak. Target awal, pengerjaan proyek tersebut akan rampung pada tahun
2017 ini. Tapi pada kenyataannya, jangankan ada perkembangan pembangunan. Untuk
membebaskan lahan saja masih terhambat. Padahal sejumlah dana sudah dikantongi
Pemda.
"Ini kan harus dibuka, kenapa persoalan pembebasan lahan ini bermasalah, uang
pembebasanya ada atau bisa juga diduga habis, KPK harus masuk di situ. Jika dibiarkan
ini tentu akan berbahaya dan rakyat yang kembali jadi korbannya, sekali lagi ini
bendungan, bukan proyek jalan tol," desaknya.
Luas proyek bendungan adalah 228 hektar. Aggaran ganti rugi tanah warga yang
disiapkan oleh pemerintah sekitar Rp.100 miliar. Tapi anehnya masih banyak warga
setempat yang tidak mendapatkan ganti rugi yang layak.
Wakil Presiden Jusuf Kalla pun memberi perhatian khusus terhadap pengerjaan proyek
tersebut dengan menegur Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo untuk
segera merampungkan proyek agar airnya dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan
masyarakat sekitar. [rus]
Bendungan Kareloe dan
Nestapa Rakyat Kecil
OPINI24 MARET 2017
Senn, 20 Maret 2017, Harian FAJAR melansir berita Warga Kareloe Tinggal di Tenda Darurat. Pada hari
yang sama, masyarakat dari area sekitar lokasi pembangunan bendungan datang mengadukan nasib mereka
ke DPR RI. Sebagai salah satu wakil rakyat, saya berkewajiban mendengarkan keluh kesah mereka. Catatan
ini adalah aspirasi mereka.
Sejak duduk di DPRD Provinsi Sulsel (2009-2014), Bendungan Kareloe salah satu isu yang menjadi konsen saya.
Beberapa kali kunjungan kerja, saya sempatkan ke sana. Saya melakukan hal tersebut, karena menyadari harapan
masyarakat di kampung halaman saya, Kabupaten Jeneponto untuk terbebas dari derita kekeringan, juga bisa
diwujudkan dengan kehadiran bendungan tersebut.
Kendala Pembangunan
Pembangunan bendungan ini dimulai 2013 dan ditargetkan selesai Desember 2017. Namun saat ini progres
pembangunan fisik bendungan baru mencapai 10,9 persen. Laporan masyarakat yang saya terima, kendala utama
proyek ini soal pembebasan lahan. Total luas lokasi pembangunan sebesar 228 Ha.
Ada beberapa tuntutan masyarakat kepada pemerintah, di antaranya, tidak pernah ada kesepakatan harga tanah
antara warga dan pemerintah. Harga yang ada hanya disepakati sepihak, tidak dalam rapat antara warga. Menurut H.
Moddin, proses pembayaran ganti rugi lahan oleh pemerintah ke pemilik lahan penuh intrik dan modus. Harga tanah
sangat variatif, terendah Rp12 ribu, sedangkan tertinggi Rp26.000 ribu per meter.
Itupun masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan ganti rugi. Tak ada ganti rugi rumah/bangunan yang
mereka tempati, apalagi tanaman kebun yang mereka rawat selama ini, seperti jati putih, coklat, dan lain-lain. Ada pula
warga yang mengadu, bahwa biaya ganti ruginya hanya dianggarkan Rp2,5 juta untuk rumah besar yang ia miliki,
beserta tanahnya.
Nilai yang diberikan kepada masyarakat sangat tidak pantas. Warga menegaskan mereka mendukung pembangunan
bendungan, yang akan membawa manfaat bagi lebih banyak orang di Gowa dan Jeneponto.
Hanya mereka menuntut diberikan ganti rugi yang proporsional yang mempertimbangkan nilai tanah, bangunan, dan
tanaman yang mereka miliki. Jika mereka diberi ruang berkomunikasi tentang ganti rugi, mereka mengajukan harga
Rp85 ribu per meter.
Hal yang lebih ironis, masyarakat juga harus berhadapan dengan aparat desa dan kecamatan, yang seharusnya
mengayomi mereka. Sebagian warga mengaku dipaksa bertandatangan, tetapi mereka tidak diperlihatkan isi surat
yang mereka tandatangani.
Bagi masyarakat yang kuat bertahan, mereka inilah yang menolak bertandatangan, tetapi yang lemah karena tidak
kuat menahan teror, terpaksa bertandatangan.
BPN Gowa pun disinyalir terlibat dalam proses pembebasan lahan ini. Indikasinya, proses pengukuran dilakukan
secara tidak transparan. BPN menolak memberikan hasil pengukuran kepada masyarakat, dengan dalih akan
diberitahukan kemudian.
Dalam proses sertifikasi tanah, masyarakat merasa dikurangi luas tanahnya, antara 1.500-2.500 meter. Malah
belakangan, masyarakat juga dibebani biaya sertifikat Program Nasional (PRONA) sebesar Rp500 ribu per bidang.
Padahal seharusnya sertifikat PRONA ini diberikan gratis.
Setelah pengukuran BPN, beberapa hari kemudian datang tim appraisal (penilai) dari PT. Aditya Pratama untuk
menghitung tiap bidang tanah. Menurut warga, tim penilai ini menyampaikan akan ada musyawarah harga pada
masyarakat yang terkena dampak pembangunan bendungan Kareloe.
Anehnya, saat musyawarah, masyarakat yang diundang hanya sebagian kecil, itupun hanya mereka yang dianggap
bisa diatur panitia pembebasan lahan, bukan warga yang keberatan. Dalam pertemuan tersebut dibangun kesan
seolah seluruh warga telah menyetujui pembebasan lahan. Padahal, masih ada sekitar 112 Kepala Keluarga yang
belum setuju.
Belum lagi, masih ada satu dusun, terdiri dari sekitar 80 KK, yang belum tahu akan pindah ke mana. Hingga saat ini,
pemerintah daerah pun tidak menyiapkan lahan untuk merelokasi mereka. Biaya ganti rugi, jika mereka menerimanya
pun, mungkin tidak akan cukup membeli lahan baru dan membangun tempat tinggal yang layak.
Jika tuntutan warga tidak dipenuhi, pembangunan bendungan itu akan bermasalah, sekarang dan akan datang. Akan
banyak pihak yang akan terseret ke masalah hukum. Siapa pun pihak yang mempermainkan anggaran pembebasan
lahan itu tidak akan tenang hidupnya.
Persoalan ini pasti akan panjang, sebagaimana kasus KTP-el dan berbagai kasus lain yang baru mencuat beberapa
tahun kemudian.
Sebagai legislator dari Dapil Sulawesi Selatan 1, saya tidak akan tinggal diam. Saya akan berkoordinasi dengan
anggota DPR lintas komisi. Bahkan, bila perlu dibentuk tim khusus, tim gabungan DPR yang akan meninjau lokasi
sengketa pembangunan bendungan, dan bertemu dengan sejumlah stakeholder terkait. Semoga ada jalan terang,
yang adil bagi rakyat, dan bersih bagi para pengambil kebijakan. (*)